aleanorkim

—forever is a long time

Hari ini hari kedua Haikal meninggalkanku untuk mengurus rumah baru kita di New Zealand. Pagi hari ini, Haikal sudah menghubungiku berkali-kali. Sekedar menanyakan bagaimana kabar adek bayi yang sebentar lagi akan melihat dunia. Perutku tampak lebih besar, kadang yang di dalam akan menendang ketika mendengar suara papanya melalui telfon.

Aku dan Ical sepakat untuk memulai hidup baru bersama, bertiga— di negara indah di benua seberang. Setelah drama yang panjang dan menguras tenaga tentunya, kita sepakat untuk pindah. Jalan 35 minggu kandunganku, Haikal mulai sibuk mengurusi semua persiapan disana. Awalnya, dia tak mau meninggalkanku sedetik pun tapi karena sedikit kebohongan bahwa aku tidak akan kenapa-napa sendiri membuat Ical pergi.

Kalau ada yang tanya 'kenapa ga diurus dari sebelum kandunganku semakin berumur sih?!' jawabannya adalah sudah di urus kok. Haikal udah nyicil, sebelum tau malahan programku berhasil atau tidak. Cuman karena pada dasarnya emang ribet banget ngurus kepindahan kesana. Belum lagi urus rumah, perabotan, dan lain-lain. Apalagi kali ini dia ngurus sendiri, dulu ada yang ngebantu. Dia cuman ngecontrol dari jauh.

Telfon kali ini, di sisipi oleh Haikal yang menangis terharu karena berhasil melihat perutku yang sedikit bergeser karena adanya pergerakan bayi di dalam. Mengucap berkali-kali bahwa dia rindu untuk bertemu denganku dan adek bayi. Rasanya dia ingin sekali bertelepati untuk segera bertemu denganku. Lucu sekali. Dan tentu saja manis. Haikalku selalu begitu.

Setelah memutuskan panggilan video kami, aku beranjak ke dapur untuk membuat susu kehamilan yang dimana kalau ada Haikal disini pasti ia yang akan menyiapkan. Daritadi sepertinya aku hanya membahas suamiku, mungkin karena efek aku juga rindu dengannya. Ralat, bukan aku yang rindu. Adek bayi di dalam perut yang sangat rindu papanya.

Untuk panggilan sendiri, Ical meminta untuk di panggil papa. Katanya kata papa akan lebih gampang untuk diucapkan sehingga dia bisa dengan cepat mendengarkannya. Aku sendiri sih bisa apa aja.

Keadaan kandunganku baik, kata dokter kelaminnya laki-laki. Itu menandakan bahwa aku akan segera punya dua bodyguard yang akan menjagaku dengan baik. Untuk reaksi Haikal? Tentu bahagia bukan main. Kayaknya waktu itu dia sempet kali teriak sambil lompat-lompat 5 menitan. Katanya bakal ada temen yang diajak boxing, taekwondo, basket, sama zumba. Yang terakhir pastinya kena pukulanku.

Sedangkan keadaan kompleks sangat berbeda, sepi sekali. Mbak Anya dan Pak Surya sudah dua minggu pindah ke Singapore. Kynan, Mbak Shania, dan Pak Arjuna juga sudah pindah ke Aussie untuk menemani Kynan bersekolah disana.

Tentang Faiz dan Mbak Namira, aku mendengar bahwa mereka sudah berpisah, kemarin terakhir mereka bertemu di pengadilan untuk mendengarkan hasil keputusan jaksa. Sudah sepatutnya begitu. Mbak Namira sudah terlalu banyak memberi maaf. Waktunya berdamai dengan diri sendiri.

Gavin dan Rachel? Sepertinya Rachel masih harus berusaha melunakkan hati Gavin. Doakan mereka ya. Untuk Gavin sendiri, dia tetap di kompleks ini karena dia di tunjuk untuk menggantikan Pak Surya. Awalnya dia menolak, dengan alasan dia ingin ikut pindah, sudah tidak ada alasan dia disini. Hingga akhirnya, dengan menggengam tangan Haikal erat aku menghampiri Gavin dan menyatakan aku sudah bahagia. Sesuai janjinya, dia ingin melihatku bahagia, dan ya aku menunjukkannya.

Untuk Raihan sendiri, yang aku tahu dia pindah ke Bandung untuk menenangkan diri—berdamai dengan dirinya sendiri. Healing. Take times for yourself. Aku tahu rasanya sangat susah, kepercayaan atas dirimu di hancurkan karena orang-orang yang kamu percayakan menjadi panutan.

