Karin melirik arloji di tangannya, masih menunjukkan pukul 6 sore. Rapat hari ini berjalan lancar, terutama para pegawainya jauh lebih hormat dibanding ketika Henri menjadi CEO. Karin yakin dalam waktu dekat, agensinya akan bisa kembali bersinar dan memberikan keuntungan bagi Angkasa Group.
Masih berada dalam perasaan yang berbunga, tiba-tiba tubuh Karin ditarik ke samping dan bersandar ke pilar yang terletak di parkiran mobil. Cakra menutup mulut Karin dan memintanya untuk diam.
“Arah jam 7, di mobilmu. Ada tiga orang yang nungguin,” bisik Cakra, membuat Karin hanya melirik sedikit.
“Siapa mereka?”
“Kalo liat dari bajunya, sepertinya orangnya Bu Anggun. Aku uda hubungin yang lain buat ke sini karena aku curiga ada rencana jahat yang...”
“Cakra awas!” belum sempat Cakra menyelesaikan ucapannya, ayunan tongkat hampir mengenai kepalanya. Dengan cepat pula, dia menarik tubuh Karin agar terhindar dari upaya pemukulan itu.
“Sial mereka banyak banget,” Cakra mendengus sebelum menendang salah satu dari mereka. Karena sibuk bertahan dan melindungi Karin, Cakra harus mendapati banyak hantaman ke tubuhnya.
“Minggir semuanya!” teriak Rendi yang baru datang bersama Reno dan Yolanda. Ketiganya segera membantu Cakra untuk menghajar kembali bodyguard dari Anggun yang ternyata jumlahnya cukup banyak
“Kamu gapapa?” tanya Yola sembari memeriksa tubuh Karin
“Tadi kebentur aja, Kak,” Karin menunjukkan pergelangan tangan kirinya
“Stay di belakangku ya?” kata Yola begitu melihat Dimas dan Helena datang.
Baku hantam terus berjalan, dan mereka mulai sadar bahwa gerombolan bodyguard itu mengincar Karin. Helena membisikkan sesuatu ke Yolanda untuk menahan serangan, karena dia akan mengambil mobil. Strategi yang sudah mereka setujui bersama adalah membawa Karin sejauh mungkin dari tempat kejadian. Posisi sekarang menunjukkan bahwa Karin tidak sepenuhnya lepas dari Angkasa, sehingga jika Karin jatuh ke tangan Anggun, maka semuanya akan berantakan.
Kelima bodyguard itu bergantian menjaga Karin dengan situasi yang sangat tidak menguntungkan, lima banding dua puluh. Berkali-kali Karin ikut tersungkur karena hantaman yang diterima oleh lima bodyguardnya.
Raungan suara Toyota Vios yang digunakan Helena terdengar, membuat semua pergerakan terhenti. Yang tidak mereka duga adalah drift yang dilakukan Helena di dekat kerumunan sebelum membuka kunci pintu mobilnya
“Mas Dimas, bawa Karin mas!” teriak Yolanda ketika menyadari posisi terdekat dari mobil adalah Dimas. Melalui gerakan cepat, Dimas menggendong Karin dengan tangan kirinya, membuka pintu belakang sebelah kiri dan setengah melempar Karin ke mobil. Hal ini dia lakukan karena dua orang lain sudah mengepungnya. Satu orang yang berada di sebelah kiri depanya langsung dia jepitkan ke pintu mobil dengan keras, membuatnya berteriak kesakitan. Sedangkan yang berlari di belakangnya berhasil dia tendang bagian kepalanya sampai pingsan.
“Cepet Dim!” teriak Helena melihat kerumunan mulai mengarah padanya, walaupun berusaha ditahan oleh yang lain. Dimas kembali membuka pintu yang barusan dia gunakan untuk menjepit orang, setengah melompat dan membanting pintunya. Dimas sedetik lebih cepat untuk mengunci pintu sebelum salah seorang dari mereka datang dan memukul kaca mobil, mengakibatkan retakan yang cukup besar dan melukai pelipis Dimas.
Helena langsung menginjak pedal gas begitu mendengar Dimas mengunci pintu, meninggalkan parkiran yang penuh keributan.
“Gue udah kontak Tere,” kata Helena, sembari menyetir dengan fokus. Jika diperhatikan, Vios yang dikendarai sudah cukup mencurigakan dengan kaca samping pecah dan beberapa bagian depan penyok karena dipukuli.
“Bagus. Anda gapapa, Karin?” tanya Dimas kepada Karin yang masih terlihat takut, “Maaf tadi saya terpaksa ngelempar kamu ke dalem.”
