wxyzndaa

Gaada yang salah

Radiv keluar dari dalam mobil milik Radeya dengan tergesa, sampai lupa ada kedua anaknya di kursi penumpang.

“Hehhh mau kemana Jovin?? Anak lo ketinggalannnn,” teriak Radeya dari dalam mobil.

Radiv menghiraukan teriakan Kakak kembarnya, dan memilih melanjutkan langkahnya menuju area rumah sakit, ke arah lantai dua kamar Kayyara.

“Ya tuhan, sekalinya bucin, anaknya ditinggalin kaya gini. Beneran lah, Eze, Raza, kalian jadi anak Papa Deya aja, ya?” tanya Radeya menoleh ke arah belakang.

Kedua anak laki-laki kembar itu hanya tersenyum lebar sembari menatap manis wajah Papa kedua mereka setelah Papa Diva.

Alhasil, Radeya harus memangku kedua anak Radiv. Keduanya sedang dalam keadaan yang kurang baik karena dampak dari sang Papa yang tadi melajukan mobil dengan kecepatan yang cukup membuat kedua anaknya itu linglung.

“Radiva Jovinnn, anak lo sampe pusing kayanya nih gamau diajak jalan kaki, dua duanya malah minta dipangku,” gumam Radeya sembari memangku satu persatu keponakannya itu.



Radiva berlari ke arah pintu kamar rawat istrinya, “Kayyyyy!!!!!” teriaknya sembari membuka pintu kamar istrinya.

Kedua matanya membulat, menatap sekitaran ruangan tempat dimana istrinya di rawat.

Tampak Alana, Radeva beserta ketiga anak mereka, Bunda, kedua mertua Radiv, juga Papa berada di ruangan Kayyara.

“Radeva! Mana dokter itu?” Tanya Radiv geram.

Kak Dey jirr, kan gue suruh bilang kalo ini bercandaaa,” batin Deva, menepuk jidatnya.

“Div, sorry, sorry bangettt, tapi itu nggak beneran. Dokternya nggak deketin Kay kok, dia cuma periksa Kay,” jelas Deva dengan suara yang sedikit gugup.

Radiva menghela napasnya dalam, badannya terasa lemas setelah kedua matanya tiba-tiba menatap sang istri yang tampak masih terbaring di ranjang rumah sakit.

“Kay....” ucapnya, menatap dalam Kayyara.

“Papa kembar, maaf...” sambung Kay pada suaminya yang baru saja datang.

“Udah, jangan bahas kesalahpahamannya lagi....” ujar Papa Chandra dari arah sofa.

“Kayyara, aku minta maaf ya. Maaf karena aku udah buat kamu nanggung ini sendirian, maaf karena udah buat kamu berpikir kalo ini salah kamu, nggak ya sayang? Ini bukan salah kam—”

Belum sempat Radiv menyelesaikan pembicaraannya, Kayyara memotong, “Iya bukan salah aku, dan bukan salah kamu juga.”

“Iya, bukan salah kita berdua. Kamu, aku, semuanya, nggak ada satu orang pun yang mau kejadian ini terjadi. Aku, kamu, nggak mau kehilangan adek bayi. Ikhlas ya, Kay? Aku udah nyoba ikhlas sekarang, walaupun masih ada bayangan kalo gara-gara aku adek bayi pergi. Tapi setelah itu, aku berpikir lagi, kalo semuanya udah diatur sama tuhan, tuhan emang nitipin kita anak lagi, tapi bukan untuk kita jaga sampai bisa tumbuh kaya Eze dan Raza, tuhan cuma titipin dia sementara, sementara di dalam perut kamu. Setelah adek bayi udah bisa ngerasain betapa sayangnya kamu dan aku sama dia, tuhan ambil lagi. Kay, mungkin kita nggak bisa ketemu secara langsung sama adek bayi yang ini, tapi yakin kan? Kalo suatu saat, kita bakal ketemu lagi sama dia, di semesta yang berbeda, dengan cerita yang jauh lebih membahagiakan, kita bisa liat adek bayi main sama dua kakaknya, Eze dan Raza,” ungkap Radiva dengan panjang lebarnya, sembari mendekap hangat sang istri yang baru saja meneteskan air matanya.

“Kenapa jadi sedih gini....” gumam Radeva yang tiba-tiba ikut memeluk istrinya, Alana.

Baru saja sesi saling peluk berlangsung, Radeya datang dengan kedua tangan yang sibuk memangku anak-anak Radiva. “Bagusss, pelukannn, semuanya aja pelukann, Deva Alana, Radiv Kay, Papa Bunda, Om Tante, semuanya pelukan, Radeya udah cukup sibuk ngurus Eze Raza, makasih banyak,” ucap Radeya kesal, hendak menurunkan kedua anak Radiva. Namun tiba-tiba Eze merengek, pertanda tidak ingin turun dari pangkuan Papa keduanya itu.

“Sayang sinii,” ajak Radiva, melepas pelukannya pada Kay, dan berjalan mendekati Eze.

Eze menggelengkan kepalanya, menolak ajakan sang Papa untuk berpindah pangkuan. Radiva pun mengajak Raza, namun sama halnya dengan Eze, Raza pun ikut menolak Papanya.

“Makanyaaa, anaknya jangan ditinggal-tinggal, nggak diakuin bapak tau rasa lo,” jelas Radeya pada Radiva.

“Nah, selamat menikmati, Div. Anak gue si Elle udah jadi hak paten Kak Dey, sekarang Eze Raza, selamat aja dari gue mah. Selamat karena lo bakal jadi bapak cadangan mereka,” tutur Radeva pada Radiva.

“Papa Deya punya Elle!! Eze Raza turunnn!!!!” teriak satu anak perempuan kecil yang sejak tadi berada di pangkuan Alana.

