aleanorkim

Rachel dan Ian duduk berhadapan di sudut cafe. Memilih tempat di mana Ian dan Rachel dulu menghabiskan waktu.

“Hai mantan,” Ucap Rachel yang bertujuan untuk mencairkan suasana di antara mereka, tak menampik ada perasaan takut akan benar-benar kehilangan Ian untuk selamanya. Karena sejujurnya, Rachel terlalu mencintai sosok Raihan Putera, lelaki di depannya saat ini.

“Sebelumnya, aku mau minta maaf untuk jadi pengecut di hubungan kita. Tapi, Chel yang kamu lihat itu salah paham.”

Here we go. Apakah Rachel siap mendengarkan penjelasan Ian untuk pasal ini?

“Aku gak selingkuh. Cewek itu selingkuhan Faiz. Aku dateng buat ngasih sedikit gertakan ke dia. Mungkin dari perspektifmu terlihat beda, tapi aku bicara fakta. Kamu salah paham.”

Fakta yang dilontarkan membuat Rachel terhentak. Sosok pria manis seperti Faiz, selingkuh? Sudah gila.

“Pagi itu, di mana kita mau pergi ke Malang, malemnya aku ngikutin Faiz. And something happened. Aku gak bisa Chel. Aku takut. Takut nyakitin kamu. Takut nglakuin hal-hal seperti orang terdekatku. Aku belum bisa dan aku minta maaf. Maaf udah buang-buang waktu kamu. Untuk apapun itu, aku minta maaf.”

Dari semua penjelasan yang menurut Rachel masih rumpang, membuat ia menarik kesimpulan bahwa Ian-nya memiliki trauma yang besar. Ketakutan atas dirinya sendiri.

“Makasih ya kak udah mau cerita sama aku. Kalau aku boleh kasih saran, coba take time. Healing. Atau mungkin ke orang yang lebih profesional. Karena ga baik di kamunya kak. Nanti kamu yang sakit malahan. Jangan ya kak. Kamu gamau nyakitin orang berarti kamu kuga gak boleh nyakitin diri kamu sendiri. Kamu berhak bahagia. Everyone deserve happiness. So, thank you for the long and happy journey kak yan. Enggak buang-buang waktu kok, karena aku enjoy ngejalanin sama kakak. Semangat kak yan!”

Setelah itu, mereka menutup dengan candaan-candaan kecil atau mengungkit masa-masa indah mereka dahulu.

Mereka resmi berpisah. Memilih cara lain untuk mencari akhir bahagia versi mereka.

Di sisi lain, saat itu Ian memang sedamg bersama wanita lain. Wanita yang membuatnya muak karena memberi pengaruh buruk ke sahabatnya.

Ian sedikit terkejut karena melihat perempuan itu berada di hotel yang sama. Menyimpulkan bahwa baru saja ada pertemuan di antara mereka. Faiz dan Sona. Sehingga, membuat Ian jengah. Menarik lengan Sona secara paksa, ia bawah untuk menjauh dari kerumunan.

Di lihat dari perspektif lain, mereka akan terlihat seperti pasangan yang tak tau tempat. Berbeda dengan faktanya, karena Ian hampir menyakiti Sona.

“Lo cewek. Lo tau gimana rasanya diselingkuhin. Jauhin Faiz atau gue ga segan-segan turun tangan.”

Kata penutup dari Ian, yang tak sadar bahwa Rachel melihat kejadian itu.

Malam itu, Ian hancur. Melihat dengan matanya, melihat temannya, bahkan sudah di anggap keluarga melakukan hal yang ia sangat benci. Sempat beradu argumen, tangannya mengepal, berusaha menahan diri untuk tidak melayangkan satu buah pukulan ke wajah Faiz.

Malam itu Ian kembali sadar, bahwa ia akan bernasib sama — menyakiti seseorang. Dan ia benci akan fakta itu.

Melupakan janjinya kepada Rachel. Membuat Rachel panik bukan main. Dan berujung kecewa.

Rachel tak pernah se kecewa ini kepada Ian.

Rachel tetap berangkat, menemui keluarganya, bercerita bahwa hubungannya dengan Ian tak bisa dilanjutkan. Entah, Rachel merasa sepeeri itu, atau ia sendiri yang akan mengakhirinya.

