yourvousmeJ

Di tengah dingin nya angin malam, kedua insan itu terduduk tepat di salah satu bangku yang tersedia di tepi taman, menikmati hembusan angin yang menerpa wajah keduanya.

“Lo gak dingin?” tanya Rangga kepada Olin di sebelahnya.

“Dikit.”

Rangga berdecak pelan mendengar jawaban Olin barusan, “Kenapa gak pake jaket?”

“Dih, lo kan bilang gini aja juga gapapa.” jawab Olin tak mau kalah.

Tak mau berdebat, langsung saja Rangga melepas jaket yang menutupi tubuhnya lalu berganti tugas untuk menutupi tubuh Olin di sebelahnya.

“Ga lucu kalo lo meriang pas lagi tampil.”

Tak bohong jika degup jantung Olin kembali berdegup tak karuan untuk kesekian kalinya, untung saja hari sudah malam ditambah sedikit penerangan di sekitarnya, ia dapat menyembunyikan semburat merah di wajahnya itu.

“Lo pake perfum apa deh?” tanya Olin.

“Ituu,”

Olin menatap serius lelaki di sebelahnya, tetapi Rangga biasa saja.

“Rahasia, hehe.” final Rangga.

“Pelit.” tukas Olin yang membuat Rangga terkekeh geli.

Sesekali Olin menggosok kedua tangan nya guna menghangatkan diri, ia menyesal tak memakai baju hangat ketika keluar di malam hari.

Melihat itu, segera Rangga meraih tangan Olin untuk ia genggam dan menyimpan nya di saku celana miliknya, tentu saja perlakuan nya yang tiba-tiba membuat Olin mengerukan alis nya heran.

Tak lupa dengan degupan jantungnya.

“Lin.” panggil nya yang membuat Olin sedikit mengadahkan kepalanya menatap Rangga yang tentu saja jauh lebih tinggi darinya.

“Lo kalo suka sama orang, mending lo nyatain atau lo pendam?”

“Ha?”

Olin berpikir sejenak, tak berniat langsung menjawab pertanyaan lelaki di sebelahnya.

“Pendam.”

“Walaupun udah bertahun-tahun lo suka sama dia?” tanya Rangga lagi.

“Iya.”

“Kenapa?”

Olin menoleh dan langsung mendapati Rangga yang juga sedang menatapnya intens.

“Entah, gue lebih milih buat mendam perasaan aja, kedengaran pengecut, emang.”

“Tapi yang gue pikirin, kalau lo nyatain ke orang yang lo suka, belum tentu apa yang dia jawab sesuai ekspetasi lo kan?”

“Dari pada sakit gara-gara jawaban dia nantinya, lebih baik gue pendam, urusan dia bales perasaan gue atau enggak nya kan bukan urusan gue juga,”

“Kalau dia suka sama gue yaa bagus, kalau enggak ya...” “Mampus.”

jelas Olin lalu terkekeh di akhir kalimatnya, begitupun juga dengan Rangga.

“Ohh gitu..”

Kembali Olin mengalihkan pandangan nya ke arah depan, sedangkan Rangga masih setia menatap gadis di sebelahnya dengan tatapan yang tak bisa di artikan.

Ada rasa kecewa di dalam diri Rangga ketika mendengar jawaban dari Olin barusan, namun tak bisa ia pungkiri bahwa itu semua ada benarnya juga.

Keduanya kalut dalam pikirannya masing-masing, Rangga dengan pikirannya sendiri, sedangkan Olin yang bertanya-tanya untuk apa Rangga menanyakan hal barusan.

“Ayo pulang, udah malam.” ajak Rangga.

Segera Rangga beranjak berdiri dengan tangannya yang masih bertaut dengan tangan mungil Olin di dalam sakunya.

Olin pun tak ada pilihan lain selain mengikuti Rangga di sebelahnya, berjalan dalam keheningan dengan beribu pertanyaan di dalam fikiran keduanya.

“Apa maksud pertanyaan lo, Ga?”

“Ekspetasi gue ke lo terlalu tinggi, Lin.”


Aku masih setia menatap pintu kamarku yang masih tertutup rapat, menunggu kak Tama untuk membukanya.

Aku di buat begitu heran akan dirinya, padahal ia bisa berbicara langsung sebelum masuk, kenapa harus mengechat segala? memangnya dia ini bisu?

Sampai akhirnya seluruh pikiran ku tentangnya hilang begitu saja ketika pintu kamar ku terbuka lebar karnanya, ia berdiri tepat di ambang pintu dengan penampilan khas orang baru saja bangun tidur.

“Kenapa kak?” tanya ku padanya.

Ia melirik ku dengan ujung matanya lalu bersuara, “Gue, boleh kesitu?” tanya nya ragu.

Sumpah demi apapun, ingin rasanya aku menertawakan dirinya yang terlihat lugu, bahkan aku sampai menahan tawaku mati-matian saat ini.

“Boleh, duduk aja.”

Mataku masih setia menatap setiap pergerakan darinya sampai akhirnya ia mendaratkan bokong nya tepat di hadapanku.

“Udah makan?” tanya nya lalu aku mengangguk sebagai jawaban.

“Kak Tama udah makan?”

“Udah tadi.”

Kembali ia menggaruk tengkuknya yang aku yakin tak gatal sama sekali bahkan ia berdeham sesekali.

“Kenapa Kak?” ujarku yang membuat dirinya menoleh namun menunduk setelahnya.

“Buat hari itu,” “Maaf.”

“Ha?”

Ia mangadahkan kepalanya, menatapku dengan tatapan nya yang sendu, kemana tatapan dingin nya itu?

“Malem itu gue bener-bener out of my control, Se.”

Aku mulai mengerti kemana ranah pembicaraan ini, namun tentu saja aku masih kepalang kaget karna dirinya yang tiba-tiba berubah.

“Can you give me the reason? kenapa lo benci banget sama gue, Kak?” tanya ku ragu.

Hening, tak ada jawaban darinya yang membuat aku menarik nafasku dalam, hhhh, mana mungkin ia mau menjawabnya.

“Karna gue belum bisa nerima, Se,” ujarnya yang membuatku reflek menoleh ke arahnya.

