aleanorkim

Disini, kami berdua, tepat pukul 3 dini hari, dengan kepala menunduk dan tangan yang saling mengepal.

Marvel baru saja menyelesaikan shiftnya. Datang dengan kemeja berwarna abu-abunya, wangi parfumnya pun seketika memenuhi mobil.

Mengetuk kaca mobil, tersenyum dengan gigi yang terlihat,

I miss him.

“Maaf yaa hari ini rame banget. Kamu nungguin lama banget pasti. Maaf yaa nann,”

Harusnya aku yang minta maaf Marvel.

“Iyaa gaapa aku aja yang gak hafal-hafal. Gimana? Aman semua kan pak dokter?”

“Hahahaha aman-aman. Masio aku berdiri berjam-jam tapi legaa.”

Semoga habis ini lebih lega ya Vel.

“Tempat date favorit kita. Tempat parkir rumah sakit,” Monolog Marvel sambil melihat keadaan tempat parkir yang cukup sepi.

“Vel aku anterin pulang yuk, kamu capek banget pasti.”

Selanjutnya, yang ku dapatkan hanya helaan nafas berat Marvel.

“Disini aja kalau mau ngomong. Aku lanjut shift pagi tukeran sama temen.”

Back to Marvel being overworked. Salah satu sifat buruk Marvel kalau suasana hatinya gak baik, bakal ngehabisin waktu luangnya di rumah sakit.

“Vell, you need to sleep too. Kamu bisa ngobatin pasien, tapi kamu gak bisa jaga kesehatan kamu sendiri, gimana dong?”

Perdebatan sehari-hari kita, dulu. Gak sehari-hari sih sebisanya aja, kalau ketemu pasti berantemnya ada juga.

“Aku tukeran kemarin pas mau maem bebek sama kamu. Sekarang gantian dia mau jalan sama pacarnya yang baru balik dari Jepang.”

Aku baru tau kalau makan bebek waktu itu dia harus tukeran jadwal jaga temennya biar bisa malam mingguan.

“Mau ngomong apa nan?”

“Aku minggu ini ke malang. Dan kemungkinan bakal extend disana selama beberapa bulan, atau mungkin tahun. Mau pamit, takutnya pas minggu kamu belajar, takut ganggu.”

Bukan cuman berniat untuk menghindar, di satu sisi ke Malang salah satu jalan buat bisa naikin karir aku sendiri. Dan dulu, Marvel jadi salah satu alasan aku untuk gak ninggalin kota ini. Gak ninggalin dia.

But now, it's not the same anymore.

“Iyaa, hati-hati disana. Aku minggu ibadah pagi Nan, terus ada janji ketemu dokter Azhar buat ngomongin ppds.”

“Oke oke. Semoga lancar ya ppdsnya.”

Menahan agar tak menangis mencerna obrolan penutup kami.

Keluar dari mobil dan mengucapkan 'kata drive safe nan', untuk penutup yang sebenernya. Tak ada pelukan atau ciuman di kening. Hanya lambaian tangan yang Marvel berikan.

BONCHAP — the door open

Di satu malam, Arjuna meminta sang anak untuk tidur cepat. Menemaninya bermain agar cepat lelah dan segera tertidur pulas. Shania yang melihat Arjuna kelelahan setelah menemani Kynan, tersenyum. Melihat ayah satu anak ini bermain mengingatkannya kepada sosok ayah yang Shania cintai, cinta pertamanya. Ayahnya juga sosok penyayang seperti Arjuna, akan menyiapkan waktu untuk menemani Shania kecil bermain atau mengerjakan tugas. Shania rindu ayahnya, mungkin besok pagi akan meminta izin kepada Arjuna agar bisa datang ke rumah orang tuanya.

“Capek banget mas? Lagian tumben banget kamu ngajak main Kynan lari-larian di weekdays gini.”

Arjuna yang masih menutup matanya dengan nafas terengah-engah menjawab hanya dengan seringai.

“Mandi dulu gih, keringetan kayak gitu. Udah berumur banget ya mas, kerasa capeknya main sama Kynan yang lagi aktif-aktifnya.”

Dibilang berumur, membuat Arjuna sedikit emosi. Arjuna dan Kynan memang hanya berjarak 19 tahun. Tak khayal membuat mereka tampak seperti adik-kakak.

