wqwqwq12

Tere paham jika adiknya, Willie, sangat suka mengurung diri di ruang produser miliknya jika sedang banyak pekerjaan. Biasanya karena dia suka menunda, tapi kali ini adiknya itu menerima banyak proyek bahkan dari tempat lain.

Biasanya dia tidak akan mengganggu, tapi ketukan terburu di pintunya dan wajah khawatir Yolanda membuatnya berlari ke ruangan milik adiknya itu. Ketukan tergesa dia lakukan, walaupun dia tahu adiknya akan kesal.

“Gue bilang gue gamau diganggu!” teriakan kesal dari Willie terdengar setelah pintu dibuka dengan kasar. Willie tidak peduli sekalipun itu adalah kakaknya, CEO dari perusahaannya.

“Karin masuk UGD. GERDnya kumat dan parah banget,” kata Tere dengan cepat, membuat Willie langsung mengambil tas kecil dan kunci mobilnya.

****

Willie, Tere dan Yolanda sedikit berlari ketika memasuki UGD rumah sakit, sesuai dengan lokasi yang dibagikan oleh Nayla sebelumnya. Setelah bertanya pada suster, mereka bergegas ke satu bilik UGD yang ditunjuk sebelumnya.

“Eh, maaf,” decit Tere ketika Willie menarik gorden di dekat kasur dengan keras

“Oh, gapapa,” dokter muda yang sedang menjelaskan sesuatu tadi tersenyum, “Teman-temannya Bu Karin ya?”

“Kami keluarganya,” jawab Tere yang direspons anggukan dari dokter muda tersebut

“Saya lagi menjelaskan mengenai prosedur Fundoplikasi karena bisa segera dipersiapkan.”

“Sebentar, Fundoplikasi?” Tere mengerutkan alisnya bingung

“Operasi penguatan cincin otot lambung. Tadi keluarga pasien sudah menandatangani persetujuan operasi,” dokter tersebut menunjukkan lembar yang sudah ditandatangani, tertulis nama “Yerika Cassandra”

Willie mendesis dan terlihat marah, membuatnya mengedarkan pandangan dan tidak segera menemukan sosok yang dia cari. Dia berbisik bahwa akan keluar sebentar, melihat ke arah Karin yang masih berbaring dan melesat keluar. Tere meminta Yola mengikutinya, karena bagaimanapun dia harus segera menyelesaikan masalah administrasi dari Karin.

***

Willie menemukan Yeri di selasar luar. Sepertinya wanita itu baru saja menelepon. Tanpa basa-basi, Willie langsung memukul Yeri sehingga membuat wanita itu terjatuh ke belakang.

“Willie! Ini di rumah sakit!” Yola yang sedikit terlambat langsung memegangi kedua tangan Willie, karena majikannya itu terlihat akan memukuli sekretaris istrinya.

Yeri berdiri dan hanya meludahkan darah yang ada di mulutnya.

“Lo ngapain sih anjing! Uda gue bilang berkali-kali buat sadar posisi elo! Lo itu bukan siapa-siapa!” Willie cukup murka melihat raut wajah Yeri yang datar

“Saya sekretarisnya Karin,” jawab Yeri pelan, terlihat seperti merogoh sesuatu di kantongnya.

“Gak peduli, Bangsat! Gue bisa bikin lo dipecat. Biar miskin sekalian! Gue uda bilang lo tuh sadar diri, anjing! Maksa banget sih!”

“Willie udah,” Yola menarik tubuh Willie karena mereka sudah menarik perhatian banyak orang

“Awas lo ya. Sampe gue tau lo masih deketin Karin, habis lo sama gue!” Willie masih sempat menunjuk Yeri sebelum Yola menariknya menjauh.

“Dasar bodoh,” gumam Yeri sambil mematikan rekaman di ponselnya

Maladewa memang indah. Sedari pesawat yang mereka tumpangi mulai memasuki wilayah Maladewa, Karin tidak berhenti berdecak kagum. Baru kali ini dia melihat wilayah di sekitaran Asia Selatan.

Pun ketika mereka menaiki mobil jemputan dari bandara ke penginapan, Karin tidak bisa menutupi kekagumannya. Willie yang menyadari itu meminta sopir untuk berhenti sejenak, membiarkan Karin mengambil beberapa gambar sementara dia menunggu di mobil.

Namun, suasana menyenangkan dalam perjalanan nanti langsung berganti menjadi canggung ketika mereka menyadari bahwa hanya ada satu kamar dan satu kasur di penginapan ini.

“Aku....,” Willie memggaruk tengkuknya yang tidak gatal, melihat Karin yang juga bingung

“Aku gamau tidur seranjang,” kata Karin lirih, tapi masih terdengar oleh Willie. Willie merasa ada ketakutan dalam nada bicara Karin. Apakah istrinya itu takut mereka akan berbuat aneh-aneh ketika seranjang?

“Tapi kasurnya cuma satu. Bahkan kamarnya juga.”

“Aku tidur sofa aja,” Karin menunjuk sofa yang berada di ruang tengah, di depan kamar tidur.