“Nah kan anak guee,” gumam Radeva menoleh ke arah Elle yang tampak berjalan ke arah Radeya.

Elle, anak Radeva, sepertinya cemburu melihat kedekatan dua kakak sepupunya dekat dengan Papa Deya.

Radiva yang melihatnya, hanya memperhatikan sembari tersenyum, setelah itu ia kembali menuju ranjang istrinya, dan kembali memeluk erat hingga mencium pipi Kayyara.

“Bucin bangettt, depan orang tuaaa, emang Radiv doang yang beraniiii,” sindir Deva sembari menoleh ke arah bunda dan papa, juga ke arah kedua mertua Radiva.

“Silakan Div, silakan, masih banyak waktu kok biar punya adik cantik buat Eze sama Raza,” celetuk Radeya sembari mencoba menenangkan Elle yang sejak tadi menarik kemejanya agar Radeya menurunkan Eze dan Raza.

nda pcr jevan🦭

Gugup

Aksa duduk tepat di sebelah Kava, ia hendak menyenderkan kepala pada pundak kiri kembarannya. Namun belum sempat kepala Aksa mendarat pada pundak Kava, pandangan mata Aksa tertuju pada luka di siku lengan kiri Kava.

Aksa beberapa kali mengedipkan kedua kelopak mata, lalu kembali ke posisi duduk tegaknya. “Kava, gue boleh tanya?” tanya Aksa lembut.

“Bolehhh, mau tanya apa?” Kava menanggapi pertanyaan singkat Aksa.

“Siku tangan kiri lo, kenapa?” Aksa bertanya memastikan.

Kava terdiam sejenak setelah mendengarkan Aksa yang tiba-tiba bertanya soal luka pada sikunya.

“Euuu itu Aksa... Ituu, inii inii jatuh dua hari yang lalu,” jawab Kava gugup.

Lo bohong, Va.....” batin Aksa.

“Ahh oke, kalo gue boleh tau, kenapa bisa jatoh? Jatohnya di mana? Di sekolah? Di depan rumah?” Aksa kembali bertanya memastikan.

“Astaga... Aksa penasaran bangett ya?” tanya Kava dengan raut wajah gemasnya.

“Ya lo kenapa tiba-tiba ada luka kaya gitu? Kenapa nggak kasih tau gue? Biasanya lo bilang?” cecar Aksa pada kembarannya.

“Aku lupa, lagian enggak sakit, waktu aku jatuh itu barengan sama bel jam pelajaran kedua, aku langsung masuk ke kelas sampe lupa bekas jatuhnya ninggalin luka,” jelas Kava pada Aksa.

“Tapi udah diobatin, kan?”

“Udahh, pake betadine, dikasih salep jugaa.”

“Mama tau?”

“Aksaaa, aku bukan anak kecil lagii huh,” gerutu Kava kesal.

“Dulu setiap kejadian apapun yang lo alamin, lo selalu bilang sama semua orang rumah,” ujar Aksa sembari memperhatikan luka pada siku Kava.

“Itu dulu, Aksa....”

“Sebenernya lo pengen bilang, kan?”

“Nggak.”

“Tapi semenjak kejadian—”

“Sut,” ucap Kava, menutup mulut Aksa dengan telapak tangan kanannya.

“Aksa, kita udah janji nggak bakal bahas masalah itu lagi....” ungkap Kava dengan mata yang berkaca-kaca.

“Maaf....”

“Janji lagi sini, janji jangan diungkit lagi yaa? Semua udah kembali ke semula, yang beda cuma satu, kita, iya kita yang nggak bisa berteduh di satu atap yang sama lagi,” tutur Kava, mengacungkan jari kelingkingnya tepat di depan wajah Aksa.

Aksa tersenyum lebar melihat senyuman yang tergambar di wajah Kava, “Janji,” ucap Aksa, mengaitkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Kava.

wxyzndaa

Jangan lupa minum obat!!

Ahza mengemudikan mobilnya keluar dari area rumah sakit tempat ia bekerja, dengan Radeya yang berada di samping menemaninya.

“Yay— ehhh Kak Radey mau beli apa? Maksud Ahza, mau makan apa? Atau nanti aja di hotel?” tanya Ahza dengan pandangan yang masih fokus pada jalanan di hadapannya.

“Gue mau bubur,” jelas Radeya singkat.

“Bubur? Malem-malem gini?” tanya Ahza heran.

“Iya, bubur Pak Arief, di depan komplek lo,” ungkap Radeya pada Ahza.

“Ahhh Pak Arief? Yang sebelahan sama siomay kan??” tanya Ahza memastikan.

“Iya, siomay langganan gue.”

“Pak Arief udah nggak jualan lagi, sebelum Ahza sama kakak pindah dari komplek itu, Pak Arief udah pulang ke kampung halamannya.”

“Yahh, padahal gue pengen banget.”

“Itu di depan juga ada tukang bubur, mau?” tawar Ahza.

“Nggak mau.”

“Yaudah ganti deh, mau apa?”

“Siomay.”

“Siomay sebelah Pak Arief?”

“Iya.”

“Astagaaaa ka....”

“Yaudah deh, kalo itu kayanya masih ada.”

Ahza sedikit menambah kecepatan mobilnya, hendak menuju komplek lama yang sempat menjadi tempat tinggalnya selama beberapa tahun bersama Jefan, juga Radeya.

Beberapa belas menit berlalu, “Kakk adaaaa tuhh,” ucap Ahza antusias.

“Bapak nya pasti kangen banget sama gue,” ucap Radeya dengan percaya dirinya.


“Rasanya masih sama ya, malah tambah enak,” ungkap Radeya pada bapak penjual siomay.

