1O3Okr

Kesempatan Kedua [0]

Flash back.

Jinhyuk saat itu bahagia, lantaran sosok yang akan di jodohkan dengannya ternyata manis bahkan sangat terlihat cantik. Meskipun seseorang itu adalah lelaki seperti dirinya.

“Lee Jinhyuk.” dengan menampilkan senyum 5 jarinya, dia memperkenalkan diri. Tapi sayang, nggak dapat balasan apapun. Hanya wajah yang sangat jutek.

“Mom, aku nggak mau di jodohin sama orang cupu kaya gini!”

Jleb.

Ketika mendengar suara protesan dari si manis, tentu aja wajah Jinhyuk berubah. Apa dia sejelek itu? Kok sampai dirinya di tolak mentah-mentah.

Seterusnya, perjodohan mereka di batalkan sepihak. Ya, udah jelas karna Wooseok nggak mau di jodohkan sama orang yang menurutnya nggak banget itu.

Penampilannya norak, mukanya nggak ada cakep-cakepnya, dan cupu pula. Pokoknya, bukan tipe ideal seorang Kim Wooseok. Jadi, mau nggak mau kedua orang tua mereka mengiyakan untuk nggak melanjutkan ke jenjang yang lebih serius.

Setelah itu, Jinhyuk merenung. Dan menerima penawaran ayahnya untuk sekolah di luar kota. Nggak tau kenapa dalam hatinya dia sempat bertekad akan membuat sosok yang menolaknya itu akan menyesal.

Ya, Jinhyuk akan membuktikan kalau sebenarnya dirinya pantas bersanding dengan sosok manis tersebut.

.

Yoga merebahkan badannya, menatap langit-langit kamarnya. Kemudian meraba kasurnya, mencari sebuah benda persegi pintar miliknya.

Namun, ia menghembuskan napasnya perlahan. Lupa, kalau smartphone-nya tersebut ia letakkan di atas meja nakas.

Dengan malas Yoga pun mengambil ponselnya itu, lalu segera men-dial nomor seseorang yang ia butuhkan saat ini.

Tut...tut...tut...

Udah panggilan ketiga, namun sahabat monyetnya tersebut nggak kunjung juga mengangkat panggilan darinya.

Ya wajar, ini malam minggu. Yang artinya, mungkin aja Reza lagi pacaran sama si adek kelasnya itu.

Niatnya Yoga ingin melemparkan ponselnya tepat di sampingnya itu sembarangan, tapi pas tau ada panggilan telpon dari sahabat monyetnya, ia mengurungkan niatnya tersebut. Jadi, ia pun langsung mengangkatnya.

“Ja!”

Belum juga Reza menyapa, tapi Yoga udah meneriakan namanya.

Sementara yang diseberang telpon terdengar sedikit kaget, “Oi, kenapa?”.

“Lo bisa kerumah gue ga?” pintanya sambil mengubah posisi dari rebahan menjadi tengkurap.

“Bisa, kapan?”

“Sekarang.”

“Yaudah gue on the way ya.”

Yoga sebenarnya heran, kok tumbenan sahabatnya itu langsung mengiyakan permintaannya tanpa ba-bi-bu seperti biasanya?

“Yakin?”

“kenapa deh?”

Emang oknum yang bernama Reza itu kadang lemotnya keterlaluan.

“Lo gak lagi malem mingguan sama Arga?”

“Anaknya lagi di monopoli sama nyokap gue.”

Oh pantesan aja ㅡpikir bathin Yoga.

“Seriusan?”

Lagi, Yoga berusaha meyakinkan. Soalnya agak aneh aja, nggak kaya biasanya.

“Iya elah. Padahal ya dulu aja sempet ga setuju pas gue bawa Arga kerumah. Malahan bikin gue sama tuh bocah break beberapa bulan. Eh sekarang mah dikit-dikit monopoli anaknya mulu. Heran.”

Hampir aja Yoga tertawa, kalau nggak ingat sahabatnya itu lagi sewot.

Untung aja dia mah orangnya sadar diri.

“Anjir curcol pak?”, ledeknya yang membuat orang di seberang telponnya mendengus kesal.

“Eh iya, sori. Gue kerumah sekarang ya.”

“Sip gue tunggu.”

Sambungan terputus.

Sembari menunggu kedatangan Reza, ia pun memainkan games secara random. Dari candy crush, onet, zombie tsunami, bahkan sampai dumb ways die.

