aleanorkim

Hari ini aku pulang lebih awal, sekitar jam 3 sore aku sudah sampai rumah. Di perjalanan, aku hanya berpikir apa aku harus cerita ke Haikal tentang Gavin yang tiba-tiba mengirimi pesan tidak penting— menurutku.

Memamirkan mobil di garasi, ingin cepat turun dan istirahat di kasur. Hari ini pekerjaan cukup gila alias banyak banget untung saja bisa pulang cepat.

“Hai hehe,” yang mengucapkan kalimat sapa itu pasti sedang canggung, terlihat dari tertawa kecilnya di akhir.

Aku menoleh dan mendapati Gavin yang membawa sebuah kotak plastik besar yang transparan dan diisi buah strawberry merah segar.

“Hai Vin, ada apa ya? Haikalnya belum pulang kalau ada perlu sama Haikal. Nanti aku sampein ke dia kalo kamu kesini.”

“Engga kok, cuman mau ngasih ini. Masih suka strawberry kan?”

Aku mengernyitkan dahi. Tidak paham maksud Gavin menanyakan itu.

“Masih, tapi ga sesuka dulu. Makasih ya lain kali gausah repot-repot. Aku masuk dulu ya, capek banget soalnya. Maaf ya Vin.”

Memutuskan obrolan adalah jalan cepat untuk bisa kabur dari kecanggungan ini. Jujur ini pertama kalinya kita bertemu hanya berdua setelah 4 tahun lalu.

Aku masuk kamar, dan memutuskan untuk memberi tahu Haikal tentang Gavin yang memberi pesan tapi melihat respon Haikal yang sudah emosi membuatku mengurungkan niat untuk cerita lebih lanjut. Cerita yang dia membawakan buah kesukaanku.

Haikal memang sedikit posesif. Dia menganut paham punyaku ya punyaku.

Apalagi setelah tau Gavin yang notabene mantanku sifatnya langsung berubah. Yang awalnya setiap kerja dia cuman ngabarin waktu makan siang, sekarang bisa setiap 3 jam sekali. Takut banget istrinya dicolong orang.

Aku datang membawa banyak plastik belanjaan. Sudah seperti wonder woman. Membuka pintu dan melihat keadaan rumah, dan untung saja rumah dalam keadan baik-baik saja. Awas saja kalau ada yang berubah dari tempat awal sudah kupastikan haikal tidak akan selamat.

Ku taruh semua belanjaan diatas pantry. Tapi ada yang aneh, dimana haikal? Tadi dia yang paling semangat menyuruhku pulang sekarang malah tidak kelihatan lubang hidungnya.

“Caaalll, ayo bantu aku bikin puddinggg.”

Tidak ada yang menyaut. Menaikkan oktaf suaraku dan mulai memanggil haikal lagi.

Dan nihil. Tetap tidak ada jawaban.

Dengan berkecak pinggang, aku menyusuri rumah. Mulai dari ruang tamu, karena yang paling dekat dengan dapur dan tidak ada haikal disana.

Sampainya di ruang keluarga, aku melihat satu kelinci besar yang sedang mendengkur manis dengan posisi tidur yang tengkurap.

Haikal sedang tidur siang. Bayi memang butuh tidur siang sih.

Awalnya mulutku ini sudah mau meledak saat melihat haikal tertidur tapi mendengar dengkurannya aku menjadi luluh.

Diam-diam saja ya, jangan bilang haikal kalo aku sedang senyum-senyum sendiri hanya dengan mendengar suara dengkuran dan wajah gemas nya saat tidur. Tapi serius itu gemas sekali. Apalagi haikal tertidur dengan mulut yang sedikit terbuka, memperlihatkan 2 gigi kelincinya.

Sudah-sudah, bukan waktunya menggangumi makhluk menyebalkan ini. Aku membangunkan haikal dengan menepuk pantatnya, tapi ternyata itu cara yang salah karena haikal malah lebih pulas, merasa di puk-puk.

Cara yang ampuh untuk membangunkan haikal adalah meniup mulutnya yang terbuka, dipastikan langsung bangun.

