yourvousmeJ

Di bawah sinar matahari yang tidak begitu terik serta hembusan angin yang menerpa wajah, Rangga masih setia menatap sendu batu nisan yang bertulisan nama sang Ayah disana.

Sedikit fakta tentang lelaki ini, Rangga adalah seorang anak yatim sejak ia ber-umur 6 Tahun, di usianya yang terbilang masih belia dan lugu kala itu, ia harus menerima kenyataan bahwa sang Ayah terlibat insiden kecelakaan yang membuat ia harus rela ditinggalkan untuk selamanya.

Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun pun berganti, duka kini perlahan tinggal kenangan bagi Rangga dan sang ibunda— Rani.

Menjalani hari seperti biasanya sampai akhirnya Rani merasakan jatuh hati kembali dengan teman lamanya yang sekarang menjadi Ayah angkat Rangga.

Bagaimana dengan Rangga? ia tidak keberatan sama sekali, walaupun ada rasa sedikit tidak rela di dalam relung dadanya, namun selagi sang Ibunda bahagia, maka bukan masalah besar baginya.

“Ayah gimana kabarnya disana?” Rangga bergumam seraya mengusap pelan batu nisan dihadapannya.

“Aga mau ujian, Yah,” kalimatnya tertahan, ia mengubah posisinya. “Doain Aga ya, Yah.”

Terbesit di fikiran Lelaki itu tentang perempuan yang akhir-akhir ini mengisi kesehariannya, andai saja ia bisa menceritakan semuanya kepada sang Ayah.

“Rangga?”

Lamunan lelaki itu terbuyarkan ketika sebuah tangan mendarat tepat di sebelah bahunya, perlahan ia menoleh dan mendapati Perempuan yang baru saja terbesit di dalam kepalanya.

“Olin? kok disini?”

Olin menggaruk tengkuk belakangnya yang tidak gatal. “Gue abis dari makam Alana.” ujar Olin.

Perempuan itu melihat raut wajah Rangga yang terlihat tidak mengerti dengan kalimatnya barusan.

“Alana adik nya kak Tama.” jelasnya.

“Ohh,” “Terus, kakak lo mana?”

“Duluan ke mobil.” jawab Olin.

Hening, tak ada lagi pembicaraan diantara keduanya.

Olin pun mengalihkan pandangannya pada batu nisan di hadapannya, lalu bertanya.

“Lo abis ziarah ke siapa, Ga?” tanya Olin.

“Ke Ayah.” jawab Lelaki itu singkat namun dapat membuat Olin terkesiap setelahnya.

“Seriusan?”

“Hmm, serius.” jawab Rangga lagi.

Terkejut, adalah kata yang mendekskripsikan seorang Olin saat ini, bagaimana tidak? selama ini Rangga selalu menceritakan Ayahnya yang ia kira masih ada di dunia ini.

Rangga tak bodoh, ia dapat melihat perubahan raut wajah Olin di sebelahnya, Rangga menahan mati-matian tawa ketika melihatnya, Lelaki ini memang pandai dalam hal menjahili perempuan pujaan hatinya itu.

“Jadi, yang waktu itu lu ceritain??”

Kekehan Rangga keluarkan setelahnya.

“Kok lo ketawa sih??”

“Yang di depan lo ini Ayah kandung gue Dutt.” “Yang gue ceritain ke lo itu baru Ayah angkat gue.”

Lega? tentu saja tidak. Lagi-lagi jantung Gadis ini mendapatkan kejutan yang bertambah untuk kesekian kalinya, mengenal Lelaki ini memang penuh kejutan rupanya.

“Biasa aja dong mukanya, tegang amat.” ujar Rangga guna mempercair suasana.

“Diem.” ketus Olin yang di balas tawa renyah Rangga setelahnya.

“Mau nyapa gak?”

Kedua manik mata Olin pun kembali menaruh atensi kepada batu nisan di hadapannya, astaga, ia harus menyapa seperti apa.

“Hi? om... he he...”

Tawa Rangga pecah seketika, gemas sendiri dibuatnya.

“Ih kok lo ketawa sih?”

“Gapapa, lucu aja.” jelas Rangga yang membuat Olin mendelik ke arahnya.

“Kok gak bareng sama keluarga lo?”

“Nggak, ini kemauan gue sendiri, biasanya sekeluarga kalo mau menjelang puasa atau habis lebaran.” jelas Rangga.

“Oh.. gitu.” “Tapi, Ga.” panggil Olin yang membuat Rangga menoleh kearahnya.

“Ayah angkat lo, baik?” tanya Olin ragu.

Ia merutuki dirinya sendiri karna telah menanyakan hal yang menurutnya tak patut untuk ia tanyakan, Tuhannn.

“Gajadi, gausah di ja—”

“Baik kok.” “Dia sayang sama ibu gue, Gea, sama gue,” “Menurut gue dia ayah yang baik walaupun kadang gue masih canggung.”

“Apalagi kalau dia lagi mainin gitar buat ibu gue.” Rangga menahan kalimatnya dan menoleh kepada Olin disebelahnya.

“He reminded me of you.”


Di tengah dingin nya angin malam dan di temani beberapa minuman hangat, Rangga dan Olin masih setia bercanda tawa sedari tadi, tak menghiraukan ketika banyak pasang mata menatap keduanya, termasuk teman-teman nya yang berada tak jauh dari keduanya.

“Liat tuh temen lu, El. tadinya aja ogah-ogahan ikut, eh malah nempel banget buset.” bisik Naufal kepada Ella.

“Temen lo juga, ya!”

“Udah biarinin aja, gausah di ganggu.” ujar Juna sedikit menjauhkan diri dari teman-temannya.

Kembali lagi dengan dua insan yang masih menjadi pusat perhatian.

Tak ada pembicaraan seperti sebelumnya, keduanya sama-sama masih sibuk dengan pemikirannya masing-masing.

“Tumben lo mau ikut, Lin?” tanya Rangga membuka pembicaraan.

“Gapapa, mau aja.”

“Gara-gara ada gue nya ya?” ujar Rangga dengan penuh percaya diri yang membuat Olin mendelik kearahnya.

Lelaki itu pun tertawa renyah setelah mendapatkan tatapan sinis dari perempuan di sebelahnya itu, baginya, wajah yang Olin tunjukkan itu sangat amat terlihat lucu.

“Lulus nanti lo mau lanjutin kemana?” Rangga kembali menetralkan dirinya seperti semula.

“Mungkin..IKJ?”

Lelaki itu menautkan kedua alisnya, “Kenapa mau kesana?” tanya Rangga penasaran.

Perempuan itu berfikir sejenak sebelum menjawab, “Mau ngembangin skill gue di bidang musik.” jelas Olin dengan senyum nya yang terukir jelas di wajahnya.

“Kalo lo? Mau kemana?” tanya Olin yang membuat nafas Rangga tercekat seketika.

Rangga menatap lawan bicaranya tanpa berbicara sepatah kata pun, lidah nya terasa kelu seketika.

“WOI GA, JOIN GAK?!” Rangga bernafas lega ketika Naufal memanggilnya untuk bergabung.

Seakan lupa dengan topik pembicaraan, Olin pun ikut bergabung bersama teman-teman nya yang lain, ia sangat amat mudah terpengaruh.

