wqwqwq12

cw // dirty words, g!p

Willie masih memandang lurus pada wanita yang melingkarkan lengannya di lehernya. Kedua lengannya sendiri cukup nyaman berada di pinggang Karin.

“Buktiin gimana?” suara Willie lirih, lebih terdengar seperti bisikan

“Ya gatau?” Karin menaikkan alisnya, seakan menggoda Willie yang terdengar ragu

Karin mulai merasakan deru nafas Willie; wanita itu mulai memangkas jarak diantara keduanya. Detik pun berlalu, Karin merasakan sentuhan hangat di bibirnya. Perlahan, Willie menggerakan bibirnya, melumat milik Karin sebelum menggigit bibir bawahnya, meminta wanita yang lebih tua sedikit membuka mulutnya. Dengan segera, Willie memasukkan lidahnya dan membuat Karin melenguh kasar. Walaupun demikian, dia meremas rambut Willie, memberikan tanda bahwa dirinya juga menginginkan ciuman tersebut.

Pagutan keduanya terlepas karena membutuhkan oksigen. Karin bisa melihat mata Willie yang menggelap, jelas wanita itu ingin “lebih”

Sebaliknya, Willie sejatinya terkesima dengan kecantikan Karin. Bibir yang bengkak, wajah memerah dan rambut acak-acakan. Pesona yang sangat menggairahkan.

“You are a good kisser, aren't you?” bisik Karin ketika kedua lengan Willie mengelus pinggangnya.

“Apa iya?” Willie tersenyum miring sebelum mendorong istrinya itu sampai menabrak tembok di belakangnya. Willie meraup bibir Karin dengan rakus, melumat dengan gerakan yang sangat kasar sembari menggesekkan bagian bawahnya kepada Karin. Penisnya sudah mengeras dan membesar hanya dengan mencium istrinya itu.

“Something is getting bigger and harder below,” goda Karin di tengah ciuman panas mereka. Tangannya bergerak ke bawah, membelai gundukan keras yang terbalut celana pendek itu

“Karin...” Willie mendesah dan menyandarkan kepala ke bahu Karin. Helaan nafas terdengar sangat berat darinya.

“Udah ga tahan ya?” Karin malah menggodanya lagi

“This moment always came to my mind while getting boner, Karin,” kata Willie lirih, lebih terdengar seperti bisikan.

“Kenapa?”

“Aku gabisa sentuh kamu. Aku cuma bisa bayangin kamu.”

“Kamu bisa cari cewek lain seperti biasanya, kan?” tanya Karin sembari menggerakkan telunjuknya di punggung Willie, membuat pola acak.

“Aku gamau lagi. Karena aku pengen kamu,” Willie mengangkat kepalanya, memandang lurus ke arah Karin, “Aku gapengen siapapun, aku cuma pengen kamu.”

Dengan satu gerakan, Karin menggandeng tangan Willie untuk masuk ke kamar.

Tentu, dia juga menginginkan hal yang sama.

(if you find it would be uncomfortable of reading w with p, consider to skip it)

first try https://privatter.net/p/11420492

****

Senyuman masih terpasang di wajah Karin. Malam yang panas; entah 3-4 ronde yang sudah dia lakukan bersama dengan Willie. Oh apalagi saat dia yang berada di atas, melelahkan tapi sungguh membuatnya ingin melakukannha lagi.

Wanita itu memeluknya dari belakang, mendekapnya erat seolah tidak ingin lepas. Namun Karin harus segera bangun karena dia harus bekerja. Pesan singkat dari Henri kemarin malam membuatnya tersadar bahwa dia barusan memecat sekretarisnya secara lisan dan disaksikan oleh banyak orang.

“Kenapa bangun sih?” suara kantuk Willie mengagetkan Karin yang sedang menyiapkan roti panggang dan kopi di meja makan milik Willie

“Aku harus kerja, dan gabawa baju ganti,” jawab Karin singkat, “Mas Dimas udah otewe jemput.”

Willie merengut, merasa bahwa Karin akan meninggalkannya.

“Kita punya banyak hal yang bakalan dibicarain, Willie,” Karin melangkah mendekat dan mengecup singkat bibir istrinya itu

“Kamu ga akan pergi kan?”

Karin hanya tersenyum kecil, tidak menjawab pertanyaan retoris tersebut.

“Walaupun cerai secara hukum, aku bakalan tetep sama kamu kok,” kata Karin singkat, menghapus keraguan di wajah Willie.

cw, tw // detailed sex, dirty words, wock, wg!p

(some of you maybe finding this uncomfortable, consider to skip this part if you won't read that.)

Karin berhenti sejenak di depan pintu, membuat Willie mengerang tidak sabar. Bisa gila dia jika disuruh menahan lagi.

“Aku gamau ngelakuin hal yang sama di tempat yang kamu biasa ngelakuin itu sama cewek-cewek random itu,” sungut Karin, bibirnya mengerucut tanda dia benar-benar sebal.

“Aku enggak pernah ngewe di kamarku, biasanya di kamar tamu. Di sofa juga gapernah kok. Beneran,” Willie mengangkat dua jadinya berbentuk “peace,” tanda dia benar-benar serius.

“Ganti semua furnitur di kamar tamu kamu,” kata Karin dingin

“Iyaa. Boleh ga sih sekarang kita masuk? Aku uda ga tahan, Karin,” rengek Willie

“Ga tahan buat apa?”

“Buat nyatu sama kamu.”

Karin hanya tersenyum sebelum kembali menarik istrinya masuk ke kamar.