Jeng jeng!

“Sayanggg ihh mesti.”

“Kamu yang mesti, ayo bantuin aku masakkk.”

Menarik tangan haikal untuk segera bangun. Dengan jalan yang tertatih-tatih, sampai juga di dapur.

Haikal membantuku memptong buah-buah dan menghancurkan cookies untuk isian pudding. Di tengah-tengah pekerjaan dia izin ke kamar mandi.

Sudah 20 menit dan haikal belum balik juga. Dan saat aku mengintip dari dapur, haikal kembali ke sofa untuk tertidur, bedanya ini sofa ruang tamu.

Dalam hati gemas sendiri, berpikir sepertinya bayiku sangat mengantuk.

Tapi karena sifat usilku lebih besar aku jadi ingin mengerjai bayiku itu.

PRYANGGGGG

Bunyi panci besi yang sengaja aku jatuhkan ke lantai.

Haikal seketika bangun,

“Nayyy, sayangg, NAYY.”

Haikal masih mencari keberadaanku. Diam-diam aku merangkak untuk ke belakang sofa. Dan

Cup

Aku mencium pipi gembul haikal.

“Udah selesai puddingnya, mandi gih bentar lagi temen-temenmu dateng kan?”

Ical diam. Kalau momen gini kita jadi canggung sendiri. Bisa dihitung jari juga kapan kita melakukan hal cringe seperti ini. Tapi aku tau haikal sedang tersipu malu. Telinganya merah.

Mengelus rambutnya dan menyuruhnya sekali lagi untuk segera bersiap. Haikal bangun dan langsung lari meninggalkanku. Bayiku sedang salting. Gemas sekali.

Epilog

Setelah itu, aku kembali ke rumahku yang mungkin akan terasa kosong melompong. Definisi rumah yang ku maksud adalah seseorang yang mengirimiku buah tangan bak racun mematikan.

Aku kembali tapi tidak dengan hubunganku dengan dirinya. Semuanya lenyap di telan jarak yang bahkan tidak bisa dikatakan jauh. Jarak yang masih bisa ditempuh jika ada usaha. Tapi sayangnya dia tak berusaha, hanya aku yang berusaha. Dan akan selalu aku.

Ternyata permohonanku ditolak mentah-mentah oleh sang pemilik dunia. Dia pergi, meninggalkan janji yang memuakkan sekaligus rasa yang tak ada habisnya.

Mungkin aku tidak cukup baik untuk dirinya atau dia yang selalu merasa tak cukup denganku.

Semua rasa ini merampas semua kebahagianku, tak ada yang tersisa.


Aku duduk di ujung sofa, memalingkan muka karena jujur saya aku belum siap, bahkan tidak akan pernah siap.

“Hai ca,

Suara itu, suaranya, suara yang dulu akan selalu kutunggu di setiap pergerakan jam menuju petang untuk sekedar mendengarkan keluh kesahnya yang berujung hembusan nafas beratnya karena telah melalui hari beratnya.

“Aku jahat ya Ca?”

Retorik, semuanya tahu akan jawaban dari pertanyaan itu.

“Maaf sudah beringkar. Maaf untuk perasaanmu.”

Tersenyum pahit mendengar Jimin mengucap tentang perasaanku, seolah dia sangat tahu bagaimana perasaan ini.

“Maafmu sudah ku terima tapi tidak dengan hadirmu. Jadi, kumohon pulanglah.

“Ca bisa tatap mata aku sebentar?”

Merapalkan semua ucapan yang bisa membangkitkan diri, tapi semuanya hancur seketika, saat aku menatap bola mata gelap jernih nan indah milik Jimin.

Duniaku disana. Akan selalu disana. Aku terjebak di pusaran yang siap membunuhku kapan saja.

“Sudah. Sekarang pergi. Jika memang berniat untuk mencari perasaan itu, tidak akan ada. Semuanya hilang. Semuanya habis. Dimakan keegoisanmu. Pergi Jim,pergi.”

Bertahan untuk tidak meluruhkan air mata yang sayangnya tidak bisa ku kontrol. Semuanya diluar kendali. Semua yang kuucap hanyalah kebohongan semata, dan bodohnya Jimin tau itu.