Biasanya paling lama sekitar 10 menit sahabatnya itu sampai kerumahnya. Sekarang udah lewat.

Jangan-jangan tuh anak monyet satu php lagi?

Baru aja suudzon sama sahabatnya, pintu kamarnya terbuka. Menampilkan sosok tinggi yang di tunggu-tunggu olehnya.

“Kenapa lo?” tanya Reza sambil menutup pintu kamarnya, lalu menghampirinya.

Tumben tuh anak monyet duduk di atas ranjangnya, biasanya lebih milih duduk di sofa yang letaknya nggak jauh dari ranjangnya.

“Mau minta pendapat doang.”

“Mengenai?”

Muka Reza terlihat bingung.

“Masalah yang sama.”

“Anjing! Belom kelar juga?”

Yoga menggelengkan kepalanya pelan.

“Apa sih maunya tuh cewek?”

“Bales dendam mungkin.”

Reza mendengus kesal lantaran jawaban ngaco dari sahabatnya itu.

“Besok gue aja deh yang ngomong sama tuh cewek. Gimana?”

“Ga usah, nyet. Nanti makin meleber masalahnya.”

“Sori.”

Kali ini Yoga yang keliatan bingung.

Jangan bilang tuh monyet satu merasa bersalah lantaran mereka beda jurusan, yang membuat keduanya jadi jarang ketemu satu sama lain di kampus. Apalagi gedung mereka yang jaraknya jauh.

“Apaan sih, lebay banget lo, nyet.”

“Sumpah gue kesel aja ya sama tuh mba-mba pacarnya Roby, masalah yang harusnya bisa kelar di bikin ngejelimet kaya gini.”

“Emang gitu, lo ga tau aja kelakuan yang sebenernya sih. Beda gedung.”

“Terus Roby juga ga bisa pawangin tuh pacarnya?”

“Nah itu masalahnya...”

“Gue tau itu awalnya emang salah lo ya, nyet. Tapi ga bisa kaya gini juga. Kesannya tuh emang sengaja banget, ajimumpung gitu.”

“Dengerin gue dulu napa sih, Ja.”

“Apaan?”

“Gue disuruh dateng ke kafe bareng Roby gitu ya sama si kak Icha ini...”

“Terus?”

“Gue sih mau aja, toh katanya cuma mau ngelurusin sekaligus ngelarin masalah ini...”

“Lo yakin? Kok perasaan gue ga enak sih?”

“Gue sih ga mau suudzon, kali aja niatnya baik beneran. Soalnya dia juga udah semester akhir, masa mau kaya gitu terus?”

“Yakali aja, tapi lo beneran bareng sama Roby kan?”

Yoga pun menangguk.

“Yaudah kalau gitu, jadi semisalnya lo di apa-apain, gue tinggal tonjok tuh anak satu aja.”

“Bar-bar banget elah.”

“Kalau ada yang mencurigakan mendingan lo keluar dari kafe aja ya? Kabur gitu ya gapapalah.”

“Beres bos.”

Reza pun mengusak kepala Yoga yang kemudian di toyornya pelan. Sedangkan Yoga menoyor balik kepala Reza, jadi mereka pun saling menoyor satu sama lain selama beberapa menit sampai ponselnya Yoga berdering menandakan adaya panggilan telpon.

. . .

Sudah hampir 30 menit, tapi Roby masih berdiam diri di dalam kamar mandi sembari menatap layar ponselnya.

Ia ragu ingin menghubungi seseorang yang dulu pernah menjadi satu tim basket dengannya semasa putih abu-abu tersebut.

Namun, dirinya udah nggak punya pilihan lain.

Mengingat ada yang harus di pertanggung jawabkan olehnya saat ini juga. Dengan menarik napas, lalu menghembuskan perlahan. Roby meyakinkan dirinya sendiri kalau dia bisa menghadapinya.

Sumpah, kalau pun dia di maki oleh Reza. Seharusnya dirinya bisa menerimanya. Itu wajar, soalnya dengan seenaknya Roby menarik Yoga terjerumus seperti ini.

Semuanya akan baik-baik saja kan?

Roby masih menimang segala kemungkinan yang terjadi, masih melihat layar yang menampilkan nama nggak asing baginya.

“Anjing! Gue tuh emang ga percaya sama lo ya, Bi!”

Bisa di pastikan, suara yang nyaris teriak dengan makian itu membuat Roby sedikit menjauhkan ponselnya dari telinganya.

Kayanya Reza beneran udah kepalang kesal.

“Ja, lo dengerin penjelasan gue dulu.”