Rasanya rindu sekali dengan mereka semua, aku menatap sendu foto kita bersama yang diambil saat kita pergi ke Jogja. Mendadak perutku sedikit merasa kram dan ada air yang mengalir di sekujur pahaku. Ketubanku pecah. Segera ku telfon Haikal. Reaksinya tidak kalah panik, memutus hubungan telfon kami, yang ku tahu dia berusaha menghubungi orang kantornya atau opsi terakhir adalah Gavin yang notabene tetanggaku—paling dekat untuk membawaku ke rumah sakit.

Iya Haikal dan Gavin masih perang dingin. Tapi aku tau mereka hanya gengsi untuk saling meminta maaf. Jadi biarkan saja.

Pintu rumah dibuka dan seorang Gavin Respati muncul dengan wajah paniknya. Berlari menghampiriku dan segera mengendongku untuk di bawa ke mobilnya. Di dalam mobil, aku berusaha mengatur nafas untuk sedikit meredakan rasa sakit yang mulai terasa. Di tempat pengemudi, Gavin melirikku sesekali, memastikan bahwa aku masih aman.

“Udah jangan ngelirik aku mulu Vin. Im fine. Liat jalanan.”

Haikal menghungi Gavin di tengah perjalanan kami, yang langsung di hubungkan ke speaker mobil agar aku bisa berbicara langsung.

“Vin udah sampe belum? Gimana Naya? Aman kan anakku? Aman kan istriku?” rentetan pertanyaan langsung di keluarkan Haikal.

“Lagi di jalan sayang. Aman semua, adek bayi sama mamanya. Tenang ya sayang.”

“Yangg aku baru bisa sampe besok. Gimana dong ini. Aku mau nemenin kamu.”

“Doain aja bisa besok ngelahirinnya hehe,” Aku berusaha untuk membuat Haikal tidak panik karena semakin dia panik aku merasakan adek bayi di dalam perut ingin cepat bertemu ayahnya.

Orang tuaku dan orang tua Haikal datang di saat aku dinyatakan harus melahirkan secara caesar besok pagi jam 7. Beretepatan dengan Haikal yang akan sampai juga di Surabaya. Rasanya lega karena aku bisa ditemani suami.

Aku dan Haikal masih terhubung lewat panggilan video sebelum keberangkatannya. Dia sedang transit di Singapore. Rasanya aku rindu sekali dengan dia. Kali ini aku yang benar-benar rindu. Ingin menciumi pipi manisnya. Atau sekedar mengusak hidung kita berdua.

“Terimakasih sudah menjadi istri dan ibu yang luar bisa hebat. Aku mencintaimu. Tunggu papa ya adek bayi. Papa sayang kalian berdua.”

Kalimat itu menjadi kalimat terakhir Haikal.


warning: silahkan berhenti jika ingin akhir yang bahagia.


Pasca operasi dan di pindahkan ke ruang kamar, aku melihat semua orang termasuk Gavin, Rachel, dan ada Kynan juga. Mereka semua menangis. Mama menghampiriku dan ada suster juga yang membawa anak bayi mungil nan tampan ke dalam dekapanku.

Aku menangis, rasanya semenyenangkan ini menjadi seorang ibu.

Aku mencari Haikal, harusnya dia sudah sampai sejak aku masuk ruang operasi. Kemana dia?

“Ma, Ical kemana? Lagi makan ta?”

Semua orang semakin menangis. Apa pertanyaanku ada yang salah? Apa yang sedang terjadi?

Televisi rumah sakit dinyalakan. Terpampang nyata bahwa penerbangan dari Singapore menuju Surabaya kehilangan kontak.

Dekapanku melemah. Aku merasakan bahwa bayiku di ambil oleh mama. Aku menatap kosong ke arah dimana semua berita berlomba-lomba memberikan informasi terkini.

Aku merasakan semuanya senyap. Tangisku pun tak ada. Nafasku terasa lebih berat. Suara teriakan tangis mereka pun terasa sunyi.

Haikal ku pergi meninggalkanku. Haikal ku.

Tuhan, kembalikan Haikal Adinataku. Jangan kau ambil dia pergi dariku. Jangan Tuhan, Aku mohon. Jangan kali ini. Jangan.

JANGANNNN!! JANGAN AMBIL ICAL!! JANGAN!! T-tolong.

Aku berteriak. Rasanya sudah cukup aku berusaha menjadi sosok wanita kuat. Dengan itu, ku mohon, kembalikan Haikalku. Kembalikan dia.

Semua orang berusaha menenangkanku. Bahkan aku tahu tindakanku membuat bayi yang sedang berada di dekapan orang tuaku menangis. Aku mulai meracau.

Hidupku. Duniaku. Haikalku.

