wxyzndaa

Panggilan

Deva menerima panggilan telepon dari Xenan di dalam kamar.

Panggilan berlangsung

“Halo Tante. Ada apa?”

“Halo Deva. Maaf Mami tiba tiba telepon.”

“Iya gapapa Tan. Kenapa ya?”

“Kamu udah sampe di rumah?”

“Udah Tan, dari 20 menit yang lalu Deva udah di rumah. Makanya Deva juga bisa terima panggilan Tante.”

“Syukurlah. Deva, Mami mau tanya sesuatu.”

“Tanya apa Tante?”

“Kamu belum cerita kan sama Bunda soal Mami? Sama Radey atau Radiv?”

“Belum Tan, Deva belum cerita apapun. Barusan Deva mau bilang ke Radiv, tapi keburu Tante telepon.”

“Deva, jangan dulu cerita ya. Biar Mami aja nanti yang cerita sama Ka Wenda, Bunda kamu. Ya sayang? Mami mohon.”

“Kenapa Tan?”

“Gak kenapa-kenapa. Nanti Mami yang bilang, kalo kamu yang ngomong pasti Ka Wenda gak bakalan percaya.”

“Hmmm yaudah deh Tan, Deva gak akan cerita apapun kalo gitu.”

“Iya sayang. Makasih ya.”

“Sama-sama Tan. Yaudah kalo gitu, udah dulu ya Tante. Deva mau mandi.”

“Iya sayang. Maaf Mami ganggu waktu kamu.”

“Gapapa tan.”

wxyzndaa

Karena kamu adik Radiv

Deva sampai tepat di depan rumahnya, tampak Radiva sudah menunggu kedatangan Deva di depan pintu utama.

Deva berjalan menghampiri Radiv dengan membawa satu kantong penuh cemilan di tangan kanannya.

“Lama banget Dev?” tanya singkat Radiv menatap Deva lembut.

“Supermarketnya penuh Div, jadi lama. Maaf,” jawab Deva dengan kepala menunduk.

“Yaudah masuk, sini kreseknya. Nanti Radiv ganti uangnya. Makasih ya,” tutur Radiv mengambil alih kantong berisikan makanan miliknya dari tangan Deva. Langsung berbalik badan, masuk ke dalam rumah meninggalkan kembarannya.

“Div, maaf....” ucap singkat Radeva dengan nada suara yang tampak merasa bersalah.

Radiva pun menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Deva yang masih berada di depan pintu rumah. “Maaf soal apalagi?” tanya Radiv singkat.

“Soal tadi Div. Maafin gue, gue bener-bener keterlaluan pergi gitu aja tanpa pamit sama lo. Maafin gue.” Jelas Radeva dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.

“Kan tadi udah minta maaf. Gapapa, udah terjadi juga.”

“Radiv, lo beneran marah ya....”

“Engga Dev. Radiv gak marah sama sekali. Itu hak kamu, Radiv cuma kaget aja tiba-tiba kamu pergi gitu aja tanpa pamit. Gapapa ko, udah ayo masuk. Mandi sana, kamu bau bensin, Radiv gak suka.” Jelas Radiva mencoba mencairkan suasana.

“Radiv lo.... Kenapa lo baik banget sama gue?”

“Karena kamu adik Radiv, kamu kembaran Radiv. Radeva, kamu segalanya buat Radiv.”

Radeva tidak percaya akan mendengar jawaban seperti itu dari kaka kembarnya. Ia benar-benar merasa bersalah atas apa yang ia lakukan siang tadi. Meskipun hanya kesalahan kecil, tapi Radeva sadar, bahwa apa yang ia lakukan sangatlah menyakiti perasaan Radiv.

Radeva melangkah mendekat ke arah Diva. Anak yang memiliki kadar gengsi yang tidak jauh dengan Radeya itu tiba-tiba saja memeluk Radiva erat.

“Ehhhh? Apaa ini peluk-peluk??? Kamu bau bensin,” celetuk Diva tiba-tiba.

“Maafin gue Div, maafin gue,” ucap Deva sembari memeluk erat Radiva.

Entah sudah berapa belas kali Deva terus meminta maaf kepada kaka kembarnya itu. Sampai ucapan maaf yang terakhir, Deva ucapkan sembari memeluk erat Radiva. Radiva membalas pelukan Radeva dengan erat sembari mengusap lembut punggung adik kembarnya.

“Deva. Maaf, maaf karena Radiv juga bohong sama kamu.”

“Bohong apa Div?” tanya Deva kebingungan.

“Radiv bohong kalo Radiv gak marah. Radiv bohong kalo Radiv bilang gak kenapa kenapa. Radiv sedih Dev, Radiv takut. Radiv takut kalo kamu bakal ninggalin Radiv. Radiv takut semakin kamu deket sama Mami, semakin kamu bakal ngerasa lebih nyaman sama Mami sampe akhirnya kamu lupa sama keluarga kamu sendiri, terutama sama Radiv,” jelas Radiv dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Radiv....Maaf.... Lo sampe kepikiran ke sana gara-gara ini,” tutur Deva merasa bersalah.

“Gue bener-bener gaada niatan buat ninggalin lo Div, buat ninggalin keluarga ini. Gaada sama sekali. Bodoh banget kalo sampe gue lebih milih Tante Xenan daripada Bunda. Div, dengerin gue. Tadi siang gue pergi karena Tante Xenan butuh bantuan gue, dia di apartemen sendirian, asistennya lagi keluar. Gue cuma takut Tante Xenan kenapa-kenapa. Udah itu aja Div,” jelas Deva panjang lebar.

“Emangnya Mami kenapa?” tanya Radiv penasaran.

Setelah mendengar pertanyaan itu dari Radiv, Deva tiba-tiba saja melepaskan pelukannya.

“Jadi Radiv beneran belum tau?” batin Deva bertanya tanya.

“Deva, ko diem?”

“Euuu... Sebenernya, sebenernya Tante Xenan itu.....”

Deva tiba-tiba saja menyudahi obrolannya yang belum sempat ia selesaikan, karena ia mendengar suara dering ponsel miliknya. Benar saja, terlihat notif panggilan masuk dengan nama kontak bertulisan “Tante Xenan” di layar ponselnya yang terbaca jelas oleh Radeva juga Radiva di sampingnya.

“Mami?” tanya Radiv menatap ke arah ponsel, langsung menatap tajam ke arah Deva.

“Tante Xenan? Ngapain?” Deva bertanya heran.

“Angkat aja dulu,” saran Radiv pada adiknya.

“Gak usah. Gapapa, kan gue lagi ngobrol sama lo.”

“Udah angkat aja sana di kamar. Nanti lanjutin ngobrolnya. Radiv juga mau ke kamar, mau mandi.”

“Yaudah deh, gue ke atas duluan angkat telepon.”

“Iya sana. Radiv mau simpen dulu ini ke kulkas.”

wxyzndaa

Xenan – Deva

Hampir setengah jam Radeva menunggu di meja salah satu restoran terkenal daerah Jakarta. Tidak tampak juga kehadiran adik kembar dari bundanya itu.

“Lama bangett gila, kaki gue udah kesemutan ini. Dia yang ngejanjiin jam segini, malah dia yang ngaret,” gumam kesal Radeva sembari memainkan gelas di hadapannya.

Tidak lama setelah itu, datang seorang wanita paruh baya dengan wajah yang benar-benar mirip dengan bundanya. Xenanda datang dengan penampilan yang tidak jauh berbeda dengan Wenda. Gaya berpakaian Xenanda tampak persis seperti bunda, hanya tatanan dan warna rambutnya saja yang berbeda.

Xenan tampak antusias melihat Radeva yang terlihat melambaikan telapak tangannya dari kejauhan. Xenan mempercepat langkahnya, hingga sampailah ia tepat di depan meja yang sudah ia pesan sebelumnya. Menatap dalam sosok anak laki-laki yang ada di hadapannya. Radeva yang merasa tidak sopan karena masih dalam posisi duduk setelah kedatangan Xenan, beranjak dari kursinya dan berdiri saling berhadapan dengan Xenan.

Xenan masih terus menatap ke arah Deva, sorot matanya menunjukkan bahwa ia memang sangat merindukan Radeva. Mata Xenan semakin terlihat berkaca-kaca, Radeva yang melihatnya hanya terdiam kebingungan. Entah apa yang harus ia lakukan, karena tampaknya jika ia menyapa pun, wanita dengan wajah yang sama persis dengan bundanya itu tidak akan merespon.

“Tann? Haloo? Tanteee? Tante kenapa??” tanya Radeva sembari melambaikan tangannya tepat di hadapan Xenan.

Xenan masih saja terdiam, hingga akhirnya tanpa aba-aba ia melangkah mendekati Radeva, kemudian memeluk anak laki-laki itu dengan erat.

“Ehhh?” ucap singkat Deva tiba-tiba.