Karena tarik-ulur yang cukup lama, membuat Willie sangat terburu-buru. Dengan cepat dia mendorong tubuh Karin sampai wanita itu terlentang di atas kasur.

“Someone is in hurry,” Karin berdecak, melihat Willie yang sudah siap menindih tubuhnya.

“Kamu kenapa suka godain gitu sih,” Willie merengut sebelum menindih badan Karin. Bibirnya dengan cepat melumat bibir Karin sebelum wanita di bawahnya itu kembali menggodanya.

Kecupan, lumatan dan gerakan tangan yang sangat tidak teratur menghiasi kamar tidur Willie. Dengan tidak sabar, dia melepas celana pendeknya sehingga penisnya yang sudah menegang itu terpampang nyata.

“Lepasin celanaku juga,” bisik Karin membuat Willie tidak membuang waktunya, wanita di bawahnya itu setengah telanjang sepertinya. Walaupun atasan mereka sudah sangat berantakan; tetapi bagian bawah mereka sudah terbuka.

“Gede banget,” Karin melirik ke bawah, membuat Willie tersipu malu, “Muat ga, Sayang?”

“Masa ga muat sih, Sayang?”

“Belum pernah ngerasain segede itu,” Karin menjawab jujur, “Mau ngerasain.”

Willie mengarahkan penisnya ke lubang senggama milik Karin, perlahan tapi pasti, dia mulai menyodok dan membuat wanita di bawahnya mulai bergeliat

“AH... Ah... Willie sakit....” Karin meremas sprei yang sudah kusut. Air matanya menggenang di pelupuk matanya.

“Mau setengah dulu?” Willie menghentikan aktivitasnya, tidak tega melihat wajah Karin yang kesakitan

Karin menggigit bibirnya dan menggeleng pelan, “Mau dimasukin semuanya. Mau dimentokin kamu.”

Tak ayal ucapan manja Karin itu membuat Willie sedikit blingsatan. Dengan perlahan dia kembali memasukkan batang penisnya yang sudah membesar itu semakin ke dalam, semakin membuat Karin berteriak tertahan. Setelah semuanya tertelan, dengan perlahan Willie menggerakkam lengannya untuk melingkari pinggang Karin, mengangkatnya ke atas untuk merasakan kedua kelamin mereka bersatu, sebelum dirinya melakukan gerakan naik turun, menggenjot pinggangnya dengan cepat. Karin yang di bawah hanya bisa berteriak ketika Willie menyentuh titik kenikmatannya; belum lagi suara becek yang menaikkan gairahnya. Dengan sebuah hentakan, Willie mengatakan bahwa dirinya akan keluar.

“Aku juga,” ucap Karin lemas, merasakan getaran di bagian bawahnya. Karin bisa merasakan cairan Willie memenuhi rahimnya, bersatu dengan miliknya. Bahkan saking banyaknya, Karin bisa merasakan lelehan itu mengalir di pahanya.

“Kita masih pake baju lengkap tau,” kata Karin sembari mengusap rambut Willie. Istrinya itu menyandarkan kepalanya lelah ke dada Karin. Kelamin mereka masih bersatu di bawah sana.

“Gapapa, gitu aja kamu seksi banget,” gumam Willie sebelum mengangkat kepalanya, “Aku lepasin bajunya ya?”

“Hm?”

“Aku mau ngelakuin apa yang selama ini cuma di imajinasiku.”

“Apa?” Karin mengangkat alisnya bingung

Having sex with you everywhere in this apartment. Aku pengen ngelakuin itu dari depan, dari belakang, kamu di atas, di dapur, di sofa depan tv sambil duduk, di balik pintu sambil berdiri, di manapun. Aku mau kamu.”

“Ada apa, Karin?” Yeri masuk ke ruangan Karin, sembari melirik Dimas, yang berdiri di depan ruangan Karin, “Bodyguard baru?”

“Bukan, lagi bertugas aja.”

“Aneh aja, biasanya hanya Yolanda kan?”

Karin hanya diam dan menarik kertas dari printernya

“Aku barusan dikasi bukti soal kamu,” Karin melemparkan foto yang dia cetak barusan, “Ngapain kamu harus nyari wartawan gadungan?”

“Itu aku nemuinnya abis dia berulah, Karin,” Yeri berusaha berkelit

“Aku ga bodoh, Yeri. Itu ada tanggalnya.”

Yeri terdiam

“Lalu ini, kamu ambil mapku ya? Kamu kasih ke Henri?”

Yeri hanya terkekeh, “Lalu kamu mau apa, Karin?”

Karin menahan emosinya untuk tidak menampar sekretarisnya itu

“Yang jelas, mulai besok kamu bukan sekretarisku,” kata Karin, “Silakan pergi atau tetap di sini.”

Yeri menggebrak meja dengan keras, membuat Karin sedikit terlonjak

“Silakan kalo bisa. Aku bakalan tetap ada di sini dan bikin kamu makin tersiksa,” Yeri tiba-tiba meraih dagu Karin, memaksanya untuk melihat kepadanya

Belum sempat Karin menjawab, Dimas sudah masuk ke dalam ruangan dan membanting Yeri, menguncinya di lantai. Sontak hal itu membuat beberapa pegawai mengerumuni pintu ruangan Karin yang terbuka lebar.

“Kamu tu harusnya paham Karin, yang ada di dekatmu itu aku, bukan Willie!!” teriak Yeri

“Ini bukan soal siapa yang ada di dekatku. Tapi kamu yang bodoh. Aku pikir kamu ada di pihakku, Yeri,” kata Karin tajam.