“Bisa aja si mas. Ngomong-ngomong bapak beneran pangling loh, rasanya baru kemaren liat Mbak Ahza selalu tuntun Mas Radey ke sini, sekarang udah beda cerita ya. Mbak Ahza dulu juga sempet cerita kalo Mas Radey udah bisa liat, nyeritainya sampe girang banget ,” tutur bapak penjual siomay pada Radeya.

“Gak kerasa ya, Pak. Waktu saya di sini, umur saya masih 19, 20an, sekarang dateng lagi, tau-tau udah nambah beberapa tahun,” ungkap Radeya menanggapi berbagai obrolan bapak penjual siomay.

“Sekarang udah nikah, mas?”

“Ah belum, belum ketemu jodohnya,” Radey menanggapi dengan nada bercanda.

“Ahh gitu, yaudah gapapa, mungkin nanti tau tau tenyata mas jodohnya sama Mbak Ahza,” celetuk bapak penjual siomay polos.

Keduanya hanya tersenyum mendengar perkataan yang baru saja dilontarkan bapak penjual siomay langganan Radeya itu.


“Langsung ke hotel ya?”

“Iya, sini gue aja yang nyetir,” ucap Radey meminta kunci mobil milik Ahza.

“Enggak enggak, udah kakak masuk, Ahza aja.”

“Lo pasti cape.”

“Diem, kakak baru sembuh, besok juga masih harus istirahat tauu,” tutur Ahza kesal.

Radeya tidak bisa membantah perintah Ahza, mengingat beberapa tahun yang lalu, saat Radeya tinggal di rumah Jefan, Ahza akan merasa sedih, jika Radeya tidak mengikuti keinginannya, otomatis seharian Radeya tidak akan mendapatkan bantuan dari Ahza.


“Makasih ya udah nganterin gue ke sini,” tutur Radeya berterima kasih.

“Sama-sama, Kak.”

“Oh ya, mobil besok, ya? Setelah barang-barang kakak yang dikirim Kak Radiva dateng, Kakak langsung kabarin Kak Jefan aja, nanti orang suruhannya Kak Jefan langsung bawa mobil kakak ke sini. Dan kakak bisa langsung ke apart, oke?” jelas Ahza pada Radeya.

“Iya, besok selagi nungguin barang-barang gue dateng, gue mau ngurus bahan buat meeting lusa, kalo barang udah ada, gue kabarin lo.”

“Nah oke, yaudah kalo gitu, Ahza pamit pulang ya. Jangan lupa istirahat, Kak. Ahh yaa, jangan lupa diminum obatnya, awas.”

“Iya bu dokter.”

wxyzndaa

ngingetin gue waktu pertama kali kita kenal

“Denger kan? Kakak harus dirawat beberapa hari,” ucap Ahza pada Radeya.

“Za, ini gak bisa banget keluar sekarang? Gue nggak mungkin ninggalin meeting besok, itu penting banget buat perusahaan gue,” tutur Radeya khawatir.

“Gak bisa kak, badan kakak aja masih panas, masih lemes juga, gimana bisa dateng meeting?” Ahza menanggapi perkataan Radeya sebelumnya.

“Mau Ahza kasih tau aja Kak Radeva? Tadi Ahza sempet liat notif hp kakak, isinya panggilan tak terjawab dari Kak Radeva sama Kak Radiva. Tapi Ahza gak berani buka,” sambung Ahza sembari membawakan ponsel pada Radeya.

Radeya menghela napasnya dalam-dalam, “Mau gimana lagi, gue nggak bisa keluar dari sini. Dev, maaf, gue harus ngerepotin lo lagi,” batin Radeya, semakin merasa tidak enak hati.

Hendak mengetik pesan untuk kembarannya, jari tangan Radeya mendadak kaku. “Ahza, boleh minta tolong ketik pesan buat gue?” Radey meminta tolong dengan nada memohon.

“Boleh, kak.”

“Ikutin kata gue aja ya, gue mau telepon, tapi nanti mereka malah tambah khawatir dan marah-marah ke gue.”

“Iya, Kak.”


“Makasih banyak, ya?”

“Sama-sama.”

“Ahh iya kak, barusan temenku ngabarin, kalo mobil kakak udah dibenerin lagi. Dan sekarang ada di parkiran apartemenku,” ungkap Ahza pada Radeya.

“Mobil gue? Ah iyaaa.”

“Maaf ya, agak diotak atik, soalnya tanpa bantuan temenku, kakak gak bisa keluar dari mobil,” tutur Ahza merasa bersalah.

“Gapapa, kalo gak ada lo, mungkin gue udah gaada di sini gara-gara—”

“Hussss, kalo ngomong itu gak pernah disaring ya, kebiasaann,” ucap Ahza memotong pembicaraan Radeya dan menatapnya kesal .

“Maaf....” singkat Radeya dengan wajah masamnya.

Kenapa masih lucu aja?” batin Ahza, menundukkan kepalanya.

“Ahh ya kak, makan dulu, ya? Sebentar lagi pasti ada yang anter makanannya,”

“Nggak, perut gue lagi nggak enak.”

“Gak gak gak, harus makan. Muka udah pucet banget kaya gitu, jangan dibiasain telat makan tauu gak baik.”

“Nanti aja, tangan gue juga masih lemes,” Radey kembali beralasan.

“Ahza bantuin, asal kakak makan.”

Radeya terdiam sejenak, “Ahza, perlakuan lo ini, ngingetin gue ke waktu pertama kali kita kenal dan ketemu, lo nyambut gue dan perlakuin gue dengan baik,” batin Radeya. Tanpa Ahza sadari, Radeya memperhatikannya.

