zeee

Kalian tahu rasanya kesal, tapi tidak bisa tersalurkan rasa kesalnya? Eren mengalaminya sekarang.

Sejak dosennya—yang menyebalkan—itu berada di depan rumahnya, Eren rasanya ingin pindah rumah. Pergi jauh kalau bisa. Apa yang diinginkan dosennya itu? Tidak kasihan dengan jantungnya yang selalu terkejut dengan semua kejutan yang Pak Levi berikan?

Jantung Eren itu cuman satu, kalau misal terlalu sering berdebar tidak karuan bagaimana? Pak Levi mau tanggung jawab? Karena hanya beliau yang bisa membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

Setelah mengabarkan jika Pak Levi sudah di depan, Eren sudah ingin mengusirnya, mengatakan jika ia tidak jadi survey. Namun, balasan dosennya sudah seribu langkah lebih maju dari pada alasan yang Eren buat—dan membuatnya gagal kabur. Terlebih, balasan Pak Levi untuk menemui kedua orang tuanya. Membuat Eren menjerit.

Eren otomatis berteriak dengan kencang, melampiaskan semua emosi dan meredam sorak sorai di dada. Namun, teriakannya terdengar sampai luar. Pak Levi mendengarnya.

Mampus.

Lalu, Eren pun akhirnya keluar dan membukakan pintu pagar untuk Pak Levi—yang hari sangat tampan—sedikit tampan. Dosennya itu mengenakan kemeja abu-abu yang ia gulung sampai siku dan celana kain berwarna hitam. Tidak lupa dengan leather jaket yang tersampir di jok sepeda motor beatnya.

“Bapak kenapa ke sini?” tanya Eren, sekali lagi.

Levi menatapnya sebelum menjawab, “Sudah saya jawab di whatsapp. Kamu tidak bisa baca?”

Bukan Pak Levi Ackerman kalau tidak membuat orang lain kesal—terlebih dirinya.

“Iya, Pak, tapi kok tiba-tiba? Gak ada angin gak ada hujan.”

“Memang kalau ingin bertemu perlu alasan ya?” jawaban Pak Levi telak membuat kedua pipi Eren bewarna merah, Eren salah tingkah.

“Y-ya kok pengen ketemu?” tanya Eren. Ia kini menundukkan kepalanya, malu menatap mata Pak Levi. Ia malu juga jika Pak Levi melihat wajahnya yang memerah malu.

“Karena saya suka. Ini saya tidak diizinkan masuk?”

“Oh iya. Maaf Pak. Silakan masuk, maaf kalau rumah saya kecil dan berantakan, apalagi ada monyet di dalam.”

Seperti yang Eren katakan, rumahnya sederhana. Memiliki perkarangan yang luas dan asri serta ketika masuk ke rumahnya, terasa nyaman, apalagi ketika disambut dengan aroma khas bumbu dapur yang membuat perut berbunyi.

“Maaf ya, Pak Levi menunggu saya lama ya? Saya baru bangun tidur. Cuman ada Abang sama Bunda aja di rumah.”

“Tidak apa-apa.”

“Saya mandi dulu, ya Pak. Bapak tunggu di sini saja, kalau ada monyet yang menghampiri, Bapak abai saja,” setelah mengatakan itu, Eren pergi. Meninggalkan Levi seorang diri di ruang tamu. Lengkap dengan cemilan yang memang sengaja diletakkan di sana.

Sambil menunggu Eren, niatnya Levi ingin memberi kabar ke Erwin jika rencananya berhasil, ia bisa keluar dengan Eren. Namun, total batal. Ada pria yang lebih tinggi darinya—lebih besar dan juga berjenggot. Pria yang Levi lihat dan ia cemooh tadi—mungkin ini yang dimaksud monyet sama Eren, tampangnya memang seperti monyet.

“Dosennya adek gue ya?” tanya pria itu, ia juga ikut duduk menemani Levi.

Levi menjawabnya dengan mengangguk, tanda mengiyakan.

“Lo naksir adek gue ya?”

Levi terkejut, bahkan Levi tidak menyembunyikan raut terkejutnya. Dari mana pria itu tahu?

“Lo obvious banget kali, tapi obvious pun adek gue emang bego.”

Betul, Eren memang bodoh. Eren tidak menangkap sinyal yang Levi beri selama ini.

“Kenalin, gue Zeke Yeager. Abangnya Eren, ya maaf kalau gue lebih ganteng dari Eren, Eren termasuk produk gagal,” jelas Zeke dengan memperkenalkan dirinya.

Eren produk gagal? Menurut Levi, Zeke yang produk gagal, tapi Levi tidak mengucapkannya. Ia masih ingin mendapat restu dari calon kakak iparnya itu.

“Saya Levi Ackerman,” singkat, padat dan jelas.

Setelah itu suasana keduanya canggung, tidak ada yang memulai pembicaraan lagi.

“Abang,” suara Eren menyadarkan mereka, membuyarkan suasana canggung yang terjadi sebelumnya.

“Abang bicara apa sama Pak Levi?” tanya Eren sambil berbisik.

“Rahasia dong,” jawab Zeke sambil tersenyum jahil.

Eren membalasnya dengan sebuah cubitan kecil, matanya pun mendelik; mengancam.

“Selamat kencan ya, gue ke kamar deh.”

“Apaan sih yang kencan.”

Survey ke industri bukan kencan. Abangnya itu selalu jahil, tapi lihat-lihat dulu, ini masih ada Pak Levi. Masih ada dosennya.

Wajah Eren sudah seperti kepiting rebus; malu.

“Mau berangkat sekarang?” tanya Levi dengan suara datarnya.

“Iya, Pak. Pamit Bunda dulu ya.”

Levi mengangguk. Ia masih duduk di ruang tamu sedangkan Eren memanggil Bunda-nya.

“Maaf ya, Pak Levi. Saya baru tahu kalau dosen Eren berkunjung.”

Levi tertawa. Eren melihatnya dengan tidak percaya. Pak Levi tertawa dan juga tersenyum ketika berbicara dengan Bunda.

“Tidak apa-apa, Bu. Saya juga minta izin untuk mengantar Eren.”

“Iya, Pak Levi. Silakan. Semoga Eren tidak merepotkan, Bapak.”

“Ih, mana ada aku ngerepotin, Bun,” protes Eren.

“Kamu tidak pernah merepotkan saya,” balas Levi.