“Aku bakalan ada di pihak yang akan menjatuhkan Willie.”

“That's your choice. Mas Dimas, bawa dia keluar,” perintah Karin.

****

Dimas mengantarkan Karin ke apartment Willie. Wanita itu berpesan tidak perlu menunggunya.

Berbekal ingatan sekilas, Karin berhasil meminta satpam apartment untuk mengantarkannya ke depan unit Willie; karena seharusnya menggunakan kartu akses. Di depan pintu berwarna cokelat itu, Karin terdiam sejenak.

Apa yang mau dikatakan pada Willie?

Bahwa dia sudah menemukan versi asli Yeri yang ternyata sudah menipunya?

Bahwa dia sudah tahu bahwa Willie mencintainya?

Atau, bahwa dia paham kalau Willie sudah melanggar kontrak yang dia buat sendiri?

Semua kegusaran itu dia hapus, dengan segera memencet bel. Beberapa kali baru Willie membuka pintunya.

“Karin?” tampilan lusuh Willie mengingatkan dirinya tentang yang terjadi kemarin lusa, ketika dia melihat Willie menangis di depan kakaknya.

Karin hanya diam, dia melompat ke pelukan Willie dan membuat wanita yang lebih pendek sedikit mundur ke belakang.

“Kamu beneran cinta sama aku, Willie?” tanya Karin pelan, yang dijawab dengan pelukan erat dari yang ditanya.

“Buktiin,” tantang Karin karena Willie masih terdiam dan memeluknya erat.

Bodyguard Jessica, Dimas jauh lebih pendiam dibanding bodyguard-bodyguard yang bersinggungan dengan Karin. Maka ketika dia dijemput, pembicaraan hanya pada Bu Jessica minta saya nganter ke sini, sisanya hanya diam.

Walaupun demikian, Karin merasa sedikit tersentuh ketika Dimas mengantarkannya ke restoran Jepang, dengan ruang private yang sudah dipesan sebelumnya. Karin pernah menyampaikan pada Jessica bahwa dirinya lebih suka makanan Jepang dibanding Western, yang seringkali menjadi jamuan makan malam keluarga Angkasa.

“Hai, Karin,” sapa Jessica ketika Karin masuk ke ruangan.

“Hai, Kak Jessica, Kak Tere. Maaf nungguin.”

“Kami juga baru nyampe kok, pesen dulu aja,” Tere menyodorkan menu kepada Karin untuk memilih, “Kita makan dulu.”

Ketiganya menyampaikan pesanan dan menyantap makanannya dengan lahap. Sesekali ada obrolan mengenai kabar dan hal kecil lainnya.

Baru ketika Tere mengelap mulutnya dengan tisu setelah menyantap eskrim, Karin tahu obrolan akan menjadi serius.

“Semalem, Willie pulang ke rumah?” tanya Tere

“Enggak, kami nurunin dia di apartemennya,” jawab Karin sambil menghela nafas, “Kami bertengkar lagi.”

Jessica mengangguk paham, “Soal keluarga Antares?”

“Salah satunya,” Karin mulai menjelaskan, “Awalnya lebih ke aku mempertanyakan sikap dia ke Yeri. Aku sempet nanya kenapa dia se-gasuka itu sama Yeri sampai akhirnya ngomongin kontrak. Aku nanyain sikap dia ke aku yang seolah-olah aku ga nganggep dia istriku, padahal dalam kontraknya juga dia menuliskan bahwa kita bakalan akting aja.”

Tere dan Jessica saling berpandangan, sepertinya Willie memang sudah melakukan sesuatu yang di luar kebiasaan dia.

“Kamu... ngerasa ga kalo Willie kemungkinan ada rasa sama kamu?” Jessica bertanya dengan hati-hati

“Aku gamau berharap, Kak,” Karin menggeleng pelan, “Takutnya dia cuma mainin aku aja.”

“Bisa jadi demikian,” Tere mencomot kue yang disajilan sebagai makanan penutup, “Kami pun tidak bisa memastikan walaupun perubahannya terlihat. Dia minta tolong ke kita untuk bantuin nyelidikin Yeri dan aku yakin diawali dengan dia cemburu.”

Karin menelan mochinya dengan terburu, merasa aneh jika memang Willie cemburu terhadap Yeri.

“Tapi, selain soal sikap Willie ke kamu, ada satu hal urgent yang perlu kita bicarakan, Karin,” Tere melipat kedua tangannya dan menyandarkan punggungnya ke kursi, “Soal pergerakan Anggun.”

Karin beringsut pelan di duduknya, merasa obrolan ini pastinya cukup berat baginya.

“Yola uda cerita sedikit kan?” Tere memastikan

“Sudah, Kak. Secara garis besar,” jawab Karin

“Jadi langsung saja kalo gitu. Anggun sedang bergerak mengambil saham dari orang-orangnya, dengan cara banyak membuat kolaborasi dengan Antares. Sehingga lama-kelamaan, saham yang ada di dia cukup besar. Aku dan timku uda ngitung berapa perbandingan presentase saham yang sekiranya akan ngedukung aku dan yang ngelawan aku,” Tere mengambil map dari tasnya dan memperlihatkan beberapa file tabel.

“Di bagian sini,” Tere menunjuk tabel pertama, ada dua warna kuning dan hijau, “Perkiraan jika masing-masing anak perusahaan atau cabang yang dimiliki oleh pemilik saham memberikan dukungan kepada siapa yang lebih dekat dengan mereka.”

