1O3Okr

“kalau lo masih nggak mau ngomong juga, beneran gue seret ke apart lo sekarang.” ancam banjo, namun hal itu tidak membuat chiika membuka suaranya sama sekali.

“chiika, lo hamil sama siapa?” nada suaranya sudah kembali normal, tidak seperti sebelumnya yang agak meninggi .

“lo mending jujur aja, daripada nantinya gue nggak bisa bantuin lo sama sekali.”

akhirnya banjo terdiam, memberikan waktu untuk chiika berbicara.

“banjo...” tidak seperti biasanya, kali ini suara chiika pelan nyaris tidak terdengar pada saat memanggil nama sahabatnya tersebut.

“MAAF... GUE JUGA NGGAK TAU. GUE NGGAK TAU APA YANG HARUS GUE LAKUIN...” setelah itu chiika menangis sejadi-jadinya, sementara banjo hanya menunggunya dengan sabar sampai sahabatnya itu berhenti menangis.

. . .

“terus sekarang lo gimana?” tanya banjo setelah chiika mulai tenang.

“gue juga nggak tau... hal ini tuh di luar rencana gue.”

“kalau gitu lebih baik lo cepet ngomongin sama laki lo itu deh.”

“nggak tau kenapa gue jadi kaya takut, makanya gue nggak mau pulang ke apart.”

“lo omongin baik-baik, kali aja laki lo punya jalan keluarnya?”

“masalahnya yang dia tau tuh hubungan gue sama endo baik-baik aja.”

“STOP SEBUT NAMA ENTITAS SATU ITU, BIKIN GUE MERINDING TAU!”

“sebegitu bencinya ya lo sama dia?”

“menurut lo aja? disaat lo dengan gilanya mati-matian mau lepas dari laki lo yang beneran baik itu, eh si orgil itu malah ilang kek avatar??? MAGADIR ANJING.”

“MAAF...”

“jangan minta maaf ke gue, sekarang lo hubungin laki lo. ini semua demi kebaikan lo sama calon anak lo. dan juga kebaikan gue.”

“banjo...”

banjo memijat pelipisnya yang berasa mulai nyut-nyutan, lalu segera menatap tajam ke arah chiika yang sedari tadi menundukkan kepalanya sembari jarinya yang memainkan ujung kaos putihnya.

“sini hp lo, biar gue aja deh yang chat laki lo itu.”

dan kali ini chiika menurut, dirinya memberikan ponselnya ke banjo walau sedikit dengan berat hati.

“siapa namanya?”

“si rese”

“EMANG ADA KURANG AJARNYA JUGA LO NGASIH NAMA LAKI LO SENDIRI JELEK GINI.”

Setibanya di kosan ume, keduanya tidak mengeluarkan sepatah kata. Hiiragi masih berdiri didekat pintu, sementara umemiya duduk diatas kasur. Pandangannya tak beralih dari sosok yang sedari tadi hanya diam.

“lu nggak capek apa diri terus begitu?”, tanyanya yang seraya bangun dari duduknya dan menghampiri hiiragi.

“sumpah, jangan masang muka bersalah gitu. hal yang kita lakuin ini secara sadar dan sama-sama mau.” ucap ume sambil mengusap pelan kepala hiiragi yang membuat sosok lelaki itu tersenyum tipis.

“sori, harusnya gua nggak asbun ngajakin lo pacaran. sementara lo sama choji ada hubungan.”

“harusnya gue juga nolak dengan tegas ajakan ngasal lu itu, padahal lu juga udah ada hubungan sama dua orang pula. sako, terus kaji juga.”

“sori...”

“sora sori mulu elah, mendingan sekarang mikirin deh jalan keluarnya gimana?”

“klo gua nggak mau lepasin lo, egois nggak, me?”

umemiya terdiam, karena tanpa dijawab pun harusnya oknum waketu itu tau.

“tapi lo pasti lebih milih sama choji kan? secara lo suka dia dari awal.”

kali ini umemiya tertawa, lalu memeluk erat hiiragi yang masih berdiam diri.

“gue emang sesuka itu sama choji tapi yakali gue beneran mau pacaran bertiga, togame terlalu serem kalau menyangkut choji anjir.”

“HAH???”

“sori gue nggak maksud bohong sama lu, tapi choji emang sempet asbun ngajakin threesome cuma ya gue tolak. kecuali tuh bocil mutusin togame baru gue mau deh.”

“LO ADA BAJINGAN-BAJINGANNYA TAU???”

“lu lebih bajingan bangsat”, Hiiragi mendapatkan jitakan maut dari ume.

“tapi... masalah sako sama kaji juga gue nggak seriusan elah...”