Radeva dengan wajah bingungnya hanya bisa berdiri pasrah karena Tante Xenan memeluknya dengan sangat erat. Semakin erat pelukan Xenan, semakin keras juga suara tangisannya. Deva semakin bingung, entah apa yang harus ia lakukan. Tanpa pikir panjang, Deva akhirnya membalas pelukan Xenan, mengelus lembut punggung adik dari bundanya itu.

“Tante, Tante kenapa nangis? Udah ya, jangan nangis. Nangis cape tau,” tutur Deva mencoba menenangkan Xenan.

“Devaa, Devaa... Mamii... Mamii gak nyangka bisa ketemu kamu lagi nak... Mami bahagia banget, mami masih gak percaya kalo kamu masih hidup Deva,” jelas Xenan yang masih dengan posisi dirinya memeluk Radeva.

“Iya Tante, ini Deva. Deva masih hidup. Udah ya jangan nangis, nanti cantiknya ilang,” tutur Deva kembali pada Xenan.

“Apaan si anjir dev,” batin Deva merasa aneh dengan ucapannya.

Deva terus mengelus punggung Xenan, hingga tidak lama setelah itu Xenan melepaskan pelukannya. “Udah ya tan nangisnya, minum dulu,” pinta Deva sembari menarik kursi untuk memudahkan Xenan duduk.

Xenan mengikuti arahan Deva, ia meneguk satu gelas air putih di hadapannya.

“Udah ya tan, tenang dulu. Kalo udah tenang, Tante boleh ngobrol,” saran Radeva dengan sedikit senyumnya.

Tampak Xenan sudah dapat memulai pembicaraannya dengan Radeva. “Maaf ya sayang, Mami malah nangis di depan kamu. Malu maluin emang,” jelas Xenan pada Radeva.

“Gapapa Tante. Deva paham ko, Tante udah lama gak ketemu Deva, jadi wajar aja kalo Tante nangis.”

“Kamu apa kabar sayang?”

“Baik Tante, Tante sendiri gimana? Gimana perjalanannya ke sini dua hari lalu? Lancar lancar aja kan?”

“Mami baik Deva. Baik bangett. Perjalanan ke sini juga lancar-lancar aja, buktinya Mami bisa ketemu sama kamu,” jawab Xenan dibarengi senyumannya.

Keduanya menghabiskan waktu dengan menikmati makan siang dibarengi berbagai obrolan

45 menit berlalu

“Tante sekarang mau kemana? Biar Deva anterin?” tanya Deva setelah makan siangnya dengan Xenan selesai.

“Boleh?” tanya singkat Xenan pada Radeva.

“Boleh Tan, masih siang ini.”

“Mami mau belanja buat kamu.”

“Maksudnya Tan?” tanya Deva bingung.

“Ya kamu nanti harus banyak beli sesuatu, nanti Mami tinggal bayar. Ya?”

“Gak ah tan, Deva gak mau ngerepotin orang lain,” tolak Deva tiba-tiba.

“Mami bukan orang lain loh. Mami ini Mami kamu, kamu anak mami.”

“Anak...” batin Deva.

“Ya, Mami mohon??” pinta Xenan dengan mata yang berkaca-kaca.

“Tapi tan?”

“Yaudah kalo gak mau gapapa. Padahal itu salah satu keinginan Mami se...”

Radeva yang paham kemana arah ucapan Tante Xenan, dengan cepat langsung memotong pembicaraannya. “Yaudahh iya tann, iya Deva belanja iya,” jelas Deva mengiyakan, karena tidak ingin menyakiti hati kembaran bundanya itu.

“Nahh gitu, itu baru anak Mami,” ucap Xenan dengan senyumannya sembari mengacak-acak rambut Deva.

“Kenapa jadi gini si anj,” batin Radeva kesal.

wxyzndaa

Gara-gara Xenan

“Bundaa, Radiv mana??” tanya Radey yang sudah sampai terlebih dahulu di dapur.

“Radiv? Radiv ya di kamarnya mungkin Dey. Dia belum ke sini,” jawab bunda sembari berjalan membawa beberapa piring ke ruang makan.

“Lahhh? Tadi dia bilang mau ke bawah.”

“Ya bunda gatauu dey.”

“Kenapa ka??” tanya Deva yang baru saja sampai di dapur.

“Itu apaa kata bunda si Radiv masih di kamarnya. Gue kira udah ke sini bantuin bunda.”

“Lahh begimana tu kadip. Gue susul aja deh ka, jangan-jangan tu anak tidur lagi.”

“Radiv mana mungkin tidur lagi. Kecuali kalo cape banget tuh anak, emangnya lo,” jelas Radey pada adiknya

“Lahh gue tidur lagi juga karena cape ka. Gue cape menjalani kehidupan yang berat ini.”

“Udah ah berisik lo. Susulin sana cepetan. Gue takut tu anak pingsan di kamar,” pinta Deya pada adiknya.

Baru Deva membalikkan badannya, hendak menghampiri Radiva ke kamar. Tampak Radiv tengah melangkah menuruni 3 anak tangga terakhir rumahnya.

“Apa? Kenapa pada ngeliatin Radiv kaya gitu?” tanya Radiv heran.

“Ngga ko. Ko lo masih di kamar si? Gue kira lo udah di bawah bantuin bunda.” Tanya Radey kebingungan.

“Ya suka suka Radiv?” jawab Radiv singkat dengan kedua alis yang ia kerutkan.

“Baru mau gue samper lo ke kamar,” sambung Deva.

“Ngapain disamperin? Radiv bisa ke bawah sendiri,” jawab Radiv dengan raut wajah yang tampak kesal.

“Kenapa ni anak?” batin Radey heran.

“Tumben banget jawabnya begitu,” batin Deva.

“Suruh siapa bohongin Radiv. Radiv ajak lari, ka Radey malah bilang masih ngantuk, dan dia gak bilang kalo di kamarnya ada Deva. Deva juga, bilang baru bangun, padahal dia lagi di kamar Kaka. Kenapa coba? Padahal cuma ngobrolin mami?” batin Radiv tampak kebingungan.

“Udahhh ayo makan. Ngapain pada diem begitu?” tanya bunda tiba-tiba pada ketiga anak kembarnya.

“Iyaa bunda.” Jawab ketiga anak laki-laki itu bersamaan.

Meja makan

“Kenapa pada diem gini? Biasanya lagi makan aja berisik?” tanya papa heran melihat ketiga anaknya yang terlihat hanya fokus pada makanannya masing-masing.

“Kan kata papa kalo makan harus diem gaboleh ngobrol. Yaudah Radiv diem,” jawaban pertama datang dari anak tengah keluarga Jayachandra, Radiva.

“Bener sih pa kata Radiv,” sambung Deya.

“Iya itu bener kata kadip. Deva mengikuti. Kadip bintang lima,” sambung Deva menambahkan jawaban dari Radeya.

“Lah, dari dulu papa selalu bilang kaya gitu juga kalian gak pernah terapin.”

“Udahlah pa. Baru bangun juga mereka,” jelas Bunda sembari mengelus pundak suaminya.

“Papa, bunda Deva mau nanya sesuatu,” ungkap Deva tiba-tiba, disaat keadaan ruang makan tengah hening.

“Kenapa sayang?” tanya bunda dengan senyuman manis.

“Ni anak beneran mau tanyain soal tante Xenan ke bunda?” batin Radeya.

“Pasti mau bahas tante Xenan,” batin Radiva.

“Soal tante Xenan, bunda.”

“Kenapa tante Xenan?” tanya bunda.

“Kenapa Deva tiba-tiba bahas Xenan?” batin papa.

“Bunda dikasih kabar gak sama tante Xenan?”

“Kabar apa?”

“Kabar kalo tante Xenan mau ke Jakarta,” ungkap Deva spontan.

“Hahhh? Engga. Bunda gak dapet kabar dari tante kamu. Kamu tau dari mana?” tanya bunda heran.

“Tante Xenan yang ngabarin Deva bunda. Dia bilang mau ke Jakarta, mau ketemu sama Deva.”

“Apa yang mau kamu lakuin sama Deva, Xenan?” batin bunda kesal.

“Kann, ekspresi bunda sama papa langsung berubah pas gue bahas Tante Xenan, ka Radey juga. Cuma ekspresi Radiv yang gak berubah, artinya dia gak tau apa-apa tentang Tante Xenan. Kalo Radiv tau, dia pasti bakal bilang hal yang sama soal tante Xenan, kaya apa yang dibilang Ka Radey ke gue.” batin Deva bingung.

“Artinya Mami cuma kabarin Deva aja?” tanya Radiv tiba-tiba.

“Kayanya iya Div. Lo gak dapet kabar dari tante Xenan?” tanya Deva.

“Engga, mami juga udah jarang chat Radiv.”

“Ya karena tujuan dia cuma ke Deva, Div.” batin Radeya.

