aleanorkim

8 — hari demi hari

Sudah hari ke tujuh, Haikal menatapku dengan tatapan muak. Bola matanya yang indah memancarkan rasa tidak suka dengan keberadaanku saat ini. Hingga tangannya yang dingin melingkar di pergelangan tangan kananku. Tanda untuk berhenti. Entah untuk berhenti menyuapinya atau berhenti memaksanya untuk mengingat.

“Aku bisa makan sendiri.” Nadanya dingin. Berusaha mengambil alih makanan yang ada di pangkuanku. Dengan setengah hati, aku tersenyum, membiarkan Haikal makan dengan tenang.

“Makannya di habisin ya Cal, aku keluar dulu. Kalau butuh apa-apa telfon aja.” Tidak lupa dengan senyum yang bahkan aku tak tahu untuk apa aku tersenyum. Tersirat rasa sakit tak terkalahkan di relung hati paling dalam. Haikal ku tak mengingat sedikitpun tentang kata kita.

Menutup pintu kamar Haikal, berusaha menapakkan kaki untuk berlari sejauh mungkin agar tangisku tak terdengar. Hingga akhirnya aku tak mampu menahan bobot badanku sendiri, berlutut dengan tangan mengepal memukul lantai.

Aku di pertemukan dengan sang pemilik hati tapi dengan hati yang kosong. Terlalu kosong hingga rasanya tak ada gunanya selalu memaksa untuk diingat, karena hatinya telah kosong. Tidak tersisa. Sudah tidak ada aku disana.

Pintu kamarku di ketok, aku bangun dan bergegas untuk merapikan tampilan menyedihkan. Tidak boleh ada yang tahu aku se rapuh ini.

“Anterin aku ke cafe depan bisa ga? Aku ada janji. Tapi kalau ga bisa gaapa, aku naik ojol aja.”

Aku menggeleng dengan cepat.

“Bisa kok. Sekarang?”

“Iya.”

“Kalau boleh tau mau ketemuan sama siapa?”

“Sona,”

Nama pertama yang terlontar dari mulut Haikal. Tidak perlu di definisikan bagaimana rasanya, hanya dengan tangan yang mengepal kuat rasanya sudah terlalu menunjukkan betapa sesaknya.

“Aku inget nama itu, pas aku cek di sim card ternyata ada nomornya.”

“Iya, aku anter. Aku ambil kunci mobil dulu. Tunggu di bawah aja Cal.”

Haikal tak menjawab, langsung membawa tubuhnya menjauh dari hadapanku.

Menyalakan musik dan memilih untuk memutar playlist pernikahan yang kita buat dulu. Tangannya bergerak mengikuti irama, bibirnya mulai mengeluarkan nada. Dan aku di bawa ke tempat dimana kita sedang lari dari pertemuan keluarga karena lelah dengan usul yang tak masuk dengan plan pernikahan kita.

Kondisinya sama tapi tidak dengan keadaannya. Hening. Haikal yang sekarang hanya menatap lurus jalanan dan bergumam kecil. Sedangkan dulu, Haikal akan tertawa kencang sembari tangannya menginvasi tangan ku yang lengang. Menggenggam erat sekaligus ibu jarinya yang mengelus lembut. Tampak tak bersyukur tapi jujur aku rindu Haikalku yang dahulu.

Bukan Haikal yang acuh denganku. Bukan Haikal yang lupa atas memori indah yang kita buat.

Sesampainya di cafe, Haikal hanya mengucap terimakasih dan meninggalkanku.

Aku menatap punggungnya yang mulai menghilang dari pengelihatanku. Raganya memang kembali tapi rasanya menghilang. Itu yang aku sadari. Aku meminta untuk bisa melihatnya tanpa sadar hanya raga nya yang ku inginkan.

Tak berniat untuk mengikuti, karena itu diluar jangkauanku. Dari dulu kita menerapkan adanya rasa percaya yang kuat, dan akan tetap ku terapkan di waktu sekarang.

Ketika membuka ponsel, pesan Haikal muncul. Tiga notifikasi.

Pertama, memberi tahu bahwa dia akan lama tidak perlu di tunggu.

Kedua, dia mengingat sedikit memorinya.

Ketiga, tapi hanya ada Sona di memori yang dia ingat.

Our Ending.

Pada akhirnya, mereka menempuh akhir bahagianya masing-masing.

Mungkin banyak yang bertanya mengapa dulu di teruskan jika memang tahu tidak akan bisa dilanjutkan, jawabannya adalah Haidar dan Naya percaya, dulu mereka akan bisa melewati masalah itu. Seperti masalah-masalah sebelumnya. Percaya bahwa pasti ada jawabannya. Percaya pasti ada yang mau mengalah.

Kemudian mereka percaya bahwa tidak ada yang bisa mengalah untuk kali ini.

Haidar dan Naya butuh waktu lama untuk bisa di tahap ini. Di tahap mereka rela untuk mencari bahagianya masing-masing, tanpa adanya nama mereka bersanding di dalam satu undangan pernikahan.

Dan sekarang, Naya melihat Haidar-nya dengan balutan pakaian yang membuat Haidar lebih gagah dan senyum yang merekah di tampilkan untuk menyambut tamu. Mungkin masih ada rasa tidak percaya bahwa wanita di sebelah Haidar bukan dirinya, tapi tetap, Naya bahagia melihat Haidar bahagia.

Begitu juga Haidar. Haidar senang melihat Naya sudah bisa tinggal bersama Putera, hidup bahagia.