“MAKSUDNYA???”

“EMANG LO ITU ANJING DAH, MASA NGGAK PEKA KALAU SELAMA INI GUA SESUKA ITU SAMA LO, UMEMIYA....”

“ah... masa sih???”

“masa lo nggak nyadar juga sih? klo gua pacaran sama itu dua orang sekaligus mana bisa waktu gua lebih sering bareng sama lo, bego.”

“KOK PAKE BEGO SGALA???”

“YA EMANG LO BEGO!”

“LU TUH TOLOL, PADAHAL TINGGAL BILANG TO THE POINT AJA GAUSAH ASBUN BEGITU BANGSAT!”

“MAAF... MAAFIN YA SAYANG???”

“TAI”

mereka berdua akhirnya berjalan kearah kasur dan duduk bersebelahan, lalu kemudian kembali tersadar sesuatu...

“tunggu me, kalau misalnya emang lo nggak ada hubungan sama choji kenapa togame kek kompor banget elah. bikin ngarang cerita seakan-akan hubungan kita yang salah?”

umemiya hanya tertawa, lalu menatap hiiragi yang masih kebingungan.

“kayanya dia tau kalau lu suka gue deh, terus mungkin juga dia nggak tau masalah bohong kita tapi dia cuma mau nyadarin orang bego kaya kita yang pake acara ngedrama padahal tinggal jujur aja. lagian kalau misalnya gue sama lu ya otomatis choji nggak bisa gue pepet lagi.”

“ELAH SI BANGSAT... tapi boleh juga sih ngidenya. bikin gua takut kehilangan lo.”

“BUAYA BGT LU!”

“berarti udah clear kan masalah kita?”

“belomanlah, elah.”

“kenapa lagi? lo mau konfirmasi ke sako atau kaji? silahkan aja, nanti gua pertemuin kalian bertiga.”

“GUE MAU LU NGULANG CARA NEMBAK LU KE GUE YA BANGSAT!”

hiiragi menggaruk kepalanya yang nggak gatal itu.

“CARA LU KEMAREN BERASA GUE ITU SIMPENAN, MANA KEK SELINGKUH BENERAN PAKE DIEM-DIEM SGALA YA ANJING!”

“abisnya klo nggak gitu lo pasti nggak mau memulai hubungan sama gua elah.”

“cemen banget anjir.”

“umemiya sayangku, dari awal gua udah jatuh cinta sama lo, izinin gua jaga lo terus dan berada disisi lo ya? jadi lo harus mau jadi pacar, pasangan, bahkan jadi apapun pokoknya bareng-bareng terus sama gua ya?”

“oke.”

“jawab kek yang serius.”

“iya gue mau bareng-bareng terus sama lu, hiiragi.”

“apa?”

“GUE MAU JADI PACAR, PASANGAN, APAPUN ITU POKOKNYA BARENGAN TERUS SAMA LU HIIRAGI SAYANG.”

“bisa ngga sih lo nggak bikin jantung gua deg-degan gini?”

“lebay lu.”

“peluk kek, cium kek... nggak tau apa gua kesini sambil overthinking parah?”

kemudian ume memeluknya erat sambil mengusap kepala hiiragi, tak lupa membisikan kalimat lembut yang bikin hiiragi merasa disayang.

selanjutnya, biarkan mereka berdua melakukan quality time seperti biasa.

mungkin, kali ini mereka melakukannya dengan perasaan tenang dan bahagia.

. . .

END

Gio memejamkan kedua matanya, dia masih mengingat pembicaraan dengan sang papa yang baru aja setengah jalan alias belum selesai. Bahkan, papanya masih berhutang cerita kepada dirinya.

Yang masih menimbulkan banyak pertanyaan dalam benaknya, salah satunya adalah...

Bagaimana bisa sang papa jadian sama sang ayah?

Dan sedikit obrolan dengan papanya pun kembali berputar di memorinya.

“Jadi apa yang mau kakak ceritain?” tanya sang papa, sambil mengelus kepala sang anak sayang.

Fyi aja, pada saat itu Gio lagi tiduran dengan paha sang papa sebagai bantalan.

“Aku mau cerita semua yang aku alami selama ini di kampus. Tapi papa jangan bilang ayah ya?”

“Kenapa?”

“Takutnya, tiba-tiba aja nanti aku di pindahin kuliah ke luar negeri?”

Jelas aja waktu itu sang papa tertawa, yang mendapat dengusan kesal dari sang anak.

“Ayah kamu udah gak seekstrim dulu loh, kak.”

“Ya siapa yang tau?”

Ayahnya itu susah di tebak, mempunyai sikap protective yang luar biasa membuat sang anak waspada.