“Ahh yaa, Ahza lupa mau ngasih kabar Kak Jefan. Tadi Kak Jefan tanya siapa pasien Ahza, tapi Ahza gak kasih tau dulu sebelum Yay, ehh Kak Radey bangun,” jelas Ahza sembari mengeluarkan ponsel dari dalam tas kecilnya.

wxyzndaa


Yaya = nama panggilan khusus dari Ahza untuk Radeya

setelah sekian lama

Perlahan, Radeya membuka kedua kelopak matanya, dengan pandangan yang masih cukup samar, pandangannya langsung tertuju pada selang infus di punggung tangan kirinya. Radeya berpikir sejenak, seingatnya terakhir kali ia hendak keluar dari mobil untuk mengunjungi minimarket dan apotek, namun sekarang tanpa alasan yang belum ia ketahui, dirinya sudah terbaring di atas ranjang dengan selang infusan di punggung tangannya. “Kenapa gue bisa ada di sini?” gumamnya pelan.

“Mana ini badan panas banget,” sambungnya setelah menempelkan punggung tangan kanan pada dahinya.

Radeya masih saja terdiam, sembari sesekali mengedipkan mata, mencoba untuk menjernihkan penglihatannya. Hendak bangun, namun rasanya ia tak sanggup karena tubuhnya yang benar-benar terasa lemas.

“Bentar, tapi siapa yang bawa gue ke sini? Dan gimana cara mereka keluarin gue dari mobil? Seinget gue, terakhir kali sebelum gue ada di sini, gue belum sama sekali buka pintu mobilnya,” tuturnya penasaran.

Radeya membulatkan kedua matanya, “Jangan-jangan orang yang bantuin gue, ngerusak mobil gue?? Mobil gue dirusak??” asumsinya, kesal.

Tidak lama setelah itu, datang seorang perempuan dengan setelan rapi hendak menghampirinya. Pandangan Radeya belum sepenuhnya jelas, ia memperhatikan perempuan itu. Entah apa yang ada di pikirannya, semakin perempuan itu mendekat, semakin mengingatkan Radeya pada seseorang di masa lalunya.

“Aira? Ini kamu?”

“Kak Radeya? Udah sadar?”

Kedua pertanyaan itu terlontar secara bersamaan.

“Aira?” ucap Ahza.

Semakin dekat, Radeya menyadari jika perempuan yang menghampirinya bukan Aira, melainkan perempuan yang beberapa tahun lalu pernah membersamainya ketika Radeya mengalami masa-masa sulit setelah kecelakaan yang menimpanya.

“Ahza?” tanya Radeya, menatap dalam perempuan di hadapannya.

“Halo, Kak? Iya, ini Ahza,” jawab Ahza, tersenyum manis.

“Kok lo bisa ada di sini?” Tanya Radeya penasaran.

“Ahza yang bawa kakak ke sini. Tadi sore, Yaya pingsan di dalam mobil, dan kebetulan Ahza lewat daerah sana,” jelas Ahza menanggapi pertanyaan Radeya.

Ahza terdiam sejenak, merasakan ada yang janggal dari ucapan sebelumnya. “Ahhh maksud Ahza, Kak Radeya, maaf.”

Radeya tersenyum, melihat tingkah Ahza yang sama sekali tidak berubah sejak terakhir kali Radeya bertemu dengannya.

“Gapapa, pake lagi aja namanya,” tutur Radeya.

“Ahh enggak, malu,” singkat Ahza.

“Oh ya, makasih ya udah nolongin gue, gue gatau bakal kejadian kaya gini. Dan maaf, sekalinya kita ketemu lagi, gue malah ngerepotin lo,” ungkap Radeya merasa tidak enak hati.

“Kakkk, gapapa, kaya ke siapa aja. Tapi Ahza masih gak nyangka bisa ketemu kakak lagi, pada udah lama banget kita gak kontakan, walaupun Ahza masih sempet liat updatean kakak di sosial media,” ujar Ahza pada Radeya.

“Tapi gue malu, pertemuan gue sama lo, selalu disaat keadaan gue lagi gak baik-baik aja.”

“Udah, jangan dulu dibahas. Ahza panggilin dulu dokternya ya. Mau Ahza yang periksa tapi gak enak karena sekarang bukan jam kerja Ahza. Kakak demam loh, dehidrasi pula, tapi bisa-bisanya pergi-pergian.”

“Gue ada meeting besok di sini, udah beberapa hari ke belakang, gara-gara gue sakit, Deva yang handle semua kerjaan, gue gak enak,” jelas Radeya.

“Dan sekarang, kakak maksain jauh-jauh dateng ke sini dengan kondisi yang kaya gini??” Ahza bertanya kesal.

“Oke, jangan dijawab, Ahza keluar sebentar, kakak istirahat.”

Ahza berbalik badan, hendak pergi keluar menemui dokter yang tadi memeriksa keadaan Radeya.

“Ahza,” ucap Radeya, menggenggam lengan kiri Ahza dengan tangan kanannya.

Ahza menoleh gugup, “Kenapa, kak?”

“Gue belum sempet tanya kabar lo, dan gue harap lo baik-baik aja. Dan tadi, soal jam kerja? Selamat, ya? Gue bangga banget sama lo,” tutur Radeya manis.

wxyzndaa

Kebetulan?

Radeya menepikan mobilnya tepat di depan sebuah ruko tepi jalan, karena merasakan ada yang tidak beres dengan kondisi fisiknya.

Setelah membalas chat dari sang kembaran, Radeya semakin yakin jika keadaannya kembali memburuk lagi, sekujur tubuhnya berkeringat dingin, lantas Radeya menempelkan telapak tangan kanannya pada dahi, merasakan hawa panas yang sudah hampir lima hari ke belakang selalu terasa olehnya itu datang kembali.

“Pusing banget gilaa....”

“Tadi pagi gue ngerasa udah mendingan, kenapa malah panas lagi?” gerutu Radeya lemas, sembari memijat bagian atas kepalanya.