Mereka bahagia bersama-sama tanpa harus bersama.

Dan disini pula, cerita mereka selesai.

Haidar dan Naya yang di pertemukan atas kehendak Tuhan Nya,

lalu di pisahkan oleh Tuhan Nya.

END.

Hari ini datang juga. Dimana Naya dan Haidar saling berhadapan, dengan gerutan emosi di masing-masing wajah mereka. Bahasan yang selalu ada tapi selalu mereka hindari, hingga akhirnya mereka sampai di titik paling puncak. Jika memilih lompat, kau akan berdarah-darah, sedangkan turun pun tak bisa, terlalu susah untuk menaiki ke titik ini. Serba salah dan tak ada ujungnya.

Mereka selalu berusaha untuk melewati semuanya. Dan mereka berhasil.

Tapi tidak dengan yang ini. Cepat atau lambat mereka akan sampai. Dan mereka tak bisa mengelak lagi.

Karena cepat atau lambat Haidar dan Naya harus memutuskan. Memutuskan apa langkah yang mereka ambil setelah ini.

Karena sesungguhnya, Haidar dan Naya sudah sering mengalah. Bahkan saling mengalah. Entah dari segi emosi atau ego mereka.

Seperti Naya yang akan selalu menunggu Haidar di mobil ketika hari Jumat tiba. Menunggu Haidar keluar setelah Shalat Jumat-nya. Atau Haidar yang akan mengantar Naya setiap pagi Minggu-nya ke gereja.

Naya yang sudah terbiasa mendengar alunan ayat-ayat Al Quran yang Haidar bacakan di penghujung malam atau Haidar yang memasukkan lagu rohani di dalam radio mobilnya.

Sedari awal mereka tahu ini rintangan terbesar mereka. Haidar dan Naya juga tahu bahwa salah satu dari mereka akan mengalah, tapi mereka tak sadar bahwa mengalah pun tak ada gunanya. Dan tentunya tak ada yang bisa.

Mereka hanya akan saling mengkhianti.

Dan berakhir saling menyalahkan.

Menyalahkan kehendak Nya yang mempertemukan mereka dan membuat mereka saling terjatuh.

Dan hari ini juga mereka berteriak karena menyalahkan kenapa mereka harus berada di titik ini.

“Aku gak bisa Haidar. Aku gak bisa.”

“Aku juga gak bisa Nay. Gak akan bisa.”

Gak bisa. Hanya itu yang bisa mereka ucapkan.

“Haidar aku sayang kamu.”

“Nay aku sayang kamu.”

Rasanya seperti ucapan itu akan menjadi penutup mereka.

Tak ada yang bisa di ubah untuk kali ini. Tak ada yang bisa saling mengalah untuk kali ini. Mereka mencintai bukan untuk mengkhianati.

Almost is never enough

Mereka hampir sampai di penghujung cerita. Layaknya dongeng yang akan berakhir bahagia. Mengikat janji sehidup semati, tapi mereka hanya hampir. Dan hampir tidak akan pernah cukup.

Dan ya, sekarang mereka sampai.

Haidar dan Naya sampai di pada akhirnya,

Pada akhirnya, mereka tak bisa bersama.

Pada akhirnya, mereka memilih Tuhan-Nya.

Dan pada akhirnya, Haidar dan Naya melepaskan genggaman mereka.

Kynan tidak pernah tau kejadian dimana Naya menciumi bibirnya membuat jantungnya berdebar. Dimana seharusnya dia tak merasakan kupu-kupu saat itu.

Hari itu, dimana Naya menghampiri Kynan dan langsung menangis dan berteriak karena teringat oleh sosok yang untuk Kynan sendiri memang tidak bisa di lupakan. Seperti biasa, Kynan membawa Naya ke pelukannya, mengelus rambutnya, membersihkan peluh di dahi Naya, dan membisikkan kata-kata penenang. Kynan akan selalu menjadi obat dari segala obat.

Setelah menenangkan Naya dan membawa Naya untuk beristirahat, Kynan mengambil sebotol wine-nya. Meminum sedikit demi sedikit, merasakan gelenyar hangat yang menyapa tenggorokannya. Otaknya penuh, berpikir kapan dia bisa melihat wanita yang sedang tertidur itu bahagia, melihat senyum yang dulu sering terukir di bibir indah itu. Kynan sesak melihat Naya seperti ini. Menatap jendela kamarnya, Kynan mulai mencari cara bagimana membahagiakan Kinaya atau sebenenya Kynan hanya mencari dimana letak perasaanya sekarang.

Selepas Ical pergi, Kynan tak menampik perasaannya terus berubah. Ada perasaan yang tiba-tiba muncul. Perasaan dimana yang Kynan tahu itu tidak bisa di biarkan.

Hingga gelas di tangannya di rebut. Naya meminumnya tanpa jeda. Hanya menyisakan setetes cairan bewarna ungu di gelas Kynan.

“Kok bangun?” Tanya Kynan dengan mata yang tak henti mengagumi sosok di depannya.

“Aku capek Kyn gini terus. Aku kangen Ical. Aku mau ketemu Ical.” Naya dengan segala kerapuhannya yang sebenernya baru Kynan ketahui.

“Sini peluk,” Kynan akan selalu siap menjadi tempat Kinaya berbagi rasa sakitnya. Tapi, Kynan lupa, dia tak pernah siap untuk rasa ini. Rasa ingin memiliki Naya.