“Apa lagi?”

“Gue gak tau menahu masalah ini. Perjanjian awalnya gak kaya gini, Ja. Seriusan.”

“Bangsat! Seharusnya lo juga gak usah percaya-caya banget sama mba pacar kesayangan lo itu, anjing!”

“Ja...”

“Brengsek lo, Bi. Beneran ya kalau lo lagi ngomong di depan gue, bakalan gue tonjok sampe babak belur gak peduli kalau lo itu pernah jadi ketua tim basket gue dulu.”

“Sori.”

“Jangan minta maaf sama gue! Minta maaf sama orang yang udah lo bohongin itu, sama orang yang udah percaya banget sama lo tapi nyatanya lo tipu. Sama orang yang udah lo rusak sampe kaya gitu. Minta maaf sama Yoga. Jangan sama gue, bangsat!”

“Gue gak ada pilihan lain.”

Iya, saat ini Roby sedang berada di salah satu kamar hotel dengan seseorang yang dalam keadaan nggak sadar. Bukan artian lagi pingsan, namun karena minuman alkohol dan juga pengaruh obat perangsang.

Soalnya dia nggak tau harus bawa kabur kemana, alhasil mau nggak mau dirinya pun membawa Yoga ke sebuah hotel terdekat. Daripada kejadian yang aneh-aneh akan di mobilnya, kan bahaya.

Bahaya bisa menimbulkan kecelakaan, lantaran Yoga nggak bisa diam. Selalu mengganggunya pas dia menyetir. Maksudnya, mengganggu dirinya dalam hal negatif.

Jujur aja, sampai sejauh ini dia sangat merutuki kebodohannya yang dengan mudahnya menyetujui ide gila pacarnya itu. Ah, atau bisa di katakan mantan pacarnya lantaran setelah ia tau semua yang telah di rencanakan oleh sosok cewek (sadis) yang bernama Icha itu terhadap Yoga.

Ia masih nggak menyangka kalau mantan pacarnya itu tega melakukan hal tersebut. Hanya demi sebuah balas dendam, yang seharusnya udah kelar alias selesai pada saat hari itu juga.

Keterlaluan bukan?

. . .

Sweet Chaos

Special Chap.

Idk, ini chap tidak ada kontens ninu ninu kok.

:)

. . .

“Bajingan! Kesalahan dia itu cuma sepele, seharusnya ga sampe kaya gini juga!”

“Ja...”

“Lo tau? Dia sahabat gue, dia ga pernah sekacau ini. Dan lo malah nambah beban masalah dia.”

“What shoul i do, Ja?”

“What the... FUCK!”

Reza terdiam, mengatur napasnya. Beberap kali terdengar umpatan.

Dan Roby baru mengetahui kalau sosok yang terkenal sangat pendiam dan cuek itu semenyeramkan ini ketika lagi marah.

Bahkan Roby sampai gemetar memegang ponselnya.

“Bi...”

Mendengar suara Reza agak stabil, Roby hanya menanggapinya dengan 'hm' dari balik ponselnya.

“Lo dimana?”

“Plis, Ja...”

“Jawab, anjing!”

“Lo cukup ngasih tau apa yang harus gue lakuin...”

“Balikin Yoga ke gue, seriusan gue udah nggak percaya sama lo, bangsat!”

“Ja, kali ini aja...”

Reza mendengus kasar, mungkin sosok tinggi itu sedang mengusap kasar mukanya atau bahkan menarik rambutnya guna menahan kekesalan yang sedari tadi menjalar pada dirinya tersebut.

“Just do it.”

“Maksudnya, Ja?”

“Lo nanya apa yang harus lo lakuin kan?”

“Tapi gue harus ngapain?”

“Tanya sama diri lo sendiri!”

“Ja...”

“Lo yang udah buat dia kaya gini kan? Jadi tanggung jawablah, lo udah gede kan? Ngerti gak?”

“Lo lagi bercanda kan?”

“Disaat genting kaya gini seenaknya lo ngomong kalau gue lagi bercanda?

“Tapi...”

“Bacot, udah buruan ya lo pikirin apa yang harus lo lakuin. Sebelum gue samperin terus abis itu gue hajar lo abis-abisan!”

“Apa mending kita baku hantam aja, Ja?”

“Ngaca! Ini salah lo, gue ga mau tau. Lo selesein urusan lo. Besok pagi gue terima laporan beres!”

Dan Reza memutuskan panggilannya secara sepihak.

Sialan.