“Gue belum bisa nerima Bunda lo buat ngegantiin posisi 'Ibu' di rumah ini,” “Gue juga belum bisa nerima lo ngegantiin Alana sebagai adik gue,” “Gue selalu berprinsip sama diri gue kalau gak ada yang bisa ganti posisi dua orang itu.” Tapi gue akhirnya sadar kalau semua tindakan gue itu salah..” “Gue terlalu egois, gue gak mikirin perasaan Bunda, lo, bahkan Ayah gue sendiri, yang gue pikirin cuman diri gue sendiri, sampai akhirnya gue ngerasa sendiri.” jelasnya dengan deru nafasnya yang tak beraturan.

“Maaf....” lirihnya menunduk.

“Kalau soal lo selalu marahin gue naik mobil, kenapa?”

Ia menoleh kearahku lalu menghela nafasnya dalam.

“Alana, adik gue, meninggal gara-gara kecelakaan mobil.” ujarnya yang membuat diriku memekik kaget.

“Gue bener-bener nyesel udah ngebolehin dia bawa mobil waktu itu, jelas-jelas dia belum bisa bawa mobil tapi gue malah ngebiarin dia.” ujarnya lalu tersenyum kecut. “Makanya gue selalu ngelarang lo, Se. gue gak mau kehilangan adik untuk kedua kalinya.”

Mendengar penjelasan darinya barusan membuat aku terenyuh dan terkejut dalam satu waktu, akhirnya ia mengungkapkan segalanya, bukan hanya dia yang lega, akupun juga.

“Gapapa kak, gue ngerti.”

“Gue jahat banget ya sama lo, Se?”

Aku menggeleng pelan lalu mengelus tangan dingin nya pelan, “Enggak kak, jangan nyalahin diri lo sendiri gini, gak baik” “Gue turut sedih soal adik lo, tapi semuanya itu bukan salah lo, Kak. semuanya itu udah takdir.” ujarku yang membuat dirinya menatapku dengan derai air mata yang menumpuk di pelupuk matanya.

“It's okayy... Kita bisa mulai semuanya dari awal.” yakin ku padanya.

Dengan nekat, aku sedikit mendekat padanya lalu merengkuh tubuh nya pelan, berusaha menenangkan nya dengan cara mengelus punggungnya pelan.

“Lo pasti kesepian banget ya, Se?” ujarnya yang aku jawab dengan anggukan.

“Sorry, Se,” “Sorry for being selfish.”


Dengan suara bising alat musik yang berbunyi di sekitarku, aku sibuk dengan gitar accoustic yang aku mainkan di pangkuan ku.

“Kunci G bukan kunci F Naufal!” “Di genjreng Naufal! jangan di teken gitu senarnya!” omel guru Seni memarahi Naufal yang berada di barisan paling depan.

“Gini pa?”

“ITU C NAUFAL ALMADIANO.”

“Ya maap pakk.”

Gelak tawa terdengar dari teman-teman ku, begitu pun aku yang ikut terkekeh kecil karna tingkah bodohnya.

“Cukup untuk pelajaran saya hari ini, sedikit info untuk semuanya pendaftaran untuk lomba masih dibuka sampai dua hari kedepan,”Dan minggu depan udah mulai praktek ya.” ujar pak Dimas yang langsung di sahuti sorakan tak terima dari anak kelas ku.

“Tangan gue kapalan gini anying, butuh di pegang.” ujar Naufal mengode Ella yang sudah salah tingkah tak karuan berada di sebelahku, dasar pasangan aneh.

Netra ku beralih menatap Rangga yang tak jauh dari posisi ku, pandangan ku tentunya bertemu dengan kedua manik mata legam miliknya.

“Gak mau ke kelas?” tanya nya padaku tanpa suara.

“Mau beresin gitar dulu.” balasku tanpa suara lalu ia jawab dengan senyuman tipis nya yang lagi-lagi membuat ku gila.

Sepertinya mulai saat ini Jantung ku itu Made in China KW super. sangat amat payah.

Satu persatu murid kelas ku mulai keluar dari ruangan ini menyisakan aku sendiri disini.

Dan lagi, aku memainkan gitar di pangkuan ku dengan begitu mahir, dan mulai menyanyikan lagu yang akhir-akhir ini aku dengarkan.

If you wanna dance then Dance with me

It's pretty fast but This is what you do at parties, right

And I know it's hard to tell But I think I really like you

“Suara lo bagus juga.”

“HUAA!”

“HA?!”

Plak!

Aku memukul Rangga yang tiba-tiba menepuk pundak ku keras, sialan, dikira badan ku ini samsak tinju yang tahan sakit kah?

“Bisa gak gausah ngagetin?” omelku padanya lalu ia balas dengan kekehan kecil.

“Tapi bener Lin, suara lo bagus, lo juga bisa main gitar, kenapa gak ikut lomba aja?” tanyanya padaku.

“Enggak minat, Ga.” “Lagi pula gue gak begitu jago, mana mungkin bisa, belum lagi saingan dari sekolah lain, gak deh.”

“Yeuu, lo jangan pikirin menang kalah nya dulu lah, kalo menang ya bagus, kalo engga ya gapapa, kan biar ada pengalaman.” Ikut Linn, mumpung ada dua hari lagi buat daftar.” ujarnya menggebu-gebu.

Aku sempat berfikir apa yang ia katakan ada benarnya juga, namun tetap saja diri ku selalu mengikuti ego yang begitu besar ini.

“Enggak ah, males.”

Ia pun mengalah dan kembali duduk di sebelahku.

“Kenapa gak lo aja yang ikut lomba? tadi gue liat lo juga bagus kok.” tanyaku padanya.

“Nggak ah, gue belum sejago ayah gue.”

“Ayah lo yang ngajarin lo ngegitar?” lagi, tanyaku padanya lalu ia jawab dengan anggukan.

“Kalo lo?”

“Sama,” “Tapi dulu.” tukas ku dan dia jawab dengan anggukan ragu.

“Ngomong-ngomong, lagu lo kayanya buat ngode banget Lin?”

Mendengar perkataan nya, aku mengerutkan alisku heran, “Ngode apaan?”

“Itu,” “And I know it's hard to tell” “But I think I really like you” “Lo lagi naksir orang ya?”