Naya memeluk Kynan dengan erat, membayangkan bahwa yang di peluknya adalah Haikal Adinata. Pria yang sangat Naya rindukan.

Entah dari efek minuman anggur yang Naya teguk tadi atau memang sekarang Naya melihat Kynan sebagai sosok Ical-nya, Naya meraih bibir mungil Kynan. Menciumnya seakan tak ada hari esok.

Sedangkan Kynan, tubuhnya membeku.

Mencari akalnya agar tetap bisa mencerna ini semua, Kynan tak boleh jatuh. Berusaha membawa Naya untuk menjauh darinya.

“Ical, aku kangen kamu. Kangen banget. Ical jangan kemana-mana lagi ya.” Racauan itu terlontar keras ketika Kynan hendak menjauhkan tubuhnya.

Kinaya tak memberikan sedikitpun jarak diantara mereka, kembali melumat bibir merah Kynan.

“Aku sayang kamu,”

Hingga saat Naya mengucapkan itu, Kynan membawa Naya untuk semakin memperdalam lumatan mereka. Membiarkan lidah mereka bergulat, menginvasi mulut masing-masing. Saling mengecap satu sama lain. Merasakan rasa-rasa pahit sisa cairan yang mereka teguk tadi.

Kynan sadar bahwa ucapan sayang itu bukan di tujukan untuk dirinya, tapi bisakah dia berharap kata itu akan untuk dirinya suatu saat. Sejak saat itu, Kynan sadar dia melihat Naya lebih dari seorang kakak perempuan. Lebih dari wanita yang ia kagumi.

Karena sesungguhnya, Kynan ingin membawa Naya untuk dia ajak menghabiskan umur bersama.

Kynan ingin egois, berusaha menampik bahwa ada sahabatnya—Gavin yang juga sedang berusaha memikat hati wanita yang sedang Ia ciumi ini. Atau menampik bahwa Naya akan selalu melihatnya sebagai sosok adik atau sahabat sejati.

Kynan ingin menjadi sosok pendamping Kinaya.

Egoisnya yang hampir membawa Kynan untuk merusak hari bahagia wanita yang sangat Ia cintai.

Dan sekarang, Kynan sadar. Cintanya memang terlahir untuk disimpan. Kynan tersenyum saat layar menampilkan video-video Naya dan Haidar.

Suara tepukan meriah dari para tamu undangan. Dan Kynan melihat, Naya dan Haidar yang saling berpegangan tangan. Terlihat sangat kuat, hingga Kynan tau tak pantas Ia melepaskannya secara paksa.

Kynan lebih memilih egois untuk tetap diam daripada melakukan hal yang bisa melunturkan senyum indah di wajah Naya. Kynan amat mencintai Naya, hingga dia ada di letak dimana melihatnya bahagia itu cukup.

Menemukan Gavin yang melihatnya, Kynan tersenyum.

“Ga akan gue sakitin. Santai.” Menepuk bahu Gavin dan berjalan menuju kerumuman.

Sedangkan Gavin terdiam, menyadari bahwa selama ini Kynan menyimpannya rapat-rapat. Gavin tau rasanya ketika Naya memilih Haidar. Gavin tau betapa sakitnya. Tapi Gavin tak pernah tau rasa rela.

Merelakan seseorang yang kamu cintai tak pernah se mudah itu. Dan Kynan berhasil melewatinya.

Kepulangan Naya dan Haidar masih membawa tanya. Perlu di selesaikan. Sehingga hari ini mereka memutuskan untuk mengambil libur satu hari lagi untuk membicarakan semuanya.

Haidar menginap, kasian juga kalau harus kembali ke kos setelah mengantarkan Naya. Setelah membersihkan diri, Haidar dan Naya mengambil tempat-tempat masing di tempat tidur. Memeluk satu sama lain. Sudah tidak ada rasa canggung saat melakukan skinship.

“Nay, mau kamu dulu yang cerita apa aku?” Tanya Haidar yang di balas Naya dengan menusuk-nusukkan jari telunjuknya di dada bidang Haidar.

“Aku gendutan gak sih, kamu di Jepang ngajak aku makan mulu.”

Tak menjawab pertanyaan Haidar, Naya hanya membawa tangannya turun untuk memastikan sesuatu. Sedikit memukul perut Haidar dan ternyata masih utuh kok, masih keras belum jadi bun (roti asal mexico).

“Sakitt Nayyy, mesti kamu itu.” Dengan segera merespon pukulan Naya. Tapi di sela ocehannya karena kesakitan, Haidar tersenyum kecil. Melihat bagaimana mereka sekarang berpelukan erat membuat Haidar mengingat bagaimana hari kemarinnya. Rasanya Haidar paham bahwa wanita yang ia peluk ini benar-benar mencintainya.

Mungkin benar, alasan pertama Naya adalah karena adanya kemiripan antara ia dan Haikal tapi alasan terakhirnya adalah Ia sendiri. Mudah bagi Naya untuk meninggalkannya, karena Haidar sadar, persamaan dia dan Haikal hanya ada di wajah. Selain itu, mereka berbeda.

Dia tau bagaimana sosok Haikal, bagaimana cara ia berpakaian, bagaimana seorang Ical memperlukan Kinaya. Dia terlewat hafal.

Karena, dia sempat di posisikan sebagai Haikal.

Haidar bertemu dengan seorang Jocellyn saat ia datang ke salah satu start up di Jakarta. Singkatnya, mereka berkenalan dan menjalin hubungan spesial.

