wqwqwq12

“Loh, ga ke kantor?” tanya Willie ketika mendapati kakaknya sedang mengerjakan sesuatu di meja makan, kebiasaan kakaknya yang sering diprotes istrinya.

“Ga, gue kerja mobile sih hari ini,” jawab Tere sambil mengetik sesuatu di laptopnya, “Abis mabok ya lo?”

“Semalem sama Renata. Di samping aja,” Willie menuangkan air putih ke gelas sebelum menenggak habis isinya

“Sarapan, Willie?” Pak Feri muncul dari arah dapur dan menanyakan pertanyaan khas darinya

“Iya. Scrambled egg sama sosis aja, Pak. Makasi ya.”

“Kopi?”

“Seperti biasa,” jawab Willie singkat sebelum duduk di seberang Tere yang masih sibuk.

“Ni sampe sekarang beneran gada kabar?” Willie terdengar gusar, membuat Tere mengalihkan pandangannya dari laptop

“Secara resmi, belum. Barusan ibunya Miranda telepon gue, mastiin soal posisi gue sama Anggun. Miranda sama Yujin kan bilang gamau bantuin kalo misal keluarga Bimantara terlibat bantuin Anggun. Resiko gede.”

Willie mengangguk, “Kakeknya kan temen kakek kita.”

“Gue rasa ada hubungannya sama cerita Yujin sih. Pasti temen lo nyeritain semuanya.”

“Tentu,” Willie mengangguk pada Pak Feri yang menyajikan sarapan padanya, “Kak Yolanda udah baikan?”

“Dia yang paling ga parah. Cakra yang paling parah soalnya dia kena sejak awal. Posisi dia juga terus ngelindungin Karin, makanya banyak dapet serangan.”

Willie menghela nafas panjang sembari memakan sarapannya

“Lo harus yakin kalo mereka masih hidup, Will.”

“Gue yakin, Kak. Tapi lo bayangin, bekas darahnya Karin ditemuin di mobil, berarti dia luka kan? Dan sekarang dia gada di rumah sakit manapun, bayangin pasti sakit banget,” suara Willie bergetar, “Gue mau ngorbanin apapun asal Karin selamat, Kak.”

“Gue tau perasaan lo, Will. Tapi ingat kita gabisa gegabah. Kalo kita salah langkah, Karin malah bahaya. Kaya kata gue kemarin, Helena pasti cari cara buat hubungin kita.”

Willie hanya terdiam, perasaan takut masih menghantuinya. Apalagi mengingat bahwa Karin terluka selama pengejaran itu.

“Permisi, Nona Tere,” suara familiar terdengar memasuki ruang makan.

“OH, Pak Alex,” Tere tersenyum, disusul dengan Willie. Alex adalah butler paling senior di keluarga Angkasa.

“Nona Tere, dan Nona Muda Willie, ini Kaka dan Johnny, katanya dari Amaris. Bertugas mulai hari ini,” Pak Alex mempersilakan dua lelaki masuk. Satu terlihat paruh baya, sedangkan satunya masih muda seumuran dengan Satria.

“Makasi Pak Alex. Tolong tunjukkin mereka tidurnya dimana di rumah ini. Sama untuk tugas flexible aja, mana yang bisa ngikut Willie, saya, atau mungkin istri saya dan yang lain,” kata Tere. Pak Alex mengangguk paham dan mengarahkan dua lelaki itu untuk mengikutinya.

“Konsisten ya Pak Alex manggil gue Nona Muda,” kata Willie setelah rombongan itu pergi

“Biar enak katanya. Bawaan dari bokap,” Tere berkelakar, “Will, gue kepikiran kayaknya ada sesuatu yang mungkin uda diomongin Helena sama yang lain. Kaya strategi-strategi kemarin kan mereka uda pernah bahas.”

“Gue kayaknya perlu ngobrol juga sama Kak Yola. Ntar abis ini, nunggu Renata bangun sama itu Pak Alex kelar nunjukkin rumah.”

“Gue nitip ya. Gue urusin dulu yang lain.”

“Gampang, Kak.”

Chaos

Satu kata itu yang menggambarkan kondisi keluarga Angkasa. Berita meledaknya mobil yang biasa dikendarai Helena, dan laporan bahwa sebelum mobil itu masuk hutan dan meledak sedang dikejar oleh mobil dengan jenis yang sama.

Anggun dan Henri sibuk mengunjungi media dan polisi untuk tidak membongkar siapa yang mengejar mobil Helena. Ditambah, mereka meminta polisi segera menemukan tiga orang yang ada di mobil itu, hidup ataupun mati.

Tere dan Jessica memilih untuk defensive, meminta Nayla dan Satria untuk kembali ke rumah sebelumnya bersama dengan mereka. Kehilangan Helena di saat seperti ini tentu pukulan yang berat bagi Tere karena Helena selalu bisa diandalkan. Begitu juga Dimas, sopir dan bodyguard Jessica sejak lama. Belum lagi empat bodyguard yang terluka parah. Walaupun kondisi Anggun juga kesulitan untuk mengamankan dirinya dengan bodyguard yang sudah dilatih lama di Angkasa Group, posisi yang lebih dirugikan tetap Tere dan Willie karena kehilangan banyak orang kepercayaan yang bisa diandalkan.