“Aku aja,” entah kenapa Willie tidak ingin liburan Karin berantakan karena dia harus tidur di sofa. Setidaknya, dia ingin Karin menikmati liburan di Maladewa ini walaupun hanya 3 hari 2 malam.

“Makasih,” cicit Karin, “Barang kamu ditaruh di dalem aja.”

Willie mengangguk dan mengingatkan Karin bahwa ada makan malam yang sudah disediakan buat mereka di restoran terdekat. Dan Willie juga menyarankan mereka untuk berjalan kaki sambil menikmati pantai yang berjarak sangat dekat dari penginapan mereka. Tentu saja Karin setuju, ini akan menyenangkan menurutnya.

*****

“Nanti itu island hoping jam berapa?” tanya Karin ketika mereka menikmati sarapan. Di penginapaj yang berbentuk cottage ini, sarapan diantar ke depan pintu dan bisa diambil kapapun, karena di dalam ada dapur kecil yang bisa digunakan untuk memanaskan makanannya.

“Jam 10,” jawab Willie sambil mengecek jam tangannya

“Semalem tidurnya nyaman?”

“Enak-enak aja kok,” kata Willie sambil menyesap kopinya, “Ga masalah.”

“Hari ini aku mau snorkeling,” kata Karin setelah mereka menyelesaikan makanan mereka.

“Emang bawa baju renang?”

“Bawa dong.”

“Bukan bikini kan?” tanya Willie sambil menyipitkan matanya

“Bikini trus atasnya baju selam one-suit. Kenapa emangnya?”

“Ya gapapa. Cuma di sini ga kaya Bali yang bisa pake bikini kesana kemari.”

“Iya tahu,” Karin terkekeh, sepertinya Willie sedikit cemburu tapi juga buat apa? Toh dari kemarin juga seperti biasanya mereka.

Karin sangat menikmati liburannya. Terlebih, ternyata snorkeling yang menjadi paket dari wisata ini disertai juga dengan pemandu wisata, sehingga Karin bisa dengan leluasa berada di spot yang memang indah.

Sedangkan Willie menikmati kafe di pinggir pantai sembari merokok. Namun matanya tidak pernah lepas dari pergerakan Karin dan rombongan yang dipandu oleh satu pemandu wisata yang ternyata bisa berbahasa Indonesia dengan lancar.

Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore, matahari sudah mulai tergelincir dan rombongan satu kapal tadi sepertinya sudah bersiap untuk kembali ke pulau utama. Mata Willie menangkap istrinya sedang berbincang dengan pemandu wisata yang daritadi membersamainya. Willie dengan cepat mengambil tasnya dan menghampiri Karin.

“Uda selese?” tanya Willie ketika Karin dan pemandu wisata itu sudah di depannya

“Udah. Eh Jamie, ini istri saya,” Karin mengenalkan Jamie kepada Willie yang hanya tersenyum

“Senang bertemu dengan anda, Wille. Menyenangkan sekali hari ini, bukan begitu Karin?”

“Tentu saja. Terimakasih ya.”

“Dengan senang hati.”

“Baiknya segera ganti baju,” Willie memotong obrolan mereka, “Uda sore.”

“Oh iya,” Karin mengambil tas kecilnya dan melambaikan tangan kepada Jamie. Willie mengekorinya dengan cepat

“Kenapa cincin kawinnya ga dipake sih?” tanya Willie tiba-tiba, membuat Karin menghentikan langkahnya.

“Kamu juga biasanya ga pake.”

“Kalo pergi-pergi, aku pake.”

“Aku tinggal di penginepan. Takut ilang nantinya.”

Willie hanya mengangguk dan meringis. Daritadi dia merasa kakinya sakit tapi mengabaikannya.

“Kenapa?” Karin bertanya dengan khawatir

“Gatau kakiku,” Willie melihat ke bawah, kebetulan dia hanya memakai celana pendek.

“Astaga Willie, kakimu berdarah-darah!”

****

“Maaf ya jadi di penginepan aja,” kata Willie sembari berbaring. Walaupun sempat membuat Karin panik, Willie berhasil ditangani oleh klinik lokal di pantai tersebut. Ternyata beberapa orang juga mengalaminya, sepertinya karang dan bulu babi di kawasan tersebut sedang banyak dan membuat beberapa orang terluka, termasuk Willie. Ditambah reaksi tubuh Willie terhadap luka luar selalu demam, sehingga malam ini Karin merawat Willie yang sedikit panas badannya.

“Iya gapapa, toh besok kita kan emang santai dan siap-siap pulang,” Karin membetulkan selimut Willie, “Kamu kok ga sadar kalo luka-luka gitu.”

“Gatau jugaan,” Willie memejamkan matanya

“Yauda aku tidur sofa ya,” Karin baru akan bangkit ketika Willie memegang pergelangan tangannya

“Gausah. Di sini saja,” Willie memegang erat pergelangan tangan Karin, membuat wanita itu menyerah.