“Aku masih 27 kali, gendong kamu aja masih kuat aku.” Arjuna sesegera mengangkat tubuh sang istri. Membawanya seringai bulu. Memamerkan bahwa dia masih sekuat itu.

Terkikik dengan sifat Arjuna yang sama sekali tak bisa direndahkan walaupun bernada bercanda.

“Iyaa iyaa udah ih ayo turunin aku.”

“Mandi yuk.” Arjuna mengedipkan matanya.

Genit sekali memang pria virgo satu ini.

Kegiatan pertama mereka adalah menggosok gigi di depan kaca. Kegiatan yang sering mereka lakukan untuk bersanda gurau, menceritakan kisah hari ini dengan tawa karena suara yang terdengar samar karena busa di mulut.

Topik pembicaraan hari ini adalah sang anak. Kynan Shaka. Ada rencana untuk memasukkan Kynan ke sekolah dasar tapi sepertinya angan itu akan tertolak karena banyak hal. Memutuskan bahwa Kynan akan tetap melanjutkan sekolah dasarnya dengan homeschooling.

“Tapi aku pingin tau mas, anter jemput anak sekolah gitu. Bikinin bekal. Bonusnya bisa ketemu geng ibu-ibu hehehe.”

“Buat mau?” mengucapnya dengan perkataan bercanda tapi mimik muka Arjuna sangatlah serius.

“Dikira adonan kue. Udah yuk mandi. Udah malem banget, besok aku ada janji buatin Kynan sarapan nasi goreng spesial soalnya.”

Membersihkan busa-busa di mulut, Shania beranjak untuk menuju bilik shower, tapi langkahnya diberhentikan.

Badannya secara tiba-tiba diangkat untuk duduk di atas meja wastafel berbahan marmer. Baju piyama satin membuat kulitnya merasakan dingin marmer.

“Ih apa sih mass! Ayuk ah mandi.”

“Loh katanya mau adek buat Kynan.” Mungkin dulunya Arjuna lulus dengan gelar BF. Bachelor of Flirty.

“Besok mau bangun pagi ih. Udah sana-sana” Tangan Shania mendorong dada bidang Arjuna, hendak turun.

Tapi badannya dihimpit, kaki Shania dibuat melingkar di pinggang Arjuna. Sedetik kemudian, bibir mereka bertaut. Ciuman tipis yang sering mereka lakukan di setiap harinya. Hingga ciuman itu berubah menjadi tuntutan gairah. Menggunakan lidah untuk membelit satu sama lain, mengecap semua tempat, merasakan rasa-rasa yang familiar di sana.

Diselanya, tangan Arjuna mulai melepas kancing piyama satin bewarna maroon yang sedari tadi membuat pikiran Juna tak waras. Bagaimana bisa sang istri selalu nampak memukau walaupun sudah bertahun-tahun bersama. Arjuna tak pernah bosan dengan kecantikan Shania. Ia akan selalu rindu dan bertambah cinta dengan wanita satu ini. Wanita yang menyelamatkannya dari gelapnya dunia. Yang memberikan seluruh cintanya tanpa meminta untuk dibalas. Juna sangat beruntung memiliki Shania.

Ciumannya berpindah menuju tulang selangka Shania. Mengecup di sana, memberi tanda merah yang membuat Shania akan menghabiskan concealer berbotol-botol.

“Ahh, udah dingin.” Desahan yang bercampur omelan kecil dari bibir Shania membuat Juna semakin gila. Tak waras dengan kecilnya afeksi yang ia terima. Melepas kaos tipisnya, Arjuna nampak lebih bidang dari sebelumnya. Efek berjam-jam di tempat gym.

“Kamu tuh kenapa sih cantik terus. Cantik banget” Ucap Juna dengan tangan yang sudah mulai melepas seluruh pakaiannya sekaligus milik Shania.

Berlutut, Arjuna menyempatkan menatap mata sayu Shania. Bibirnya yang sedikit terbuka, membuat Arjuna semakin tak sabar. Menciumi sejengkal demi sejengkal paha dalam milik istrinya. Rambut Arjuna menjadi lampiasan gairah Shania.

“Mass, mass. Juna ah.”