Karin melihat kolom paling bawah, menunjukkan 52,4% dan 47,6%

“Yang 47% kemungkinan yang mendukung kita,” Jessica sedikit tergelak, “Jika mosinya adalah permintaan komisaris tunggal, maka akan diteruskan pada siapa komisarisnya. Dan kemungkinan adalah Bu Anggun.”

“Kalo skenario yang kedua, ada swing sekitar 35% yang bisa berubah ke siapapun,” Tere menunjukkan kertas kedua, ada tiga kolom.

“Eh, Kak. Ini namaku?” Karin menunjuk satu kolom bertuliskan nama dia dan angka 3,6% di sebelahnya

“Iya,” Tere mengangguk, “Secara teknis, karena perusahaanmu diakuisisi, maka Anggun bisa memanfaatkan saham yang kamu miliki untuk suara dia.”

“Tapi kan aku... bisa milih?” Karin bertanya-tanya

“Kalo kamu masih di keluarga Angkasa, kamu gabisa milih karena CEO dari Bintang Agency adalah Henry. Salam 3,6% memang didaftarkan Tere atas nama kamu, tapi pemiliknya bukan perseorangan melainkan melekat pada perusahaan.”

Karin menghela nafas panjang

“Karin, beban itu bukan di kamu semata. Kita bisa melakukan negosiasi dengan banyak pihak,” kata Jessica

“Tapi 3,6% itu besar, Kak. Aku bisa bikin kalian menang mudah,” Karin menyela, “Jika aku pisah dengan Willie, apa itu memungkinkan?”

Baik Tere maupun Jessica terkesiap

“Karin, kamu gabisa mutusin sepihak gitu,” Jessica berusaha menahan emosi Karin, “Walaupun kalian awalnya hanya terikat kontrak, namun banyak hal yang sudah berubah.”

“Kak Jessica, Kak Tere, ini demi keluarga. Sampai sekarang pun aku gapaham gimana perasaan Willie ke aku. Apa jangan-jangan dengan kita pisah, Willie bisa lebih lega dan keluarga Angkasa enggak jadi diobrak-abrik Bu Anggun?”

Sejatinya Karin masih kesal, ditambah sikap Willie yang tidak membuat suasana membaik. Untuk pesta malam ini misalnya, Willie bahkan menghubungi lewat Yola mengenai baju yang akan dia pakai agar Karin menyesuaikan. Di dalam mobil, Yolanda dan Rendi bersama Karin menjemput Willie ke apartemennya, Willie sama sekali tidak membuka suara.

Walaupun demikian, Willie masih bisa mengulurkan tangan untuk menggandeng Karin begitu mereka masuk ke ruangan.

“Apa sebenernya tujuan nenek sihir itu membuat pesta ini?” tanya Willie pelan ketika Tere dan Jessica menghampirinya. Willie meminta Karin, seperti biasa, melingkari lengannya sedangkan dia sesekali merangkul pinggang Karin.

“Gapaham,” Tere menggeleng pelan. Matanya mengawasi tamu yang mulai berdatangan.

“Eh, itu kan...” Jessica sedikit tertahan melihat keluarga yang baru masuk. Matanya juga sempat melirik Willie yang rahangnya mendadak mengeras. Hanya Karin yang tidak paham situasi yang terjadi.

Belum sempat Karin bertanya, rombongan yang terdiri dari satu orang pria paruh baya dan wanita muda seumuran Willie sudah menghampiri mereka berempat.

“Lama tidak jumpa,” Pria itu mengangsurkan tangannya untuk berjabat dengan Tere, “Theresia Putri Angkasa.”

“Betul, sepertinya sejak pemakaman ayah saya, saya belum pernah melihat anda lagi, Pak Hendra Antares.”

Yang disebut namanya tersenyum kecil sebelum menjabat tangan Jessica, Willie dan berhenti sejenak untuk melihat Karin.

“Istri saya,” kata Willie, “Karin Ayu Asteria.”

“OH, salam kenal. Saya pikir kamu akan tetap menunggu anak saya, Willie,” Hendra tersenyum miring, sedangkan wanita muda di sebelahnya hanya tertawa kecil sembari menebar senyumnya.

“Ah, namanya juga jodoh tidak pernah ada yang tahu, Pak Hendra,” sela Jessica

“Salsabil Antares, teman Willie sejak SD,” wanita muda itu mengulurkan tangannya

Karin berhenti sejenak dan melirik Willie yang hanya diam

“Senang berjumpa denganmu, Salsabil,” Karin menyambut uluran tangan wanita itu

“Sabil,” dia tersenyum, “Seperti panggilan khas dari istrimu.”

****

Karin benar-benar merasakan suasana yang lebih mencekam di dalam pesta tadi setelah keluarga Antares mengenalkan mereka padanya. Dia bisa melihat gestur tidak nyaman ditunjukkan oleh Tere dan Jessica, dan Willie... Wanita itu terlihat sangat menahan amarah.

Namun Karin tidak memiliki waktu untuk bertanya pada Jessica maupun Tere karena cukup banyak tamu yang menghampiri mereka sampai acara selesai dan Willie menariknya untuk pulang. Di mobil, wanita berambut pendek itu kembali diam dan mengabaikannya, tentu membuat Karin ingin segera mengetahui kondisi yang sedang terjadi.

“Kamu kenapa tidak pulang?” tanya Karin ketika Rendi sudah menjalankan kendaraan mereka.

“Apa urusanmu?” jawab Willie sengit, tanpa menoleh sedikitpun ke arah Karin.

