.
Yoga merebahkan badannya, menatap langit-langit kamarnya. Kemudian meraba kasurnya, mencari sebuah benda persegi pintar miliknya.
Namun, ia menghembuskan napasnya perlahan. Lupa, kalau smartphone-nya tersebut ia letakkan di atas meja nakas.
Dengan malas Yoga pun mengambil ponselnya itu, lalu segera men-dial nomor seseorang yang ia butuhkan saat ini.
Tut...tut...tut...
Udah panggilan ketiga, namun sahabat monyetnya tersebut nggak kunjung juga mengangkat panggilan darinya.
Ya wajar, ini malam minggu. Yang artinya, mungkin aja Reza lagi pacaran sama si adek kelasnya itu.
Niatnya Yoga ingin melemparkan ponselnya tepat di sampingnya itu sembarangan, tapi pas tau ada panggilan telpon dari sahabat monyetnya, ia mengurungkan niatnya tersebut. Jadi, ia pun langsung mengangkatnya.
“Ja!”
Belum juga Reza menyapa, tapi Yoga udah meneriakan namanya.
Sementara yang diseberang telpon terdengar sedikit kaget, “Oi, kenapa?”.
“Lo bisa kerumah gue ga?” pintanya sambil mengubah posisi dari rebahan menjadi tengkurap.
“Bisa, kapan?”
“Sekarang.”
“Yaudah gue on the way ya.”
Yoga sebenarnya heran, kok tumbenan sahabatnya itu langsung mengiyakan permintaannya tanpa ba-bi-bu seperti biasanya?
“Yakin?”
“kenapa deh?”
Emang oknum yang bernama Reza itu kadang lemotnya keterlaluan.
“Lo gak lagi malem mingguan sama Arga?”
“Anaknya lagi di monopoli sama nyokap gue.”
Oh pantesan aja ㅡpikir bathin Yoga.
“Seriusan?”
Lagi, Yoga berusaha meyakinkan. Soalnya agak aneh aja, nggak kaya biasanya.
“Iya elah. Padahal ya dulu aja sempet ga setuju pas gue bawa Arga kerumah. Malahan bikin gue sama tuh bocah break beberapa bulan. Eh sekarang mah dikit-dikit monopoli anaknya mulu. Heran.”
Hampir aja Yoga tertawa, kalau nggak ingat sahabatnya itu lagi sewot.
Untung aja dia mah orangnya sadar diri.
“Anjir curcol pak?”, ledeknya yang membuat orang di seberang telponnya mendengus kesal.
“Eh iya, sori. Gue kerumah sekarang ya.”
“Sip gue tunggu.”
Sambungan terputus.
Sembari menunggu kedatangan Reza, ia pun memainkan games secara random. Dari candy crush, onet, zombie tsunami, bahkan sampai dumb ways die.
Biasanya paling lama sekitar 10 menit sahabatnya itu sampai kerumahnya. Sekarang udah lewat.
Jangan-jangan tuh anak monyet satu php lagi?
Baru aja suudzon sama sahabatnya, pintu kamarnya terbuka. Menampilkan sosok tinggi yang di tunggu-tunggu olehnya.
“Kenapa lo?” tanya Reza sambil menutup pintu kamarnya, lalu menghampirinya.
Tumben tuh anak monyet duduk di atas ranjangnya, biasanya lebih milih duduk di sofa yang letaknya nggak jauh dari ranjangnya.
“Mau minta pendapat doang.”
“Mengenai?”
Muka Reza terlihat bingung.
“Masalah yang sama.”
“Anjing! Belom kelar juga?”
Yoga menggelengkan kepalanya pelan.
“Apa sih maunya tuh cewek?”
“Bales dendam mungkin.”
Reza mendengus kesal lantaran jawaban ngaco dari sahabatnya itu.
“Besok gue aja deh yang ngomong sama tuh cewek. Gimana?”
“Ga usah, nyet. Nanti makin meleber masalahnya.”
“Sori.”
