261 — (un)lucky
Kalian tahu rasanya kesal, tapi tidak bisa tersalurkan rasa kesalnya? Eren mengalaminya sekarang.
Sejak dosennya—yang menyebalkan—itu berada di depan rumahnya, Eren rasanya ingin pindah rumah. Pergi jauh kalau bisa. Apa yang diinginkan dosennya itu? Tidak kasihan dengan jantungnya yang selalu terkejut dengan semua kejutan yang Pak Levi berikan?
Jantung Eren itu cuman satu, kalau misal terlalu sering berdebar tidak karuan bagaimana? Pak Levi mau tanggung jawab? Karena hanya beliau yang bisa membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Setelah mengabarkan jika Pak Levi sudah di depan, Eren sudah ingin mengusirnya, mengatakan jika ia tidak jadi survey. Namun, balasan dosennya sudah seribu langkah lebih maju dari pada alasan yang Eren buat—dan membuatnya gagal kabur. Terlebih, balasan Pak Levi untuk menemui kedua orang tuanya. Membuat Eren menjerit.
Eren otomatis berteriak dengan kencang, melampiaskan semua emosi dan meredam sorak sorai di dada. Namun, teriakannya terdengar sampai luar. Pak Levi mendengarnya.
Mampus.
Lalu, Eren pun akhirnya keluar dan membukakan pintu pagar untuk Pak Levi—yang hari sangat tampan—sedikit tampan. Dosennya itu mengenakan kemeja abu-abu yang ia gulung sampai siku dan celana kain berwarna hitam. Tidak lupa dengan leather jaket yang tersampir di jok sepeda motor beatnya.
“Bapak kenapa ke sini?” tanya Eren, sekali lagi.
Levi menatapnya sebelum menjawab, “Sudah saya jawab di whatsapp. Kamu tidak bisa baca?”
Bukan Pak Levi Ackerman kalau tidak membuat orang lain kesal—terlebih dirinya.
“Iya, Pak, tapi kok tiba-tiba? Gak ada angin gak ada hujan.”
“Memang kalau ingin bertemu perlu alasan ya?” jawaban Pak Levi telak membuat kedua pipi Eren bewarna merah, Eren salah tingkah.
“Y-ya kok pengen ketemu?” tanya Eren. Ia kini menundukkan kepalanya, malu menatap mata Pak Levi. Ia malu juga jika Pak Levi melihat wajahnya yang memerah malu.
“Karena saya suka. Ini saya tidak diizinkan masuk?”
“Oh iya. Maaf Pak. Silakan masuk, maaf kalau rumah saya kecil dan berantakan, apalagi ada monyet di dalam.”
Seperti yang Eren katakan, rumahnya sederhana. Memiliki perkarangan yang luas dan asri serta ketika masuk ke rumahnya, terasa nyaman, apalagi ketika disambut dengan aroma khas bumbu dapur yang membuat perut berbunyi.
“Maaf ya, Pak Levi menunggu saya lama ya? Saya baru bangun tidur. Cuman ada Abang sama Bunda aja di rumah.”
“Tidak apa-apa.”
“Saya mandi dulu, ya Pak. Bapak tunggu di sini saja, kalau ada monyet yang menghampiri, Bapak abai saja,” setelah mengatakan itu, Eren pergi. Meninggalkan Levi seorang diri di ruang tamu. Lengkap dengan cemilan yang memang sengaja diletakkan di sana.
Sambil menunggu Eren, niatnya Levi ingin memberi kabar ke Erwin jika rencananya berhasil, ia bisa keluar dengan Eren. Namun, total batal. Ada pria yang lebih tinggi darinya—lebih besar dan juga berjenggot. Pria yang Levi lihat dan ia cemooh tadi—mungkin ini yang dimaksud monyet sama Eren, tampangnya memang seperti monyet.
“Dosennya adek gue ya?” tanya pria itu, ia juga ikut duduk menemani Levi.
Levi menjawabnya dengan mengangguk, tanda mengiyakan.
“Lo naksir adek gue ya?”
Levi terkejut, bahkan Levi tidak menyembunyikan raut terkejutnya. Dari mana pria itu tahu?