Hingga kini, Rachel berada di kediaman Ian. Terlihat mobil Ian sudah terparkir disana.

Mengetuk kaca mobil, Ian cukup terkejut dengan kedatangan Rachel.

“Kak, ada yang mau kamu jelasin atau enggak?”

Ian tak menjawab, nyaman dengan keheningan di antara mereka.

“Kalau gak ada, aku mau putus kak. Makasih buat semuanya.”

“Aku takut nyakitin kamu. Aku ga sebaik itu. Banyak ketakutan di diri aku Chel.” Sanggah Ian, berusaha memotong pembicaraan Rachel.

“Klise sih kak kalau kamu tetep ga mau cerita tentang alasan ketakutan kamu, tapi aku hargai. Jadi, aku yakin kamu juga bisa ngehargai keputusanku. Aku pamit dulu ya.”

Mereka selesai. Tanpa penjelasan.

Yogi datang tepat pukul 11 malam. Ayak sempat dilanda kepanikan karena Yogi yang tak kunjung datang, tak pernah berpikir bahwa jarak tempat Yogi dan apartmentnya lumayan jauh. 37 kilometer — Yogi menempuh jarak untuk menukar kupon yang sebelumnya tidak jadi ia gunakan.

Sesampainya di apart, Yogi segera masuk ke kamar mandi untuk berganti pakaian yang ternyata sudah Ayak siapkan. Membersihkan diri dan bergegas untuk menghampiri si pemberi kupon. Entah, setiap pertemuan yang berisi kumpulan kolega ayah dan ibunya, tenaga Yogi serasa di kuras habis-habisan.

“Passwordnya?” Yogi tak bisa menahan senyumnya.

“Ayakcans1234,” Ucap Yogi tanpa berpikir panjang. Tanda dia benar-benar membaca secara detail isi kupon yang Ayak berikan.

“Mau gue buatin mie dulu apa peluk dulu?” Belum sempat Ayak mendengar jawaban dari pertanyaan yang ia berikan, tubuhnya di tarik.

Berasa ketempelan gue. Tapi gaapa setannya ganteng.

Tangan Ayak mulai mengelus — atas bawah, punggung Yogi. 2 bulan mereka menjalani hubungan yang banyak setannya ini, tapi Ayak cukup senang karena di tengah gilanya, ia bisa menjadi tempat berteduh seseorang.

Mereka tak pernah sampai di titik saling bercerita — berbagi masalah. Ayak dan Yogi lebih menikmati sunyi diantara mereka. Di tambah dengan pelukan yang cukup untuk menjadi pelipur lara.

20 menit berlalu, Ayak memaksa untuk melepas pelukan di antara mereka.

“Gue masak dulu. Lo belum makan terus sakit, tepar, gue yang repot. Bentaran doang elah.”

“5 menit lagi.”

“Hadehh.”

Setelahnya tak ada sesi memasak dan memakan mie soto sesuai kupon. Karena Ayak dan Yogi sudah masuk di alam mimpi alias molor.

Naya meninggalkan ballroom, melupakan perintah Ical untuk tidak pergi kemana-mana. Menghampiri sosok yang dulu Naya rindukan. Gavin Respati sudah ada di hadapannya.

“Beautiful. How are you bub?” Ucap Gavin.

Gavin tampak lebih dewasa sekarang. Belum genap setahun tapi kenapa bisa seberubah ini.

“Aku nyamperin karena cuman mau tau alasan kamu ninggalin aku gitu aja. Aku gabisa lama, maaf.”

Menghela nafasnya, Gavin tau betapa besar dia membawa luka di wanitanya.

“Aku ambil exchange ke Aussie. Maaf aku ga pernah ngabarin atau cerita sama kamu, im sorry. I really sorry. Aku salah. Aku brengsek ninggalin kamu gitu aja—”

Naya memotong ucapan Gavin. Naya tak memiliki banyak waktu. Suara MC di dalam sudah menyatakan bahwa sebentar lagi band Ical akan tampil.

“Alasan kamu ninggalin aku Gavin. To the point. I dont have any time. Alasan kamu gak ngabarin aku sama sekali. Exchange masih bisa beli nomor kan?”