“Jam berapa sekarang?” Jeno melihat layar ponsel yang menunjukkan pukul 23:55 disana.

“Lo udah bilang belum?” Bisik Ella dengan suara kecil.

“Nanti dulu.”

Sampai akhirnya suasana menjadi hening kembali, masih dengan posisi yang sama, keduanya duduk bersebelahan seraya menyesap pelan teh hangat di tangan masing-masing.

“Gue harus bilang dari mana ya..” batin Olin, dadanya terasa sesak karna nafasnya yang tertahan saking gugupnya.

“Lin.”

“Ga.”

Keduanya saling tatap ketika tak sengaja memanggil secara bersamaan.

Rangga terkekeh pelan, “lo dulu aja.”

“Eh? Enggak, lo dulu, kan lo duluan yang manggil.” ujar Olin.

Rangga mengangguk pelan dan mengambil nafasnya dalam, ia pun sama gugupnya saat ini.

“Gue bakal ambil beasiswa di luar, Lin.”

“Gue s— ha?”

Bagai tersambar petir dengan voltase yang amat sangat tinggi, tubuh Olin mematung seketika.

Beasiswa? Luar negeri? Perempuan itu tidak salah dengar bukan?

“Beasiswa?” Olin mengulang kalimat tersebut dan di jawab anggukan oleh Rangga.

“Iya, gue juga belum tau pasti keterima atau enggak, tapi walaupun enggak, tetap aja gue bakal ngambil perguruan tinggi di luar.” jelas Rangga yang membuat Olin meremat jahitan bajunya.

“Beasiswa dimana?”

“Monash University, Aussie.”

Olin meneguk saliva nya kasar, ia memilih diam mencerna semuanya, perasaannya saat ini tidak bisa di deskripsikan melalu kata-kata.

“Ohh, ya bagus kalo gitu.” lagi-lagi kalimat kebohongan yang keluar dari mulut perempuan itu.

Rangga naikkan kedua sudut bibirnya, “iya, doain aja.”

“Hmm, pasti.”

Kembali atmosfir diantara keduanya menjadi canggung, Rangga tak bodoh, ia merasakan perubahan raut wajah Olin yang sulit diartikan.

“Jangan sedih gitu dong, belum sekarang ditinggalnya.”

Pukulan pelan Rangga dapatkan di sebelah bahu kirinya, “pede!” ujar Olin yang disuguhi kekehan kecil dari Rangga.

“Oh iya, tadi lo mau ngomong apa?”

Olin menggeleng, apalagi yang ia ingin katakan? Toh semuanya akan sia-sia bukan? Pikirnya begitu.

“Gajadi, lupa.”

Rangga tak ambil pusing dan kembali bergabung dengan teman-teman nya, menyisakan Olin merenung seorang diri.

“EH BENTAR LAGI!” pekik Ella tepat di sebelah Olin.

Sampai akhirnya waktu menunjukkan pukul 00:00 serta banyak kembang api yang menghiasi langit dini hari.

Sorak sorai terdengar begitu ramai disana, mungkin perasaan senang memenuhi banyak hati manusia di sekitar Olin, tetapi perasaan itu enggan mendekati dirinya.

“Lin, make a wishh!” Seru Ella menyadarkan Olin dari lamunannya.

Tepat saat perempuan itu menoleh, kedua manik matanya menangkap Rangga di sebelahnya yang juga sedang membuat harapan, entah apa harapan itu Olin pun tak tau.

“Harapan lo apa, Lin?”

Harapan? Untuk sekedar mengangkat tangan pun perempuan itu enggan.

Mungkin harapnya hanya satu, ia berharap bahwa ia tidak akan pernah mau mengetahui fakta yang baru saja lelaki di hadapannya katakan untuknya, hanya itu.

“Gue harap gue gak pernah dengar ucapan lo barusan, Ga.”


— Institut Kesenian Jakarta (IKJ)

Diresmikan pada tahun 1976 oleh Presiden Soeharto, IKJ merupakan salah satu kampus almamater para seniman Indonesia, termasuk para pemusik.

Dengan raut wajah yang menahan malu serta pipi nya yang kembali bersemu, Olin berusaha setenang mungkin menghadapi temannya yang tiada henti meledeki dirinya, dia benci situasi ini.

“Diem gak lu!”

Ella masih setia tertawa terbahak-bahak, bahkan sesekali ia memukul dadanya yang sesak karna kehabisan pasokan oksigen.

“MUKA LO, KAYA TOMAT, HAHAHAHAHA,”

“LU BISA DIEM GAK?!”

Begitulah seterusnya sampai perlahan tawa Ella mereda dengan sendirinya.

“Linn, lin. Lo sadar gak sih lo tuh suka sama dia?”

“Ya sadar.” “Tapi,”

“Tapi lo gengsi?” potong Ella lalu melirik kearah teman nya yang perlahan mengangguk ragu.

“Gengsiii mulu di gedein, badan lo noh di gedein.” ujar Ella kemudian disuguhi pukulan kecil di kepalanya yang membuat ia meringis.

“Apa liat-liat?” ketus Olin.

“Gue bingung deh sama lo berdua,” kalimat Ella tertahan lalu ia membenarkan posisinya. “Yang satu ga pekaan, yang satu gengsi nya setengah mati, kapan jadinya?!” “Padahal tinggal bilang 'gue demen sama lo' udah, itu doang.”

“Ya lo gampang ngomong gitu.” ujar Olin membela dirinya.

“Gini deh, udah berapa lama lo deket sama dia?”

Olin mengeluarkan jari-jarinya seolah berhitung, “dua bulanan?”

“Kemajuan?”

“Gaada.” jawab Olin tanpa basa-basi yang membuat Ella menghela nafasnya dalam.

“Gini ya, Orline Sea Agsania.” “Kalo lo masih ngebela diri lo dengan embel-embel gak yakin si Rangga gaada rasa, coba lo buka mata lo, mata batin lo sekalian, lo liat perlakuan dia tadi sama lo, mati-matian buat ngejelasin siapa Maudy kan? Padahal mah gaperlu juga, orang lo bukan siapa-siapanya.”

“Itu ngebuktiin kan, kalo dia ada rasa sama lo, iya gak?” tanya Ella yang di jawab anggukan ragu oleh Olin.

“Nah, itu!” “Dan kalo lo selalu mentingin ego lo itu, mau sampe lebaran monyet pun Rangga gabakal tau perasaan lo yang sebenernya gimana.” final Ella.

“Kenapa deh lo semangat banget, El?”

Ella melirik perempuan di sebelahnya lalu menarik nafasnya dalam, “Karna gue gak mau lo ngerasain yang namanya penyesalan, Lin.” ujar Ella yang membuat Olin bungkam seketika.

“Pokoknya itu aja, setidaknya lo bilang aja apa yang lo rasain, masalah di bales atau engga,” “Itu lain urusannya.” akhir dari Ella yang disuguhi tawanya yang renyah.

Ia pun membereskan barang bawaannya lalu beranjak berdiri, “Gue mau pulang, udah malem, lo tidur gih dah, nanti perut lo tambah sakit gue lagi di omelin Rangga.”

“Gue ante—”

“GAK GAK GAK, gue bukan bayi, rumah lo gak selebar tanah abang, gue gak bakal nyasar.” larang Ella yang membuat Olin mendelik kearahnya.