“Ya ok, deal. Jadi mau cerita apa?”

Dan Gio menerawang langit-langit ruang baca milik papanya, mengatur napasnya perlahan. Lalu menceritakan bagaimana perlakuan yang di dapat olehnya selama dia kuliah di kampusnya tersebut.

Dari yang memujanya, mengaguminya, membencinya, menghujatnya, dan menganggunya.

Untuk urusan yang menganggunya udah tentu oknum Dimas masuk ke dalam jajarannya, tapi mendengar bagian itu sang papa hanya terkekeh.

Apa ada yang lucu?

“Nah sekarang giliran papa yang bercerita.”

Tagihnya dengan cengiran yang sangat menyebalkan. Tentu aja sang papa udah menduganya kalau sang anak sedang bernegosiasi dengannya.

Anak semata wayangnya berbagi keluh kesahnya yang selama ini dia pendam seorang diri, dan sang papa juga harus membagikan pengalamannya bersama dengan sang ayah. Yang masih harus disimpan rapat, soalnya belum waktunya sang anak tau.

“Ayo ceritain ke aku, gimana bisa kok papa mau sama ayah?”

Lagi, sang papa tertawa, kali ini lebih lepas. Seperti sedang menertawakan hal yang bodoh.

“Kamu yakin mau tau kisah papa sama ayah?”

“Yakin kok.”

“Berarti kalau gitu kamu gak minta masalah adek bayi lagi ya?”

“Pah...”

“Kamu udah punya banyak adek di yayasan loh...”

“Yaudah iya, sekarang ayo mulai...”

“Mau darimana?”

“Mungkin, dari siapa yang naksir duluan? Ayah atau papa?”

“Coba kamu tebak deh...”

Gio pun tersenyum meremehkan,

“Aku sih nebaknya pasti ayah, kentara banget bucinnya ih.”

“Kamu salah.”

Sang papa mengusak rambutnya, sedangkan sang anak menatap nggak percaya apa yang di ucapkan sama papanya.

Masa salah? ㅡpikirnya waktu itu.

“Pah?”

“Yah, yang naksir duluan itu papa. Tapi yang ngejar-ngejar ya ayah kamu.”

“Kok bisa?”

“Bisa dong.”

Gio masih bingung, selama ini dirinya menduga kalau ayahnya yang pertama kali suka sama papanya. Di lihat dari sudut mana pun, ayahnya itu selalu menomorsatukan papanya...

“Papa suka sama ayah yang dulunya berandalan kaya gitu?”

Dna satu lagi, sang anak sempat mengira kalau sang ayah merupakan anak yang tipikal urakan gitu. Nggak tau juga atas dasar apa.

Mungkin karna sang ayah merupakan anak dari seorang... yang sangat sangat sangat kaya raya?

“Kok kamu bisa bilang ayah kamu berandalan?”

“Cuma nebak...”

Sang papa mencubit hidung mancung anaknya yang mirip dengan milik hidung sang ayah.

“Tebakan kamu salah. Ayah kamu itu dulunya ketua kedisiplinan loh, kak...”

“Hah?”

Sampai disitu obrolan seru mereka terpotong dengan datangnya sang ayah, yang tumben banget pulang lebih cepat dari biasanya.

. . .

Gio kaget...

Wajah adik tingkatnya itu terlalu dekat dengan wajahnya.

“Mau apa kamu?” tanyanya ketus sambil menjauhkan wajah yang lebih muda ㅡreflek, soalnya Gio terkejut sekaligus merasa nggak nyaman dengan jarak wajahnya yang begitu dekat dengan sosok yang masih terbilang asing baginya.

Yang di tanya malah terkekeh, lalu mendudukkan dirinya di samping yang lebih tua dengan jarak yang lumayan jauh.

Dimas emang suka nggak sadar kalau kehadirannya itu menganggu kakak tingkatnya

N

Gio memejamkan kedua matanya, dia masih mengingat pembicaraan dengan sang papa yang baru aja setengah alias belum selesai. Bahkan, papanya masih berhutang cerita kepada dirinya.

Iya, bisa di bilang dia itu udah sangat lelah makanya ingin menceritakan semua yang telah di alaminya selama ini di kampus. Meskipun, secara nggak cuma-cuma. Dengan kata lain, Gio 'menjual keluh kesahnya'itu ke sang papa.

Iya, anak tunggal kesayangan kedua orang tuanya itu bernegosiasi dengan sangat cerdas. Dia akan menceritakan keseluruhan apa yang sudah dirahasiakannya, tapi sehabis itu dirinya akan mendapat sebuah cerita dari sang papa.