Gavin mengganguk. Memang sebenernya ada alasan lain.

“Aku gamau dengan masih berhubungan sama kamu, aku gagal exchange Nay. Keluargaku semua berhasil. Aku takit aku gagal sendiri, karena itu aku ngejauh. Maaf Nay. Maaf.” Menggenggam tangan Naya, Gavin mulai merasa tangannya di lepas paksa.

Gavin masih menyayangi Naya. Dia memang salah saat berpikiran bahwa Naya bisa membawa dampak buruk bagi hidupnya. Karena itu ia disini. Meminta maaf sekaligus ingin kembali bersama, walaupun kenyataanya dari awal belum ada kata pisah di antara mereka.

Membawa Naya kedalam pelukannya, Gavin tak mau kehilangan Kinaya. She's the one.

Naya tau Gavin menangis di pelukan mereka, itu yang membuat Naya mengurungkan niat untuk mendorong tubuh Gavin.

“Aku maafin Gavin. Untuk semuanya. Aku juga minta maaf kalau waktu itu sempat bikin kamu kacau juga. Sekarang kita jalan sendiri-sendiri ya. Kamu sukses terus,” Kinaya memberi tepukan lembut di punggung Gavin. Tanda mereka tetap berteman.

Di tengah pelukan mereka, Ical dengan jelas melihat. Tangannya mengepal. Emosinya hampir saja meledak, tapi Ical memilih untuk pergi. Memberi tau anggota bandnya untuk memakai lagu kedua mereka.

Ical memang sudah menyiapkan dua lagu — untuk berjaga-jaga. Dan ternyata hal yang ia takutkan terjadi.


Naya kembali ke dalam ballroom. Dan pas sekali, Ical yang akan tampil. Ketika lagu mulai terdengar di rungu, semua menjadi hening.

Ballroom yang tadi sangat berisik dengan sautan-sautan siswa siswi menjadi hening. Hanya ada suara Ical mengisi seluruh ruangan. Dan untuk Naya sendiri, kenapa bisa semenyakitkan ini mendengar suara Ical menyanyikan satu buah lagu.

Selesai dengan penampilannya, Ical turun dari panggung dan tak pernah kembali. Tak lagi menghampiri Kinaya. Hanya saja, Ical meminta tolong Galang untuk mengantar pulang Naya.

Sampai Rizky Febian tampil pun, Naya masih tak bisa fokus. Semua hanya berpacu kepada Ical. Apa ia baru melakukan kesalahan?

“Nay, tumben gak teriak-teriak? Artis kesukaanmu kan?” Tanya Galang.

“Lang, aku mau pulang. Kamu lanjutin aja acaranya, aku bisa pesen gocar,” Naya sudah berdiri, siap untuk meninaggalkan acara.

Galang memberi kunci mobilnya,

“Di mcd Ical. Samperin gih. Anaknya dari tadi kayak setan. Marah-marah mulu. Bawanya pelan-pelann Nayy!”

Sesegara mungkin, Naya membawa mobil untuk bertemu Ical.

Malam ini, Naya dan Ical menjemput sepinya. Tak ada yang bersuara diantara mereka. Hingga akhirnya, Naya tak kuat menahan tangisnya.

Ical menarik Naya di dalam pelukannya. Memberi usapan di punggung Naya. Ical tau bahkan sangat tau, betapa melelahkan hari-hari Naya. Semua terjadi secara cepat, Naya tak di berikan waktu untuk bernafas.

Hari ini sang ibu menikah lagi. Dan lagi, semuanya terlalu menyakitkan untuk Naya.

“Nangis aja. Jangan di tahan, nanti tambah sesek. Kalau mau bisa cerita ke aku atau mama. Kamu gak akan sendirian Nay.”

Naya memang tak pernah cerita pahitnya. Ia akan berusaha menelan semuanya sendiri. Dan malam ini, Naya terlalu mual untuk menelannya kembali.

ps: harusnya nih tuh panjang rek cuman ke hapus :(((( mau nulis lagi ga nutut. maaf ya

cw// family issues

Ical berhasil masuk ke perkarangan rumah Naya walaupun harus mengendap-ngendap layaknya maling. Yang Ical tau saat ini, rumah Naya serasa seperti markas-markas di film. Banyak penjaga yang mengelilingi rumah Naya. Ketika Ical berhasil masuk ke dalam rumah dengan bantuan Pak Hadi, Ia di sambut dengan suara pecahan. Tak hanya sekali tapi berkali-kali. Rasa panik mulai menghingap di hati Ical, menanyakan apa Naya baik-baik saja?