“Hehe, byee bantet!!”

“Bantet kok ngomong bantet.”

Olin masih setia melihat punggung temannya yang perlahan menghilang dari pandangannya.

Lalu kembali ia memutar ingatannya tentang perkataan yang beberapa menit lalu Ella lontarkan untuknya. Yang membuat kepalanya terasa pening untuk kesekian kali.

“Penyesalan, ya?”


Ketukan pintu terdengar begitu nyaring memasuki indra pendengaran perempuan yang sedang terbaring lemah di atas ranjang kesayangan nya, ia melirik malas ke arah pintu lalu berdecak kasar.

Tok! Tok! Tok!

“SABARRRR.” “Gak tau orang lagi period cramps apa gimana sih?!” misuhnya seraya berjalan dengan tertatih-tatih menuju pintu.

“Apasih ka—”

“Ba!”

Kalimat Olin terpotong karna sosok yang sedari pagi ia sumpah serapahi, kini muncul tepat di hadapan nya.

“Ngapain?”

“Kok gak kaget?”

“Ngapain gue tanya?” tanya Olin ketus yang membuat senyuman di wajah Rangga luntur secara perlahan.

“Ini gue gak di bolehin duduk dulu?” “Pegel, hehe.” ujar Rangga di akhiri dengan cengiran khas nya.

Olin memutar bola matanya malas dan langsung kembali menuju tempat semula.

“Sini, katanya mau duduk.”

“Disitu?” tanya Rangga seraya mengarahkan jari telunjuk nya ke arah ranjang yang di tempati Olin.

“NGGAK LAH, DISANA.” Olin mengarahkan jari telunjuk nya ke arah bangku yang terdapat di sudut kamarnya.

Rangga meringis ketika mendengar Olin yang sedikit menaikan nada bicara nya, wanita yang sedang dilanda datang bulan memang sangat mengerikan.

“Ngapain kesini?” tanya Olin mengintimidasi membuat nafas Rangga tercekat seketika.

“Kan lagi sama itu tuh, siapa namanya? Maudy Maudy itu.”

Olin merutuki dirinya sendiri setelah melontarkan kalimatnya barusan, gila, dia sudah benar-benar gila.

“Ini serius lo biasa aja?” tanya Rangga menahan tawanya.

“Ya iya, emang nya gue harus gimana?”

“Oh gitu, beneran biasa aja nih?”

“Iya.” jawab Olin melihat kelain arah.

Rangga menahan sudut bibirnya secara mati-matian untuk tidak terangkat, benar kata Maudy, perempuan jika sedang cemburu pasti tingkat kejengkelan dan kegemasan nya bertingkat.

Yaa, walaupun ia masih belum terlalu yakin kalau perempuan di hadapan nya ini benar-benar cemburu.

“Maudy tetangga gue kok, yang rumah nya depan rumah gue itu,” “Udah punya cowo juga.”

“Iya?” tanya Olin spontan melihat ke arah Rangga.

“Hmm, iya.”

“Oh, yaudah, ga nanya juga.” lisan nya berkata demikian, namun ia juga menahan sudut bibirnya untuk membentuk kurva di wajahnya.

“Terus ngapain kesini?”

“Oh itu,” “Tadi gue di chat kak Tama, katanya lo lagi period?”

“Iya.”

“Pantesan nyebelin.”

“Siapa?”

“Gue.” ujar Rangga mengalah.

“Perut nya sakit gak?” tanya Rangga yang di jawab anggukan ragu oleh Olin.

“Biasanya ibu gue kalo lagi period minum Kiranti, tapi gue gatau lo suka yang mana, jadi gue beliin semua.” ujar Rangga seraya membawa kantong kresek berisi beberapa botol Kiranti di dalamnya.

Ia mengeluarkan satu persatu botol Kiranti dan menaruh nya ke atas meja. “Ini gue gatau warna biru buat apa, katanya buat pegel linu, lo pegel gak?” Tanyanya dengan sorot mata yang masih merapihkan beberapa botol.

Olin masih setia menatap lelaki di hadapannya dengan perasaannya yang menghangat secara perlahan.

“Ini yang kuning biasa di minum ibu gue, katanya buat ngilangin nyeri,” “Terus ini yang oranye, ini buat..” ia menelisik setiap tulisan yang tertera di luar botol, “oh, sama aja ini kaya yang kuning, beda warna sama rasa aja ternyata.” lalu ia menaruhnya tepat di barisan belakang dari botol yang sebelumnya.

“Banyak juga gue beli,” “Gapapa deh, biar lo overdosis nih jamu.” Katanya lalu terkekeh.

“Yaudah itu aja, gue mau balik.” Ia beranjak berdiri dari duduknya dengan hoodie berwarna navy di tangannya.

“Aga.” panggil Olin yang membuat Rangga menghentikan langkahnya dan berbalik badan.

“Ini, buat lo.” Olin mengulurkan coklat simpanan miliknya.

“Buat gue?”

“Menurut lo aja buat siapa?”

Lagi-lagi sudut bibir milik Rangga terangkat dengan sendirinya.

“Makasih ya, dut.” ujar lelaki itu.

“Iya udah, sana pulang.”

Segera Rangga melangkahkan kakinya pergi dari sana, sampai akhirnya ia tak terlihat dari pandangan, barulah Olin bisa bernafas dengan leluasa.

“Hah, gila, gue tadi ngomong apasih?!”

Ia pun kembali mengingat-ingat kejadian yang baru saja ia dapatkan, dan ya, kembali ia menutupi semburat wajah merahnya dari balik bantal kesayangan nya.

Perempuan yang sedang kasmaran memang sangat amat berbahaya.

Orline Sea Agsania contohnya.


Tw // Mature Content, be wise!

Di tengah keramaian pengunjung Aquarium berdesakkan dengan ratusan orang-orang yang memenuhi, kedua insan itu masih sibuk mencari celah untuk melewati sekumpulan orang yang menghalangi jalan keduanya.

Olin terpaksa berjalan berdesakkan melewati lautan manusia yang menghalanginya, sampai akhirnya ia merasakan ada sebuah tangan yang menggenggam tangan nya erat.

“Jangan ilang.” sepatah kata darinya yang mampu membuat Olin berdebar tak karuan untuk kesekian kalinya.

Rangga merubah posisinya menjadi berada tepat di hadapannya, membuka jalan dan tak lupa dengan tangan nya yang masih setia berkaitan dengan tangan Gadis di belakangnya, Sial, Ia memang paling bisa membuat irama jantung Perempuan itu berdegup tak karuan.

Sampai akhirnya keduanya berhasil melewati keramaian dan beralih ke tempat yang jauh lebih sunyi dan sepi dari sebelumnya.

“Hahh, gila, rame banget.” “Lo gapapa?” tanya nya seraya melihat Olin dengan raut wajahnya yang khawatir.

Bukannya menjawab, Olin malah fokus dengan rambutnya yang berantakan akibat berdesakkan dengan banyak orang barusan, astaga, ia terlihat amat sangat berantakan dan lucu baginya.

“Pftt.”

Ia menatap Olin di hadapannya dengan kedua alisnya yang menyatu, “Kenapa?” tanya nya lagi.

“Rambut lo,” Gadis itu memberikan ponselnya dengan kamera depan yang menyala, “Berantakan banget.”

