Wisuda dan hadiah yang tak pernah diharapkan.
Buat au closure
Happy ending
Buat au closure
Part 1 : Soto Ayam
Hai perkenalkan, saya Askala Bumi. Panggil saja Aska, lelaki tampan dan pemberani. Ah, salah, lebih tepatnya lelaki tampan dan pemikir, mungkin begitu.
Siang ini pukul dua belas waktu Indonesia bagian barat, perutku meronta minta diisi. Seperti biasa, memilih menu makan siang adalah hal yang paling penting dan krusial karena dia akan memengaruhi setengah dari harimu. Salah makan? Ya, sakit perut, gak enak juga, kan?
Kali ini bersama vespa matic kebangganku, kususuri jalanan yang mulai ramai oleh manusia yang kelaparan. Kulihat satu kedai dengan spanduk hijau gelap bertuliskan 'Soto Ayam P. Ijat' melambai seolah memanggilku. Nah, siang-siang makan soto ayam dan minum es jeruk adalah ide yang bagus. Oke, kita mampir.
Kuparkirkan vespaku dengan tenang, mumpung tukang parkirnya hilang. Suasana di dalamnya tak begitu ramai, setidaknya bisalah antre sebentar. Saatnya memilih menu yang ada, mari kita cari menu yang murah. Ahahhahah.
“Mbak, es jeruk satu, soto ayam satu gak pakai sayur, nasinya banyakin, ya,” pesanku ke pelayan warung.
Setelah si mbak mengangguk, akhirnya aku memutuskan untuk memilih duduk di bawah kipas angin. Hari ini cukup panas, setidaknya dengan duduk di bawah kipas angin bisa sedikit mendinginkan tubuhku. Tak berselang lama pesananku tiba, saatnya menikmati semangkok nasi soto ini.
Kuteguk perlahan esku sebelum semakin mencair, hingga suatu kejadian menimpaku. Tanpa sengaja seorang ibu-ibu menyenggol tanganku hingga es jerukku tumpah sedikit menimpa jaketku. Ibu-ibu ini hanya melenggang mengabaikanku yang kelabakan mengelap jaket kesayanganku. Setelah jaketku dirasa cukup kering, mari lanjutkan saja acara makan siang ini tanpa memedulikan ibu-ibu tadi.
Aku mulai menyuap soto kemulutku perlahan, menikmati setiap elemen yang ada di dalam. Menguyah perlahan berusaha menikmati makan siang ini dengan tenang.
“SIALAN KAMU!” teriak seseorang di ujung tempat makan ini.
Secara spontan aku menoleh ke sumber suara, terlihat ibu-ibu yang tadi menabrakku berdiri dan meneriaki lelaki di hadapannya. Sedang lelaki itu kelabakan menenangkan si ibu.
“Mengapa aku harus menjadi saksi sebuah drama keluarga?” pikirku sembari terus menyuap nasi sotoku hingga tersisa setengah.
Perdebatan mereka masih berlanjut, sang ibu semakin cepat mengomel dan mengumpati lelaki di hadapannya. Sedang pria di hadapannya hanya tertunduk malu.
“Kasian mereka, harusnya berantem di rumah bukan di sini,” bisik orang sekitar yang awalnya mengabaikan.
Aku mengangguk setuju, tak seharusnya mereka menghabiskan waktu makan siang dengan hal seperti ini, sangat mengganggu orang yang ada di sekitar.
“Kamu kira enak jadi selingkuhanmu? Untung enggak, buntung iya!”
Kepalaku mendongak cepat, memastikan sumber suara berasal dari ibu tersebut. Kupikir ini semakin rumit dan aneh.
Aku masih menikmati sisa es jerukku, sembari menanti habisnya jam makan siang. Suasana sudah mulai hening dan lengang saat si ibu memutuskan pergi dari tempat dengan tergesa dan amarah yang berapi-api.
Saat semua usai kuputuskan untuk membayar dan kembali untuk bekerja. Kulangkahkan kakiku menuju vespa, tapi tiba-tiba saja muncul petugas parkir yang menagih uang parkir. Ah, menyebalkan.