Roby pun menjambak rambutnya penuh frustasi.

Ini kisah mereka yang sempat berpisah, namun di pertemukan kembali dalam keadaan yang berbeda.

Adapun Wooseok yang masih galak, tapi terlihat menggemaskan. Dan juga Junhyuk, yang masih santai tapi terlihat menyebalkan.

. . .

Berawal dari group chat dimana isinya beberapa orang yang nggak asing.

Jinhyuk tau kalau itu ulah Seungyoun ㅡsahabat sekaligus karyawan di perusahaan miliknya. Soalnya, dia di kasih tau dulu mengenai masalah group chat yang mau di buat. Entah buat apa, yang pasti Jinhyuk hanya bisa mengiyakan aja. Supaya Seungyoun nggak bawel kaya tetangga baru.

“Kenapa lo nggak pake masker?”

Yang ditanya mengernyitkan dahinya bingung, menoleh sekilas ke sosok yang lagi duduk anteng di kursi penumpang namun sedang asyik melihat pemandangan pada sisi kirinya. Lalu kembali fokus menyetir sembari menghembuskan napasnya perlahan.

“Bukan urusan kamu.”

Lagi, jawaban yang terdengar jutek itu kembali di pendengaran yang lebih tinggi. Tersenyum tipis, ia pun masih nekat untuk menanyakan berbagai hal yang ada di kepalanya tersebut.

“Emang di kampus polusinya ngeganggu banget ya?”

Nggak ada sedikit pun niat buat mengejek sosok mungil disebelahnya itu, dia hanya penasaran aja.

“Apa sih mau kamu?”

“Penasaran aja.”

Yang lebih kecil mengeratkan tangannya pada setir kemudi, kepalang kesal. Namun masih di tahannya.

“Penasaran sama yang bukan urusan kamu?”

“Cuma mau tau aja, apa bedanya dikampus sama dipuncak?”

“Semuanya sama.”

Yang lebih muda pun menoleh, “maksudnya?”

“Kalau bisa, entah itu dikampus atau dipuncak bahkan di manapun sekali pun aku akan tetap gunakan masker.”

Dimas nggak mengerti maksud dari ucapan yang terdengar ngambang itu.

“Segitunya? Semahal itu ya perawatan muka lo?”

Demi apapun, nggak ada terbesit sedikitpun Dimas menjadi sosok manusia yang menyebalkan seperti ini. Namun entah kenapa menurut orang yang lebih tua darinya tersebut malah beranggapan lain.

“Kamu nggak tau rasanya di liatin sama orang dengan tatapan aneh, kamu nggak tau rasanya di judge karna muka kamu nggak sesuai sama gender kamu. Kamu nggak tau rasanya kalau orang tua kamu selalu nyuruh kamu lepas masker padahal kamu risih.”

Dimas bungkam.

Merasa nggak enak sekaligus takut.

Takut kalau Gio semakin sebal sama dirinya. Padahal bukan itu maksudnya, dia hanya kepalanya kepo.

“Sori.”

“Muka aku terlalu buruk rupa ya?”

Ingin sekali Dimas mekan kepalanya, namun iya hanya terdiam.

K (2)

Sembari memakan mie instansnya, sesekali Dimas mencuri pandang ke arah sosok yang sibuk dengan coklat panas dan juga ponselnya.

Tinggal sekitar dua atau tiga suap lagi, maka dirinya selesai menghabiskan makanan yang terbilang nggak sehat tersebut. Dan sehabis suapan terakhir, ia pun langsung mengambil air mineral yang terletak nggak jauh darinya.

Matanya masih tetap nggak bisa berpaling dari seseorang yang mungil dihadapannya itu, sambil berusaha mengatur napasnya dengan baik.

Kayanya, oknum yang bernama Gio itu emang nggak baik buat kesehatan dirinya ㅡkhususnya pada jantung dan juga pernapasannya.

“Dimas.”

Entah kenapa Dimas suka pelafalan namanya yang terucap dari bibir Gio. Padahal terdengar suara yang ragu, dan juga sungkan.

“Ya?” akhirnya, sosok yang lebih tinggi menyahut. Berusaha menormalkan sikapnya yang sedari tadi terlihat gugup ㅡatau lebih tepatnya salah tingkah.

“Kamu masih mau disini?”

Ah, iya benar. Rupanya sosok yang memiliki mata lumayan belo tersebut sudah menyelesaikan menikmati coklat panasnya ㅡentah sejak kapan.