Bagaimana bisa sang papa jadian sama sang ayah?

Dan oborlan dengan papanya pun kembali berputar di memorinya.

“Jadi apa yang mau kakak ceritain?” tanya sang papa, sambil mengelus kepalanya sayang.

Fyi aja, pada saat itu Gio lagi tiduran dengan paha ayah sebagai bantalan.

“Aku mau cerita semuanya, pah. Tapi jangan bilang ayah ya?”

“Kenapa?”

“Tiba-tiba aja nanti aku disuruh kuliah di luar negeri?”

“Hahaha, ayah kamu udah gak seektrim dulu loh, kak.”

“Ya siapa yang tau?”

“Ya ok, deal. Jadi mau cerita apa?”

“Aku bakalan cerita tapi dengan satu syarat?”

“Apa lagi?”

“Papa ceritain gimana bisa kok mau sama ayah?”

“Ini kamu lagi negosiasi sama papa?”

“Bisa di bilang begitu.”

“Kalau papa gak mau cerita?”

“Padahal cerita aku ini pengalaman buruk selama di kampus.”

“Kak?”

“Serius. Aku gak diajarin bohong sama papa atau ayah kan?”

“Oh okay, terus?”

“Sebelum aku mulai cerita, mau tanya dulu ke papa, boleh?”

“Kalau mau tanya masalah adek bayi, jawabannya masih sama.”

“Pah...”

“Kamu udah punya banyak adek di yayasan loh...”

“Tapi bukan itu sih...”

“Terus apa?”

“Siapa yang naksir duluan? Ayah atau papa?”

“Coba kamu tebak deh...

“Aku sih nebaknya pasti ayah, kentara banget bucinnya ih.”

“Hahaha, kamu salah.”

“Pah?”

“Yah, yang naksir duluan itu papa. Tapi yang ngejar-ngejar ya ayah kamu.”

“Kok bisa?”

“Bisa dong.”

“Papa suka sama ayah yang berandalan kaya gitu?”

“Kok kamu bisa bilang ayah kamu berandalan?”

“Cuma nebak...”

“Tebakan kamu salah. Ayah kamu itu ketua kedisiplinan...”

“Hah?”

. . .

Gio kaget...

Wajah adik tingkatnya itu terlalu dekat dengan wajahnya.

“Mau apa kamu?” tanyanya ketus sambil menjauhkan wajah yang lebih muda ㅡreflek, soalnya Gio merasa nggak nyaman dengan jarak wajahnya yang begitu dekat dengan sosok yang masih terbilang asing baginya.

Yang di tanya malah terkekeh, lalu mendudukkan dirinya di samping yang lebih tua dengan jarak yang lumayan jauh.

Dimas emang suka nggak sadar kalau kehadirannya itu menganggu kakak tingkatnya tersebut.

Atau emang dia sengaja menggoda sosok mungil itu, dengan kata lain iseng doang.

Pasalnya, Gio sedang menenangkan pikirannya dengan sedikit memejamkan matanya. Namun, kayanya dia malah nyaris kebablasan tidur.

Dan berakhir merasakan sesuatu yang membuatnya terbangun.

“Kata ibu pengasuh gue dulu, kalau putri tidur itu dibanguninnya ya dengan cara di cium.”

“Meskipun aku cuma sampe sabuk kuning, aku bisa buat kamu babak belur.”

Merasa di ancam, lelaki yang di juluki playboy itu malahan tertawa. Sembari menoleh ke arah sosok yang lebih kecil.

Semakin gemas dengan tatapan sinis yang dilayangkan kearahnya itu.

“Aku seriusan.” ucapnya meyakinkan.

“Lo kira gue bercanda?”

Gio mengernyitkan dahinya bingung, “itu cuma dongeng.”

Meskipun baik papanya maupun ayahnya enggan menceritakan sebuah dongeng picisan seperti itu sewaktu dirinya kecil, percayalah kalau tantenya selalu mencekokkan dirinya dongeng yang berlatar apapun termasuk cerita putri tidur dan kawan-kawannya.

“Siapa bilang?”

“Apa sih mau kamu?”

Dimas menghela napasnya perlahan, kenapa sosok di sampingnya ini sangat susah di ajak berkompromi sih?

Sedangkan Gio merasa jengah, soalnya ngerasa semakin kesini sosok yang berlesung pipi tersebut selalu menganggu dirinya.

“Lo.”

“Hah?”

“Gue mau jadi temen lo...”

Demi apapun, walaupun Gio sedang tertawa meremehkan dirinya. Namun nyatanya seorang Adimas Saputra terpesona ㅡuntuk kesekian kali dengan bagaimana cara sosok yang sekarang Pasalnya, Gio sedang menenangkan pikirannya dengan sedikit memejamkan matanya. Namun, kayanya dia malah nyaris kebablasan tidur.