Mungkin bisa di bilang lebih baik, karena ternyata suara pecahan itu terdengar dari kamar yang tidak tertutup sempurna, setidaknya tidak akan menghalangi Ical untuk masuk ke kamar Naya.

Membuka pintu dan melihat Naya yang sedang duduk, menatap layar laptop, dan menggunakan airpodsnya.

“Nay, yuk beli mcd. Tak traktir wes.” Ical berusaha mengambil alih perhatian Naya.

“Aku masih punya uang buat beli makan kok. Bukan uang korupsi. Uang dari menang lomba.”

Ical terkejut dengan jawaban Naya, berpikir apa tadi dia salah dalam berucap atau memang Naya sedang sensitif.

“Yok, kasian Pak Hadi nungguin di depan.”

Menarik tangan Naya yang ternyata dingin sekali. Ical juga baru tersadar bahwa bibir Naya pucat.

Sembari membawa Naya keluar dari kamar, Ical merapalkan doa agar hangat tangannya setidaknya bisa mengalirkan tenaga. Atau Ical rela untuk Naya membagi sakit kepadanya.

“Ga becus jadi suami. Ga becus jadi ayah. Jahat! Goblok! Ga berguna!”

Teriakan menjadi penuntun jalan Ical dan Naya. Tangan Ical semakin menggenggam erat. Membawa Naya di depannya agar Ical bisa menutup kedua telinga sahabatnya ini.

“Gausah di tutupin, masih kedengeran. Kamu aja yang tutup telinga Cal.”

Naya dengan segala ketidak apa-apaanya.

Setelah berterima kasih ke Pak Hadi karena sudah membantunya, Ical segera membawa Naya untuk keluar dari neraka itu. Memesan secara dhrive thru, mereka berdua hanya berdiam diri sambil menikmati makanan masing-masing. Tapi ada satu yang Ical takuti,

Naya sama sekali tak menangis.

“Badanmu panas Nay, nanti nginep di rumahku dulu. Aku udah izin mama juga. Tiduro dulu sekarang. Mbalik rumah satu jam lagi aja.”

Membenarkan jok Naya agar bisa tidur dengan nyaman. Mengambil bantal dari kursi belakang untuk dijadikan bantal. Memberikan jaketnya untuk menghangatkan.

Ical benar-benar tak sanggup melihat Naya seperti ini.

29 — di antara

Pagi datang dan Haikal pergi. Sisi samping kasurnya sudah kosong. Dingin menyelimuti, tanda bahwa sudah lama Haikal meninggalkanku. Rasanya jauh lebih menyedihkan seperti ini. Bergegas bangun untuk membersihkan diri, tapi ada yang mengganjal. Aku sudah berpakaian—lengkap. Seketika ada bunga yang bermekeran tapi dengan cepat layu karena notifikasi yang muncul di ponselku.

Aku pergi, maaf gabisa nungguin kamu bangun. Maaf dan makasih buat yang semalam. Gausah di tungguin, aku pulang malem.

Sejak kapan sih Cal aku bisa ga nunggu kamu?

Pertanyaan itu yang selalu terucap tapi tak berjawab.

Dari hal yang menurut orang lain mustahil untuk di tunggu pun aku tetap rela. Menunggu Haikal bangun dari tidurnya selama 2 tahun. Tidur yang ingin membawa Haikal meninggalkanku.

Selesai membersihkan diri, ku mengambil mangkuk sereal untuk menikmati sarapan kali ini dengan kesedihan. Aku tahu Haikal hendak menemui siapa.

Foto yang dikirim Sona sudah cukup untukku lebih tenang. Setidaknya, Haikal tak akan meninggalkanku selamanya. Tak apa untuk singgah di rumah wanita lain setidaknya aku masih bisa berkunjung. Bisa melihat wajah tampannnya dan senyum manisnya. Sudah cukup bagiku.