“Lima belas menit lagi juga gue balik ke kamar kok. Kenapa?”

“Yaudah kalau gitu barengan aja.”

Dimas mengernyitkan dahinya, “Lo takut?”, ledeknya.

“Cuma iseng aja.”

“Ngeles aja kaya bajaj ah. Takut mah bilang aja.”

“Siapa yang takut?”

“Tadi siapa yang minta temenin?”

Gio terdiam, mukanya keliatan bete. Sedangkan Dimas malah keliatan gemas.

“Yo.”

Panggil Dimas, sementara yang di panggil hanya berdeham.

“Kenapa

Pukul 04.00 dinihari, tapi Dimas belum juga memejamkan kedua matanya. Padahal udah dari satu jam yang lalu dirinya selesai menemani Gio ㅡyang hanya minum coklat panasnya, tanpa obrolan sedikitpun.

Ia kira dengan kembali ke kamar langsung bisa tidur berhubung badannya sangat lelah, bagaimanapun Dimas membutuhkan istirahat.

Akan tetapi, efek dari seirang Gio itu luar biasa. Hanya saling bungkam dan memandangi sosok cowok mungil itu secara diam-diam udah membuatnya nggak karuan kaya gini.

Apa emang Gio itu sangat nggak baik untuk kesehatan dirinya?

Dengan segera ia pun mengambil ponselnya, mendial nomor tanpa memikirikan apakah yang di telpon akan keganggu atau nggak. Karena saat ini Dimas butuh teman cerita.

Tut...tut...tut...

Panggilannya belum juga di angkat, ya cukup sadar diri aja kalau kakak sepupunya itu emang terbiasa bangun pagi tapi biasanya kalau weekend beda.

Namun, Dimas nggak kunjung menyerah. Sembari menguap dia masih menunggu seseorang di seberang telponnya menangkat.

Dan ketika panggilan kesekian, akhirnya suara khas orang baru bangun tidur pun terdengar.

“Apa lagi?”

Dimas mendengus, ia sangat tau kalau mas Han itu masih memejamkan matanya. Mungkin mengangkat telpon karna berisik alias menganggu tidurnya itu.

“Mas...”

“Lo tau kan ini jam berapa dan hari apa, Dim?”

Baru manggil kakak sepupunya itu tapi dia udah kena omel aja.

“Biasanya juga lo bangun jam setengah limas mas.”

“Kalau weekend gini gue bangun jam limaan terus tidur lagi. Ini alarm gue aja belom bunyi eh lo udah nelpon aja. Ada apa?”

“Gue nggak bisa tidur.”

What the...

“Dim? Tumbenan orang yang pelor kaya lo nggaj bisa tidur. Kenapa? Serem tempatnya?”

Iya, Dimas itu pelor. Biasanya kalau udah capek ya tidur nggak peduli dimana. Dan lagi, kalau pun nggak bisa tidur ya dengan sehabis makan atau ngemil dia bisa dengan mudahnya tidur. Sedangkan kali ini nggak berfungsi.

“Bukan masalah tempatnya, mas. Gue ceritanya gimana ya?”

“Nggak bisa cerita nanti aja? Jangan ganggu istirahat orang napa Dim.”

“Cuma lo yang bisa gue andelin, mas.”

“Nyusahin banget sih lo jadi orang.”

“Lo udah gue anggap baoak gue sendiri kan...”

“Ogah banget gue punya anak kaya lo, bikin migren gue mulu.”

Ada keheningan yang tercipta. Meskipun kadang ucapan mas Han suka asal ceplos dan Dimas udah hapal mengenai hal itu. Namun, entah kenapa dirinya masih agak sensitif kalau kakak sepupunya itu udah ngomong kaya gitu.

“Sori, Dim. Sekarang cerita deh gue dengerin.”

Suara mas Han udah nggak kaya tadi yang kasih males-malesan buat nanggapi obrolan Dimas. Sekarang lebih ke agak mode sepenuhnya bangun dan serius.

“Apa waktu lo suka sama Nata juga nggak bisa tidur?”

“Random amat pertanyaan lo?”

Dimas mendengus kesal, “jawab aja sih.”

. . .

Perasaan Gio aja atau emang sosok yang di sebelahnya ini sedari tadi menatap dirinya. Ya emang nggak secara intens sih, tapi entah kenapa dia merasa aja. Cuna ya gitu, pura-pura nggak sadar aja kalau lagi di liatin.

Apa Dimas masih nggak yakin kalau dirinya itu beneran cowok, bukan cewek seperti dugaannya?