Di mata Haidar, Jocellyn sosok wanita yang bisa dikatakan sempurna. Proporsi tubuh yang ideal dan di umur yang masih muda sudah bisa menjadi pegawai tetap.

Siapa yang tak terpincut?

Laki-laki di tempat Jo bekerja saja tak segan untuk menunjukkan ketertarikannya. Mulai dari yang masih muda sampai tua. Dari yang berperut rata sampai yang buncit. Atau dari yang single sampai yang masih memiliki istri.

Jocellyn sempurna saat itu.

Selama menjalin hubungan, Haidar terlalu gelap mata hingga lupa bahwa dia selalu di tuntut menjadi orang lain.

Mulai dari cara berpakaian, panggilan sayang, bahkan kegiatan yang di gemari. Tapi karena Haidar menyayangi seorang Jocellyn waktu itu, ia rela melakukan semuanya.

Hingga di satu malam saat mereka memutuskan untuk berbagi kesan panas pertama mereka, nama Ical yang terlontar. Haidar yang mendengar langsung terbangun dan mengacak-ngacak seluruh kamar Jo dan menemukan foto orang yang mirip dengannya.

Kejadiaannya persis dengan yang Ia alami dengan Naya saat di Jepang. Hanya ada perbedaan yang cukup signifikan dengan reaksi sang wanita.

Jo sempat menampar Haidar dan meminta untuk mengakhiri hubungan mereka, sedangkan

Naya tidak. Walaupun sempat mengucapkan kata kasar tapi setelahnya Naya meminta maaf. Masih mencari Haidar.

Sempat berpikir apakah Haidar dan Haikal adalah saudara kembar yang terpisah seperti cerita-cerita di televisi, tapi ternyata pikiran itu segera di patahkan ketika Haidar membaca surat yang di titipkan oleh ibu panti yang berisi bahwa dia memang di buang karena orang tuanya belum siap, yang menyalahkannya kenapa terlahir sebelum semuanya tersedia. Tak ada tangis saat membacanya, Haidar terlalu paham dengan ini. Sudah hafal dengan rasa yang sedang menghujam hatinya.

Saat Haidar bertemu dengan Naya pertama kali, tak bisa di sangkal bahwa Haidar melihat Naya sebagai Jo. Banyak kemiripan di wajah mereka, mungkin karena itu juga Haidar menerima tawaran Rachel.

Haidar ingin membalas saat itu, tapi ternyata itu mejadi boomerangnya sendiri.

Haidar jatuh untuk kedua kalinya.

Jujur, Haidar sudah menaruh curiga saat Rachel menyuruhnya untuk ini-itu. Karena itu mirip dengan perlakuan Jo. Di tambah dengan Naya memanggil nama Ical saat tertidur waktu itu, tapi Haidar berusaha melepas semua pikiran buruknya. Karena saat dia mencari tahu, nama yang tercantum sebagai mantan suami seorang Kinaya Paramitha adalah Haikal Adinata.

Sejujurnya, Haidar takut bahwa masa lalunya terulang kembali. Mungkin karena itu ia mengajak Naya untuk segera ke jenjang serius agar dia bisa mengikatnya. Agar ia tak di buang untuk kesekian kali. Haidar butuh status yang kuat. Yang di akui.

Masih banyak ketakutan yang di simpan oleh Haidar.

Jo yang kembali mengusik hubungannya dengan Naya,

Gavin yang Haidar tahu rela terbang jauh hanya untuk memastikan Naya baik-baik saja,

Atau bahkan Kynan yang ternyata juga menyimpan rasa kepada Naya,

Dan yang paling ia takuti, Naya yang tak lagi bisa melihatnya sebagai Haidar.

Karena semua ketakutan yang Haidar simpan sendiri itu, Haidar akan melamar Kinaya.

Melamar secara resmi, mengadakan acara. Waktunya lebih cepat lebih baik.

Setelah Naya dan Haidar menceritakan semuanya, entah mereka tahu apa masih ada yang mereka sembunyikan atau tidak. Karena untuk Haidar sendiri, ia masih menyimpan rasa takutnya sendiri. Haidar tak ingin berbagi.

Ingin mengucapkan keinginannya untuk membuat acara lamaran, prosesi awal atau bisa di bilang proses mengikat satu sama lain sebelum pernikahan. Haidar sepertinya tidak bisa membiarkan Naya tak terikat dengannya untuk waktu yang lama walaupun saat itu mereka mempersiapkan pernikahan.

Tapi ternyata waktunya tidak tepat. Haidar harus menunggu pagi hari atau paling buruk akan lewat pesan karena sekarang Naya sedang mengusak hidungnya di leher Haidar.

Ada kegiatan yang tak bisa ia tunda sekarang.

Hari ini berakhir juga. Beruntungnya, hari ini ditutup dengan akhir yang membahagiakan. Aku dan Haidar sudah mengantongi restu untuk menginjak ke jenjang yang lebih serius.

Haidar mengenalkan diri di hadapan mamaku, sedangkan Putera sudah berada di pangkuanku. Sudah mulai terbiasa berdekatan dengan Putera, rasanya menjadi menyenangkan.

Selayaknya perkenalan biasa, Haidar ditanyai oleh mama tentang keluarga, asal, pekerjaan, dan hal-hal penting lainnya. Tak berlangsung lama karena sejujurnya mama sudah tau tentang Haidar.

Setelah itu, mama meninggalkan kami — aku, putera, dan haidar.

Haidar sempat canggung karena mungkin baru pertama kali ia melakukan pendekatan ke anak kecil.