“Lo obvious banget kali, tapi obvious pun adek gue emang bego.”
Betul, Eren memang bodoh. Eren tidak menangkap sinyal yang Levi beri selama ini.
“Kenalin, gue Zeke Yeager. Abangnya Eren, ya maaf kalau gue lebih ganteng dari Eren, Eren termasuk produk gagal,” jelas Zeke dengan memperkenalkan dirinya.
Eren produk gagal? Menurut Levi, Zeke yang produk gagal, tapi Levi tidak mengucapkannya. Ia masih ingin mendapat restu dari calon kakak iparnya itu.
“Saya Levi Ackerman,” singkat, padat dan jelas.
Setelah itu suasana keduanya canggung, tidak ada yang memulai pembicaraan lagi.
“Abang,” suara Eren menyadarkan mereka, membuyarkan suasana canggung yang terjadi sebelumnya.
“Abang bicara apa sama Pak Levi?” tanya Eren sambil berbisik.
“Rahasia dong,” jawab Zeke sambil tersenyum jahil.
Eren membalasnya dengan sebuah cubitan kecil, matanya pun mendelik; mengancam.
“Selamat kencan ya, gue ke kamar deh.”
“Apaan sih yang kencan.”
Survey ke industri bukan kencan. Abangnya itu selalu jahil, tapi lihat-lihat dulu, ini masih ada Pak Levi. Masih ada dosennya.
Wajah Eren sudah seperti kepiting rebus; malu.
“Mau berangkat sekarang?” tanya Levi dengan suara datarnya.
“Iya, Pak. Pamit Bunda dulu ya.”
Levi mengangguk. Ia masih duduk di ruang tamu sedangkan Eren memanggil Bunda-nya.
“Maaf ya, Pak Levi. Saya baru tahu kalau dosen Eren berkunjung.”
Levi tertawa. Eren melihatnya dengan tidak percaya. Pak Levi tertawa dan juga tersenyum ketika berbicara dengan Bunda.
“Tidak apa-apa, Bu. Saya juga minta izin untuk mengantar Eren.”
“Iya, Pak Levi. Silakan. Semoga Eren tidak merepotkan, Bapak.”
“Ih, mana ada aku ngerepotin, Bun,” protes Eren.
“Kamu tidak pernah merepotkan saya,” balas Levi.
Carla tersenyum, paham jika Levi melihat Eren bukan sebagai mahasiswanya saja. Tatapan Levi mencurahkan semuanya, perasaan sayang dan juga cinta. Memperlakukan si lebih muda dengan lembut meskipun ekspresinya juga datar.
Si lebih muda yang masih merajuk, akhirnya pamit dan salam. Meninggalkan Levi.
Eren berjalan dengan kesal karena masih kesal. Seharusnya yang merepotkan itu Pak Levi. Datang seenaknya saja.
“Jangan kesal.”
Eren menoleh. Kini Levi ada di sampingnya, ikuti langkah kakinya menuju ke motor dosennya itu.
“Gak ada yang kesal,” ujar Eren.
“Saya tahu kamu kesal,” Levi membalas Eren ketika mereka sudah sampai di motor beat milik Levi. Levi mengambil helm yang telah ia siapkan dan memasangkannya ke kepala Eren. Tidak hanya memasangkannya tapi juga merapikan rambut Eren yang berantakan terkena angin.
Eren terpana. Matanya telak menatap tepat di manik Levi. Memandangnya dengan ribuan tanya. Sampai ia tidak sadar jika sang objek sudah berpindah menaiki motornya.
“Ren,” panggil Levi.
“Eh iya, Pak. Maaf tadi tiba-tiba ngelamun.”
“Melamunkan apa sih, cepat naik. Peluk saya ya, biar tidak jatuh.”
Dan Eren betul-betul memeluk Levi. Melingkarkan tangannya ke pinggang Levi. Jujur, ia sendiri juga tidak tahu. Eren mengikuti kata hatinya—dan ternyata tidak buruk. Walau jantung Eren terus berdebar di setiap jalan menuju industri. Eren hanya bisa berdoa jika Pak Levi tidak mengetahui detak jantungnya yang berisik.