Carla tersenyum, paham jika Levi melihat Eren bukan sebagai mahasiswanya saja. Tatapan Levi mencurahkan semuanya, perasaan sayang dan juga cinta. Memperlakukan si lebih muda dengan lembut meskipun ekspresinya juga datar.

Si lebih muda yang masih merajuk, akhirnya pamit dan salam. Meninggalkan Levi.

Eren berjalan dengan kesal karena masih kesal. Seharusnya yang merepotkan itu Pak Levi. Datang seenaknya saja.

“Jangan kesal.”

Eren menoleh. Kini Levi ada di sampingnya, ikuti langkah kakinya menuju ke motor dosennya itu.

“Gak ada yang kesal,” ujar Eren.

“Saya tahu kamu kesal,” Levi membalas Eren ketika mereka sudah sampai di motor beat milik Levi. Levi mengambil helm yang telah ia siapkan dan memasangkannya ke kepala Eren. Tidak hanya memasangkannya tapi juga merapikan rambut Eren yang berantakan terkena angin.

Eren terpana. Matanya telak menatap tepat di manik Levi. Memandangnya dengan ribuan tanya. Sampai ia tidak sadar jika sang objek sudah berpindah menaiki motornya.

“Ren,” panggil Levi.

“Eh iya, Pak. Maaf tadi tiba-tiba ngelamun.”

“Melamunkan apa sih, cepat naik. Peluk saya ya, biar tidak jatuh.”

Dan Eren betul-betul memeluk Levi. Melingkarkan tangannya ke pinggang Levi. Jujur, ia sendiri juga tidak tahu. Eren mengikuti kata hatinya—dan ternyata tidak buruk. Walau jantung Eren terus berdebar di setiap jalan menuju industri. Eren hanya bisa berdoa jika Pak Levi tidak mengetahui detak jantungnya yang berisik.

Eren makin gelisah ketika handphone-nya berdering terus; Levi tidak bosan meneleponnya lagi dan lagi. Eren berusaha abai, tapi setiap nada dering yang terdengar seperti nada kematian.

Apalagi Armin sampai saat ini tidak kunjung datang di titik pertemuan mereka.

“Ren,”

Akhirnya Armin datang dengan napas yang kembang kepis dan banyak peluh di wajah-nya.

“Lo harus cepet kabur, Reiner sudah nunggu di taman sebelah indoapril, lo tau kan?”

Eren mengangguk tanda mengerti dan bingung saat mendapati Armin mulai memanjat pohon yang ada di sana.

Jadi mereka kabur dengan manjat pohon? Terus loncat dari pagar setinggi tiga meter?

“Udah cepet naik, gak usah dipikir. Paling luka dikit.” Setelah mengatakan itu, dengan gamblangnya Armin loncat begitu saja. Tidak ada rasa takut sama sekali.

Eren masih berpikir untuk tetap stay atau mengikuti Armin. Ia saja tidak berani naik ke pohon itu, pengalamannya dengan memanjat pohon tidak begitu baik.

“Woi, Eren Yeager.”

Fuck. Panggilan itu pasti dari pasukan Levi. Eren panik dan tanpa pikir panjang langsung memanjat pohon tanpa rasa takut sama sekali, rasa takutnya kepada Levi ternyata lebih besar. Di depan pagar sana ada Levi Ackerman berdiri menunggunya—dengan lebih dari sepuluh orang yang siap untuk menghadangnya.

Demi neputunus Eren masih ingin hidup dan tanpa pikir panjang ia langsung loncat dari ketinggian tiga meter, tanpa mengetahui jika di bawah sana—berdiri seorang Levi Ackerman yang menyilangkan tangannya.

Eren melompat dan arahnya mendarat tepat di atas Levi. Levi yang belum siap ditimpa Eren pun akhirnya ikut jatuh dengan Eren menimpa Levi.

Cup

Seperti sebuah film yang melambat, Eren menatap mata Levi dengan lekat. Bibir mereka bersentuhan dan tidak ada yang menghentikan mereka sama sekali, seolah dunia menikmati momen tersebut.

“Eren.”

Eren yang sadar langsung beranjak dan berlari meninggalkan Armin dan Levi. Ia malu karena bukannya kabur, ia malah berciuman dengan Levi; cowok yang seharusnya ia hindari.

Levi yang masih shock—berdiri mematung sambil menatap kepergian Eren. Marahnya kini hilang, diganti rasa aneh dan membuatnya tersenyum tipis. Dan mulai saat itu hidup Eren Yeager akan selalu dikejar oleh Levi Ackerman.

Pak Levi meneleponnya lagi. Dan Eren dengan berat hati mengangkat panggilan dari dosennya itu.

Orang yang menelepon masih diam, tidak ada kata sapaan sama sekali.

“Halo, Pak.”

“Halo, Eren.”

Eren mengelus dadanya, kenapa dosennya ini menjadi menyebalkan. Ya sudah kalau misal beliau ingin konsultasi lewat telepon, tapi ia masih tidak terbiasa. Jantungnya masih tidak sehat, terlebih setelah mencari tahu kenapa dosennya ini bilang kalau misal Eren lucu. Lucu, katanya.

“Saya sebenarnya tidak ingin konsultasi yang serius, Pak Levi. Hanya ingin menginformasikan kalau misal besok saya mau survey ke perusahaan sebelum mengukur timbulan selama delapan hari.” Jelas Eren panjang lebar.

“Ok, kalau ada kendala jangan lupa kabari saya.”

Kata-kata itu lagi, kata-kata yang bisa ia dapatkan melalui pesan whatsapp.

Eren sebenarnya sudah mulai sedikit sadar jika perlakuan dosennya itu sangat berbeda dengan perlakuannya ke mahasiswa lain. Namun, Eren menyangkal. Tidak boleh ada hubungan antara mahasiswa dengan dosen. Tabu.

“Tidak ada yang ingin Pak Levi sampaikan selain itu? Kalau iya, boleh saya matikan teleponnya?” tanya Eren dan Levi pun panik. Ia masih ingin berbicara dengan Eren. Ia harus melakukan sesuatu.

“Kamu baru bimbingan hari ini, selama sebulan kemarin ngapain saja?”

Mampus. Eren tidak menyangka jika ia mendapatkan pertanyaan itu, tapi dengan percaya diri dia menjawabnya.

“Satu bulan kemarin saya melakukan persiapan dengan membeli beberapa alat yang akan saya gunakan untuk pengukuran, Pak.”