Aku meneguk saliva ku kasar, sialan, aku melupakan makna lagu yang aku dengarkan akhir-akhir ini yang jelas-jelas untuknya, Tuhann, aku harus jawab apa?!

“Apaan si, sotau, emang lagunya enak aja.” elak ku.

“Hmmm, gitu.”

Kembali aku menetralkan dirku dan membereskan gitar milik ku. “Mau kemana?”

“Kelas lah, lo mau disini?” tanya ku yang ia jawab dengan gelengan pelan.

“Barengg.”

Ia beranjak dari duduknya lalu menyusul ku ke ambang pintu, berjalan dengan langkah seiras dengan banyak pasang mata yang menatap ke arah ku tentunya.

Ralat, ke arah Rangga.

“Kantin dulu gak?” tanya nya yang aku balas dengan anggukan.

Dengan lancang nya, lengan kanan milik nya bertengger begitu saja di bahu ku, bahkan aku bisa mendengar suara jeritan salah satu fans nya yang berada tak jauh dari posisi kita berdua.

Rangga sialan, dia ini ingin membuat aku menjadi pepes luar dalam ya?!


“Ini kita mau kemana?” tanya Olin ketika Rangga mengambil jalan yang bukan menuju rumahnya.

“Jalan-jalan sebentar.”

Setelah Olin sedikit tenang dari sebelumnya, Rangga memang berniat mengantarkan nya pulang, namun ia memilih mencari angin segar terlebih dulu.

Olin kembali menghadap sisi kirinya, menatap jalanan kota yang mulai sepi.

“Lo kok baru pulang?” tanya Olin.

“Iya, tadi main dulu sama temen.”

“Siapa?”

Rangga melirik Olin di sebelahnya, “kepo banget?” godanya.

Mendengar itu, Olin memutar bola matanya malas, “gue kan nanya.”

Rangga terkekeh geli, “Sama Opal, Juna, Jeno lah, siapa lagi.”

Suasana kembali hening sampai akhirnya Rangga meminggirkan mobilnya tepat di samping tenda Pecel Lele langganan nya.

“Ngapain?” tanya Olin.

“Makan, emang lo gak laper?”

“Enggak.”

Kruukk..

“perut sialan”

Olin memalingkan wajahnya yang mulai terlihat semburat merah di pipinya.

“Pft.” “Makan dulu, sebentar.” ujarnya lalu beranjak pergi dari dalam mobil, di ikuti dengan Olin tentunya.

“Mau apa?”

“Samain aja.”

Sambil menunggu makanan, keduanya sibuk dengan pemikiran nya masing-masing, Olin yang melihat jalanan sedangkan Rangga memikirkan perlakuan nekatnya barusan.

“gue ngapain meluk Olin..” Ia merutuki dirinya sendiri.

Sampai akhirnya netra Olin menangkap salah satu anak kecil yang masih berjualan roti yang tak jauh dari posisinya.

“Dek!” panggilnya lalu menginsyaratkan si anak kecil untuk mendekat ke arahnya.

“Kamu kok belum pulang?”

“Dagangan aku belum laku, kak.” jawab si anak kecil dengan wajah nya yang lesu.

Olin terenyuh ketika mendengar jawaban tersebut.

“Udah makan?”

“Belum kak..”

“Makan bareng aku mau?”

“Tapi kata ibu gak boleh minta-minta kak, aku gak mau.” jawabnya.

Lagi-lagi Olin di buat terperangah dengan penuturan adik kecil di hadapannya.

“Enggak, aku mau makan bareng aja, mau ya?” “Rejeki gak boleh di tolak lho!”

Awalnya anak itu terlihat ragu, namun akhirnya ia memilih untuk menduduki kursi di sebelah Olin.

“Ini, kamu makan.” seru Olin seraya menyodorkan satu piring berisi nasi dan ayam miliknya.

Olin sibuk memperhatikan anak kecil di sebelahnya yang memakan nasinya dengan lahap, ia membelai pelan adik itu lalu tersenyum simpul.

Seketika pemikirannya tentang dunia yang baru saja ia sumpah serapahi sedikit menghilang, ia merutuki dirinya sendiri.

Disaat dirinya mengutuk dunia yang tak adil dengan nya, ia tak menyadari bahwa di luar sana banyak yang lebih kurang darinya.

Disaat ia ingin menyerah, adik kecil di samping nya masih berjuang tanpa kenal lelah.

“Makan.” Rangga bersuara secara tiba-tiba.

“Lo mana?”

“Berdua.” jawabnya lalu membelah dua ayam miliknya.

Perempuan itu sibuk melihat setiap pergerakan Rangga, sampai ia tak sadar bahwa sudut bibirnya terangkat tanpa di sengaja.

Rangga menyatukan alisnya, “Makan lin, jangan ngeliatin,” “Apa mau di suapin?” ujarnya enteng.

“GAK.”

Buru-buru ia melahap nasi ke dalam mulutnya guna menutupi rasa gugupnya.

Rangga terkekeh geli lalu mengacak pelan pucuk kepala Olin disebelahnya.

“Makan yang banyak ya, ndut.”


Dinginnya suhu kamar membuat aku menarik selimut guna membungkus seluruh tubuhku yang kian membeku, hhhh, kenapa aku harus meriang di jam segini ini sih.

“Jam berapa sih?” gumamku lalu menoleh ke arah jam yang berada di meja nakas, sudah pukul 7 malam rupanya, lama juga aku berhirbenasi.

Perlahan aku menyibak kan selimut dan beranjak dari kasur menuju ambang pintu, tentu saja dengan bantuan pegangan pinggir kasur, demi Tuhan, ini kamarku berputar atau gimana?

“Kenapa adik kamu bisa sakit gini Tama? kamu gak ngurusin dia?”

Sepintas kalimat itu aku dengar dari sebrang sana, aku kenal siapa pemilik suara yang berbicara barusan, ia Ayah tiri ku.

“Apaan sih yah? Tama udah ngasih tau berulang kali sama anak itu tapi dianya aja yang gak dengerin Tama.” ujar kak Tama dengan suara yang meninggi.

Aku yang tadinya ingin mengambil segelas air putih mengurungkan niatku dan kembali mengintip dari balik bilik kamarku.