“Aneh banget, ngabarin ko cuma ke Deva aja. Bunda yang kembarannya gak di kabarin. Keponakannya tante Xenan kan gak cuma Deva, kenapa cuma Deva yang dikabarin? Kenapa Radiv engga? Ya kalo gue, gue sadar sih gak terlalu deket sama Tante Xenan. Jangan-jangan Oma sama Opa juga gak dapet kabar dari anaknya sendiri,” jelas Radeya mempertanyakan hal yang sebenernya sudah ia ketahui jawabannya.

“Bener juga sih ka. Kenapa ya? Kenapa cuma Deva?” tanya Radiva pada kakanya.

“Coba bunda tanya oma, Tante Xenan kasih kabar gak ke oma?” pinta Radey pada bunda.

“Dey, kalo oma dapet kabar, oma pasti udah bilang ke bunda. Ya artinya oma kamu juga belum dapet kabar dari Tante Xenan,” jelas Bunda pada salah satu anaknya.

“Bunda kenapa gak jelasin aja si? Kenapa malah buat anaknya bingung gini? Kenapa bunda malah sembunyiin hal yang penting kaya gini? Radey pengen bilang sekarang ke mereka, tapi Radey gak mau ngecewain Radiv, karena Radey udah nyembunyiin hal ini dari dia,” batin Radeya berharap bunda menjelaskan tentang Tante Xenan pada semuanya.

Bunda menghela nafas panjang, mencoba menjelaskan secara perlahan pada salah satu anaknya itu. “Deva, dengerin bunda. Tante Xenan memang kembaran bunda, tapi bunda harap kamu jangan terlalu deket sama dia ya. Sewajarnya aja, jangan sampai kamu anggep dia sama kaya bunda. Bunda sama Tante Xenan itu beda, Deva.”

“Maksud bunda apa? Kenapa bunda juga larang Deva buat gak terlalu deket sama dia? Bunda juga nyembunyiin sesuatu dari Deva?” tanya Deva penasaran.

“Juga? Maksud kamu?” tanya Bunda kebingungan.

“Ka Radey juga bilang kaya gitu ke Deva. Udah dua kali dia bilang buat Deva jangan terlalu deket sama tante Xenan.”

“Radey? Kenapa dia kaya gitu? Apa dia tau?” batin Chandra, juga Wenda mempertanyakan hal yang sama.

Radeya hanya terdiam, tidak mengucapkan satu patah kata pun. Berbeda dengan Radiva, ia tampak kebingungan dengan ucapan yang baru saja bunda lontaran pada Deva, begitupun jawaban Deva pada bunda.

“Maksudnya gimana? Kenapa bunda sama kaka larang Deva buat deket sama mami? Kenapa?” batin Diva kebingungan.

“Radey, ikut papa sebentar,” pinta papa, beranjak dari kursi dan pergi meninggalkan ruang makan, diikuti Radeya di belakangnya.

“Radeya? Kamu tau?” tanya papa singkat.

“Pa, Radey tau. Dari dulu Radey tau pa. Radey denger semua pembicaraan papa bunda sama tante Xenan soal Deva. Tapi karena dulu Deva diklaim udah meninggal, Radey lupain semuanya tanpa cerita ke Radiv soal tante Xenan. Dan sekarang, Deva ada, tante Xenan dateng lagi. Radey bingung pa, kalo Radey jelasin ini ke Deva tanpa sepengetahuan Radiv. Radiv pasti kecewa sama Radey, karena Radey gak ceritain hal ini dari dulu. Pa, Radey mohon. Papa jelasin ke semuanya, ke Deva, ke Radiv. Radey gak mau Deva terpengaruh sama tante Xenan. Dan Radey juga gak mau kalo Radiv malah terus dukung kedekatan tante Xenan sama Deva.” Jelas Radeya panjang lebar pada papa.

“Radeya, maafin papa ya. Maaf karena papa gak jujur sama kalian berdua dari dulu, harusnya dari dulu papa cerita soal tante Xenan ke kamu sama Radiv meskipun dalam keadaan Deva udah diklaim gaada waktu itu. Papa salah. Maafin papa ya.”

“Bundaa, bunda jawab pertanyaan Deva! Kenapa bunda diem aja? Bunda beneran kan nyembunyiin sesuatu dari Deva? Bunda sama Ka Radey tau sesuatu yang Deva gak tau. Bahkan kayanya kalian nyembunyiin dari Ka Radiv juga. Karena jawaban ka Radiv soal tante Xenan beda dari kalian. BUNDA JAWAB!! JANGAN DIEM AJA!!” sentak Deva tepat di hadapan bunda.

“RADEVA!!!” teriak Radiv kesal, berjalan dua langkah mendekati Deva, mendorong bahu kanan Deva dengan salah satu tangannya.

“APAAA?” tanya Deva kesal.

“JANGAN BENTAK BUNDA! BUNDA GAK NYEMBUNYIIN SESUATU DARI KAMU! JANGAN PAKSA BUNDA BUAT CERITA, KALO BUNDA AJA GAK TAU APA YANG HARUS DIA CERITAIN KE KAMU!” jelas Radiva kesal menatap tajam ke arah adiknya.

“BUNDA TAU DIV! BUNDA TAU! KA RADEY JUGA TAU! DAN KAYANYA PAPA JUGA TAU! BUKTINYA PAPA AJAK KA RADEY PERGI BARUSAN! CUMA LO YANG GAK TAU DIV! CUMA LO! SEBELUM GUE DATENG KE RUMAH INI, MEREKA UDAH TAU SESUATU! CUMA LO YANG GAK TAU RADIVA!”

“APA MAKSUD KAMU?”

“CUKUP DIV. LO GAK USAH PURA PURA GAK PAHAM. LO JUGA PENASARAN KAN APA YANG MEREKA SEMBUNYIIN SOAL TANTE XENAN? SOAL MAMI LO? LO JUGA BINGUNG KAN KENAPA BUNDA SAMA KA RADEY LARANG GUE BUAT GAK TERLALU DEKET SAMA TANTE XENAN? IYA KAN?”

“IYAA RADIV BINGUNG DEV! RADIV PENASARAN! RADIV SAMA KAYA KAMU! TAPI RADIV GAK PERNAH SAMPE HARUS BENTAK BUNDA KAYA GITU! KAMU KETERLALUAN DEVA!”

“Cukupppp!! Jangan berantem, udah cukup. Maaf, maaf bunda udah nyembunyiin sesuatu dari kalian. Maaf.” Ungkap bunda tiba-tiba, dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Bunda nangis? Bundaa maafin Radiv. Maafin Radiv bunda, bunda jangan nangis.” Jelas Radiva, menghampiri bunda, langsung memeluknya.

“Semua gara-gara kamu Deva. Kamu buat bunda nangis!” celetuk Radiv, menoleh ke arah Deva di belakangnya.

“DIV, GUE CUMA MAU TAU SOAL TANTE XENAN DIV. KENAPA BUNDA SUSAH BANGET BUAT CERITA!”

Dari arah pintu luar, muncul Radeya dan papa, berjalan melangkah ke arah ruang makan. Keduanya tampak kebingungan dengan situasi yang mereka lihat pada saat itu.

“Bunda kenapa? Bunda nangis?” tanya Radey bingung.

“Deva bentak bunda ka. Salah Radiv juga, Radiv malah adu mulut sama Deva barusan.” Jawab Radiv yang masih tampak memeluk bunda.

Papa hanya terdiam melihat situasi di hadapannya. Berbeda dengan papa, Radeya justru berjalan menghampiri Deva. “Maksud lo apa bentak bunda? Siapa yang ajarin lo? Joanna ya? JOANNA YANG AJARIN LO BUAT NYAKITIN PERASAAN ORANG? HAH??? JAWAB RADEVA!” tanya Radey kesal dengan nada tinggi pada Deva.

“Kaaa, maaf. Gue cuma pengen tau soal Tante Xenan. Gue cuma mau kejelasan dari kalian. Salah ya kalo gue pengen tau sesuatu?”

“Engga Dev, gak salah. TAPI CARA LO YANG SALAH. LO BOLEH TANYA BUNDA! DENGAN KELEMBUTAN! BUKAN PAKE BENTAKAN!” jelas Radey kembali pada adiknya.

“Udah Dey, gapapa. Bunda gapapa. Udah jangan marahin Deva, Deva gak salah apa-apa. Bunda cuma kaget aja tadi.” Pinta Bunda meminta Radey untuk berhenti membentak Radeva.

“Bentar bunda, dia udah kelewatan.”

“LO BENERAN MAU TAU DEV? OKE GUE KASIH TAU SEKARANG JUGA. TAPI SEBELUMNYA MAAF DEV, MAAF KALO GUE BARU BILANG SEKARANG SAMA LO. TANTE XENAN, TANTE XENAN MAU REBUT LO DARI KELUARGA KITA! TANTE XENAN MAU BUAT LO JADI ANAKNYA! PUAS LO! ITU YANG MAU LO DENGER KAN? PERNYATAAN KAYA GITU YANG MAU LO DENGER SAMPE LO BERANI BENTAK BUNDA?!”