Dan berakhir merasakan sesuatu yang membuatnya terbangun.

From 0821-xxxx-xxxx

Ken

Nih gue liam

Jelas aja Ken masih nggak mengedipkan kedua matanya menatap layar ponselnya, dan sebenarnya itu terlihat agak melotot. Dalam artian, dia sangat terkejut dengan chat yang baru aja di bukanya tersebut.

Mungkin berlebihan, namun kenyataannya seperti itu.

“Ini gue nggak salah baca kan ya?”, Ken bergumam. Kemudian menatap kembali ponselnya yang kedapatan chat masuk lagi dari orang yang sama.

From 0821-xxxx-xxxx

Sori ganggu

Boleh minta email lo gak?

Lagi, dia masih membiarkan chat seorang Liam begitu aja. Padahal udah di read olehnya, tapi nggak tau kenapa dia malah bingung sendiri mau meresponnya gimana.

Sempat kepikiran buat mengabaikannya aja.

Cuma, masa iya dia tega banget ngacangin chat dari temen sekelompoknya itu sih? Kali aja kan, ada hal penting mengenai presentasi yang akan di kirimkan kepada dirinya tersebut.

Ya nggak sih?

Mendadak pikirannya berkecamuk.

Padahal masalah sepele.

You

Oi

Sori baru bls

Nih ya

kenzieee08 @ gmail.com

Send

Ken pun ujungnya mengirimkan balasan chatnya ke Liam.

From 0821-xxxx-xxxx

Ok thanks ya ken

Anw sblmnya gue mau minta tolong

boleh ga?

Apaan lagi ini? ㅡbathinnya penasaran.

Pasalnya, dia agak deg-degan juga. Otaknya mulai menerka-nerka, sekiranya apa yang membuat seorang Liam meminta bantuan kepada dirinya?

Mau suudzon tapi nggak baik...

You

Apaan?

From 0821-xxxx-xxxx

Nanti klo lo udah kelar compare presentasinya ke ppt

Bisa kirim ke gue dulu gak?

BANGSAT!

Kan dugaannya bener. Kalau si Liam Liam itu emang nggak percaya sama kemampuan dirinya.

Masalah compare aja kudu banget di kirim dulu ke dia.

Kaya Ken nggak bisa banget di andelin gitu.

Sebel.

You

Bisa

Email lo sini

nnti gue ngemail ke lo dlu sblm print out ya

From 0821-xxxx-xxxx

Sip, sori ya ngerepotin

You

Woles

Fom 0821-xxxx-xxxx

Oiya nih email gue liam_s0302 @ gmail.com

Thx ya ken

You

Ok sama2

Ken pun mendengus kesal, ponselnya dia buang sembarangan ke atas kasurnya. Lalu, menatap langit-langit kamarnya.

Mungkin sebentar lagi si Liam Liam sang anak cerdas cermat itu mengirimkan bahan presentasi yang akan dia rapikan itu.

. . .

“Lo tau gak?” Ken sebenarnya agak ragu nanya kaya gitu ke temennya, tapi rasa keselnya udah nggak bisa ketahan.

Dia butuh meluapkannya aja...

Dodot yang lagi sibuk sama ponselnya menoleh ke arahnya, “tau apaan nih?”.

Dengan sekali tarik napas dia menyodorkan ponselnya untuk menunjukkan sebuah chat yang berisi oknum bernama Liam dengan dirinya tersebut.

Tapi, niatnya Ken yang mau berkeluh kesah itu malah di jadikan lelucon sama makhluk nyebelin sejenis Dodi Permana.

“CIE... YANG PEDEKATE SAMA GENG CERDAS CERMAT.”

What theㅡ

“Berisik, njing.”

“Chan, Chan liat nih temen lo diem-diem chattingan sama Liam.”

“Bacot, Dodot!”

Kayanya emang salah cerita ke temennya itu.

“Cieee...”

Nah kan...

Gila, emang.

Nggak ada malunya tuh anak satu teriak kaya gitu.

Sedangkan Ken udah nyerah, capek ngadepin temennya yang nggak waras tersebut.

Nyesel banget.

“Lo kok bisa chattingan sama Liam?” kali ini Chan yang kepo, kayanya tuh dia lagi menyaksikan keajaiban dunia yang ke delapan di hadapannya itu.

Tahik kucinglah!

Ken sebel banget liatin ekspresi muka Chan yang naik turunin alisnya.

“Kalau lo lupa ya gue ingetin lagi aja nih kalau kita satu kelompok ya.”