“Kotak densitas sudah dibuat?”

“Sudah, Pak.”

“Kalau kotak hati kamu?”

“Hah?” Eren melongo, pertanyaan lain yang membuatnya terkejut lagi. Namun, sebelum menjawabnya, panggilan itu sudah terputus.

Eren memantapkan hatinya dan berkali-kali menenangkan jantungnya yang berdetak kencang, sama seperti Levi di seberang sana. Ia memang sangat agresif dari pada sebelumnya tapi hatinya tetap saja tidak karuan.

Dalam waktu satu menit setelah pesan Eren masuk ke handphone Levi, ia pun menelepon Eren.

Cepat.

Eren dengan cepat mengangkatnya, tidak ingin jika dosennya menunggu lebih lama dan revisian ini segera berakhir.

“Selamat Siang, Pak Levi.” Sapa Eren. Manusia yang disapa hanya bisa diam membisu, terpana dengan kecantikan dari anak bimbingnya itu. Pikirannya penuh dan tangannya dari tadi sibuk menjepret layar handphonenya, mengabadikan Eren yang ada di sana.

“Pak? Apakah suara saya terdengar jelas?” Sekali lagi Eren bertanya karena layar Pak Levi juga hitam, antara Pak Levi mematikan kamera atau koneksinya buruk.

“Sangat jelas Eren.”

“Saya kira koneksinya buruk, Pak. Sebelumnya saya mau minta maaf kalau misal tidak sopan karena abai sama telepon bapak.”

“Ya, tidak apa-apa. Bagaimana revisi dari saya?”

“Sudah selesai, Pak. Namun, Pak Mike masih belum memberikan acc karena saya masih belum mendapatkan tanda tangan dari bapak.”

Pak Levi membalasnya dengan mengangguk, tanda mafhum, meskipun Eren sama sekali tidak melihatnya karena Levi masih mematikan kameranya.

“Saya akan acc, revisi dari saya sebelumnya bisa kamu kerjakan sambil lalu saja. Selamat mengerjakan progress, Eren. Kalau ada kendala bisa hubungi saya. Sekian dari saya.”

“Baik, Pak. Terima kasih atas waktunya, tapi saya minta tanda acc dichat juga, Pak. Buat bukti ke Bu Petra.”

“Iya, Eren. Kamu bisa matikan video callnya.”

Setelah itu Eren mematikan video call tersebut. Dan dirinya sekarang dibuat bingung karena semua perkataan Pak Levi bisa ia sampaikan hanya lewat chat saja tanpa perlu video call, memang dosennya yang satu ini agak sedikit aneh.

tags; explicit content 🔞, male lactation, nipple play, top levi, bottom eren, pwp.


Levi tidak akan menyangka jika hidup-nya akan bergantung dengan Eren Yeager sebesar ini. Tidak hanya dirinya tapi juga dengan putrinya; Mikasa Ackerman.

Pertama kali melihat Eren bekerja di rumahnya untuk menyusui Mikasa, Eren membuat kewarasan Levi menghilang.

Ia Levi Ackerman—ingin sekali menerkam Eren Yeager yang tidak mengenakan atasan saat menyusui anak-nya. Ia melihat dada yang meskipun tidak besar tapi sangat ingin ia sentuh.

Melihat anaknya yang begitu menyusu dengan kuat membuatnya juga ingin. Ia ingin berada diposisi anaknya—menyusu ke dada Eren Yeager. Menyedot dengan keras hingga dada omega male itu membengkak.

Eren yang sadar jika saat ini ada orang lain selain dirinya dan juga Mikasa akhirnya mulai mencari—mencari keberadaan seseorang dan saat melihat Levi, Eren pun terkejut. Wajahnya memerah karena ia benar-benar malu tidak mengenakan pakaiannya, Eren telanjang dada. Ini adalah sebuah kebiasaannya jika ia akan menyusui bayi-bayi imut—yang membutuhkan air susunya.

“Ah maaf,” kata Eren dengan berbalik memunggungi Levi. Berusaha meraih kemeja putih yang tergeletak dibawah kakinya. Meraih dan berusaha mengenakannya kembali—dengan Mikasa yang masih ada digendongannya dan asyik menyusu.

“Saya pikir anda tidak akan pulang secepat ini dan saya lebih nyaman bekerja jika tidak mengenakan baju. Maaf.” jelas Eren dengan canggung.

“Seharusnya saya yang meminta maaf karena begitu tiba-tiba.” Levi juga membalasnya tidak kalah canggung.

Butuh waktu sepuluh menit untuk Eren menyelesaikan pekerjannya dan kini Mikasa sudah tertidur dalam gendongannya. Berjalan menuju ke kamar Mikasa tanpa memandang Levi yang melihatnya dari tadi.

Eren masih malu dan sebisa mungkin menghindar dari pria bersurai hitam dengan matanya yang tajam, menunjukkan aura dominan yang sangat kuat.

Eren sangat lemah dengan pria seperti Levi; tampan, mapan, dan juga menggiurkan. Eren berharap jika ia tidak akan bertemu dengan Levi lagi.

Malam itu diakhiri dengan Eren pamit dan Levi hanya bisa mengantarkan omega male itu sampai gerbang saja—taksi pesanan Eren sudah menunggu diluar.

“Saya pamit, Pak.”

“Hati-hati, Eren.”

Percakapan dan momen keduanya hanya sebatas itu. Levi ingin lebih dan bantuan mama-nya adalah solusi terbaik saat ini. Ia meminta mama-nya agar Eren bisa menjadi sitter Mikasa—dan juga dirinya.

[]

Tawaran itu datang. Menjadi sitter Mikasa dan dua puluh empat jam dalam tujuh hari akan mengurus Mikasa. Eren senang karena menurutnya ini pekerjaan yang menyenangkan. Bonus bisa melihat duda satu anak yang aura dominannya sangat kuat, tampan paripurna, dan kaya raya.

Hari-hari Eren tidak ada yang berubah secara drastis. Dua puluh empat jam mengurus Mikasa—bisa dikatakan hidup Eren jauh lebih mudah. Ia tidak terlalu memikirkan akan makan apa karena semua lengkap dikulkas.

Bisa dikatakan juga kalau Eren seperti pasangan Levi. Bahkan Eren merasakan jika alpha tersebut menyukai dan ingin menerkam dirinya.

Tidak hanya sekali dua kali, Eren memergoki Levi yang menatapnya dengan lapar saat ia menyusui Mikasa.