“Kenapa lo nggak pake masker aja (sih)?”

Meskipun pelan tapi Gio mendengar ucapan yang terlontar dari mulut Dimas.

Ya nggak tau itu sebuah pernyataan atau pertanyaan, yang menyuruhnya untuk memakai masker atau menanyakan kenapa dia nggak memakai masker.

“Masalah?”

Hanya perkataan itu yang bisa di keluarkan oleh Gio.

Ya kalau boleh jawab jujur, pastinya masalah.

Hal itu nggak baik buat diri Dimas khususnya kesehatannya. Apalagi sekarang mereka berdua, di dalam mobil. Dan pastinya Dimas ingin selalu mengarahkan matanya ini ke sebelahnya ㅡorang yang sedang menyetir.

“Ya nggak. Nanya aja.”

K

“Ngapain lo liatin gue kaga gitu?”

Merinda mendengus kesal mendengar penuturan yang terdengar pede dari sosok yang duduk tepat di ujung sofa.

“Lo normal kan, Dim?”

Hampir aja Dimas tersedak minumannya mendapat pertanyaan random dari cewek yang notabennya adalah sahabatnya Hera di kampus.

“Normal dalam konteks apa nih?”

“Lo masih suka sama cewek kan?”

Dimas mengernyitkan dahinya bingung.

Jangan bilang nih cewek yang sibuk ngemil chiki tersebut ada maksud sama dirinya lagi.

Idih.

Meskipun emang terbilang cantik, tapi entah kenapa Dimas nggak tertarik tuh.

Iya, oknum saudara Dimas Saputra ini emang terlalu narsis. :)

“Masihlah, tapi mon maap aja nih gue nggak suka sama lo.”

Tau apa yang di lakukan Merinda ketika Dimas mengatakan hal itu?

Dia melemparkan bantal sofa sembari bilang, “najis ya, siapa yang naksir sama lo bangsat!”

Kemudian Dimas hanya menyingkirkan bantal hasil lemparan Merinda dan merotasikan kedua matanya malas.

Halah, sok malu-malu kucing. ㅡbathinnya masih penuh kepedean tingkat tinggi.

“Lo tau kan kalau kak Gio itu cowok?”

Keheningan yang sempat tercipta kembali buyar dengan satu pertanyaan yang mengejutkan dari sosok cewek bongsor yang duduknya di ujung sofa lainnya.

Iya, Dimas dan Merinda memang duduk di satu sofa yang sama. Akan tetapi mereka memilih menyamankan diri di masing-masing ujung sofa.

Aneh, emang.

“Ya gue tau, kalau dia cowok kok.” dalam perkataannya itu sebenarnya Dimas agak sangsi.

“Bagus kalau gitu.” ujar Merinda gantung yang mendapat tatapan bingung dari cowok bermata sipit tersebut.

“Mukanya emang keliatan manis, tapi dia juga masih normal. Mantannya cantik dan juga pinter.”

Entah apa maksud dari informasi random yang di berikan sama Merinda, namun yang Dimas tangkap hanya kalimat yang mengandung kata mantan, cantik dan pinter.

“Paham kan? Lo mungkin ngira dia bakalan suka cowok, tapi nggak, Dim. Ya semisalnya suka pun dia pemilih. Bukan yang berandalan, brengsek dan juga playboy.”

Bangsat.

Ini dia lagi nggak di sindir kan?

K

“Ngapain lo liatin gue kaga gitu?”

Merinda mendengus kesal mendengar penuturan yang terdengar pede dari sosok yang duduk tepat di ujung sofa.

“Lo normal kan, Dim?”

Hampir aja Dimas tersedak minumannya mendapat pertanyaan random dari cewek yang notabennya adalah sahabatnya Hera di kampus.

“Normal dalam konteks apa nih?”

“Lo masih suka sama cewek kan?”

Dimas mengernyitkan dahinya bingung.

Jangan bilang nih cewek yang sibuk ngemil chiki tersebut ada maksud sama dirinya lagi.

Idih.

Meskipun emang terbilang cantik, tapi entah kenapa Dimas nggak tertarik tuh.

Iya, oknum saudara Dimas Saputra ini emang terlalu narsis. :)

“Masihlah, tapi mon maap aja nih gue nggak suka sama lo.”

Tau apa yang di lakukan Merinda ketika Dimas mengatakan hal itu?

Dia melemparkan bantal sofa sembari bilang, “najis ya, siapa yang naksir sama lo bangsat!”

