For Get
8 — hari demi hari
Sudah hari ke tujuh, Haikal menatapku dengan tatapan muak. Bola matanya yang indah memancarkan rasa tidak suka dengan keberadaanku saat ini. Hingga tangannya yang dingin melingkar di pergelangan tangan kananku. Tanda untuk berhenti. Entah untuk berhenti menyuapinya atau berhenti memaksanya untuk mengingat.
“Aku bisa makan sendiri.” Nadanya dingin. Berusaha mengambil alih makanan yang ada di pangkuanku. Dengan setengah hati, aku tersenyum, membiarkan Haikal makan dengan tenang.
“Makannya di habisin ya Cal, aku keluar dulu. Kalau butuh apa-apa telfon aja.” Tidak lupa dengan senyum yang bahkan aku tak tahu untuk apa aku tersenyum. Tersirat rasa sakit tak terkalahkan di relung hati paling dalam. Haikal ku tak mengingat sedikitpun tentang kata kita.
Menutup pintu kamar Haikal, berusaha menapakkan kaki untuk berlari sejauh mungkin agar tangisku tak terdengar. Hingga akhirnya aku tak mampu menahan bobot badanku sendiri, berlutut dengan tangan mengepal memukul lantai.
Aku di pertemukan dengan sang pemilik hati tapi dengan hati yang kosong. Terlalu kosong hingga rasanya tak ada gunanya selalu memaksa untuk diingat, karena hatinya telah kosong. Tidak tersisa. Sudah tidak ada aku disana.
Pintu kamarku di ketok, aku bangun dan bergegas untuk merapikan tampilan menyedihkan. Tidak boleh ada yang tahu aku se rapuh ini.
“Anterin aku ke cafe depan bisa ga? Aku ada janji. Tapi kalau ga bisa gaapa, aku naik ojol aja.”
Aku menggeleng dengan cepat.
“Bisa kok. Sekarang?”
“Iya.”
“Kalau boleh tau mau ketemuan sama siapa?”
“Sona,”
Nama pertama yang terlontar dari mulut Haikal. Tidak perlu di definisikan bagaimana rasanya, hanya dengan tangan yang mengepal kuat rasanya sudah terlalu menunjukkan betapa sesaknya.
“Aku inget nama itu, pas aku cek di sim card ternyata ada nomornya.”
“Iya, aku anter. Aku ambil kunci mobil dulu. Tunggu di bawah aja Cal.”
Haikal tak menjawab, langsung membawa tubuhnya menjauh dari hadapanku.
Menyalakan musik dan memilih untuk memutar playlist pernikahan yang kita buat dulu. Tangannya bergerak mengikuti irama, bibirnya mulai mengeluarkan nada. Dan aku di bawa ke tempat dimana kita sedang lari dari pertemuan keluarga karena lelah dengan usul yang tak masuk dengan plan pernikahan kita.
Kondisinya sama tapi tidak dengan keadaannya. Hening. Haikal yang sekarang hanya menatap lurus jalanan dan bergumam kecil. Sedangkan dulu, Haikal akan tertawa kencang sembari tangannya menginvasi tangan ku yang lengang. Menggenggam erat sekaligus ibu jarinya yang mengelus lembut. Tampak tak bersyukur tapi jujur aku rindu Haikalku yang dahulu.
Bukan Haikal yang acuh denganku. Bukan Haikal yang lupa atas memori indah yang kita buat.
Sesampainya di cafe, Haikal hanya mengucap terimakasih dan meninggalkanku.
Aku menatap punggungnya yang mulai menghilang dari pengelihatanku. Raganya memang kembali tapi rasanya menghilang. Itu yang aku sadari. Aku meminta untuk bisa melihatnya tanpa sadar hanya raga nya yang ku inginkan.
Tak berniat untuk mengikuti, karena itu diluar jangkauanku. Dari dulu kita menerapkan adanya rasa percaya yang kuat, dan akan tetap ku terapkan di waktu sekarang.
Ketika membuka ponsel, pesan Haikal muncul. Tiga notifikasi.
Pertama, memberi tahu bahwa dia akan lama tidak perlu di tunggu.
Kedua, dia mengingat sedikit memorinya.
Ketiga, tapi hanya ada Sona di memori yang dia ingat.