Radeva yang mendengarnya hanya terdiam mematung, Radiva yang tadinya memeluk bunda pun, tiba-tiba melepaskan pelukannya.

“Ka? Maksudnya apa?” tanya Radiv bingung.

“Diva, ikut papa. Papa jelasin semuanya.”

Radiva pun pergi mengikuti papa ke luar rumah, di sana papa menceritakan semuanya, termasuk alasan Radey yang sudah mengetahui terlebih dahulu dan alasan tidak menceritakannya pada Radiva.

“Ka? Jadi? Jadi gue mau??” tanya Radeva gugup.

“IYA. DARI KECIL LO UDAH JADI INCERANNYA TANTE XENAN DEV. DARI DULU DIA MAU LO JADI ANAKNYA! HAMPIR SETIAP MINGGU DIA DATENG KE RUMAH MOHON MOHON BIAR BUNDA NGASIH HAK ASUH LO KE DIA! KALO LO INGET, MUNGKIN LO BAKAL SADAR KALO HAL HAL YANG DILAKUIN TANTE XENAN KE LO ITU ADALAH SALAH SATU CARA BIAR DIA BISA LEBIH DEKET SAMA LO. LO PALING DISPESIALIN DARI KITA BERTIGA. DAN ITU KEJADIAN LAGI SEKARANG. DIMANA TANTE XENAN CUMA PENGEN KETEMU LO, DAN BUKAN KETEMU KITA BERTIGA!”

“Kaa..”

“SATU LAGI DEV. KENAPA GUE GAK MAU CERITA DULU? KARENA SEJUJURNYA GUE JUGA MIKIRIN GIMANA REAKSI LO KALO LO TAU ITU! GUE JUGA KESEL DEV, KENAPA DI SAAT LO UDAH BALIK KE RUMAH INI, DIA DATENG TIBA-TIBA DAN MULAI DEKETIN LO LAGI! GUE TAKUT DEV! GUE TAKUT LO TERPENGARUH SAMA TANTE XENAN, SAMPE AKHIRNYA MUNGKIN LO JADI LEBIH DEKET SAMA DIA DARIPADA SAMA BUNDA!”

“KA TAPI HARUSNYA LO BILANG DARI AWAL KA! BIAR GUE GAK TERLALU NGERESPON TANTE XENAN!!” Jelas Radeva kesal.

“GUE JUGA MAU BILANG! GUE CUMA LAGI CARI WAKTU! TERSERAH LO MAU MIKIR APA TENTANG GUE! DAN SEKARANG TERSERAH LO MAU KAYA GIMANA NGADEPIN TANTE XENAN!”

Setelah mendengar ucapan terakhir dari Radeya. Radev pergi meninggalkan kaka kembarnya, juga bunda. Radeva mengambil kunci motor yang kebetulan ia simpan di meja ruang keluarga, dan pergi keluar melewati pintu belakang.

“Deya, itu adik kamu mau kemana? Jangan kasar-kasar dey kesian dia,” ungkap bunda khawatir.

“Biarin aja bunda. Paling juga mau nenangin diri. Nanti Deya susul, udah ayo bunda masuk ke kamar dulu istirahat.”

wxyzndaa

Hati-hati, Dev.

“Jelasin maksud lo, Dev.” Pinta Radey menatap tajam ke arah Deva di hadapannya.

“Jelasin apaan ka? Udah jelas ya itu tante Xenan mau nemuin gue,” jawab Deva tenang.

Radeya menghela nafas panjang, ia sendiri tampak bingung harus memberikan penjelasan seperti apa pada adik kembarnya itu.

“Semenjak lo cerita pertama kali tentang tante Xenan chat. Dia jadi sering chat lo Dev?”

“Iya ka. Hampir setiap hari malah. Cuma seminggu terakhir ini engga. Gue kira kenapa kan, ternyata dia lagi nyelesaiin kerjaannya di sana biar minggu ini bisa balik ke Jakarta nemuin gue.” Jelas Deva pada kaka kembarnya.

“Sumpah, tante Xenan gak jelas,” batin Radeya.

“Niat banget dia,” gumam Radey singkat.

“Hah? Apaan ka?” tanya Deva penasaran.

“Hah? Apaan? Engga Dev. Terus terus, apalagi? Dia suka nanya apa aja sama lo?”

“Kayanya lo penasaran banget ka?” tanya Deva heran.

“Ya gue cuma mau tau.”

“Gak nanya apa apa ko. Tante Xenan cuma nanya kabar aja kaya gitu. Tapi gue heran ka, kenapa dia pengen banget ketemu sama gue? Kenapa bukan ketemu kita bertiga? Kenapa cuma gue?” tanya Deva kebingungan.

“Andai lo tau Dev. Gue yakin lo gak mau ketemu sama dia,” batin Radeya, menghela nafas panjang.

“Kaaa, woy!!! Ko diemm????”

“Ya gue lagi mikir anjir bentar!!”

“Ka?”

“Apa?”

“Lo nyembunyiin sesuatu dari gue?” tanya Deva curiga.

“Nyembunyiin apa anjir?”

“Dulu lo sempet suruh gue buat gak terlalu deket sama Tante Xenan. Maksud lo apa? Gue yakin lo nyuruh kaya gitu bukan semata-mata karena gue baru kenal dia kan? Lo pasti tau sesuatu kan ka?”

“Gimana gue jawabnya anjir?” batin Deya kembali.

“Kaaaa!! Kan lo bengong lagi dih. Lo nyembunyiin sesuatu kann? Ngaku aja.”

“Gue gak bisa jelasin langsung ke Deva, karena Radiv juga belum tau soal ini. Dari dulu gue gak pernah berani ngomong ke Radiv kalo Tante Xenan punya rencana buat ambil Deva. Gue gak cerita karena gue pikir gak perlu lagi gue bahas disaat Deva udah diklaim meninggal dulu. Dan sekarang Deva udah balik. Kalo gue tiba-tiba cerita tujuan tante Xenan deketin Deva, Deva pasti kaget. Dan kalo Radiv denger cerita gue dari Deva, dia pasti kecewa karena gue gak ngasih tau dia dari awal. Ahhh sialan!! Kenapa harus muncul lagi si? Kenapa gak diem aja di sana? Kenapa dia harus tau kalo Deva masih hidup? Kenapa?.” Batin Radeya panjang lebar.

“RADEYA JOVAN YATUHANNN LO MALAH BENGONG LAGI!!” Jelas Deva menepuk kedua bahu Radey.

“Goblok kagett!”

“Jawabb, Jovan Jayachandra ASTAGA!!!”

“Ngga ko. Gue gak tau apa-apa Dev. Itu emang gue cuma khawatir aja karena lo baru interaksi lagi. Tapi lo tetep inget ucapan gue ya. Jangan terlalu deket sama dia. Hati-hati, Dev. Gue sama Radiv juga gak deket deket banget sama tante Xenan.” Jelas Radey pada adiknya.

“Sumpah ka, lo jangan bohong anjirlahh. Jangan buat gue kepikiran dong. Gak ada apa-apa, tapi suruh hati-hati”

“Gue gak bohong Deva. Udahlah ayo ke bawah, pasti Radiv lagi bikin jus tuh.” Ajak Radey mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Dih ngalihin obrolan lo Radeya.”

“Gak sopann lo jadi adek, Radeya Radeya pala lo gue timpuk Tupperware bunda!”

Radeva beranjak dari tempat tidur milik Radeya. Dengan wajah masamnya, ia pergi meninggalkan kamar kembarannya itu, dan keluar berjalan menuruni tangga.

“Aneh banget.” Gumam Deva heran, sembari kepalanya terus melirik ke arah kamar kakanya.

Baru beberapa langkah Deva menuruni tangga, tiba-tiba Radeya muncul dibelakangnya. Dan tanpa aba-aba, Radeya berbisik pada Deva.

“Nanti gue kasih tau apa yang harus lo lakuin pas ketemuan sama tante Xenan,” bisik Deya pada Deva.

Setelah membisikkan sesuatu, Radeya berjalan mendahului Deva, berlari menghampiri Radiva di dapur.

“Tuhkann, katanya gaada yang disembunyiin. Tapi ketemu aja pake acara ada rencananya,” gumam Deva heran.

wxyzndaa

Sama gue, sama Diva

Beberapa hari kemudian, Rumah SakitMelati Indah.

Dokter Yuda, salah satu Dokter yang melalukan operasi beberapa hari lalu masuk ke dalam kamar Radeya.

“Selamat siang, Pak, Bu.” Sapa Dokter Yuda dengan senyuman tipisnya.

“Siang Dok. Bagaimana? Bisa sekarang?” tanya Chandra penasaran.

“Iya Pak. Perbannya sudah dapat dibuka hari ini.”

Radiv juga Deva tampak tersenyum bahagia, termasuk kelima sahabatnya juga ikut merasa bahagia karena sebentar lagi, Radeya akan kembali melihat seperti biasanya.