Baik Tere maupun Jessica menolak untuk bertemu dengan media. Alasannya adalah masih belum jelas ada apa. Bahkan Henri meminta seluruh pegawai yang tahu mengenai keributan di parkiran pada saat itu untuk diam. Saat ini, perusahaan dijalankan oleh Martha karena Cakra sedang dirawat dan Karin masih dinyatakan hilang.

Bagaimana dengan Willie?

Bungsu dari Angkasa itu benar-benar sedang berada di titik nadir. Malam setelah mobil yang membawa Karin dinyatakan meledak, dia langsung melabrak Henri dan Anggun. Ancamannya nyata, jika sampai Karin ditemukan meninggal, jelas mereka berdua yang akan masuk penjara.

Sampai 24 jam kemudian, kabar Karin maupun dua bodyguard yang bersamanya masih belum bisa dikonfirmasi. Bangkai mobil yang meledak berhasil dievakuasi dan penyidik memberikan konfirmasi bahwa ditemukan bekas darah milik Dimas dan Karin, namun untuk jejak dari ketiganya tidak bisa dikonfirmasi sekarang.

****

“Penyidik mungkin punya waktu satu minggu untuk memutuskan dimana sebenernya tiga orang itu,” kata Tere di tengah makan malam keluarga. Selain Nayla dan Satria, ada Renata dan Yujin yang memang menemani Willie sejak kemarin.

“Kakak yakin mereka semua masih hidup?” tanya Willie, keraguan jelas ada di suaranya.

Tere tersenyum kecil, “Salah satu perlengkapan yang selalu ada di mobil yang dikendarai bodyguard kita itu kotak p3k. Trus juga, Helena sama Dimas punya kebiasaan bawa tas yang isinya perlengkapan untuk bermalam dimana saja.”

“Ah, benar juga,” Satria mengangguk. Tadi sore dia ikut dengan Tere untuk mengecek mobil yang berhasil dievakuasi, “Pantesan Kak Tere nanyain bagasi sama dashboard.”

“Sama posisi hape mereka. Terlalu rapi untuk hape yang jatuh karena dikejar,” tambah Tere, sembari melihat Willie dan berusaha menyakinkan adiknya itu, “Aku yakin Karin, Dimas dan Helena masih hidup. Mereka ninggalin hape untuk taruhan karena baik kita dan Anggun ga akan bisa bergerak untuk saling menyadap. Kita yang harus cari cara untuk bisa menghubungi mereka.”

Semua yang ada di meja makan mengangguk, paham dengan apa yang diinginkan oleh Tere.

“Lalu,” Tere mengelap mulutnya sebelum melanjutkan pembicaraan, “Tiga hari lagi RUPS. Di tengah keributan ini, Anggun tetap menjalankan niatnya.”

“Jangan-jangan emang ini yang dia pengen,” Willie melipat tangannya sembari menghela nafas panjang, “Dia ngincer votingnya Karin.”

“Karin uda bikin surat kuasa,” tambah Jessica, “Udah aku simpen dan buat Nayla nantinya.”

Yang disebut namanya sedikit terkejut.

“Nanti Nayla dateng sama kita aja waktu RUPS,” kata Jessica, “Buat bikin Anggun kaget.”

“Ide bagus. Hajar di tempat kalo perlu,” gerutu Willie

“Sabar dulu,” Tere tersenyum, “Kita kuliti mereka satu-satu.”

Karin melirik arloji di tangannya, masih menunjukkan pukul 6 sore. Rapat hari ini berjalan lancar, terutama para pegawainya jauh lebih hormat dibanding ketika Henri menjadi CEO. Karin yakin dalam waktu dekat, agensinya akan bisa kembali bersinar dan memberikan keuntungan bagi Angkasa Group.

Masih berada dalam perasaan yang berbunga, tiba-tiba tubuh Karin ditarik ke samping dan bersandar ke pilar yang terletak di parkiran mobil. Cakra menutup mulut Karin dan memintanya untuk diam.

“Arah jam 7, di mobilmu. Ada tiga orang yang nungguin,” bisik Cakra, membuat Karin hanya melirik sedikit.

“Siapa mereka?”

“Kalo liat dari bajunya, sepertinya orangnya Bu Anggun. Aku uda hubungin yang lain buat ke sini karena aku curiga ada rencana jahat yang...”

“Cakra awas!” belum sempat Cakra menyelesaikan ucapannya, ayunan tongkat hampir mengenai kepalanya. Dengan cepat pula, dia menarik tubuh Karin agar terhindar dari upaya pemukulan itu.

“Sial mereka banyak banget,” Cakra mendengus sebelum menendang salah satu dari mereka. Karena sibuk bertahan dan melindungi Karin, Cakra harus mendapati banyak hantaman ke tubuhnya.

“Minggir semuanya!” teriak Rendi yang baru datang bersama Reno dan Yolanda. Ketiganya segera membantu Cakra untuk menghajar kembali bodyguard dari Anggun yang ternyata jumlahnya cukup banyak

“Kamu gapapa?” tanya Yola sembari memeriksa tubuh Karin

“Tadi kebentur aja, Kak,” Karin menunjukkan pergelangan tangan kirinya

“Stay di belakangku ya?” kata Yola begitu melihat Dimas dan Helena datang.