“Ya kamu kasih tau nya dengan cara baik-baik dong Tama, kalau kamu cara ngasih tau nya cuek mana mau dia nurut.”

“Tama perlu ngasih tau gimana lagi sih, Yah? emang anak itu aja yang keras kepala.” ujarnya dengan nada yang lagi-lagi meninggi.

“Dia adik kamu Tama, bukan anak itu.” seru Ayah menekan kalimatnya.

“Adik Tama dari dulu cuman Alana yah, cuman Alana.”

Tentu saja aku tau siapa nama yang baru di sebutkan kak Tama barusan, Alana, adik kandung kak Tama yang tidak aku ketahui dimana keberadaan nya.

“Alana udah gak ada Tama!”

“ALANA CUMAN GAK ADA BAGI AYAH, BAGI TAMA DIA TETEP ADIK TAMA, SAMPAI KAPAN PUN ITU.” ia berteriak layaknya orang kesetanan disana, bahkan aku sampai harus meremat jahitan bajuku menahan takut.

“Yang ayah peduliin tuh Sea Sea Sea tapi Ayah gak penah mikirin gimana perasaan Tama yang jelas-jelas anak kandung Ayah.” “Sebenernya anak Ayah siapa sih Yah? Tama atau anak itu?”

“Mau gimana pun Alana itu udah gak ada Tama, sekarang yang perlu kamu perhatiin itu Sea, adik kamu yang jauh dari Bundanya, dia gak punya siapa-siapa lagi selain kamu yang selalu ada dirumah.”

“Kamu ini udah besar, udah seharusnya kamu tau mana yang baik dan buruk, jangan kekanakan kaya gini!”

“Dia yang kesepian kenapa Tama yang ribet?” “Tama juga gak peduli yah, dari awal Tama gak setuju ayah nikah sama perempuan itu, Tama gak setuju Yah!” “Mereka itu cuman mau harta Ayah, Tama tau itu.”

Aku menutup mulutku rapat-rapat ketika mendengar penuturan menyakitkan kak Tama barusan, Bundaku tak sehina itu, aku tau Bunda memang tulus akan semuanya.

Enough aku tak kuasa mendengar pertengkaran mereka lagi, karna aku tau, pasti kalimat selanjutnya yang akan di lontarkan lelaki dingin itu akan lebih menyakitkan dari sebelumnya.

“Bunda gak gitu, Bunda gak sehina itu” “Sialllll”

Segera aku mengambil cardigan yang menggantung di belakang pintu, mengambil ponselku lalu membuka pintu dengan kasar.

Keduanya masih berada di posisi semula, Ayah menatapku dengan tatapan khawatirnya, sedangkan kak Tama menatapku dengan sorot mata dingin nya.

Ingin rasanya aku memaki-maki lelaki muda itu, namun aku memilih pergi keluar dari rumah sialan ini tanpa mempedulikan Ayah yang memanggil nama ku berulang kali, aku tak peduli, yang aku butuhkan sekarang adalah pergi menenangkan diri dari sini.


Gue masih setia nunggu Olin yang masih gak sadarkan diri di atas ranjang UKS.

Gak ada hentinya gue ngecek suhu badan dia yang juga gak menurun dari tadi, dia ini abis makan apa sih??

Gue gak bohong kalo gue khawatir sama kondisi dia, pasalnya, selama hampir 3 tahun gue kenal dia, dia gak pernah tumbang kaya gini, ini yang pertama kalinya.

Sampai akhirnya gue merasa ada sedikit pergerakan dari dia yang ngebuat gue nyingkirin tangan gue dari keningnya dan bersikap biasa.

“Kok gue disini?” tanyanya dengan suara serak khas orang baru aja bangun tidur.

“Lo pingsan pas lagi upacara”

Bisa gue liat reaksi dia yang mendadak kaget, “Yang bawa gue kesini siapa?”

Gue noleh ke arahnya yang natap gue dengan tatapan bertanya-tanya.

“Gue lah, siapa lagi?”

“pake apa?”

“Ya gue gendong lah, Lin. masa gue seret.” jelas gue yang ngebuat dia malingin wajahnya, lahh.. kenapa?

“Lo gak sarapan ya?” tanya gue yang dia jawab dengan anggukan, pantes aja.

Gue ngambil satu kotak bekal yang biasa gue bawa dari rumah dan membukanya.

“Makan”

“Kan itu punya lo.”

Makan aja, gue bisa beli makan di kantin.”

Perlahan dia ngambil kotak bekal yang gue kasih dan mulai melahap satu demi satu roti berisi selai coklat kesukaan gue.

“Makasih, Ga.” ujarnya dengan senyum tipisnya.

Gue gak bohong kalau gue ngerasain debaran aneh setiap ngeliat dia senyum, yaa mungkin karna gue punya perasaan khusus sama dia?

“Abis ini pulang aja.”

“Bukannya ada ulangan?”

“Lo mau maksain dengan kondisi begini?” tanya gue yang ngebuat dia bungkam.

“Pulang aja, nanti gue bikinin surat izin ke TU.”

Gue beranjak berdiri buat ngebantu dia berdiri, baru aja mau ngelangkah tapi ketahan gara-gara Olin megang lengan gue.

“Pusing ya?” tanya gue yang dia jawab dengan anggukan.

Tanpa perlu lama gue berjongkok dan ngeisyaratin dia buat naik ke punggung gue. Dan dengan polosnya dia bertanya, “Lo ngapain?”

“Menurut lo aja gue ngapain?” “Cepet naik, nanti keburu bubar upacaranya.”

Sampai akhirnya gue ngerasain tangan dia yang melingkar di leher gue, barulah gue berdiri dan ninggalin UKS.

Sialnya, tepat saat gue keluar, pas itu juga upacara bubar, shit!

“Ga cepetann”

Gue berjalan dengan terburu-buru, banyak pasang mata yang ngeliatin gue dan Olin di punggung gue, bahkan sesekali gue dapat ngedengar segerombolan perempuan yang mencibir Olin, pengen rasanya gue bungkam mulut besar mereka dengan sepatu gue, ck.

“Kiwww, tak gendong, kemana mana” goda Opal yang secara tak sengaja berpapasan

Opal brengsek, gue bakal bakar semua gundam lo nanti.

“Pake.” seru gue seraya menyodorkan satu helm ke Olin.