Hingga ketukan pintu terdengar jelas, ku langkahkan kaki untuk membuka pintu. Gavin disana dengan senyum kotaknya.

“Pagi, aku bawain sop ayam buatanku hehe.”

“Masuk Vin.” Membawa Gavin untuk duduk di ruang tamu.

Setelah mempersilahkan Gavin untuk duduk, aku mengambil langkah menuju dapur sebelum tanganku dicegah. Ditarik untuk duduk di sebelahnya.

Gavin memelukku erat. Bibirnya juga mulai berani mencuri kecupan. Hingga kecupan itu berubah menjadi lumatan. Tanganku berusaha mendorong tubuhnya. Semakin berusaha menjauhkan diri, bibirku akan di lumat habis.

Hingga gila ku merasuki. Tawa ku memekik. Bibirku mengecap. Membalas lumatan yang Gavin berikan.

Satu menit. Dua menit. Tak terasa hampir 10 menit kita bercumbu di sofa yang tak bisa di bilang besar dengan badan Gavin yang sudah berada di atasku—mengukung. Sebelum semuanya semakin berantakan, aku menyudahi sesi panas ini.

“Kenapa?” Tanya Gavin dengan sorot mata yang mulai meredup. Sedang tinggi.

“Aku kangen kamu Nay. Kangen banget. Kamu udah lama ga ke apart. Aku dicuekin.” Gavin tak akan berhenti, sekarang mulai dengan area leher. Mengusak disana, kadang di beri sedikit tiupan untuk menimbulkan gelenyar aneh.

“Gavin, udah. Ini rumah aku sama Ical. Jangan aneh-aneh.”

Menyebut nama Haikal membuat pisau-pisau yang sudah berada di tubuh semakin menancap dalam. Tak pernah di obati dan semakin di sakiti. Hingga ada rasa tak apa itu wajar setiap itu terulangi.

Aku tahu tangan Gavin mengepal, buku-buku jarinya memerah karena kepalan yang terlalu erat, tapi tawanya mengudara. Nampak seperti orang pesakitan yang sudah tak punya nyawa tapi di beri raga. Kosong.

“Ga kangen aku emangnya?” Tanya Gavin.

Rindu. Itu jawabanku. Karena itu aku memeluknya. Erat tanpa ada cela. Membalas pelukanku, dan Gavin mulai membuka obrolan. Mulai dari hari-harinya yang hampa, pelajaran masaknya yang semakin buruk karena tak ada yang mengincipi, dan kasurnya yang tak senyaman biasanya. Terkekeh mendengar semua curahan hati Gavin karena diberi akhiran bahwa hanya rindu yang ada di hari-harinya tanpaku.

“Nanti aku izin Ical buat main sama kamu. Mungkin lusa bisa. Hari ini Ical ga pulang jadi besok ga bisa kemana-mana. Gaapa ya?” Tawarku.

“Pergi kemana dia? Malem ini ga pulang? Terus kamu di rumah sendirian?”

Entah khawatir atau senang yang dirasakan Gavin tapi cukup membuatku tersenyum geli karena sikapnya.

“Gatau. Katanya ga usab di tunggu. Ya iya sendirian emang sama siapa lagi Gavinn.”

Dijawab seperti itu, Gavin berubah menjadi anak umur 5 tahun yang baru di izinkan untuk membeli mainan. Senang bukan main. Tulang pipinya terangkat. Senyumnya sangat lebar. Matanya memancarkan kebahagiaan.

“Aku temenin yaa. Pleasee. Janji ga ngapa-ngapai. Nemenin aja, ga yang lain.”

Mengelus rambutnya yang mulai panjang, aku mengangguk, tanda setuju.

Aku memang rindu dengan pria yang sekarang sedang memelukku. Rindu yang tak tahu apa yang di rindu, karena tak ada rasa disana. Rindu yang tak berasa.

23 — afeksi

Di tengah pelukan kami, aku merasakan Haikal yang mengelus punggungku. Ada rasa hati-hati disana. Ini kontak fisik terlama kita setelah kejadian mengenaskan waktu itu. Jantungku berdegup lebih kencang, dan anehnya aku dapat merasakan degup jantung Haikal jauh lebih kencang.