Masih berusaha melepas semua selang-selang yang terpasang di tubuh. Berteriak layaknya orang yang sudah tak takut kehilangan suaranya, karena memang dunianya sudah hancur. Semua orang berusaha menahanku.

“DIMANA HAIKALKU?! DIMANA IC”

Tubuhku melemas.

“Kembaliin Haikalku. Kembaliin Icalku. Kembaliin. Kembaliin”

Gelap. Itu yang bisa ku rasakan.

Seperti dunia yang akan ku tepati sekarang tanpa adanya sosok Haikal. Gelap. Tak berwarna. Sepi. Sunyi. Menakutkan.

Haikal aku takut. Jangan tinggalin aku. Ku mohon.

Adek bayi mau ketemu papanya, Haikal. Adek bayi mau di dekap papanya, Haikal. Anak kita, Haikal. Anak kita, butuh kamu. Aku butuh kamu.

Untukmu,

Kami menyayangimu papa.

Papa Haikal

Papa Ical

Dari mama dan adek bayi.

Terimakasih sudah memberikan separuh dirimu, Haikal Adinata.

Terimakasih.

Sampai jumpa. Tunggu aku disana.

Di dalam mobil, aku hanya diam. Kynan berusaha mengajakku untuk berbicara, sesekali memberi candaan tapi rasanya tidak ada yang bisa membuat mulutku terbuka. Aku sedang menyimpan tenagaku.

Sesampainya di parkiran hotel, Kynan memberikan tepukan semangat di pundakku.

“Lo itu cewek terkuat yang gue tau Nay. Gue ga akan pernah rela lo di sakitin. Gue akan maju paling depan buat jadi tameng lo. Segitu berartimya lo buat gue. Disaat gue di jauhin semua orang karena di anggep ga punya masa depan, lo ada sama gue. Lo ngebuat gue menjadi manusia yang di hargai. Lo ga maksa gue buat jadi Kynan yang orang-orang mau. Lo segalanya buat gue Nay. Maaf malam itu, gue ngerepotin lo banget. Rumah lo akan menjadi tempat ternyaman gue Nay, tapi ga akan ada apa-apanya kalau lo gaada disitu. Naya bisa.”

Disitu, aku melihat Kynan menangis. Kata bisa di akhir kalimat Kynan membuatku bangkit dari keterpurukan.

“Ayo keluar. Aku harus ketemu Haikal dimana?”

Kynan membawaku ke salah satu ruangan kamar. Hatiku berdegup kencang. Pikiran-pikiran burukku mulai berkecamuk. Melewati lorong demi lorong.

Dan disana, aku melihat Mbak Namira berdiri dengan kaki dan tangan yang bergetar.

Percakapan Naya dan Namira di telfon

Hai Nay, kenapa nih? Tumben banget nelfon jam segini.

Maaf ya mbak ganggu jam kerja. Ini aku mau nanya tentang ovum pick up.

Engga kok. Lagi lowong aku. Udah tentuin jadwalnya kan?

Ini aku lagi di parkiran, mau ketemu dokter.

Iya nanti di jelasin semua kok. Tenang aja. Santaim Rileks. Ical suruh ngelawak coba biar ga tegang-tegang amat.

Mendengar nama Ical membuat hatinya mencelus. Mendadak air mata yang dari tadi ia tahan sejak memutuskan untuk mengenderai mobilnya sendiri, bercucuran.

Naya benci dirinya yang lemah. Dia bisa sendiri. Dia bisa pergi ke dokter sendiri, mengecek keadaan kandungannya, dia bisa semuanya sendiri. Tapi, mengapa rasanya ia tak sanggup untuk keluar dari mobil dan mengambil antrian.

Takut. Naya sedang ketakutan. Mendadak staknan tidak tahu harus berbuat apa. Telapak tangannya dingin, dan punggungnya tidak ada yang mengelus lembut.

Semakin terisak, hingga suara Namira di penghujung telfon membuat Naya berusaha untuk mengeluarkan suara. Sungguh, tangisan kali ini menghilangkan separuh tenaga hingga suaranya.

NAYA?! Kamu kenapa? Nay..

Mbak, aku t-takut.

Kamu dimana? Sama siapa ini?

Aku di parkiran rumah sakit. Sendirian. Aku takut.

Oke tunggu. Aku kesana. Sebentar ya Nay.

Telfon di matikan secara sepihak oleh Namira. Kinaya menaruh ponselnya disamping kursi pengemudi yang kosong. Dulu Ical sering sekali duduk di situ, dengan alasan dia mengantuk karena lelah bekerja.

Kalau sekarang, apa dia lelah denganku?