Baku hantam terus berjalan, dan mereka mulai sadar bahwa gerombolan bodyguard itu mengincar Karin. Helena membisikkan sesuatu ke Yolanda untuk menahan serangan, karena dia akan mengambil mobil. Strategi yang sudah mereka setujui bersama adalah membawa Karin sejauh mungkin dari tempat kejadian. Posisi sekarang menunjukkan bahwa Karin tidak sepenuhnya lepas dari Angkasa, sehingga jika Karin jatuh ke tangan Anggun, maka semuanya akan berantakan.

Kelima bodyguard itu bergantian menjaga Karin dengan situasi yang sangat tidak menguntungkan, lima banding dua puluh. Berkali-kali Karin ikut tersungkur karena hantaman yang diterima oleh lima bodyguardnya.

Raungan suara Toyota Vios yang digunakan Helena terdengar, membuat semua pergerakan terhenti. Yang tidak mereka duga adalah drift yang dilakukan Helena di dekat kerumunan sebelum membuka kunci pintu mobilnya

“Mas Dimas, bawa Karin mas!” teriak Yolanda ketika menyadari posisi terdekat dari mobil adalah Dimas. Melalui gerakan cepat, Dimas menggendong Karin dengan tangan kirinya, membuka pintu belakang sebelah kiri dan setengah melempar Karin ke mobil. Hal ini dia lakukan karena dua orang lain sudah mengepungnya. Satu orang yang berada di sebelah kiri depanya langsung dia jepitkan ke pintu mobil dengan keras, membuatnya berteriak kesakitan. Sedangkan yang berlari di belakangnya berhasil dia tendang bagian kepalanya sampai pingsan.

“Cepet Dim!” teriak Helena melihat kerumunan mulai mengarah padanya, walaupun berusaha ditahan oleh yang lain. Dimas kembali membuka pintu yang barusan dia gunakan untuk menjepit orang, setengah melompat dan membanting pintunya. Dimas sedetik lebih cepat untuk mengunci pintu sebelum salah seorang dari mereka datang dan memukul kaca mobil, mengakibatkan retakan yang cukup besar dan melukai pelipis Dimas.

Helena langsung menginjak pedal gas begitu mendengar Dimas mengunci pintu, meninggalkan parkiran yang penuh keributan.

“Gue udah kontak Tere,” kata Helena, sembari menyetir dengan fokus. Jika diperhatikan, Vios yang dikendarai sudah cukup mencurigakan dengan kaca samping pecah dan beberapa bagian depan penyok karena dipukuli.

“Bagus. Anda gapapa, Karin?” tanya Dimas kepada Karin yang masih terlihat takut, “Maaf tadi saya terpaksa ngelempar kamu ke dalem.”

“Iya gapapa, kayaknya kamu lebih parah lukanya,” Karin memperhatikan Dimas yang sudah berdarah-darah. Terlebih, ternyata paha kanannya terus mengucurkan darah.

“Tahan dulu pendaharannya, Bro,” teriak Helena sambil membuka dashboard dan mengambil kotak p3k, “Karin, tolong ya.”

Karin menerima kotak dan membukanya, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menahan pendarahannya. Beruntung ada perban cukup banyak di dalamnya.

“Anjir, kita dikejar,” Helena melirik spion tengah, dua Toyota Vios silver sedang menempelnya dengan jarak yang cukup dekat.

“Astaga!!!” Karin berteriak ketika Helena melakukan maneuver putar balik. Dimas memegangi tubuh Karin agar tidak terlempar, sembari meminta maaf karena harus memegangnya.

“Kita bakalan terus diikutin. Lo bawa tas tempur item gue ga?” tanya Dimas

“Ada di belakang. Lengkap ga gue kurangin apapun. Tas perlengkapan gue juga di situ,” jawab Helena tanpa mengalihkan perhatiannya

“Kita harus tinggalin mobil ini,” kata Dimas, “Mumpung udah gelap.”

“Sebelum masuk tol ada kawasan hutan dan jurang, gue arah sana. Lo tau kan kita harus kemana?”

“Kepulauan Seribu. Gue tau jalan pintasnya,” jawab Dimas tegas, “Sekarang, lo banting ni mobil masuk hutan.”

“Pegangin Karin, Bro. Jangan sampe lepas,” teriak Helena sebelum tiba-tiba berbelok ke arah kiri dan menembus pagar pembatas jalan, membawa mobil masuk ke dalam hutan.

Karin hanya bisa pasrah dan berdoa. Tubuhnya sudah cukup lelah, ditambah sepertinya ada luka di tubuhnya dari keributan tadi. Tangan Dimas terus melindunginya dari benturan walaupun lelaki itu terlihat menahan sakit di pahanya. Sungguh, situasi yang sulit.

“Kita dorong mobilnya di sini,” tiba-tiba Helena memarkirkan mobilnya dan mengambil handphone yang tersimpan di kantongnya, “Mereka butuh waktu buat cari kita. Gue chat Tere, bilang kalo kita masuk hutan deket pintu tol.”

“Lo bilang handphone kita ada kemungkinan disadap?” kata Dimas sembari membantu Karin keluar dari mobil

“Justru, biar mereka juga tau. Lebih cepat ditemukan, lebih baik. Karena bakalan gabisa gerak mereka.”