Eren merasa tersiksa karena hormonnya juga terangsang dan ingin ia keluarkan. Tidak hanya Levi yang tersiksa karena harus menahan diri.

Sampai hari itu tiba.

Hari Sabtu Levi libur dan waktunya bermain dengan anak tercintanya. Eren bisa sedikit senggang karena kini ada Levi. Eren baru mengurus Mikasa jika waktunya untuk nyusu—selain itu semua tugas mengurus Mikasa dilakukan oleh Levi.

Awalnya Eren tidak merasa aneh tapi tiba-tiba sekujur tubuhnya memanas—tanda pre-heat. Siklus heatnya akan segera datang.

Eren yang lemah hanya bisa merintih dikasur kamar-nya.

Levi yang berada di ruang tamu mencium sesuatu yang manis, sesuatu yang sangat lezat untuknya. Feromon Eren. Omega itu akan heat.

Levi bergegas menghubungi ibu-nya karena Mikasa akan menginap malam ini—sampai keadaan membaik—atau saat heat Eren telah usai. Menitip anaknya ke tempat yang aman. Dan dia disini untuk menemani Eren—kalau Eren setuju. Kalau tidak ia akan pergi ke rumah ibunya.

“Ma, Eren heat. Levi mau nitip Asa ya, nanti Asa Levi antar.” Setelah mematikan telepon-nya, Levi menghampiri Eren—mengecek keadaan Eren—yang sedang berbaring dengan lemas dikasur.

“Eren,”

“Alpha.. alpha..”

“Saya antar Asa terlebih dahulu. Kalau kamu minta saya untuk tinggal, saya akan tinggal.” Ucap Levi.

“Jangan pergi... alpha. Panas..”

“Tunggu sebentar ya, saya antar Asa ke tempat Mama.”

[]

Levi berlari setelah memarkir mobilnya. Berlari cepat ke kamar omega-nya. Omeganya telah menunggu. Dan benar saja, pemandangan indah disuguhkan saat ia baru saja membuka pintu.

Eren—omega-nya—naked—tanpa mengenakan sehelai benang.

Levi perlahan mendekati Eren, sekujur tubuhnya juga merasakan hal yang sama. Sebuah ketertarikan yang selama ini ia tahan—dan mungkin akan ia lepaskan malam ini.

“Alpha.. bantu aku.”

“Ren, kamu mungkin akan marah. Maaf kalau saya lancang. Tapi saya juga mau kamu.”

“Alpha, bantu aku...”

Levi mulai memeluk Eren erat, menghirup scent Eren yang sangat memabukkan.

Levi memagut bibir Eren pelan, perlahan tapi pasti—menginvasi semua rongga dalam mulut Eren. Mencecapnya, manis; rasa strawberry.

“Saya suka dengan rasa bibir kamu,” ucap Levi dengan memandang Eren. Menatapnya penuh damba. Levi kembali melabuhkan bibir-nya ke bibir Eren. Menciumnya liar sebelum ia beralih ke tulang selangka. Memberikan tanda bewarna merah keunguan yang tidak hanya satu.

Ahhhhh.

Suara desahan Eren, keras dan tidak ditahan sama sekali. Membuat Levi semakin semangat. Ia kembali memberi banyak tanda di leher jenjang Eren.

Setelah puas dengan karyanya, Levi beralih ke tempat yang selama ini ia damba, tempat anak-nya makan dan mendapatkan nutrisi.

Eren yang awalnya sudah naked semakin memudahkan Levi. Ia tidak perlu lagi membuka dan sekarang tinggal menikmati minuman yang selalu ingin ia minum.

Levi memulainya dengan dengan belaian, jari-nya memberikan gerakan memutar pada aerola Eren yang bewarna pink.

Ahhhhh

Seperti tersetrum badan Eren menerimanya dengan sangat baik, desahan Eren semakin keras dan badan-nya menggeliat dengan hebat. Geli tapi juga nikmat. Dadanya seakan membengkak dan sakit, ia ingin Levi segera menyusu kepadanya. ASI itu harus segera dikeluarkan.

“Alpha, sakit...”

“Dimana yang sakit?” Levi bertanya dan mencubit pelan puting Eren sampai mengeluarkan sedikit air susu.

“Di situ.” Eren menggumam, memberikan petunjuk jika bagian dada-nya yang sakit.

Levi menangkap sinyal Eren dan bermain dengan dada Eren. Membelai pelan dengan lidahnya, dan menggigitnya.

Ahhhhhh” desahan Eren lolos dan tangannya menjambak rambut undercut Levi.

Levi menyusu dengan kencang ke dada Eren, meminum air susu yang biasa ia mimpikan. Pantas saja jika anaknya sangat menyukai ini, rasanya manis.

“Kamu tahu, saya selalu iri dengan Asa. Saya selalu ingin menyusu seperti ini, menyedotnya dengan kencang.”

Levi kembali menyedot dengan kencang, takut jika besok ia tidak bisa menyedotnya lagi. Tangannya juga tidak tinggal diam, ia memelintir puting Eren yang satunya, membuat Eren mendapatkan klimaks pertamanya.

Eren klimaks hanya dengan Levi yang menyusu padanya. Dan kegiatan ini berlangsung selama satu jam. Eren sudah berkali-kali mendapatkan klimaksnya bahkan sebelum Levi masuk dalam kegiatan inti mereka. Menyusu pada Eren belum membuatnya bosan.

Setelah puas, Levi melanjutkan ke kegiatan inti. Membuat Eren tidak berdaya di bawah kuasanya sampai siklus heat Eren selesai.

Pengumuman selalu menjadi moment yang mendebarkan; sebuah hasil. Eren bisa lanjut atau perlu mengulan seminar proposal gelombang dua. Eren sangat yakin jika dirinya akan lulus—dilihat dari sidang yang tidak buruk dan berjalan cepat. Eren bisa melaluinya dengan mudah.

Semua dosen dan juga mahasiswa yang mengikuti semunar proposal pada hari ini tampak di google meet, semuanya fokus dan suasana semakin tegang saat Pak Erwin mulai mengumumkan.

“Terima kasih buat semua dosen dan mahasiswa yang hadir pada pengumuman hasil seminar proposal pada sore hari ini. Sempro kali ini berjalan dengan lancar dan semua mahasiswa sudah memberikan yang terbaik, semoga hasil yang kami berikan juga yang terbaik untuk kalian semua.” jelas Pak Erwin dengan senyuman.