Semua berjalan sesuai rencana, oh kecuali satu. Dekorasi. Kalau ga inget tadi mereka udah bantuin ini itu udah ku cubitin.

Caption tadi aku gatau sih mereka beneran jadian apa enggak, tapi kalau dilihat dari gelagat mereka berdua kayak lagi kasmaran. Nempel mulu. Orang awalnya cuman ngajak Kynan tiba-tiba Rachel juga udah ada di mobil, dan berakhir aku jadi nyamuk.

Waktu Haikal pulang, Rachel sama Kynan juga pamit. Haikal dateng-dateng langsung nanyain jam tangan yang tadi aku bilang di chat, sambil melukin dari belakang.

Clingy Haikal

“Mandi dulu gih, nanti baru aku kasih kadonya,” ucapku dengan tangan yang mencoba melepaskan pelukan Ical.

“Suayang banget aku sama kamu Nay, sayang bangettt.” Akunya jadi senyum-senyum sendiri. Ical selalu bisa ngasih efek kupu-kupu di perut. Setelah menghabiskan waktu sekitar 10 menit dengan aku membiarkan Ical menciumi pipiku,memelukku dengan erat akhirnya dia menuju kamar mandi.

Sambil menunggu Ical selesai dengan kegiatan mandinya, aku menyiapkan kue yang tadi kubuat.

“Yangg dimanaa? Aku udah selesaii nih.” Teriak Haikal yang bisa ku dengar dari dapur.

Aku menghampiri suami tersayangku itu. Dengan kaos yang aku tahu itu urutan paling atas di lemari, Ical tampak lebih indah.

Sedikit berjinjit, berusaha menutup mata Haikal.

“Apanih? Yangg jangan aneh-aneh deh!” Ical berusaha melepaskan tanganku dari matanya.

“Ayo ikutin aku. Pelan-pelan.” Aku mendorong pelan Haikal untuk berjalan sedikit demi sedikit. Dan tiba-tiba saja dia berbalik untuk menggedongku.

“Tutup lagi nih mataku, lebih gampang kan kalo gini nutupnya hehe.”

Modusnya emang ga ada lawan

“Udah nyampe, turunin aku.”

“Cium dulu, bayaran udah gendong kamu.”

Ku cium cepat keningnya.

“Buka gih pintunya,” suruhku kepada Ical.

“Selamat satu tahun Haikal Adinata, suami tercintaku.”

Seperti perayaan biasanya, kita berdoa bersama, meniup lilin, hingga memotong kue yang sudah kusiapkan khusus untuknya.

“Nyalain lcd nya Cal.”

Seketika video kenanganku yang berisi seorang Haikal Adinata keluar. Aku fokus dengan ekspresi Ical. Melihat dia dengan mata bulatnya yang sedang fokus menatap potongan-potongan video.

Ical tersenyum manis, kadang gigi kelincinya menampakkan diri. Manis sekali. Tiba-tiba ada air mata yang menetes dari pelupuk matanya. Segera ku berikan pelukan ternyaman, dan aku menyadari itu.

Aku tempat ternyamannya, aku rumahnya.

Di selang pelukan itu, ku coba untuk memberikan hadiah terbesarku.

“Ical, aku siap buat bayi tabung,”

Ical cukup terkejut dengan kata yang ku lontarkan, Ical berusaha menyela ucapanku.

“Jangan di potong dulu ya. Aku emang udah ngerasa kita udah waktunya. Apalagi setelah kejadian waktu itu ngebuat aku semakin takut. Tapi, kembali lagi, apapun itu asal sama kamu, aku gak akan kenapa-napa. Karena aku yakin, kamu bakal selalu jaga aku.”

Ical memelukku lebih erat, cukup membuatku sesak.

“Cal im okay. Gaapa. Aku udah tanya dokter dan its fine. Yuk dicoba.”

“Kamu ngeliat ya?”

“Hehe, iya. Maaf ya. Ga sengaja. Waktu buka hp kamu, udah langsung brosur ivf di galeri. Aku gatau kamu dapet dari siapa, atau kamu udah dapet omongan apa aja, tapi aku mau karena kita. Bukan karena orang lain. Aku mau karena aku udah siap, bukan karena paksaan orang lain. Asal ada kamu di sampingku. Everything will be fine. Kalo boleh jujur, sebenernya tinggal nunggu persetujuan kamu sih hehe, semuanya udah aku yang nyari.”

“Sayangg”

“Apaa”

“Kamu tau kan gimana prosedur bayi tabung?”

Aku mengangguk. Tentu saja aku tahu.

“Yangg aku gabisa liat kamu kesakitan. Aku ga tega. Kita masih satu tahun, masih bisa nunggu lagi.”