Karin terdiam, bodyguard milik Angkasa dan Amaris benar-benar sudah menyiapkan banyak hal termasuk cara kabur dari sini.

“Karin diem di sini ya, kita siapin dulu,” kata Helena lembut, “Ntar hape kita, kita tinggal di sini semua.”

Karin bisa melihat Dimas mencari batu besar untuk menahan ban mobil, sebelum mengambil dua tas besar dari bagasi. Helena juga mengambil tas pinggang dari dashboard dan kotak p3k yang tadi dia keluarkan.

“Jadi kita bakalan jalan ke Utara,” Helena menunjukkan kompas yang dia pegang, “Mobil ini bakalan kita jatuhkan ke jurang beserta hape kita. Satu-satunya yang kita bawa hanyalah suar, karena radio kita bahkan sudah dibajak.”

“Gimana kalo mereka malah nemuin kita di tengah hutan ini?” tanya Karin khawatir

“Tenang. Kita semua uda bersumpah buat ngelindungin kamu,” kata Helena, “Kita bakalan cari jalan.”

“Pake jaket ini dulu,” Dimas mengulurkan jaket mantel berwarna hitam.

“Kita jalan kaki?” Karin kembali bertanya ketika semuanya terlihat sudah siap bergerak

“Iya. Kalo kamu capek, aku gendong gapapa,” Dimas mengacungkan jempolnya, tentu saja membuat Karin bingung. Kakinya terluka parah tapi dia masih bisa bergerak bebas.

“Ini gue lepas nih ya,” Helena menunjuk batu yang menahan mobil mereka. Dengan hitungan 3, mobil mulai bergerak ke bawah.

“Ayo kita gerak, mereka bakalan dateng dari Barat. Sesegera mungkin sebelum matahari terbit, kita udah di pelabuhan,” kata Dimas.

Di pekatnya malam, mereka bertiga berjalan ke arah Utara. Membiarkan mobil yang mereka tumpangi perlahan turun ke jurang dan meledak. Membuat penanda di tengah kebingungan kelompok yang sedang mencari mereka.

Willie terbangun di sekitar jam 11 malam, matanya tak sengaja melirik jam digital di nakasnya. Samar dia teringat sebelum tidur, dia sudah makan dan minum obat.

“Eh?”

Willie terkesiap, dia tidak sendirian di kamar ini. Bukan Yolanda maupun Rendi yang menemaninya sejak semalam. Tapi Karin.

Wanita kesayangannya itu tidur di sampingnya dengan tangan yang ditekuk ke bawah kepalanya. Pipinya terlihat gembul, lucu bagi Willie. Tanpa sadar, dia menggerakkan tangannya dan mengelus rambut kasihnya itu.

“Aku lagi gamau ngomong sama kamu,” suara pelan itu mengejutkan Willie, apalagi Karin memandangnya dengan penuh amarah, “Aku ga suka kamu kaya gini.”

“Maaf,” bisik Willie pelan

“Hm. Aku capek, ngantuk,” Karin mengambil ruling yang tertendang dan kembali memejamkan matanya, meninggalkan Willie yang hanya bisa menghela nafas panjang.

Semoga besok pagi dia bisa memberikan penjelasan untuk Karin.

****

Willie kembali terbangun pada pukul 8 pagi, dengan bau familiar menyapa hidungnya. Karin sudah tidak ada di sampingnya, tentu dia menebak bahwa orang yang memasak adalah Karin.

Perlahan, sembari menahan sakit di pipi dan sudut bibirnya, Willie beranjak dari tempat tidur dan menuju ke tempat harum itu berasal.

Benar saja, sosok belakang Karin yang menawan, rambutnya dicepol ke atas, kaos lengan panjangnya digulung sampai siku, serta celana pendek yang tidak bisa menutupi kaki jenjangnya, gambaran sempurna bagi netra Willie. Gambaran bahwa dirinya pasti akan bahagia memiliki istri secantik Karin.

“Duduk,” perintah Karin sebelum Willie melangkah lebih jauh

“Iya,” tentu Willie tidak punya pilihan.

Mendengar suara lemas dari kasihnya, Karin memutuskan untuk tidak lagi memperpanjang silent treatmentnya

“Aku kemarin nanya Bik Nimas, apa makanan favorit kamu kalo lagi sakit,” Karin mematikan kompornya, “Katanya soto ayam bening, pake kering kentang.”

Mendengar nama makanan favoritnya disebut, Willie menegakkan kepalanya. Pantas saja aromanya sangat familiar.

“Makasi, Sayang,” gumam Willie ketika Karin mulai menyajikan sarapannya. Visual ayam goreng suwir, toge, bihun dan kering kentang di atas nasi hangat, membuat Willie hampir tidak bisa menahan air liurnya.

“Makan yang banyak, abis itu minum obat,” kata Karin sambil duduk di sebelah Willie dan mulai menyantap soto ayam miliknya.

Mereka berdua menyantap sarapan dalam diam. Tapi sesekali Karin mencuri pandang ke samping, melihat wajah Willie yang sangat bahagia ketika menyuapkan soto ke dalam mulutnya. Perasaan hangat ini yang selalu Karin suka, Willie terlihat sangat tulus kepadanya.