Radeya tersenyum tipis, ia langsung duduk tegap di ranjang Rumah sakit. “Radeya, sudah siap?” tanya Dokter Yuda mendekat ke arahnya.

“Iya Dok.” Singkatnya.

“Baik. Tetap pejamkan mata kamu sampai saya memberikan perintah untuk kamu membukanya secara perlahan nanti.” Pinta Dokter Yuda pada Radeya.

“Iya Dok.”

Butuh beberapa saat Dokter membuka perban pada mata Radeya, karena beliau melakukannya secara perlahan dan hati-hati.

“Radeya, coba buka kelopak mata kamu perlahan, benar-benar perlahan,” pinta Dokter, menatap wajah Radeya yang tengah mencoba membuka matanya.

Radeya mengikuti arahan Dokter, ia membuka matanya secara perlahan. Sampai matanya terbuka lebar, pandangannya masih tampak kabur.

“Dok, belum jelas. Kenapa?” tanya Radeya khawatir.

Diva, Deva dan kelima anak laki-laki yang berada di dalam kamar tampak panik karena ucapan Radeya.

“Dokkk?? Ko belum jelasss?” tanya Radiva

“Dok kaka saya kenapa?” sambung Deva.

“Dok beneran kan operasinya berjalan dengan baik????” tanya Juna tiba-tiba.

“Tenang, Radeya baru membuka matanya. Jangan khawatir, jangan membuat dia ketakutan.” Jelas Dokter Yuda mencoba menenangkan keadaan.

“Radeya, coba pejamkan mata kamu lagi, buka, dan pejamkan lagi. Lakukan secara perlahan.” Saran Dokter Yuda kembali.

Radeya kembali mengikuti arahan Dokter Yuda, kurang dari 30 detik, Radeya membuka mata untuk kesekian kalinya. Dan, jelas. Penglihatannya kembali. Radeya sama sekali tidak menyangka, karena ia dapat kembali melihat kedua orangtuanya, kelima sahabatnya, Radiva, dan untuk pertama kalinya ia melihat dan menatap dengan jelas adik kembar keduanya, Radeva.

“Kaaaa gimanaa?? Kaaa, ko cuma lirik kanan kiri ajaaa??? Kaaa??” tanya Radiva khawatir.

Radeya hanya terdiam tidak menjawab pertanyaan adiknya, tidak lama setelah itu ia menunduk. Terdengar suara isakan tangis kecil dari Radeya. Orang-orang yang berada di sana tampak panik karena Radeya yang tiba-tiba menangis.

“Kaaaa kenapa nangis? Lo bisa liat kan kaaa? Kaa jawabb gue!! Liat guee!!! Liat mata gue kaaa!!!!” pinta Deva memegang kedua bahu Radeya.

“Bundaa, Papa, Radiva, Deva. Dan kalian berlima. Guee, guee bisa liat lo semua. Radey, Radeyy bisa liat Bunda sama papa....” Jelasnya dengan isakan tangis yang semakin menjadi.

Wenda, Chandra, dua adik Radeya, juga para sahabatnya benar-benar merasakan kebahagiaan kala itu. Tangis dua adik kembarnya pecah, Radiva mendekat ke ranjang, ketiganya langsung saling memeluk erat. Tidak lama setelah itu, Chandra dan Wenda ikut memeluk ketiga anaknya.

Juna, sahabat terdekat Radeya. Tampak menangis bahagia, tangisannya paling terdengar di antara anak-anak yang lain. “Junaa udah anjir ko lo jadi yang paling histeris giniii,” pinta Cavin langsung menepuk pundak Juna.

“Gue nangis bahagia anjirrr vin, dulu nangisin Radeya kaya gini dua tahun lalu karena dia pergi. Sekarang karena dia bisa liat lagi. Gue terharu ini,” jelas Juna pada Cavin di sampingnya.

“Bundaa, bundaa seneng Deya. Bunda seneng kamu bisa liat lagi, sehat-sehat anak bunda. Bunda sayang kalian bertiga.” Jelas Wenda mencium satu persatu kening ketiga anak kembarnya.

“Radeya, anak papa. Makasih udah bertahan selama ini ya, makasih karena kamu gak pernah nyerah sama keadaan.” Ungkap Chandra, mengacak acak rambut anaknya.

“Kaka, Radiv seneng. Makasih banyak ya ka, sama kaya yang papa ucapin barusan, makasih karena udah nau bertahan. Sekarang, kaka gak akan lagi nyalahin diri sendiri. Radiv sayang kaka, hehe.”

“Kaa, gue bersyukur punya kembaran kaya lo. Lo kuat banget, sampe akhirnya lo dapet giliran buat balik bahagia. Akhirnya lo bisa liat gue ka, gue Radeva, adik lo. Liat, gantengan gue kan??”

“Mulaiiiii...” gumam Naka.

“Dev, bukan gue yang kuat, justru lo. Makasih udah bertahan selama ini, pasti banyak banget kejadian yang lo alamin, dan pasti buat lo kesusahan. Jangan kemana-mana lagi ya Dev. Lo adik gue, lo harus tetep bareng-bareng sama kita. Sama gue, sama Diva.”

“Iya Ka. Mau kemana lagi gue? Yakali 14 tahun gak dapet jajan dari Papa sama Bunda sekarang harus pergi lagi?????” jelas Deva mencoba mencoba mencairkan suasana.

“Ihh bener Dev, lo harus tagihh bagian lo selama 14 tahun ke Om Chandra,” Ungkap Juna dengan tawanya.

“Ni anak si Saga satu bener-bener yaaaaa.”

“Hehehhe, om omm Juna ikutan dong lomba cuci mobilnyaaaa yaaa????”

“GAK DULU.”

wxyzndaa

Radiv mode 2019

Tepat pukul 10.30 Radeya akan melakukan operasi. Tidak ada yang menyangka, bahwa ia mendapatkan donor mata dari orang yang pernah mencelakai adiknya. Sebelum memasuki ruang operasi, kedua adik kembarnya datang menghampiri.

“Kaka, semangat ya. Sebentar lagi kaka bisa liat kaya dulu. Nanti kaka bisa liat cermin lagi dan bilanggg, anjirr ko gue ganteng???” ucap Radiva yang diakhiri dengan ledekan pada kakanya.

“Apaan lo Div sekali lagi????”

“Bercanda kaaa, bercandaa hehehe.”

“Iya ka. Semangat ya, secepatnya lo bisa liat lagi. Dan lo bisa liat betapa gantengnya gue adek kembar lo ini.” Jelas Radeva dengan percaya dirinya.

“Iyaa iyaaa. Doain gue ya, biar gue bisa balik kaya dulu lagi. Bisa liat kelakuan random lo Div, sama bisa liat lo juga Dev. Kelakuan kembaran gue yang kepisah belasan tahun.”

Disusul Wenda dan Chandra. Juga Juna dan Jendra, mereka berjalan menghampiri tiga kembar.

“Semangat Deyyyy. Abis ini lo bisa liat muka gue lagiii anjirrrrr. Lo pasti kagett ntar.” Ungkap Juna dengan tawanya.

“Dey, semangat. Yuk bisa liat lagi. Ntar di dalem jangan banyak ningkah. Udah diem aja.” Sambung Jendra menepuk pundak Radeya.

“Yaa lo pikir gue mau ngapain di dalem Jennnn????”

“Anak bundaa, bunda doain semoga operasinya berjalan dengan lancar. Semangat ya sayang.” Tutur Wenda mengelus lembut pipi kanan Radey.

“Semangat anak ganteng papa. Abis ini kita lomba cuci mobil. Yang menang dapet tabungan baru.” Jelas papa mencoba mencairkan suasana.

“OM JUNA BOLEH IKUT GA?” tanya Juna antusias.

“NGGA, KAMU ANAK SAGA BUKAN ANAK CHANDRA.”

Ketiga kembar tampak tertawa lepas dengan ulah papa Chandra dan sahabat mereka, Juna.

Beberapa jam berlalu, operasi Radeya selesai. Dokter keluar dan menyatakan bahwa operasi yang dilakukan pada Radeya berjalan dengan baik. 1 jam setelah itu, Radeya sudah dapat dipindahkan ke ruang rawat biasa dengan perban yang menutupi matanya. Setelah sekian lama, senyum Radeya tampak sedikit terlihat pada saat dipindahkan ke ruang rawat.

“Radiv liat kaka matanya ditutup gitu berasa diajakin petak umpet tau gaaaa,” ucap Radiva sembari duduk di sofa dengan donat cokelat di tangan kanannya.

“Dihh lo, kaka baru kelar operasi malah dikata kaya ngajak petak umpettttt.” Jelas Radeva pada Diva.

“YA EMANG IYAAA. IYA KAN BUNDAAA, PAPA, JUN, JEN?? KAKA KAYA MAU PETAK UMPET??” tanya Radiva antusias.

“Ya saja.”

“Gimana Radiv aja.”

“Serah lo div.”