Ia pun terkekeh kecil setelahnya dan merapihkan rambutnya seperti sedia kala.

“Gimana, udah ganteng belum?”

Olim mendelik kearahnya dan beralih melihat Aquarium yang berada tepat di hadapan dirinya.

Cantik, adalah kata yang mendefinisikan pemandangan yang ia lihat saat ini.

“Lo tau gak ini namanya apa?” Rangga bersuara tepat di sebelah Olin. “Ini namanya Whi—”

“White spotted jellyfish.” Olin memotong kalimatnya barusan dan menoleh ke arahnya. “Ada tulisannya. sambungnya seraya menunjuk papan yang berisi penjelasan nama hewan tersebut lalu di tanggapi kekehan kecil dari Rangga.

Netra Gadis itu kembali menatap Jellyfish berjenis White Spotted tepat di hadapannya, mereka benar-benar terlihat begitu indah dan menawan rupanya.

“Cantik.” ujar Olin tanpa sadar seraya meraba Aquarium dengan jari-jemari nya.

“Apanya?”

“Jellyfish nya.”

“Lo juga.”

Olin memberhentikan aktivitasnya dan berfikir sejenak, barusan.. ia tidak salah dengar bukan?

“Lin.”

Perlahan tapi pasti, Gadis itu pun menoleh ke arahnya yang juga sedang menatap dirinya dalam disana, Legam netra nya yang indah begitu memabukkan kala Olin menatapnya lebih dalam.

Tak ada pembicaraan apapun, hanya Olin dan Rangga yang sama-sama asik menatap netra satu sama lain dengan tatapan damai.

Rangga melangkahkan kakinya mendekat kearah Olin dengan sorot matanya yang belum juga beralih dari sebelumnya.

Semakin ia mendekat, semakin Olin merasakan aliran darahnya yang berdesir hebat di sekujur tubuhnya yang membuat ia terpaku.

Sampai akhirnya Rangga tepat berada di depan wajah Olin dengan jarak yang amat sangat begitu tipis, bahkan ia bisa merasakan hangat nafasnya yang menerpa permukaan wajahnya.

“Pretty.” kalimatnya yang baru saja keluar dari mulutnya itu lagi-lagi berhasil membuat aliran darah Olin berpusat tepat di kedua pipinya, jangan lupakan dengan degupan jantung tak karuan ini.

Perlahan sebelah tangan milik Rangga menyingkirkan anak rambut Olin dengan jari-jemarinya. “How dare you look cute as hell but couldn't be mine” ujarnya dengan deep voice miliknya,He stared at her lips deeply, then slowly he puts his hand on it

Olin bergeming saking terkejut dan gugup karna ucapan nya barusan.

“Can i?”

Perempuan itu berdiam sejenak dan beralih menatap ia yang berada tepat di atas nya.

Sampai akhirnya ia menganggukkan kepalanya ragu sebagai jawaban.

Then he smiled before he finally dropped his lips just above her lips, Kissed her gently without any pressure in it.

For god sake, I like the way he kissed me like that bisik Olin dalam hati.

Dapat Olin rasakan euforia yang sudah memenuhi relung dadanya serta kupu-kupu yang sudah menginvasi perut nya.

Tanpa sadar, kedua tangan Gadis itu pun sudah beralih tepat di atas kerah milik Rangga, sedangkan sebelah tangan kanan milik Rangga sudah berada tepat di pinggang Olin berniat mengunci segala pergerakan, dan sebelah tangan kirinya masih setia memegang tengkuk milik Olin guna memperdalam tautan.

Beberapa menit pun berlalu, sampai akhirnya ia melepasnya dengan perlahan dan mengatur nafasnya yang tak beraturan.

“That was my first kiss...”

“Me too.” ujar Rangga lalu terkekeh sehingga menampilkan matanya yang berbentuk bulan sabit di wajahnya.

Liar. Mana mungkin ini pertama kali baginya, ia terlihat begitu mahir barusan, I swear, He's a good kisser. gumam Olin dalam hatinya.

Kembali ia menundukkan wajahnya, berusaha menyembunyikan semburat merah yang sudah terlihat jelas di kedua pipi berisi miliknya.

“I think i'm falling for you, Lin.”


Di ruangan bernuansa coklat dengan harum tumpukan buku baru yang menusuk indra penciuman, Perempuan itu mengedarkan pandangan nya seraya melihat-lihat buku yang terpajang di setiap rak yang ia singgahi.

“Diary gue habis,” gumam nya seraya memilih beberapa buku diary yang tersedia.

Tujuannya selain membeli buku untuk UN tentu saja untuk membeli buku diary nya yang baru, mengingat buku diary nya sudah tak ada lagi kertas kosong yang tersisa karna ia seringkali menulis setiap momen hari-harinya, termasuk momen bersama pujaan hatinya.

“Yahh, sisa yang pink— WOAH!” Olin terpanjat ketika sebuah tangan bertengger tepat di sebelah pundak kirinya.

“Katanya mau beli buku pelajaran, kok malah ke rak buku diary.”

“Salam atau say hi dulu bisa gak sih? Ngangetin tau ga.”

“Hehe, sorry.” ujar Rangga seraya menampilkan senyum manisnya.

“Lo suka nulis di diary?”

“Iya.”

“Kuno banget.” cibirnya seraya menunjukan wajah meledek.

Olin mendelik ke arah Rangga setelah mendengar cibiran lelaki itu barusan, “ck, kuno kuno gini nama lo ada di diary gue tau!” batinnya.

Tak mau melanjutkan perdebatan, Olin beralih menuju ke arah kasir untuk membayar seluruh belanjaan nya, di ikuti oleh Rangga yang berada tepat di belakangnya.

“Lo gak mau liat-liat apa gitu?”

“Udah kok.”

Perempuan itu mengerutkan alisnya heran, “udah apaan, lo ngikutin gue terus daritadi.”

“Loh?” “Kan gue kesini mau liat lo.”

Bisa Olin rasakan seluruh darahnya mengalir berpusat ke pipinya, bahkan dirinya di buat linglung seketika setelah mendengar penuturan lelaki di hadapan nya barusan.

“Total nya jadi 150.000 kak”

“E-eh, iya.” ujarnya terbata-bata.

Rangga pun tak kuasa menahan senyuman di bibirnya, bahkan ia memilih untuk menjauh dan menunggu di pintu masuk Gramedia.

“Udah?”

“Hmm,” “Oh iya, lo mau ngomong apa?”

Rangga tersadar dan beralih menatap lawan bicaranya, seketika seluruh isi kepala ya hilang entah kemana.

“Mau makan dulu?”

“Makan ap—”

Kalimat Olin lagi-lagi terputus karna Rangga menarik lengan nya tanpa aba-aba yang membuat perempuan itu mau tak mau mengikuti Rangga yang menariknya.

. . .

“Ga,”

“Hmm?”

“Kemarin lo diem aja, kenapa?”

Rangga menghentikan suapan nya dan menyatukan kedua alisnya “Diem aja gimana?”

“Ya diem aja, kaya orang musuhan,” “Gue, buat salah?” tanya Olin hati-hati.

Rangga menaikkan kepalanya yang membuat manik mata keduanya bertemu satu sama lain.

“Emang gue diem?” tanyanya dan di jawab anggukan mantap oleh Olin.