Bertanya apa yang sedang dia rasakan sekarang, apa Haikal merasakan apa yang ku rasakan, karena sungguh rasa rinduku sudah membuncah.

Haikal akan selalu suka jika kami berdekatan, bisa ku katakan ungkapan cinta Haikal adalah keintiman. Bergandengan tangan, kecupan manis di pipi, atau berpelukan. Hal-hal yang sangat di sukai Haikal, bahkan dia tidak segan untuk menunjukannya ke publik. Dengan bangga, dia akan berkata pada dunia bahwa aku mutlak miliknya.

Tapi tidak dengan pelukan yang ini, aku belum bisa menebak apa arti dari debaran itu.

“Aku sesayang itu ya sama kamu?”

Tepat sasaran. Haikal juga binggung dengan debaran yang ditimbulkan oleh afeksi pelukan kami.

“Entah.” Di tengah jawabanku, aku mengulam senyum yang tidak akan di ketahui Haikal.

“Aku bukan Ical, jadi aku gatau sebesar apa rasa sayangnya. Tapi, kalau aku boleh geer aku mau jawab besar banget.”

Haikal tertawa. Oh tuhan rasanya sudah lama tak merasakan tawa hangat ini.

Aku melepas pelukan, aku mau melihat tawa itu. Rindu sekali.

“Kenapa di lepas?”

Karena aku mau liat kamu ketawa Ical

“Panas Ical. Mau peluk lagi emang?”

“Gak.” Berbeda dengan jawabannya yang dingin, raut wajahnya sangat menunjukkan perbedaan yang signifikan. Bibirnya sedikit maju dan matanya membulat penuh persis seperti anak umur 5 tahun yang sedang merajuk. Belum lagi telingannya yang berubah warna menjadi sedikit merah.

Kata dokter, aku disarankan untuk tidak memaksa Haikal untuk mengingat semuanya dan lebih baik untuk merangsang ingatannya dengan cara tarik ulur perasaanya agar dia merasa adanya daya tarik untuk mengingat. Tentunya, tidak boleh ada paksaan. Karena itu juga, aku menahan untuk tidak menarik kembali tubuh Haikal untuk ku peluk erat atau mengecup manis bibirnya.

“Kamu ga nanya aku sesayang apa sama kamu?”

“Ngapain, orang udah tau jawabannya.”

Tawaku meledak, entah karena jawaban Haikal yang sepenuhnya benar atau menertawakan diri sendiri.

“Keliatan banget ya akunya hehe.”

Ditengah suasana canggung ini, ponsel Haikal berbunyi. Hingga akhirnya aku tahu siapa yang menghubungi Haikal di malam yang sunyi ini.

Sona.

Di detik nama itu terlontar dari mulut Haikal, tanganku mengepal. Menahan gejolak amarah karena aku tahu rasa ini bisa membawaku pada kehancuran. Aku tidak ingin kehilangan Haikal untuk kedua kalinya.

Mendegar semua perbincangan mereka membuatku muak. Dari semua orang yang berhubungan dengan Haikal kenapa harus wanita itu. Kenapa wanita itu yang terpatri di ingatan Haikal.

“Gak tidur?” Ucap Haikal setelah mematikan panggilannya.

“Mau ngecek sesuatu ga Cal? Perasaanmu ke aku dan sebaliknya.” Tawarku.

“Caranya?” Raut wajah Haikal berubah menjadi penasaran.

Kiss me

Tidak sempat melanjutkan perkataanku, Haikal melumat habis bibirku. Atas dan bawah. Lembut dan panas secara bersamaan.

Fase penasaran.

Apa masih ada aku di hatinya, dan

Tetap Haikal kah si pemilik hati?

Notes: Ada mature scene, ku password dan bentuk privatter. Passwordnya bisa dilihat di (link). Aku kasih fee ya, jadi kalau emang kalian sudah cukup umur dan memang ingin membaca silahkan di beli. Tapi kembali lagi, tidak akan mengganggu alur. Terimakasih <3

21 — berlari tanpa kaki

Kembali dengan aktivitas dimana aku hanya bisa melihat Haikal dari jauh. Tanpa adanya kontak fisik, tatapan mata, atau senyuman ringan. Rasanya begitu jauh. Disaat, si pemilik hati sudah ada bersama tapi disaat itu juga dia tak ingat siapa dirimu. Jauh dengan makna frasa yang berbeda.