“Jadi, kamu ga setuju?”

“Sayangg, bukan gitu. Aku cuman gamau lihat kamu kesakitan.”

“Kamu bakal sama aku terus kan? Jadi gaapa. Aku mau buat kamu bahagia Cal.”

Haikal memelukku lagi. Lebih erat. Dengan itu, aku tahu jawabannya.

“Besok aku udah buat janji sama dokter. Let's through this with happiness.”

Dua orang yang daritadi di cari sedang duduk di mobil—dengan Rachel yang menangis sesengukan sedangkan Kynan diam terpaku, tidak tau harus berbuat apa. Belum ada pengalaman menenangkan wanita yang sedang menangis.

“Cup cup cup,” kalimat yang sangat di rutuki Kynan. Rachel bukan bayi yang bisa di diam hanya karena kata cup cup cup.

“Kak Ian jahat. Jahat banget. Kalau punya yang baru bilang, jangan pake alasan yang waktu itu. Serius jahat.”

Gue harus apa ini? Please siapapun bantu gue

Tangannya mengepal, Kynan tak cukup berani untuk mengelus kepala atau bahkan punggung Rachel. Pelipisnya bahkan sudah basah karena keringat. Dengan posisi Rachel yang menangis di pelukannya membuat semua fungsi otak Kynan berhenti.

Dimana Kynan yang sangat mudah menaklukan wanita?

“Sakit banget kak. Udah janji sama diri sendiri gamau nangis lagi karena cowok, tapi Kak Ian.” Tangisan Rachel semakin kencang. Kynan tentunya semakin gelagapan. Sangat tidak lucu, jika ada orang yang berpikir dia melakukan sesuatu yang buruk dengan Rachel. Bisa-bisa di geret Mama ke pondok.

“Taris nafas, buang. Yuk berhenti dulu nangisnya, udah telat ini kita. Nanti ga kebagian makan-”

“GAMAU KETEMU KAK IAN!! KAK IAN JAHATT”

Salah ngomong gue

“Oke, oke tenang. Sekarang maunya gimana? Pulang? Tapi nanti gue di gebukin Naya kalo ga bawa lo ke acara.”

Tiba-tiba Rachel melepaskan pelukannya. Kynan bernafas dengan lega.

Muka Rachel yang sedikit berantakan karena air matanya sedikit melunturkan riasan wajahnya, tapi kalo Kynan boleh jujur, Rachel tetap cantik bahkan lebih imut.

Dengan sigap, Kynan menampar mukanya pelan.

Sadar Kyn, Sadar!

“Kita tetep masuk. Rachel ga boleh lemah. Bentar ya kak, aku dandan lagi.”

Kynan melototkan matanya, tak percaya secepat inikah perubahan mood wanita?

Setelah menunggu sekitar 10 menit, Rachel sudah selesai dengan kegiatan tata riasnya.

“Ayo kak, udah. Nanti kita telat.”

Emang udah telat

“Chel, gue gatau lo habis liat Ian ngapain tapi gue tau lo sesakit itu. Saran gue jangan tunjukin sisi lemah lo di depan Ian. Tunjukin sisi Rachel yang kek gini, biar Ian nyesel mutusin cewek kayak lo. Oh satu lagi, nih”

Kynan menyodorkan tangannya.

“Pegang tangan gue kalau lo ngerasa Ian ngebuat lo ga nyaman atau apapun itu. Remes aja gaapa tapi jangan pake kuku juga. Sekarang lo siapin mental buat ketemu Ian.”

Rachel mengikuti perintah Kynan. Mengambil tangan Kynan untuk di pegang—menautkan kelima jari mereka dan mengambil nafas se banyak-banyaknya lalu di hembuskan.

“Oke let's go! Gue udah laper tau Chel.”

Rachel tertawa mendengar ucapan yang menurut Kynan tidak ada unsur komedinya, tapi dia suka senyum Rachel.

Lo manis kalo ketawa Chel

Sudah lewat 6 hari aku hanya diam di rumah saja. Kalau dihitung sudah 8 hari aku kehilangan malaikat kecilku.

Apa kabar kak? Mama disini rindu.

Haikal juga sudah mulai bekerja, sekarang hanya ada aku di rumah. Sepi rasanya. Lagu BTS-Fire juga tidak bisa menghilangkan rasa sepi itu.

Setelah 2 hari menginap di rumah sakit, Haikal memutuskan untuk aku beristirahat di rumah. Dengan catatan, aku harus ambil cuti, 3 minggu paling cepat.

Aku tidak menolak, untuk sekedar menggelengkan kepala saja aku malu. Apa yang mau di harapkan lagi? Sudah terlalu mengecewakan Haikal.

