wxyzndaa

Sakit, Dey

Setengah jam kemudian

Deva keluar dari kamarnya, diikuti Bi Wulan di belakangnya. Radeya sama sekali tidak menyusul Bi Wulan ke kamar Radeva. Tampaknya ia paham, jika Bi Wulan tidak memanggilnya, atau tidak berteriak artinya memang tidak terjadi apa-apa pada Radeva.

Sehingga pada saat dimana Bi Wulan berada di kamar Deva, Radey masih berusaha menenangkan Radiva.


Semakin Radeva mendekat, semakin kedua kembarannya terfokuskan pandanganya pada sekitaran wajah Deva. Matanya yang bengkak serta samping dagunya yang tampak terluka.

Radiva menatap dalam adik kembarnya, “Bengkak, Deva nangis, Deva kesakitan tadi....” batin Radiva merasa bersalah.

Lo nangis lagi, Dev?” batin Radeya bertanya heran. Ingin rasanya memastikan, namun pertanyaan itu sangat sulit dilontarkan olehnya pada Radeva.

“Kenapa? Kenapa lo berdua ngeliatin gue kaya gitu lagi?” Radeva bertanya heran.

“Gapapa, muka lo kaya abis nangis,” celetuk Radey menanggapi pertanyaan Deva.

“Iya, gue abis nangis,” ucap Radeva spontan.

Lantas Radiva beranjak dari kursinya, mendekat ke arah Radeva dan tanpa aba-aba memeluk erat salah satu kembarannya itu. “Deva? Nangis? Kenapa? Apa yang sakit? Siapa yang nyakitin kamu?” Cecar Radiv dengan berbagai macam pertanyaannya.

Radiv, jangan peluk gueee, gue mohonnn, gue nggak mau nangis di depan lo berdua,” batin Radeva dengan mata yang terpejam.

Tampaknya bibi mengetahui jika Deva tidak memiliki alasan kenapa dirinya menangis, oleh karena itu, tanpa permintaan dari Radeva, bibi spontan membuat alasan yang pasti akan dipercaya oleh Radiva dan Radey. “Mas Diva, Mas Deva enggak kenapa-kenapa kok, jangan khawatir ya? Tadi Mas Deva nangis karena ngerasa bersalah sama kalian, karena Mas Deva udah buat kalian khawatir pagi ini, udah bikin kalian panik, Mas Deva enggak enak, makanya nangis sendirian di kamar. Jangan diejek ya? Mas Deva juga berhak kan buat nangis? Sama kaya Mas Radey, juga Mas Radiv. Sehumoris-humorisnya seseorang di luar, bibi yakin, di dalamnya dia adalah seorang yang paling rapuh hidupnya,” jelas bibi, secara tidak langsung, menyisipkan pesan tersirat pada kedua kembaran Radeva.

“Deva, beneran?” tanya Radiv khawatir.

“Ii—iya Div, gue kepikiran aja karena gara-gara gue, lo berdua harus pergi nyusulin gue,” jelas Deva gugup.

Maksud bibi apa? Gue yakin, di akhir perkataannya barusan, bukan karena enggak sengaja bibi ngobrol kaya gitu,” batin Radeya penasaran.

“Yasudah, bibi izin ke dapur lagi ya Mas Deya, Mas Deva, Mas Radiv,” sebelum berbalik badan, bibi mencoba menetralkan napasnya, sebisa mungkin ia tidak memperlihatkan apa yang sebenarnya terjadi pada Radeva tadi.

“Iya bi, makasih banyak udah bantuin Deya,” ujar sopan Radeya pada Bi Wulan.

“Deva, sekitaran dagu kamu kenapa?” tanya Radiva penasaran, setelah beberapa saat melepaskan pelukannya dari Deva.

“Ahh ini, gatau, gatel, gue garuk sampe agak diteken, makanya agak luka,” jawab Radeva beralasan.

Radeya penasaran, lantas meraih salah satu telapak tangan Radeva. “Kuku lo pendek, nggak ada yang panjang, mana bisa bikin luka kaya gini di dagu?” Radeya bertanya spontan.

Mampus iya, gue kan baru potong kuku dua hari yang lalu,” batin Radeva, panik.

“Udahh kak, jangan dibahas lagi, suruh Deva duduk, Radiv ambil salep dulu, merah merah gitu, ada yang luka juga, pasti perih yaa??” tanya Radiva gemas, dengan raut wajah yang terlihat benar-benar khawatir.

Lo sama sekali enggak jawab pertanyaan gue, Dev. Ada apa sebenernya?” batin Radeya kembali penasaran.

Dey, kalo gue boleh jujur, rasanya sakit Dey, sakit yang bener-bener sakit, sakit karena gue dibedain gara-gara kejadian lima tahun lalu, yang bahkan kejadian itu bukan semata-mata karena gue, gue nggak sengaja, Dey.” Batin Radeva, tanpa sepengetahuan Radey, Deva menatapnya dalam.

NDA;

Rasa

“Sakitt bangetttt,” rintih Radiva meremas bagian tengah dadanya yang terhalang piyama kuning yang ia kenakan.

Radeya menoleh setelah mendengar Radiva yang tampak kesakitan. “Kenapa? Radiv hey? Lo kenapa?” tanya Radey panik.

“Sakit kak... Perasaan Radiv enggak enak, enggak enakk bangettt,” ujar Radiv, semakin mencengkram atasan piyamanya.

“Lepasin tangannya, Radiva! Lepasin gue bilang!”

“Kakkk, Deva manaa? Liat Devaa, cepetan liat Devaa!! KAKK!!” sentak Radiva pada Radey yang malah melamun di sampingnya.

Radeya cukup bingung dengan apa yang diinginkan Radiva padanya. “Radeva? Deva di kamarnya, Div. Tadi kan dia izin ke kamar dulu.”

“IYA RADIV TAU, RADIV MINTA TOLONG KAKAK BUAT LIAT DEVA. RADIV TAKUT DEVA KENAPA-KENAPAAAA KAK!” Radiva dengan nada bicara yang cukup tinggi.

