29 — di antara
Pagi datang dan Haikal pergi. Sisi samping kasurnya sudah kosong. Dingin menyelimuti, tanda bahwa sudah lama Haikal meninggalkanku. Rasanya jauh lebih menyedihkan seperti ini. Bergegas bangun untuk membersihkan diri, tapi ada yang mengganjal. Aku sudah berpakaian—lengkap. Seketika ada bunga yang bermekeran tapi dengan cepat layu karena notifikasi yang muncul di ponselku.
Aku pergi, maaf gabisa nungguin kamu bangun. Maaf dan makasih buat yang semalam. Gausah di tungguin, aku pulang malem.
Sejak kapan sih Cal aku bisa ga nunggu kamu?
Pertanyaan itu yang selalu terucap tapi tak berjawab.
Dari hal yang menurut orang lain mustahil untuk di tunggu pun aku tetap rela. Menunggu Haikal bangun dari tidurnya selama 2 tahun. Tidur yang ingin membawa Haikal meninggalkanku.
Selesai membersihkan diri, ku mengambil mangkuk sereal untuk menikmati sarapan kali ini dengan kesedihan. Aku tahu Haikal hendak menemui siapa.
Foto yang dikirim Sona sudah cukup untukku lebih tenang. Setidaknya, Haikal tak akan meninggalkanku selamanya. Tak apa untuk singgah di rumah wanita lain setidaknya aku masih bisa berkunjung. Bisa melihat wajah tampannnya dan senyum manisnya. Sudah cukup bagiku.
Hingga ketukan pintu terdengar jelas, ku langkahkan kaki untuk membuka pintu. Gavin disana dengan senyum kotaknya.
“Pagi, aku bawain sop ayam buatanku hehe.”
“Masuk Vin.” Membawa Gavin untuk duduk di ruang tamu.
Setelah mempersilahkan Gavin untuk duduk, aku mengambil langkah menuju dapur sebelum tanganku dicegah. Ditarik untuk duduk di sebelahnya.
Gavin memelukku erat. Bibirnya juga mulai berani mencuri kecupan. Hingga kecupan itu berubah menjadi lumatan. Tanganku berusaha mendorong tubuhnya. Semakin berusaha menjauhkan diri, bibirku akan di lumat habis.
Hingga gila ku merasuki. Tawa ku memekik. Bibirku mengecap. Membalas lumatan yang Gavin berikan.
Satu menit. Dua menit. Tak terasa hampir 10 menit kita bercumbu di sofa yang tak bisa di bilang besar dengan badan Gavin yang sudah berada di atasku—mengukung. Sebelum semuanya semakin berantakan, aku menyudahi sesi panas ini.
“Kenapa?” Tanya Gavin dengan sorot mata yang mulai meredup. Sedang tinggi.
“Aku kangen kamu Nay. Kangen banget. Kamu udah lama ga ke apart. Aku dicuekin.” Gavin tak akan berhenti, sekarang mulai dengan area leher. Mengusak disana, kadang di beri sedikit tiupan untuk menimbulkan gelenyar aneh.
“Gavin, udah. Ini rumah aku sama Ical. Jangan aneh-aneh.”
Menyebut nama Haikal membuat pisau-pisau yang sudah berada di tubuh semakin menancap dalam. Tak pernah di obati dan semakin di sakiti. Hingga ada rasa tak apa itu wajar setiap itu terulangi.
Aku tahu tangan Gavin mengepal, buku-buku jarinya memerah karena kepalan yang terlalu erat, tapi tawanya mengudara. Nampak seperti orang pesakitan yang sudah tak punya nyawa tapi di beri raga. Kosong.
“Ga kangen aku emangnya?” Tanya Gavin.
Rindu. Itu jawabanku. Karena itu aku memeluknya. Erat tanpa ada cela. Membalas pelukanku, dan Gavin mulai membuka obrolan. Mulai dari hari-harinya yang hampa, pelajaran masaknya yang semakin buruk karena tak ada yang mengincipi, dan kasurnya yang tak senyaman biasanya. Terkekeh mendengar semua curahan hati Gavin karena diberi akhiran bahwa hanya rindu yang ada di hari-harinya tanpaku.
“Nanti aku izin Ical buat main sama kamu. Mungkin lusa bisa. Hari ini Ical ga pulang jadi besok ga bisa kemana-mana. Gaapa ya?” Tawarku.
“Pergi kemana dia? Malem ini ga pulang? Terus kamu di rumah sendirian?”
Entah khawatir atau senang yang dirasakan Gavin tapi cukup membuatku tersenyum geli karena sikapnya.
“Gatau. Katanya ga usab di tunggu. Ya iya sendirian emang sama siapa lagi Gavinn.”
Dijawab seperti itu, Gavin berubah menjadi anak umur 5 tahun yang baru di izinkan untuk membeli mainan. Senang bukan main. Tulang pipinya terangkat. Senyumnya sangat lebar. Matanya memancarkan kebahagiaan.
“Aku temenin yaa. Pleasee. Janji ga ngapa-ngapai. Nemenin aja, ga yang lain.”
Mengelus rambutnya yang mulai panjang, aku mengangguk, tanda setuju.
Aku memang rindu dengan pria yang sekarang sedang memelukku. Rindu yang tak tahu apa yang di rindu, karena tak ada rasa disana. Rindu yang tak berasa.