Kali ini Yoga yang keliatan bingung.
Jangan bilang tuh monyet satu merasa bersalah lantaran mereka beda jurusan, yang membuat keduanya jadi jarang ketemu satu sama lain di kampus. Apalagi gedung mereka yang jaraknya jauh.
“Apaan sih, lebay banget lo, nyet.”
“Sumpah gue kesel aja ya sama tuh mba-mba pacarnya Roby, masalah yang harusnya bisa kelar di bikin ngejelimet kaya gini.”
“Emang gitu, lo ga tau aja kelakuan yang sebenernya sih. Beda gedung.”
“Terus Roby juga ga bisa pawangin tuh pacarnya?”
“Nah itu masalahnya...”
“Gue tau itu awalnya emang salah lo ya, nyet. Tapi ga bisa kaya gini juga. Kesannya tuh emang sengaja banget, ajimumpung gitu.”
“Dengerin gue dulu napa sih, Ja.”
“Apaan?”
“Gue disuruh dateng ke kafe bareng Roby gitu ya sama si kak Icha ini...”
“Terus?”
“Gue sih mau aja, toh katanya cuma mau ngelurusin sekaligus ngelarin masalah ini...”
“Lo yakin? Kok perasaan gue ga enak sih?”
“Gue sih ga mau suudzon, kali aja niatnya baik beneran. Soalnya dia juga udah semester akhir, masa mau kaya gitu terus?”
“Yakali aja, tapi lo beneran bareng sama Roby kan?”
Yoga pun menangguk.
“Yaudah kalau gitu, jadi semisalnya lo di apa-apain, gue tinggal tonjok tuh anak satu aja.”
“Bar-bar banget elah.”
“Kalau ada yang mencurigakan mendingan lo keluar dari kafe aja ya? Kabur gitu ya gapapalah.”
“Beres bos.”
Reza pun mengusak kepala Yoga yang kemudian di toyornya pelan. Sedangkan Yoga menoyor balik kepala Reza, jadi mereka pun saling menoyor satu sama lain selama beberapa menit sampai ponselnya Yoga berdering menandakan adaya panggilan telpon.
.
.
.
Sudah hampir 30 menit, tapi Roby masih berdiam diri di dalam kamar mandi sembari menatap layar ponselnya.
Ia ragu ingin menghubungi seseorang yang dulu pernah menjadi satu tim basket dengannya semasa putih abu-abu tersebut.
Namun, dirinya udah nggak punya pilihan lain.
Mengingat ada yang harus di pertanggung jawabkan olehnya saat ini juga. Dengan menarik napas, lalu menghembuskan perlahan. Roby meyakinkan dirinya sendiri kalau dia bisa menghadapinya.
Sumpah, kalau pun dia di maki oleh Reza. Seharusnya dirinya bisa menerimanya. Itu wajar, soalnya dengan seenaknya Roby menarik Yoga terjerumus seperti ini.
Semuanya akan baik-baik saja kan?
Roby masih menimang segala kemungkinan yang terjadi, masih melihat layar yang menampilkan nama nggak asing baginya.
“Anjing! Gue tuh emang ga percaya sama lo ya, Bi!”
Bisa di pastikan, suara yang nyaris teriak dengan makian itu membuat Roby sedikit menjauhkan ponselnya dari telinganya.
Kayanya Reza beneran udah kepalang kesal.
“Ja, lo dengerin penjelasan gue dulu.”
“Apa lagi?”
“Gue gak tau menahu masalah ini. Perjanjian awalnya gak kaya gini, Ja. Seriusan.”
“Bangsat! Seharusnya lo juga gak usah percaya-caya banget sama mba pacar kesayangan lo itu, anjing!”
“Ja...”
“Brengsek lo, Bi. Beneran ya kalau lo lagi ngomong di depan gue, bakalan gue tonjok sampe babak belur gak peduli kalau lo itu pernah jadi ketua tim basket gue dulu.”
“Sori.”