“Kalau mau tidur pegangan aja, nanti jatoh.”

Gue kira dia bakal gak ngehirauin kata-kata gue barusan, tapi ternyata enggak, gue ngerasa tangan dia yang perlahan ngelingkarin pinggang gue, sial, gue yang nyaranin tapi gue yang salting, bodoh.

. . .

Tepat saat gue sampai di depan rumah Olin, pandangan mata gue langsung tertuju ke salah satu laki-laki yang keluar dari rumah besar itu, siapa?

“Bisa jalan gak?” tanya gue namun nihil, gak ada jawaban darinya.

“Lah, tidur?”

Baru aja gue pengen ngelepas tangan Olin dari pinggang gue namun tertahan karna seorang laki-laki berbalut celana jeans dan jaket boomber hijaunya yang ngehampirin gue dengan wajah dinginnya itu.

“Siapa?”

Gue nyatuin alis gue, “lo nanya gue Bang?”

“Iya, lo siapa? temen Sea?”

Sea, siapa Sea?

“Ck, cewe yang meluk lo.”

Gue tersadar dan mengangguk, “iya Bang.”

“kenapa dia?”

“Pingsan pas lagi upacara.”

Bisa gue liat dia berdecak pelan dan nutup pintu mobil nya kencang.

“Ikut gue.”

Langsung aja gue bawa Olin ke punggung gue dan membawanya masuk ke dalam rumah.

“Kamar nya disana” ujar lelaki asing ini seraya mengarahkan tangan nya tepat ke salah satu pintu di sudut ruangan

Dengan hati-hati gue naruh Olin keatas ranjangnya dan merapihkan anak rambut yang menutup wajahnya.

“Udah kan?”

Gue mengangguk menjawab pertanyaan orang itu.

“Langsung balik, biarin dia istirahat.” ujarnya dingin.

Gue mengangguk dan merapihkan seragam gue yang lumayan lusuh, baru aja gue pengen keluar dari ruangan ini tapi gak sengaja gue ngeliat salah satu bingkai foto yang terpampang jelas di dinding kamar Olin.

“Eh?” gumam gue. Gue menatap bingkai foto yang terpajang jelas itu dengan tatapan bertanya-tanya, ada yang menarik perhatian gue pas liat foto itu.

“oi!”

“eh, iya bang.”

Gue kembali ngelanjutin langkah gue keluar dari kamar Olin. Gue gak bohong kalau gue masih bertanya-tanya soal foto yang gue liat barusan yang mirip banget sama seseorang.

“Haha, gak mungkin lah gila.” gumam gue.

Gue membuang jauh pikiran aneh di kepala gue dan berpamitan dengan laki-laki dingin yang gak gue tau siapa namanya lalu melajukan motor gue untuk kembali ke sekolah.


Di ruangan bernuansa biru dan ditemani oleh deras nya hujan diluar sana, disinilah keduanya berada, di kamar milik Ziva dengan suasana dingin yang mencekam keduanya.

“Tadi siapa?” selidik Ziva kepada kekasihnya yang tak lain dan tak bukan adalah Raka di hadapannya.

Ia baru saja mendapatkan kabar dari temannya Azhar bahwa lelaki di hadapannya ini kepergok mengantarkan perempuan lain tanpa sepengetahuan Ziva.

Ini juga tak terjadi sekali dua kali, sudah terhitung 4 kali, dan Ziva yakin bahwa perempuan itu bukan dari kerabat Raka.

Sebenarnya Ziva tak keberatan, ia hanya ingin Raka mengabarinya, itu saja.

“Temen Zii astaga...” ujar Raka dengan manik matanya yang melembut.

“Temen kaya gini?”

Ziva menunjukkan layar ponsel nya dan menampilkan Raka dengan perempuan disana.

“Zi, gak gitu,” ujar Raka seraya mengambil satu tangan kosong milik Ziva untuk ia genggam.

“Terus gimana?” tanya nya yang membuat Raka bungkam.

“Ini gak kaya yang lo pikirin Zi, dengerin dulu penjelasan gue,”

“Ya terus apa? lo bilang nongkrong sama Shaka Jean, tapi malah pergi sama cewe ini, gatau kali kemana,” “Kalo lo bosen tuh bilang Rak, gak gini, gue cape tau gak.”

“Heyy, kok bilangnya gitu?”

Ziva memberanikan menatap Raka dengan tatapan dingin nya, “Raka,” “Are you cheating behind me?”

Raka membolakan matanya, “Lo nuduh gue?” tanya nya tak terima.

“Gue gak nuduh, Gue nanya.”

“Tapi pertanyaan lo tuh kaya nuduh gue, maksud nya apa?” cecar Raka dengan suara yang meninggi yang membuat Ziva menahan nafasnya takut.

“Lo juga samanya kan, kamu deket sama Azhar dan temen cowo lo yang lain, gue juga sama cemburunya kaya lo, tapi gue diem aja karna gue tau kamu kalo dibilangin itu batu dan gak mau nyari ribut.” jelas Raka dengan nada tinggi.

“Tapi kan mereka temen gue Rak”

“Ya dia juga temen gue, gak lebih, tapi lo nya yang gak mau denger penjelasan gue!” bentak Raka dengan nafas yang memburu.

Mendengar Raka membentak dirinya barusan, Ziva tak kuasa menahan air matanya lalu memalingkan wajahnya ke lain arah.

Shiiitt misuh Raka dalam hati dan menarik rambutnya frustasi.

“Ayo putus.” ujar Ziva tanpa melihat ke arah Raka.

Raka menghela nafasnya dalam, mengatur deru nafasnya seperti sediakala dan menarik Ziva ke dalam rengkuhan nya, menaruh dagunya tepat di atas kepala perempuan itu.

“Maaf..” lirihnya seraya membelai pelan pucuk kepala Ziva di dalam rengkuhan nya.

“Lo bosen sama Gue ya, Rak?” tanya Ziva di sela segukannya.

Raka menggeleng pelan, “No, enggak lah Zi, gue gak pernah bosen sama lo.”

Ia kembali membelai halus pucuk kepala Ziva, menenangkan perempuan nya lalu mengambil nafas dalam.