“Aku minta maaf ga langsung ngomong sama kamu,” kata Willie setelah Karin kembali duduk di sampingnya, “Aku masih marah banget dan milih buat tidur. Ga nyangka lama banget tidurnya.”

“Sakit ya?” Karin menelusuri bekas lebam di pipi dan sudut bibir Willie. Sudah mulai berganti warna menjadi ungu.

“Udah ga terlalu. Uda ada kamu.”

“Gombal,” Karin tertawa sebelum menggenggam tangan Willie

“Kak Yola uda cerita?”

“Dikit.”

“Aku gabisa tahan kalo ada rencana yang bawa-bawa kamu, Sayang. Mereka mau bikin kamu juga kena,” Willie menghela nafas.

“Makasi ya, Sayang. Aku seneng kamu ngebelain aku segitunya. Tapi aku ga suka kamu luka-luka kaya gini,” Karin kembali mengusap pelan wajah Willie, “Cakepnya berkurang, Sayang.”

“Tapi kamu masih sayang aku kan?”

“Masih dong,” Karin tergelak sebelum merasakan handphonenya bergetar.

“Harus ke kantor ya?” tanya Willie

“Iya. Tadi emang aku izin telat ada urusan gitu. Soalnya kan aku sekarang yang leading, Sayang.”

“Perasaanku ga enak, kamu gausah masuk kantor aja hari ini.”

“Gabisa gitu dong, Sayang,” Karin berdiri dan mengecup puncak kepala Willie, “Nanti aku pulang langsung ke kamu kok.”

“Janji?”

“Janji,” Karin tertawa ketika Willie tiba-tiba menciumnya, pelan saja karena tiba-tiba dia mengaduh, “Sembuh dulu makanya.”

Rapat board kali ini berjalan cukup menegangkan. Sedari awal, Tere dan beberapa orang terus mempertanyakan laporan audit bulanan yang diterbitkan. Bukti cuci uang dan penggelapan sudah di tangan, sebenarnya tidak ada alasan lagi untuk berkelit.

Tapi Anggun, sebagai salah satu komisaris tentunya tidak akan membiarkan anak kesayangannya diseret ke polisi.

“Baiklah,” Andy Angkasa, komisaris utama Angkasa Group memukul palu di depannya, agar forum tidak lagi berdebat, “Kita tentukan dengan voting, apabila tidak ada yang berhasil disepakati dalam musyawarah.”

Andy menoleh ke kanan untuk memberikan perintah kepada Tere untuk melaksanakan voting.

“Silakan semuanya mengambil kertas voting yang disediakan. Mosi kali ini adalah mempertahankan atau mengganti CEO dari Bintang Agency,” Tere meminta Samuel membagikan kertas voting dan mengarahkan pada kotak, “Kepada semua anggota dewan komisaris dan direksi, dipersilakan.”

Proses voting sangat cepat karena memang Anggun sendiri tidak sempat melakukan lobi ketika isu pengajuan mosi untuk menurunkan anaknya dari posisi CEO.

Anggun lebih kaget lagi ketika Tere memunculkan mosi pemilihan CEO baru. Walaupun Anggun menolak, tapi dia kalah suara; dan tentunya pemilihan dimenangkan mutlak oleh Karin.

***

“Kurang ajar kamu ya!” Anggun tiba-tiba merangsek masuk sebelum Cakra dan Martha, sekretaris Karin, sempat menghentikannya.

“Kurang ajar seperti apa, Bu?” Karin bertanya dengan nada yang cukup pelan.

“Lacur!” Anggun menampar pipi kiri Karin dengan sangat keras, membuat Cakra dan Martha langsung berdiri di sebelah Karin. Martha bahkan langsung mengecek kondisi bosnya itu.

Belum sempat Karin membalas, Tere sudah berdiri di depan pintu ruangan Karin

“Anda akan dituntut jika melakukan kekerasan fisik kepada orang lain,” Tere masuk ke dalam ruangan, mendekati Karin dan memeriksa bekas tamparan yang mulai memerah, “Ini dikompres dulu ya,” kata Tere kepada Martha

“Baik, Bu.”

“Ngapain peduli? Dia bukan adik iparmu lagi?” ketus Anggun

“Terus kenapa?” Tere balik menantang, “Dia sekarang adalah salah satu CEO dari perusahaan yang dimiliki oleh Angkasa Group. Tentu dia adalah aset penting. Bukan sampah seperti orang yang cuma bisa buang-buang uang perusahaan. Kriminal tempatnya di penjara, bukan di kantor.”

Setelah mengatakan itu, Tere meminta Anggun dan sekretarisnya pergi. Meninggalkan dia, Karin dan dua sektetarisnya.

“Dia udah tau?” Tere menunjuk Martha yang barusan kembali membawa kantong es untuk kompres, membuat gadis yang ditunjuk sedikit kebingungan

“Belum, Bu Tere,” jawab Cakra santai, tetap berada di posisi berjaga, “Saya minta maaf tidak bisa menahan Bu Anggun menyerang secara fisik kepada Bu Karin.”

“Gapapa,” Karin mengangkat tangannya, memberikan tanda bahwa dia baik-baik saja.