Nama Juna akhirnya terlontar indah ketika jarinya bermain. Memainkan klirotis dengan sangat ahli, Arjuna tersenyum memdengar namanya dipanggil secara keras dan gamang.

“One” Satu jari yang sudah Juna jilat sendiri ia masukkan. Memberi jalan untuk nantinya bagian yang lain akan menggantikan jarinya.

“Two” Namanya diteriakkan sekali lagi. Kamar mandi dan kamar tidur milik mereka memang kedap suara tapi Arjuna bersyukur membuat Kynan tidur lebih cepat. Berharap tak ada gangguan yang biasanya akan ia dapatkan karena Kynan yang merengek ingin tidur bersama.

“Three” Juna memeperhatikan Shania yang mengadahkan kepalanya. Menampakkan leher jenjang yang sudah dibumbuhi Juna dengan kecupan merah di sekitarnya. Melihat betapa jauh Juna bisa membuat Shania kepayang.

Sudah cukup dengan foreplay yang sepertinya memakan waktu cukup lama karena Juna terlalu menikmati namanya di teriakkan berkali-kali oleh sang istri.

Arjuna menarik badan Shania lebih dekat. Membuatnya saling bersentuhan, kulit dengan kulit.

“Ih mas kamu gak malu apa ngadep kaca gini” Juna memang menghadap cermin, menunjukkan tubuh bagain belakang Shani yang tertutup rambut gelap panjangnya. Yang menurutnya Arjuna nampak lebih seksi.

“Udah lama kita gak main di play room. Seringnya di kamar. I missed watching how sexy you are reflected in the mirror.”

“Arjuna as dominant.”

Alibi semata bahwa kaca hanya menjadi tontonan Arjuna untuk melihat betapa indahnya Shania, karena tujuan Arjuna membuat satu ruangan full kaca hanya untuk melihat betapa gagahnya diri sendiri when he wrecked Shania. When he made Shania moan loudly.

Kebanggaan sendiri ketika melihat Shania meminta berkali-kali untuk digagahi. Meminta untuk di hancurkan sana sini. Haus akan sentuhan Arjuna.

“No. Nooo. Too faster. Sayang! Mass!”

Melihat surai Shania yang dibiarkan terurai membuat Juna lepas kendali. Membuat surai itu bergerak dengan kencang menjadi salah satu tujuannya, membuat pergerakan di bawah sana semakin cepat.

“So tight. Shan. Ouhh.”

Pelepasan pertama mereka. Tak cukup dengan itu, Arjuna membawa Shania untuk melanjutkannya di kasur. Tapi sayangnya, di tengah perjalanan yang tak jauh sama sekali mereka berhenti di depan pintu kamar mandi. Mungkin hanya sepuluh langkah dari tempat terakhir mereka.

Membuat Shania berpegangan dengan pintu, Arjuna akan siap memanjakannya dari belakang.

Sesekali, Arjuna berlaku jail dengan menampar pelan pantat Shania.

“Don't slap my butt!!”

Arjuna sendiri hanya terkekeh sembari mengerang karena setiap tamparan kecil membuat Shania mengapit miliknya semakin kencang. Membuat penis Juna semakin senang berteduh di sana. Nyaman dan hangat menyelimuti.

“Oh my princess, don't you move too rough?”

Iya, Shania tak tahan dengan tempo Juna yang dirasa semakin pelan. Shania tau, Juna hanya berniat membuatnya geram. Dan berhasil, Shania geram, amat geram, hingga membuat pergerakan lawanan untuk mencari titik nikmatnya.

“Mas Juna, ya there. Disitu sayang. Ah ah”

“Here? Di sini? Kamu suka di sini? Iya Shan?”

Gila, Arjuna bermain dengan amat gila. Hanya satu kata yang bisa mendefinisikan kegiatan mereka. Juna menemukan titik sensitifnya, membuat Shania menggelinjang hanya karena tiga kali gerakan. Kakinya melemas. Hingga membuat Juna, membawanya ke ujung kasur. Merebahkan Shania di sana.

“Capek ya kamu? Udah gaapa tidur aja. Aku selesaian sendiri.”

Arjuna memang sedikit kasar saat bermain, tapi tak mengurangi rasa hormatya. Di rasa Shania sudah tak sanggup, Juna siap untuk bermain sendiri. Tak masalah baginya.