Kemudian Dimas hanya menyingkirkan bantal hasil lemparan Merinda dan merotasikan kedua matanya malas.

Halah, sok malu-malu kucing. ㅡbathinnya masih penuh kepedean tingkat tinggi.

“Lo tau kan kalau kak Gio itu cowok?”

Keheningan yang sempat tercipta kembali buyar dengan satu pertanyaan yang mengejutkan dari sosok cewek bongsor yang duduknya di ujung sofa lainnya.

Iya, Dimas dan Merinda memang duduk di satu sofa yang sama. Akan tetapi mereka memilih menyamankan diri di masing-masing ujung sofa.

Aneh, emang.

“Ya tau, kalau dia cowok kok.” dalam perkataannya itu sebenarnya Dimas agak sangsi.

“Bagus kalau gitu.” ujar Merinda gantung yang mendapat tatapan bingung dari cowok bermata sipit di ujung sofa.

“Mukanya emang keliatan manis, tapi dia juga masih normal. Mantannya cantik dan juga pinter.”

Entah apa maksud dari informasi random yang di berikan sama Merinda, namun yang Dimas tangkap hanya kalimat yang mengandung kata mantan, cantik dan pinter.”

“Paham kan? Lo mungkin ngira dia bakalan suka cowok, tapi nggak, Dim. Ya misalnya suka pun dia pemilih. Bukan yang berandalan, brengsek dan juga playboy.”

Bangsat.

Ini dia lagi nggak di sindir kan?

. . .

Sehabis obrolan nggak jelas di ruang tengah, Dimas lebih memilih untuk nyebat di halaman depan sembari menunggu kepulangan Gio beserta Hera dan kawanannya.

Sejauh ini Dimas nggak tau ㅡatau nggak peduli sama nama ke 3 orang teman Hera lainnya. Toh jarang interaksi juga.

Nggak lama dia duduk di bangku kayu yang terdapat di depan villa.

Masih memikirkan ucapan Merinda. Lebih tepatnya tuh maksudnya apa? Emang

“Ja, gimana pacaran sama Arga?”

Hah?

Reza terlihat heran sekaligus bingung atas pertanyaan yang terlontar dari mulut sahabat semonyetnya itu. Pasalnya, nggak ada angin nggak ada hujan. Kok tumben randomnya aneh banget si Yoga ini ya?

“Lo berapaka kali ciuman sama tuh bocah? Gimana rasanya?”

Lagi, Reza di buat melongo. Seketika dengan kurang ajarnya dia pun menempelkan tangannya ke dahinya Yoga. Guna mengecek suhu. Takut aja kalau sahabatnya itu ternyata lagi demam, makanya ngigo nggak jelas kaya gitu.

“Ja...”

Sumpah, kelakuan Yoga belakangan ini membuat Reza menggelengkan kepalanya.

Nggak tau lagi harus ngomong apa. Soalnya nggak jelas banget.

“Lo mau ngomong apa sih, nyet?”

Meskipun emang terdengar bercanda, tapi seriusan kalau sosok Reza itu khawatir sama Yoga.

Keadaannnya terbilang kacau.

“Lo jangan ngetawain gue ya?”

Reza menganggukkan kepalanya tanda setuju.

“Jangan kebanyakan nanya juga ya.”

“Iya.”

“Dan pokoknya lo jangan judge gua apa-apa ya?”

Kesabaran Reza terbatas, sosok yang sedari tadi duduk sembari memperhatikan tingkah laku sahabatnya di atas kasur dengan nggak jelasnya itu pun menghembuskan napasnya kasar.

“Iya lo cerita aja. Gua nggak bakalan nyelak atau nyudutin lo kok, Ga.”

Kepalang kesal, akhirnya Reza bangun dari tempat duduknya dan menghampiri sosok sahabat ya itu.

(J)

Dimas nggak tau apa yang terjadi sama dirinya selama di perjalanan. Entah emang kepalang bete karna sedari tadi di cuekin sama oknum yang bernama Gio atau kesal lantaran di lupakan kehadirannya sama sahabatnya ㅡHera. Soalnya, seumur hidupnya dia tuh nggak pernah sepenuhnya berdiam diri kalau lagi berpergian seperti ini.

Minimal, dirinya pasti mengeluarkan suaranya. Entah itu sekedar mengiyakan atau ikut andil dalam obrolan selama diperjalanan. Beda, kalau misalnya dia dalam kondisi menyetir yang membutuhkan konsentrasi. Ya itu pun masih bisa sekedar sedikit nimbrung mengobrol, nggak sampai bungkam juga.