Kita tidak lagi membahas masalah itu sesampai di rumah. Diam, di selingi rasa canggung yang menyelimuti kita berdua. Rasanya sesak kembali ke rumah, tidak sesenang biasanya.

Selama Haikal mengambil cuti untuk bekerja di rumah, he treats me like an old lady.

Sejujurnya, aku ingin menangis setiap dia memperlakukan aku seperti itu, memikirkan apa aku tidak seberdaya itu? kalau kakak masih bisa bertahan di perut mama apa haikal juga seperti ini?

Pikiranku berkecamuk. Aku bisa memikirkan kesedihan dan kesenengan dalam satu waktu.


Setiap pagi, aku disuguhkan oleh pemandangan Haikal yang sedang duduk di tepi kasur sambil melamun. Aku tidak tahu apa isi pikirannya. Tapi dari mata yang kosong itu, aku menyadari bahwa sebesar itu aku mengecewakannya.

Aku tidak bisa tidur nyenyak sejak malam dimana semuanya hancur, aku bisa merasakan setiap malam Haikal mencium lama keningku. Kadang diimbuhi air mata yang menetes di keningku. Aku berusaha keras untuk menutup mata, setidaknya hingga Haikal benar-benar terlelap.

Haikalku tetap manis, dia tidur tetap dengan lengan yang merangkulku dengan erat. Aku tahu di setiap malamnya, di setiap mimpinya, di setiap dia menutup mata, rasa itu membuncah. Air matanya yang berkata.

Membuka tirai, dan melihatku yang sudah terbangun, Haikalku tersenyum.

Belum semenit Cal

Setelah membuat sarapan dan membersihkan diri, Haikal pamit untuk bekerja. Dan disitu, aku melakukan hal yang sama dengan Haikal.

Duduk di tepi kasur, sampai dering telfon menyadarkanku. Sudah hampir 4 jam aku disini.

Kebiasaan baru setelah Haikal kembali bekerja adalah melakukan video call untuk memastikan aku sudah minum obat dan makan siang.

Haikalku tetap manis bukan?

Tapi di balik itu semua, rasanya hampa. Kita sibuk menata diri masing-masing, hingga lupa hubungan ini sudah tidak berasa.

Kita melakukan semuanya karena adanya paksaan, kewajiban yang harus di laksanakan.

Semakin lama ini semua hanya panggung sandiwara, kita sama-sama sakit. Lelah yang tak berujung.

Aku mengambil keputusan. Semoga ini yang terbaik

Naya terbangun dengan rasa yang amat sakit ditubuhnya. Tangannya yang terinfus, tenggorokan yang terasa sangat kering, dan tentu ada rasa yang aneh di bagian perutnya.

Dilihatnya, ada Haikal yang tertidur pulas sambil menggenggam tangan kanannya dengan erat. Menyadarkan bahwa yang tadi hanyalah mimpi. Mimpi yang amat buruk.

Mungkin karena isakan tangisnya yang semakin lama semakin keras, Haikal terbangun dari tidurnya.

“Sayang, udah enakan?”

Suaranya serak, seperti orang yang sudah menangis lama.

Jujur, aku juga tidak tahu kenapa aku menangis. Rasanya yang tadi di mimpi sangatlah nyata.

Haikal menenangkanku dengan pelukan hangatnya. Menepuk-nepuk pelan punggungku, sesekali mengelus surai rambutku.

“Udahh cup cup sayangg. Jangan nangis lagi. Gaapa ya. Di relain. Nanti kita berusaha lagi. Gaapa sayangg.”

Di relain?

Aku mengerjap. Apa yang harus di relakan?

“Relain? Berusaha lagi? Aku pingsan karena kecapekan doang kan?”

Haikal menggeleng.

“Kamu hamil sayang. Tapi maaf belum bisa dipertahanin. Kesalahanku juga jadi jangan pernah nyalahin diri sendiri. Istirahat dulu ya habis ini, ambil cuti. Tadi harus ambil tindakan kuretasi, jadi aku mau kamu istirahat total dulu. Aku sayang sama kamu Nay, sekali lagi maaf belum bisa jadi suami yang baik.”

Tangisanku keluar sejadi-jadinya. Ini bahkan lebih buruk dari mimpi tadi.

Maafin mama ya nak.

Haikal datang dengan tangan yang menggenggam plastik putih bertuliskan salah satu nama apotek. Berlari kecil,memelukku yang sedang berdiri di dapur menyeduhkan air panas untuk membuat teh.

“Udah baikan yangg? Kenapa ga bilang kalau mual-mual? Kan bisa aku anter pulang dulu.” Sudah pasti terjadi, Ical pasti memborbardirku dengan beribu pertanyaan.