Jimin bangkit dari duduknya dan pergi mendatangiku, memelukku erat, sangat erat.

“Aku benci diriku sendiri Ca, bagaimana bisa rasa ini masih utuh dan tersimpan baik, bahkan saat aku bersimpuh di hadapan wanita lain, memasang cincin untuk memintanya menjadi pendampingku tetapi perasaan ini, perasaan untukmu akan selalu ada. Dengan kadar yang tidak berkurang sedikitpun.”

Aku berusaha melepaskan diri dari Jimin. Ini tidak benar. Besok, Jimin mutlak menjadi milik orang lain.

“Kamu yang egois, bukan perasaanmu. Semuanya sudah hilang sejak saat itu Jim,perasaan ini hanya ada karena kita bertemu lagi. Jadi kumohon jangan pernah bertemu lagi. Keluar Jim, pulanglah. Rumahmu sudah bukan aku, begitupun aku.”

Aku tahu Jimin menangis, aku tahu semuanya. Bagaimana bisa dia tiba-tiba berpaling, bagaimana mereka berhubungan di belakang, tau semua. Tapi dengan semua itu tidak bisa menjadi alasan untuk kembali. Semuanya sudah berakhir sebelum dimulai.

Jimin pergi dengan punggung bergetar, senyumnya sirna, matanya sembab, semua menyedihkan.

Dengan begitu, hubungan ini berakhir. Berujung tragis.

Di setiap harinya, aku merasa bahwa kau lah poros kehidupanku. Dengan senang hati pula, aku mengikutimu bak bayangan dibawah sinar matahari yang terang.

Tentunya, cahaya matahari itu adalah engkau. Mungkin akan terasa panas dan terik ketika berdekatan. Tapi jika jauh, dunia akan gelap.

Itu aku, di dekatmu membuatku merasa tidak berguna, hanya akan memalukan. Bagaimana bisa kau yang sesempurna itu mencintai seorang gadis yang bahkan tak tau cerahnya matahari sendiri.

Sedangkan kau, senyummu yang tak pernah ku lihat wujudnya akan selalu menjadi penerang gelapku.

Jadi apa yang bisa ku lakukan?

Dengan seribu pertanyaan yang akan selalu ku lontarkan di cuping telingamu, disaat itu pula kau menciumku. Mencium di kedua mataku.

Apa aku belum bisa menerangi gelapnya duniamu? Cahayamu ini selalu disamping. Tidak. Akan selalu disampingmu.

Benar, cahayaku akan selalu disini. Bersamaku. Tanpa wujud dan tak berwujud.

Mungkin cahaya bisa masuk dalam gerombolan pembohong ulung.

Karena ketika aku sudah bisa melihat semuanya, tidak ada yang berubah, duniaku tetap saja gelap.

Cahayaku hilang, cahayaku pergi menitipkan kehidupannya di kedua bola mataku.

Dan berujung, duniaku akan selalu gelap tak ada yang menerangi.

Selamat tinggal cahayaku,

Aku sudah sampai di Prambanan, disitu aku tetap merasa kesepian. Padahal suasana disini ramai sekali.

Melewati konser dengan perasaan 'ya,oke,bagus,keren.' Tidak ada spesialnya. Kesini hanya untuk melihat Maliq&D'essentials dan tentunya menghargai Taehyung.

Hingga akhirnya yang kutunggu muncul, membawakan lagu pertama yang berjudul Untitled. Ini suasana jadi makin galau, langsung keinget sama konser terakhir bersama Taehyung.

“Jadi hari ini ada yang spesial karena bakal ada yang ga jomblo lagi!!! Tepuk tangannya mana!!”

Semua orang disana terkejut, ada yang spesial katanya?

Tiba-tiba pandanganku tertuju kepada satu laki-laki yang menaiki panggung, membawa bass nya. Semua sorakan tertuju padanya.

“Gue Taehyung, disini meminta maaf karena sudah membuat kecewa. Buat Dilla Putri, sebelumnya gue mau minta maaf karena ngeraguin perasaan gue ke lo, tapi disini gue udah yakin. Will you marry me Dil?”