Intinya Dimas ngerasa badmood karena nggak bisa menikmati perjalanan sesuai ekspetasinya tersebut. Padahal, dia udah membayangkan bagaimana dirinya bisa berbasa-basi sedikit sama Gio dan juga teman-temannya Hera.

Dengan asal cowok berlesung pipi itu mengusap wajahnya kasar, kemudian keluar dari toilet. Niatnya dia mau langsung menyusul anak-anak lainnya yang sudah berada di salah satu tempat makan siap saji. Namun, dia urungkan. Dimas malah melimpir masuk ke sebuah supermarket yang di lewatinya.

From Hera(n)

“Dim, lo ke toilet apa ke Bogor deh?”

Chat yang masuk ke dalam ponselnya tersebut, dia abaikan. Itu juga Dimas hanya melihat melalui notifikasi aja.

From Hera(n)

“Kalau lo udahan titip beli tolak angin di supermaket dong.”

“Buat kak Gio.”

Dan seorang Dimas yang tadinya malas untuk sekedar membuka chat dari sahabatnya itu seketika langsung membalasnya meskipun dengan singkat.

“Ok.”

Send message

Selama dalam mengantri untuk membayar belanjaannya di kasir, entah kenapa dirinya malahan memikirkan kemungkinan-kemungkinan suasana yang lebih canggung setelah dari sini. Makanya dari itu Dimas berinisiatif akan meminta untuk menggantikan Gio menyetir aja.

. . .

Sesampainya di salah satu makanan siap saji, Dimas celingukan mencari segerombolan teman-temannya. Dan ketika matanya ke arah sudut tempat, dirinya menemukan 6 orang yang sedang mengobrol sambil melahap makanannya. Sebenarnya sih hanya 5 orang yang aktif mengobrol sedangkan 1 orang hanya merespon dan sibuk dengan ponselnya.

Dimas menghampiri meja yang sedikit berisik itu, memilih duduk tepat di hadapan Gio ㅡsoalnya emang tinggal kursi itu doang yang kosong.

ㅡIngat jangan selalu bersuudzon dengan saudara Dimas ini ya.

“Dim, lo nyasar ya ke toilet?” Baru juga dateng dan mendudukan bokongnya di kursi, tapi dia udah di sindir aja sama Hera.

Menyebalkan emang. ㅡpikir Dimas.

Dimas meletakkan 2 kantong besar belanjaannya di bawah meja, kemudian menatap malas Hera yang tangannya asyik mencomot kentang padahal mulutnya masih sibuk mengunyah makanan itu.

“Tadi beli cemilan sama kebutuhan gue dulu, dan juga titipan lo nih.” Dimas menyahut sambil ikutan mencomot kentang yang tersedia di atas meja. Nggak peduli itu punya siapa.

Kebutuhan yang di maksud Dimas adalah beberapa obat-obatan seperti minyak kayu putih, antimo, tolak angin bahkan susu beruang dan juga perlengkapan alat mandi yang nggak sempat dia bawa.

Di supermarket nggak ada inhaler. Padahal itu yang di butuhkan oleh seorang Adimas Saputra. :)

“Bukan titipan Hera itu sih, Dim, tapi kak Gio.”

Sahutan dari seberang meja mengejutkan Dimas, pasalnya itu bukan Gio melainkan teman Hera yang duduk tepat di sebelah Gio.

“Kok aku?”, raut muka Gio terlihat bingung, menatap ke arah sosok cewek yang sibuk sama kulit ayamnya ㅡMerinda.

“Iya tadi emang aku yang bilang Hera sekalian titip beli tolak angin buat kak Gio. Antisipasi, jaga-jaga aja.” Ujar santai Merinda ke sosok kakak sepupunya tersebut yang di tanggapi dengan anggukan sebagai tanda mengerti.

“Oh, oke. Makasih.”

Entah Gio mengucapkan terimakasih kepada siapa, ke Dimas atau ke Merinda.

. . .

Setelah mereka melakukan makan malam yang terbilang sangat telat, dengan segera mereka pun melanjutkan perjalanan lagi menuju puncak.

“Gio.” panggil

7.

Entah perasaan gue doang atau bukan ya, tapi kayanya Bayu agaj nggak nyaman sama kehadiran Tio. Soalnya, semenjak kedatangan sosok sahabat gue semasa sekolah putih abu-abu tersebut, Bayu