Papa berada di dalam kamar, dan Bunda diam-diam turun dari lantai dua tanpa sepengetahuan Radeya dan Radiv yang berada di ruang makan.

Bibi mendengar suara Radiv dari dapur, lantas ia berlari menghampiri kedua anak majikannya itu. “Mas Radiv kenapa??” tanya Bibi khawatir.

“Bi, Radey boleh minta tolong? Tolong liatin Deva di kamarnya. Kayanya Radiv ngerasain sesuatu sama Deva. Setelah Radiv tenang, Deya nyusul ke atas,” tutur Radeya meminta bantuan Bi Wulan.

“Ahh iyaa Mas, Bibi izin ke atas ya. Mas Radiv tenang ya ganteng, Mas Deva enggak kenapa-kenapa kok. Jangan panik ya, itu cuma perasaan Mas aja, Mas Radiv kan ngekhawatirin Mas Deva sejak pagi...” ungkap bibi mencoba menenangkan Radiva.

Radiv mencoba beranjak dari kursinya, namun rasanya seluruh badannya mata rasa, entah apa yang sebenarnya Radiva rasakan, yang jelas kini perasaannya campur aduk dan benar-benar sangat mengkhawatirkan Radeva.



“Mas Deva, bibi izin masuk ya...”

Baru saja Bi Wulan berjalan beberapa langkah masuk ke dalam kamar Radeva, ia sudah dikejutkan dengan bagaimana seorang Radeva Jevan tengah duduk bersandar di ujung kamar dekat meja belajar sembari memeluk kedua lututnya, dengan wajah yang ia tekuk di antara kedua lutut dan dada, ditambah suara isakan tangis yang sudah biasa didengar oleh Bi Wulan.

“Mass? Kenapaaaa? Ya tuhannn. Mas Deva kenapa? Anak baik bibi kenapa tiba-tiba nangis kaya gini?” tanya bibi benar-benar khawatir.

Radeva sama sekali tidak merespon pertanyaan yang dilontarkan bibi, ia hanya terus terisak sembari di dalam lubuk hatinya ia sedikit menyesal karena tidak mengunci pintu kamarnya. Namun masih dapat dikatakan beruntung karena orang yang pertama kali masuk bukanlah Radeya apalagi Radiva, melainkan bibi. Bibi yang sudah terbiasa melihat keadaan dirinya yang seperti ini, merenung sembari menangis dalam kesunyian, sendirian.

“Mas, bibi kunci dulu pintunya ya? Abis itu Mas Deva boleh angkat tegak kepalanya,” izin bibi, beranjak langsung mengunci pintu kamar Radeva.

“Sudah, Mas.”

Tidak lama setelah itu, Radeva benar-benar mengangkat tegak kepalanya. Tampak kedua mata Radeva yang bengkak, serta beberapa luka kecil pada dahinya dapat dengan jelas dilihat oleh Bi Wulan.

“Mass, kenapa anak baik? Boleh Bibi tau? Boleh bibi sedikit tau apa yang Mas Deva Rasain?” tanya Bibi lembut.

“Bi, boleh Deva peluk bibi, lagi?” Tanya Deva meminta izin.

“Boleh anak baikk....”

Bibi memeluk Radeva erat, salah satu anak majikannya itu benar-benar rapuh di pelukannya. Tangisannya pecah, mengingat banyaknya perkataan yang dilontarkan Bunda padanya.

“Mas Deva, anak kesayangan bibi. Bibi enggak tau apa yang lagi dirasain sama Mas Deva, maka dari itu, bibi berharap, setelah mas Deva sedikit lebih tenang, Mas Deva bisa sedikit cerita ke bibi. Boleh?” tanya Bibi sembari terus mengusap punggung Radeva.

Radeva sama sekali tidak membuka mulutnya, ia hanya memberi isyarat dengan sebuah anggukan sembari terus memeluk Bi Wulan.

“Bi, kalo Deva bilang Deva cape lagi, boleh?” Radeva bertanya tiba-tiba, dengan nada suara yang gemetar.

“Mas, setiap kali setiap mas selalu bilang cape. Bibi pernah nggak ngelarang mas Deva buat nggak boleh cape? Enggak kan? Mas boleh cape, bolehhh cape sama semuanya. Tapi Mas nggak boleh nyerah, ya? Mas, kejadian apapun yang mas rasain hari ini, yang mas alamin hari ini. Mau sesakit apapun benturan hidup yang terjadi sama mas, bibi selalu berharap, kalo mas selalu punya alesan kenapa mas harus tetep kuat dan nggak nyerah sama keadaan, bibi selalu berharap kalo Mas Deva selalu punya alesan kenapa mas harus tetap bertahan dan hidup. Mas, kalo bibi tau keseluruhan masalah kamu, kayanya bibi juga nggak sanggup, kayanya bibi juga bakal terus ngerasa cape dan ngerasa pengen nyerah sama hidup. Tapi mas harus tetap inget, sebanyak dan seberat apapun masalah mas, mas tetep harus yakin, harus yakin kalo tuhan udah siapin hadiah yang palingg baik buat Mas Deva, dan hadiah itu bisa jadi obat yang dimana suatu saat mas nggak akan inget lagi kesakitan apa aja yang udah mas alamin selama ini. Bagi bibi, mas adalah salah satu orang yang paling kuat yang bibi kenal, banyak orang yang nggak tau, dibalik keceriaan, lawakan, sampe ketawanya Mas Deva, Mas Deva adalah orang yang paling bisa menyembunyikan luka dan tangisan.”

Mendengar perkataan yang dilontarkan Bi Wulan padanya. Tangis Radeva malah semakin pecah, ia benar-benar menangis, menangis dan mencoba untuk tidak bersuara.



Semua orang pun bisa merasakannya, bahwa menangis tanpa suara itu sangat menyakitkan, bukan?”

NDA;

Radeva & Bunda

“Kemarin siang kamu kemana, Deva?” tanya Bunda tiba-tiba.

“Kemarinn siangg? Kemarin siangg Deva nggak kemana-kemana Bunda. Kemarin siang Deva bubar sekolah, langsung pulang....” tutur Deva gugup, benar-benar tidak berani menatap mata Bunda.