Berakhirnya kalimat itu, lagu Pilihanku diputar.

Semua orang berteriak “Terima!Terima!”

Taehyung menunjukku, dan tiba-tiba aku di bawa oleh staff untuk naik ke panggung. Jujur ini mengejutkan.

Aku hanya diam, mematung. Masih berusaha memastikan apa yang terjadi.

Taehyung sendiri sudah loncat-loncat menikmati lagu, seperti lupa dia baru saja melamar seseorang.

Di ujung lagu, Taehyung menghampiriku. Berlutut.

“Lo mau kan Dil?”

Aku hanya mengangguk. Berbohong kalau aku tidak mencintai Taehyung.

Taehyung memasukkan cincin di jari tengahku. Semua penonton bersorak senang.

“Happy birthday calon istri,” ucap Taehyung dengan mic yang masih menyala.

Semua orang lanjut bernyanyi lagu ulang tahun.

Sungguh ini ulang tahun terindahku. Terimakasih semuanya. Terimakasih Taehyung.

—End

Hatiku sedang berbunga-bunga, kupu-kupu juga sibuk menggelitik isi perutku. Hanya dengan ucapan rindu dan foto Taehyung bisa berpengaruh seperti ini.

Aku berlari menghampiri Jungkook, mau memamerkan hubunganku dengan Taehyung yang semakin terlihat adanya titik cerah.

“Junggg liat deh Taehyung bilang kangen terus ngirimin foto. Ganteng bangett,”

“Bilang kangen tapi ga pacaran,”

“Sini ga! Mau ku pukul pake sapu lidi!”

Berakhir dengan pertikain kami berdua yang merusak tatanan rumah. Aku sama Jungkook itu udah kayak Tom and Jerry. Ga bakal bisa akur.

“Seriusan kok bisa ya ada yang kayak Taehyung. Ganteng,baik,pinter, kayak gaada yang kurang.”

“Liat seh.” Jungkook merebut ponselku.

“Bentar, kayak ga asing sama tempat fotonya. Taehyung pergi kemana?”

“Ya iyalah ga asing, itu kan Bandung. Pasti pernah kesana.”

“Bukann, barusan banget tadi liat foto orang tapi siapa ya? Mirip banget lokasinya. Ohhh inget! Natasya! Natasya artis yang lagi naik daun.”

Jungkook segera menunjukkan foto yang tadi dia bilang mirip dengan foto Taehyung.

Dan yang mengejutkan, itu memang mirip.

Satu lagi, filter foto yang digunakan juga filter kesukaan Taehyung.

Mungkin hanya kebetulan.

Aku berlari meninggalkan Jungkook, tidak peduli setelah ini di caci maki karena tidak tau diri. Sudah, minta diantar malah ditinggal.

Selagi Jungkook nyari parkir, aku langsung turun, lari, mau ngejar Taehyung. Waktunya mepet, takut Taehyung sudah naik kereta.

Takut kenapa juga enggak tahu. Takut aja.

Di depan ruang tunggu, udah celingukan, mastiin kalau Taehyung masih ada. Tapi ruang tunggu sepi, gaada Taehyung disana. Gatau kenapa, tiba-tiba badan lemes.

“Nyariin gue?” Ada tangan yang menepuk pundakku. Suaranya berat.

Seketika aku menoleh ke belakang, memastikan kalau itu suara yang ingin aku dengar.

“Masih 5 menit lagi, gue habis beli Roti-O buat nyemil. Takut banget ya ga bisa liat gue sebelum ke Jakarta?”

Senang,malu, dan kaget bercampur menjadi satu. Taehyung masih disini.

“Kasian banget sampe ngos-ngosan, mau beli minum dulu ga?” Taehyung tertawa melihat nafasku yang sudah terengah-engah karena tadi berlari dari parkiran yang jaraknya lumayan juga.

“Euh-ngga usah, nanti telat.” Berusaha mengontrol nafas.

“Jadi, mau ngapain nyamperin kesini?”