“Gak apa. Last round. Kuat kok aku. Tapi besok kamu bantuin aku masak.”

Arjuna mengangguk. Mencium dahi Shania dengan penuh kasih sayang. Melanjutkan sisa permainan untuk melepas dahaga Juna.

“Ahh Shania Shaka. Shaniaa.”

Arjuna melepaskannya di dalam. Terlalu nikmat hingga putihnya menyentuh ujung seprai. Lebih erotis dengan pemandangan, Shania yang berada di bawahnya dengan keadaan tubuh bagian atas berisi cap bibir Juna dan bagian bawah sendiri, cairan miliknya masih tumpah ruah.

“Good night sweetie.” Arjuna membuat tidur istrinya lebih nyaman. Membalut selimut hingga dada dan memberi pelukam terhangatnya. Arjuna sangat bahagia dengan keluarga kecilnya.

Arjuna, Shania, Kynan, dan mungkin satu personil baru lagi.


Di sini lah mereka — Raka dan Kiki. Duduk di bangku taman samping apartment Ayak. Saling mengadahkan kepala, melihat langit malam hari ini.

Menghela nafas beratnya, Raka membuka suara.

“Lo gak ilfeel sama Ayak, Ki?”

“Lo juga kenapa gak ilfeel?”

“Gue mah tau ceritanya. Lo kan enggak.”

Tawa Kiki terlontar.

“Ayak salah satu cewek yang sering banget di bahas di tongkrongan gue. Jadi cewek simpenan, mainnya enak, jago, dan hal brengsek lainnya yang lo juga pasti tau. Gue dulu biasa aja, tapi pas dia sering lo tag-in dan muncul di timeline gue, naluri laki gue muncul. Awalnya buat main, gue akuin itu.”

Tangan Raka sudah mengepal kuat. Siap untuk memberi bogeman mentah yang siap menghantar Kiki ke rumah sakit.

“Tapi, waktu gue deket sama Ayak. Gue tau dia kayak apa, mungkin gak sebanyak lo Ka, tapi cukup buat mastiin gue. Kalau versi alaynya, nih cewek ngasih obat ke gue biar ga jadi brengsek lagi.”

Raka setuju. Amat setuju.

“Sekarang lo tau Ayak udah ada Yogi, terus lo mau gimana?”

Nah di tampar kenyataan lagi.

“Sebagai suhu, lo sendiri gimana?”

Mereka tertawa. Lucu banget sih hidup.

“Suhu apaan elah. Lagak lo Ki, Ki.”

“Perasaan lo ke Ayak, lebih kan dari sahabat?”

Pertanyaan ke 2087 dari orang urutan ke 145.

“Lo sayang kan sama Ayak? Sayang as a man with woman. Keliatan Ka.”

Memejamkan mata, memaki matanya yang enggak bisa berhenti memancarkan rasa. Padahal, Raka sudah membungkan mulutnya agar tak meluapkan perasaannya.

“Sayang banget.” Jawaban kali ini serius.

Dari 2086 pertanyaan yang di dapatkan Raka, jawabannya akan sama. Cuman, pemakaian nada yang Raka pakai berbeda. Dia menjawab 2086 itu dengan nada bercanda, menunjukkan bahwa yang ia ucapkan hanyalah kebohongan belaka, tapi tidak untuk menjawab pertanyaan ke 2087 ini.

Sedangkan Kiki sendiri sudah hafal dengan label persahabatan di balik cinta sepihak.

“Gak mau ngomong lo ke Ayak? Gak takut nyesel?”

Enggak. Perasaanya itu tanggung jawabnya.

“Nyesel apaan? Lo pernah mikir gak Ki pas lo confess itu gak akan ada perubahan apapun. Mungkin banyak yang bilang biar lega, tapi menurut gue sendiri malah bikin kepikiran. Karena waktu lo confess, boong banget kalau lo cuman mau menyampaikan perasaan, di balik itu semua pasti ada sedikit harapan biar di terima. Lagian gak semua harus di ungkapin pake mulut kan?”

“Cara natap lo. Cara lo nge-treat Ayak.”

Raka benar. Enggak semua perasaan harus di ungkapkan, ada kalanya di simpan rapat-rapat lebih baik.