Namun, ada sesuatu hal yang menarik kali ini, kulihat lelaki yang bersama ibu tadi, tiba-tiba saja memeluk seorang wanita muda dengan setelan kerja lengkap. Cukup mengejutkan, terlebih saat wanita ini memanggil sang pria dengan sebutan 'Sayang'.
Ah, memang sebaiknya aku diam daripada mengomentari mereka. Cukup rumit, tapi, ya, sudahlah, ya.
Setelah kepergian Jae dari bar, Renata masih duduk dengan puluhan batang rokok yang telah ia habiskan bersama dengan botol alkohol yang juga bercecer di sekitarnya. Pandangannya kosong, tetapi pikirannya penuh akan banyak hal.
Ponselnya bergetar, pandangannya singkat membaca siapa yang menghubunginya. Tertera nama 'Bisnis 1' pada notifikasi pesannya. Diselipkan batang rokok yang ada di jari ke belahan bibir sebelum tangannya sibuk membalas pesan.
Bisnis 1 adalah nama kontak yang Renata sematkan untuk Luke, tunangannya. Perjodohan bodoh yang terpaksa mereka lakukan guna mempertahankan harta warisan keluarga. Baik Renata maupun Luke sama-sama butuh uang, itu sebabnya mereka menerima ini.
Renata membuang putung rokoknya asal dan merapikan kembali pakaiannya yang terkoyak karena permainan panasnya bersama Jae tadi. Dengan sigap tangannya mengambil kaca merapikan kembali riasannya yang berantakan. Setelah dirasa cukup, kembali ia memasukkan kaca ke dalam tas dan bangkit dari duduknya. Ia berjalan melenggang dengan anggun menyapa sebagian besar pengunjung club house yang ia kenal.
Luke menatap datar layar ponselnya, tangannya meremas kaleng beer melampiaskan amarah yang ia pendam. Hidupnya kacau, ia tak mengerti mengapa semua menjadi begitu kacau.
Ia kembali mengamati berkas-berkas di tangan, berkas bisnis warisan keluarga, sejatinya ia terlampau muda untuk menjalani semuanya. Tapi terpaksa ia lakukan.
Seminggu lagi pernikahan bisnis antara ia dan Renata. Ia tak turut dalam persiapan karena semua sudah ditangani oleh keluarganya maupun Renata. Meja kerjanya masih berantakan akan putung rokok, kaleng minuman, hingga kertas-kertas laporan perusahaan. Sejujurnya ia merindukan kehidupannya yang lalu antara ia dan teman-teman sepermainannya; Jevano, Echan, Winar dan bahkan Azra.
Ponselnya bergetar, nama Renata tertulis di layar.
“Apa?” ujarnya ketus.
“Gue pulang malam ini, bukain pintu rumah. Besok keluarga ke sana. Ntar kalau ketauan gue gak di sana, mampus,” cecar Renata dari ujung telepon.
“Ini jam 2 pagi, Anjing! Lo pulang ke rumah lo sendiri sana,” tolak Luke tegas.
“Gue dari Bali, nyampe sana subuh gak sempat mampir rumah, gausa bacot gue capek, bye!”
Renata memutus panggilan teleponnya tiba-tiba dan membuat Luke mengacak rambutnya kacau.
Benar, saat matahari mulai menyingsing Renata tengah berdiri di depan pintu rumah Luke. Tangannya terlipat di depan dada sintalnya, ia kesal karena Luke lama membuka pintu. Tak berselang lama pintu rumah terbuka menampilkan sosok lelaki dengan raut muka kesal.
“Kok lama sih?! Capek, Anjing!” gerutu Renata sembari menuju ke dalam rumah.
Luke hanya terdiam mengamati keadaan Renata yang berantakan ditambah bau alkohol yang menyengat.
“Mending lo mandi, Ren.”
Luke menarik tubuh Renata yang sedang duduk di sofa, mendorongnya hingga kamar tamu yang ada di sisi kanan ruang tamu. Renata hanya terdiam menurut, ia terlampau lelah untuk memberontak.
Luke kini duduk di sofa dengan segelas teh di tangan, ia sebelumnya membuat dua gelas teh hangat untuknya dan Renata. Luke memikirkan apa yang harus ia katakan kepada Renata, sudah terlanjur nasib ia berjodoh dengan wanita seperti Renata.