“Kamu kan tadi lagi manggung. Udah enakan kok, kata mbak Namira cuman maag. Tadi siang aku juga lupa makan jadi kayaknya karena itu deh.”

Aku memutar badan untuk menghadap Haikal. Ku lihat ada plastik yang dia bawa.

“Kamu beli obat apa cal?”

Yang ditanya hanya senyum-senyum.

“Testpack. Kata Faiz disuruh beli buat jaga-jaga. Aku ngikut saran aja yangg jangan mikir yang aneh-aneh lho yah.”

Aku mencuri kecupan manis di pipi kiri Haikal. Selalu tau, Haikal akan menjagaku dengan baik. Menjaga hatiku, tidak boleh terluka sedikitpun. Termasuk dengan mengucap kalimat yang akupun sudah paham maksudnya. Dipikir-pikir kasian Faiz dipakai untung tameng Haikal.

“Beli berapa? Kok kayaknya banyak banget?”

“5 hehe. Binggung mana yang bagus. Jadi tak beli semua.”

“Yaudah sini.” Ku ambil kantong plastik dari genggaman Haikal.

“Yangg aku deg-degan. Serius. Yaapa dong ini. Sini pegang deh, kerasa kan ya?”

Aku jadi senyum-senyum sendiri melihat Haikal versi ini. Matanya bulat,pipinya sedikit merona,mulutnya menguncup kecil setiap berbicara.

Sejujurnya, rasa yang Haikal rasakan juga ada di aku, bahkan lebih. Aku takut untuk hasilnya. Takut dengan dua pilihan jawaban. Tapi lebih takut mengecewakan Haikal.

Karena sama-sama tegang, kita hampir menghabiskan satu galon air. Minum sambil bergandengan tangan, menetralisir rasa.

Setelah ku rasa sudah bisa mengeluarkan, aku masuk ke kamar mandi. Dengan Haikal yang mengekor di belakangku.

“Ih ngapain? Gaboleh masuk. Nanti aku kasih tau lewat chat aja.”

“Ahhh gamau. Mau masuk. Mau nemenin.” Haikal versi bayi besar mode on.

“Gaboleh. Tunggu disini aja. Nanti aku chat.” Ku cium sekali lagi. Tapi yang ini di pucuk hidungnya.

Apapun itu semoga yang terbaik buat kita.

Setelah makan malam bersama Haikal, aku membawa laptopku dan merebahkan diri di atas kasur. Hari ini ada kerjaan yang harus di selesaikan.

Omong-omong kita berdua jarang sekali makan malam yang berat, biasanya cuman buah-buahan. Karena kejadian tadi siang, berujung dengan masak malam-malam begini, spesial untuk suami tersayangku.

Setelah menyelesaikan cucian piring, Haikal masuk ke dalam kamar dengan baju yang sudah setengah basah.

Dia ini cuci piring apa main air sih

“Kok masih kerja? Perjanjian awal kan kalo udah di rumah gaboleh bawa kerjaan.” Nadanya ketus, matanya memicing tidak suka. Walaupun begitu tetap terlihat seperti kartun rusa bambi

“Maaf, yang ini urgent cal. Gaapa ya? Sekali aja. Besok-besok gaada kayak gini lagi. Kamu tidur duluan aja, aku ngerjain sambil elus-elus okay?”

“Aku tungguin, kamu tidur aku tidur.” Ultimatum. Tidak bisa di ganggu gugat lagi.

Di tengah mengerjakan lemburan, ical melontarkan pertanyaan yang membuatku kesal sendiri.

“Yangg, kamu ga capek kerja? Kalo capek bilang ya.”

Aku tau pertanyaan ini menjerumus kemana.

“Aku suka pekerjaanku kok cal. Kalo capek juga berhenti kok,istirahat, atau ambil cuti.”

Jawabanku menunjukkan bahwa aku belum berniat untuk menjadi ibu rumah tangga seutuhnya.

“Oke deh. Beli burger yuk yangg” Ical memberi gigitan-gigitan kecil di lenganku. Kebiasaan ical. Katanya gemas.

“Tumben banget, yaudah aku pesenin. Double cheese burger kan?” Ical mengganguk.

20 menit berlalu.

Ada notifikasi muncul bahwa makananku sudah sampai. Saat ingin bangun mengambil pesanan,yang ku lihat Haikal tidur dengan kacamata bacaku yang dia pakai.

Pantas saja dari tadi hening, udah capek anaknya. Dari tadi kerja digangguin. Yang ditanyain gimana bisa cantik,pake pelet apa buat dia,sampe ke pertanyaan kenapa dulu nerima gavin. Terus dianya kesel sendiri. Karena itu kayaknya dia ketiduran.