“Jangan minta maaf sama gue! Minta maaf sama orang yang udah lo bohongin itu, sama orang yang udah percaya banget sama lo tapi nyatanya lo tipu. Sama orang yang udah lo rusak sampe kaya gitu. Minta maaf sama Yoga. Jangan sama gue, bangsat!”
“Gue gak ada pilihan lain.”
Iya, saat ini Roby sedang berada di salah satu kamar hotel dengan seseorang yang dalam keadaan nggak sadar. Bukan artian lagi pingsan, namun karena minuman alkohol dan juga pengaruh obat perangsang.
Soalnya dia nggak tau harus bawa kabur kemana, alhasil mau nggak mau dirinya pun membawa Yoga ke sebuah hotel terdekat. Daripada kejadian yang aneh-aneh akan di mobilnya, kan bahaya.
Bahaya bisa menimbulkan kecelakaan, lantaran Yoga nggak bisa diam. Selalu mengganggunya pas dia menyetir. Maksudnya, mengganggu dirinya dalam hal negatif.
Jujur aja, sampai sejauh ini dia sangat merutuki kebodohannya yang dengan mudahnya menyetujui ide gila pacarnya itu. Ah, atau bisa di katakan mantan pacarnya lantaran setelah ia tau semua yang telah di rencanakan oleh sosok cewek (sadis) yang bernama Icha itu terhadap Yoga.
Ia masih nggak menyangka kalau mantan pacarnya itu tega melakukan hal tersebut. Hanya demi sebuah balas dendam, yang seharusnya udah kelar alias selesai pada saat hari itu juga.
Keterlaluan bukan?
.
.
.
Sweet Chaos
Special Chap.
Idk, ini chap tidak ada kontens ninu ninu kok.
:)
.
.
.
“Bajingan! Kesalahan dia itu cuma sepele, seharusnya ga sampe kaya gini juga!”
“Ja...”
“Lo tau? Dia sahabat gue, dia ga pernah sekacau ini. Dan lo malah nambah beban masalah dia.”
“What shoul i do, Ja?”
“What the... FUCK!”
Reza terdiam, mengatur napasnya. Beberap kali terdengar umpatan.
Dan Roby baru mengetahui kalau sosok yang terkenal sangat pendiam dan cuek itu semenyeramkan ini ketika lagi marah.
Bahkan Roby sampai gemetar memegang ponselnya.
“Bi...”
Mendengar suara Reza agak stabil, Roby hanya menanggapinya dengan 'hm' dari balik ponselnya.
“Lo dimana?”
“Plis, Ja...”
“Jawab, anjing!”
“Lo cukup ngasih tau apa yang harus gue lakuin...”
“Balikin Yoga ke gue, seriusan gue udah nggak percaya sama lo, bangsat!”
“Ja, kali ini aja...”
Reza mendengus kasar, mungkin sosok tinggi itu sedang mengusap kasar mukanya atau bahkan menarik rambutnya guna menahan kekesalan yang sedari tadi menjalar pada dirinya tersebut.
“Just do it.”
“Maksudnya, Ja?”
“Lo nanya apa yang harus lo lakuin kan?”
“Tapi gue harus ngapain?”
“Tanya sama diri lo sendiri!”
“Ja...”
“Lo yang udah buat dia kaya gini kan? Jadi tanggung jawablah, lo udah gede kan? Ngerti gak?”
“Lo lagi bercanda kan?”
“Disaat genting kaya gini seenaknya lo ngomong kalau gue lagi bercanda?
“Tapi...”
“Bacot, udah buruan ya lo pikirin apa yang harus lo lakuin. Sebelum gue samperin terus abis itu gue hajar lo abis-abisan!”
“Apa mending kita baku hantam aja, Ja?”
“Ngaca! Ini salah lo, gue ga mau tau. Lo selesein urusan lo. Besok pagi gue terima laporan beres!”
Dan Reza memutuskan panggilannya secara sepihak.
Sialan.
Roby pun menjambak rambutnya penuh frustasi.