“Gapapa, cape aja.”

Perempuan itu mengangguk paham, “ooh... Kirain lo kenapa,” “Emang sih, kita lagi di sibukin tugas-tugas, belom lagi TO, Uprak, UN, pasti cape banget hhhhh....” ujar Olin dengan helaan nafas berat di akhir kalimatnya.

“Kita?”

“M-maksud gue, lo, gue, angkatan akhir!” jelas Olin berapi-api.

Rangga hanya dapat tersenyum sampai matanya berbentuk bulan sabit disana, ingin rasanya ia meraih dan menekan kedua pipi berisi perempuan di hadapan nya, namun ia cukup tahu diri.

“Don't push yourself, Ga.” “Segala yang berlebihan itu gak baik,” “Jangan sampai sakit.” Olin berucap tanpa melihat lawan bicaranya.

“MULUT SIALAN”

“Makasih.”

“Makasih?”

“Makasih udah peduli sama gue, Lin.” ujar Rangga sambil menatap dalam Olin di hadapannya.

“Gue cuman ngasih tau.” tukas Olin seraya melahap suapan terakhirnya.

Kini atmosfir diantara keduanya menjadi canggung tak seperti biasanya, Olin benci situasi ini.

“By the way, lo mau ngomong apa?” tanya Olin yang membuat Rangga beralih menatapnya.

“should i?”

Rangga menghela nafasnya dalam sebelum berbicara, Sedangkan perempuan itu menatap lelaki di hadapannya dengan tatapan bertanya-tanya.

“Lin.”

“Ya??”

“Gu—”

Kalimat Rangga terpotong karna mendengar dering ponsel Olin yang berbunyi di atas meja.

“Sebentar, ga.” ujar Olin yang di tanggapi oleh anggukan oleh Rangga.

“Halo kak.”

”....”

“Udah di lobby?” ujar Olin seraya melirik Rangga yang juga sedang menatapnya.

”....”

“Cepet banget??”

”...”

“Ohh, yaudah tunggu”

”....”

“Iyaaa sabarr”

”...”

“Okee, tungguin.”

Olin memutuskan panggilan setelahnya lalu membersihkan barang-barangnya.

“Siapa Lin?”

“Oh, itu kak tama udah jemput,” “Sorry tadi nyela lo lagi ngomong.” “Mau ngomong apa?”

“Oh, itu,” Rangga menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Nanti aja deh, kasian abang lo udah nunggu.”

“Ngomong aja, gak lama kan?”

“Udah nanti aja, kan masih bisa ketemu nanti.”

“Serius?” tanya Olin.

“Iyaa”

Perempuan itu menghela nafasnya kecewa, “yaudah deh, maaf ya, Ga. Gue gak tau kalo ka tama jemput.”

“Iya, santai aja” tukas Rangga di iringi senyum kecut yang terukir di wajahnya.

“Duluan ya, Ga.” pamit Olin lalu beranjak pergi meninggalkan Rangga seorang diri.

Rangga menatap sendu punggung Olin yang kian lama menghilang dari pandangan nya, ia menghela nafasnya berat dan menarik rambutnya frustasi.

Segera ia membereskan barang-barangnya lalu meninggalkan tempat makan dengan perasaan kecewa di dalam dadanya.

“Masih ada lain waktu, Ga.”


Perempuan itu menuruni anak tangga di rumahnya dengan terburu-buru tak lupa dengan nafas yang memburu.

“Pelan-pelan aja Se, nan—”

Kalimat Naira— Bunda Olin terpotong karna anak gadisnya memeluknya secara tiba-tiba.

Ia menghela nafasmya pelan dan membelai pelan pucuk kepala Olin di bawahnya.

“I miss you soooo muchh, Bun.”

Mendengar itu, Naira menaikan kedua sudut bibirnya, “Me too, Se.”

Olin pun melonggarkan pelukan nya lalu menatap sang ibunda dengan manik mata yang berkaca-kaca.

“Jangan nangis dongg....” ujar Naira seraya mengusap pelan bawah mata Olin dengan ibu jarinya.

“Kenapa gak bilangg kalau mau pulang??” tanya Olin pada Naira.

“Kan biar suprise.” jawabnya.

“Makan dulu yuk? Bunda udah masak makanan kesukaan kamu!” ajak Naira dan di balas anggukan oleh Olin sebagai jawaban.

Keduanya pun mulai melangkahkan kakinya menuju ruang makan yang ternyata sudah ada Tama dan sang Ayah di sana menyambut Olin dan Naira dengan senyum yang tak juga luntur dari wajahnya.

“Ini pada ngerencanain ya?!” tanya Olin yang langsung di sambut oleh gelak tawa ketiga orang di hadapannya.

“Nyebelin.”

“Udah duduk,” seru Tama seraya mengambil satu Tissue yang tak jauh darinya. “Elap tuh ingus nya kemana-mana.”

Segera Olin mengambil Tissue yang Tama berikan lalu mengelap wajahnya kasar.

Tiada hentinya Tama mengejek wajah lusuh Olin saat ini, bahkan ia tak tanggung-tanggung untuk menjahili dan menertawakan adik tirinya itu.

Naira tentu sudah tau perihal Olin dan Tama yang sudah berdamai karna suaminya yang menceritakan padanya.

“Makan dulu, nanti lagi bercandanya.”

Suasana pun kembali hening, hanya ada suara sendok dan garpu yang beradu di atas piring ke empatnya.

“Gimana kamu sekolahnya, Se? udah ada info ujian?” tanya Ayah membuka pembicaraan.

“Lancar aja, yah. kalo ujian akhir semester satu minggu depan katanya.” jawab Olin.

“Kalo abang, kuliah nya gimana?” tanya Naira seraya menatap lembut putra angkatnya di hadapannya.

“Lancar-lancar aja bun.”

Naira pun mengangguk paham dan mengalihkan pandangan nya kepada Olin.

“Katanya kamu ikut lomba ya Se? gimana hasilnya?”

“Hmmm,” “Menang lahhh.” ujar Olin seraya menunjukan senyum manis andalannya itu.

Mendengar jawaban anaknya barusan, Naira tersenyum bangga, “Anak bunda keren!” ujarnya

“Bun tau gak,” Tama bersuara secara tiba-tiba.

“Apa tuh?”

“Sea udah punya cowo tau.”

“UHUK”

“Aishhh bocah gemblung!”

Olin meneguk kasar air putihnya dan menatap Tama dengan tatapan sinis.

“Eh, iyaa?” “siapa namanya bang?”

Tama melirik sekilas ke arah Olin yang menginsyaratkan dirinya untuk diam,

“Rangga bun.”

Namun sepertinya ia memilih tidak.

Naira menaikan kedua alisnya lalu melirik Olin dengan tatapan bertanya-tanya.

“Bener se?”

“ENGGAK, TEMEN DOANG.” ujarnya tak santai.

“Temen kan bisa jadi demen lho se” goda sang Ayah seraya meneguk air putih miliknya.

“Nggaaa ihh..”

Naira terkekeh pelan melihat putrinya yang kian menjadi remaja pada biasanya, namun ia kembali memikirkan nama yang baru saja Tama ucapkan.

“Rangga namanya?” tanya Naira.

“Bunnnn....”

“Bunda nanya seee.”

“Iya, Rangga Abimanyu.” final Olin.