“Dia adek nya bang Adim, gue setiap pulang latihan selalu di mintain tolong Zi, gue mau nolak tapi gak bisa.” “Dan tadi gue dimintain tolong buat anter dia, gue gak mau Zi, tapi bang Adim nya juga lagi sibuk,” “Lo bisa cek handphone gue.”

Ziva mengadah kan kepalanya menatap Raka di atasnya, “Kenapa lo gak ngasih tau?” tanyanya.

Raka menangkup kedua pipi Ziva di hadapannya, mengusap air mata perempuan itu dengan kedua ibu jarinya, “Gue takut lo marah, Zi.” ujarnya tertahan, “Tapi ternyata gue salah” sambungnya dengan suara bariton miliknya.

“Maaf, gue cuman gak mau yang dulu keulang lagi” ujar Ziva dengan suaranya yang kecil.

Mendengar perkataan Ziva, Raka semakin mengeratkan pelukannya, “No.. bukan salah lo, salah gue, maaf gue gak ngasih tau lo, maaf udah bentak lo, gue emosi, lo emosi, kita berdua emosi.”

“Udah ya? gak ada putus-putusan, gue gak mau lama-lama berantem sama lo, i'm sorry, gue salah.” ujarnya lalu menarik dagu Ziva untuk melihat ke arahnya dan mengusap air matanya pelan.

“Jangan nangis lagi, jelek.” celetuk Raka dan mendapatkan satu pukulan pelan di dadanya.

Raka menghela nafasnya pelan dan kembali menarik Ziva ke dalam rengkuhan nya, mengunci perempuan itu agar tidak pergi kemana pun.

“Raka,”

“Hm?”

“Lo gak marah kan sama gue?” tanya Ziva seraya mengerjapkan matanya.

Raka terkekeh geli lalu mengecup pelan jidat Ziva di hadapannya.

“Perlu di jelasin lagi?”

Ziva terkekeh, “Nggak, hehe.” dan kembali masuk kedalam rengkuhan Raka.

Keduanya saling membagi kehangatan di ruangan ini, ditemani derasnya hujan yang melebat di luar sana.

“Deuh anying, kirain pegat.” cibir Bagas di ambang pintu.

Plak

“ADAH”

“Pegat, pegat, gue dulu hampir mau ketembak enak aja pegat” omel Azhar pada Bagas di sebelahnya.

“Yee, lu ini, bukan gue.”

Plak

“GUE BUKAN SAMSAK GAMPARAN LO AZHAR ANJING”

“Bodoamat, ayo balik.”

“Terus kita ngapain ke sini jir?”

“Lu mau pulang apa tetep jadi nyamuk disini?”

Bagas membenarkan posisi tubuhnya menjadi tegap, “Ayo beybi kita pulang”


Di temani langit jingga dan angin sore yang menerpa, Olin disini mendudukan bokongnya, tepat di pinggir taman mengistirahatkan diri dari aktivitasnya.

“Kak mauu,”

Olin menoleh ke sebelahnya dan langsung menyodorkan air mineral kepada Gea, sesekali ia membelai lembut pucuk kepala gadis mungil di bawahnya itu.

“Bagi dong Linn” ujar Rangga yang tiba-tiba datang dari arah belakang.

Olin menatap jengah lelaki di hadapannya, “Punya lo mana?”

“Abis hehe.” jawabnya seraya menunjukan deretan gigi putihnya itu.

Perempuan itu mendelik ke arahnya, “Yang baru aja, jangan bareng Gea.” ujarnya seraya menyodorkan satu botol air mineral yang masih tersegel ditangannya.

“Tolong bukain dong, Hehe.”

Olin menatap sinis Rangga, Tuhan.. padahal dia bisa buka sendiri, tangan nya kan gak ilang.

Tak mau ambil pusing, Olin langsung membukakan botol minum itu dan memberikannya kepada Rangga.

“Makasih.” ujar Rangga lagi-lagi menampilkan deretan giginya dan mendaratkan bokongnya tepat di sebelah Olin.

Nafas perempuan itu tercekat, pasalnya, kursi yang mereka duduki hanya memiliki kapasitas tempat yang hanya dapat di singgahi oleh dua orang saja, ini lagi di tambah Rangga, bayangkan betapa dekatnya jarak mereka berdua.

Jangan sekarang jantung sialan!

Olin mengatur degup jantung nya, mengambil nafas dalam lalu membuangnya secara perlahan.

“Semalem lo ketiduran apa gimana?” tanya Rangga.

Olin mengangguk dengan cepat, “Iya lupa matiin layarnya.” bohongnya.

Rangga mengangguk mengiyakan dan beralih menggendong Gea, memindahkan adiknya untuk berada di antara dia dan Olin.

“Gea abis ini mau main apa lagi?” tanya Rangga lembut.

Yang ditanya asik memainkan mainan yang ada di tangan nya, “Mau disini aja sama kak Linlin.” jawabnya.

Rangga sudah tak terkejut lagi dengan Gea yang lebih memilih menghabiskan waktunya dengan perempuan di sebelah adiknya itu, dari awal ketemu saja keduanya sudah seperti ibu dan anak yang terpisahkan selama bertahun-tahun.

Terbesit di pikiran Olin tentang pernyataan Rangga tadi malam, ia masih bertanya-tanya apakah benar Rangga pernah memiliki rasa padanya?

“Ga,” panggil Olin dan di jawab dehaman oleh Rangga.

“Soal yang semalem,” “Lo beneran?”

Spontan Rangga menoleh dan manatap manik mata milik Olin di hadapannya, sedangkan Olin mati-matian meneguk saliva nya gugup.

“Yaa iya, ngapain gue bohong.” “Tapi itu dulu.”

Olin bernafas lega mendengarnya lalu bertanya, “Kalo sekarang?”

Rangga menatap Olin intens, ia tak bohong jika ia masih memiliki perasaan khusus untuk perempuan itu, walaupun ia tahu akan berakhir seperti apa.

“Mungkin?” jawabnya.

Mendengar jawaban dari Rangga, Olin kembali memalingkan wajahnya menutupi semburat merah yang terukir di wajahnya itu.

“Ayo pulang, udah mau hujan.” ajak Rangga.

“Abangg, mau ice cream!” pinta Gea gemas kepada abangnya dan disahuti anggukan.