Karin menghembuskan nafas panjang, “Denger, aku minta maaf karena terlalu emosi malam itu. Tapi semua itu beralasan, Willie. Aku mau kamu dengerin alasanku dan juga jika ada pandangan dari kamu.”

Willie hanya mendecakkan lidah.

“Kita uda dewasa untuk bisa diskusi dengan kepala dingin, Willie.”

“Kenapa kamu percaya kata-kata Yeri?” potong Willie tiba-tiba

“Karena aku mengenalnya cukup lama. Aku kenal dia dari kuliah dan dia sering bantu aku.”

“Jadi kalo kamu uda kenal lama, trus kemudian menyingkirkan semua fakta yang di depan kamu?” Willie mulai meninggikan suaranya

“Kamu tu ngomong apa? Kamu ga suka sama Yeri?”

“Apa kurang jelas? Aku ini istrimu, Karin.”

“Kamu yang bikin kontrak kalo kita cuma pasangan di depan umum dan media,” suara Karin mulai bergetar, “Kamu sendiri yang bikin.”

Willie mengusap wajahnya kasar, bingung menjawab pertanyaan Karin.

“Tadi di pesta waktu Pak Hendra Antares bilang kalo kamu katanya ga nungguin anaknya, kamu juga ga ngomong apa-apa. Malah Kak Jessica yang awalnya jawab. Kamu ga jelasin apa-apa, Willie. Jelas-jelas dia berusaha godain kamu dan kamu diem aja. Itu yang kamu bilang istri?”

“Kamu ga ngerti, Karin,” suara Willie melemah

“Trus apa, Willie!”

Pertengkaran mereka berhenti sejenak karena Audi hitam yang dikendarai mereka berhenti di lobby apartment. Rendi tidak segera membuka kunci pintu mobilnya, seolah memberikan waktu kepada pasangan yang duduk di kursi belakang tersebut menyelesaikan pembicaraan panas mereka.

“Kenapa kamu gamau ngomong sekarang, Willie?”

“Nanti aja, Karin. Kita lagi ga dalam kondisi yang baik untuk bicara ini,” Willie sudah memegang kenop pintu mobilnya, “Mas Rendi, buka kuncinya mas.”

“Kenapa? Kamu kenapa jadi pengecut gitu?” suara Karin lirih dan bergetar, membuat Willie sebenarnya ingin sekali memeluk istrinya sekarang.

“Ga sekarang,” tegas Willie, bersamaan dengan kunci pintu yang dibuka. Willie segera keluar dari mobil dan berlari ke arah lobby, meninggalkan Karin yang menahan tangis kecewanya.

“Gue uda dikasi tau dikit sama Yujin tadi pagi,” kata Miranda setelah mengunyah daging pesanannya. Karin dan kedua sahabatnya mengagendakan makan siang karena bercerita lewat chat sepertinya terlalu repot.

“Nayla juga langsung cerita semalem,” Giselle menambahkan, “Sambil ngomel sih.”

“Gue tau gue kayak... Ga menghargai Willie sama sekali,” Karin menghela nafasnya, “Tapi kalo kalian jadi gue, percaya sama Willie pasti juga susah.”

Giselle memainkan sedotannya, melirik pada Miranda yang masih sibuk memotong steak kesukaannya.

“Gue dari awal uda bilang,” Miranda meletakkan garpu dan pisaunya, “Gue selalu ngerasa Yeri ada sesuatu.”

“Gue semaleman mikirin itu,” Karin memutar garpunya di pasta yang dia pesan, “Gue jadi sadar kalo yang dia lakuin kadang emang berlebihan.”

“Tapi yang dia lakuin emang terkesan buat caper ke lo ga sih?” tanya Giselle, “Kaya dia berusaha cari sesuatu agar lo liat dia terus.”

“Kaya anak SMA aja,” Miranda mendengus

“Terlalu sus untuk ukuran caper doang,” Giselle menggendikkan bahunya, “Tapi motif apa lagi?”

“Ada yang beda ga dari dia?” Miranda bertanya

Karin berpikir sambil memainkan pastanya, sepertinya dia tidak berselera makan

“Lo harus curiga, Rin. Kalo emang lo ngerasa ada yang aneh sama Yeri,” Giselle menambahkan.

“Menurut gue, sejak Henri jadi CEO, Yeri jadi lebih rajin dari dulu. Dan dia sering nyemangatin gue buat nerima permintaan Henri yang kadang malah ngerugiin kita,” jelas Karin, “Dan gue juga... kadang ngerasa Henri nyuri konsep gue sih...”

Giselle dan Miranda mengerutkan keningnya mendengar cerita singkat Karin

“Jangan bilang...” Karin membulatkan matanya

“Anjir, bisa jadi tauk...” Miranda menutup mulutnya agar tidak berteriak

“Gila, ga nyangka gue kalo beneran Yeri jadi mata-matanya Henri sama Bu Anggun,” Giselle menggelengkan kepalanya. Fakta yang cukup mengerikan.

Walaupun banyak yang harus dikerjakan olehnya, Karin merasa sedikit ringan karena kondisi di rumah cukup damai. Willie tidak banyak berulah, justru wanita itu banyak memberikan rasa damai bagi Karin sendiri.

Namun ada satu hal yang masih mengganjal bagi Karin, yaitu sikap Yeri. Setelah dia kembali masuk kerja, sekretarisnya itu terlihat menghindarinya. Sangat berbeda dengan sebelumnya yang sering menghabiskan waktu di ruangannya walau tidak ada rapat. Karin juga belum sempat menanyakan mengenai keresahan dari Tere, yang juga dirasakan Willie walaupun istrinya itu tidak mengatakannya secara langsung.