“Halo ganteng, namanya siapa nih?” Ucap Haikal dengan tangannya yang mencolek dagu Putera.

“Uta,” My precious one.

Sekuat tenaga untuk menahan air mata agar tak jatuh. Momen ini tak pernah ku dapatkan. Di satu sisi, aku membayangkan betapa bahagianya aku kalau Ical ada di sini. Bersamaku, bersama Putera.

Mungkin aku sudah melamun terlalu lama hingga tak sadar Haidar dan Putera sudah bergurau bersama. Putera duduk di pangkuan Haidar, dan Haidar yang sesekali menciumi pucuk kepala Putera.

Sesekali Haidar melempar Putera ke atas udara karena ternyata Putera menyukai itu.

“Siapa nama kakak? Kak Hai-” Haidar berusaha agar Putera bisa memanggil namanya.

“Dal,” Mendegar itu Haidar menggelitiki Putera dan meniup perut anak manis kesayanganku itu. Mereka tertawa bersama.

Aku sempat menghela nafas, sudah waktunya bahagia bukan?

Bergabung dengan mereka, bermain berasama, bergurau bersama. Dan akhirnya, Putera tertidur di dekapan Haidar.

“Capek yaa,” Haidar mengelus punggung Putera, persis seperti yang dia lakukan kalau aku sedang kelelahan.

“Mana kamar Putera, Nay? Aku yang gendong aja.”

“Jangan, sini aku aja. Bentar ya, aku naruh Putera dulu.” Pamitku untuk membawa Putera ke kamar.

Meletakkan Putera di atas tempat tidur, aku mengecup pipinya,

“Mama sayang kamu, Papa juga sayang kamu jagoan. Tidur yang nyenyak sayang.” Aku melihat ada pigura fotoku dan Haikal disana.

“Cal, sekarang yang bakal jagain aku ada tiga ya. Kamu, Putera, sama Haidar. Kamu disana ngeliatin aku terus kan? Aku kangen tau. Kamu udah bahagia kan Ical disana, sekarang aku juga mau bahagia. Aku sayang kamu.”

Menutup pintu dan kembali menemui Haidar yang ternyata sudah dibawa mama untuk makan malam bersama.

Menghabiskan waktu bersama Haidar menjadi salah satu kegiatan yang paling menyenangkan di dua tahun belakang ini. Berkeliling Surabaya dan berhenti untuk sekedar membeli cemilan di pinggir jalan atau melihat anak-anak yang bermain di taman. Haidar membawa suasana baru di hidupku yang selama ini penuh sesak.

Kita berhenti untuk makan bakso. Sudah lama tak merasakan makan di tengah hiruk pikuk Surabaya, di tambah alunan musik keroncong yang menemani malamku bersama Haidar. Memesan 2 porsi bakso saja dan 2 es jeruk tapi es-nya dikit. Ternyata, kita memiliki preferensi rasa yang sama.

“Udah lama aku ga makan gini. 2 tahun berlalu dan Surabaya ternyata gini-gini aja ya. Gak ada yang berubah.” Ucapku dengan mata yang menerawang jauh ke jalanan malam Surabaya.

Rasanya masih sama, hanya saja sosoknya berbeda.

2 tahun berusaha untuk kabur dan ternyata tempatku pulang tetaplah sama.

“Loh emang kemana? Tinggal di luar negeri ta?” Tanya Haidar.

“Bisa di bilang gitu. Ga suka aja di Surabaya. Jadi, ambil kerjaan yang di luar negeri.”

“Terus ini masih bakal sering ke luar negeri gak?” Tanyanya dengan penuh harapan.

“Enggak kayaknya.”

“Kenapaaa?” Senyum Haidar mengembang. Manis.

“Ada kamu disini, kalau kamu aku tinggalin ke luar negeri nanti di ambil cewek lain.” Haidar sempat tersedak mendengar jawabanku.

Kalimat itu bukan gombalan semata. Sepenuhnya benar. Perasaan ini mutlak. Memang terlalu singkat untuk mendeklarasikan bahwa perasaan ini benar, tapi semakin lama aku semakin takut kehilangan Haidar.

Rasa takut itu membuncah di malam hari, di saat aku tidur di gelapnya malam yang menyelimuti. Berpikir bagaimana bahwa Haidar pergi meninggalkanku? Atau pikiran buruk lainnya. Dan aku benci itu.

Ada rasa ingin bergantung disana. Aku ingin membagi rasa bersama Haidar. Ingin sekali saja bisa berkata bahwa aku lelah menghadapinya sendiri.

Tapi disaat pikiran itu datang, aku menyadari bahwa aku masih menyimpan rahasia besar.

Haikal dan Haidar.


cw // kiss

Sesampainya di unit, Haidar ku persilahkan untuk masuk. Duduk di sofa dengan manis dan sopan, tipikal anak kecil yang baru saja diajak bertamu. Gemas sekali. Matanya mulai bergerak mengelilingi sekitar unit apartment. Ini kali pertama aku membawa Haidar kesini.

Selama ini hanya ada 2 laki-laki yang bisa masuk kesini. Gavin dan Kynan. Dan sekarang aku menambah nama Haidar disana.

Membawa secangkir susu hangat untuk menemani kita berdua. Rasanya masih canggung tapi Haidar berusaha memecahnya.

“Enaknya kita main apa ya Nay?” Aku tertawa mendengar kalimat random Haidar. Badannya mungkin sesuai dengan umurnya tapi tidak dengan jiwanya. Ada Haidar umur 7 tahun disana.