“Radiv, gue belum buka perban loh ini, Div kayanya gue gak sanggup ngeliat tingkah laku lo lagi,” ungkap Radeya, langsung menghela nafas panjang.

“Kaka ko gituu???” tanya Radiva dengan wajah cemberut.

“Ka sumpah, lo mending tidur. Mode kucingnya balik lagi ni anak,” pinta Deva pada Radeya.

“Iya anjir, kepala gue sakit banget inii gara-gara Radiv,” keluh Radeya langsung memegang belakang kepalanya.

“Kaka maaafff. Gaakan lagi, udah nih. Radiv diem. Silent setting nih.”

“Iya udah. Gue mau tidur. Mending kalian berdua makan gih, lo Juga Juna, Jendra. Makan lo pada sana, nanti pada kurus gue yang disalahin.”

“Ya emang gue udah ada niatan sih nyalahin lo Dey,” canda Juna dengan kedua bola mata yang bergerak ke kanan dan kiri.

wxyzndaa

Udah waktunya, saya cape

Pukul 08.15 Yazdan telah dimakamkan. Semua orang datang mengantarkan jenazah Yazdan ke peristirahatan terakhirnya. Chandra, Wenda, Irana Saga. Tiga kembar dan kelima sahabatnya juga terlihat berada di sana. Utamanya Radeva, sebagai salah satu anggota keluarga Yazdan pada masanya.

Para pelayat satu persatu pergi meninggalkan area pemakaman. Joanna masih terlihat memeluk erat papan nama putih yang bertuliskan nama anak kesayangannya, Yazdan Ranaja Dhananjaya. Joanna, wanita dengan segala kelicikannya untuk membuat keluarga Jayachandra hancur, kini hanya bisa terduduk di tanah, di samping gundukan tanah makam Yazdan sembari memeluk erat papan nama anaknya.

Daido berjalan menghampiri Radeya, menepuk pundak Radeya juga Radeva anak angkatnya. “Radeya, beberapa jam lagi ya? Semangat ya, semoga berhasil. Om titip mata Yazdan sama kamu, jaga baik-baik ya. Terima kasih banyak udah mau bantu om ngewujudin permintaan terakhir Yazdan.” Tutur Daido dengan sedikit senyumnya.

“Iya om. Makasih banyak. Radeya gak bisa apa apa selain bilang makasih sama Om, sama Yazdan juga.”

“Sama-sama Deya. Ohh dan kamu Deva, anak kesayangan papa, makasih banyak untuk semuanya. Terima kasih udah mau jadi kaka yang baik buat Yazdan selama ini. Maafin semua kesalahan Yazdan ke kamu ya.”

“Sama-sama pa. Papa jangan sedih ya. Masih ada Deva. Kalo papa butuh apa-apa, kabarin aja Deva. Deva bakal selalu ada buat papa. Karena Yazdan juga udah titipin papa ke Deva.”

Selang beberapa menit, tampak dua mobil polisi saling beriringan. Terdapat 4 orang petugas polisi keluar dari dalam mobil, dan berjalan menghampiri orang-orang yang masih berada di sekitaran makam Yazdan.

“Permisi pak, bu. Apakah saudara Joanna Jingga ada di sini?” tanya salah satu petugas polisi pada Daido dan Chandra. “Aaada, pak. Itu Joanna, istri saya.” Jawab Daido singkat.

“Kami mendapat laporan, bahwa Ibu Joanna Jingga terlibat dalam kasus penculikan juga pembunuhan berencana. Maka dari itu kami perlu membawa Ibu Joanna untuk memberikan keterangan.”

Chandra tampak kebingungan, karena ia juga teman-temannya tidak ada yang melaporkan tentang Joanna di situasi yang berduka seperti ini. “Pak Chandra?” tanya Daido dengan tatapan yang cukup tajam.

“Saya tidak tau apa-apa Daido. Saya saja kaget, kenapa bisa tiba-tiba ada polisi ke sini. Saya memang akan tetap menindaklanjuti ini, tapi tidak sekarang. Saya tidak seburuk itu. Joanna dan anda sedang berduka.” Jelas Chandra pada Daido.

“Pa apakah bisa di lain hari saja? Istri saya masih berduka, baru saja kehilangan anaknya.” Pinta Daido mencoba membujuk petugas polisi itu.

“Mohon maaf pak. Kami hanya menjalankan tugas.”

Sulit dipercaya, Joanna beranjak dari hadapan makam Yazdan, berjalan menghampiri para petugas polisi. Dengan suara yang berat dan pasrah, Joanna mengakui semua kesalahannya. “Ayo pak, saya memang terlibat dengan semua itu. Saya terlibat penculikan anak, kekerasan anak, juga percobaan pembunuhan. Saya telibat semua itu pak, bawa saya.” Ungkapnya tanpa ragu dengan raut wajah yang tampak pasrah.

Semua pandangan mata tertuju pada Joanna, karena ia dengan percaya diri mengakui semua perbuatannya. “Joanna?” tanya Daido singkat.

“Udah waktunya, saya cape.”

“Ah ya pa. Saya ingin bapak juga mencari dan menangkap pelaku tabrak lari anak saya. Setau saya di sini ada saksi mata yang melihat kejadian tabrak lagi Yazdan. Radeva? Siapa anak yang liat?” tanya Joanna menatap ke arah Deva. Cavin menelan ludah, merasa dirinya terpanggil. Karena ia satu-satunya orang dari beberapa orang di pemakaman yang benar-benar melihat kejadian tabrak lari yang dialami Yazdan.

“Saaaya, tante. Saya yang liat.”

“Yasudah, kamu juga ikut kami ya untuk membuat laporan.”

“Iiiya pak. Tapi saya pake mobil sendiri aja ya. Marr, Nakk. Anter gue anjirr,” bisik Cavin pada kedua sahabatnya.

“Iyaiyaaa ayo.” Jawab Hilmar pada Cavin.

“Semoga operasi kamu berjalan lancar ya, Radeya.” Ucap Joanna tiba-tiba, sembari meninggalkan area pemakaman dengan 4 petugas polisi di sampingnya.

Wenda dan Irana hanya bisa menatap kebingungan ke arah Joanna, berbeda dengan Chandra dan Saga, mereka tengah memperdebatkan siapa orang yang melaporkan Joanna di waktu yang tidak tepat seperti ini.

wzyzndaa

Radey terima

30 menit setelah kabar kepergian Yazdan. Seluruh orang tampak berkumpul di depan ruang IGD. Radiva yang tampak terus mengusap pundak Deva dengan lembut. Radeya terduduk diam ditemani Juna dan Hilmar. Joanna masih berada di dalam ruangan, tidak henti terus menangisi Yazdan yang sudah tidak bernyawa. Ditemani Wenda dan Chandra, yang sejujurnya mereka pun masih tidak percaya dengan kepergian anak dari Joanna itu. Beberapa menit kemudian, Daido datang dari arah lorong barat kembali ke dalam IGD sesudah mengurus beberapa hal setelah kepergian anaknya.

Daido menghela nafas panjang, melangkah dan berhenti di antara Chandra dan Wenda, dengan Joanna di sampingnya. “Joanna, kamu masih ingat dengan permintaan terakhir Yazdan tadi?” tanya Daido pada istrinya.

“Eengga, gak bolehh. Akuu gak mau turutin permintaan terakhir Yazdan.”

“Memang apa yang Yazdan inginkan?” tanya Chandra.

“Yazdan ingin mendonorkan matanya untuk Radeya,” jelas Daido spontan pada Chandra.

Mata Wenda terbuka lebar, tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Daido di hadapannya. “Apa maksud anda?”

“Bu Wenda. Keinginan terakhir Yazdan adalah mendonorkan matanya pada Radeya.”

“Gak, gak perlu. Saya tidak ingin anggota tubuh anak Joanna ada pada Radeya. Gaakan, itu gaakan pernah terjadi!!” jelas Wenda tampak tidak setuju dengan keinginan Yazdan.

“Bu, jujur saja. Saya juga tidak tega jika membayangkan anak saya yang sudah pergi ini masih harus mendonorkan matanya untuk orang lain. Tapi saya tidak bisa apa-apa. Yazdan satu-satunya anak saya, saya harap Ibu dan Pa Chandra bisa memahami maksud saya.” Tutur Daido pada Wenda.

“Joanna, saya mohon. Ini permintaan terakhir Yazdan. Kamu Ibunya, kamu pasti tau apa yang harus kamu lakukan demi melihat anak kamu bahagia. Joanna, mungkin dengan cara ini kamu tidak akan terlalu kehilangan Yazdan. Suatu saat, Yazdan masih ada, di dalam diri Radeya.” Jelas Daido mencoba membujuk istrinya.

Joanna sendiri tidak bisa langsung memutuskan, rasa bimbang muncul pada dirinya. Jika ia menuruti keinginan Yazdan, secara tidak langsung Joanna memberikan kesempatan pada keluarga Jayachandra untuk kembali berkumpul bersama, di sisi lain jika ia tidak menuruti keinginan Yazdan, ia takut anaknya akan kecewa dan merasa sedih di sana, ditambah lagi jika mata Yazdan didonorkan, Joanna masih dapat melihat mata indah milik anaknya pada wajah Radeya, anak Chandra.