Renata keluar kamar dengan kemeja seadanya yang ia temukan di lemari kamar tamu, tanpa dalaman tentu saja. Luke menghembuskan nafasnya kesal, mengapa wanita ini hidup tanpa ada persiapan apa pun. Kini tangannya sibuk mengirim pesan ke salah satu asisten perempuannya untuk membelikan Renata satu set pakaian yang lebih layak, terlebih nanti akan ada pertemuan keluarga.
“Ren, minum dulu. Baju sama perlengkapan lo ntar diantar asisten ke sini, kalo bisa besok-besok sebelum ke sini siapin dulu barang-barangnya,” omel Luke.
Renata hanya mengangguk dan menggoyangkan kakinya. Bila tanpa riasan dan segala hal kemewahan yang melekat padanya, Renata hanyalah wanita biasa, usia mereka tidak terpaut jauh pula.
Mereka kini hanya terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Renata menatap lamat Luke yang kini sedang melamun menatap gelas di tangannya. Entah dorongan dari mana tiba-tiba ia berdiri dan duduk di pangkuan Luke, mengamati setiap jengkal wajah Luke dari dekat. Luke tersentak, nyaris saja ia menumpahkan teh di gelas. Tangannya segera meletakkan gelas di meja kemudian berusaha menyingkirkan badan Renata sebelum ditahan.
“No, tunggu bentar Luke. Seminggu lagi kita nikah dan yang gue tahu dari lo cuman nama sama hal remeh. Yaaa terlepas asisten gue ngasih data lo, tapi bukankah lebih baik kalo kita saling mengenal terutama masalah kasur?” terang Renata tanpa jeda, tangannya meraba seluruh area wajah Luke hingga dadanya yang terbalut kaos tanpa lengan.
Luke tersenyum miring, tangannya kini sudah mendarat di pinggang Renata.
“Lo mau tau apaan?”
Tatapan keduanya saling bertemu, tangan Renata semakin jauh menggerayangi tubuh Luke dan berhenti pada inti tubuh Luke yang masih tertutup celana pendeknya. Senyum miring Renata semakin terangkat, disapunya bibirnya secara sensual dihadapan Luke. Tangannya mulai memijit perlahan.
“Gue penasaran aja sih, di sini bisa sehebat apa,” bisik Renata setengah mendesah tepat di telinga Luke.
Tangan Luke yang semula diam kini beralih meremas bokong sintal Renata yang tak tertutup apapun. Tangan lainnya menuntun belakang kepala Renata untuk saling menautkan bibir mereka. Mereka memulai dari kecupan singkat hingga saling membelitkan lidah. Tangan Luke perlahan beralih menekan-nekan lubang Renata, mengusapnya perlahan hingga basah.
Renata semakin rapat mengalunkan tangannya, badannya terangkat sedikit seiring jari Luke yang mengusap lubang vaginanya. Tubuhnya melengkung, membusungkan dada penuh kenikmatan. Jari tengah Luke kini sudah lolos mengaduk lubangnya, tangan satunya sibuk memainkan putingnya, menarik dan meremas dadanya gemas.
“Aaahhh ... mau sampe kapan mainin pake jari?”
Renata melepas tautan bibir mereka, tubuhnya naik turun berlawanan dengan jari Luke.
“Dasar jalang! Lubang lo udah dimainin berapa orang?”
Luke berkata penuh ejekan, tangannya semakin cepat mengocok vagina Renata.
“Aaahhhh ... terdengar seperti pujian yang seksiiiihh, Luke.”
Renata merancau tak karuan, tangannya mengacak rambut Luke asal. Tiba-tiba Luke melepas jarinya, memasukkan ke dalam mulut Renata dan membiarkannya dihisap.
Luke tersenyum miring, ia tahu tangan Renata sudah mengeluarkan penisnya dari celana, mengusap ujungnya dan meremasnya. Tatapan mereka saling beradu seolah menantang siapa yang terlebih dahulu kalah dan menyerah. Tangan Luke sudah mulai meremas dada Renata hingga si empunya menggeliat resah. Dalam hitungan detik Renata tak lagi mampu menahan nafsunya, dituntunnya penis Luke masuk kedalam lubang vaginanya perlahan.