Karin melirik jam yang ada di mejanya, biasanya 5 menit lagi sekretarisnya akan datang setelah brief sore untuk memberikan beberapa hasil rapat tim teknis. Benar saja, 5 menit kemudian Yeri mengetuk pintu ruangannya.

“Yeri,” Karin memanggil sekretarisnya setelah menjelaskan masukan tim teknis terkait proyek iklan mereka yang baru. Selama menjelaskan, Yeri bahkan tidak melihat ke arah mata Karin sama sekali.

“Ya, ada yang kurang?”

“Kamu kenapa?” tanya Karin langsung, “Waktu aku di rumah sakit, kamu sama sekali ga nengok padahal kamu yang tanda tangan persetujuan operasi buatku. Sebenernya ada apa? Kenapa kamu ngelakuin itu ke aku?”

Yeri menghela nafas panjang, “Di kepalaku hanya ada pikiran kalo kamu harus selamat. Itu yang buat aku langsung tanda tangan. Kamu tahu kan aku paling gamau kamu kenapa-kenapa. Aku gabusa mikir yang lain, Karin.”

Wajah memelas Yeri membuat Karin terhenyak. Dirinya berusaha memahami apa yang dirasakan Yeri.

“Lalu... Kenapa akhir-akhir ini aku ngehindarin kamu... Ada alasannya,” Yeri mengambil ponselnya dan memutar rekaman. Rekaman di rumah sakit ketika Willie mengancam akan memecatnya dan membuatnya miskin.

“Astaga...” Karin membulatkan matanya, terkejut dengan suara Willie yang terlihat sangat marah.

“Aku takut, Karin. Aku takut banget. Kamu tahu kan aku udah ga punya siapa-siapa lagi. Sebelum dia neriakin aku, dia sempet mukul aku,” air mata mulai lolos dari mata Yeri, membuat Karin langsung berdiri dan memeluk sekretarisnya itu.

“Gapapa, Yeri. Ada aku, kamu bakalan aman,” kata Karin.

****

Willie menyambut kepulangan Karin. Istrinya tadi mengatakan bahwa dia langsung pulang bersama dengan Nayla.

Plak!

Willie memegang pipinya, berdenyut. Karin langsung menamparnya begitu mereka bertemu di ruang tengah.

“Kenapa?” tanya Willie bingung

“Kenapa kamu bilang?! Kamu ngancem apa ke Yeri?!” Karin berteriak sambil menunjuk Willie, “Aku uda bilang kan, kamu gausah ngatur-ngatur soal dia dan kerjaannya!”

“Ngatur-ngatur gimana! Dia tu yang ga ngabarin keluarga dan langsung tanda tangan persetujuan operasi kamu. Kamu pikir itu wajar dia lakuin? Dia tu uda banyak crossing the line!”

“Dia lagi panik. Kamu bayangin aja kalo orang panik. Dan kamu tu mukulin dia, ngancem dia, buat apa sih?”

“Ya buat kamu, Karin!” Willie berteriak frustasi, membuat keduanya terdiam, “Kamu tu nganggep aku ada ga sih? Nganggep aku istrimu bukan?”

Seperti deja vu, Karin pernah mengatakan itu pada Willie. Sekarang sebaliknya.

The silence is killing

Willie yang bergerak terlebih dahulu, dia mengambil kunci mobilnya dan pergi keluar rumah, tanpa sempat bisa ditahan oleh Karin.

“Sorry macet,” Willie meminta maaf kepada tiga orang yang sudah duduk di meja

“Gapapa, kami juga baru datang kok,” kata Karin, membiarkan Willie duduk di sampingnya. Tadi memang Giselle sengaja memilih duduk di samping Nayla, agar Willie duduk di samping Karin dan di depannya.

“Belum pesen juga,” tambah Nayla sembari membolak-balikkan menu

“Kamu mau makan apa?” tanya Karin melihat Willie yang hanya diam

“Terserah kamu aja. Kamu makannya jangan yang pedes ya.”

“Iya,” Karin mengangguk, mengabaikan senyuman jahil dari Giselle dan Nayla.

Obrolan makan malam mereka berempat cukup ringan. Lebih sering Giselle dan Nayla yang berbicara dan ditangapi oleh Karin. Willie hanya bagian menambahkan setuju atau tidak. Tapi, senyuman tidak pernah lepas dari wajah Willie. Sepertinya dia menikmati obrolan mereka.

****

“Giselle sama Nayla emang secerewet itu, maaf ya,” kata Karin setelah memasang sabuk pengamannya

“Gapapa, seru kok ceritanya mereka,” Willie menanggapi dengan santai sembari menyalakan mobilnya. Suasana hening tercipta di dalam mobil, seperti biasa hanya ada suara radio yang akan menemani mereka.

“Ngomong-ngomong,” Willie membuka suara ketika mereka berhenti di lampu merah, “How was your day?”

“Begitulah,” Karin menghela nafas panjang, “Kesel sama Pak Henri, tetep.”

Willie terkekeh, membuat Karin juga ikut tertawa. Sebenarnya baru beberapa kali ini Willie suka menanyakan hari-harinya; dan diteruskan dengan Willie yang mendengarkan Karin bercerita. Sesekali Karin akan balik bertanya mengenai harinya Willie.