“Saya tidak berharap kamu untuk mengiyakan keinginan Yazdan, Na. Saya dan Wenda juga tidak berharap kamu mengasihani anak saya, Radeya. Meskipun kamu tidak menuruti keinginan Yazdan, saya masih bisa mencari donor mata untuk anak saya sendiri. Dan keluarga saya akan tetap kembali seperti semula tanpa donor mata Yazdan ke Radeya.” Jelas Chandra menatap ke arah Joanna.

Hampir lima menit Joanna terdiam, tidak lama setelah itu ia beranjak dari kursi dan mendekat ke arah Jo

Chandra dan Wenda. “Oke. Chandra, Wenda. Saya akan menuruti keinginan terakhir Yazdan. Saya melakukan ini, bukan untuk membantu keluarga kamu, saya melakukan ini karena saya ingin melihat Yazdan bahagia di sana. Dan setidaknya saya masih bisa melihat mata Yazdan pada Radeya nanti.”

Chandra benar-benar tidak percaya dengan ucapan Joanna, wanita yang sudah merusak kehidupan keluarganya itu benar-benar mengabulkan keinginan terakhir Yazdan, anaknya.

Chandra berjalan mendekat ke arah Yazdan yang sudah terbaring kaku, “Yazdan, anak baik. Terima kasih karena sudah mau memberikan mata kamu ke Radeya. Terima kasih banyak ya. Om janji, om akan beritahu Radeya untuk menjaga mata kamu sebaik mungkin. Tenang di sana Yazdan, om sudah maafkan semua kesalahan kamu ke anak om.” Tutur Chandra, mengusap atas kepala Yazdan dengan lembut.

Dokter Jordan, adik dari Joanna datang ke dalam ruangan. Bertanya mengenai kelanjutan dari keinginan terakhir keponakannya itu. “Ka Joanna, Ka Daido. Gimana?” tanya Jordan kepada kedua orang tua Yazdan.

“Iya, Dan. Urus saja semuanya hari ini.” Singkat Daido pada adik iparnya.

“Kak? Serius?”

“Iya, Jordan. Kaka serius. Kaka kamu juga udah setuju dengan ini.”

“Baiklah ka. Saya akan mengabari dokter untuk melakukan operasi pada waktu ini juga. Karena harus segera dilakukan tindakan kurang dari 6 jam setelah Yazdan meninggal.”

“Lalu bagaimana dengan operasi Radeya nanti?” tanya Daido pada Jordan.

“Untuk tingkat keberhasilan yang baik. Kornea mata harus segera digunakan 2 × 24 jam. Jadi ada kemungkinan, Radeya bisa melakukan operasi besok hari.” jelas Jordan kepada orang-orang di dalam ruang IGD.

“Baiklah. Terima kasih, Jordan.”

“Sama-sama ka.”

Chandra dan Wenda keluar dari IGD, menghampiri Radeya yang tampak masih duduk dengan raut wajah datarnya. “Radeya, kamu besok operasi ya.” Pinta Chandra spontan.

Para sahabat kembar tampak sangat terkejut, termasuk Saga dan Irana. Radeya beranjak dari kursi, berdiri tegak, seperti biasa ia menatap hanya ke arah depan. Radeva yang sudah mengetahui maksud kedua orang tuanya itu hanya bisa memperhatikan ucapan apa yang akan dikatakan Radeya pada Chandra dan Wenda. “Maksud papa apa?” tanya Radeya bingung.

“Kamu juga pasti udah tau kan Dey? Kamu dan Deva udah denger soal pemintaan terakhir Yazdan? Karena sebelum Yazdan pergi, kalian ada di dalem ruangan.

“Iyaa pa. Deva tau,” celetuk Radev tiba-tiba.

Radiva yang tidak tau apa-apa, tampak terkejut dengan ucapan adiknya. “Maksud kamu apa Dev?”

“Dengerin aja ini. Nanti lo juga tau.”

“Engga paa. Radey gak mau, Radey gak mau terima itu!!” tolak Radeya dengan suara yang cukup tinggi.

“Maksudnya apa???” gumam Naka kebingungan.

“Kayanya Yazdan kasih matanya ke Radey sih kata gue.” Bisik Hilmar pada Naka.

“Anjirr iya bisa bisa jadi.” Sambung Cavin kepada kedua sahabatnya.

“Dey. Ini bukan keinginan papa. Papa juga gak minta orang tuanya buat lakuin hal ini. Ini keinginan Yazdan, Dey. Papa mohon, mungkin ini salah satu jalan dan kesempatan kamu buat bisa liat lagi. Jangan kecewain Yazdan, sebelum pergi dia mutusin untuk donorin matanya buat kamu, Deya.”

“Paa, emangnya papa mau mata anak dari orang yang udah ngancurin hidup keluarga kita ada di Radey?” tanya Radeya sedikit kesal.

“Dey, terlepas dari Yazdan adalah anak Joanna. Yazdan sungguh-sungguh mau kasih matanya buat kamu. Papa harap kamu paham, Yazdan udah pergi, dan satu keinginannya sebelum pergi adalah donorin matanya buat kamu.”

“Bundaaaaa....” panggil Radeya lembut.

“Keputusan ada di tangan kamu, Dey.” Jawab Wenda singkat.

“Diva, Deva. Keputusan ada di tangan lo berdua. Gue gak bisa mutusin ini, jadi gue harap lo berdua bisa ambil keputusan yang bener.” Ungkap Radeya, meminta kedua adiknya untuk memutuskan perihal diterima tidaknya donor mata Yazdan.

Radiva melangkah menghampiri kakanya, memeluk erat Radeya. “Ka, Radiv pun gak bisa mutusin apa-apa. Jadi terserah kaka, kaka yang bakal gunain mata Yazdan nantinya. Tapi saran Radiv, engga ada salahnya kan terima pemberian dari permintaan terakhir seseorang yang udah gaada?” Jelas Radiva pada kakanya.

Radeya menghela nafas panjang, memejamkan matanya kurang dari 20 detik. Setelah itu, “Yaudah pa. Radeya terima donor dari Yazdan. Radeya terima bukan semata mata biar Radeya bisa ngeliat lagi. Tapi karena Radeya gak tega buat nolak permintaan terakhir dia. Semoga dengan Radey terima ini, dia bisa lebih tenang di sana.”

wxyzndaa

Yazdan dan permintaannya

Seorang dokter keluar dari IGD dengan wajah panik berlari ke arah lorong timur. Itu Dokter Taraka, rekan Dokter Jordan yang dulu menangani Radiva. Tidak lama setelah itu, keluar dua Dokter yang berbeda, Dokter Trian selaku dokter spesialis saraf, disusul Dokter Jordan yang tampak berjalan di belakang Dokter Trian.

“Daido berlari menghampiri Dokter Trian, “Dokkk? Gimana keadaan anak saya dok? Anak saya baik baik aja kan?” tanya Daido panik.

“Iyaa Dok, gimana keadaan anak saya Yazdan??” sambung Joanna khawatir.

Dokter Jordan yang tengah menunduk pun tiba-tiba menenggakkan kepalanya karena mendengar suara yang tampak tidak asing baginya. Benar saja, di hadapannya berdiri seorang perempuan yang sangat ia kenali sejak kecil, Joanna. Kaka kandung Dokter Jordan Hastanta.

Joanna dan Jordan berpisah sejak kecil, karena perceraian orang tuanya. Joanna yang ikut dengan ibunya, dan Jordan dengan ayahnya. Keduanya semakin hilang kabar ketika ayahnya meninggal. Waktu itu Joanna berusia 20 tahun, dan Jordan 15 tahun. Terakhir kalinya Jordan bertemu Joanna adalah pada saat hari pernikahan Joanna dengan Daido. Karena sudah terlalu lama tidak bertemu, Jordan pun sampai tidak mengenali suami dari kakanya itu. Bahkan, karena benar-benar tidak ada komunikasi, Jordan tidak mengetahui bahwa pasien yang barusan ia tangani bersama dua dokter lainnya adalah keponakannya sendiri.

“Ka Joanna?”

“Jordan?”

Semua mata tertuju pada kedua adik kaka yang baru saja kembali bertemu. Chandra benar-benar kaget, termasuk Radiva. Dokter yang merawatnya dulu, ternyata merupakan adik kandung dari orang yang telah menghancurkan kehidupan keluarganya.

Radiva berjalan menghampiri Dokter Jordan, “Ddddokter, adiknya tante Joanna???” tanya Radiva.

“Iiya Radiva. Kenapa?”

“Aaahh, gapapa.” Jawabnya, kembali menjauh dari hadapan Jordan

“Jaadii, anak yang barusan aku tangani itu ponakan Jordan, Ka?” tanya Jordan penasaran.