“Aaahhhh ....”
Desahnya panjang dengan mata terpejam.
“Waah nyerah nih? Aaah REN!”
Luke melotot ke arah Renata, kesal karena tiba-tiba Renata mememutar pinggulnya membuat penis Luke seperti diremas.
“Shut up and play the game!”
Renata menautkan kembali bibir mereka, beradu lidah saling membelit. Tubuhnya juga tak berhenti melompat acak membenturkan penis Luke ke titik kenikmatannya. Luke tak tinggal diam. Dia tak ingin didominasi oleh Renata, tangannya sudah berada di pinggul Renata menuntunnya untuk naik-turun dengan cepat. Bibirnya juga sudah beralih menghisap puting Renata, menggigitnya dengan kasar.
Luke bosan dengan posisi duduk secara tiba-tiba merubah melepas tautan kelamin mereka dan merubah posisi Renata menjadi menungging. Renata sudah kepalang mabuk kepayang, ia hanya mengikuti segala permainan Luke.
Ditusuknya kembali lubang Renata dengan posisi menungging. Tangannya sesekali menarik rambut Renata dan menampar bokong sintalnya. Tak hentinya ia memompa lubang Renata.
“Aaahhh... Luke fassssteeerrrrr,” pinta Renata di sela desahannya.
Luke semakin cepat memompa dan menampar bokong Renata. Semakin keras ia menampar semakin ketat lubang Renata memeras penisnya.
“Satu jam lagi asisten gue dateng bawa baju, jadi kita selesaiin sekarang.”
Luke merubah tempo yang semula cepat menjadi lebih acak, sesekali menghentakkan penisnya hingga Renata tersentak. Lubang Renata semakin licin saat beberapa kali Renata mengalami pelepasan sedang Luke belum sama sekali.
Renata sudah setengah sadar, pandangannya mulai kabur karena lelah. Tetapi setiap kali ia meletakkan kepalanya, Luke terus menerus menarik kembali rambutnya.
Penis Luke semakin membesar, tusukannya semakin ketat. Dalam hentakan ketiga Luke melepaskan spermanya ke dalam rahim Renata. Kemudian ia melepas genggamannya pada rambut Renata dan membiarkan Renata terjatuh di sofa.
Ia menarik nafasnya beberapa kali sebelum ia merapikan celananya dan memandang Renata. Diusapnya surai hitam Reanta dengan lembut, digendongnya menuju kamar tamu sebelum ia kembali menyiapkan persiapan kedatangan tamu. Sedang Renata entah pingsan atau jatuh tertidur karena kelelahan.
Keluarga mereka sudah pulang setelah menyelesaikan pembicaraan mengenai pernikahan. Luke sudah kembali duduk di atas meja kerjanya, menatap puluhan berkas yang memuakkan. Tiba-tiba ia teringat Renata yang masih ada di rumah ini. Ia bangkit dari duduknya dan menuju lantai satu area rumahnya. Dipandanginya segala sudut rumah tak menemukan sosok Renata di sana. Hingga ia berdiri di depan pintu kamar tamu, didapatinya Renata akan pergi dengan setelan dress merah pendek dan seksi.
“Mau kemana?” tanya Luke singkat.
“Bukan urusan lo,” ketus Renata melenggang melewati Luke.
“Pernikahannya sebentar lagi, bisa gak lo sudahi pesta-pesta gak jelas?”
Luke mengatakannya dengan penuh penekanan, menahan amarah.
“Jangan lo kira karena kita udah main tadi pagi gue udah jatuh, Luke. NO, BIG NO!“
Renata menatap tajam Luke dengan senyum miring. Sebelum ia menatap singkat ponselnya dan pergi meninggalkan Luke.
“SIALAN!”
Luke berteriak namun tak digubris oleh Renata. Ia masih melenggang keluar rumah meninggalkan Luke dengan sejuta kekesalannya.
Sisi lain isi pesan singkat Renata;
-amara.
Renata, nama yang acap kali disebut dalam beberapa bagian dari series ini. Sebuah nama yang terindikasi sebagai tunangan Luke sekaligus juga mantan kekasih dari Jae. Inilah kisah singkat tentang siapa dia sebelum membuka lembaran baru dalam series Between Us.