“Adek sukanya main apa?” Tanganku bergerak untuk mengelus rambut Haidar, seperti kakak yang sedang gemas melihat kelakuan adik manisnya.

Kita tertawa bersama setelah itu. Jarak umur 3 tahun cukup sering menjadi bahan candaan kita.

Di tengah tawaku, tanganku di bawa mendekat ke dada Haidar, lebih tepatnya di letakkan dimana aku bisa merakasan detak jantung Haidar.

Kencang. Itu yang ku rasakan.

“Sebelumnya maaf karena ga izin megang tangan kamu, tapi aku mau nunjukin kalau aku se deg-degan ini. Se berdebar ini kalau sama kamu. Kalau aku bisa nunjukin, mungkin bakal aku belah perutku biar kamu tahu ada kupu-kupu disana. Kayak di kelitikin. Aku juga mau bilang kalau mulutku bakal capek setelah kita ketemu, sangking lamanya aku senyum setiap lihat kamu. Nay, aku mau serius sama hubungan ini.”

Aku membeku.

“Darr,” Aku memanggil namanya selembut mungkin.

“Bentar, jangan di potong dulu ya. Aku ga ngajak kamu nikah dalam waktu dekat juga kok, aku mau kita saling terbuka satu sama lain untuk ke jenjang yang lebih serius itu. Aku tahu aku belum semapan itu untuk ngajak kamu hidup bareng tapi izinin aku jadiin kamu alasan untuk aku bisa lebih mapan dan bawa kamu ke hidup aku.”

Ada dorongan kuat untukku membicarakan bahwa masih ada yang harus Haidar ketahui, tapi lidahku kelu.

“Haidar, —aku menghela nafas saat memanggil namanya.

“—kamu ga akan cuman bawa aku. Kita ga bisa kalau berdua aja, karena aku ada Putera. Anak aku. Entah kamu tau atau enggak tapi aku rasa sekarang kamu perlu tahu dan—”

“Kalau gitu aku mau kenal sama Putera. Izinin aku memperkenalkan diri sama dia. Bukan untuk gantiin posisi ayahnya tapi akan menjadi pendamping hidup ibunya. Ajarin aku buat jadi sosok teman dan orang tua yang baik buat Putera dan suami yang baik buat kamu. Ini beneran aku serius ya Nay, jangan dikira aku lebih muda 3 tahun terus isinya candaan mulu. Kalau kamu takut aku ga nerima kamu dan putera,i take all the risk. Aku nerima kurang dan lebihnya kamu. I really love you.”

“Oke, kalau gitu izinin aku buat bicara sama Putera. Aku mau ngenalin kamu. Tapi pelan-pelan ya Haidar. Ga bisa langsung ketemu.”

“Akan selalu aku tunggu. Aku sayang kamu Nay.”

Di tutup dengan kami berpelukan. Rasanya nyaman ada di dekapan Haidar.

Membawaku ke pangkuannya untuk memberikan dekapan yang lebih nyaman. Mengelus punggungku dengan lembut, kami terhanyut di suasana hangat ini. Hingga lupa, sejak kapan bibir kita saling bertautan. Menyalurkan segala rasa dan memberi jawaban bahwa kami berada di jalan yang sama.

Dan satu hal baru yang ku ketahui adalah Haidar baru saja menyesap rokok, ada rasa pahit di sela ciuman kami. Entah kapan dia merokok, mungkin saat dia izin untuk keluar saat aku membuatkannya susu hangat.

“Kok gak bau rokok?” Tanyaku di sela ciuman kami.

“Hehe kerasa ya, aku pake parfum tadi sebelum masuk.” Jawab Haidar dan segera menyatukan bibir kami lagi.


kelanjutannya ada di trakteer atau bisa cek qrt part ini thankies love.

Tidur ku tak tenang, memikirkan apa yang telah terjadi. Apa benar aku sudah mulai nyaman dengan kehadiran Haidar atau itu hanya kerinduan atas kehilangan Haikal.

Tidak bisa mengelak, sesekali aku masih melihat Haidar sebagai Haikal. Mungkin karena itu juga rasanya tak asing untuk berdeketan dengannya.

Disimpulkan dari Haidar yang menjemputku tadi pagi. Tak ada penolakan seperti biasanya. Menunggu di lobby apartment, Haidar tampak lebih tampan. Gaya busananya sedikit berubah, ada aksesoris kalung di lehernya dan tak lupa jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya.

Melihatku berjalan menghampirinya, Haidar melambaikan tangan. Menyambut dengan ceria.

“Pageee.” Ucap Haidar dengan semangat.

Menarik lengannya untuk segera menuju ke tempat dimana Ia memakirkan kendaraanya. Karena jujur sapaannya yang tak ramah telinga—keras sekali, menjadi pusat perhatian orang-orang disana.

“Udah berani pegang-pegang gue nihh.” Ada suara tawa kecil di akhir kalimatnya. Menyebalkan. Dengan segera melepaskan tanganku yang mengapit lengan yang ternyata di luar dugaan—besar.

“Ayo berangkat.” Putusku. Tidak sedang ingin beradu argumen dengan Haidar.

Haidar memasangkan helm secara tiba-tiba. Tanganku belum sempat mencegahnya.

“Di pakein biar aman.” Suara klik terdengar di telinga.

“Bisa naik ga? Apa mau gue gendong?”