Dan sampai pagi menjelang, Karin masih mendapati Willie memegang tangannya, tidak melepaskannya sama sekali.

Karin mendapati Jessica dan Tere sudah menunggu mereka di ruang tengah. Satria juga di sana. Sepertinya adik bungsu mereka sudah diberitahu sekilas mengenai apa yang barusan terjadi.

“Yola uda cerita sekilas ada apa di sana,” kata Jessica, “Setelah ini, Anggun dan Henri akan dateng. Kita semua dengerin aja. Eh, kamu Giselle adiknya Yuta Ariotedjo ya?”

Giselle mengangguk, “Iya, Kak. Saya sering denger soal Kak Jessica dari kakak saya.”

“Maaf ya, nanti kalian tungguin di atas. Sama Satria dan Nayla juga,” sambung Tere, “Biar Karin sama Willie yang di sini.”

Nayla mengangguk dan mengajak Giselle dan Satria ke atas. Mereka bisa tetap mendengarkan apa yang terjadi di ruang tamu di atas.

Yola mendekat ke arah Tere, melaporkan bahwa Anggun akan segera datang.

“Sakit?” Jessica mengusap pelan tangan Willie, “Udah diobatin kan?”

“Udah kok sama Karin tadi,” jawab Willie pelan, “Aku benci banget kak sama Henri.”

“Nanti kita selesein ya,” Jessica mengusap kepala Willie, “Kamu emosinya ditahan dulu.”

“Iya, Kak.”

Karin tersenyum melihat interaksi keduanya. Memang dibanding dengan Tere, Willie lebih menurut dengan Jessica yang kalem dan lembut. Mungkin itu kelemahan dua Angkasa ini.

Suara pintu terbuka dengan keras membuat mereka mengalihkan perhatiannya. Anggun, Henri dan ada lelaki di belakangnya mengikuti mereka. Tere membisikkan informasi bahwa itu adalah pengacara yang biasanya bersama Anggun.

“Sepertinya memang semua sudah menungguku,” kata Anggun sinis, sebelum duduk di seberang mereka, “Oh, anakku yang paling kecil juga terluka ya? Kasihan. Melindungi istri tercintanya?”

Willie menggeram, tapi genggaman tangan dari Karin membuatnya sedikit tenang.

“Dia tuh, gue ga ngapa-ngapain mukul. Emang anak ga guna,” tunjuk Henri tiba-tiba setelah melihat Karin menenangkan Willie

Tere juga akan menyahut tapi Jessica memegang tangannya, menandakan bahwa dia saja yang berbicara.

“Baik, kita bakalan ngomongin soal ini. Pak Henri mau nuntut Willie?”

“Tentu saja, ga pantes dia jadi keluarga Angkasa.”

Jessica sedikit menyeringai, “Secara hukum, anda yang bukan keluarga Angkasa.”

Anggun sedikit terkesiap, “Tapi bukan berarti Willie bisa melakukan tindakan semena-mena terhadap orang lain.”

“Mungkin jika saya jadi Willie, saya mending melaporkan Pak Henri atas dugaan penadah cuci uang dan penggelapan uang perusahaan,” Jessica meletakkan dua dokumen di meja rendah yang membatasi keduanya, “Dibanding memukul, hanya akan meninggalkan bekas luka.”

“Sialan, beraninya kamu!” Henri terlihat tidak terima, “Aku CEOnya, aku yang punya kuasa.”

“Sekedar mengingatkan bahwa Bintang Agency sekarang adalah bagian dari Angkasa Group dan Amaris Consulting secara langsung, yaitu saya dan kakak saya, Pak Kenneth, mengauditnya,” Jessica menjelaskan dengan tersenyum, “Terlebih, anda hanya CEO, bukan bagian dari keluarga Angkasa. Karin di sini, adalah istri dari Willie.”

Anggun berdiri sambil mendengus kesal, kalah dengan argumen dari Jessica.

“Ternyata anda tidak membawa banyak bukti untuk menuntut kecuali rengekan dari anak kesayangan anda itu,” Tere mengejek ibu tirinya, “Sebuah tindakan yang sia-sia.”

“Jangan merasa terus menang ya, kalian semua,” Anggun melihat ke arah empat orang di depannya, “Di masa depan, Angkasa Group akan menjadi milikku seutuhnya.”

Tere dan Jessica hanya berdecak, sedangkan Willie lebih memilih tertawa sinis mendengarnya.

“Baiknya anda pergi dan bawa pengacara anda juga. Buang-buang waktu,” Willie mengusir dengan senyuman kemenangannya, yang tentu membuat Henri sangat kesal.

Nayla sedikit terkejut ketika membuka pintu gerbang rumah, Willie berdiri di sana.

“Sama siapa?” tanya Willie, membuat Giselle yang awalnya akan segera pergi, berbalik dan menemui “kakak ipar” dari kekasihnya itu

“Sama gue kok,” jawab Giselle sambil tersenyum

“Oh, berarti ga sama Karin?”