Maka malam ini mereka menghisap satu buah permen yang tadi di berikan Ayak.

“Rokoknya di ilangin pelan-pelan. Udah mau jadi om nihh.” Kata Ayak sebelum Raka dan Kiki meninggalkan apartment.

Sebelum mereka merakasan patah hati terbesar karena wanita yang mereka idamkan sudah mendapatkan sosok yang mencintainya sebegitu sangat.

Melihat Yogi yang menghubungi Ayak melalu sambungan video, melihat Yogi yang menanyakan keadaan Ayak dan bayinya. Dan segala hal lainnya.

Raka sadar dari awal memang dia hanya sahabat.

Sedangkan, Kiki juga sadar bahwa dia hanyalah orang baru bagi Ayak.

Mereka sadar, Yogi cinta dari cinta mereka.

#Netflix n Chill


Yogi mengetuk pintu tidak sabar, berkali-kali menekan bel membuat Ayak kesal sendiri. Sebelum membukakan pintu, jari kelingking kaki kiri Ayak terkena ujung meja, membuat dirinya mengaduh kesakitan.

Tapi kehadiran Yogi lebih mengejutkan, menyadarkan bahwa Yogi mengetahui sandi kamarnya, jadi daritadi ngapain gedor-gedor?

Belum selesai dengan rasa sakitnya, tubuh Ayak di gendong paksa.

“Hee turunin apasihh!”

Yogi tetap diam. Mimik wajahnya terlihat panik. Membawa Ayak untuk duduk di kasur dan secara cepat, Yogi membalut pergelangan tangan kiri dengan kain sapu tangan. Berfikir sejenak, Ayak baru menyadari sesuatu.

“Ini lipstick. Bukan sayatan kali. Habis nge-swatch liptint baruu.”

Setelahnya, Ayak tertawa keras meninggalkan rasa malu yang membuat Yogi menggaruk tengkuknya padahal tidak gatal sama sekali.

“Ga sedih? Gak habis nangis?” tanya Yogi yang sudah mengambil posisi duduk di sebelah Ayak.

“Enggak ngapain anjir. Menguras tenaga. Udah ah ngapain lo kesini? Gue mau nonton peppa pig.” Berusaha mengusir Yogi, Ayak mulai menyalakan televisinya dan berbaring di atas kasur dengan nyaman, membiarkan Yogi terseyum kecil melihatnya.

Di saat tayangan peppa pig sudah muncul di layar, Yogi memeluk Ayak, mengambil posisi ternyamannya.

“Sayang aku gak Yak?”

“Enggak.” Sejujurnya, debaran jantung Ayak mengatakan hal sebaliknya.

“Terus yang cium waktu itu, yang di sofa waktu itu, yang kamu minta—”

Belum di teruskan, dada Yogi sudah menjadi sasaran tamparan tangan besi Ayak.

“Sakitt ibuu.”

Blushing.

Pipi Ayak merona.

Jatuh cinta tuh kek gini ya?

Memeluk Ayak semakin erat, membuat badan mereka tak berjarak. Memudahkan Yogi untuk menciumi pucuk kepala sang wanita. Membuat Ayak sendiri merasa nyaman dan tertidur pulas di menit ke 15 film kartun dinyalakan.

Melihat Ayak yang tidur dengan mulut sedikit terbuka membuat Yogi terkikik manis. Nafas ibu hamil akan terasa lebih berat, kira-kira itu yang Yogi bisa ambil dari bacaannya selama 5 bulan menjadi calon ayah. Mengelus punggung Ayak dengan lembut, Yogi membisiki kata cinta yang bila saja Ayak mendengar ini akan membuat satu mukanya seperti kepiting rebus.

“Ayah disini, sama ibu sama bayi. Gak akan kemana-mana. Ayah sayang kalian.”

Yogi langsung mencari kunci mobilnya dan pergi dengan kecepatan 80 km/jam menuju apartment Ayak, wanita yang seminggu ini menghinggap dengan nyaman di kepalanya. Tapi sayangnya, semenjak Yogi tau akan perasaan Ayak, dia memilih untuk menjauh.

Yogi takut jika perasaan mereka valid, jika perasaan mereka nyata, jika perasaan mereka sama, apa mereka tetap bisa bersama?