Efek kupu-kupu itu datang lagi. Sudah lama tak mengunjungi perutku. Aku merasa tergeletik karena ucapan Haidar.

“Lah bengong, ayo kalau ga bisa gue gendong ini.”

“Bisa lah. Udah cepetan, ngapain ngeliatin gue.” Memutar badan Haidar agar tak melihat semburat merah di pipi.

Pundak Haidar menjadi tumpuan untuk aku menaiki motornya.

“Pegangan. Nanti jatuh, sakit.”

Tidak ada pelukan karena aku tau di motor besar seperti ini ada pegangnya yang di sediakan di kanan kiri motor. Ini bukan pertama kalinya aku menaiki motor laki-laki karena kembali lagi, semua awal hidupku di mulai bersama Ical.

Tidak ada topik bahasan saat di perjalanan. Sesekali aku bisa mendengar Haidar bernyanyi, tapi tidak begitu terdengar karena bercampur dengan deruan angin.

“Makan dulu yuk. Gue belum sarapan.” Haidar memakirkan motornya di depan gerobak penjual pecel.

Untuk kedua kalinya, tak ada penolakan yang terlontar. Hanya ada perasaan senang karena Haidar bukan tipe laki-laki bergengsi tinggi.

Makan kali ini tidak se khidmat perjalanan tadi. Haidar sesekali melontarkan pertanyaan. Hingga akhirnya dia mengucapkan bela sungkawa atas kepergian Ical. Aku tidak menampik bahwa ada rasa marah saat Haidar berkata seperti itu, tapi aku juga sadar itu sudah menjadi konsumsi publik. Semenjak aku memutuskan untuk mengambil alih perusahaanku dengan Haikal semua kehidupanku tidak berprivasi. Hanya satu yang bisa ku jaga, wajah Haikal dan Putera tidak akan pernah tersebar di media sosial. Aku menaruh semuanya disana, aku tidak segan memenjarakan seseorang yang berani mempersebarluaskan wajah mereka.

Aku hanya menjawab dengan aggukan. Topik ini masih sangat sensitif untukku.

Hingga akhirnya berubah menjadi Haidar yang bercerita. Hidupnya bisa dibilang penuh tanjakan curam. Hidup di panti asuhan dan di asuh satu keluarga kecil. Sampai sekarang, Haidar tak tahu siapa orang tuanya tapi tak ingin mencari tahu juga.

Dia tinggal di rumah keluarga Mahesa yang sekarang Ia anggap adeknya sendiri. Ayah dan ibu angkat Haidar bekerja disana.

Entah seberapa banyak yang di ceritakan Haikal, aku hanya bisa menatap kagum dirinya. Rasanya senang mengenal sosok sepertinya.

Haidar berhasil membuka satu kunci pertama.

Mengikuti alur percakapan dan berujung aku menceritakan sedikit kehidupanku. Kynan, Gavin, Rachel, ada di dalamnya atau mungkin memang hanya cerita tentang mereka.

Dan malam ini aku sadar, ketiga kalinya aku tidak menolak. Dan dua kunci sudah di buka.

Membuat video tiktok yang berisi foto Haidar yang ku ambil secara diam-diam setelah kita sarapan atau mencuri dari akun sosial medianya.

Aku berusaha menampik dengan perasaan bahwa ini hanya karena efek aku rindu Ical dan Haidar datang dengan kemiripan hampir seluruhnya, tapi tidak.

Rasanya aku jatuh.

Entah untuk Haidar

atau

Kedua kalinya dengan Haikal.

Hari ini, Naya meluangkan waktunya untuk menanggapi orang yang dari kemarin menggangunya. Janji untuk bertemu di kedai kopi dekat kantor, dan sekarang Naya memakirkan mobilnya tepat di depan pintu cafe.

Menanyakan dimana tempat duduk pria yang menemukan dompetnya. Membuka pintu diimbuhi dengan suara kasir yang menyapanya. Kedai kopi kesukaan Haikal.

Bukan untuk menikmati kopinya, Haikal dulu akan selalu kesini untuk menyantap kue kering rasa srikaya yang memang menjadi best seller disini.

Dan sekarang, Naya kembali kesini tapi tidak sendiri. Bertemu dengan seseorang bernama Manggala Haidar. Itu yang di ketahui Naya saat ini.

Saat di hubungi, Haidar bilang masih di toilet. Hanya memberi tahu bahwa dia duduk di dekat jendela dan ada gelas kopi disana.

Setelah menemukan letak meja dekat jendela dan ada kopi di atasnya, naya menduduki bangku di depan. Hanya dua kursi. Berhadap-hadapan.

Naya sibuk membuka hp-nya. Memeriksa kerjaan yang tadi sempat ia tinggal untuk bertemu dengan Haidar. Naya hanya ingin mengucapkan terimakasih secara langsung dan meminta Haidar untuk tidak menganggunya, tapi dugaanya salah.

Dengan baju biru muda, blue sky corak garis-garis, ripped jeans, dan model rambut yang sangat mirip.

Haikal. Ical.

“Hai”

Satu kata terlontar dari mulut Haidar.

Satu kata itu meruntuhkan dunianya. Ia rindu si pemilik wajah tampan, rahang tegas, tapi tetap seperti bayi. Naya rindu si pemilik hatinya. Naya rindu Haikal Adinata.

Air matanya mulai terjatuh. Ical sedang berdiri di hadapannya. Tersenyum manis kepadanya.

Otaknya bekerja dengan keras, hingga reaksi yang diberikan adalah menangis dan berteriak.