“Jawab sambil liat ke arah Bunda, bisa?” tegas Bunda, mencengkeram dagu Deva, mencoba membuat sang anak menatapnya.

“Arghh Bundaa, sakitt...” rintih Deva karena beberapa fake nails Bunda yang perlahan melukai kulit dagu Radeva.

“Ahh ya, maaf. Sekarang jawab Bunda, setelah pulang sekolah, kamu nggak langsung pulang, kan?” tanya Bunda kembali.

“Enghh enggak, Bunda.”

“Pergi kemana kamu?”

“Ke minimarket, beli minyak titipan Bibi, Bunda....” tutur Radeva dengan sedikit gemetar.

“Nggak bohong?” tanya Bunda singkat.

“Enggak, Bunda....”

“Radeva?”

“Iya Bunda....”

“Kamu sayang sama Bunda, kan?” tanya Bunda tiba-tiba.

“Radeva selalu sayang Bunda,” tutur lembut seorang Radeva Jevan.

“Bunda tau kamu bohong sayang. Radeva sayang Bunda, kan? Kalo Deva sayang Bunda, Deva nggak bakalan mungkin bikin keluarga ini hancur, kan? Deva nggak akan mungkin bikin Bunda sedih lagi, kan? Deva nggak inget sama apa yang udah Deva lakuin beberapa tahun lalu? Sampai beberapa kali ngebuat karir Bunda hancur?” berbagai pertanyaan yang sama sekali tidak terduga oleh Radeva tiba-tiba saja dilontarkan dengan terang-terangan oleh Wenda.

Radeva mematung, tanpa sepatah kata pun, ia hanya diam dan sama sekali tidak merespon satu pun pertanyaan Bunda.

Tidak lama setelah itu, Deva perlahan mundur mencoba menjauhkan dirinya dari Bunda.

“Bunda, Deva sayang Bunda. Tapi apa boleh Deva ngebiarin semua ini?” tanya Radeva gugup.

Wenda tampak kesal dengan pertanyaan yang baru saja Deva lontarkan, ia lantas mendekat dan menarik lengan Radeva kasar.

“Arghhhh Bundaa!! Sakitt...” Deva meringis saat lengannya ditarik paksa oleh perempuan paruh baya yang sangat ia sayangi.

“Diam Radeva! Kamu cuma perlu diam!!” sentak Bunda pada anak kembar ketiganya itu.

Tidak ada sedikit pun perilaku lembut yang dilakukan Wenda pada Deva di sana. Hanya ada cengkraman kasar, tarikan lengan hingga ancaman dibalik Radeva yang menyayangi Wenda atau tidak.

Untuk pertama kalinya, setelah beberapa tahun berlalu, Radeva kembali dengan nasib mengerikannya. Ya, perilaku kasar Bunda padanya. Perilaku kasar yang sempat ia terima beberapa tahun lalu, tanpa ada yang mengetahui, yang Bunda lakukan selama beberapa bulan, akibat dari satu kejadian mengerikan yang dilakukan Radeva.

Radeya, Radiv, gue takut.... Gue takut...” batin Radeva, lantas tanpa sadar, ia meneteskan air matanya di hadapan Bunda.

NDA;

Kembar & Mama

“Ma, maaf ya gara-gara Deva jadi ngerepotin,” ucap Radey pada adik kembar bundanya itu.

“Gapapa sayang, kebetulan banget semalem Mama masih di luar, gara-gara Renan kelupaan harus beli peralatan buat kegiatan di sekolahnya hari ini,” jelas Xenan pada kedua keponakannya.

“Renan sekolahhhh?? Sekarang kan Sabtu” Radiv bertanya tiba-tiba.

“Ya sekolah, sekolah dasar kan enggak full day sayang,” ujar Xenan menanggapi pertanyaan Radiva.

“Ahhh iyaaaa hehe, Radiv lupaa. Renan mana?” tanya Radiv.

“Lagi pake baju di kamarnya, baru selesai mandi. Kalo mau nyamperin Deva, dia ada di kamarnya. Kalian kalo mau makan juga, langsung ke ruang makan aja, tadi Mama masak banyak,” jelas Mama pada kedua anak laki-laki yang ada di hadapannya.

“Iya, Ma. Makasih,” ucap Radeya singkat.

“Okeee Maaa, makasihh banyakkkk hehee,” Radiva antusias.

Jadi kangen Bunda perlakuin Radiv kaya Mama hehe, batin Radiva memperhatikan Mama yang mulai menjauh dari hadapannya.

Radeya yang melihat ekspresi kembarannya, tampak langsung mengetahui apa yang sedang dipikirkan oleh Radiva. Dengan tatapan lembut menatap seorang wanita paruh baya dengan wajah persis seperti Bunda, terlihat Radiva sangat merindukan sosok Ibu yang selalu memperlakukan dirinya dan kedua kembarannya dengan hangat. “Gue tau lo kangen Bunda, Div,” batin Radeya.

“Ayo ke kamar Deva,” ajak Radey, menggoyahkan lamunan Radiva.

“Aaahh iyaa, ayo kak!”



Belum sempat Radiva menyapa sang adik kembar, pandangannya malah teralihkan pada kedua mata Deva yang terlihat memang habis menangis. “Renan enggak bohong,” batin Radiva.

Lo beneran nangis, Dev?” batin Radeya yang juga memperhatikan kedua mata Deva.

“Lo berdua kenapa? Kok ngeliatin gue sampe kaya gitu? Gue nggak kenapa-kenapa kok sumpahhh. Gue juga enggak balapan Dey, demi tuhann. Gue keluar cuma ketemu Juna doang, ngobrol. Semalem gue cuma ngerasa pusing aja di rumah, kayanya gue hampir gila tuh kepikiran soal fisika kemaren di sekolah,” ungkap Deva dengan berbagai macam alasannya.

“Iya, gue percaya. Juna juga udah cerita kok pas tadi gue di jalan. Lagian lo nggak mungkin juga terus-terusan ngelanggar larangan Papa, kan?” tanya Radeya dengan nada suara yang cukup lembut.