“Sebentar...” Martha semakin bingung

“Oke Martha. Pertama saya mengucapkan terimakasih karena sebagai sekretaris, kinerja kamu cukup bagus. Sehingga menurut saya wajar Karin memilihmu. Kedua, Karin bos kamu sebenarnya hanya cerai secara hukum,” kata Tere cepat, membuat Martha membulatkan kedua bola matanya bingung.

“Lalu yang ketiga,” Tere menunjuk Cakra, “Dia sebenarnya bodyguard.”

“Hah tapi?”

“Karena dia sempet ambil sekolah perkantoran,” jawab Karin, “Tapi kamu sadar kan gerak geriknya?”

“Sebenernya saya pikir dia dulunya daftar polisi atau tentara gitu, trus ga keterima. Ternyata emang bodyguard,” Martha menggaruk kepalanya

“Selain kami bertiga, kamu sekarang tahu, Martha,” kata Tere, “Karena kamu akan bekerja banyak bersama Karin dan Cakra, dan tentu saja dengan Angkasa Group, maka dari itu kamu harus tahu fakta ini.”

Martha mengangguk, berusaha memahami semua fakta yang dia terima barusan.

Willie masuk ke ruangan rapat yang diminta kakaknya melalui chat barusan, sedikit bingung karena tidak menggunakan ruang rapat biasanya. Setelah masuk, barulah dia mengetahui kenapa Tere menggunakan ruang rapat smoking room yang biasanya hanya digunakan dia menumpang merokok.

Di ruangan ada Jasmine dan Kenneth, kakak ipar Tere yang merupakan kakak pertama dari Jessica.

“Lama ga ketemu ya Will,” Kenneth berdiri dan memeluk Willie, “Nih aku bawa cerutu Kuba.”

“Mantep banget Kak, makasi ya,” Willie tersenyum lebar sebelum duduk di sebelah Jasmine yang barusan menghebuskan asap dari pod kecil yang selalu dikalungkan di lehernya.

“Ni ga ngajak Jess karena mau rokokan terus ya?” gurau Jasmine

“Tadi uda aku telepon dia tapi mau ada meeting abis ini trus sekalian aja deh. Kalo gada Jess kan bisa rokokan terus ngebul gini,” kelakar Kenneth

“Galak emang Kak Jess,” tambah Willie, “Kak Tere tuh setia banget.”

“Andalan mah gue,” Tere menepuk dadanya sebelum menaruh cerutu Kuba yang barusan dia hisap, “Jadi gimana nih rencananya?”

“Oiya tadi Jess titip pesan ke gue, uda gue catet bentar,” Kenneth mengeluarkan tabletnya, “Soal pengumuman perceraian emang paling pas besok lusa, jadi besok kita uda ngehubungi medianya.”

“Kita bisa briefing besok berarti,” Tere mengambil air putih botolan di depannya, “Masih cukup waktu.”

“Aman kamu?” Jasmine bertanya pada sepupunya yang paling muda itu

“Dibuat aman,” Willie terkekeh sambil meletakkan rokoknya di asbak, “Yang penting aku sih masih bisa ketemu Karin.”

“Emang bucinnya bener-bener,” Tere memutar bola matanya malas.

“Minggu depan aku ngajuin rapat board buat penggantian CEOnya Bintang Agency. Tetep ada di bawah kita tapi CEOnya Karin,” Jasmine menjelaskan, “Nanti di situ kita buat Karin jadi CEOnya.”

“Terus waktu RUPS dua minggu lagi, kita bisa batalkan keinginan Anggun buat jadi Komisaris Tunggal,” Tere menepuk tangannya puas.

“Emang itu yang bisa kita lakuin,” Kenneth menyesap cerutunya, “Aku sama Jess uda coba cari tau soal kematian orang tua kalian, selalu mentok di bukti yang ada di kepolisian. Selalu ilang, heran.”

“Kalo emang kita gabisa nemuin bukti soal Anggun terlibat di kematian kedua orang tuaku sekarang, biarin aja nanti bakalan ketauan sendiri,” kata Willie yang mendapat persetujuan yang lain, “Yang penting kita fokus pada nyelametin Angkasa Group aja dari dia.”

“Ahh...” Karin menghela nafasnya sembari menyandarkan kepalanya lelah ke pundak Willie. Yang di bawah malah tertawa, puas dengan tindakannya barusan. Apa yang mereka lakukan memang aneh; having sex di mobil Willie setelah mengurus berkas perceraian. Dan mereka melakukannya di parkiran kantor yang mengurus perceraian tersebut.

“Kita tu baru ngurus perceraian tauk,” kata Karin sembari menyelipkan poni Willie ke belakang telinganya

“Ya biarin?” Willie dengan sengaja mengangkat pinggulnya, membuat Karin yang berada di atasnya mendesah

“Willie jangan digerakin lagi, masih sakit.”

“Oops maaf,” Willie terkekeh, “Kayaknya jadi fetish kita ga sih? Bagian bawahnya lepas semua tapi baju atasan kita lengkap.”

“Itu mah karena nafsumu gabisa ditahan aja.”

“Siapa suruh godain tadi di atas. Untung ga aku tarik ke gudang gitu.”

“Dasar nafsuan,” Karin kembali memeluk leher Winza, “Tapi aku terlanjur sayang.”