Banyak hal yang memang dibuat untuk tetap di tempatnya. Termasuk hubungannya bersama Ayak.

Kehadiran bayi cukup membuat mereka kalang kabut. Ditambah dengan perasaan mereka yang timbul melebihi batasnya, apakah masih bisa?

Dan masih banyak pertanyaan lain yang bertengger di otak Yogi. Sehingga, ia memilih untuk sedikit memberi jarak diantara mereka. Tapi, Yogi tak bisa menampik bahwa ada rasa cemburu di saat Ayak menghabiskan waktu bersama Kiki. Ada rasa nyeri di bagian ulu hati ketika melihat kemesraan mereka yang mungkin tidak terlalu di publikasikan, namun mampu membuat Yogi kelimpungan.

Memakai parfum kesukaan Ayak, Yogi ingin tampil sempurna sekarang. Entah untuk apa.

Membuka pintu apartment Ayak karena Yogi di beri akses kartu oleh Ayak sendiri sedari awal mereka berhubungan.

Disana, Ayak terduduk manis dengan rambut yang di kuncir ke atas menyisakan helaian-helaian di samping telinga, memberikan kesan luar biasa indah.

“Gi, aku mau ngomong.”

Ah, Yogi lupa.

Sekarang, Yogi tak bisa lagi berpikir positif, di otaknya hanya berisi apakah ini saatnya ia melepas Ayak? Atau jawaban apa yang bisa Yogi pakai untuk menahan Ayak?

“Duduk dulu gi, kalau kamu berdiri aku capek ndagak.”

Ayak sendiri merasakan hawa diantara mereka menegang.

“Mau ngomong apa?”

Judes banget sih

“Huh bentar aku takut nangis. Oke. Gi, aku gatau ini buat kamu penting apa enggak tapi karena aku menghormati kamu walaupun pernikahan ini cuman pura-pura, kamu tetep suamiku. Jadi,”

Ayak menahan nafasnya. Ada sesak disana. Sedangkan Yogi merasakan hal yang sama. Mendengar kata bahwa mereka memiliki status sah membuat Yogi semakin takut akan semua hal.

“Jadi, Kiki confess ke aku kemarin.”

Tangan Yogi seketika mengepal. Urat-urat di tangannya terlihat jelas. Menutup matanya untuk meredakan emosi yang sempat berada di puncak.

“Aku belum jawab karena itu aku cerita ke kamu.”

Dengan sekuat tenaga untuk menahan emosi, Yogi angkat bicara,

“Kamu minta pendapat aku? Nerima apa enggaknya?”

“Enggak, aku udah tau jawabannya.”

“Apa jawabannya?”

Enggak. Please Enggak.

“Gi, aku mau pipis dulu bentar.”

Yogi berteriak frustasi. Bisa-bisanya di saat seperti ini. Sedetik kemudian Yogi sadar, Ayak sedang mengandung anaknya, dia membaca buku kehamilan bahwa ibu hamil akan sering bolak-balik kamar mandi. Seketika Yogi tersenyum membayangkan Ayak dan bayi yang 4 bulan sudah berada di perut sang ibu.

“Hehe, udah. Aku lanjutin ya.”

Raut wajah Yogi kembali menegang.

“Kamu mau jawab Kiki apa?”

“Aku lebih mau tau kamu jawab apa waktu aku bilang aku sayang kamu Gi. Aku tau ini salah, aku tau ini ngelanggar janji kita. Tapi Gi, aku rasa aku gak bisa kayak gini terus.”

Selanjutnya bibir Ayak di ambil alih. Yogi menciumnya sedikit tergesa-gesa.

Ayak baru sadar bahwa laki-laki yang sedang menciumnya ini tak banyak bicara tapi tingkahnya berkata.


. . . . . .


— atau tau kamu penyebab kecelakaan Sona hm?”

Di tengah-tengah kegiatan manisnya bersama Ical — bermain ps bersama, notifikasi chat Naya berbunyi.

Sedetik kemudian, bel rumahnya dibunyikan.

“Ini siapa sih ganggu. Gatau apa lagi main taken. Yangg sut aja siapa yang bukain.”

Gunting batu kertas

Naya kalah.

“Kamu curanggg. Telat banget. Sengaja ya!”

Dengan kekesalan, Naya tetap beranjak untuk membukakan pintu.