Radeya melepas seatbelt nya, hendak keluar untuk sekedar membeli air dan obat penurun panas, karena kebetulan pada jajaran minimarket yang hendak ia tuju, terdapat pula apotek di sebelahnya. Namun, baru saja ia selesai melepas seatbelt nya, sekujur tubuh Radeya terasa lemas, sampai dimana ia terdiam sejenak, dan mendadak menutup kedua kelopak matanya.

Radeya, pingsan.


Sekitar lima belas menit berlalu, pemilik ruko keluar dari dalam. Heran, mengapa sejak tadi mobil yang parkir di depan rukonya tidak kunjung pergi?

Pemilik ruko mencoba memeriksa ke dalam mobil, apakah sang pemilik mobil ada di dalam atau tidak. Bukannya tidak sopan, hanya saja, anak pemilik toko akan datang dan parkir tepat di tempat Radeya memarkirkan mobilnya.

“Lah ini orangnya ada?? Kenapa belum pergi juga??” gumamnya sembari mengetuk kaca mobil Radeya.

“Mass?? Masss??? Permisi, boleh pindah nggak parkirnyaa?? Mass??? Ini mobil anak saya mau dateng soalnya. Masss???” jelas pemilik ruko pada Radeya yang sampai saat itu masih belum juga merespon perkataannya.

“Ini dia tidurr? Apa pingsan? Gak mungkin meninggal, kan??? Ujar pemilik ruko khawatir, karena melihat sang pemilik mobil yang tak kunjung merespon.

Posisi Radeya di dalam mobil memang cukup membuat orang lain berasumsi bahwa dirinya tengah tertidur di dalam, karena kepalanya yang menunduk dan menempel pada stir mobil, juga kedua tangannya yang berada di paha.

“Wahh ini pingsan kali ya? Kalo tidur gak mungkin sampe senyenyak ini padahal jalanan berisik banget. Gak mungkin juga meninggal, masih keliatan napas kokkk.”


Pemilik ruko tersebut mencoba mencari bantuan pada orang-orang sekitar, sampai mobil radeya dijadikan bahan kerumunan orang-orang di sana.

Tidak lama setelah itu, datang mobil berwarna putih berplat nomor H 2210 AHZ menepi karena penasaran pada kerumunan orang-orang di pinggir jalan, dan itu mobil Ahza. Mengingat jika dirinya kini adalah seorang dokter muda, ia selalu menyempatkan untuk memeriksa keadaan-keadaan yang dirasa cukup janggal, seperti salah satunya kerumunan di tepi jalan ini. Khawatir jika ternyata kerumunan tersebut tengah mengerumuni korban kecelakaan, orang pingsan, dan lain sebagainya.

“Permisi, bu, pak, ini ada apa ya? Kenapa berkerumun seperti ini?” tanya Ahza penasaran.

“Ini mbak, ada orang pingsan di dalam mobil. Sudah sejak tadi dia belum sadar juga, saya khawatir dia kenapa-kenapa. Takut kekurangan oksigen juga mbakkk,” ujar salah seorang bapak di sekitar sana.

“Yatuhannnn,”

“Plat nomornya si B, kayanya orang Jakarta, ya?” ucap seorang ibu di samping Ahza.

Lantas Ahza melihat plat nomor sang pemilik mobil, B 2210 DEY. Ahza terdiam sejenak, mengingat plat nomor yang sama persis dengan miliknya. “2210?? DEY??” batinnya.

Ahza membulatkan kedua matanya, “Hahhhh?? Gak mungkinnn??” gumam Ahza, berjalan ke arah kaca pintu pengemudi.

Ahza mencoba mengintip dari balik kaca mobil, memerhatikan setengah bagian wajah seorang laki-laki yang berada di dalam mobil. Sampai dimana ia yakin, laki-laki di dalam sana adalah seseorang yang sangat ia kenal, setengah dari wajahnya, Ahza benar-benar mengenalnya, ya, itu Radeya, sosok laki-laki yang beberapa tahun lalu sempat menjadi cinta pertamanya, sekaligus laki-laki pertama yang tidak membalas perasaannya.

wxyzndaa

61 days

“Apa kabar?” tanya Radeya sembari mengusap lembut nisan makam di hadapannya.

“Om, Mama masih tidur ya?” Tanya Alleta penasaran.

“Iya sayang, Kakak kam— ah maksud om, Mama kamu masih tidur. Tapi sebentar deh, om mau tanya dulu sama Aletta, boleh?” tanya Radey, menatap Alleta lembut.

“Bolehhh, tanya apaaaaa?” Aletta menjawab dengan antusias.

“Kalo ternyata Mama lebih milih buat tidur lebih lama di sini, Aletta izinin enggak?” tanya Radeya kembali.

“Bolehhh, kalo Mama seneng tidur di sini, Mama bolehh tidur di sinii hehehe.”

Radeya semakin menatap Aletta dalam, “Meskipun kamu belum paham yang sebenernya, tapi om tau, kamu juga kangen Aira, kan?” batin Radeya sembari memberikan senyuman manisnya pada Aletta.

“Om nangis?”

“Ahh enggak,” sangkal Radeya mencoba mengusap sedikit air matanya yang tanpa aba-aba mengalir begitu saja pada kedua pipinya.

“Yaudah, simpen bunganya di sini sayangg,” pinta Radeya.

Aletta menyimpan satu persatu bunga yang sebelumnya telah ia beli bersama Radeya. “Mama, buat Mama.” Ucap singkat Aletta, tersenyum manis.

“Anak pinterr,” puji Radey, mengusap rambut Aletta.

Setelah menyimpan bunga di atas makam kakak yang Alleta anggap sebagai mamanya itu, Alleta beranjak dan entah apa maksudnya, anak kecil itu melangkah mundur dan berdiri di belakang Radeya.

“Kenapa ke belakang?”

Aletta hanya membalas pertanyaan Radeya dengan senyuman.

