The Kompleks
—forever is a long time
Hari ini hari kedua Haikal meninggalkanku untuk mengurus rumah baru kita di New Zealand. Pagi hari ini, Haikal sudah menghubungiku berkali-kali. Sekedar menanyakan bagaimana kabar adek bayi yang sebentar lagi akan melihat dunia. Perutku tampak lebih besar, kadang yang di dalam akan menendang ketika mendengar suara papanya melalui telfon.
Aku dan Ical sepakat untuk memulai hidup baru bersama, bertiga— di negara indah di benua seberang. Setelah drama yang panjang dan menguras tenaga tentunya, kita sepakat untuk pindah. Jalan 35 minggu kandunganku, Haikal mulai sibuk mengurusi semua persiapan disana. Awalnya, dia tak mau meninggalkanku sedetik pun tapi karena sedikit kebohongan bahwa aku tidak akan kenapa-napa sendiri membuat Ical pergi.
Kalau ada yang tanya 'kenapa ga diurus dari sebelum kandunganku semakin berumur sih?!' jawabannya adalah sudah di urus kok. Haikal udah nyicil, sebelum tau malahan programku berhasil atau tidak. Cuman karena pada dasarnya emang ribet banget ngurus kepindahan kesana. Belum lagi urus rumah, perabotan, dan lain-lain. Apalagi kali ini dia ngurus sendiri, dulu ada yang ngebantu. Dia cuman ngecontrol dari jauh.
Telfon kali ini, di sisipi oleh Haikal yang menangis terharu karena berhasil melihat perutku yang sedikit bergeser karena adanya pergerakan bayi di dalam. Mengucap berkali-kali bahwa dia rindu untuk bertemu denganku dan adek bayi. Rasanya dia ingin sekali bertelepati untuk segera bertemu denganku. Lucu sekali. Dan tentu saja manis. Haikalku selalu begitu.
Setelah memutuskan panggilan video kami, aku beranjak ke dapur untuk membuat susu kehamilan yang dimana kalau ada Haikal disini pasti ia yang akan menyiapkan. Daritadi sepertinya aku hanya membahas suamiku, mungkin karena efek aku juga rindu dengannya. Ralat, bukan aku yang rindu. Adek bayi di dalam perut yang sangat rindu papanya.
Untuk panggilan sendiri, Ical meminta untuk di panggil papa. Katanya kata papa akan lebih gampang untuk diucapkan sehingga dia bisa dengan cepat mendengarkannya. Aku sendiri sih bisa apa aja.
Keadaan kandunganku baik, kata dokter kelaminnya laki-laki. Itu menandakan bahwa aku akan segera punya dua bodyguard yang akan menjagaku dengan baik. Untuk reaksi Haikal? Tentu bahagia bukan main. Kayaknya waktu itu dia sempet kali teriak sambil lompat-lompat 5 menitan. Katanya bakal ada temen yang diajak boxing, taekwondo, basket, sama zumba. Yang terakhir pastinya kena pukulanku.
Sedangkan keadaan kompleks sangat berbeda, sepi sekali. Mbak Anya dan Pak Surya sudah dua minggu pindah ke Singapore. Kynan, Mbak Shania, dan Pak Arjuna juga sudah pindah ke Aussie untuk menemani Kynan bersekolah disana.
Tentang Faiz dan Mbak Namira, aku mendengar bahwa mereka sudah berpisah, kemarin terakhir mereka bertemu di pengadilan untuk mendengarkan hasil keputusan jaksa. Sudah sepatutnya begitu. Mbak Namira sudah terlalu banyak memberi maaf. Waktunya berdamai dengan diri sendiri.
Gavin dan Rachel? Sepertinya Rachel masih harus berusaha melunakkan hati Gavin. Doakan mereka ya. Untuk Gavin sendiri, dia tetap di kompleks ini karena dia di tunjuk untuk menggantikan Pak Surya. Awalnya dia menolak, dengan alasan dia ingin ikut pindah, sudah tidak ada alasan dia disini. Hingga akhirnya, dengan menggengam tangan Haikal erat aku menghampiri Gavin dan menyatakan aku sudah bahagia. Sesuai janjinya, dia ingin melihatku bahagia, dan ya aku menunjukkannya.
Untuk Raihan sendiri, yang aku tahu dia pindah ke Bandung untuk menenangkan diri—berdamai dengan dirinya sendiri. Healing. Take times for yourself. Aku tahu rasanya sangat susah, kepercayaan atas dirimu di hancurkan karena orang-orang yang kamu percayakan menjadi panutan.
Rasanya rindu sekali dengan mereka semua, aku menatap sendu foto kita bersama yang diambil saat kita pergi ke Jogja. Mendadak perutku sedikit merasa kram dan ada air yang mengalir di sekujur pahaku. Ketubanku pecah. Segera ku telfon Haikal. Reaksinya tidak kalah panik, memutus hubungan telfon kami, yang ku tahu dia berusaha menghubungi orang kantornya atau opsi terakhir adalah Gavin yang notabene tetanggaku—paling dekat untuk membawaku ke rumah sakit.
Iya Haikal dan Gavin masih perang dingin. Tapi aku tau mereka hanya gengsi untuk saling meminta maaf. Jadi biarkan saja.