“Aku juga,” Willie mencium pipi Karin sebelum membisikkan bahwa mereka harus segera membersihkan diri sebelum kembali ke kantor masing-masing

Keira melirik Winza yang menyetir di sampingnya. Sejak semalam, Keira masih mendiamkan istrinya itu. Sebenarnya gestur bersalah sudah dilihatkan oleh Winza, tapi Keira selalu merasa Winza mengulangi apa yang dia lupakan, terus-menerus.

Tara pernah menyebutkan bahwa dia dan Winza sedikit punya kecenderungan sama, sering lupa dengan apa yang disampaikan pasangannya.

Tapi tetap saja, terkadang Keira ingin sekali-kali diingat mengenai kesukaannya.

“Aku minta maaf,” kata Winza, matanya tetap fokus ke depan. Pipinya menggembung, pertanda bahwa dia memang merasa bersalah.

Keira menghela nafas panjang, “Menepi dulu.”

Winza menaikkan alisnya bingung, masih tetap fokus menyetir

“Sayang, menepi dulu,” Keira mengulangi perkataannya, membuat Winza menyalakan sen kiri dan menepi di bahu jalan.

Keira mengatup kedua pipi istrinya, perlahan menelusuri wajah Winza dengan jempolnya. Perlahan dari ujung alis, turun ke tulang pipi, sampai ke rahangnya yang tegas. Keira melakukan itu tiga kali sampai Winza mulai tersenyum, sepertinya dia mulai rileks.

“Aku yang kekanakan, maaf,” kata Keira menarik tangannya, tapi Winza menangkapnya terlebih dahulu

“Enggak, aku pasti ngelupain sesuatu yang kamu suka,” Winza mengangkat kedua tangan Keira yang digenggamnya, mengecup pelan punggung tangan istrinya itu, “Aku berusaha nginget-nginget tapi aku beneran gatau apa yang aku lupain, Sayangku.”

Keira tersenyum, “Pulang aja yuk, ga enak Bik Rosa kemaleman. Arash pasti nyariin juga.”

Winza mengangguk, kembali menjalankan mobilnya walaupun masih bingung.

****

Benar saja, begitu sampai apartemen mereka, Arash sudah minta dipeluk oleh Keira. Sudah mengantuk katanya, alhasil Keira mandi dengan cepat dan menidurkan putra tunggalnya itu.

Membuat Winza hanya menunggu dalam diam di kamar tidur utama.

Setengah jam kemudian, Keira masuk ke kamar, mendapati Winza hanya duduk terdiam sembari menyandarkan punggungnya di headboard. Keira berjalan mendekat ke kasur dan duduk di pangkuan Winza; membuat Winza sedikit kaget namun tetap memeluk pinggang istrinya itu. Keira memeluk leher Winza dan menyandarkan kepalanya di bahu tegap Winza.

Keheningan itu bertahan sekitar 10 menit sebelum Keira membuka mulutnya.

“Kamu inget ga aku suka banget dicium di bagian mana?”

“Dada?” jawab Winza polos sambil mengangkat wajahnya, membuat Keira dengan gemas mencubit kedua pipi Winza

“Males ah.”

“OHHHH, kening ya?” Winza berusaha menjawab dengan pelan, takut jika salah lagi Keira benar-benar akan menghukumnya.

“Kenapa susah nginget banget sih,” Keira menyentil hiding mancung Winza gemas

“Maaf,” Winza memeluk Keira, membenamkan wajahnya di dada istrinya itu

“Yaudah dimaafin,” Keira melepaskan pelukan keduanya, “Tapi malem ini kamu jadi pillow princess ya?”

“Eh?” mata Winza membulat. Istrinya hampir selalu menjadi submisif ketika mereka di ranjang. Kali ini meminta hal yang sangat berkebalikan

“Kenapa? Gamau ya?”

“Mau mau,” Winza dengan cepat membalas

Keira tersenyum miring sebelum turun dari kasur dan berjalan ke laci di nakas mereka. Mengambil dua barang yang membuat Winza menelan ludahnya kasar.

“Matanya ditutup dan tangannya diiket ya, Sayang,” kata Keira sambil kembali duduk di kasur

Winza mengangguk pasrah, akan menjadi malam yang panjang untuk mereka berdua.

Keira selalu merasa senang jika Winza mengecup pelan keningnya. Rasanya perutnya seperti dipenuhi kupu-kupu. Rasanya seperti kembali ke masa mereka masih baru mengenal. Kecupan di kening, tanpa adanya sexual desire, murni hanya ingin menunjukkan kasih sayang, selalu menjadi favorit Keira.

Tapi Keira lupa, Winza terkadang tidak paham dengan hal tersebut.

***

“Sayang? Kok belum tidur?” Winza meletakkan handuknya di keranjang cucian. Malam ini dirinya pulang sedikit larut karena ada rapat mendadak.

“Nungguin kamu,” jawab Keira singkat. Kantuk jelas membalut suaranya

Winza tersenyum. Dirinya merebahkan tubuh lelahnya di samping istrinya. Pelukan hangat dia berikan, dengan harapan istrinya juga ikut terlelap bersamanya.

“Kamu ga lupa sesuatu?” tanya Keira, membuat Winza yang hampir terlelap mendadak terbangun.