Tanpa Radeya sadari, dari kejauhan ada sepasang mata yang memerhatikan Radeya dan Aletta. Juna, salah satu sahabat Radeya itu benar-benar datang menyusul.

“Aira, kamu baik-baik aja? Di sana seneng kan? Bahagia kan? Lebih bahagia mana pas waktu sama saya?” Radeya dengan berbagai pertanyaan randomnya.

“Udah dua bulan kamu pergi ninggalin saya, dan kamu tau? Sampai dua bulan berlalu, saya sama sekali belum bisa nerima kepergian kamu sepenuhnya. Tiap hari saya selalu mikir, gimana kehidupan kantor saya kalo gaada kamu? Siapa yang bisa gantiin posisi kamu di hati saya? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul di kepala saya. Bodoh banget ya? Dan sekarang, saya mau coba buat ikhlasin semuanya, relain semuanya. Saya lakuin ini bukan karena sengaja mau lupain kamu, Ra. Saya lakuin ini karena saya tau, kalo kamu gak akan pernah bisa kembali lagi ke kehidupan saya. Maka dari itu, saya bakal nyoba awal baru hidup saya, tanpa kamu. Tolong kasih tau saya kalo kamu gak kasih izin saya, dan tolong kasih tau saya kalo memang apa yang saya lakukan ini benar dan memang seharusnya udah saya lakukan sejak lama.”

Juna semakin mendekat dan semakin jelas mendengar apa yang sejak tadi dibicarakan Radeya pada makam Aira. “Selembut itu lo dey, bahkan sampe Aira udah ada di dalem sana pun, lo masih tetep berperan baik sebagai laki-lakinya Aira,” batin Juna.

“Saya akan memulai hidup baru saya tanpa kamu, tanpa bayang-bayang kamu, Aira. Sekali lagi, terima kasih, ya? Terima kasih karena sempat hadir dan kasih saya dunia yang sebelumnya belum pernah saya dapatkan dari perempuan manapun selain Bunda. Terima kasih karena telah mencintai saya dengan baik, tapi kamu harus tau, kalo saya jauh lebih mencintai kamu, Aira. Sampai bertemu di kehidupan selanjutnya, dengan kehidupan yang berbeda, dan dengan kisah yang akan jauh lebih membahagiakan, semoga.”

wxyzndaa

Radeya dan perempuan terakhirnya

“Apa kabar cantik?”

“Gimana di sana?”

“Ada yang ganggu kamu enggak?”

“Adek bayi juga? Kamu lagi apa? Pasti di sana banyak temennya ya?”

Radeya dengan berbagai pertanyaannya itu terus memandangi nisan putih yang bertuliskan nama perempuan yang ia cintai.

“Ini bunganya, ya? Cantik kan? Tapi lebih cantik Aira.”

“Saya kesepian, Aira. Kenapa kamu malah pilih tidur di sini? Kenapa kamu pilih pergi dan tinggalin saya?”

“Rasanya, saya sedang bermimpi. Karena, baru kemarin saya kenal kamu, dan tiba-tiba, sekarang, kamu malah tidur di sini.”

“Aira, perempuan satu-satunya Radeya, perempuan yang paling saya cintai sampai saat ini. Terima kasih ya, terima kasih atas kebersamaan singkatnya kala itu. Maaf karena saya belum bisa kasih banyak kebahagiaan ke kamu. Tapi saya janji, suatu saat, kalo tuhan kasih izin kita buat ketemu lagi, saya akan kasih banyakkkkk kebahagiaan buat kamu. Saya mencintai kamu, Aira. Tidur yang nyenyak, sayang. Adek bayi, titip Mama ya? Jangan nakal, kamu beruntung punya Mama sebaik Mama Aira. Jagain Mama ya?”

wxyzndaa

Semesta, jahat.

tw // accident

Tanpa ada yang menyadari, Radeya dengan perlahan membuka kedua kelopak matanya, menatap seisi ruangan tempat ia berada, menyadari ada beberapa benda asing yang menempel pada tubuhnya. “Gue dimana?” tanya Radeya.

Deva dan Radiv yang sejak tadi tengah berada di sofa ruang rawat, sontak berdiri dan menoleh ke arah sumber suara yang baru saja mempertanyakan keberadaannya.

“Hahhhh??? Kakakkk??? Kakak bangunn???” ucap Radiva menghampiri Radeya.

“Deyyy, akhirnya lo bangun juga,” sambung Radeva, merasa lega.

“Gue kenapa? Kenapa gue bisa ada di sini?” Radeya bertanya heran.

“Lo kecelakaannya Kak, lo koma selama empat bulan ini,” jelas Radeva terus terang.

Ya, empat bulan lalu, ketika Radeya hendak mengemudikan mobilnya menuju kediaman Aira, ia mengalami kecelakaan tragis yang menyebabkan dirinya tidak sadarkan diri selama empat bulan lamanya.

Radeya terdiam beberapa saat, mencoba mengingat kenapa kecelakaan itu bisa menimpanya. Tidak lama setelah itu, satu nama muncul dalam pikirannya, Radeya membulatkan mata, “Airaa? Airaa mana? Dia pasti jengukin gue kan? Mana Aira? Gue inget, terakhir kali sebelum gue kecelakaan, Aira putusin gue, tapi gue nggak terima. Setelah itu, gue pergi buat ketemu Aira. Aira pasti ke sini kannn? Aira pasti ke sini buat temuin gue dan minta maaf???” jelas Radeya bertanya tanya soal Aira.

Kedua kembaran Radeya malah saling menatap satu sama lain, mereka berdua tampak sedang mencoba berpikir bagaimana menjawab pertanyaan yang Radeya lontarkan pada keduanya.

“Kamu aja, Dev. Radiv nggak bisa,” Radiva meminta Radeva untuk menanggapi pertanyaan Radeya.

