Sakit, Dey
Setengah jam kemudian
Deva keluar dari kamarnya, diikuti Bi Wulan di belakangnya. Radeya sama sekali tidak menyusul Bi Wulan ke kamar Radeva. Tampaknya ia paham, jika Bi Wulan tidak memanggilnya, atau tidak berteriak artinya memang tidak terjadi apa-apa pada Radeva.
Sehingga pada saat dimana Bi Wulan berada di kamar Deva, Radey masih berusaha menenangkan Radiva.
Semakin Radeva mendekat, semakin kedua kembarannya terfokuskan pandanganya pada sekitaran wajah Deva. Matanya yang bengkak serta samping dagunya yang tampak terluka.
Radiva menatap dalam adik kembarnya, “Bengkak, Deva nangis, Deva kesakitan tadi....” batin Radiva merasa bersalah.
“Lo nangis lagi, Dev?” batin Radeya bertanya heran. Ingin rasanya memastikan, namun pertanyaan itu sangat sulit dilontarkan olehnya pada Radeva.
“Kenapa? Kenapa lo berdua ngeliatin gue kaya gitu lagi?” Radeva bertanya heran.
“Gapapa, muka lo kaya abis nangis,” celetuk Radey menanggapi pertanyaan Deva.
“Iya, gue abis nangis,” ucap Radeva spontan.
Lantas Radiva beranjak dari kursinya, mendekat ke arah Radeva dan tanpa aba-aba memeluk erat salah satu kembarannya itu. “Deva? Nangis? Kenapa? Apa yang sakit? Siapa yang nyakitin kamu?” Cecar Radiv dengan berbagai macam pertanyaannya.
“Radiv, jangan peluk gueee, gue mohonnn, gue nggak mau nangis di depan lo berdua,” batin Radeva dengan mata yang terpejam.
Tampaknya bibi mengetahui jika Deva tidak memiliki alasan kenapa dirinya menangis, oleh karena itu, tanpa permintaan dari Radeva, bibi spontan membuat alasan yang pasti akan dipercaya oleh Radiva dan Radey. “Mas Diva, Mas Deva enggak kenapa-kenapa kok, jangan khawatir ya? Tadi Mas Deva nangis karena ngerasa bersalah sama kalian, karena Mas Deva udah buat kalian khawatir pagi ini, udah bikin kalian panik, Mas Deva enggak enak, makanya nangis sendirian di kamar. Jangan diejek ya? Mas Deva juga berhak kan buat nangis? Sama kaya Mas Radey, juga Mas Radiv. Sehumoris-humorisnya seseorang di luar, bibi yakin, di dalamnya dia adalah seorang yang paling rapuh hidupnya,” jelas bibi, secara tidak langsung, menyisipkan pesan tersirat pada kedua kembaran Radeva.
“Deva, beneran?” tanya Radiv khawatir.
“Ii—iya Div, gue kepikiran aja karena gara-gara gue, lo berdua harus pergi nyusulin gue,” jelas Deva gugup.
“Maksud bibi apa? Gue yakin, di akhir perkataannya barusan, bukan karena enggak sengaja bibi ngobrol kaya gitu,” batin Radeya penasaran.
“Yasudah, bibi izin ke dapur lagi ya Mas Deya, Mas Deva, Mas Radiv,” sebelum berbalik badan, bibi mencoba menetralkan napasnya, sebisa mungkin ia tidak memperlihatkan apa yang sebenarnya terjadi pada Radeva tadi.
“Iya bi, makasih banyak udah bantuin Deya,” ujar sopan Radeya pada Bi Wulan.
“Deva, sekitaran dagu kamu kenapa?” tanya Radiva penasaran, setelah beberapa saat melepaskan pelukannya dari Deva.
“Ahh ini, gatau, gatel, gue garuk sampe agak diteken, makanya agak luka,” jawab Radeva beralasan.
Radeya penasaran, lantas meraih salah satu telapak tangan Radeva. “Kuku lo pendek, nggak ada yang panjang, mana bisa bikin luka kaya gini di dagu?” Radeya bertanya spontan.
“Mampus iya, gue kan baru potong kuku dua hari yang lalu,” batin Radeva, panik.
“Udahh kak, jangan dibahas lagi, suruh Deva duduk, Radiv ambil salep dulu, merah merah gitu, ada yang luka juga, pasti perih yaa??” tanya Radiva gemas, dengan raut wajah yang terlihat benar-benar khawatir.
“Lo sama sekali enggak jawab pertanyaan gue, Dev. Ada apa sebenernya?” batin Radeya kembali penasaran.
“Dey, kalo gue boleh jujur, rasanya sakit Dey, sakit yang bener-bener sakit, sakit karena gue dibedain gara-gara kejadian lima tahun lalu, yang bahkan kejadian itu bukan semata-mata karena gue, gue nggak sengaja, Dey.” Batin Radeva, tanpa sepengetahuan Radey, Deva menatapnya dalam.
NDA;