“Haii.”

Gavin dengan senyum terbesarnya. Gavin dengan segala tindakannya.

“Vin kamu gila? Ada Ical di sini. Pulang sanaa.”

Gavin tersenyum skeptis, “Lebih gila mana kalau Ical tau perusahaannya sudah sepenuhnya atas namaku atau—

Bisikannya tepat di runggu Naya, membuat Naya bergidik ngeri.

. . . . . . . . .

— atau tau kamu penyebab kecelakaan Sona hm?”

Menunggu Haikal pulang, Naya menyempatkan diri untuk berendam. Merasa hari-harinya semakin berat. Mengetahui fakta bahwa Haikal ternyata membohonginya membuat Naya sakit berkali-kali lipat.

Hari itu, dimana Naya mendapat kabar bahwa Haikal telah sadar tapi kehilangan seluruh ingatannya, Naya hancur. Senang yang sedih. Sedih tapi senang.

Naya mengetahui kebohongan Haikal baru-baru ini, karena Naya sudah cukup curiga dengan perilaku Haikal yang berubah drastis. Tak ada lagi sikap dingin, yang ada hanyalah Haikal seperti dahulu kala. Hingga Naya mendatangi dokter yang menangani Haikal. Sayangnya yang ia dapat adalah kabar bahwa dokter itu sudah dicabut izin kerjanya karena terbukti melakukan pemalsuan, termasuk bekerja sama dengan pasien.

Tak habis pikir, untuk apa Ical melakukan itu semua.

Mendudukkan diri di sofa tengah, Naya menyalakan televisinya. Melihat film yang ia harap bisa menjadi obat jenuhnya. Di menit ke 27, pintu rumah terbuka. Haikal pulang, tepat 10 malam.

Mungkin 3 jam bagi Ical adalah sebentar.

Mendudukkan diri di samping Naya, Haikal mulai bermanja dengan sang istri; menciumi pipi Naya atau memeluknya secara erat. Dan Naya membuka lengannya besar-besar untuk memeluk Ical.

“Dari mana Cal?” Tanya Naya disela pelukan mereka.

Awalnya, Haikal diam. Mungkin menimang akan jawabannya.

“Rumah Sona yangg. Jengukin dia.”

Kenapa jujurnya membawa gelenyar aneh bagi Naya?

“Kamu sedeket apa sih sama Sona, Cal? Kenapa Sona yang kamu inget? Aneh aja gitu, yang baru kenal malah yang kamu inget.” Naya ikut andil bermain peran, ingin melihat sejauh apa Haikal memainkan perannya.

“Sona tuh baik yangg. Baik banget. Jangan mikir dia jahat. Beneran deh. Percaya sama aku.”

Jawaban Haikal tak berkorelasi sama sekali. Mungkin memang berniat untuk menghindar dari pertanyaan sedekat apa mereka.

“Sona tuh malah bantuin aku buat sembuh. Buat bisa inget kamu sepenuhnya lagi.”

cw/ smoke and liquo Raka membuka pintu apartment Ayak serampangan. Setelah mendapat kabar dari Kiki bahwa Ayak salah mengirim pesan dan isi pesan tersebut adalah Ayak yang sepertinya sedang ketakutan, membuat Raka menyalakan motornya dan melaju kencang, menghiraukan rambu-rambu lalu lintas agar cepat sampai. Bertemu Ayak — memastikannya dalam keadaan baik – baik saja.

Awalnya, Raka mengangap bahwa salah kirim merupakan cara Ayak untuk bisa berhubungan dengan Kiki. Raka tau, amat mengerti bahwa Ayak memang mengidolakan sosok satu ini. Entah itu hanya perasaan kagum atau bahkan melibatkan hati. Guyonan yang Ia lontarkan pada Kiki membuatnya tertampar, andai Raka saat itu langsung serius menanggapi Kiki, tak mungkin sekarang Ia melihat Ayak dengan segala kekacauannya.

Jarinya mengapit satu putung rokok yang sudah setengah habis, di sebelahnya terdapat satu botol liquor yang tak tersegel.

“Yak?” Panggil Raka.

“Sini Ka, duduk. Mau ngerokok juga gak? Tinggal satu nih.” Ayak menyerakan satu kotak rokok yang memang hanya tersisa satu putung.