“Kak, kalo gue jawabnya setelah lo sembuh aja gimana?” tanya Deva.

“Gue butuh jawaban lo sekarang, Aira mana? Kenapa dia enggak ada di sini? Harusnya dia ada nemenin gue, Dev.”

“Euu Aira, Aira udah enggak ada,” ucap Radeva spontan.

“Enggak ada gimana? Aira pergi? Aira beneran ninggalin gue? Pergi kemana dia? Gue susul sekarang juga,” tanya Radeya kesal.

“Aira.... Euuuu Aira udah meninggal, Dey,” tambah Radeva gugup.

Radeya menatap Radeva tajam, kesal atas ucapan yang dilontarkan adik kembarnya tentang Aira. “Maksud lo apa anjing??? Maksud lo apa bilang Aira meninggal? Jawabb gueee!!!!” bentak Radeya, menarik kerah kemeja Radeva.

“Kakk, Aira udah meninggal. Aira bener-bener udah meninggal,” sambung Radiva sembari mencoba melepaskan genggaman tangan Radeya pada kerah baju Deva.

“Lo berdua kalo nggak suka sama Aira bilanggg, bilang sama gue. Nggak gini caranya, lo berdua nggak pantes bilang kalo Aira udah meninggal!!!” jelas Radeya kesal.

“Radiv enggak bohong kak, Radiv jujur, sejujur-jujurnya, Aira udah nggak ada, Aira udah pulang, dia udah meninggal karena kecelakaan. Kalian berdua kecelakaan di hari dan tempat yang sama, kalian berdua korban. Kecelakaan itu kecelakaan beruntun, kakak koma karena mobil kakak kehantam truk, dan di sana ada Aira, Aira juga salah satu korban dari beberapa korban pejalan kaki yang ada di sana. Aira meninggal di tempat kak, sama adek bayi juga, maaf....” tutur Radiva menjelaskan tentang kepergian Aira.

“Div, sumpahh, bercanda lo nggak lucu, nggak lucu sama sekali. Gue nggak pernah ngajarin lo buat jadiin kematian sebagai bahan candaan,” tutur Radeya tidak terima dengan pernyataan Radiva.

“Radiv nggak mungkin bercandain soal ini, Kak. Radiv serius, maafin Radiv,” ujar Radiv pada Radeya.

Genggaman tangan Radeya pada kerah baju Deva langsung terlepas begitu saja. Wajahnya pucat, tatapannya kosong, sekujur tubuhnya kaku. Entah ketidakjelasan apalagi yang diberikan semesta padanya, kali ini, semesta benar-benar jahat pada Radeya.

“Gue benci dunia ini,” gumam Radeya, dengan tatapan yang kosong.

“KALO TUHAN AMBIL AIRA, HARUSNYA TUHAN JUGA AMBIL GUE. CUKUP BANYAK PENDERITAAN YANG AIRA DAPETIN SELAMA HIDUPNYA!! KENAPA HARUS AIRA??? KENAPA BUKAN GUE AJA? AIRAAA? BAYI ITU? KENAPA DENGAN MUDAHNYA SEMESTA AMBIL MEREKA? KENAPAAA????!!!!” Teriak Radeya histeris, kecewa dengan ketidakadilan di dalam hidupnya.

Radiva merasakan sesak dalam dadanya, ia juga ikut merasakan perasaan berat dan sakitnya seorang Radeya, ketika seseorang yang sangat kakaknya cintai itu, pergi meninggalkannya begitu saja.

Radiva menghampiri Radeya, memeluk kembarannya erat. “Kak tenang ya, Radiv mohon kakak tenang. Aira udah tenang di sana, adek bayi juga udah bahagia di sana. Jangan nyalahin diri atas kepergian mereka, dan jangan sesekali kakak berpikiran untuk ikut sama mereka, enggak, sama sekali enggak boleh,” tutur Radiva mencoba menenangkan situasi.

“Div, kenapa harus Aira? Kenapa harus secepat ini? Kenapa tuhan ambil satu satunya kebahagiaan gue? Div jawabbbbb guee, kenapaaa??? Kenapa semesta nggak pernah kasih izin gue buat dapet bahagia? Kenapaa?”

Radeya benar-benar hancur, ia benar-benar tersiksa atas kabar kepergian kekasihnya. Entah bisa atau tidak ia melepaskan Aira sepenuhnya. Terlalu menyakitkan untuk Radeya, melupakan wanita yang sangat ia cintai begitu saja.

wxyzndaa

Bukan gue

cw // pregnant

Radeya duduk berdampingan dengan Radeva di kursi tunggu rumah sakit, Deva tampak khawatir melihat kakak kembarnya yang terlihat sangat gelisah karena mengkhawatirkan kekasihnya, Aira.

Radeya menoleh pada Deva di sampingnya, “Dev, Aira nggak bakal kenapa-kenapa, kan?” tanya Radeya khawatir.

“Gue gatau Dey. Tapi semoga gapapa, jujur aja gue tadi kaget banget tiba-tiba dia udah ada di lantai, mana mukanya pucet banget,” ucap Radeva, menanggapi pertanyaan kembarannya.

“Salah gue, Aira baru sembuh beberapa hari. Dan gue udah banyak ngasih kerjaan ke dia. Aira pasti kecapean gara-gara gue. Gue nyiksa Aira ya, Dev?” tanya Radeya menyalahkan dirinya.

“Nggak Dey, lo nggak salah, lo nggak nyiksa Aira. Emang udah kewajiban Aira ngikutin perintah lo, dan udah hak lo ngasih tugas ke Aira. Aira masuk kerja artinya dia udah sembuh, dia ngeyakinin diri kalo dia emang udah siap buat kerja lagi. Aira kecapean bukan salah lo, lo sama sekali nggak nyiksa Aira,” tutur Radeva mencoba menghilangkan rasa bersalah kakak kembarnya.