“Iyaa bener, itu lo tau. Gue nggak senakal itu gilaa.”

“Yaudah syukur kalo lo nggak kenapa-kenapa. Tapi beneran enggak kenapa-kenapa? Kok bisa tiba-tiba pingsan?”

“Gapapa asli. Gue cuma pusing aja itu, untung kerasa pas gue lagi sama Juna. Kalo di motor kayanya yaaa udah kelar, mungkin sekarang lo berdua lagi nangisin gue di rumah sakit, parahnya di pemakaman?” celetuk Deva tanpa pikir panjang.

Sontak Radiv yang mendengar ucapan yang baru saja dilontarkan Radeva, ia berjalan mendekat dan mencubit lengan kanan Deva. “Kalo ngomong ituuu suka sembarangannnnnn euuhhhhh,” ucap Radiva gemas, menatap tajam sang adik kembar.

“Iyaaaaa iyaaaaa maaf, enghh udahh ini lepasinn anjir sakitttt!! Lo kalo nyubit nggak kira-kira ahhhhhh!!!” Deva berontak, lantas menepis tangan Radiva.

“Ngeselinnnnn!!!” gerutu Radiv kesal.

“Lo lebih ngeselinnnn!!” balas Deva cemberut.

“Diem, atau gue titipin lo berdua ke panti asuhan.” Singkat Radeya memperhatikan tingkah kedua kembarannya.

NDA;

Khawatir

“Pa, semalem Deva keluar?” tanya Radey sembari menuruni anak tangga rumahnya.

“Iya, anaknya udah pulang?” tanya papa.

“Deva pingsannn papaaaaa!!!!” teriak Radiva yang baru saja keluar dari kamarnya di lantai dua.

“Hahhh?”

“Semalem Juna ada chat Radey, ke Radiv juga pake ponselnya Deva, katanya anaknya pingsan. Sekarang udah Radey chat Deva, belum ada balesan. Juna juga sama,” tutur Radey tampak khawatir.

“Kenapa bisa Radeva....” gumam papa heran.

“Deva balap pa?” Celetuk Radiv bertanya pada papa, pertanyaan singkat itu cukup menambah beban pikiran papa.

“Divv.. Udah, jangan mikir yang enggak-enggak dulu, kita cari dulu anaknya dimana sekarang,” jelas Radey pada kembarannya.

“Maaf... Radiv takut aja, abisnya tiba-tiba dikabarin Deva pingsan, jadi Radiv mikir kalo Deva kenapa-kenapa pas balap...” tutur Radiva khawatir.

“Semoga aja enggak, Div,” singkat Radeya sembari terus mencoba menghubungi sahabatnya, Juna.

“Sebentar, Papa coba chat Saga,” ujar Papa, langsung kembali ke dalam kamar untuk mengambil ponselnya.

“Pa, Bunda masih tidur?” Radiva bertanya penasaran.

“Iya, masih tidur, Div. Mau bangunin?”

“Enggak, Radiv cuma tanya aja.”


“Deva di rumah Renan, Div, Dey.” Ungkap Papa pada kedua anak laki-laki kembarnya.

“Mama? Kok bisa?” tanya Radeya.

“Bibi barusan ngabarin. Tadinya mau dibawa ke rumah bibi, tapi Juna inisiatif buat chat dulu mamanya Renan.”

“Yaudah, Radey nyamperin dulu Deva,” lantas Radeya berjalan menuju arah garasi mobilnya.

“Ikutttttt!!!!” Radiva dengan setelan piyama berwarna kuning itu berlari mengikuti kakak kembarnya.

“Hati-hati. Kalo ada apa-apa kabarin papa,” pinta papa pada kedua anaknya.

“Iyaaaa paaaa!!!!” ujar Radiv sembari menoleh ke arah papa.

NDA;

3+1

“Deva devaa, perihh tau inii,” ucap Radiv sembari terus mengelus kedua sikunya yang terhalang kain hoodie itu.

“Kebuka kali tu perbannya gara-gara kegesek sama Hoodienya,” jelas Radeva pada Radiv.

“Enggak kokk, ini masih ada nempel kayanya. Kalo kebuka pasti perihhh bangett kena hoodie kamu.”

“Yaudah buka aja daripada perihh terus,” Radeva memberikan saran.

“Nggak mauu ishh.”

“Ya sebenernya jangan jugaa, tar ketauan.”

Keduanya berjalan menuju ruangan tempat dimana kakak kembarnya dirawat.

“Mana sih, jauh banget,” gerutu Radeva kesal.

Tidak lama setelah itu, tampak seorang anak laki-laki dengan baju seragam sekolah dasar nya tengah duduk sendirian di kursi depan salah satu ruangan. Anak dengan rupa yang 50% hampir mirip dengan kembar tiga Chandra itu menoleh setelah mendengar suara langkah kaki dari arah sebelah kanannya.

“ABANGGGGGGG DUAA!!! ABANGG TIGA JELEKK!!!” Teriaknya pada Radiva dan Radeva yang masih berjalan ke arahnya.

“Sutttt Renan nggak boleh berisikk,” ucap Radiv dari kejauhan, dengan jari telunjuk yang ia tempelkan pada bibirnya.

“Ahelahh bocil lu ngapain ngikut ngikut ke sini si,” gumam Radeva kesal.

“Kak Radey di dalem?” tanya Radiv pada adik sepupunya, Renan.

“Iyaa di dalem, abangg dua masuk ajaaa, abang jelek nggak usahhhh!!!” jawab Renan tersenyum pada Radiv, dan memberikan tatapan sinis pada Radeva.

“Ok!! Radiv masukkk.”

“Apaa lu liatin gue kaya gitu??” Radeva ikut menatap sinis Renan.

“Apaa kamu liat liat akuu apaaa? Beranii kamu sama akuu????” Renan dengan nada bicara yang terdengar menantang.

“Dihhh bocah kadal lu,” ejek Radeva melotot.