Eren pasti lulus. Eren pasti lulus. Rapalnya dalam hati sambil memejamkan kedua mata, tidak berani melihat.

“Jadi, berikut nama mahasiswa yang lulus seminar proposal gelombang pertama, untuk Historia Reiss, Hitch Dreyse, Marco Bott, dan Marlowe Freudenberg, selamat kalian lulus. Semoga ke depannya semakin baik lagi dan jangan lupa mula dicicil penelitiannya.”

Awalnya suara yang Pak Erwin katakan terdengar samar dan baru menyita perhatian Eren saat namanya belum juga terpanggil.

Historia, Hitch, Marco, dan Marlo. Tidak ada namanya dan juga Sasha. Jantung Eren rasanya berhenti berdetak, tangannya dingin dan dirinya ingin menangis.

“Untuk Sasha dan juga Eren, selamat kalian juga berhasil lulus dengan revisi. Semangat.” sambung Pak Erwin.

Jadi, Eren lolos? Eren masih bisa lanjut untuk memulai kan?

Lidahnya kelu dan saat menatap layar laptopnya, matanya mencari dosen pembingnya, Levi Ackerman yang duduk diam dengan wajah datarnya.

Eren lulus kan? Eren tidak mengecewakan Pak Levi dan kedua orangtuanya kan?

“Selamat buat semuanya, kalian bisa istirahat dan mulai mengerjakan revisi. Revisi maksimal dikumpulkan dua minggu setelah sempro, jika lewat bisa mengikuti gelombang dua.” kata terakhir Pak Erwin sebelum beliau mematikan panggil google meet.

Dan Eren ikut mematikannya dan mulai termenung, mencerna semua perkataan Pak Erwin.

“RENN GIMANA HASIL LO?” teriak Connie dari luar kamarnya, belum berani masuk ke dalam kamar Eren sampai si empu memberinya izin.

“Kita masuk ya.” kata Jean sambil membuka pintu kamar Eren dan melihat sahabatnya seperti tidak bernyawa. Kosong.

“Gimana?”

“Gak tau.” jawab Eren dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Dirinya bingung.

“Lah, kok gak tau?” tanya Floch.

“Pak Erwin ambigu pas umumin, gue harus gimana dong? Gue ragu juga.” Eren mulai terisak.

“Coba lo tanya Pak Levi.” saran Connie.

Ya, Eren harus tanya Pak Levi.

Jam menunjukkan pukul setengah satu siang, Eren yang akan melaksanakan seminar proposal sudah menyiapkan laptop, proposal tugas akhirnya dan juga beberapa jurnal pendukung.

Tangannya berkeringat, tanda ia gugup karena sebentar lagi mungkin saja ia akan dicerca oleh dosennya sendiri.

“Gugup lo?” tanya Jean yang duduk disampingnya. Tidak hanya Jean tapi juga ada Connie dan Floch. Mereka datang untuk melihatnya dan memberinya semangat.

“Dikit.” jawabnya.

“Udah ntar kedipin aja dah, manjur kok.” jelas Connie dengan tertawa dan mendapat pukulan di lengannya oleh Eren.

“Ya lo pikir aja anjir.”

“Pasti bisa lo, percaya aja sama kemampuan lo.” kata Floch yang berhasil membuat gugupnya sedikit berkurang.

Eren membalasnya dengan anggukan dan mulai merapalkan mantra dalam hati, ia bisa dan ia mampu. Teman dan keluarganya yakin ia mampu, ia tak mungkin mengecewakannya—dan ia juga tidak ingin mengecewakan dosennya; Pak Levi Ackerman.

Mengingat kembali chattingnya dengan Pak Levi semalam, memunculkan debaran aneh di hati Eren.

“Ren.” panggil Jean yang membuatnya kembali dari pikirannya tentang Pak Levi.

“Apa?”

“Udah disuruh masuk room, udah sana. Gue sama yang lain ngintip di deket tangga.”

Sudah waktunya.

Eren menarik napas sebelum ia join ke google meet.

Eren pasti bisa, yakinnya dalam hati.

“Eren Yeager.” Sapa Pak Erwin saat baru saja ia masuk ke dalam room.

Eren hanya bisa menanggapi dengan senyuman. Matanya kini fokus menatap beberapa dosen yang sudah ikut bergabung—terutama Pak Levi. Seperti biasa, beliau berpenampilan rapi dengan mata yang tajam.

“Ok, karena sudah lengkap bisa langsung aja dimulai ya, bapak-bapak.”

“Langsung saja Pak Erwin.”

“Ok, sebagai pimpinan sidang, saya memberi tawaran untuk dosen sekalian, apakah Eren Yeager perlu presentasi lagi atau sudah cukup dengan video presentasi yang Eren kumpulkan?”

Eren berdo’a dalam hati agar dosennya tidak perlu menyuruhnya presentasi lagi.

“Langsung saja.” Jawab Pak Levi.

Terima kasih, Pak

“Dimulai dari saya ya. Eren, kenapa kamu mengambil judul ini?” kata Pak Erwin.

“Saya mengambil judul ini karena perusahaan tempat saya OJT kemarin belum memiliki data timbulan sampah. Jadi saya berencana untuk membantu perusahaan.”

“Ok.”

“Ada beberapa yang perlu kamu tahu terkait dengan flow chart bab tiga kamu, ini salah ya. Mohon diganti, bisa lihat punya kating kamu.”

“Baik, Pak Erwin.”

“Dari saya itu saja, sebenarnya proposal kamu sudah bagus sekali sampai saya susah cari kesalahan kamu.”

“Makasih Pak.”

Pak Erwin sudah selesai, lalu berganti ke Pak Keith yang ternyata juga tidak terlalu seram seperti yang Eren bayangkan selama ini. Pak Keith hanya memintanya menambahkan layout pengambilan dan beberapa hal yang menguatkan topik yang ia ambil, seperti apa fungsinya dilakukan pengukuran dan juga apa manfaatnya.

Pak Levi dan Pak Mike sendiri juga tidak ada tambahan berarti. Seminar proposalnya berjalan dengan lancar, bahkan ia sampai terkena godaan dari Pak Erwin yang mengapa tahu jika ia semalam berbuat konyol.

“Wahhh Eren hebat nih, apakah ada seseorang yang meberinya semangat sampai Eren bisa sempro dengan baik.” goda Pak Erwin dengan alis matanya yang naik.