Baru saja Rangga ingin menggendong adik perempuan nya itu, namun Gea memberontak, “Mau di gendong sama kak Linlin.” pintanya pada Rangga.

“Duh, gimana Lin?”

Olin membenarkan tas Gea di punggung nya dan mengambil alih Gea dari Rangga.

“Gapapa, sampe mobil ini.”

Ia mengangguk dan mengambil alih tas Gea, dan melanjutkan langkahnya.

“Satu ice cream vanilla ya pa,” “Lo mau?” tanya Rangga.

“Boleh deh”

“Rasa?”

“Samain aja kaya Gea.” jawab Olin dan kembali bercengkrama dengan Gea di gendongannya.

“Nih”

Rangga menyodorkan dua buah ice cream itu dan hendak membayarnya.

“Istrinya mas?”

UHUK

Olin tersedak ketika mendengar pertanyaan penjual ice cream di sebelahnya, “ISTRI? I S T R I? ISTRI?! GILA”

Rangga melebarkan bola matanya, “Bukan pak, hehe.”

“Pacarnya?”

Ingin rasanya Olin menyumpal mulut si penjual ice cream dengan cone ice cream di tangannya.

“Oh itu, doain aja”

“HAH?!”

“Waduh, semangat ya mas.” kata sang penjual pada Rangga yang masih terkekeh geli di sebelah Olin.

“Iya pak, makasih.” ujarnya lalu merangkul Olin untuk berbalik arah.

“Maksud lo apa anjir?!” “Rangga!!!!”

“Udah ayo pulang.”


Perempuan itu keluar dari area sekolah lebih dulu dengan deru nafas yang tak beraturan, tak lupa dengan sumpah serapah yang ia lontarkan ketika Rangga memanggil namanya dengan lantang.

“Udah dibilang gue gak mau bareng!!!” gumamnya kesal.

Tentu saja ia begini karna lari dari ajakan teman barunya yang tak lain dan tak bukan adalah Rangga, bisa-bisa ia menjadi buronan para pemuja Rangga nantinya.

30 menit berlalu, langit biru mulai berganti dengan si langit jingga, sedangkan Olin masih setia menunggu angkutan umum yang tak kunjung ia temui juga.

“Mana sihh??” misuhnya seraya mengedarkan pandangan mencari apa yang ia cari.

tap

“ALLAHUAKBAR”

“TAKBIR”

Perlahan Olin menoleh ke arah belakang, melihat siapa oknum pemilik tangan yang bertengger di bahunya sekarang.

“Ga, apaansih?!”

Rangga memamerkan deretan giginya, “Kan gue bilang bareng.” ujarnya.

“Gue bilang gak mau.”

“Emang mau pulang naik apa?”

“Ya angkot, lu kira gue di sini nungguin helikopter??” ujar Olin dengan entengnya sampai-sampai lelaki di sebelahnya itu tertawa.

“Yakin nih, gamau bareng?”

*“Iya.”

Rangga menyungging kan senyum nya dan beralih menuju kursi kosong yang tak jauh darinya.

“Ngapain?” tanya Olin.

“Nungguin lo”

Ingin rasanya Olin menendang keras lelaki di sebelahnya ini untuk bergegas pulang, namun seluruh tenaga nya sudah habis terpakai aksi kejar-kejaran tadi.

“Kenapa gak dateng-dateng sih..”

“Iyalah, orang abang angkot nya lagi pada demo.” gumam Rangga dengan suara kecil.

“Naik ojol aja apa ya?” “Tapi duit gue cuman cukup bayar angkot..” “Minta jemput kak Tama??”

Dengan cepat Olin menggelengkan kepalanya, meminta bantuan Tama adalah pilihan terburuk baginya.

“Mana, kok gak dateng-dateng?”

Olin menoleh ke arah Rangga yang tak jauh darinya, “Masa bareng bocah ini sih....” gumamnya dalam hati. ah, bodolah

Olin mendekat ke arah Rangga, “pulang.”

“Lah, kan belum dateng, lo mau pulang sama siapa?”

Perempuan itu mengadahkan kepalanya mengambil nafas dalam, sedangkan Rangga menahan tawanya mati-matian di sela akting pura-pura bodohnya.

“Mau bareng.”

Rangga bersorak dalam hati dan langsung memberikan satu helm yang menganggur di tangannya.

Selama perjalanan, Rangga tiada hentinya berbicara, dari mulai membahas jajanan kantin, adiknya, teman nya, bahkan tagihan kas miliknya, Olin yang mendengar ia berbicara hanya membalas dengan anggukan mengiyakan.

“Lemes banget lu lin, tipes?”

Olin memukul bahu Rangga tak terima, “Mulut lo.” *“Ga mood ngomong.”

“Nanti mulut lu di ilangin loh lin kalo gak ngomong ngomong” ujar Rangga sedikit berteriak di tengah perjalanan.

Olin tak menggubrisnya, percuma saja berdebat dengan orang ini.

“Btw, lo gamau ikut?”

“Ikut apa?”

“Lomba musik yang tadi di umumin.”

Olin terdiam sejenak, pikirannya tentang masa lalu kembali terbesit di kepalanya, dimana dulu sang ayah gemar mengajarinya gitar hingga mahir, namun sejak hari itu, hari dimana Bunda dan Ayahnya berpisah, ia tak lagi memainkan gitar kesayangannya.

“Lin?” “Olin?” “WOI”

Eh? iya,”

“iya ikut?”

Olin menggelengkan kepalanya, “Gak deh, gak minat.” tukasnya yang di sahuti anggukan oleh Rangga.

“Lo kenapa melamun?” “Kesambet?”

“Gak, gapapa.”

Mendengar nada bicara Olin yang berubah, tentu saja Rangga peka dengan keadaan, namun ia memilih untuk diam melanjutkan perjalanan.

“Makasih ya, Ga.” ujar Olin seraya menuruni motor vespa milik Rangga.

Ia melepas helm di kepalanya, memberikannya langsung kepada Rangga, namun secara tak sengaja tangan keduanya bersentuhan, bagai tersengat listrik, Olin langsung menarik tangannya dari sana.

Atmosfir diantara keduanya terasa begitu canggung, hanya terdengar suara jangkrik yang bersua dengan sesamanya di malam hari.