Naira menyatukan kedua alisnya berfikir, nama yang baru saja Olin sebutkan terdengar familiar baginya.

“Bun?” “Bunda?”

“Eh, iya?” Naira tersadar dari lamunan nya.

“Kenapa? bunda kenal?” tanya Olin.

Naira pun menaikkan kepalanya dan menangkap Tama dan juga suaminya yang melihatnya dengan tatapan bertanya-tanya.

“Ah.. enggak, namanya mirip sama anaknya temen bunda.” jawab Naira.

“Kapan-kapan ajak kerumah ya, Se.”

. . .

“Gimana sekolahnya bang, lancar?” tanya Teddy— ayah Rangga.

“Hmm, biasa aja, bentar lagi UAS.” jawab Rangga seraya menguncirkan rambut Gea di pangkuan nya.

“abangg, akit!” ringis Gea karna Rangga tak sengaja menarik rambutnya.

“ehh, maaf.”

“Pelan-pelan aja makanya bangg.” sahut ibunda Rangga— Rani yang baru saja datang dari dapur.

“Rangga.” panggil Teddy yang membuat Rangga menoleh ke arahnya.

“Kenapa yah?”

“Ayah baru aja di kasih info sama temen ayah yang jadi dosen di universitas yang kamu mau.”

“Monash?!” serunya dan di jawab anggukan oleh sang Ayah.

Segera Rangga menaruh Gea tepat di pangkuan ibunya dan beralih berhadapan dengan Ayahnya.

“Kenapa?”

“Katanya universitas sana bakal ngadain beasiswa jenjang S1, ayah juga udah di kasih tau dikit-dikit apa aja ketentuan nya, dari yang ayah liat dari nilai kamu sih bisa aja, Ga. ditambah kamu punya banyak sertifikat menang lomba segala macam.” tutur Teddy.

“Kamu mau gak? biar ada persiapan dari sekarang.”

Rangga tentu saja mau dengn tawaran sang ayah, terlebih menyangkut tentang universitas impiannya.

Namun di sisi lain ia sedikit ragu dengan apa yang harus ia jawab.

Teddy tak bodoh, ia dapat mengerti situasi yang Rangga rasakan dari sorot mata putranya itu.

“Kenapa? takut gak keterima?” tanya sang Ayah.

“bukan yah...”

“Terus kenapa?” “Kamu punya pacar?”

Rangga terpanjat mendengar penuturan Ayahnya barusan, bahkan kedua bola matanya melebar saking terkejutnya.

“Gak ada.”

“ada yah”

Rangga memutar balikkan badan nya melihat sang Adik yang baru saja melontar kan kalimat tuduhan untuknya.

“siapa?”

“Kak linlin” tutur Gea enteng.

“Bener bang?” tanya sang ibunda.

Rangga menggeleng pelan sebagai jawaban, “Enggak buu, mana ada.” ujarnya mengalihkan pandangan ke lain arah.

“Kamu tau kan kebiasaan kamu kalo bohong apa?” “Kuping kamu merah lho bang.”

Segera Rangga menutup kedua telinga nya rapat-rapat guna menutupi semburat merah yang tertampang jelas di telinga nya.

“Ayah ngerti kok, Rangga.” “Kamu pikirin aja dulu gimana baiknya, ayah tau kamu udah dewasa, udah semestinya kamu tau mana yang penting buat masa depan kamu.” ujar Teddy seraya mengelus pelan punggung putranya meyakinkan.

“Tidur, udah malem.” final Teddy lalu beranjak dari duduknya menuju kamar miliknya.

Sepeninggalnya kedua orang tua dan adiknya, barulah Rangga bisa bernafas lega setelah menahan nafasnya sedari tadi.

“Beasiswa ya?” “Ya gue mau lah anjir.” ia bergumam sendiri.

Namun tentu saja ia kembali dengan alasan ragu yang ia simpan di dalam hatinya, tentu saja perempuan itu bukan?

“Gue bisa aja, tapi..” “Arghhh! gatau lah.”


Di tengah keramaian pengunjung restoran, segerombol pemuda ini mendudukan bokong nya tepat di salah satu kursi yang tersedia, menyantap setiap makanan yang ada, guna mengisi perut karna rasa lapar yang melanda.

Sama hal nya dengan Rangga dan Olin, keduanya sibuk dengan makanan nya masing-masing, kecuali teman-teman di hadapannya.

“GUE DULUAN!”

“GUE YANG LIAT DULUAN!”

“YANG NGAMBIL DULUAN SIAPA?!”

“EPLIS DEH?! DIMANA MANA YANG LIAT DULUAN YANG BERHAK NGAMBIL?!”

Begitulah gambaran keributan antara Naufal dan Arjuna merebutkan ayam yang tiada habisnya, bahkan kini meja mereka menjadi pusat perhatian bagi siapapun pengunjung yang datang.

“GUE YANG NGAMBIL PAHA DULUAN!”

“GUE DULUAN?!”

“GU— HMPH?!”

Adu argumen terhenti karna Ella yang tiba-tiba menyumpal mulut keduanya dengan ayam miliknya, menyuruh keduanya untuk diam.

“Makan noh ayam! Berisik tau gak?!” omel Ella.

Baik Opal maupun Juna sama-sama berperang lewat sorot matanya yang tajam, Tuhann, lihat lah mereka yang terlihat seperti anak kecil yang sedang bertengkar di perosotan.

“Maklum ya, emang suka malu-maluin.” bisik Rangga tepat di telinga Olin.

“Gue masih bisa denger ya.” sahut Opal dengan tatapan sinisnya tak lupa mulutnya yang menggembung mengunyah ayam di dalamnya.

Melihat itu, Olin terkekeh geli karnanya, benar-benar pertemanan ajaib.

Sampai akhirnya sorot mata Olin teralihkan pada pintu restoran yang baru saja terbuka dan menampakkan kak Tama disana.

“Kak!” panggilnya.

Yang di panggil pun menoleh lalu melangkahkan kakinya mendekat ke arah meja Olin berada.

“Psst, siapa?” bisik Opal pada Jeno

“Gue minus anjing, burem. ngehina gue lu?”

“Oh iya.”

Rangga pun berdiri dari duduknya dan membungkuk hormat kepada Tama di hadapannya.

“Eh udah, duduk aja, lanjutin makan nya.” ujar Tama dan mendapat anggukan canggung dari Rangga.

Suasana yang tadinya ramai menjadi canggung ketika Tama bergabung bersama mereka, bahkan Rangga tiada hentinya berdeham mengusir rasa canggung yang merasukinya.

“Makan bang” ujar Opal menawarkan Tama dengan senyum canggung nya. “ADAHH!” JERIT Opal karna Jeno menginjak kakinya di bawah sana.

“Jangan ngelawak dulu bisa ga?” bisik Jeno.

“kan gue nawarin?!”

“Lo udah makan belum bang? mau gue pesenin?” tawar Rangga kepada Tama.

Tak langsung menjawab, Tama malah menatap Rangga dari atas sampai bawah, ia tak asing dengan wajahnya, “Ohh, ini.” batin nya.

Tama pun mengangkat kedua sudut bibirnya, “Gausah gue udah makan, makasih.” jawabnya.

“Gue cuci tangan dulu.” izin Olin dan beranjak pergi dari duduknya.