Lingkungan kampus sudah mulai lenggang, hanya beberapa mahasiswa yang berlalu lalang, Jae salah satunya. Ia masih sibuk dengan lembaran kertas gambar yang ia bawa setelah asistensi. Berapa notifikasi masuk ke ponselnya terpaksa ia abaikan karena tak sempat.
Nama Re memenuhi bilik notifikasi, puluhan pesan ia kirim begitupula panggilan telepon.
“Jae, cewe lo nyariin noh ngomel-ngomel di sekre anying,” gerutu seorang lelaki sepantaran Jae yang tiba-tiba datang.
“Lah, Renata disana?”
Jae semakin panik merapikan barang-barangnya kemudian berlari menuju ruang gedung menuju sekretariat.
Beberapa saat ditengah mengatur nafasnya yang menggebu, didapatinya Renata tengah duduk dengan beberapa adek tingkat yang ada disana.
“Dah lah kapan-kapan daripada kalian rapat mulu mending ikutan gue open table gratis dah,” seru Renata.
Jae menghampiri kekasihnya kemudian duduk disebelahnya tanpa suara.
“Emang cuman lo, Ren, lakinya petinggi BEM cewenya malah ngajakin nge-Bar,” sahut salah seorang diantara mereka.
“Laah, yaa gaapa dong, eh, sayang!”
Renata menatap Jae sebelum ia bangkit dari duduknya.
“Yuk, pulang!” ajak Renata sembari menarik lengan Jae.
“Lah masih ada rapat, Ren,” tolak Jae.
Ia menepis tangan Renata dan menggeleng kecil.
Renata mengernyitkan dahi dan menggerutu, “katamu mau nemenin nugas gimana sih?”
Jae menghembuskan nafas kasar, menatap beberapa orang yang ada disana.
“Jun, ntar rapat sendiri ya gue balik duluan,” kata Jae sembari bangkit dan menarik pergi Renata.
“LAH BANG RAPAT BUAT AKSI BESOK GIMANA?!” teriak Juna yang sebelumnya Jae ajak bicara.
“Tanya ke Adam atau Tara ya,” putus Jae sebelum meninggalkan sekretariat BEM.
Tangannya masih menyeret Renata dan menenteng tas gambarnya. Sedang Renata hanya tersenyum kecil.
Mereka kini sudah menaiki mobil Jae yang terparkir, saling memasangkan sabuk pengaman masing-masing.
“Sayang, nanti ke Mall dulu ya,” pinta Renata.
“Kita bisa langsung pulang gak sih makan dirumah?”
Jae tergesa segera menyalakan kendaraannya, berusaha segera menyelesaikan urusan.
“Lah males lah,” desis Renata.
Tangannya sudah terlipat didepan dadanya, bibir tebalnya sudah mengatup rapat marah.
“Ren, kita udah ngobrol berulang kali, aku nemenin kamu jalan nemenin apa aja tapi jangan ganggu rapat,” keluh Jae sembari menggenggam erat setir menyalurkan amarahnya.
“Ya terus?” jawab Renata acuh.
“Oke, fine. Kita ke apart biar aku aja yang masak gausa keluar lagi,” putus Jae kesal, segera mungkin ia melajukan kendaraannya membelah jalanan.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan malam Jae masih saja sibuk dengan kegiatannya didapur tanpa sempat berganti pakaian. Sedang Renata menatap punggung Jae dengan bersilang kaki dan tatapan seduktif, ia sengaja hanya mengenakan hem kebesaran milik Jae tanpa celana untuk menggoda Jae. Karena merasa tak diperhatikan ia bangkit dan memeluk Jae dari belakang sembari sesekali meniup telinga Jae sensual. Jae tersentak nyaris ia menjatuhkan spatula ditangan.
“Ren, please! Kapan selesainya ntar?” gerutu Jae dengan serusaha melepas tangan Renata yang melingkar dipinggang.