“Tidak, Pak. Hanya semangat dari teman dan keluarga saya saja.” jawab Eren dengan pipi yang memerah.

“Sakit ya, tidak diakui.” balas Pak Erwin yang menyindir Eren dan Eren hanya membalasnya dengan tertawa sambil menatap reaksi Pak Levi yang kebetulan masih tetap saja datar.

“Terima kasih untuk hari ini, semoga lulus. Jangan lupa nanti sore gabung lagi untuk pembacaan hasil dari sempro hari ini. Sila keluar dari room.” Lanjut Pak Erwin.

Setelah itu layar laptopnya kembali ke tampilan awal google meet.

tags ; top!jean, bottom!eren, explicit content, fluff & smut, pwp


What do you expect from stargazing with Jean Kirstein?

Camping dan berbagi pelukan hangat bersama sambil dinyanyikan lagu romantis?

Untuk pelukan benar adanya—Jean memeluk Eren erat sampai tidak ingin lepas—dan hangat—karena kondisi keduanya yang bisa dibilang cukup intim.

Seperti yang kalian pikirkan, Jean sedang melakukan charging dari sang pacar karena sudah dua minggu tidak melakukan-nya. Keduanya sibuk dengan ujian dan acara masing-masing. Eren yang harus fokus dengan kepanitiaan kampus dan Jean yang harus fokus dengan band-nya yang akan tampil perdana di acara pensi sekolah swasta.

“Aku kangen kamu, loh, Ren,” ujar Jean sambil menenggelamkan wajahnya di cerukan leher Eren, mencium hangat dan menggigit pelan. Memberikan sedikit getaran ke Eren karena geli dan lonjakan hormon yang ia bendung selama ini.

“Sekarang kan sudah ketemu,” balas Eren dengan suara yang bergetar menahan desahan. Tangan Jean sekarang mulai nakal, masuk ke dalam kaos hitam yang ia kenakan dan mencubit nipple warna coklat miliknya.

Eren mengeluarkan tangan kanan Jean dan menahan tangan kiri-nya. Saat ini Eren masih ingin melihat langit malam penuh bintang, jangan langsung malam penuh gairah dari pasangan yang sudah lama tidak memanjakan satu sama lain.

“Je, jangan dulu.” ucap Eren.

Jean hanya mendengus dan menggigit leher Eren sampai menciptakan ruam merah yang besok akan berbekas.

“Kita nikmatin malam dulu.” jelas Eren.

“Ya kita nikmatin sambil menghangatkan diri, Ren.”

“Males. Kan kalau udah mulai pasti sampe bikin aku capek banget. Nanti kita udah gak bisa nikmatin malam ini. Biarin kita stargazing dulu, Je.”

Penjelasan Eren membuat Jean diam, memeluk kembali Eren tapi pelukan kali ini bukan pelukan diselingi oleh nafsu—hanya pelukan untuk menghangatkan keduanya dan memberikan afeksi kepada pasangannya.

Keduanya tenggelam dalam malam, menikmati jutaan bintang yang tersebar di langit gelap. Bercerita tentang kesibukan keduanya, saling mengejek, saling memberikan gombalan ringan—membuat pasangannya bersemu merah di tengah malam.

Saat Eren mulai mengenang masa lalu mereka, bertemu saat festival musik dan berakhir stargazing dibalik panggung. Eren dan Jean saat itu masih anak polos yang ciuman saja masih takut—berbeda dengan kini.

Jean mendekatkan wajahnya saat Eren masih asyik bercerita, mencium pelan pipi Eren. Memberikan efek kupu-kupu si pria bersurai coklat.

“Apaan sih, Je.”

Jean yang sudah hilang arah masih berlanjut, kali ini menempelkan bibirnya ke bibir Eren—hanya menempel—lama-lama mulai masuk dan memberikan lumatan pelan.

Lumatan itu menjadi liar dan posisi Eren kini berpindah di atas pangkuan Jean. Mengalungkan tangannya ke leher sang pacar dan membalas lumatan itu dengan tak kalah liarnya.

Ngghhhh. Desahan itu mengalun merdu beradu dengan suara angin malam.

Jari-jari Jean yang kasar karena sering memetik gitar kini memetik dan mencubit pelan puting Eren. Sentuhan kasar yang semakin membuat Eren gila dan menyerukan nama Jean dengan lantang.

“Je, i-iya disitu..”

Jean tidak kalah nikmat, desahannya juga ikut meramaikan malam karena Eren juga tidak tinggal diam. Tangannya kini mulai memanjakan barang pribadi milik Jean, menyentuhnya dengan gerakan memutar dan memberikan remasan kasar.

Jean dan Eren saling memberi dan juga menerima, membiarkan sang bulan dan sang bintang melihat kegiatan mereka.

“Biarkan kali ini bintang yang lihat kita.” bisik Jean.

“Udah cepet ayo masukin, Je. Kelamaan.” balas Eren.

“Sabar dong, Sayang.”

tags ; mention of drunk , NSFW 🔞 , dubious consent


Jean secepat mungkin datang menjemput Eren. Kekasihnya itu, sekarang lagi mabuk dan Eren sangat gila jika sedang mabuk. Jean berharap Eren belum melakukan hal yang sangat gila.

Sesampainya di bar yang telah Floch share lokasinya, Jean segera masuk dan mencari ke semua penjuru ruangan. Matanya sekilas menatap jambul Floch yang memang mudah ia kenali.

Eren terduduk di sofa, meracau sesuka hati dan terkadang berteriak.

“Jean, mau Jean.” racaunya.

Jean yang melihatnya hanya bisa menggeleng maklum, mengangkat kekasihnya dan membawanya pulang.

“Gue duluan ya, Floch.” Pamitnya.

“Enak aja lo langsung pulang, bayarin dulu minuman Eren.”

“Hadeh.” Jean mengeluarkan dompetnya, memberi beberapa lembaran uang ratusan ribu ke Floch.

Setalah itu, Jean menggendong Eren seperti seorang pengantin—bridal style.

“Jean suka sama yang bertato ya?” Racau Eren dengan mengeluarkan pertanyaan random.

“Nggak.”

“Bohong. Kalau gitu, Eren juga mau di tato. Jean juga punya banyak tato tau.”

“Iya?”

“Iya.”