Ini gatau perasaanku saja apa bagaimana, daritadi Taehyung senyum-senyum. Jadi, berasa diejek. Diejek dalam hal bucin. Padahal juga tidak ada status dihubungan kita.

“Mau bilang hati-hati, sama makasih udah diajak ke Malang. Eum sama kalo disana jaga diri, apalagi ya, oh! sama oleh-oleh jangan lupa,”

“Jaga diri? Jaga hati maksudnya?”

TUHKAN! Hari ini Taehyung super nyebelin. Biasanya juga sih.

“Apasih, udah ah sana masuk, nanti ketinggalan,” Tanganku berusaha mengibas-mengibas tanda menyuruh Taehyung cepat pergi.

“Dil, gue boleh meluk lo ga?”

Serangan apa lagi ini ya tuhan!! Otak sama hati udah gabisa jalan, tapi kepala gerak sendiri. Bisa-bisanya nih kepala ngangguk.

Dan ya, Taehyung langsung memelukku. Di depan umum. Mukaku sudah bisa dipastikan menjadi kepiting rebus.

“Gue gak lama kok di Jakarta, 3 minggu mungkin. Nanti tetep chatan ya, callan juga boleh, videocall juga. Lo jaga diri sama hati disini.”

Rasanya mau nangis aja sekarang. Tapi malu, nanti jaket Taehyung basah.

Taehyung melepas pelukan kita, dan pergi meninggalkanku.

Jangan lupa senyum kotaknya dan tangan yang melambai-lambai. Lucu.

***

“Pinter ya, udah minta anterin sekarang dijadiin nyamuk. Ga kurang lama apa itu pelukannya,” Sarkas Jungkook.

Aku nya ketawa saja, binggung mau membalas apa. Masih malu juga. Binggung juga. Campur aduk.

“Mau disini terus sampe tuh kereta berangkat apa pulang nyonya ratu?”

“Pulang aja, ayo tak traktir Burger Queen,”

“Sogokan yang bagus, cus berangkat.”

Akhirnya aku pulang dengan banyak pertanyaan di kepala.

Pelukan tadi apa? Untuk apa aku menjaga hati?

Akhirnya aku keluar dari kamar mandi, dengan keadaan tangan meremas perut. Hari pertama sakitnya gaada lawan.

Taehyung langsung menghampiriku, ditangannya sudah ada satu plastik air.

“Istirahat di mobil dulu, lo pucet banget.”

Aku tidak menjawab, sungguh sakit nya bisa bikin orang bisu seketika.

Taehyung membawaku ke mobil. Hari semakin malam. Jujur, hari ini berantakan. Niatnya mau seneng-seneng di Malang, berujung tepar.

“Sorry, jadi begini.” ucapku dengan menunduk. Taehyung malah tertawa kecil.

“Gaapa Dil, serius. Biasa ini mah. Udah olesin perutnya sama minyak kayu putih? Masih sakit banget ta? Mau dipijetin ga?”

Kok jadi dia yang bawel.

“Udah mendingan kok, kalau mau lanjut pergi bisa kok. Udah gaapa,”

“Engga mau kemana-mana. Pulang aja. Istirahat.”

“Maaf,”

“Makasih. Makasih buat hari indahnya Dil,”

Dalam hati merapalkan banyak umpatan. Bisa ga sih sehari dia ga bikin baper. Seriusan ini bisa bucin banget kalau diginiin terus.

Setelah seharian berkeliling, aku dan Haikal pergi untuk makan malam cantik. Kata Haikal sih mau kayak orang-orang gitu, fine dining.

Haikal ternyata diam-diam sudah menyiapkan semuanya. Jarang banget dia mau repot begini, biasanya kalau udah sok manis gini mau minta izin sesuatu.

Kita duduk dengan reservasi atas nama 'CalNay' sedikit aneh tapi ya sudah, syukur-syukur Haikal begini, kapan lagi dia mau reservasi resto, biasanya juga celana dalam aja aku yang nyiapin, sangking anaknya gamau repot.

“Seneng gak?” Aku tau Ical juga sadar dengan atmosfir kita yang tiba-tiba berubah. Awkward.