Suasana pun kembali hening, sampai Olin benar-benar menghilang dari pandangan, barulah Tama mengubah raut wajahnya 360°, menatap Rangga dengan tatapan mengintimidasi.

“Mampus, mau di sidang.” ujar Opal.

“Lo yang namanya Rangga bukan?”

Rangga meneguk saliva nya kasar, berusaha menetralkan dirinya sendiri, Tama benar-benar mengintimidasinya hingga ia gugup setengah mati.

“Iya bang.”

“Yang suka anter jemput Sea?”

“Iya.”

Tama menyilangkan kedua tangan nya di depan dada lalu bersender ke bangkunya.

“Naik mobil? udah punya SIM?” tanya Tama seraya menautkan kedua alisnya.

“Udah kok bang,” ia mengeluarkan SIM card dari dalam dompetnya. “ini.”

Tama pun melihat sekilas SIM card yang Rangga tunjukkan lalu menatapnya dengan sorot mata tajam nya.

“Ini gue mau di apain bangsattttt?!!” rutuk Rangga dalam hatinya.

Sedetik kemudian, Tama melepaskan tawanya yang sedari tadi ia pendam, bahkan wajahnya pun sampai memerah. Rangga pun terdiam tak mengerti.

“Santai aja Gaa Hahaha,” “Gue kan cuman nanya.” kata Tama seraya menepuk pelan bahu Rangga di hadapannya.

“Anjir di prank”

“Pal mending lu diem.”

Rangga pun akhirnya bernafas lega lalu meneguk segelas air di tangan nya.

Sampai akhirnya Olin datang dengan tatapan bertanya-tanya, ada apa?

“Udah?” tanya Tama dan di jawab anggukan oleh Olin.

“Gue duluan ya, makasih udah mau dateng!”

“Amann linn”

“Gue duluan, Ga.” pamit Olin kepada Rangga.

“Eh, iya, hati-hati.” ujar Rangga gugup.

Olin pun berjalan keluar lebih dulu meninggalkan teman-temannya

“Kapan-kapan main kerumah.” ucap Tama lalu beranjak pergi setelahnya.

Sampai Tama tak lagi terlihat dari pandangan, barulah ke-lima orang tersebut menghela nafasnya lega.

“Anjir, lo liat gasi tadi mukanya pas lagi nyidang?,” “Naik mobil, udah punya SIM?” ujar Opal menirukan gelagat Tama.

“Udah bego, kasian si Teddy tertekan mukanya.” ledek Juna seraya melirik Rangga yang setengah kesadaran nya hilang entah kemana.

“Lu semua diem deh.”

“Tai, gitu doang mental breadtalk.”


Dengan langkah gontai, aku berjalan dari kelas menuju ruang Osis setelah beberapa menit yang lalu berdebat dengan Rangga.

Kelakuan nya benar-benar membuat diriku heran, yang benar saja, mengapa ia bisa menyebalkan dan menggemaskan dalam satu waktu sih?! Geez!

Sampai akhirnya aku sampai tepat di ambang pintu ruangan horror ini, menatap nya dengan tatapan ngeri.

Tok tok tok

“Masukk!” ujar si pemilik ruangan dari balik pintu.

Mendengar itu, langsung saja ku tarik knop pintu ruangan sampai akhirnya aku dapat melihat Rangga dengan beberapa berkas yang aku yakin merupakan berkas Osis di tangannya.

“Eh, dut.” ujarnya seraya menampilkan senyum bodoh namun memabukkan nya itu.

Aku berdeham lalu melangkahkan kaki mendekat ke arahnya, “Mana?” tanya ku to the point.

Ia melirikku dengan ujung matanya lalu terkekeh pelan.

“Buru-buru banget.” ujarnya lalu beranjak menuju lemari tempat penyimpanan barang sitaan disana.

“Ya ngapain gue lama-lama disini?”

“Siapa tau mau nemenin,” “Nih.”

Ia menyodorkan satu kantong berisi barang sitaan milikku, oh Tuhann, cinderamata ku akhirnya kembali.

Aku meraih kantong tersebut dengan kedua manik mata ku yang berbinar, mengecek setiap barang yang ada disana, sampai akhirnya aku menemukan benda yang aku yakini bukan milik ku di dalamnya.

“Kenapa foto lo ada disini?”

“Ohh, itu,” “Kan pernah ada di tas lo, makanya gue balikin.” ujarnya enteng.

Aku memalingkan wajah ku ke lain arah, sialan, aku jadi teringat insiden memalukan kala itu, Tuhannn!

Kembali ia terfokus dengan lembaran kertas di atas mejanya yang berisi nama-nama orang yang tak aku kenal disana.

“Sibuk banget,” “Eh enggak, sok sibuk lu mah.” cibirku yang ia balas dengan kekehan kecilnya.

“Buat apasih?”

“Ngurusin LPJ buat beberapa ekskul.”

“Bukan nya di urus sama ketua ekskul nya sendiri? Atau sama kelas 11 gitu?”

“Seharusnya di pegang sama adek kelas, tapi dianya lagi gak bisa, terus minta tolong gue, cuman nge print in kok,” “Yaa jadi gue bantuin aja.” jelasnya.

“Kenapa lo gak nolak?”

“Ngebantu sedikit, apa salahnya?”

“Ngeribetin.” tukasku.

Bisa aku lihat ia malah tertawa geli setelah mendengar penuturan ku barusan, aku menyatukan alisku heran, apanya yang lucu sih?

“Gak boleh mikir gitu, Dutt.” ujarnya seraya menaruh sebelah lengan nya di atas kepalaku. “Yang namanya orang minta tolong, kalo emang kita mampu buat nolongin, ya tolongin aja. kan sesama manusia harus saling membantu,” “Lo manusia bukan?” tanya nya padaku seraya menatapku dalam.

“Ya manusia lah!” jawab ku lalu segera menyingkirkan tangan nya dari atas kepalaku.

“Yaudah, gue mau balik kelas.” ujarku lalu melangkah kan kaki menjauh dari dirinya.

“Nanti pulang mau bareng?”

Aku menghentikan langkah ku dan berbalik untuk menatapnya.

“Lama gak?” tanya ku.

Segera ia membuka layar ponselnya, “Nanti gue ada rapat sebentar, kalau mau nunggu, nanti bareng.”

Aku tak langsung menjawabnya dan berfikir sejenak, should i? itung-itung irit ongkos juga kan?

“Hmm, boleh deh.”

Ia pun kembali terfokuskan dengan tumpukan kertas di mejanya, aku pun beralih melihat jam tangan ku, jam istirahat sudah mau selesai, ia belum selesai juga?

Tak

Aku menaruh satu bungkus roti yang barusan aku beli di kantin sebelum menuju ke ruangan ini.

Belum sempat ia membuka suaranya, aku memotongnya lebih dulu.

“Makan, gue gak mau gue kenapa-napa pas lo nganterin gue pulang nanti.” ujarku lalu pergi begitu saja dari ruangan nya.

Dengan langkah terburu-buru aku berjalan menuju kelas, bahkan banyak pasang mata menatap heran karna tingkah ku.

Sialan, apa yang baru aku lakukan barusan?!

“Kontrol diri lo kenapa sihh Olinn?!”