Itu Haidar bukan Haikal.

Itu Haidar bukan Haikalnya.

*

Tentu Haidar panik, melihat wanita yang tadi melihatnya dengan tatapan penuh rasa sekarang menangis kencang. Dia rasa jika memeluk untuk menengankan sangatlah tidak etis, sehingga dia berusaha menyalakan ponsel Naya yang untugnya tidak diberi passwords. Menghubungi emergency call pertama dan ponsel tidak aktif. Untungnya nomor kedua diangkat dan memberi tahu akan segera menjemput.

Tangis nya mungkin memelan tapi sungguh Haidar masih binggung. Apa yang salah dengan dirinya?

Lebih baik lagi, keadaan cafe sedang sepi jadi tidak ada yang memikirkan hal yang aneh kepada dirinya kecuali kasir dan pelayan disini.

10 menit kurang, laki-laki yang ada di story Instagram Naya datang. Hati Haidar mendadak memanas. Dia mengetahui adanya rasa cemburu di tubuhnya.

Tanpa kata apapun, Naya di bawa menjauh dari dirinya.

Haidar duduk kembali, melihat Naya yang di peluk erat laki-laki tadi. Memikirkan dalam hati,

Apa benar dia jatuh cinta pada pandangan pertama?

*

Sesampainya di unit Naya, Gavin memapah tubuh sang perempuan untuk di rebahkan diatas kasur. Badannya hangat. Mulutnya pucat. Nafasnya terengah-engah. Reaksi yang akan selalu muncul saat ingatan pahitnya muncul.

Gavin membawakan segelas air dan obat-obatan. Sedikit memaksa Naya untuk meminumnya.

Mengelus kening Naya yang mulai mengeluarkan keringat, Gavin teriris melihat Naya seperti ini.

Bahkan dia lupa, dia meninggalkan calon istrinya di restaurant. Sendirian.

“Jangan kayak gini lagi ya Nay.”

Naya tetap menutup matanya, tapi tidak dengan air mata yang tetap setia mengalir di kedua sudut mata Kinaya.

“Ayo bahagia Nay. Ayo bahagia sama aku. Nikah sama aku. Kita rawat Putera bareng-bareng. Aku mau lihat senyum kamu lagi. Aku kangen kamu. Aku sayang kamu.”

Kalimat itu terlontar dengan mudah dari mulut Gavin.

Naya mendengar tapi dia tak punya tenaga untuk marah atau memberi respon lain dari kalimat gila Gavin.

Sudah cukup untuk hari ini.

Naya lelah dengan permainan hidupnya.

Dia hanya ingin bertemu Haikal. Hanya ingin mengucap bahwa dia sangat menyayangi laki itu.

Gavin memeluknya dengan kencang. Naya tau Gavin menangis. Hingga akhirnya, Gavin keluar dari kamarnya.

Disaat itu, Naya membuka matanya.

Naya butuh pelukan Haikal. Bukan orang lain. Tidak ada orang lain. Hanya Haikal.

—end

Setelah menutup panggilan dari istri tercintanya, nafas Haikal terasa sesak. Rasanya ingin cepat bertemu, memeluk dengan erat dan menciumi perut besar Naya.

Panggilan untuk penerbangan tujuan ke Surabaya sudah terdengar. Haikal berjalan melewati belalai gajah untuk masuk ke dalam pesawat. Perasaannya kali ini cukup caur, mungkin karena mendapat kabar bahwa Naya akan segera melahirkan.

Duduk di barisan tengah, memasang airpod di kedua telinga, Haikal mulai mendengarkan playlist yang dibuat dengan Naya saat mereka menjadi pasangan kekasih. Di mulai dari lagu lucky hingga perfect by ed sheeran.

Menutup mata, berharap bahwa disana Naya dan adek bayi menunggunya pulang. Setidaknya dia bisa memegang tangan Naya sebelum dia bertaruh nyawa untuk mengeluarkan adek bayi.

Di dalam gelapnya Haikal menutup mata, kursi penumpang terasa seperti terombang-ambing. Lampu darurat di pesawat pun menyala. Oksigen juga sudah terjatuh dari langit-langit pesawat. Semua panik. Berteriak menyebut nama tuhan meminta pertolongan.

“Tuhan, izinkan aku bertemu dengan istri dan anakku. Izinkan aku mencium kening mereka.” Tangis Haikal pecah. Dadanya sesak kembali. Tangannya bertautan. Meminta dan berdoa.

Semua awak kabin berusaha menenangkan penumpang. Tapi teriakan dan goncangan pesawat berirama. Suara ledakan dari mesin pesawat juga terdengar.

Haikal merapatkan tangan, merapalkan nama Kinaya Paramitha berkali-kali. Mengatakan bahwa dia sungguh mencintai wanitanya.

Di tengah teriakan penumpang yang semakin terdengar di telinga Haikal, hanya Kinaya dan nama anak yang belum sempat ia berikan yang bisa di rapalkan.

Berulang kali.

“Apapun itu berbahagialah wanitaku. Ku bagi separuh diriku untuk menjagamu. Anakku jaga mama ya. Papa sayang kalian berdua.”

Suara ledakan terdengar keras. Di detik itu, Haikal meneriakkan dengan lantang bahwa dia mencintai Kinaya Paramitha.

Kabar pesawat dengan tujuan ke Surabaya dari Singapore menjadi trending topic di seluruh dunia. Semua orang berduka.

Aku menyayangi kalian.