Malesin banget juga semisalnya bukan satu kelompok terus chattingan sama si Liam dih.

Chan hanya memutarkan kedua bola matanya malas.

“Setau gue nih, katanya kan yang jadi ketua si bang Hanif.”

Ken nggak tau harus ngasih penjelasan apa lagi.

Sebenernya dia juga bingung, tapi di samping itu dia lagi kesel loh...

Temennya malah kaya gini sih!!!

“Mungkin cuma takut aja gue ngacauin presentasinya.” sahut Ken sewot.

Padahal keliatan dongkol banget si Ken, eh tapi...

“Halah modus itu, Ken.”

Dodot kapan sih mulutnya nggak nyeplos sembarangan kaya gitu?

Dikira dia lagi bercanda kali ya...

“Modus pala lo peyang ya, Dot!” Dengan seenaknya Ken berkata sambil menonyor kepala temennya itu.

“Emang gak peka banget ya...” cibir Dodot yang di anggukin oleh Chan.

Punya temen kok gini banget ya?

Sabar Kenzie.

“Lo tau kan tuh anak cerdas cermat udah pasti tipikal yang perfectionist, kayanya sih ketakutan banget gua ngacauin presentasi mereka nanti nah makanya itu deh gua cuma kebagian compare ppt doang, nyet.”

Kedua temennya menatap Ken heran. “Itu namanya hidup lu lagi di permudah, bangsat!” itu suara Chan yang bagaimana pun masih sirik plus dengki sama bagian tugas Ken.

Siapa sih yang nggak mau terima tugas beres sama rapi? Apalagi tanpa drama dan juga nggak bikin kepala migren.

Ken emang kurang bersyukur banget jadi manusia!

“Lu nyogok apaan sih sampe bisa disuruh kaya gitu doangan?” kalau ini suara Dodot yang sama kaya Chan, masih nggak terima temen satunya itu hidup tenang menjelang presentasi. presentasi

Cuma di buat ribet aja sama orangnya sendiri.

Sedangkan Ken malah ngedumel

“Apaan sih lo?”

Yoga pov aja yuk

Biar ngegasnya nampol


Gue tuh emang kadang sebel banget sama sahabat monyet gue si Reza, tapi ya untuk kali ini bukan cuma sebel doang tapi udah melebihi ke gondok.

Nggak taulah ya apa yang ada di otak pinternya itu. Kenapa bisa kaya gini sih?

Kan dia juga tau permasalahannya, malah kaya sengaja banget nguji kesabaran gue.

“ANJ*NG!” jelas aja gue mengumpat ke Reza, tanpa memperdulikan tatapan bingungnya.

“Lo tuh emang bangsat banget ya, nyet.” omel gue.

Rasanya tuh ya gue mau balik kanan bubar jalan aja.

Seriusan deh.

Terserah mau bilang gue cemen, pengecut atau apalah. Yang pasti gue udah beneran males ya ngeliat muka tuh orang satu.

Nggak usah disebut namanya!

Gue lagi marah beneran ih!

“Jangan kaya bocah napa, Ga.”

Gue pun cuma mendengus kesal.

Siapa yang kaya bocah sih?

Gue gitu?

Lo yang nggak pengertian nyet.

Katanya sahabat gue, tapi nyatanya apa hah?

Seniat ini cuma mau ketemuin gue sama dia apa?

Nggak usah protes, lagian wajar aja gue ngedumel dong. Soalnya oknum yang bernama Reza ini tadi ngomong sama gue katanya tuh anak nggak jadi nonton sama adek kelasnya eh maksudnya sama pacarnya itu.

Makanya dia ngajak gue ㅡlebih tepatnya maksa, lantaran sayang sama tiketnya yang udah terlanjur di beli.

Tapi, cukup tau aja kalau itu cuma kamuflase.

Dan begoknya ya gue percaya aja lagi sama si anak monyet kampret.

Sialan.

. . .

Present

Sweet Chaos Special Ver. 1 Part. 2

(Ending)

Happy Reading

. . .

“Kak Eja!”, panggil Arga setengah teriak sembari menghampiri Reza dan juga gue yang sebenernya juga bakalan nyamperin ke tempat mereka.

Emang dasar bocah.

Mungkin udah lama kali ya nunggunya, apalagi sebentar lagi juga mau masuk ke theaternya deh.

Terus tuh bocah menoleh kearah gue, kayanya sih nggak enak gitu ㅡkali aja gue yang datengnya barengan sama Reza masa yang di sapa pacarnya itu doang.