“MAMA RENAN DIKATAIN BOC—”

“Suttttttt jangan teriak-teriak Renandaaaa,” ujar Radeva, membekap mulut sepupunya.

“Woooo wooo lepasin awas tangan abang bauuu!!!” Renan segera menyingkirkan tangan Radeva yang membungkam mulutnya

“Enak ajaaa, tangan gue wangii. Tangan lo bau kepiting tuhhh,” Deva kembali menjaili Renan.

“Tangan abang bau baygonnn wleee,” ejek Renan, menjulurkan lidahnya, meledek, dan langsung berlari masuk ke dalam ruang rawat Radeya.

“Bocahh ngeselin, gue lipet juga lu ahelah,” gerutu Radeva kesal.



“Kakakkk gapapaaaaaa??” Radiva bertanya khawatir.

“Gapapa astaga, gue baik-baik aja,” jawab Radey dengan suara yang masih lemas.

Radiva pun menempelkan punggung tangannya pada dahi kembarannya “Masihhh panasss, pusing banget yaaa???”

“Iya kalo itu masih, tapi gue udah beneran gapapa kok.”

“Kok bisa pingsan lo bangg?” Radeva bertanya tiba-tiba.

“Bang bang pala lo,” gerutu Radeya kesal.

Renan melihat Radiva tampak terus berdiri sembari memandangi Radeya yang terbaring di ranjang. Anak itu pun berinisiatif untuk menyuruh Radiva duduk, “Abangg duaa dudukkkkkk!!!!” pinta Renan menarik lengan Radiva yang posisinya berada di dalam saku hoodie dengan cukup keras.

“Aaarghh Renann sakitt, jangan tariikk-tarik dongggg,” ucap Radiva, segera mengelus siku kirinya lembut.

“Ahhh maaf.... Renan cuma mau abangg dudukk, tapi abang malah marahhh,” tutur Renan menyesal, lantas menundukkan kepalanya dan menjauh dari Radiva.

“Reenann bukan gituu, maafin Radivvv, Radiv cuma kaget karena kamu tiba-tiba tarik tangan Radiv, maaf ya,” jelas Radiva merasa bersalah.

“Renan sayangg nggak boleh main tarik tarik gitu ya, abangnya kaget tuh,” nasihat Xenan pada anak semata wayangnya.

“Mama, maaf, Radiv enggak maksud marahin Renan....”

“Gapapa Div, lagian Renan yang salah.”

“Heh bocil, ayo keluar, jajan es mau gakk?” tawar Radeva pada sepupu menyebalkan itu.

“Nggak mau,” jawab Renan murung.

“Ayoo, duaaa!!”

“Okeee gowwww abang jelekkk!!!!”

Radeva dan Renan, kedua sepupu itu memang tidaklah pernah akur, ledekan demi ledekan terus saja terdengar jika kedua anak laki-laki itu bertemu. Meskipun begitu, tidak menutup fakta, jika Radeva adalah kakak sepupu yang paling perhatian pada Renan di antara Radeya juga Radiva.



Kini Radeya hanya berdua bersama Radiv di dalam ruangan. Papa pergi untuk mengangkat panggilan yang masuk, dan Xenan yang pergi menuju kantin untuk menyusul Renan karena khawatir malah merepotkan Radeva.

“Lo kenapa pake hoodie?” tanya Radeya heran.

“Nggak kenapa-kenapa, mau aja,” jawab Radiva santai.

“Nyembunyiin sesuatu dari gue?”

“Enggakkk!! Nyembunyiin apa???” Radiva menjawab dengan nada suara yang terdengar panik.

“Terus kenapa tiba-tiba pake hoodienya Radeva?”

“Baju Radiv basahh, tadi kena air di toilet sekolah,” Radiva beralasan.

“Kenapa pas Renan tarik tangan lo, lo marah?”

“Kagettt kakakkk,” Radiva menjawab kesal.

“Ditarik tangannya sama anak kecil emangnya sesakit itu?” Radeya semakin mencecar Radiva dengan pertanyaan yang bahkan tidak pernah terpikirkan oleh Radiva.

“Iyaa sakitt, kagettt, tangan Radiv lagi diem jugaa tiba-tiba ditarik Renan.”

Radeya hanya mendengarkan jawaban yang dilontarkan Radiv barusan. Cukup mengiyakannya saja, walaupun pada kenyataannya ia tetap penasaran dengan apa yang disembunyikan oleh salah satu adik kembarnya itu.

NDA;

deya pcrq

Rumah sakit

“Dey? Kenapa nggak bangun-bangun?” monolog Xenan sembari terus mengusap punggung tangan keponakannya itu.

Tidak lama setelah itu, Chandra datang dengan membawa satu totebag berisikan makanan. “Xenan, makan dulu, kamu bahkan belum sempet istirahat tadi,” tutur Chandra, menyerahkan totebag yang ia bawa pada adik kembar istrinya itu.

“Renan juga, makan ya? Kamu pasti cape banget hari ini pulang sekolah langsung ikut Mama ke sini,” jelas Chandra, mengusap kepala Renan, seorang anak laki-laki berusia 9 tahun yang merupakan anak dari adik iparnya.

“Iyaa Papanya abanggg hehe,” ujar Renan pada papa dari ketiga kakak sepupunya itu.

Beberapa menit berlalu, ketika Xenan sedang sibuk menyuapi anak semata wayangnya itu, Radeya tampak perlahan membuka matanya.

“Mamaaa mamaaa!! Abang bangunnnnn,” ucap Renan sembari menunjuk ke arah Radeya.

Xenan lantas menoleh, benar saja apa yang dikatakan anaknya itu, Radeya sudah sadar dan membuka matanya.

“Radeya? Kamu gapapa? Badan kamu masih panasss,” Tanya Xenan pada keponakannya itu.

“Bunda?” tanya Radey, tampaknya ia belum sadar sepenuhnya.

“Ini Mama Xenan, Dey.”

Radeya sedikit linglung, dan kembali memejamkan matanya. Setelah beberapa saat, ia kembali membuka mata. “Mama Xenan? Renan?”

“Iya Dey, ini Mama. Bunda kamu belum ke sini,” jelas Xenan pada Radeya.