“Iya gapapa, kayaknya kamu lebih parah lukanya,” Karin memperhatikan Dimas yang sudah berdarah-darah. Terlebih, ternyata paha kanannya terus mengucurkan darah.
“Tahan dulu pendaharannya, Bro,” teriak Helena sambil membuka dashboard dan mengambil kotak p3k, “Karin, tolong ya.”
Karin menerima kotak dan membukanya, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menahan pendarahannya. Beruntung ada perban cukup banyak di dalamnya.
“Anjir, kita dikejar,” Helena melirik spion tengah, dua Toyota Vios silver sedang menempelnya dengan jarak yang cukup dekat.
“Astaga!!!” Karin berteriak ketika Helena melakukan maneuver putar balik. Dimas memegangi tubuh Karin agar tidak terlempar, sembari meminta maaf karena harus memegangnya.
“Kita bakalan terus diikutin. Lo bawa tas tempur item gue ga?” tanya Dimas
“Ada di belakang. Lengkap ga gue kurangin apapun. Tas perlengkapan gue juga di situ,” jawab Helena tanpa mengalihkan perhatiannya
“Kita harus tinggalin mobil ini,” kata Dimas, “Mumpung udah gelap.”
“Sebelum masuk tol ada kawasan hutan dan jurang, gue arah sana. Lo tau kan kita harus kemana?”
“Kepulauan Seribu. Gue tau jalan pintasnya,” jawab Dimas tegas, “Sekarang, lo banting ni mobil masuk hutan.”
“Pegangin Karin, Bro. Jangan sampe lepas,” teriak Helena sebelum tiba-tiba berbelok ke arah kiri dan menembus pagar pembatas jalan, membawa mobil masuk ke dalam hutan.
Karin hanya bisa pasrah dan berdoa. Tubuhnya sudah cukup lelah, ditambah sepertinya ada luka di tubuhnya dari keributan tadi. Tangan Dimas terus melindunginya dari benturan walaupun lelaki itu terlihat menahan sakit di pahanya. Sungguh, situasi yang sulit.
“Kita dorong mobilnya di sini,” tiba-tiba Helena memarkirkan mobilnya dan mengambil handphone yang tersimpan di kantongnya, “Mereka butuh waktu buat cari kita. Gue chat Tere, bilang kalo kita masuk hutan deket pintu tol.”
“Lo bilang handphone kita ada kemungkinan disadap?” kata Dimas sembari membantu Karin keluar dari mobil
“Justru, biar mereka juga tau. Lebih cepat ditemukan, lebih baik. Karena bakalan gabisa gerak mereka.”
Karin terdiam, bodyguard milik Angkasa dan Amaris benar-benar sudah menyiapkan banyak hal termasuk cara kabur dari sini.
“Karin diem di sini ya, kita siapin dulu,” kata Helena lembut, “Ntar hape kita, kita tinggal di sini semua.”
Karin bisa melihat Dimas mencari batu besar untuk menahan ban mobil, sebelum mengambil dua tas besar dari bagasi. Helena juga mengambil tas pinggang dari dashboard dan kotak p3k yang tadi dia keluarkan.
“Jadi kita bakalan jalan ke Utara,” Helena menunjukkan kompas yang dia pegang, “Mobil ini bakalan kita jatuhkan ke jurang beserta hape kita. Satu-satunya yang kita bawa hanyalah suar, karena radio kita bahkan sudah dibajak.”
“Gimana kalo mereka malah nemuin kita di tengah hutan ini?” tanya Karin khawatir
“Tenang. Kita semua uda bersumpah buat ngelindungin kamu,” kata Helena, “Kita bakalan cari jalan.”
“Pake jaket ini dulu,” Dimas mengulurkan jaket mantel berwarna hitam.
“Kita jalan kaki?” Karin kembali bertanya ketika semuanya terlihat sudah siap bergerak
“Iya. Kalo kamu capek, aku gendong gapapa,” Dimas mengacungkan jempolnya, tentu saja membuat Karin bingung. Kakinya terluka parah tapi dia masih bisa bergerak bebas.
“Ini gue lepas nih ya,” Helena menunjuk batu yang menahan mobil mereka. Dengan hitungan 3, mobil mulai bergerak ke bawah.
“Ayo kita gerak, mereka bakalan dateng dari Barat. Sesegera mungkin sebelum matahari terbit, kita udah di pelabuhan,” kata Dimas.
Di pekatnya malam, mereka bertiga berjalan ke arah Utara. Membiarkan mobil yang mereka tumpangi perlahan turun ke jurang dan meledak. Membuat penanda di tengah kebingungan kelompok yang sedang mencari mereka.