“Eh, hai kak Yoga.” ya gue tau sih itu basa-basi, tapi bagaimana pun juga ya gue tetep aja harus bales sapaannya dong.

Anggap aja gue nggak enak sama Arga, semisalnya gue ikutan ngecuekin dia.

“Oh hai juga, Ga.”

Terus tuh bocah cuma senyum, jadi yaudah gue ikutan senyum juga walaupun kentara banget kaku sama canggung.

Udah gitu kalau nyebut nama belakangnya Arga kaya merasa manggil nama belakang gue sendiri.

Sama-sama berakhiran Ga.

Yoga, Arga.

Ya nggak ada korelasinya cuma agak lucu aja gitu.

Maaf, nggak jelas.

Pikiran gue emang suka random nggak jelas kalau lagi kondisi b e t e kaya gini.

“Lama banget lo.” suara yang agak familiar menyadarkan dari lamunan gue.

Reflek gue pun seakan-akan nggak ngeliat sosok yang rupanya udah ada dihadapan gue sama Reza.

Iya itu dia yang namanya males gue sebut.

Pokoknya “dia”.

(re. dia pakai tanda kutip)

Sedangkan Reza malah cengengesan, “maklum tadi ada urusan dulu, sori ya Rob.”

Gue mengernyitkan dahi heran, kirain nih anak monyet satu bakalan bilang lama soalnya masalah ngebujuk gue perkara nonton yang susahnya minta ampun.

Eh nggak taunya malahan ngeles.

“Sepuluh menit lagi mau masuk, terus laki lo ini panik. Ngeri lo lupa aja, soalnya chat ke lo cuma centang satu.”

Terus si sosok jangkung itu malah ketawa sembari mengusak rambut pacarnya.

Gue sih udah jelas mual banget liatnya.

Nggak sirik ya!

“Tenang aja gue inget kok, kan emang udah niatan traktir elah. Tadi tuh sengaja datanya gue matiin dulu soalnya lagi bapuk koneksinya.”

Sehabis ngomong kaya gitu, gue melirik kearah Reza dengan sebelnya.

Kemudian buat gue malahan berpikir, sejak kapan sih sahabat monyet gue jadi kang ngeles gini?

Heol.

“Udah yuk?” kayanya Arga udah nggak sabar, makanya tuh bocah langsung ngajakin kita ke dekat arah tempat theater.

Ya lagian ngapain juga kita sedari tadi ngobrol didepan counter food and beverage coba, cuma ngalangin orang buat jajan aja.

“Yuk, eh tapi udah pegang tiketnya masing-masing kan?”

Semuanya menganggukkan sambil berkata, “udah”. Dan membuat Reza bernapas lega gitu.

“Mas obi udah beli jajananya kan?”

Sedikit melirik kearah orang yang males banget gue sebut namanya itu.

Oh, udah persiapan.

“Udah semuanya kok. Mau ada tambahin lagi?”

Baik Reza ataupun Arga menggelengkan kepala.

Nggak usah nanya gue, udah pasti gue diem ajalah. Sok sibuk sama ponsel gue ajalah.

Saat mau kearah theater 5, gue pun menarik Reza.

“Apaan?” tanyanya yang mukanya agak kaget juga.

“Gue mau beli sistagor sama java tea dulu.” ujar gue.

“Gak usah, makanan udah dibeliin sama gue. Tadi emang yang pegang Roby.”

Mendengar ucapan dari Reza ya gue cuma bisa beroh ria aja.

Rencana kaya gini nggak di rancang sama sahabat monyet gue ini kan?

Pokoknya nanti kalau di dalam theater gue mau deket sama Reza aja atau nggak Arga.

Cuma, gue agak canggung aja pas selagi kita nunggu pengumuman untuk masuk ke theaternya mereka bertiga asyik mengobrol. Sedangkan gue ya sesekali palingan di tanya Reza atau nggak ya si Arga yang iseng ngelempar pertanyaan atau mungkin jokes yang menurut gue nggak lucu.

Sedangkan sosok yang sedari enjoy sama kedua pasangan itu ㅡre. Reza dan juga Arga, beneran nggak ada ngeluarin sepatah kata pun ke gue.

Mungkin dia nyadar diri kali ya...

. . .

Jo & Ed story


“Telat lagi?”,

“Bukan urusan lo.”

Yang bertanya menghela napasnya perlahan, seperti biasanya dia harus ekstra sabar dalam menghadapi sosok yang lebih muda darinya itu.

Sedangkan yang di tanya bersedekap, sembari menatap jengah ke oknum yang merupakan bagian dari kedisiplinan tersebut.

“Ya kalau lo telat terus kaya gini, jadi urusan gue.”

“Lo tinggal bebasin gue, terus udah kelar.”

