Piove
tw // major character death
Aku memandang langit yang memuntahkan butiran-butiran air. Seperti dalam siklus hidrologi yang melewati banyak proses kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi. Hujan juga membuat banyak genangan yang tersimpan berjuta kenangan. Bedanya genangan dan kenangan bukan cuma beda huruf awalnya saja. Kalau genangan hanya satu hari dan kenangan tidak terbatas hari.
Aku kangen masa-masa itu. Saat kamu dengan canggung berdiri disebelahku dengan menatap langit yang sama. Langit yang seperti kutatap saat ini.
Kita hanya diam dan menikmati. Sampai kamu memulai pembicaraan dan membuat hatiku berdesir.
“Ren, kamu mau nunggu hujannya reda?”
Aku hanya kaget dan tidak tahu harus menjawab apa. Kamu yang selalu aku kagumi setiap hari lewat jendela, bicara padaku. Aku hanya bisa balas mengangguk dan setelahnya kita diam membisu, lagi.
Inilah persamaan kita, sama-sama suka diam dan malu-malu. Tapi waktu itu kamu memberanikan diri untuk memulai.
“Kalau kamu mau, aku bisa antar.”
Dia mencoba.
Dan setelah itu aku mengiyakan, dia langsung bergegas lari mengambil kunci mobil. Bagaimana aku tidak tambah menaruh hati kalau pujaan hati memberi kode? Atau hanya aku yang terlalu percaya diri?
Di dalam mobil, kita juga diam membisu. Aku ingin memulai pembicaraan tapi bingung mau memulai dari mana. Akhirnya aku memberanikan diri, dia sudah berbaik hati mengantarkanku.
“Mas Jean,”
“Eren,”
“Kamu duluan aja, Ren. Kenapa?”
Demi butiran hujan yang membasahi bumi, aku bingung banget mau mengajaknya bicara apa.
“Mas lagi nggak ada kuliah? Maaf ya Eren ngerepotin. Bang Zeke masih tidur, semalem ngebut proposal. Eren mau bangunin tapi nggak tega. Makasih juga atas tawarannya.” Setelah itu aku hanya diam, sambil lihat hujan dari kaca mobil. Terima kasih hujan, sudah membuatku diantar oleh pangeran pujaanku.
“Kuliah siang. Nggak ngerepotin lah, lagian masak aku tega kamu berangkat sekolah kehujanan.”
“Ada gojek, Mas. Sebelum Mas Jean tawarin, aku mau gojek loh.”
Dia hanya tersenyum dan mengacak-acak rambutku. “Untung aku lebih cepat ya. Dan selanjutnya semoga bisa nganter kamu lagi.”
Aku bersemu merah dan waktu berjalan lebih cepat. Aku sudah sampai di sekolah dan tidak lupa mengucapkan terima kasih. Aku memandang mobil Jean sampai tidak terlihat di belokan gang. Dan aku cuman bisa bergumam semoga ini bukan yang terakhir. Semoga ini awal kita ya, Mas Jean.
Dan doaku terjawab. Selanjutnya pertemuan dan pembicaraan kita jauh terasa lebih mudah. Apalagi kita tinggal sebelahan di rumah susun eldia.
Malam minggu terasa menakjubkan, duduk berdua di balkon rusun dengan jasuke buatanku. Meskipun ada aja cuitan nakal dari Bang Zeke. Mas Jean merespon dengan biasa dan balas menggoda sesekali.
Sampai malam minggu kesekian kita. Akhirnya Mas Jean mengajakku keluar. Tidak seperti biasanya yang hanya dibalkon rusun. Kali ini Mas Jean mengajak ke rooftop rusun.
Aku berpikir apakah sudah waktunya? Tapi kayaknya nggak mungkin. Aku berjalan ke rooftop dengan perasaan berdebar. Semakin dekat semakin lemas juga.
Drrt.
Ada pesan masuk; dari Mas Jean.
Mas Jean : Masih lama? Diatas dingin. Kamu tega? Bisaan banget.
Eren : Bentar lagi, Mas. Sabar aja lagian nggak akan turun hujan.
Saat sampai aku terkejut dengan indahnya malam meskipun mendung. Tapi aku lebih terkejut disitu ada Mas Jean dengan gitarnya. Saat aku melangkah mendekat terdengar nyanyian merdu; hujan dari utopia, lagu kesukaanku.
Dan gerimis mulai datang, seakan ikut merayakannya.
Mas Jean menatapku dalam. Dan pandanganku tidak bisa lepas darinya. Aku siap meleleh disini melebur menjadi satu dengan butiran air.
“Mau nemani aku selamanya, Ren?”
Aku makin membeku dan lidahku kelu nggak bisa menjawab. Aku harus respon bagaimana? Aku cuman memandang, dan aku tahu tidak hanya aku yang gugup. Terlihat dari mataku kalau oknum Jean Kirstein juga gugup. Dia meremas gitar yang tadi dimainkannya.
Perlahan aku mendekat dan melihat tepat di manik mata Mas Jean.
“Eren nggak janji bisa menemani Mas Jean selamanya, tapi Eren akan berusaha.”
Hanya itu, dan seolah langit sepakat. Hujan turun lebih deras membasahi kita berdua yang lagi dimabuk cinta.
Aku dulu sangat menyukai hujan. Namun, semenjak dia pergi aku mulai membenci hujan tapi terkadang rindu. Rindu saat bersamanya yang selalu menemaniku saat hujan.
Apa Mas Jean juga rindu denganku?
Mas butuh teman. Tapi, aku belum bisa menemani Mas saat ini.
Maafkan Eren, ya, Mas.
Sebelum beranjak pergi, aku menatap batu nisan untuk terakhir kalinya. Lalu melangkah pergi dengan sejuta kenangan. Kenangan tentang kita yang tidak pernah kulupakan.