“Kalo gitu gue pulang.”

Olin mengadahkan kepalanya dan mengangguk, “hati-hati.” katanya.

Tiba-tiba Rangga malayangkan tangannya ke udara, menatap Olin menginsyaratkan perempuan itu untuk membalas tangannya.

clap

“Nah, gitu.”

Olin terkekeh geli, sama halnya dengan Rangga.

Sampai akhirnya Rangga benar-benar meninggalkan kediaman Olin, barulah ia memasuki rumahnya dengan langkah sedikit melompat layaknya anak kecil, entah, ia merasakan kupu-kupu terbang di perutnya.

Ia pun tak tau maksud dari perasaan ini semua, apakah ini normal atau, yang lain? Ia tidak tahu.


“PLEASEEE, PLEASE, PLEASE PLEASEEE!!”

Aku berlarian dari arah pintu utama menuju kelasku yang berada di ujung lorong dengan deru nafas ku yang menggebu.

Kesialan ku pagi ini benar-benar menyebalkan, bayangkan saja, bus yang aku tumpangi mendadak mogok di pinggir jalan dan mengharuskanku untuk beralih menaiki angkutan umum, dan sial nya lagi aku terjebak di antara kemacetan ibu kota pagi ini, siallll!!

BRAKK

Aku mengatur nafasku yang terengah-engah lalu menegapkan tubuh, “maaf.. saya telat bu, ta-”

“Lagi? telat lagi?”

Aku terkesiap mendengar kalimat barusan, sialll, aku lupa jam pertama di kelasku di isi oleh guru killer pagi ini.

“Apa lagi alasan kamu kali ini, orline?” tanya nya mengintimidasi

“Tadi bus saya mogok bu, dan saya kena macet di jalan”

“Kenapa kamu gak bangun pagi?”

“Udah bu, tapi saya keje-”

“KELUAR!” belum selesai aku melanjutkan kalimat ku ia sudah memotong dengan bentakannya yang membuat diriku sedikit terkesiap karnanya.

“berdiri di lapangan sampai pelajaran saya selesai” ujarnya penuh penekanan.

Aku menundukkan kepala ku lalu berbalik badan dan melangkahkan kaki menuju lapangan, kenapa, kenapa aku selalu saja di timpa oleh kesialan, kenapa?

Aku bertanya-tanya, apasih dosa yang aku perbuat di masa lalu sehingga aku harus membayar semuanya di kehidupan saat ini??

Ingin rasanya aku menangis saat ini juga, namun ku tahan karna aku tak mau terlihat jelek disini.

Masa hari ku sudah jelek, muka ku ikutan juga? Aku tak sudi.

Aku masih setia menatap terik nya matahari di atasku, sampai akhirnya pemandangan itu terganti oleh sebuah tangan yang mengudara di hadapanku.

“Gak cape liat ke atas terus?”

Dengan cepat aku menoleh ke arah lelaki yang tak lain dan tak bukan adalah Rangga yang berdiri tepat di sebelahku, demi Tuhann, dia ngapain sihh??

Sejak beberapa hari yang lalu, aku benar-benar menghindarinya, tapi sialnya orang ini malah semakin mencari perhatian kepadaku, dia ini maunya apasih?

“Lo ngapain disini? mau ikut di hukum juga?”

“Hmm, iya.”

Aku menatapnya heran, sedangkan ia masih menatap netraku dengan kedua manik mata miliknya yang terlihat damai.

“Balik lagi, gue gak mau kena masalah lagi gara-gara lo”

Ia menggeleng pelan, “gue emang udah di hukum, ngapain gue balik lagi?”

Aku menghela nafasku dalam, lihat, aku semakin menjadi pusat perhatian disini

“Sorry.”

Perlahan aku menoleh ke arahnya, begitupun dengan dia.

“Maaf, Lin.” ujarnya lagi dengan tatapan lembutnya itu.

“Buat?”

“Kemarin, sorry gue udah lancang sama lo.” “Dan juga orang-orang yang ngomongin lo, maaf.”

“Bukan salah lo.”

Ia melirik ku lalu terkekeh, “mau salah gue atau bukan, intinya gue mau minta maaf aja.”

Aku memutar bola mataku malas, “iya.” jawab ku tak ambil pusing.

Atmosfir antara aku dan dia menjadi hening kembali, tak ada diantara kita yang memulai pembicaraan, baik aku, maupun dia.

Aku melirik ke arah segerombolan pemuja Rangga yang tak jauh dari posisi ku, dasar caper tak kenal waktu.

“Apa sih yang mereka sukain dari lo, Ga?” tanya ku pada Rangga.

“Karna gue ganteng” jawabnya dengan penuh percaya diri.

Aku mendelik ke arahnya, dasar lelaki aneh.

“Kalo lo,” “Kenapa lo gak suka banget sama gue?”

“Gue gasuka semua orang”

“Lo kelainan?” ujarnya yang langsung aku suguhi dengan tatapan sengit, kelainan pala mu.

“Lo tuh gaada temen selain Ella ya?”

“Iya.”

“Lo gak mau nambah temen lagi gitu?”

Aku menghela nafasku dalam, “Yang mau temenan sama gue dia doang.” jelasku.

“Gue mau kok.”

Aku terkejut dengan perkataan nya barusan dan menatapnya meminta penjelasan.

“Gue mau jadi temen lo” jelasnya dengan senyum yang merekah

“Lo gak bakal bisa temenan sama gue”

“Hmm, kata siapa? kan belum di coba”

“Gak mau, lo nyebelin”

Dengan tiba-tiba ia merubah raut wajahnya yang di gemas-gemaskan, mau apa dia?

“Gue gak bakal nyebelin kok, lin”

Aku memutar bola mataku malas dan mengangkat tangan ku menyerah, “Terserah lah.”

Ia kembali merubah raut wajahnya kesenangan, “Oke, we're friends right now”

Ia menaikkan sebelan tangan nya ke udara, menginsyaratkan aku untuk membalasnya

Tak

Aku menepuk tangannya sekilas, dan ya, dia kembali memamerkan senyum bodohnya itu.

Tanpa aku sadari, sudut bibirku terangkat dengan sendirinya, ya... sepertinya bukan ide buruk untuk mencoba berteman dengannya.