Jauh yang dekat. Dekat yang jauh. Begitupun aku dan Haikal.

Mungkin tatapanku terlalu dalam hingga membuat si pemilik hati menoleh. Ada sedikit kerutan di keningnya. Dan akan selalu begitu, dengan tatapan kosongnya.

“Kenapa?” Ketus sekali.

“Mau nyemil gak Cal? Aku beli spikoe tadi. Kesukaan kita.”

Kue lapis yang selalu menemani di kala kita duduk bersama di teras rumah dengan canda tawa yang hanya selaras bagi kita berdua. Terdiri dari dua warna dan rasa; Kuning dan Coklat — Keju dan Coklat.

Kalau di lihat kembali, rasanya komposisi kue lapis ini sedang menyindir. Aku tidak bisa menikmati rasa keju, jadi yang ku makan hanyalah rasa coklat. Dan sebaliknya, Ical akan menghabiskan rasa keju.

Rasa dan warna yang ku makan tetap. Coklat dan selalu coklat. Sedangkan Haikal, rasa dan warnanya berbeda. Keju dan Kuning.

“Udah?” Suara Ical menginterupsi.

Kita makan dengan senyap. Sesekali bertatapan dan secepat kilat berkilah.

“Kenapa yang kuning ga dimakan?”

“Ga suka keju.”

Haikal membawa piringku yang hanya berisi potongan kue rasa keju mendekat. Seketika, semuanya bereaksi. Dengan pacuan yang tak waras, jantungku berdegup lebih kencang. Di depanku ada Haikal Adinata yang ku tunggu. Memakan potongan roti rasa keju yang tak ku sukai dengan khidmat.

Apa rasa-nya kembali?

Di tengah detak jantung yang tak berujung normal, pertanyaan itu mencuat.

Apa Haikal ku kembali dengan rasa yang sama?

Semuanya tak terasa benar. Sosoknya yang sekarang memancarkan rasa yang setimpal. Tapi tidak dengan tatapannya.

Dengan itu aku sadar, dia belum kembali. Rasa itu masih bersembunyi atau bahkan tak disadari sudah menghilang.

Menarik diri dari hadapan Haikal, membuat Haikal sedikit tersentak.

“Mau kemana?”

Suaranya, wajahnya, semua lekuk tubuhnya —itu punya Haikal Adinata. Tapi mengapa harus disisakan satu yang bukan milik Haikal Adinata.

Tidak menjawab dan pergi menjauh. Pilihan paling tepat untuk saat ini. Sebelum aku menangis di depannya dan mendapat teriakan yang jauh lebih kencang karena Haikal benci melihatku menangis, Haikal benci dipaksa mengingat.

Menjauh dan menjauh. Hal yang akan selalu ku lakukan saat semuanya runtuh. Tidak akan ada manusia se kuat ini. Bayangan atas sosok manusia kuat akan tetap rapuh saat pondasi kehidupannya menghilang.

Di tengah langkah yang ku percepat, aku mendengar Haikal berteriak,

“Aku capek! Aku juga mau ingat semuanya TAPI GA BISA!”

Langkahku berhenti. Kita berada di titik yang sama. Lelah.

Kembali memutar arah dan memberanikan diri memeluk Haikal. Detak jantung kita seirama. Setidaknya ada satu yang bersama.

“Maaf. Kalau capek istirahat. Jangan tinggalin aku lagi. Gitu ya Ical? Jangan pernah tinggalin aku lagi. Capek boleh kok. Tapi inget jangan pernah tinggalin aku. Kapan pun itu.”

Pelukan ku menjadi jauh lebih erat. Mungkin aku sering mengeluh lelah karena Haikal yang tak kunjung mengingatku, tapi tanpa dirinya aku tak bisa apa-apa.

Karena tanpa dirinya, tak mungkin ku terus berlari tanpa kaki.

Tekatku selalu bahagia, tapi tanpa dirimu tak mungkin.

Tanpa Haikal itu ga akan pernah mungkin.