Ical itu cuman bisa diem kalo tidur. Makan juga sih tapi kadang-kadang masih bisa ngomel.


Setelah mengambil pesanan, menyempatkan diri untuk mengambil foto ical yang sedang pulas. Gemas sendiri.

“Cal katanya mau tidur kalo aku tidur, ini malah tidur duluan. Burgernya udah datengg”

Bangun-bangun dia menarikku untuk dipeluk. Kebiasaan.

Bingung kan gimana bisa tiba-tiba ada group chat yang isinya aku,ical,gavin,dan kynan. Gatau ini kita dijebak kynan apa kitanya aja yang bloon mau dibohongin.


Malam waktu kynan memilih masih menginap di rumahku, pintu rumah diketuk sedikit keras. Yang jelas ical pasti menyuruhku untuk membuka. Saat kubuka, wajah gavin yang memerah diimbuhi dengan bulir-bulir keringat di ujung dahinya adalah hal pertama yang ku lihat.

“Nay kamu gaapa kan? Haikal mukul kamu dimana?” Suaranya panik, tangannya berusaha mencari sesuatu di wajahku. Sebelum menyentuh wajahku dan terjadi pertumpahan darah disini, aku mendorong jauh tubuhku untuk menjauhi gavin dengan tatapan penuh tanya.

“Nay serius ini udah keterlaluan. Ayo ikut aku ke rumah sakit.”

“Ngapain? Aku ga sakit. Keterlaluan apa sih?” Nadaku sedikit naik, merasa obrolan ini sudah tidak karuan.

Haikal datang menghampiriku dengan muka bengisnya karena melihat gavin ada disana.

“Anjing ya lu, mana ada suami main tangan ha?! Cowok bukan?!” Dengan tangan yang mengepal sudah siap dilayangkan ke Haikal.

Haikal yang sudah terbawa emosi dari awal sudah siap melawan Gavin. Aku yang hanya bisa melihat dua manusia yang sudah mirip banteng ini berpikir keras.

Ini sebenernya ada apa sih?

Saat Gavin hendak memberi tinjuan ke arah Haikal, Kynan datang melerai mereka.

“Ternyata bener, gavin mantan naya toh wkwk”

Semua mata langsung tertuju pada Kynan.

“Santai santai. Pertama sori nih kalau lancang karena kepo sama kehidupan kalian tapi serius gue itu udah ngerasa ada yang janggal sama kalian bertiga. Terutama gavin haikal. Pasti ada sesuatu. Dan boom ternyata kalian suka satu perempuan.”

“Naya sayang sama gue doang!”

Mendengar jawaban Haikal, aku hanya menghela nafas. Bisa-bisanya cemburu di saat kek gini.

“Terus ini apa? Boongan?” Gavin menyela dengan nada yang emosi. Tidak menyangka dia dibohongi.

Kynan hanya tertawa dan memberikan dua jari yang bertanda peace.

Setelah suasana yang tadi sudah siap menenggelamkan Kynan ke tanah liat, sekarang kita duduk di ruang tamu mendengarkan apa tujuan kynan melakukan ini.

“Pertama gue emang ada masalah di rumah. Sumpek aja. Mangkannya ngunsi ke kalian. Gue cerita bukan buat dikasihani. Pure karena gue mau lo tau gue gabohong bohong banget. Gue”

“Bisa langsung intinya ga?” Gavin sepertinya masih kesal dengan Kynan.

“Okok jadi gue mau kita buat band. Pembagiannya terserah aja. Tapi gue jangan drum dulu deh, belum jago. Nah disini Naya jadi managernya. Mau minta orang lain ga enak mumpung kita tetanggan dan seumuran.”

“Aku kerja btw Kyn,” ujarku memberi tahu bahwa aku sedikit keberatan dengan ajakannya.

“Untuk alibi yang itu gue udah siapin jadwal yang aman buat kalian. Kita cuman tampil di hari libur alias weekend lagian cuman ngisi di cafe gitu doang. Atau paling besar ngisi di acara ulang tahun. Ga ganggu kerja kalian kan.”

“Ganggu kerja gue sama Naya.”

Aku geram sendiri mendengar jawaban Haikal. Ku cubit ketiaknya pertanda dia harus menutup mulut rapat-rapat.

“Tidak menerima alasan rumah tangga. Bantuin gue please? Bisa stress banget gue.”

Dengan keahlian merayu Kynan, berakhir dengan anggukan kepala kita bertiga yang berarti setuju dengan ajakan Kynan.