Namun, Renata tak menggubris ia malah terkikik dan melanjutkan kegiatannya, kini ia malah mejilat leher jenjang Jae dengan tangan meraba-raba perut dan paha dalam Jae. Jae masih berusaha berkonsentrasi melanjutkan acara menggoreng telurnya, menahan sentuhan yang Renata berikan. Sebeneranya Jae begitu sensitif mengingat gesekan kulit dengan jeans yang ia kenakan memberikan getaran halus yang meransang nafsu. Kesabarannya sudah diujung, Jae tiba-tiba mematikan kompor dan membalik tubuhnya berhadapan langsung dengan Renata.
“Ren, kalo gini ceritanya kita gak makan-makan,” keluh Jae.
“Kan kamu bisa makan aku sayaaang.”
Renata berusaha merayu dengan menyibak atasannya hingga dada dan pundaknya terpampang. Jae memiringkan senyumnya, tangannya sudah melepas satu persatu kancing baju Renata meremas perlahan dada yang tidak tertutupi bra tersebut. Lidahnya sudah mulai menyapu leher Renata menghisapnya meninggalkan banyak bekas merah hingga biru. Sedang Renata gusar, tangannya sibuk mengacak rambut Jae salah satu kakinya sudah terangkat merapatkan area sensitifnya dengan penis Jae yang masih tertutup jeans.
Jae semakin menaikkan kaki Renata ke meja dapur, jarinya meringsak mengusak vagina Renata mengocoknya dengan dua jari sekaligus. Bibir mereka kini saling bertaut, memangut dan mengabsen satu persatu gigi masing-masing. Tubuh Renata semakin melengkung membusungkan dada saat jari Jae semakin dalam keluar masuk lubang vaginanya tangannya perlahan melepas sabuk dan menurunkan resleting celana Jae perlahan. Dirabanya penis besar yang sudah sangat keras, perlahan ia mengeluarkan dari sangkarnya dan digenggam keras membuat si empunya mendesis tertahan ciuman panas mereka.
Panggutan mereka semakin panas, Jae melepas paksa celana dalam Renata hingga terkoyak. Didorongnya penisnya untuk masuk kedalam lubang vagina Renata.
“Aaahhhmmmmmm...”
Renata meleguh tertahan, lubangnya sudah penuh dengan penis Jae. Digerakknya pinggul berlawan arah dengan Jae menghujam dalam menusuk tepat di g-spotnya. Jae semakin brutal meremas payudara dan puting Renata, pungatannya dilepas dan beralih mengecup pundak Renata.
“Jae ... kaki kuuu pegeeel tauuu aaahhh...”
Renata mengeluh disela-sela desahannya, tangannya mencengkram pundak Jae kuat untuk menahan bobot tubuhnya. Jae tak melepaskan tautan kelamin mereka, ia mendorong Renata hingga didepan meja makan, ditidurkannya perlahan tanpa memperlambat tempo tusukannya. Tangannya sibuk meremas dada Renata dengan senyum miring kebanggannya. Renata tak hentinya mendesah dan menjambaki rambutnya.
“Ren, aku gak pake kondom jadi keluar diluar aja ya,” tanya Jae ditengah permainan mereka.
Renata menggeleng, “No, aku minum pil kok.”
Jae menghembuskan nafasnya, tempo tusukannya semakin dipercepat pecapaiannya sudah semakin dekat. Vagina Renata semakin mengetat, kuku cantiknya mencengkram meja mematahkan kuku telunjuknya.
Jae semakin keras menusuk, mengeluarkan dan menyisahkan ujung penisnya sebelum kembali menyentakkan bersamaan dengan semburan sperma ke liang vagina Renata.
“Aaahhhhh...” desah mereka bersamaan dengan lelehan cairan yang meluber dari liang vagina.
Jae melepas penisnya kemudian jatuh terduduk diatas kursi makan. Tangannya sigap menarik tisu dan membersihkan penisnya sebelum ia kembali mengenakan celananya dengan benar. Sedang Renata masih mengatur nafasnya dengan kaki yang masih terbuka lebar. Vaginanya masih berkedut meminta diisi kembali.
“Udah lah, Ren. Aku laper, mandi dulu sana ntar kalo udah beres masaknya ku panggil. Siapin juga tugas resumenya ntar kelewat,” cecar Jae sembari ia bangkit dari duduknya melanjutkan acara memasaknya.