Giselle sedikit bingung sebelum akhirnya menggeleng pelan

“OK, thanks infonya,” Willie berbalik dan berteriak pada satpam yang berjaga “Mas Rendi, tolong buka pintu garasi sm pintu samping. Aku mau keluar.”

“Kayaknya dia bakalan balik ke kantor kamu deh,” kata Giselle kepada Nayla

“Kita ikutin dia, Kak,” ajak Nayla sesegera mungkin setelah mendengar suara Audi milik Willie digeber kencang.

****

Willie langsung menuju ke ruangan Karin. Dia bisa mendengar sayup-sayup orang berbicara di dalam, ternyata ada Henri di dalam.

“Pokoknya gue gamau tau, ini harus ada besok dan semua sesuai permintaan,” kata Henri sambil menunjuk wajah Karin

“Tapi ini uda tiga kali perbaikan, Pak. Anak-anak uda lembur terus dan bapak ga acc soal dana lembur mereka,” Karin berargumen

“Gue ga peduli, lo tu cuma babu di sini, Karin. Lo harus...”

Kata-kata Henri terputus ketika seseorang menarik bahunya. Willie sudah masuk ke dalam. Belum sempat dia merespons, Willie sudah melayangkan pukulan sehingga dia tersungkur jatuh

“Bajingan!” Henri mengumpat keras, melihat Willie berdiri tegak di depannya, “Ngapain lo di sini, ikut campur aja!”

“Itu istri gue dan lo bukan siapa-siapa di keluarga Angkasa. Ga pantes lo nunjuk-nunjuk dan ngomong ga sopan ke istri gue.”

“Alah bacot,” Henri bangkit dan balas memukul Willie sampai wanita itu terhuyung. Henri kembali melayangkan pukulan tapi berhasil ditahan oleh Willie, akibatnya pukulan kembali diterima Henri sampai dia terjatuh lagi.

“Cukup!” Karin yang awalnya terkejut kemudian berlari ke arah Willie dan memegang kedua tangannya. Dia bisa melihat buku-buku jari Willie terluka, “Hentikan atau aku panggil satpam.”

Bersamaan dengan itu, Nayla dan Giselle yang tiba di ruangan Karin.

“Sekarang semua pulang,” kata Karin kepada seluruh orang di ruangannya, “Batalin project ini atau kasih yang uda dibuat sama anak-anak. Ini uda keterlaluan kalo minta sampe bikin 3 hari lembur dan masih gamau nerima,” Karin menutup malam itu dengan menarik Willie pergi, diikuti dengan Nayla dan Giselle di belakangnya.

*****

Willie memaksa Karin masuk ke mobilnya. Dia bahkan menolak Karin yang mau menjadi sopir untuknya. Karin teringat bisikan Nayla ketika mereka turun ke parkiran. Tadi, Willie menyetir seperti orang kesetanan, bahkan Giselle tertinggal cukup jauh ketika mengikutinya ke kantor Karin tadi.

“Willie! Willie!” Karin berteriak karena Willie menyetir seperti tidak tahu aturan, “Willie aku mohon dengerin aku dulu.”

“Apasih?!” Willie menyentak marah, “Kamu diem aja atau aku bakalan balik ke sana dan bikin mulut si anjing itu sobek.”

“Enggak, Willie. Berhenti dulu, plis, berhenti dulu,” Karin memohon. Mendengar suara Karin yang memelan, Willie menyalakan lampu sen dan memarkirkan mobilnya di bahu jalan. Willie menghela nafas sambil mencengkeram setir dengan erat. Karin mengulurkan tangannya dan melepaskan genggaman Willie dari setir. Perlahan, dia menepuk-nepuk tangan Willie di genggamannya.

“Kalo kamu gamau nyetir pelan-pelan, aku bareng Giselle aja,” Karin menunjuk mobil Giselle yang barusan datang dan remarking mobilnya di belakang mobil Willie, “Aku gamau mati karena kamu emosi di jalan Willie.”

Willie mengangguk sambil menggumamkan maaf. Karin melepaskan genggamannya dan meminta Willie kembali menyetir. Sepertinya, malam ini mereka akan kedatangan tamu.

Karin merasa heran dengan tingkah Willie dua hari ini. Terlihat ingin menyampaikan sesuatu, tetapi selalu ditahan sendiri. Terlihat seperti orang yang bingung.

Malam ini ketika mereka sedang makan malam berdua; entah Satria dan Nayla sedang kemana, akhirnya Karin yang bertanya terlebih dahulu.

“Kamu mau ngomong sesuatu?” tanya Karin setelah menyelesaikan makan malamnya.

“Eh, iya,” Willie terdengar menghembuskan nafas terlebih dahulu sebelum berbicara, “Paspor kamu masih aktif kan?”

Karin terlihat mengingat sesuatu, “Masih, kayaknya dua tahun lagi baru abis. Kenapa?”

“Minggu depan kita ke Maldives.”

“HAH?” Karin melongo, kenapa tiba-tiba dia harus pergi bersama dengan orang yang dia benci? Ralat. Orang yang selalu merepotkannya.