Setelah lama menunggu, akhirnya nomor peserta Olin pun dipanggil juga oleh sang pengisi acara, ia beranjak berdiri dan meneguk saliva nya kasar, astaga, ia terlalu gugup.

“Hhh, oke, inhale, exhale..” ia bergumam sendiri.

Sampai akhirnya ia melangkahkan kakinya menuju ke tengah panggung dengan ratusan pasang mata yang memandangnya.

Ia menelisik setiap wajah penonton di bawahnya, mencari-cari dimana Rangga berada.

Sampai akhirnya netra Olin menangkap satu orang bertubuh tinggi di tengah sana yang sedang memandangnya dengan wajah yang menenangkan.

Tak perlu menunggu lama, perempuan itu langsung memainkan gitarnya, tak lupa sambil bernyanyi dengan suara nya yang menghiasi seluruh pendengar di ruangan ini.

“If you wanna dance then Dance with me“

“It's pretty fast but” “This is what you do at parties, right”

“Lagu ini lagi ya, Lin?” gumam Rangga yang masih setia memperhatikan Olin di atas panggung.

“And I know it's hard to tell” “But I think I really like you”

Pandangan keduanya bertemu, berdiam dalam lisan namun manik mata keduanya tak bisa berbohong akan perasaan yang dirasakan.

“Hard to tell banget ya, Lin?”

. . .

Di tengah keramaian seluruh peserta lomba, dengan segala perasaan gugup yang ada, Rangga dan Olin disini, berdiri menatap panggung yang sudah di isi oleh sang pembawa acara untuk mengumumkan para pemenang.

Tak bohong jika Olin gugup setengah mati, bahkan telapak tangan nya tak berhenti bergetar dan mengeluarkan keringat dari sana.

“Santai aja Linn, tarik napas,” “Jangan buang.”

plak

Ella memukul kencang bahu Opal di sebelahnya, kalimat orang itu sama sekali tidak membantu.

Rangga sengaja mengajak teman-teman nya untuk datang hari ini dengan tujuan menyemangati Olin, sebenarnya mau datang ataupun tidak, Olin tak masalah. Namun sepertinya ia harus ber—terimakasih dengan Rangga karna telah membawa teman-teman nya pada hari ini. Setidaknya ia menjadi sedikit terhibur karna kelakuan para teman nya itu.

Jari-jemari Olin tak berhenti untuk diam sedari tadi, bahkan sepertinya ia juga lupa cara bernafas.

Melihat itu, Rangga menggapai sebelah tangan Olin untuk ia genggam, menatap perempuan itu dengan tatapan menenangkan serta senyuman yang menghangatkan.

“Tenang Lin, jangan gugup.”

“Kalau gue kalah gimana?” tanya Olin dengan raut wajahnya yang gelisah.

Rangga kembali menaikkan sudut bibirnya, “it's okay, kan gue udah bilang, mau menang atau kalah, itu gak masalah, lo masih tetep keren di mata gue.” ujarnya.

Mendengar penuturan Rangga barusan, seluruh rasa gugupnya kian menghilang, tergantikan dengan aliran darahnya yang memanas karna ucapan lelaki itu dan tak lupa tangan kekar Rangga yang bertaut dengan tangannya.

Dari mulai juara harapan sampai juara 3 nomor peserta Olin juga tak kunjung terdengar, bahkan teman-temannya sudah gemas sendiri dengan MC di atas sana.

“55 DONG MBAKK, TEMEN SAYA MBAK!” seru Ella tak tahu malu, di sahuti dengan sorakan Jeno and the geng setelahnya.

“Eplis deh, yakali gue udah rela-relain dateng terus dandan ganteng gini temen gue kaga menang?!” ujar Naufal.

plak

“Bisa gak protesan lu yang bermutu dikit?” omel Juna.

“Sshht, diem, juara satu nih di umumin!” seru Jeno menyuruh kedua teman nya untuk diam.

“Juara pertama... Di menangkan oleh...”

Olin semakin meremat keras genggaman tangan nya dengan Rangga, menyalurkan seluruh rasa gugupnya disana.

“Lo boleh tutup kuping lo kalo lo gak siap, biar gue yang denger.” ujar Rangga.

Langsung saja perempuan itu menutup kedua telinga dan kedua matanya nya rapat-rapat.

“NOMOR URUT PESERTA 55! SELAMATT!”

Suara ricuh langsung terdengar di seisi aula, bahkan teman-teman kedua orang ini langsung berteriak layaknya orang kesetanan di sebelah mereka.

“Ha? Gimana?” tanya Olin polos.

“Lo menang dutt, lo menang!” ujar Rangga antusias.

Mendengar itu, Olin langsung memekik kegirangan, bahkan dirinya sampai melompat-lompat layaknya anak kecil di sebelah Rangga.

“Sana ke ata—”

Ucapan Rangga terpotong karna Olin yang tiba-tiba memeluk dirinya, bahkan ia sampai kehilangan kesadaran nya seketika.

“Waduh.” “Waduh.” “Waduh.” “Waduh.”

Begitulah kata-kata yang terdengar dari mulut empat manusia yang berada tak jauh dari keduanya, bahkan Opal sudah menahan tawanya mati-matian, jika saja Juna tidak menutup mulut lelaki itu, Rangga sudah yakin Opal sudah tertawa begitu kencang sedari tadi.

“Rangga ini gue serius menang?!” tanya Olin dengan posisi yang masih sama.

“I-iya, lo menang.” jawab Rangga gugup.

Bukannya melepas pelukannya, Olin malah semakin mengeratkan pelukannya dengan Rangga, entah kemana akal sehat dirinya, sepertinya ia berada di luar kendalinya.

Sedangkan Rangga, berusaha menetralkan degupan jantungnya yang tak beraturan di dalam sana, berusaha agar Olin tak dapat mendengarnya, jika tidak, habis sudah.

“Ke atas dulu gih, udah di panggil, nanti hangus lagi.” ujar Rangga.

Padahal bukan itu maksudnya, itu hanya alasan saja, ia tak bisa menahan degupan jantungnya untuk jangka waktu yang lama.

Olin pun melepaskan pelukannya lalu merapihkan sedikit bajunya yang terlihat lusuh, dan beranjak menuju atas panggung, baru lah Rangga bisa bernafas lega.

Kembali ia menatap gadisnya yang berdiri tepat di tengah panggung, dengan senyum yang belum juga luntur dari wajah nya.

“Ranggaa gue menangg!” ujar Olin di atas panggung tanpa suara.

Rangga hanya menyauti dengan ibu jarinya yang terangkat serta deretan giginya yang terpampang jelas di wajahnya.

Cantik, satu kata yang menjabarkan Olin di kepala Rangga hari ini.

Tidak hari ini sih, tiap hari lebih tepatnya.

“Jiakhh yang tadi di peluk.” “Aduh si Teddy di senyumin juga tuhh” “Empedu aman bro?”

“Lo semua emang cerminan setan”

Gelak tawa pun terdengar di sekitar Rangga.

“Mau sampe kapan sih Ga?” “Sampe kapan lu nahan terus, bego.” omel Jeno kepada Rangga di sebelahnya.

Kembali Rangga memfokuskan pandangan nya ke arah panggung, Melihat Olin dengan senyum nanarnya.

“Gatau,” “Mungkin sampai gue bisa nerima realita dari jawaban dia nanti.”