“Tapi ya, aku sering banget nemu kalo catetanku dikopi untuk proyek dia sendiri. Padahal aku taruh di ruanganku,” Karin mulai bercerita, “Aku gapernah bisa nangkep basah jadi gabisa nuduh.”

“Tapi catetan kamu masih ada?”

“Masih sih,” Karin merengut, “Itu yang bikin aku heran.”

“Kalo masang cctv, berlebihan ya?” tanya Willie sambil terus berkonsentrasi menyetir

“Berlebihan banget deh. Mungkin karena aku sering rapat kecil di ruanganku, jadinya orang keluar masuk aku gasadar.”

“Bisa jadi. Nanti disimpen aja di laci misalnya kalo ada yang penting. Kalo orang buka laci kan ketauan pasti.”

“Bener juga. Makasi ya sarannya.”

“Sama-sama, Karin. Kalo Henri berulah lagi bilang ya.”

“Iya. Tapi aku ga mau ada kekerasan.”

“Wah, ga janji,” Willie terkekeh

“Males lah.”

“Iya iya, janji.”

Tere paham jika adiknya, Willie, sangat suka mengurung diri di ruang produser miliknya jika sedang banyak pekerjaan. Biasanya karena dia suka menunda, tapi kali ini adiknya itu menerima banyak proyek bahkan dari tempat lain.

Biasanya dia tidak akan mengganggu, tapi ketukan terburu di pintunya dan wajah khawatir Yolanda membuatnya berlari ke ruangan milik adiknya itu. Ketukan tergesa dia lakukan, walaupun dia tahu adiknya akan kesal.

“Gue bilang gue gamau diganggu!” teriakan kesal dari Willie terdengar setelah pintu dibuka dengan kasar. Willie tidak peduli sekalipun itu adalah kakaknya, CEO dari perusahaannya.

“Karin masuk UGD. GERDnya kumat dan parah banget,” kata Tere dengan cepat, membuat Willie langsung mengambil tas kecil dan kunci mobilnya.

****

Willie, Tere dan Yolanda sedikit berlari ketika memasuki UGD rumah sakit, sesuai dengan lokasi yang dibagikan oleh Nayla sebelumnya. Setelah bertanya pada suster, mereka bergegas ke satu bilik UGD yang ditunjuk sebelumnya.

“Eh, maaf,” decit Tere ketika Willie menarik gorden di dekat kasur dengan keras

“Oh, gapapa,” dokter muda yang sedang menjelaskan sesuatu tadi tersenyum, “Teman-temannya Bu Karin ya?”

“Kami keluarganya,” jawab Tere yang direspons anggukan dari dokter muda tersebut

“Saya lagi menjelaskan mengenai prosedur Fundoplikasi karena bisa segera dipersiapkan.”

“Sebentar, Fundoplikasi?” Tere mengerutkan alisnya bingung

“Operasi penguatan cincin otot lambung. Tadi keluarga pasien sudah menandatangani persetujuan operasi,” dokter tersebut menunjukkan lembar yang sudah ditandatangani, tertulis nama “Yerika Cassandra”

Willie mendesis dan terlihat marah, membuatnya mengedarkan pandangan dan tidak segera menemukan sosok yang dia cari. Dia berbisik bahwa akan keluar sebentar, melihat ke arah Karin yang masih berbaring dan melesat keluar. Tere meminta Yola mengikutinya, karena bagaimanapun dia harus segera menyelesaikan masalah administrasi dari Karin.

***

Willie menemukan Yeri di selasar luar. Sepertinya wanita itu baru saja menelepon. Tanpa basa-basi, Willie langsung memukul Yeri sehingga membuat wanita itu terjatuh ke belakang.

“Willie! Ini di rumah sakit!” Yola yang sedikit terlambat langsung memegangi kedua tangan Willie, karena majikannya itu terlihat akan memukuli sekretaris istrinya.

Yeri berdiri dan hanya meludahkan darah yang ada di mulutnya.

“Lo ngapain sih anjing! Uda gue bilang berkali-kali buat sadar posisi elo! Lo itu bukan siapa-siapa!” Willie cukup murka melihat raut wajah Yeri yang datar

“Saya sekretarisnya Karin,” jawab Yeri pelan, terlihat seperti merogoh sesuatu di kantongnya.

“Gak peduli, Bangsat! Gue bisa bikin lo dipecat. Biar miskin sekalian! Gue uda bilang lo tuh sadar diri, anjing! Maksa banget sih!”

“Willie udah,” Yola menarik tubuh Willie karena mereka sudah menarik perhatian banyak orang

“Awas lo ya. Sampe gue tau lo masih deketin Karin, habis lo sama gue!” Willie masih sempat menunjuk Yeri sebelum Yola menariknya menjauh.

“Dasar bodoh,” gumam Yeri sambil mematikan rekaman di ponselnya

Maladewa memang indah. Sedari pesawat yang mereka tumpangi mulai memasuki wilayah Maladewa, Karin tidak berhenti berdecak kagum. Baru kali ini dia melihat wilayah di sekitaran Asia Selatan.

Pun ketika mereka menaiki mobil jemputan dari bandara ke penginapan, Karin tidak bisa menutupi kekagumannya. Willie yang menyadari itu meminta sopir untuk berhenti sejenak, membiarkan Karin mengambil beberapa gambar sementara dia menunggu di mobil.

Namun, suasana menyenangkan dalam perjalanan nanti langsung berganti menjadi canggung ketika mereka menyadari bahwa hanya ada satu kamar dan satu kasur di penginapan ini.