“Iiya Dan, dia Yazdan. Anak kaka, ponakan kamu.”

“Kaka anda orang jahat Dokter Jordan. Dia menghancurkan hidup keluarga saya. Dia yang membuat Radeya kecelakaan sampai tidak bisa melihat, dia yang buat saya kehilangan Radeva selama belasan tahun, dan beberapa waktu lalu anak dia yang udah buat Radiva kecelakaan. Saya harap anda putuskan saja hubungan anda dengan dia. Anda orang baik, tidak pantas memiliki kaka seperti dia!” jelas Wenda terang terangan pada Jordan adik dari Joanna.

“Maaksud Bu Wenda gimana ya?? Saya kurang paham.” Tanya Jordan kebingungan.

“Dok nanti saya jelaskan. Sekarang jawab saja, bagaimana keadaan keponakan anda itu,” tutur Chandra pada Jordan di hadapannya.

“Silahkan dok.” Ucap Jordan mempersilakan Dokter Trian selaku Dokter saraf yang menangani Yazdan.

“Jadi begini pa, bu. Setelah melakukan berbagai pemeriksaan, anak ibu mengalami perdarahan di otaknya. Cedera di bagian kepalanya menjadi resiko yang sangat fatal baginya. Dan akibat perdarahan ini, Yazdan mengalami pembengkakan jaringan otak di sekitar perdarahannya. Membuat terhalangnya aliran darah ke di otak Yazdan. Sehingga bisa menyebabkan matinya sel-sel di otak. Jadi kami akan melakukan tindakan lebih lanjut.

“Jordannn. Kaka mohon, kaka mohon selametin Yazdan. Kaka mohon,” pinta Joanna memohon dengan isakan tangisnya.

“Iiiya ka. Dokter di sini bakal usahain yang terbaik buat Yazdan.”

Tiba-tiba saja keluar seorang suster dari ruang IGD, “Maaf, Bu pa semuanya. Pasien tiba-tiba saja sadar. Dan meminta saya untuk memanggil orang tuanya, lalu Raadeva? Radeva bukan ya? Ah yaa Radeva dan Radeya. Nama itu apa ada di sini??” tanya suster panik. Di sisi lain Jordan dan Dokter Trian berlarian memasuki IGD khawatir terjadi sesuatu pada Yazdan.

Radeva tampak kaget karena tiba-tiba Yazdan menginginkan kedatangannya, begitu juga Radeya yang sama sekali belum pernah bertemu dengan Yazdan.

“Pa, boleh?” tanya Deva pada Chandra.

“Iya Dev, masuk aja. Gandeng kaka kamu ini.”

Ruang IGD

Joanna menghampiri Yazdan dengan tangisan yang semakin menjadi. “Sayang, maafin mama. Bertahan ya sayang, kuat yaa. Mama di sini. Mama gak akan ninggalin kamu, Yazdan. Tolong, setidaknya kalo kamu benci mama. Bertahan ya buat diri kamu sendiri.” jelas Joanna sembari mencium lengan Yazdan dengan selang infusan di punggung tangannya.

“Yazdan, bertahan ya. Kamu gak akan kenapa-kenapa ko. Kamu anak kuat,” ucap Daido mengelus dada Yazdan.

“Paaa, Maa. Yaazdan gabisa kuu kuat kayanyaa. Sakittt maa, badan Yazdan rasanyaa remukk. Maa, paa maafinn Yazdan yaa, ka kaaalo yaa Yazdan aaa aada salah sasaama kaliann, Yaazdan saasayang kalian beerdua. Papa, maaafin Yazdan karena beelum bisaa jadii aaanak yang baaik buat papa, mama jugaa yaa maaa, maafin Yazdan kaarena beelum biisa baahagiaain mama,” jelas Yazdan dengan ucapannya yang terbata bata.

“YAZDANN!! ENGGA! KAMU GAK BOLEH NGOBROL KAYA GITU. GAK BOLEH!!!”

“Kaa kaa Raydenn, kaaa mamaafin guue yaa. Maaf ataas perrlakuaan guee seelama inii saama lo. Kaa mamaaafin mamaa juuugaa yaa. Guee moohonn, guee mohoon jaaangan maasukin mamaa ke pennjaaraa. Maaaf kaa, guee kemaren maalaah banntuin reencaana mamaa buatt nyuuliikk loo. Kaa, gguee titipp mamaa yaa. Papaaa jugaa, papaa saaayang bangett samaa lo kaa. Sekali kalii kaloo lo laggii gaak siibuk, saamperin papaa yaa ke rumaah sakit. Guee moohon saamaa lo kaa. Cumma itu permintaan teraakhir guee sama lo.” Jelas Yazdan panjang lebar pada Radeva. Untuk pertama kalinya, Radeva menangis atas ucapan Yazdan padanya. “Dann, lo gak boleh ngomong kaya gitu. Lo gak akan kemana mana. Lo kuat Dan, lo bisa. Lo adik gue, dan gue gak pernah ngeliat lo pasrah sama keadaan. Bertahan, Dan. Gue mohon.” pinta Radeva, sembari mendekat ke arah Yazdan.

“Kaaa Raa Raadeyaa. Guee juugaa minntaa maaf yaa, garaa gaaraa mamaa guee loo jadii gaak bisa liatt, loo jadi kehiilaangan adikk kembar loo. Maaafinn mamaa guee yaa, maaaf jugaa karenaa beberapa waktu laluu gue nyelakainnn Radivaa. Maaf kaa.” Jelas yazdan untuk pertama kalinya berbicara pada Radeya.

“Jujur Dan, gue kecewa sama mama lo. Gue juga kecewa sama lo. Tapi apa boleh buat, semuanya udah terjadi juga. Gue maafin lo, juga mama lo. Lo kuat ya, bertahan. Seengganya lo bertahan buat diri lo sendiri.” Tutur Radeya dengan pandangan kosongnya.

“Maaa paaa, yaazdan uudahh gakk bissaa ngobroll apaa apaa laagiii kayanyaa. Saaatuu permintaaan terakhir yaazdann yangg haruss mamaa papa lakuinn setelah Yaazdan pergii, doonoorin maataa Yaaazdaan buuatt Ka Raadeyaa ya maa, paa. Yaazdan mohonn unntukk terakhir kalinyaaa.”

“GAAA YAAZZDANNN GAA. KAMU GAAKAN PERGI ENGGA!! Ucap Joana dengan tangisan yang semakin menjadi.

“Makasihh, maa paa kaa.....”

Tepat pukul 13.18 Yazdan menutup matanya, dan menghembuskan nafas terakhirnya. Tepat di depan kedua orang tuanya dan kedua kembar.

“YAZDANNNNN BANGUNNN!! JANGAN TINGGALIN MAMAAA YAZDANNNN!!!! YAZDANNNNN!!! JORDANNN TOLONG INI YAZDAN KENAPA JORDANN!!!!!” teriak Joanna kacau

Dokter Trian dibantu Jordan dan perawat lain langsung melakukan tindakan pada Yazdan selama beberapa menit. Namun sudah kehendak Tuhan, takdir hidup Yazdan hanya sampai di sini. Anak kesayangan Joanna, dan Dokter Daido pergi untuk selama lamanya.

“Bu, maaf. Yazdan sudah tidak ada.” singkat Dokter Trian, langsung menundukkan kepalanya.

“Ka, maaf. Tuhan lebih sayang Yazdan.” Ucap Jordan, ikut menunduk kepala.

“YAZDANNNN ENGGAAAAA!!!! ANAK MAMAAA BANGUNNN YAZDANNNNN!!!!!!!!!”

“Cukupp Joanna. Ikhlasin, Yazdan udah pergi. Tuhan lebih sayang Yazdan, liattt tuhan pun gak mau ngebiarin Yazdan terlalu lama tinggal sama orang seperti kamu!!!” celetuk Daido yang sudah hilang kesabaran. Kecewa, benar-benar kecewa. Karena menurutnya hal ini terjadi sebab ulah Joanna yang selalu menyakiti anak-anak Chandra.

“Yazdan, gue sayang sama lo. Tapi tuhan lebih sayang sama lo, tenang di sana adik Rayden.” Gumam Radeva, dengan air mata yang terus mengalir pada pipinya.

“Tenang di sana, Yazdan.” Singkat Deya, menundukkan kepalanya

Temen-temen kalo bahasan medisnya kurang relevan, boleh banget koreksinya ya.

“Sekecil apapun rasa sakit itu, jika tuhan memberikan waktu hanya sampai pada saat itu juga, ya manusia bisa apa selain menerima? Semua itu takdir, dan semua orang akan dipertemukan dengan takdirnya sendiri, entah itu kematian atau yang lainnya”.

“Selalu berbuat baik dalam keadaan apapun, kita gak tau kapan waktu kita habis di dunia. Entah beberapa tahun lagi, 1 bulan, 2 hari, 12 jam, atau bahkan 5 menit lagi?”

wxyzndaa