“Haloo abanggg!!!!!” sapa Renan antusias, tampak gingsul manis yang menjadi ciri khasnya ketika tertawa.

Radey tersenyum ketika Renan menyapanya, “Apa kabar, Renan?”

“Enggak baikkkkkk, soalnya abang sakittt huhhhhh,” tutur Renan gemas.

“Kok gitu?”

“Renan tadi nangis pas tau kamu sakit,” ungkap Xenan pada Radeya.

“Wah Renan nangis? Maafin Kak Radey ya?”

“Hp dulu, baru Renan Maafinn wlee,” tawar Renan pada salah satu kakak sepupunya itu.

“Hp Renan mana?”

“Di rumahhhh, kan Renan dari sekolah langsung ke sinii gara-gara abangg sakitttt,” jelas Renan mengerutkan dahinya.

“Yaudah, ehh tapi kakak nggak bawa hp, gatau hpnya di mana.”

“Itu ponsel kamu Dey, tadi Mama ambil dari saku piyama kamu. Gak usah kasih Renan gapapa,” tutur Xenan dengan nada bicara yang sangat sopan.

“Mamaaaaaaa!!!!” Renan mengerutkan bibirnya.

“Itu ambil Renan, di meja sana,” Radeya menunjuk ke arah meja di sebelah timur.

“Renann, kebiasaan...”



“Tapi sekarang udah mendingan, Dey?” tanya Xenan.

“Udah, Ma. Agak pusing sedikit.”

“Kenapa bisa sampai pingsann?”

“Tadi pusing bangett, Radey ke bawah mau ambil minum karena air di kamar udah abis, tapi di tangga udah nggak tahan lagi lemes banget, jadi mungkin ya...”

“Tapi Mama bersyukur kalo kamu masih kuat turun ke bawah, kalo masih di pertengahan tangga kan bahaya. Dokter juga bilang kalo kepala kamu nggak kenapa-kenapa, berarti kamu pingsan pas selesai turun dari tangganya.”

“Mungkin, tapi Radey ngerasa masih ada sisa tangga yang belum Radey lewatin.”

Sedang sibuk keduanya berbincang, Chandra datang ke dalam ruangan, dengan satu cup coffe di genggamannya.

“Radeyyy???? Udah sadar?” tanya Chandra khawatir.

“Udah mas, baru bangett,” Xenan menjawab pertanyaan Chandra yang ditujukan untuk Radeya.

“Udah pa.”

“Kenapa enggak tunggu bibi pulang duluuu?? Kenapa nekat turun??? Bahay—”

“Masss udahh.”

Xenan memotong pembicaraan Chandra yang malah mengomel pada Radeya yang baru saja sadar.

NDA;

Belakang sekolah

“Dateng juga lo,” ucap Fero menyambut kedatangan Radiva yang tampak berjalan dengan kepala menunduk.

Fero sendirian, begitu juga dengan Radiva. Sehingga dapat dipastikan jika hanya ada mereka berdua yang berada di area tersebut.

“Raadiv nggak mauu kamu apa-apain Deva,” ujarnya dengan suara yang sedikit bergetar.

“Ahahaha jadi lo dateng beneran karena takut kalo gue bakal ganggu si Radeva? Udah gue duga sih,” tanya Fero angkuh.

“Apa mau kamu? Kenapa nyuruh Radiv ke sini?” tanya Radiva semakin gugup.

“Lo takut? Gemeter banget? Santai aja, gue nggak bakalan apa-apain lo kok,” jelas Fero menepuk bahu kiri Radiva.

“Jangan pegang,” Radiva melangkah mundur, untuk menjauhkan tangan Fero dari atas bahunya.

Fero memejamkan matanya sesekali, setelah itu ia membuka kedua kelopak matanya dan langsung menatap tajam Radiva.

Tanpa aba-aba, Fero kembali menarik kerah baju Radiva, sama seperti yang ia lakukan beberapa hari yang lalu pada Radiva, namun tidak berlanjut karena Jendra dan Hilmar datang dan merusak pertemuannya dengan Radiva

Sekarang, cengkraman tangan Fero cukup kuat, sampai Radiv sedikit berjinjit dan mendongkak karena Fero menarik kerahnya kuat.

“Fer Ferro, jangannn, jangan ditarik, lepass Fero, Radiv mohonnn, jangann,” tutur Radiva memohon dengan suara yang bergetar.

“Gue bakal lepasin asal lo berhenti cari perhatian sama Ibu gue,” ujar Fero kembali menatap Radiva dengan raut wajah yang cukup kesal.

“Radiv nggak pernah cari perhatiannn... Radiv cuma belajar, Radiv cuma tanya kalo Radiv nggak tau, dan Radiv cuma jawab kalo Radiv tau jawabannya. Di mana letak Radiv cari perhatiannya sama ibu kamu?” jelas Radiv sembari tangannya mencoba melepaskan cengkraman tangan Fero dari kerah bajunya.

“Gue benci div, gue benci ketika gue harus terus dibandingin sama lo!! Semenjak gue pindah ke sini, Ibu gue terus banding-bandingin gue sama lo, sama murid kesayangannya, dan gue benci itu!! Lo juga tau itu Radiva! Udah ke berapa kalinya gue datengin lo, dan lo masih aja nggak paham alesannya? Mungkin temen-temen lo, kembaran lo, taunya gue cuma anak guru yang suka bully orang tanpa sebab, padahal kenyataannya nggak sama sekali, gue cuma mau hidup yang tenang, sekolah yang tenang, tanpa terus disangkut pautin sama keberhasilan orang lain. Gue cape anjing, jadi gue minta buat lo nggak usah cari perhatian lagi ke ibu gue!” jelas Fero, mengungkapkan alasan sebenernya mengapa ia selalu merasa marah dan kesal pada Radiva.

“Fero, kasih Radiv kesempatan buat ngobrol... Tolong lepasin.... Sakittt, leher Radiv sakittt, tolongg,” Radiva kembali memohon dengan lembut.