Pintu rumah dibuka dan seorang Gavin Respati muncul dengan wajah paniknya. Berlari menghampiriku dan segera mengendongku untuk di bawa ke mobilnya. Di dalam mobil, aku berusaha mengatur nafas untuk sedikit meredakan rasa sakit yang mulai terasa. Di tempat pengemudi, Gavin melirikku sesekali, memastikan bahwa aku masih aman.
“Udah jangan ngelirik aku mulu Vin. Im fine. Liat jalanan.”
Haikal menghungi Gavin di tengah perjalanan kami, yang langsung di hubungkan ke speaker mobil agar aku bisa berbicara langsung.
“Vin udah sampe belum? Gimana Naya? Aman kan anakku? Aman kan istriku?” rentetan pertanyaan langsung di keluarkan Haikal.
“Lagi di jalan sayang. Aman semua, adek bayi sama mamanya. Tenang ya sayang.”
“Yangg aku baru bisa sampe besok. Gimana dong ini. Aku mau nemenin kamu.”
“Doain aja bisa besok ngelahirinnya hehe,” Aku berusaha untuk membuat Haikal tidak panik karena semakin dia panik aku merasakan adek bayi di dalam perut ingin cepat bertemu ayahnya.
Orang tuaku dan orang tua Haikal datang di saat aku dinyatakan harus melahirkan secara caesar besok pagi jam 7. Beretepatan dengan Haikal yang akan sampai juga di Surabaya. Rasanya lega karena aku bisa ditemani suami.
Aku dan Haikal masih terhubung lewat panggilan video sebelum keberangkatannya. Dia sedang transit di Singapore. Rasanya aku rindu sekali dengan dia. Kali ini aku yang benar-benar rindu. Ingin menciumi pipi manisnya. Atau sekedar mengusak hidung kita berdua.
“Terimakasih sudah menjadi istri dan ibu yang luar bisa hebat. Aku mencintaimu. Tunggu papa ya adek bayi. Papa sayang kalian berdua.”
Kalimat itu menjadi kalimat terakhir Haikal.
warning: silahkan berhenti jika ingin akhir yang bahagia.
Pasca operasi dan di pindahkan ke ruang kamar, aku melihat semua orang termasuk Gavin, Rachel, dan ada Kynan juga. Mereka semua menangis. Mama menghampiriku dan ada suster juga yang membawa anak bayi mungil nan tampan ke dalam dekapanku.
Aku menangis, rasanya semenyenangkan ini menjadi seorang ibu.
Aku mencari Haikal, harusnya dia sudah sampai sejak aku masuk ruang operasi. Kemana dia?
“Ma, Ical kemana? Lagi makan ta?”
Semua orang semakin menangis. Apa pertanyaanku ada yang salah? Apa yang sedang terjadi?
Televisi rumah sakit dinyalakan. Terpampang nyata bahwa penerbangan dari Singapore menuju Surabaya kehilangan kontak.
Dekapanku melemah. Aku merasakan bahwa bayiku di ambil oleh mama. Aku menatap kosong ke arah dimana semua berita berlomba-lomba memberikan informasi terkini.
Aku merasakan semuanya senyap. Tangisku pun tak ada. Nafasku terasa lebih berat. Suara teriakan tangis mereka pun terasa sunyi.
Haikal ku pergi meninggalkanku. Haikal ku.
Tuhan, kembalikan Haikal Adinataku. Jangan kau ambil dia pergi dariku. Jangan Tuhan, Aku mohon. Jangan kali ini. Jangan.
JANGANNNN!! JANGAN AMBIL ICAL!! JANGAN!! T-tolong.
Aku berteriak. Rasanya sudah cukup aku berusaha menjadi sosok wanita kuat. Dengan itu, ku mohon, kembalikan Haikalku. Kembalikan dia.
Semua orang berusaha menenangkanku. Bahkan aku tahu tindakanku membuat bayi yang sedang berada di dekapan orang tuaku menangis. Aku mulai meracau.
Hidupku. Duniaku. Haikalku.
Masih berusaha melepas semua selang-selang yang terpasang di tubuh. Berteriak layaknya orang yang sudah tak takut kehilangan suaranya, karena memang dunianya sudah hancur. Semua orang berusaha menahanku.
“DIMANA HAIKALKU?! DIMANA IC”
Tubuhku melemas.
“Kembaliin Haikalku. Kembaliin Icalku. Kembaliin. Kembaliin”
Gelap. Itu yang bisa ku rasakan.
Seperti dunia yang akan ku tepati sekarang tanpa adanya sosok Haikal. Gelap. Tak berwarna. Sepi. Sunyi. Menakutkan.
Haikal aku takut. Jangan tinggalin aku. Ku mohon.
Adek bayi mau ketemu papanya, Haikal. Adek bayi mau di dekap papanya, Haikal. Anak kita, Haikal. Anak kita, butuh kamu. Aku butuh kamu.
Untukmu,
Kami menyayangimu papa.
Papa Haikal
Papa Ical
Dari mama dan adek bayi.
Terimakasih sudah memberikan separuh dirimu, Haikal Adinata.
Terimakasih.
Sampai jumpa. Tunggu aku disana.