Terus celotehan itu berlanjut sampai Eren masuk ke dalam mobil Jean, Eren menceritakan kalau ia cemburu dengan Jean yang banyak digilai oleh wanita. Penampilannya yang memukau, apalagi jika Jean menggulung kemeja putihnya, menampakkan tatonya yang menghias di sepanjang tangan kirinya.

“Ya kan. Jean ganteng. Eren mau Jean.”

“Iya, ini Jean.”

“Eren juga mau ditato.”

“Ini sudah malam ya, besok lagi aja nanti Jean anterin Eren ke tempat tato langganan Jean.”

Eren menggeleng, mencebik tidak terima.

“Mau sekarang.” Tegasnya dengan mulai memukuli Jean yang duduk di kursi kemudi, enggan untuk mulai menyalakan mobilnya.

“Ok.” Kata Jean.

“Setelah ini jangan marah.” Lanjutnya, dan Eren menganggukan kepalanya dengan antusias—sangat senang.

Jean mendekatkan badannya ke Eren, mengangkat kekasihnya pelan untuk duduk di pangkuannya.

Kancing atas kemeja Eren pun Jean lepas. Menampakkan tulang selangka bewarna tan—warna kulit Eren.

Jean menciumnya leher Eren pelan, menggitnya sampai meninggalkan ruam merah, membuat hasil karya yang menurutnya jauh lebih indah dari pada tato di tangan kirinya.

“Nih, dah jadi tato warna merah.” ucap Jean dengan bangga.

Eren melihatnya dengan mata berbinar-binar, tampak takjub.

“Lagi.” pintanya.

“Pulang dulu ya.”

“Gak mau. Mau ditato lagi.”

Jean memberikannya lagi, kali ini di tempat yang berbeda.

“Lagi, di sini.” Tunjuk Eren di dada kanannya, dekat dengan puting kecoklatan Eren.

Fuck!

Permintaan yang sulit karena puting Eren adalah salah satu kelemahannya. Dan Jean memberikannya bonus lenguhan nikmat yang keluar dari mulut Eren.

“Lagi.”

Dan banyak permintaan hingga ada ratusan kissmark yang terlukis di sepanjang tubuh Eren. Eren pun akhirnya terlelap saat ia sudah capek meneriakkan lagi dan lagi, meninggalkan Jean yang harus segera mengantarnya pulang dan menyelesaikan urusannya di kamar mandi.

pwp, smut, explicit content, crossdressing!eren, top levi, bottom eren, public sex.


Eren tertawa melihat balasan dari pacarnya, sungguh gemas. Bilang tidak apa-apa tapi pasti dia lagi cemberut. Sejak paman pacarnya—Kenny Ackerman memberitahu kalau ingin merayakan setengah abad umur kekasihnya, Levi-kekasih-Eren sudah kesal setengah mati. Seperti anak kecil, katanya.

Namun, sekarang kekesalannya berada di puncak, karena Eren memilih tidak datang. Alasannya juga tidak masuk akal dan terkesan menghindar. Levi berpikir jika ia mempunyai salah atau memang Eren yang tidak minat. Terlebih pesta itu juga tidak bisa dibatalkan seenaknya, paman sialannya pasti akan makin menganggu hidupnya.

Biarkan pesta itu tetap terlaksana dan Levi hanya perlu menyambut tamu sebentar. Setelah itu ia mengasingkan diri di kamar. Ya, itu niatnya.


“Kenapa semua orang mengenakan topeng?” tanya Levi kepada Hange.

“Ya karena pesta topeng bodoh, lo gimana sih, lo yang ngadain pesta tapi konsepnya nggak ngerti.” Omel Hange.

“Ya semuanya yang urus paman gue, gue cuman tinggal jadi aja.” Jelas Levi sambil menyesap wine ditangannya. Matanya tajam, menatap seisi ballroom.

Pesta sudah dimulai sejak tadi, pesta topeng yang cukup megah dan mengundang banyak orang berpengaruh; kenalan pamannya. Seperti pesta pada umumnya, bedanya kali ini semuanya menggunakan topeng dan orang yang mengundang merasa bosan setengah mati. Semua tampak sama di mata Levi.

Satu persatu temannya sudah mulai bergabung di lantai dansa, meliukkan tubuhnya mengikuti irama musik. Hange bahkan sudah mulai menggila dengan tarian titannya yang aneh itu.

Sudah waktunya Levi kembali ke kamarnya. Waktunya sudah cukup. Namun, sebelum dia pergi meninggalkan pesta, matanya menangkap tubuh seseorang yang sangat ia kenal. Wajahnya tidak terlihat jelas karena ia mengenakan topeng tapi mata hijaunya sangat Levi kenali. Ia seperti melihat pacarnya di sini.

Levi mengambil handphone dari sakunya, mengetik pesan dengan cepat ke pacarnya.

Kamu dimana?

Masih belum ada balasan dari Eren. Mungkin memang itu bukan Eren. Eren yang ia kenal tidak mungkin mengenakan gaun merah satin dengan punggung yang terbuka. Rambut Eren juga tidak bisa panjang dalam sekejap karena gadis bermata hijau tadi memiliki rambut legam sepunggung dengan kepangan yang menunjukkan tulang selangkanya yang cantik.

Levi tersadar kalau ia menaruh perhatian lebih ke gadis itu karena sangat mirip dengan kekasihnya. Kalau Eren seorang gadis, pasti ia akan mirip dengan gadis itu, dari bentuk tubuh canda tawanya dan juga cara ia berdiri. Levi sangat hafal karena ia sudah pernah melihat dan menjamah tubuh Eren. Sepertinya Levi harus kembali dan meneror Eren dengan pesan dan panggilan untuk memastikan.

Saku celana Levi bergetar, menandakan ada pesan masuk. Dari Eren.

Menurut kamu?

Jawaban yang tidak memuaskan Levi. Levi siap mengetik balasan tapi ada tangan yang mencegahnya. Mengenggam tangan Levi.

Levi melihat jari itu penuh dengan polesan cat kuku warna merah, senada dengan gaun merah satin.

Gaun merah satin.

Levi menengadah, menatap tepat di manik mata hijau tersebut. Gadis itu jauh lebih tinggi darinya yang hanya seratus enam puluh sentimeter.

“Hai,” sapa gadis itu—ralat—bukan gadis.

Sekarang yang berdiri di depannya bukan seorang gadis mata hijau yang membuat penasaran karena mirip dengan kekasihnya karena memang gadis itu adalah kekasihnya. Kekasihnya menyamar menjadi seorang gadis dan sekarang tersenyum menggoda.