“Hadiah dari Om Brata. Beliau setuju buat jadi sponsor album yang aku produserin. Dan dia kasih hadiah.”

“Ya kamu pake sama siapa gitu kan bisa,” kata Karin ketus

“Denger. Aku tau kamu masih marah sama aku, tapi aku gapunya pilihan. Kalo sampe ketauan aku pergi sendiri, bakalan susah. Tolong lah, aku minta tolong ini.”

Karin memutar bola matanya malas.

“Look, we have our agreement signed already and I always be a woman with words. Jadi gausah khawatir kalo aku bakalan ngelanggar itu. Lagian, aku ga tertarik sama kamu.”

“Baguslah,” Karin mencebik sebelum mengambil minumnya, “Kata orang yang selalu muji aku cantik di depan orang lain.”

“Uhuk!” Willie tersedak, kaget dengan respons Karin yang sangat di luar dugaan.

“Apaan sih?” Willie menaikkan alisnya, heran karena Karin terdengar... kecewa?

“Kenapa emang? Cuma spitting the fact aja toh.”

Willie menghela nafas, percuma dia meneruskan argumen ini karena Karin pasti akan terus membalikkan kata-katanya.

“Nanti dikasi resort kok, gausa khawatir. Maldives selalu indah untuk dikunjungi.”

Karin memandang Willie tidak percaya. Wanita di depannya ini apakah memang mengabaikan fakta bahwa mereka hanyalah pasangan dengan kontrak, atau memang tidak peduli?

Apapun itu, Karin berusaha untuk tidak terlibat terlalu jauh. Lelah rasanya jika harus mengikuti permainan bungsu dari keluarga Angkasa itu.

“Sepertinya waktunya kita bersiap-siap,” kata Yeri setelah melihat jam tangannya.

“Bentar nunggu Willie dulu,” Karin berdiri sambil merapikan mejanya, “Kak Jess, Willie dimana?”

“Lagi naik kok, bentar ya,” jawab Jessica sambil tersenyum. Secara sekilas dia melihat Yeri terlihat kecewa. Cukup aneh tapi Jessica mengabaikannya.

Setelah menunggu sekitar 5 menit, Willie datang. Semua yang ada di ruangan bersiap untuk menuju lantai 2 gedung ini.

Ketika Yeri berdiri sejajar dengan Karin, dia terlihat seperti akan mendorong pelan punggung Karin, sehingga terlihat seperti melindungi wanita itu. Willie melihatnya, dengan cepat dia menggandeng tangan Karin dan membawanya berjalan agak cepat.

Sebelum dia terlalu kesal dengan sekretaris istrinya itu.

****

“Selamat siang, semuanya,” Karin membuka konferensi pers dengan senyuman khasnya, “Saya, Karin Ayu Asteria, istri dari Willie Putri Angkasa. Terimakasih kepada para wartawan yang bersedia hadir pada konferensi pers kali ini.”

Suara ketikan keyboard beradu dengan flash kamera mengiringi Karin yang menyampaikan klarifikasinya.

“Melalui konferensi pers ini, saya ingin menyampaikan bahwa memang benar wanita di foto tersebut salah satunya adalah istri saya.”

Suara bisikan dan terkesiap mulai terdengar di dalam ruangan.

“Namun yang perlu saya perjelas di sini, istri saya sebenarnya tidak berdua. Wanita yang ada di foto tersebut adalah Sarah Howard, teman kuliah istri saya. Pada malam itu, istri saya dan beberapa teman kuliahnya memiliki janji minum bersama di bar. Letaknya dekat dengan apartemen milik istri saya, sehingga dijadikan titik kumpul.”

Kemudian Karin meminta operator untuk menampilkan cuitan Sarah melalui proyektor.

“Sarah sendiri sudah melakukan konfirmasi dan klarifikasi. Sarah juga sudah menghubungi Willie, lalu diteruskan kepada saya untuk memperjelas situasinya. Melalui ini, saya berharap tidak ada lagi salah paham ataupun fitnah kepada saya dan keluarga saya. Terlebih, foto ini diambil di tempat parkir apartemen istri saya, di mana itu adalah pelanggaran privasi kepada istri saya. Sekian klarifikasi saya, silakan bagi yang ingin memberikan pertanyaan.”

“Tiga pertanyaan saja,” tukas Yeri yang memang berdiri di samping Karin sejak awal, “Baik, mbak yang pake baju hijau, mas yang di belakang pake kemeja abu-abu dan.... mas yang berdiri deket pintu keluar.”

Wartawan pertama menyampaikan pertanyaannya, “Beberapa waktu terakhir, Karin dan Willie menjadi role-model banyak orang, terutama melihat postingan di sosial media. Adanya kasus ini membuat banyak warganet merasa ikut terkhianati dengan isu perselingkuhan. Bagaimana tanggapan anda, Bu Karin?”