Amarah Fero semakin memuncak setelah mendengar permohonan Radiva, “Ahhhhh anjingggg,” celetuknya, lantas melepaskan cengkraman tangannya dari kerah baju Radiva, tanpa ia sadari, ia melepaskannya terlalu kuat sampai Radiva terdorong dan tersungkur ke tanah.

“Aaaa ahhh sakitt,” rintih Radiva, saat kedua sikunya mendarat dan mengenai batu kerikil yang berserakan di tanah.

Campur aduk rasanya, Fero merasa bersalah pada Radiva. Ia sama sekali tidak ingin bahkan tidak berniat untuk melukai anak itu, namun sepertinya tenaga Fero terlalu kuat sampai membuat salah satu anak Chandra itu terjatuh dan meringis kesakitan. Namun bukannya menolong, Fero malah terdiam sembari mengacak rambutnya.

Tidak lama setelah itu, Radeva muncul dan melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi pada salah satu kembarannya. Tampak Radiva meringis kesakitan sembari memperhatikan kedua sikunya yang berdarah.

“Radivaaaaa!!!!!” teriaknya, lantas berlari menghampiri kembarannya.

Sempat terhalang oleh dinding sekolah, kini Radeva bisa melihat Fero berada bersama Radiva. “Fero??? Lo lagi? Anjing!” Radeva beranjak dari hadapan Radiva, dan melangkah mendekati Fero.

“Mau lo apa anjing? Kenapa dari dulu lo gangguin terus kembaran gue? Kalo lo mau ganggu, ganggu guee sialan!” celetuknya panjang lebar, lantas menarik kerah baju Fero dengan tangan kirinya, dengan satu tangan kanannya yang masih berada di samping dan terlihat dikepalkan oleh Radeva.

“Sorry Dev, gue nggak sengaja,” ujar Fero santai.

“SETIAP SAAT? SETIAP KALI LO SAMA RADIVA? NGGAK SENGAJA?” Tanya Radey kesal, kepalan tangan kanannya semakin ia akan dan tepat berada di depan dadanya.

Kepalan tangan Radeva tampak bergetar, dan Radiva melihatnya m. “Dev, jangan... Jangan dipukul... Radiv nggak apa-apa, Radiv baik-baik aja,” tutur Radiv, memohon dengan mata yang berkaca-kaca.

Radeva menoleh pada Radiva, merasa bersalah jika ia tidak membalas perlakuan Fero yang membuat kakak kembarnya terluka, namun ia juga akan lebih merasa bersalah lagi jika dirinya tidak mengikuti apa yang diminta Radiva. “Jangann, Dev, tolong....”

Kepalan telapak tangan Radeva semakin bergetar setelah mendengar permintaan Radiv yang malah semakin membuat hatinya merasa sakit.

“Div, maaf... Sekali ini aja, sekali aja, gue boleh mukul orang yang nyakitin lo,” ungkapnya pada Radiva.

“Jangaan Radevaaaaa.”

Radeva tampak melayangkan kepalan tangan kanannya pada Fero, namun kurang beberapa cm lagi, Jendra datang dan mencegah Radeva untuk memukul Fero. “RADEVAAA!!! JANGANNN!!!” Teriak Jendra dari balik dinding sekolah. Radeva yang mudah teralihkan itu, lantas menoleh dan menurunkan tangan kanannya. “Jennnn???”

Jendra berlari dan mengambil alih Fero, cengkraman tangan Radeva terlepas karena Jendra menepisnya.

Jendra menarik keras baju Fero kuat-kuat, “Lo, gak usah macem macem sama mereka. Gue benci orang yang so jago kaya lo!!!!”

BHUGG

Dan pada akhirnya Jendra lah yang melayangkan dua pukulan pada Fero, mewakili Radeva.

“Jenhhh annj,” celetuk Fero saat kepalan tangan kanan Jendra mendarat pada pipinya.

“Jenn????” Radeva cukup terkejut.

“Jendra jangann.... Kasian...” Radiv dengan suara yang sangat kecil.



“Radiv? Gapapa?” tanya Jendra, menghampiri Radiva yang tampak masih ditenangkan oleh Deva.

“Gapapa, Radiv baik-baik aja....” tutur Radiva menjawab pertanyaan Jendra.

“Deva, jangan lagi ya?” ucap Radiva tiba-tiba.

“Gue nggak bisa janji, Div.”

“Inget janji kamu Dev, seenggaknya inget janji kamu sama diri kamu sendiri. Kamu udah janji nggak akan pernah mukul orang lagi, liat tadi, tangan kamu gemeter, kamu takut, kamu takut karena setelah kamu pukul Fero kamu udah ingkar sama janji yang kamu buat.

“Maafin gue....”

“Jangan, ya?”

“Iya...”

“DAN LOO? KENAPA LO BISA ADA DI SINI SAMA FERO??” Radeva tiba-tiba mempertanyakan hal tersebut.

“Maaf, Radiv enggak jujur sama kamu. Radiv cuma pengen nyelesain masalah Radiv sama Fero, Radiv cuma mau Fero udahan ganggu Radiv, makanya Radiv ketemu Fero....”

“LO BERANI BANGET? KALO SAMPE LO KENAPA-KENAPA GIMANA? NAH INI UDAH KENAPA-KENAPA NIH!! TERUS NANTI GUE BILANG KE PAPA GIMANA? APALAGI KE RADEYA! LO MAU GUE DIMARAHIN ABIS ABISAN GGRA NGGAK BISA NGELINDUNGIN LO???” jelas Radeva dengan nada yang cukup tinggi.

“Maafin Radivv,” Radiv memalingkan wajahnya, dan mengusap air matanya.

“Udah duluu, jangan berantem anjir. Ayo UKS, obatin dulu luka Radiv,” saran Jendra pada kedua kembar Chandra di hadapannya.



UKS

“Perihhh perih,” Radiva meringis saat salah satu sikunya tengah diobati oleh Juna.

“Yaaa tahannn anjir div,” ujar Juna kesal.

“Kamuuu ini tahan tahannn, perihhh tau,” ucap Radiv, lantas menepuk kening Juna.