“Aku nunggu dari tadi loh, aku kira kamu sadar. Tapi gak disamperin, males aku.” Balas Eren dengan tangannya yang mulai membelai jas Levi perlahan.

“Aku memastikan dengan mengirimimu pesan, kalau salah kan nggak lucu, mana berharap.”

“Jadi kamu suka?”

“Kamu masih bertanya?”

Eren balas tertawa dan juga mengalungkan tangannya ke leher Levi.

“Berarti aku berhasil dong, dansa yuk.” Ajak Eren dengan menarik tangannya ke lantai dansa. Bergabung dengan puluhan orang yang sedang berdansa.

“Katanya gak bisa datang.”

“Kejutan dong, emang sengaja mau kasih kejutan tapi kado buat kamu masih ada lagi sih.”

Levi menyipitkan matanya yang tajam. Hadiah lagi? Ini sudah lebih dari cukup. Apa yang akan kekasihnya lakukan? Eren mengenakan pakaian perempuan dan juga menggodanya di tengah pesta sudah lebih dari cukup untuk Levi.

Eren mendekatkan bibirnya ke telinga Levi, membisikkan hadiah yang lain dengan nada yang terdengar sensual, “Hadiahmu ada di lantai dua.”

Setelah mengatakan itu, Eren pergi meninggalkan Levi di tengah lantai dansa. Sesekali berbalik dan mengundang untuk Levi segera mengikutinya.

Berjalan dengan perlahan menaiki tangga ke lantai dua, meninggalkan ingar bingar pesta di lantai satu.

Lantai dua terasa sepi. Cahayanya juga tidak terang karena lampu sengaja dimatikan, hanya ada lilin sebagai sumber cahaya.

Cahaya lilin itu memantulkan siluet tubuh Eren di dinding, perlahan bayangan itu bergerak dan Levi mencari sumber dari bayangan di dinding. Menatap Eren yang berada di pojokkan. Meliukkan badan dengan erotis.

Lagu versace on the floor dari Bruno Mars mengalun dengan merdu, seiring lagu dimulai tarian Eren semakin meliar. Heels tinggi yang melekat di kaki jenjangnya sudah ia lepaskan.

Kini Eren mendatangi Levi, berjalan mengelilingi Levi dan menarik jas yang Levi kenakan.

“Bocah nakal.” kata Levi pada akhirnya.

Ia melepaskan jasnya dan melemparnya asal.

Eren juga semakin menggila, kini ia memainkan kain satin yang melekat pada tubuhnya, naik dan turun. Memamerkan kaki jenjangnya di hadapan Levi.

Lantai dua terasa sangat panas karena masing-masing sudah terbakar akan gairah yang harus segera dituntaskan. Terlebih lagi dengan Levi. Tarian Eren sudah tidak penting karena Levi menginginkan Eren sekarang.

Levi memojokkan Eren dengan kasar di tembok. Menghimpitnya dan menciumnya dengan rakus.

Pasokan udara Eren semakin menipis tapi rasanya masih di atas awan, pertukaran saliva itu masih lama akan berakhir.

“Rasa strawberry, huh?” kata Levi, lalu kembali memagut bibir Eren.

Setelah mencium bibir Eren, kecupan itu merambat ke leher jenjang. Sudah Levi katakan sebelumnya kalau Eren memiliki tulang selangka yang indah.

Kecupan-kecupan kecil itu semakin liar, kini Levi juga memberikan jilatan dan juga gigitan pada leher Eren. Menimbulkan ruam-ruam merah. Eren membalasnya dengan desahan pelan dan juga remasan pada rambut Levi.

Oooh I love that dress But you won't need it anymore No you won't need it no more Let's just kiss 'til we're naked, baby

“Kamu tahu, gak perlu lagi dress merah ini.” ujar Levi yang akan merobek gaun merah Eren.

Eren menahannya karena pertunjukannya belum usai.

“Kak, biarkan aku melepasnya untukmu.”

Setelah mengatakan itu Eren berdiri memunggungi Levi, meliukkan badannya dan melepas tali gaun di sebelah kanan. Berbalik menghadap Levi dan memamerkan dadanya. Tangan Eren juga tidak tinggal diam, ia meremas dadanya dan memelintir putingnya hingga menegang.

Levi menahan napas.

Puting Eren selalu menjadi kelemahannya.

Dari semua tubuh Eren, Levi paling menyukai puting bewarna coklat tersebut. Selalu habis jika ia santap. Eren benar-benar menggoda Levi.

Eren membalikkan badannya lagi. Levi pikir Eren segera melepas gaun sialannya itu dan bercinta dengannya. Sebenarnya Levi bukan orang yang sabar, terlebih lagi hormonnya sudah di titik tertinggi. Pikirannya hanya ingin menerkam Eren. Ternyata Eren semakin lama aksinya.

Eren berhasil menyiksa Levi.

Tali gaun sebelah kiri masih terpasang. Eren tidak kunjung membukanya. Sekarang ia mulai mengangkat gaun itu perlahan memperlihatkan pantatnya yang montok.

“Eren,” panggil Levi dengan nada rendah.

Bulu kuduk Eren meremang. Levi kini tepat di belakangnya. Mengulum lidah kanannya. Sambil membisikkan kata-kata menggoda.

Levi membalikkan badan Eren dan menerjangnya. Gaun merah Eren ia robek dan Levi segera meraup dada kesayangannya. Menyusu dengan kuat, memberi jilatan sensual, dan mengigitnya.

“Nghhh, Kak.” desahan Eren terdengar keras, meredam musik yang masih terputar di lantai satu.

“Tidak usah banyak gaya, menguji kesabaranku.” Levi mengatakannya sambil masih menjilat dada Eren. Tangannya yang lain meremas dan menampar pantat Eren.

“Nghh, Kak. Di Kamar.”

“Tidak, bukankah akan lebih menyenangkan jika ada yang melihat kita.”

Setelah mengatakan itu, Levi benar-benar menggempur Eren di aula lantai dua. Tidak ada yang berani mendekat karena Levi sudah memesan untuk mengkosongkan lantai itu sebelum naik.

Dan ingatkan Eren untuk tidak pernah menggoda Levi, karena ia benar-benar dibuat tidak bisa jalan. Badannya remuk tapi ia senang. Levi menyukai kadonya.

“Selamat ulang tahun, Kak.” ucap Eren setelah klimaks pertama yang ia dapatkan.