“Aku....,” Willie memggaruk tengkuknya yang tidak gatal, melihat Karin yang juga bingung

“Aku gamau tidur seranjang,” kata Karin lirih, tapi masih terdengar oleh Willie. Willie merasa ada ketakutan dalam nada bicara Karin. Apakah istrinya itu takut mereka akan berbuat aneh-aneh ketika seranjang?

“Tapi kasurnya cuma satu. Bahkan kamarnya juga.”

“Aku tidur sofa aja,” Karin menunjuk sofa yang berada di ruang tengah, di depan kamar tidur.

“Aku aja,” entah kenapa Willie tidak ingin liburan Karin berantakan karena dia harus tidur di sofa. Setidaknya, dia ingin Karin menikmati liburan di Maladewa ini walaupun hanya 3 hari 2 malam.

“Makasih,” cicit Karin, “Barang kamu ditaruh di dalem aja.”

Willie mengangguk dan mengingatkan Karin bahwa ada makan malam yang sudah disediakan buat mereka di restoran terdekat. Dan Willie juga menyarankan mereka untuk berjalan kaki sambil menikmati pantai yang berjarak sangat dekat dari penginapan mereka. Tentu saja Karin setuju, ini akan menyenangkan menurutnya.

*****

“Nanti itu island hoping jam berapa?” tanya Karin ketika mereka menikmati sarapan. Di penginapaj yang berbentuk cottage ini, sarapan diantar ke depan pintu dan bisa diambil kapapun, karena di dalam ada dapur kecil yang bisa digunakan untuk memanaskan makanannya.

“Jam 10,” jawab Willie sambil mengecek jam tangannya

“Semalem tidurnya nyaman?”

“Enak-enak aja kok,” kata Willie sambil menyesap kopinya, “Ga masalah.”

“Hari ini aku mau snorkeling,” kata Karin setelah mereka menyelesaikan makanan mereka.

“Emang bawa baju renang?”

“Bawa dong.”

“Bukan bikini kan?” tanya Willie sambil menyipitkan matanya

“Bikini trus atasnya baju selam one-suit. Kenapa emangnya?”

“Ya gapapa. Cuma di sini ga kaya Bali yang bisa pake bikini kesana kemari.”

“Iya tahu,” Karin terkekeh, sepertinya Willie sedikit cemburu tapi juga buat apa? Toh dari kemarin juga seperti biasanya mereka.

Karin sangat menikmati liburannya. Terlebih, ternyata snorkeling yang menjadi paket dari wisata ini disertai juga dengan pemandu wisata, sehingga Karin bisa dengan leluasa berada di spot yang memang indah.

Sedangkan Willie menikmati kafe di pinggir pantai sembari merokok. Namun matanya tidak pernah lepas dari pergerakan Karin dan rombongan yang dipandu oleh satu pemandu wisata yang ternyata bisa berbahasa Indonesia dengan lancar.

Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore, matahari sudah mulai tergelincir dan rombongan satu kapal tadi sepertinya sudah bersiap untuk kembali ke pulau utama. Mata Willie menangkap istrinya sedang berbincang dengan pemandu wisata yang daritadi membersamainya. Willie dengan cepat mengambil tasnya dan menghampiri Karin.

“Uda selese?” tanya Willie ketika Karin dan pemandu wisata itu sudah di depannya

“Udah. Eh Jamie, ini istri saya,” Karin mengenalkan Jamie kepada Willie yang hanya tersenyum

“Senang bertemu dengan anda, Wille. Menyenangkan sekali hari ini, bukan begitu Karin?”

“Tentu saja. Terimakasih ya.”

“Dengan senang hati.”

“Baiknya segera ganti baju,” Willie memotong obrolan mereka, “Uda sore.”

“Oh iya,” Karin mengambil tas kecilnya dan melambaikan tangan kepada Jamie. Willie mengekorinya dengan cepat

“Kenapa cincin kawinnya ga dipake sih?” tanya Willie tiba-tiba, membuat Karin menghentikan langkahnya.

“Kamu juga biasanya ga pake.”

“Kalo pergi-pergi, aku pake.”

“Aku tinggal di penginepan. Takut ilang nantinya.”

Willie hanya mengangguk dan meringis. Daritadi dia merasa kakinya sakit tapi mengabaikannya.

“Kenapa?” Karin bertanya dengan khawatir

“Gatau kakiku,” Willie melihat ke bawah, kebetulan dia hanya memakai celana pendek.

“Astaga Willie, kakimu berdarah-darah!”

****

“Maaf ya jadi di penginepan aja,” kata Willie sembari berbaring. Walaupun sempat membuat Karin panik, Willie berhasil ditangani oleh klinik lokal di pantai tersebut. Ternyata beberapa orang juga mengalaminya, sepertinya karang dan bulu babi di kawasan tersebut sedang banyak dan membuat beberapa orang terluka, termasuk Willie. Ditambah reaksi tubuh Willie terhadap luka luar selalu demam, sehingga malam ini Karin merawat Willie yang sedikit panas badannya.

“Iya gapapa, toh besok kita kan emang santai dan siap-siap pulang,” Karin membetulkan selimut Willie, “Kamu kok ga sadar kalo luka-luka gitu.”

“Gatau jugaan,” Willie memejamkan matanya

“Yauda aku tidur sofa ya,” Karin baru akan bangkit ketika Willie memegang pergelangan tangannya

“Gausah. Di sini saja,” Willie memegang erat pergelangan tangan Karin, membuat wanita itu menyerah.

Dan sampai pagi menjelang, Karin masih mendapati Willie memegang tangannya, tidak melepaskannya sama sekali.