“Sebelumnya, saya dan Willie ingin meminta maaf atas kegaduhan yang terjadi. Pada awalnya kami juga tidak mengira bahwa banyak warganet yang menaruh perhatian terhadap hubungan saya dan Willie, karena kami biasanya mengunggah aktivitas kami berdua sebagai bentuk apresiasi atas apa yang sudah terjadi. Perihal citra kami yang memburuk, tentunya saya pribadi ingin menyampaikan bahwa semuanya akan baik-baik saja, hanya salah paham yang dibesar-besarkan. Silakan selanjutnya.”

“Baik terimakasih kesempatannya,” wartawan kedua bersiap menyampaikan pertanyaan, “Apakah berita isu perselingkuhan ini mempengaruhi saham ataupun rencana dari bisnis kalian berdua?”

“Sejauh ini, belum ada penurunan saham dari Angkasa Group. Pihak board dari Angkasa Group juga sudah berdiskusi mengenai respons apa yang akan diambil jika sampai mempengaruhi Angkasa Group secara keseluruhan. Baik, pertanyaan terakhir?”

Lelaki terakhir tersebut berdehem, membuat semua mata tertuju padanya, “Bu Karin, kenapa Willie masih menggunakan apartemennya? Bukankah kalian sudah menikah dan tinggal bersama? Apakah Willie masih doyan main perempuan dan kalian tidak segera memiliki anak karena memang Willie masih ingin bermain kesana kemari?”

Satu ruangan terkesiap dan mulai mendengung. Beberapa dari mereka menggeleng karena pertanyaanya sungguh tidak masuk akal.

“Ehm,” Karin berdehem di microphone walaupun tangannya menggenggam erat, menahan amarah yang memuncak, “Apartemen tersebut adalah aset milik Willie, dan saya juga tahu itu. Pertanyaan anda tidak masuk akal dan terlalu mengorek privasi saya, maka saya tidak akan menjawabnya.”

Karin menunduk dan memberikan tanda bahwa konferensi pers sudah selesai. Walaupun masih banyak wartawan yang ingin bertanya, tapi Karin mengatakan untuk menghubungi tim humasnya. Ketika Karin berjalan ke arah pintu keluar, Yeri memapahnya, justru membuat Willie semakin emosi. Dengan satu gerakan dia menghentikan Yeri.

“Aku uda bilang buat kamu tahu diri,” desis Wille pada sekretaris istrinya itu.

“Willie!” Karin menggandeng lengan Willie dan menariknya segera, masih banyak wartawan yang ada dan dia tidak mau harus berdiri lagi di sana untuk klarifikasi.

****

“Look, I'm sorry that I was being so harsh with her. She needs to know her place,” Willie mengehentikan langkah Karin yang cepat di tangga rumah mereka. Selama perjalanan pulang, Karin hanya memejamkan matanya, seolah menolak berbicara dengan Willie

“Tau apa kamu soal Yeri?” Karin menanggapinya dengan sinis. Jujur dia sangat muak dengan hari ini dan ingin segera tidur. Namun entah mengapa Willie juga ikut pulang ke rumah bersamanya.

“Dia tu keliatan banget mau caper sama kamu!”

“Jaga omongan kamu ya!” Karin mendorong bahu Willie dengan telunjuknya, “Yeri itu selalu jadi orang pertama yang bantuin aku di segala kondisi. Emang kamu? Sumber masalah!”

“Hei, aku minta maaf atas perbuatanku. Dan aku janji bakalan bantuin kamu untuk memperbaiki situasinya. Tapi soal Yeri aku beneran. Aku gamau ada dia di sampingmu.”

“Kamu apa ga cukup ngatur aku dan kehidupanku?” Karin mulai menangis, capek dengan kondisi yang sedang dia hadapi, “Aku tu uda capek paham sama kamu. Dan sekarang kamu mau ambil satu-satunya orang yang ada di kantor yang bisa ku percaya selain Nayla? Kamu jahat tau ga? Kalo kamu emang mau memperbaiki ini, cukup diem. Aku capek.”

Willie tahu dirinya sedang menjadi sorotan. Terlebih semenjak dirinya masuk ke gedung kantor dimana Bintang Agensi berlokasi di salah satu lantainya. Semua mata tertuju padanya yang sedang membawa kopi, bersama dengan Yolanda.

Walaupun Willie sudah memberikan Karin vanilla latte kesukaannya, wanita itu tetap mengabaikan kehadirannya. Sulung dari keluarga Asteria itu memilih untuk ngobrol dengan sekretarisnya; yang Willie selalu merasa mereka berdua berlebihan.

“Gausah gitu liatnya,” Jessica yang juga duduk di sofa beraama Willie menyenggol iparnya tersebut. Mereka barusan membicarakan mengenai apa yang disampaikan nantinya oleh Karin. Setelah itu, sepertinya Karin dan sekretarisnya memiliki sesuatu yang harus dibicarakan, sampai Willie tiba di kantornya.

“Aku emang liat apa?” Willie mendengus, merasa tertangkap basah. Apalagi Yolanda hanya terkekeh di samping Jessica.

“Yauda gada,” Jessica hanya tersenyum, tahu jika Willie tidak ingin membahasnya lagi, “Nih scriptnya Karin.”