“Eh?” Winza gelagapan. Mengingat apakah dia meninggalkan kantong kecil berisi charger yang sering membuat Keira mengomel. Tapi seingatnya, kantong itu sudah ada di tas kerjanya. Atau, apakah dia lupa tanggal peringatan sesuatu? Sepertinya tidak, Winza sangat mudah menghapal tanggal dan angka.

Keira menyadari bahwa Winza memang tidak paham, memilih untuk memutar tubuhnya dan memberikan punggung pada Winza.

“Sayang?” panggil Winza pelan, “Kenapa?”

“Gapapa,” respons Keira singkat

Winza yang masih bingung hanya bisa menempelkan tubuhnya ke punggung Keira, memeluknya dari belakang dan membisikkan kata cinta sebelum terlelap terlebih dahulu, mendahului Keira. 

“Jadi strateginya, setelah ini Karin dan beberapa karyawan akan filling formal complaint ke Angkasa Group soal Henri dan kinerjanya,” Jasmine menjelaskan, kelima anggota keluarga Angkasa sedang melakukan rapat kecil di ruang tamu rumah Willie, bersama dengan Yolanda, Dimas dan Helena.

“Setelah komplainnya masuk, bakalan dirapatin karena jumlahnya besar dan Bintang Agensi lagi jadi sorotan di board, karena performanya yang turun,” lanjut Jasmine, “Lalu kita bisa buang Henri dari agensi.”

“Ide yang bagus, Kak,” Tere mengacungkan jempolnya kepada sepupunya itu, “Lalu siapa yang bakalan pegang agensi?”

“Karin dong,” jawab Jessica, “Walaupun tetep berada di bawah Angkasa Group, Karin yang berhak dapet itu.”

“Biar Karin bisa jadi CEO lagi, harus gapunya hubungan dengan Angkasa. Soalnya uda jadi bahasan board kalo jabatan ini cuma main-main. Jadinya cerai itu pilihannya,” sambung Jasmine, “Kalian siap?”

“Cerainya toh cuma di mata hukum,” sahut Willie santai, lengannya masih melingkari bahu Karin dan sesekali mengusapnya lembut, “Aslinya kami tetep bareng.”

“Buset banget deh,” Yola memutar bola matanya, heran dengan kelakukan majikannya itu.

“Harus hati-hati, Willie. Gabisa sembarangan lo nyamperin Karin,” kata Tere, “Males gue ngurusin media lagi.”

“Gampang,” Willie menjetikkan jarinya, “Bisa diatur.”

“Trus nantinya, bulan depan kan Rapat Umum Pemegang Saham di Angkasa Group, sebelum itu, aku bakalan bikin ada rapat board soal pemecatan Henri. Sambil proses perceraian Willie dan Karin,” kata Jasmine, “Dengan gitu, Karin bisa punya hak pilih atas saham yang dia pegang.”

“Tapi kan aku uda bukan istrinya Willie secara hukum, emang masih bisa ya, Kak?” tanya Karin

“Masih. Karena aku daftarinnya atas nama perusahaan kamu, bukan perorangan namamu,” jawab Tere, “Jadi, jika nanti kamu CEOnya, bisa kamu yang milih.”

“Tapi untuk jaga-jaga, kamu juga bikin pernyataan soal hak voting kamu di RUPS,” tambah Jessica

“Baik, Kak.”

“Oh iya, untuk tempat tinggalnya, kamu tinggal aja di rumah ini,” Jessica mengangsurkan kunci rumah, “Ini rumah atas namaku, dulu aku beli buat investasi aja. Konsep perumahannya satu pintu, jadi bakalan lebih aman. Helena atau nanti dari Amaris bakalan stay juga di rumah itu buat jaga-jaga.”

“Gausah, Kak Jess. Aku uda kepikiran buat cari apartment yang lebih kecil kok,” tolak Karin halus

“Sayang, terima aja ya? Aku sama keluargaku banyak ngerepotin kamu. Apalagi kalo kamu di rumah ini, aku lebih mudah buat nengokin kamu,” pinta Willie

“Lo aja kali yang ngerepotin,” dengus Tere yang mendapatkan tepukan di lengannya dari istrinya. Sedangkan Willie hanya menjulurkan lidahnya, mengejek sang kakak yang masih ga habis pikir dengan perubahan sikapnya.

“Ngurus Willie emang repot ya, versi ga waras dan waras tetep aja,” Jasmine menggelengkan kepalanya, kelakuan Willie selalu di luar nalar baginya; tapi sepupu paling muda dari keluarga Angkasa itu memang tiada duanya.

“Udah ya ini? Aku ngantuk, mau tidur lah,” kata Willie sambil menarik tangan Karin agar berdiri bersamanya

“Lah, tidur sendiri sana. Masih mau ngobrol sama Karin kita,” kata Tere

“Besok aja. Aku mau tidur tenang sebelum ntar susah ketemu sama istriku yang cantik ini,” sahut Willie tidak peduli, membuat Karin harus menunduk kepada tiga orang yang lebih tua di hadapannya sebelum mengikuti Willie ke kamar.

“Yah, asal dia seneng aja lah,” kata Tara pada Jasmine dan Jessica ketika dua orang itu menghilang dari pandangan.