Sosok yang lebih tinggi itu terkekeh mendengar ucapan sengit dari yang lebih pendek darinya.

“Ada yang lucu?”

“Ya,”

“Gue gak lagi bercanda.”

“Siapa yang bilang lo lagi bercanda?”

“Lo apa gak bosen ngehukumin anak-anak telat terus kaya gini?”

“Lo sendiri apa gak bosen telat terus yang bikin orang ribet kaya gini?”

Yang lebih muda mengusak kepalanya frustasi, dia kesal sama sikap menyebalkan dari kakak kelasnya itu.

Selalu seperti ini. Kalau dia bertanya, ada aja

Jo yang merupakan anak tunggal dan tinggal bersama dengan keluarga yang berkecukupan, tidak membuatnya merasa bahagia. Dalam artian, sosok yang lahir di bulan April pertengahan itu sangat haus kasih sayang dari kedua orang tuanya. Terutama dari sang ibu, yang bekerja sebagai akunting di sebuah perusahaan ternama.

Ayahnya, adalah

Short Story

Joe x Ed

Gio Parent's


Ed hampir bosan. Soalnya, setiap hari yang telat itu itu aja. Orangnya sama. Mereka udah kaya langganan gitu. Udah gitu

ㅡM

Really Bad Boy


“Apa bedanya kampus sama puncak?”

Tentu aja Gio yang lagi sibuk dengan bukunya itu terkejut, mendapati sosok tinggi yang mendadak sudah berada di sebelahnya tersebut.

“Bukan urusan kamu.”

Dimas menghela napasnya, “gak ada jawaban lain apa, Yo?”

“Mau ngapain?”

Sosok cowok yang lebih muda bersedekap, “kenapa hobi banget pake masker pas di kampus?”

Bukannya menjawab, Dimas malah balik bertanya ke sosok yang lebih tua.

“Harus berapa kali sih aku bilang itu bukan urusan kamu?”

“Gue heran aja, lo tuh punya muka manis gitu kok malah di sembunyiin.”

“Apa?”

Gio menyingkirkan tangan Dimas yang kurang ajarnya ingin membuka masker yang digunakannya itu.

“Sekali-kali coba deh lo tanpa masker, di kampus polusinya juga gak buruk-buruk amat kok.”

“Bisa gak sih berhenti ngurusin yang bukan urusan kamu?”

Nggak tau kenapa, sikap menyebalkan Dimas ini agak mirip sama kedua orang tuanya yang kekeh menyuruhnya untuk melepaskan masker.

“Yo...”

“Kamu gak tau gimana rasanya risih setiap jalan diliatin banyak orang.”

“Loh berarti itu tandanya lo menarik dong.”

“Masalahnya mereka natap kamu jijik.”

“Gak usah peduliinlah, iri bukannya tanda gak mampu?”

“Kamu gak ngerti, Dims...”

“Ya gue emang gak ngerti, makanya banyak banget tanda tanya di kepala gue ini...”,

”...mengenai lo, Yo.”

“Hah?”

Sumpah, Gio nggak ngerti maksud dari ucapan Dimas. Nggak jelas banget sih?

“Gue kaya penasaran sama lo...”

“Aku udah bilang kalau aku itu cowok bukanㅡ”

“ㅡya gue tau lo cowok kok. Gak usah di tegasin lagi.”

“Terus penasaran dalam hal apa?”

“Gue juga gak tau...”

Perkataan ayahnya itu nggak bener kan ya? Nggak mungkin cowok yang udah dia pergokin dua kali lagi mesum itu suka sama dia kan?

Dimas itu straight, dia masih suka sama cewek.

Sedangkan dia juga ngerasa hal yang sama. Meskipun terakhir kali dia nembak gebetannya itu lima tahun yang lalu, dan itu pun di tolak karna nggak mau hubungan jarak jauh.

Kesempatan kedua [1]

Lelah.

Menghabiskan waktu selama nyaris 12 jam di kantor itu sangat melelahkan. Khususnya, di akhir bulan seperti ini.

Lee Jinhyuk merenggangkan ototnya sebentar. Kemudian kembali menatap layar laptopnya.

Hampir pukul setengah 10 malam, dan dirinya masih berada di ruangan kerjanya.

Event besar yang akan di laksanakan dalam kurun waktu 2 bulan lagi itu terbilang sangat menjengkelkan. Soalnya, membuat kepalanya migren.

Dia pun, akhirnya menyelesaikan untuk mengecek segala kebutuhan yang sudah di submit sama tim divisi pameran. Dan mungkin, besok akan diskusi ke pak Seungwoo selaku direktur.

. . .