Willie membaca file dari tablet yang diberikan oleh Jessica, membaca seksama juga kemungkinan-kemungkinan pertanyaan dari wartawan. Menurut Willie, memang buktinya belum cukup menyakinkan, bahwa wanita yang bersamanya adalah teman kuliah dan mereka tidak hanya berdua nantinya.

Masih berpikir keras, notifikasi dari gawai Willie terdengar, membuat Willie tersenyum lebar.

“Aku punya bukti yang menguatkan,” kata Willie, “Ini.”

Jessica membaca cuitan dari sebuah akun, menamakan dirinya Sarah Howard.

“Ini yang ada di foto?” tanya Jessica penasaran, membuat Karin yang tadinya berbicara dengan Yeri, mengalihkan perhatiannya

“Iya,” Willie mengangguk, “Temen kuliahku. Anaknya blasteran Indonesia-Inggris dan sekarang stay di Jerman.”

“Bukti yang kuat,” Jessica menepuk tangannya senang, “Karin, kita bisa tambahkan ini.”

“Iya, Kak,” Karin menuliskan tambahan informasi tersebut, semua itu dia lakukan tanpa melirik ke arah Willie sama sekali.

“Konferensi persnya di mana?” tanya Willie

“Di lantai 2 gedung ini,” jawab Yeri, “Tadi Kak Jessica minta saya koordinasi dengan humas dan kita bisa pake common room di lantai bawah.”

“Oh,” Willie mengerutkan alisnya tidak suka. Dia tidak berharap Yeri yang menjawab, karena dia tidak mengarahkan pertanyaan itu padanya.

Willie melirik jam tangannya

“Kita mulai jam 2, satu jam lagi,” tiba-tiba Yeri menyampaikan informasi yang tidak diminta oleh Willie, membuat wanita itu semakin kesal.

“I don't even talk to you. Know your place,” Willie menggeram, “Smoking room di mana? Sebat dulu. Pusing.”

“Kayaknya di bawah,” jawab Yolanda, “Yuk, aku anter.”

Willie langsung mengambil tasnya dan pergi dari ruangan Karin. Tidak melewatkan gelengan kepala dari Jessica, yang ditanggapinya dengan pipi yang menggelembung. Jessica paham, adik iparnya itu sedang sangat kesal dan tidak ingin kelepasan berbicara kasar—walaupun barusan sebenarnya dia sudah berkata kasar kepada Yeri.

Tapi yang dia lewatkan adalah wajah Karin yang sedikit bingung. Tidak biasanya Willie terlihat terpojok; biasanya wanita itu selalu bersikap tengil dan tidak peduli.

“Dasar aneh,” batin Karin sembari meminum vanilla latte yang dibelikan Willie untuknya.

Willie masuk bersamaan dengan Yola. Mobilnya tadi dikendarai oleh Rendi pulang. Selama perjalanan, Yola menceritakan sekilas bahwa Karin terlihat sangat marah. Terlebih, dia harus mengirimkan uang kepada orang yang tidak dia kenal.

Begitu masuk ke dalam rumah, Willie sudah disambut dengan Karin yang berdiri sembari melipat tangannya di depan dada. Jelas, wanita itu sedang marah.

“Aku juga gatau itu siapa. Ga inget lebih tepatnya,” Willie mengabaikan pusing di kepalanya. Dia mengendikkan bahunya cuek kepada istrinya yang memandang lurus padanya.

“Aku ga peduli!” Karin meninggikan suaranya. Cukup mengagetkan karena dia lebih sering terlihat kalem dan sopan.

“Kenapa sih? Kamu mau uangmu balik? Yauda sini aku transfer balik.”

“Kamu tu paham ga sih? Ini tu malah bikin semuanya bisa berantakan! Kenapa bisa dia nemuin rumah ini?”

“Ya mana aku tau?” Willie masih terlihat cuek. Bahkan dia menghempaskan dirinya ke sofa ketika Karin masih sibuk mengomel.

“Trus aku harus nanggepin gimana? Bilang makasih karena dikasi tau kelakuannya istriku di luar sana? Gimana kalo ada yang hamil? Harus aku kasihanin?”

“Gausa sembarangan. Aku gabakal sesembrono itu.”

“Halah. Buktinya ada yang minta uang karena kamu sobekin bajunya,” Karin memutar bola matanya malas, “Udahlah, capek ngomong sama batu. Jangan pernah kasih alamat rumah ini ke wanita-wanita yang kamu pake. Menganggu!” Karin berjalan ke arah tangga setelah selesai mengungkapkan semuanya sembari menunjuk-nunjuk si bungsu Angkasa itu.

“Ngapain sih, ini juga rumahku. Kamu cuma tinggal aja di sini,” kata Willie asal, melewatkan Karin yang meremas tangannya kesal sembari menaiki tangga.

Hari Minggu selalu menjadi hari yang cukup menyenangkan bagi Karin. Karena dirinya sangat jarang harus lembur dan lagi, dia bisa melakukan kreasi masakan bersama pasangan Pak Feri dan Bik Citra. Seperti pagi ini, wanita itu sudah mengobrol di dapur mengenai menu brunch yang akan mereka masak.