Dokter keluar dari ruang pemeriksaan, dengan raut wajah yang mengisyaratkan jika Aira memang baik-baik saja.

“Keluarga Aira? Tanya Dokter pada kedua kembar di hadapannya.

“Iiya dok, kami walinya Aira,” jawab Radeya.

“Kalian kembar? Suami Aira yang mana? Tanya Dokter spontan.

“Suami?” gumam Radeva.

Radeva menyikut pinggang Radeya, “Udah, lo bilang kalo lo pacarnya,” usul Radeva berbisik.

Radeya tidak menanggapi usulan Radeva, ia juga tidak menanggapi pertanyaan yang dikatakan Dokter, “Kenapa ya? Aira kenapa dok?” Radeya bertanya khawatir.

“Jadi ini suaminya nggak ada di sini?” Dokter bertanya memastikan.

“Kenapa harus ada suaminya?” tanya Radeva penasaran.

“Karena saya hendak membahas soal kehamilan pasien dengan suaminya,” ucap dokter menanggapi pertanyaan Radeva.

“Hahh???” ucap keduanya.

“Tapi perkiraan saya, suaminya kamu, karena kamu yang paling khawatir tadi,” jelas Dokter menunjuk Radeya.

Radeya hanya terdiam mematung, dengan wajah datarnya, ia mencoba mencerna kabar yang baru saja diberitahukan Dokter padanya.

“Jadi gini, Pak. Ohh ya, sebelumnya selamat atas kehamilan istri Bapak. Jadi, istri bapak tengah hamil dan sekarang, usia kandungannya sudah memasuki minggu ke dua belas. Istri bapak baik-baik saja, namun, tidak dengan kandungannya. Terlalu banyak aktivitas yang ia lakukan, sedangkan kandungannya lemah. Jadi saran saya, istri bapak harus banyak-banyak istirahat, jangan terlalu sering bekerja dan beraktivitas untuk sementara waktu,” tutur dokter menjelaskan secara detail tentang kondisi Aira.

“Jika begitu, saya permisi dulu.”


“Dey, Aira hamil? Beneran hamil?” Tanya Radeva memastikan.

“Lo denger sendiri kan, Dev. Dia hamil... Tapi, Dev, bukan gue...,” ungkap Radeya pada kembarannya.

“Gue udah bener-bener mau mukul lo pas denger Aira hamil, tapi setelah dokter bahas soal usia kandungannya, gue yakin, kalo bukan lo yang buat dia hamil, bukan lo orangnya,” jelas Radeva sembari memperhatikan raut wajah Radeya.

“Deva, gue lemes....” Radeya meremas kedua lututnya, berjalan mundur menuju kursi tunggu tempat ia duduk sebelumnya.

“Jujur, gue masih nggak percaya sama omongan dokter barusan. Aira? Perempuan kaya dia, perempuan yang udah gue cap baik karena berhasil dapetin hati lo, ternyat—”

“Gue mohon, jangan dilanjut, Dev,” ujar Radeya memotong pembicaraan Deva.

“Tiga bulan? Artinya, itungan hamil tuh kan kalo kata dokter kandungannya Alana tuh euu, ahh gue lupaa. Intinya kalo menurut gue, Aira udah hamil sebelum dia masuk jadi sekretaris lo, atau pas awal dia jadi sekretaris lo, dan kalaupun misalnya, Aira hamil anak lo, minimal usia kand— ah gajadi, nggak penting,” jelas Radeva mencoba memperkirakan kehamilan Aira.

Radeya sama sekali tidak menanggapi perkiraan kehamilan yang Radeva jelaskan, sejak tadi dirinya hanya melamun sembari terus memikirkan kenapa hal seperti ini bisa terjadi pada seorang Aira, kekasihnya.

“Jadi ini, Ra? Ini alesan kenapa lo tiba-tiba berubah? Ini alesan lo ngehindar dari gue akhir-akhir ini? Siapa, Ra? SIAPA YANG BERANI NGERUSAK LO? SIAPA?” jelas Radeya kesal.

“Dey, cukup. Ini rumah sakit, nggak seharusnya lo teriak-teriak kaya gitu, tenang ok, nanti setelah Aira bangun, kita tanya dia baik-baik,” usul Radeva sembari menepuk pundak Radeya, mencoba menenangkan kembarannya.

Radeya menoleh, “Dev, kenapa? Kenapa semesta selalu nggak adil sama kita? Rasanya, semesta nggak pernah ada bosen-bosennya ngasih masalah ke ke keluarga kita. Dan sekarang, giliran gue? Lagi? Kenapa, Dev? Sesusah itu ya buat dapetin bahagia? Kenapa disaat gue bener-bener udah nemu seseorang yang berarti di hidup gue, gue malah dapet masalah kaya gini? Gue nggak mungkin ninggalin Aira, Dev. Gue butuh dia, gue sayang Aira. Sekarang, apa yang harus gue lakuin?”

“Jujur, gue gatau harus nanggepin semua hal ini kaya gimana. Gue nyoba memposisikan diri gue jadi lo, dan gue pun, berat, Dey. Rasanya berat kalo harus ngelepasin seseorang yang udah kita anggap segalanya buat kita, apalagi secara tiba-tiba kaya gini.”

“Gue boleh minta tolong? Anter Aira balik, gue mau pergi. Gue mohon, sekali ini aja, Dev,” pinta Radeya, sembari beranjak dari kursi tunggu rumah sakit.

“Boleh, gue bakal anterin Aira. Lo tenangin diri lo dulu ya, tapi janji? Lo pergi buat nenangin diri lo, bukan buat nyakitin diri lo, denger perkataan gue?” Radeva menatap mata Radeya tajam.

“Makasih, dan gue, nggak bisa janji.” Singkatnya, pergi meninggalkan Radeva.

wxyzndaa