Raka menggeleng. Menolak pemberian Ayak.

“Yak, lo udah gak sendiri loh. Udah berdua. Kalian bakal saling jagain. Bayi bakal jagain lo biar ga capek-capek, ga stress, makan yang sehat, hidup sehat. Bayi jagain ibunya karena dia sayang. Dan lo juga ngelakuin itu semua karena lo sayang sama bayi. Jadi, boleh gue ambil rokoknya?”

“Satu kali lagi ga boleh ya Ka?”

“Kan lo sayang bayi. Bayi juga sayang ibunya. Udah ya Yak, gue buang ya rokoknya?”

Membuang rokok Ayak dan membawanya ke ruangan yang menurut Raka lebih nyaman dan aman. Jauh dari bau asap rokok yang dapat membahayakan Ayak dan kandungannya.

“Ka gue takut. Nindi tau gue. Nindi kenal gue.” Suaranya terdengar gemetar.

“Kenapa lo harus takut? Lo gak ngelakauin kesalahan Ayak. Hubungan lo sama Yogi terjalin sebelum Yogi ditunangin. Udah ya, jangan takut.” Tangan Raka dengan telaten mengelus punggung mungil milik Ayak.

Berawal karena mereka selalu dipertemukan di sekolah yang sama, Raka dan Ayak menjadi sedekat ini. Layaknya saudara yang saling menjaga satu sama lain. Memastikan satu sama laim tak ada yang menyakiti.

cw / smoke, liquor


Raka membuka pintu apartment Ayak serampangan. Setelah mendapat kabar dari Kiki bahwa Ayak salah mengirim pesan dan isi pesan tersebut adalah Ayak yang sepertinya sedang ketakutan, membuat Raka menyalakan motornya dan melaju kencang, menghiraukan rambu-rambu lalu lintas agar cepat sampai. Bertemu Ayak — memastikannya dalam keadaan baik – baik saja.

Awalnya, Raka mengangap bahwa salah kirim merupakan cara Ayak untuk bisa berhubungan dengan Kiki. Raka tau, amat mengerti bahwa Ayak memang mengidolakan sosok satu ini. Entah itu hanya perasaan kagum atau bahkan melibatkan hati. Guyonan yang Ia lontarkan pada Kiki membuatnya tertampar, andai Raka saat itu langsung serius menanggapi Kiki, tak mungkin sekarang Ia melihat Ayak dengan segala kekacauannya.

Jarinya mengapit satu putung rokok yang sudah setengah habis, di sebelahnya terdapat satu botol liquor yang tak tersegel.

“Yak?” Panggil Raka.

“Sini Ka, duduk. Mau ngerokok juga gak? Tinggal satu nih.” Ayak menyerakan satu kotak rokok yang memang hanya tersisa satu putung.

Raka menggeleng. Menolak pemberian Ayak.

“Yak, lo udah gak sendiri loh. Udah berdua. Kalian bakal saling jagain. Bayi bakal jagain lo biar ga capek-capek, ga stress, makan yang sehat, hidup sehat. Bayi jagain ibunya karena dia sayang. Dan lo juga ngelakuin itu semua karena lo sayang sama bayi. Jadi, boleh gue ambil rokoknya?”

“Satu kali lagi ga boleh ya Ka?”

“Kan lo sayang bayi. Bayi juga sayang ibunya. Udah ya Yak, gue buang ya rokoknya?”

Membuang rokok Ayak dan membawanya ke ruangan yang menurut Raka lebih nyaman dan aman. Jauh dari bau asap rokok yang dapat membahayakan Ayak dan kandungannya.

“Ka gue takut. Nindi tau gue. Nindi kenal gue.” Suaranya terdengar gemetar.

“Kenapa lo harus takut? Lo gak ngelakauin kesalahan Ayak. Hubungan lo sama Yogi terjalin sebelum Yogi ditunangin. Udah ya, jangan takut.” Tangan Raka dengan telaten mengelus punggung mungil milik Ayak.

Berawal karena mereka selalu dipertemukan di sekolah yang sama, Raka dan Ayak menjadi sedekat ini. Layaknya saudara yang saling menjaga satu sama lain. Memastikan satu sama laim tak ada yang menyakiti.