Namun aktivitas mereka terhenti karena Rendi tiba-tiba berlari ke dapur. Wajahnya pucat.

“Kenapa, Ren?” tanya Pak Feri, tidak biasanya Rendi terlihat panik seperti itu

“Ini... itu ada cewek marah-marah di depan gerbang daritadi. Katanya mana Willie mana Willie,” Rendi berusaha menjelaskan, “Saya sama Reno udah nahan-nahan tapi kami sampe dipukul. Ini Reno masih nahan dia.”

“Suruh masuk aja,” kata Karin pelan, “Willie mana?”

“Gatau, Karin. Semalem ga pulang dia,” jawab Rendi

“Yauda, suruh masuk aja itu biar ga ganggu orang lain.”

****

“Mana Willie Angkasa?!” wanita itu langsung berteriak befitu menginjakkan ruang tamu. Nayla dan Satria yang baru bangun mengintip dari lantai 2, membiarkan Karin dan beberapa orang lain menanggapinya

“Ada perlu apa? Saya istrinya,” kata Karin tenang. Dia duduk dan menyilangkan kaki, sembari berpikir langkah apa yang harus dia ambil setelah ini.

“Oh iya benar. Dia bilang sudah beristri,” wanita itu menyeringai, “Willie Angkasa uda nipu saya. Katanya abis make mau beliin baju-baju bagus karena baju yang saya pakai dia sobekin di malam kita beradu badan itu.”

Penjelasan wanita itu sebenarnya membuat Karin mual. Dia kesal sekali mendengar penjelasan mengenai Willie dan dia harus mendengarkannya? Sungguh cobaan.

“Lalu dia blok nomer saya, gabisa dihubungi sama sekali. Yauda saya tagih aja ke rumahnya. Kurang ajar banget dia, emang dia pikir saya cewek apaan?”

“Lah kan emang?” celetuk Rendi yang mendapat sikutan dari Yola di sampingnya.

“Willie lagi ga di rumah. Dan saya gatau berapa yang harus saya bayar untuk ini,” kata Karin, “Saya bayar tapi anda segera pergi dari sini.”

“Baik hati sekali istri Willie ini. Yaa, mungkin 5 juta rupiah?”

Karin berdiri dan mengambil sesuatu dari meja

“Tulis rekening kamu,” perintah Karin yang langsung dilakukan oleh wanita tersebut. Setelah selesai, Karin segera mengirimkan uang yang diminta dan meminta wanita itu pergi dari hadapannya. Semua orang di rumah tahu, suasana hati Karin sedang sangat buruk.

“Rendi, Kak Yola, cari Willie sekarang,” perintah Karin yang langsung dituruti oleh keduanya

“Astagaa ini lho yang ditunggu-tunggu,” sesosok pria paruh baya berdiri begitu melihat Willie datang bersama dengan Karin. Keduanya, anehnya juga, malam ini memakai baju yang serasi dengan tema abu-hitam.

“Eh, Om Brata toh ini,” Willie melepaskan tangannya yang menggenggam tangan Karin dan memeluk lelaki paruh baya di depannya, “Sahabat Ayah aku,” Willie menunjuk gestur mengenalkan kepada Karin, “Dulu sering diajakin tennis.”

Karin mengangguk dan tersenyum manis

“Pinter kamu pilih istri, Willie. Emang pinter semua kalian, Tere juga,” puji Brata sambil menepuk tangannya

“Itu yang bikin Willie agak terlambat tadi, Om,” Willie tersenyum sambil merangkul pinggang Karin, “Biasa, pengantin baru.”

Karin sangat terkejut dengan akting Willie kali ini. Terlebih dia juga tidak sengaja melihat wajah kaget Tere dan Jessica. Biasanya tidak segitunya akting yang dilakukan Willie. Tentu karena Willie sudah berbicara seperti itu, Karin juga harus menanggapi.

“Bisa aja ah, Willie,” Karin mencubit gemas hidung istrinya, membuat Brata semakin tertawa dan mempersilakan pasangan itu untuk segera duduk.

****

“Capek banget, Will?” Yola bertanya setelah mengintip Willie yang memejamkan mata di kursi belakang. Di sebelahnya ada Karin yang hanya terdiam

“Iya soalnya ngomongin bisnis mulu. Mana Anggun semangat buat segera investasi, padahal kalo dia tau, Om Brata sangat teliti ngecek gitu-gituan.”

“Ya bagus dong.”

“Capek akting mesra juga,” kata Willie sambil melirik Karin, yang membalasnya dengan tatapan mengerikan

“Ya kaya aku mau aja,” tanggap Karin ketus.

“Kirain seneng, nikmatin sih.”

“Ga kebalik?”

“Kalo aku seneng, emang kenapa?” tanya Willie menantang

“Karena aku sih gamau.”

“Tenang aja. I don't like you kok.”

I don't love you either,” jawab Karin pendek.

“Baguslah. Pertahanin itu.”

“Dengan senang hati.”