“Mau nya seneng, tapi harus waspada kalau kamu kek gini, biasanya mau minta sesuatu,”

“Selama pacaran aku ga pernah ngajak kamu ke restaurant bagus, selalu makan penyetan di pinggir jalan, mau nyenengin istri sekali-kali? Hehe”

“Lagian makan penyetan enak juga, aku nya juga udah seneng. Makasih ya Cal,”

“Duh hati ku, jarang-jarang dapet ucapan makasih dari seorang Kinaya Adinata,”

“Cal, aku mau nanya, mumpung baik nih,”

“Nanya apaa?”

“Kamu seneng banget ta tinggal di perumahan yang ini?”

“Biasa aja, ada seneng sedih nya. Seimbang. Senengnya jadi banyak kegiatan setelah kerja, sedihnya kamu sering diomongin sama ibu-ibu,”

“Ha? Diomongin kenapa?”

“Kerja sampe lupa keluarga, tapi tenang karena aku ikut arisan sama zumba jadi ga berani ngomongin, udah aku jelasin juga kalau kita nikah muda, masih mau kerja. Lagian kamu ga sampe yang lupa suami. Ga usah di pikirin, itu udah dulu banget. Awal-awal kita tinggal disana.”

“Kalau gitu gausah pindah, aku juga nanti luangin waktu biar bisa ikut arisan sama zumba. Kamu keluar aja. Kumpul sama bapak-bapak aja,”

“Padahal udah DP di perumahan yang baru. Kalau gajadi ya tak jual lagi,”

“Jadi aja wes hehe,”

“Dasar. Pulang dari sini, kita langsung pindah. Eh enggak, habis aku arisan. Mau pamit sama ibu-ibu, udah baik juga sama kita. Di perumahan baru juga aku lebih nyaman kalau aku lembur, kamu ada temennya. Aku juga gampang kalau ada kerjaan,”

“Makasih ya Cal,”

“Udah wes, ayo maem. Laper aku,”

Karena sudah berumah tangga juga, ga bisa semua di guyonin. Kadang nyelipin waktu buat ngobrol serius gini. Diskusi kecil.

Yeay pindah rumah!! Waktunya usung-usung!!

Setelah selesai memanjakan diri dengan pijatan —penghilang penat, aku dan Haikal kembali ke kamar hotel. Serius, hari ini luar biasa capeknya. Haikal kalau sudah antusias bisa lupa waktu, lupa diri juga.

Seneng juga liat Haikal begini, jarang-jarang ngehabisin waktu berdua. Quality time. Kita sama-sama sibuk, dia kerja, aku kerja. Keputusan bersama sebelum nikah, karena nikah muda juga ga main-main ribetnya. Dan memilih untuk melanjutkan pacaran setelah menikah, itu keputusan kita berdua.

Masuk kamar dan langsung melempar diri ke kasur.

“Besok langsung ke Netherland aja yuk,”

Kaget. Ga habis pikir sama Haikal, gampang banget ngucap sesuatu.

“Udah bosen disini, lagian hari ini udah puas banget,”

“Cal, New Zealand sama Netherland itu jauh loh, jangan samain Sidoarjo-Surabaya yang tinggal plung nyampe. Ini udah beda benua. Yang bener aja kamu langsung mau pindah tanpa persiapan.”

“Tenang yangg, udah aku siapin semuanya. Kamu tinggal duduk manis atau duduk di pangkuanku boleh,”

Sudah tidak tahan dengan ke konyolan Haikal, ku lempar majalah yang ada ke wajahnya.

“Kamu kesambet apasih, ketempelan setan apa di New Zealand,”

“Galak banget sih istriku, udah ah ayo tidur besok kita berangkat,”

“Serahmu Cal,”

Setelah itu, aku tidur memunggungi Haikal. Dengan sekuat tenaga juga, Haikal berusaha membalikkan tubuhku untuk tidur menghadap ke dia. Berujung aku yang kalah. Gimana engga kalah perbandingan badan ku sama Haikal itu 1:20 jadi ya diangkat dikit langsung kebanting.