“Anjirrr maen tepuk ajaa,”

“Sakitt Nagaaaarjunaaaaa.”

NDA;

Istirahat kedua

Deva dengan kelima sahabatnya tampak berkumpul di meja kantin tempat biasa mereka menghabiskan waktu istirahatnya. Beberapa menit setelah keenam anak laki-laki itu bersama, Deva baru menyadari jika kembarannya tidak ada di sana.

“Vin? Radiv mana???” Tanya Deva khawatir pada Cavin di hadapannya.

“Radiv tadi izin ke toilet dulu, kayanya bentar lagi juga ke sini,” jelas Cavin menjawab pertanyaan Radeva.

“Yang benerr???” Deva memastikan.

“Bener, tanya aja Naka.”

“Iya Dev, tadi Radiv bilang mau ke toilet kok, bentar lagi juga dateng, palingan cuma mau benerin seragamnya,” sambung Naka, menambahkan jawaban dari pernyataan Cavin.

Radeva merasa tidak tenang dengan ketidakhadiran Radiva di sampingnya saat itu. Mengingat Radeya juga sempat meminta Radeva untuk mengawasi kakak kembarnya. “Gue nyamperin Radiv dulu,” ucap Deva, beranjak dari bangku kantin.

“Bentar lagi juga ke sini, Dev,” ujar Naka pada salah satu kembar Chandra itu.

“Gue tau, tapi gue nggak tenang, bentar kok. Oh ya, toilet utara lantai dua, kan?” tanya Radeva memastikan.

“Iya Dev, yang biasa,” ucap Cavin merespon pertanyaan Radeva.

“Hmmm oke, gue pergi dulu.”

“Hati-hati, Dev,” ucap Jendra yang sejak tadi hanya memperhatikan Radeva yang tampak sangat mengkhawatirkan Radiva.

“Sepi banget gaada Radey,” celetuk Juna tiba-tiba.

“Gue ke toilet dulu yaa,” ucap Jendra spontan.

“Tiba-tiba pisannn,” ujar Hilmar.

“Namanya panggilan alam ya mana bisa dikondisikan, Mar.”

“Heeuh sih, yaudah sana,” Hilmar dengan nada yang terdengar mengusir.

Gue yakin Radeva lagi ngerasain sesuatu yang buat dia nggak tenang,” batin Jendra, berjalan mengikuti kemana salah satu kembar Chandra itu pergi.



“Lahh gaada? Ini toilet pada kosong semua. Kemana itu anak??” gumam Radeva langsung mengaktifkan ponsel yang sejak tadi berada di genggamannya, dan mencoba menghubungi Radiva, salah satu kakak kembarnya itu.

“Angkattt Divvv, ahhh anjir, kemana diaa,” gerutu Radeva kesal.

Radeva pun bertanya pada anak-anak yang berada di kantin, apakah kembarannya itu sudah berada di sana atau belum, namun semuanya mengatakan jika Radiva belum sampai di kantin.

Semakin panik dibuatnya, Radeva berlari dengan tergesa dan menuruni belasan anak tangga tanpa memperhatikan langkahnya. Jendra yang sejak tadi memperhatikan, lantas menyusul kemana Radeva pergi.

Sampai dimana Radeva bertemu beberapa siswi dan bertanya, “Liat Radiva nggak? Kembaran gue? Tau kan? Pasti taulahh,” tanya Deva dengan napas yang cukup berantakan.

“Tadi akuu liatt kakk, Kak Radiva jalan ke arah belakang sekolah, aku liatnya Kak Radivaa sih, tapi gatau kalo bukan, bisa aja Kak Radeya,” ungkap salah satu siswi SMA Neoraya yang ternyata merupakan adik kelasnya.

“Ahh okee, kayanya Radiva, soalnya Radeya nggak masuk. Kalo gitu thanks yaa,” tuturnya, kembali berlari menuju arah belakang sekolah.

“Ngapain loo ke belakang sekolahhhh Jovinnnnnn,” gerutu Radeva kesal.

NDA;

Gemetar

Radiv enggak salah, Radiv enggak nyari masalah juga, kenapa Fero mau ketemu Radiv lagi?” batin Radiva dengan wajahnya yang tampak pucat.

Cavin melirik ke arah Radiv di sampingnya, tampak kedua telapak tangan Radiva bergetar tepat di atas meja. “Radiv? Hei!! Lo gapapa? Tangan lo gemeter,” tanya Cavin menepuk pundak Radiva.

Radiva membulatkan matanya lebar, menoleh pada Cavin. “Hahh? Apa? Ahh Radivvv? Inii???? Tangan Radivvvv? Tangan Radivvvv enggak kenapa-kenapa,” jawab Radiv gugup lantas menyembunyikan kedua telapak tangannya ke arah belakang.

“Beneran? Bukan karena takut? Kalo iya, takut apaa? Ada apa?” tanya Cavin pada Radiva.

“Ahh enggak kokk Cavin hehehee, Radivv enggak kenapa-kenapaaaa, Radiv nggak takutt, tangan Radiv tiba-tiba gemeterrr ajaaaa, tangannya kaget kalii soalnya tadi tangan Radivv diem terusss,” Radiv kembali menjawab pertanyaan Cavin dengan raut wajah yang tiba-tiba kembali ceria.

Lantas setelah itu, Cavin beranjak dari kursinya, beralih menuju kursi Janaka.

“Ngapain ke sini?” Naka bertanya heran.

“Si Radiv, barusan tangannya gemeter dua-duanya, lo tau kan apa artinya?”

“Radiv ketakutan lagi? Kenapaaaa?” tanya Naka panik.

“Anaknya bilang gapapa, tapi gue yakin emang gemeter karena dia takut, karena dia lagi cemas sama sesuatu, mukanya juga pucet kaya biasa,” Cavin menjawab pertanyaan Naka.

“Yaudah, chat Deva aja, kabarin. Gue takut Radiv kenapa-kenapa, karena anaknya nggak jujur juga kenapa dia tiba-tiba kaya gitu lagi,” saran Naka pada sahabatnya Cavin.

NDA;