Renata bangkit duduk diatas meja menyilangkan kakinya mengamati Jae kembali. Lelakinya memang begitu, tak pernah tertebak jalan pikirannya.
Hari ini Jae disibukkan kembali dengan jajaran tugas gambar yang harus diasistensikan belum lagi jadwal rapat nanti sore. Ia tidak sempat melihat ponselnya untuk sekedar menyampaikan pesan singkat ke Renata.
Menjelang pukul delapan, Jae baru saja menuntaskan kelas gambar terakhirnya ia berjalan di lorong kampus dengan berbincang singkat dengan Gendra teman sekelasnya sebelum mereka menuju ruang sekretariat BEM untuk memulai rapat bulanan.
“Oy!” sapa Jae ke seluruh penghuni sekretariat BEM.
“Eh, Bang Jae! Ini hasil rapat kemarin.”
Juna menyapa balik sembari bangkit dari duduknya melaporkan hasil rapat semalam bersama staff yang lain didampingi Tara dan Adam. Jae memandang kertas lamat dan mendengar pemaparan singkat dari Juna, ia hanya memangut berusaha memahami. Sekali ia melirik seseorang yang baru saja masuk ke dalam ruangan, Tara dan Adam.
“Bang, gue barusan ngeliat cewe lo naik mobilnya kating mesin,” kata Adam sembari meletakkan tasnya di meja mulai mengeluarkan laptopnya.
Jae menghentikan tangannya membalik lembaran kertas, menatap Adam penuh tanya.
“Renata maksud, Lo?” tanya Jae.
Adam mengangguk, “gue denger mereka mau open table, dia kagak ngomong apa?”
Jae tergesa mengeluarkan ponselnya di kantong, melihat puluhan notifikasi masuk dari grup tak ada satupun dari Renata. Ia terdiam sebelum bangkit dari duduknya hingga sebuah suara menginterupsi.
“Inget rapat, mending mundur sekalian kalo lo mangkir rapat lagi,” sindir Tara yang duduk didepan pintu.
Jae terpaku, ia mengemban kewajiban disisi lain ia sedang memikirkan kekasihnya yang suka bertingkah. Ia menghembuskan nafas panjang, sebelum kembali duduk, ia putuskan untuk mencari Renata setelah rapat.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari, jalanan sudah mulai lengang dari hiruk pikuk manusia. Jae memutuskan ijin terlebih dahulu dari rapat disalah satu kafe dekat kampus. Renata masih tak ada kabar, kabar yang ia terima hanya pesan singkat dari salah satu adek tingkatnya yang mengabarkan Renata sedang menuju apartement salah seorang kating.
Jae mamacu kendaraannya membelah jalanan, menuju apartement Renata. Tangan kirinya masih sibuk menghubungi ponsel Renata, namun nihil tanpa jawaban.
Diparkirkan mobilnya dengan serampangan, bergegas ia berlari menuju unit apartement Renata dengan harapan ia menemukan kekasihnya sedang dirumah tertidur. Tangannya gesit membuka kode rumah, didapatinya ruangan tersebut berantakan dengan dua pasang sepatu yang tercecer, milik Renata dan satu lagi sepatu lelaki.
Jae berjalan perlahan menuju kamar diujung ruangan didapatinya jaket, blouse, hingga rok Renata yang tercecer bersanding dengan pakaian lelaki yang bukan miliknya. Tangannya perlahan mendorong pintu kamar yang tidak tertutup rapat, ia hanya terdiam melihat pemandangan yang ada didepannya. Didapatinya Renata berpelukan tanpa busana dengan lelaki lain yang ia kenal sebagai salah satu kakak tingkatnya di kampus.
“Ren,” desis Jae menahan amarah.
Renata yang terlelap terbangun perlahan, memindahkan tangan yang ada di atas tubuhnya. Pandangannya yang semula kabur kini terbuka sempurna, didapatinya Jae sedang memandangnya lamat.
“Halo sayang! Rapatnya sudah?”
Renata menyapanya ramah dengan senyum tanpa beban, suaranya membangunkan lelaki disebelahnya. Lelaki tersebut menggeliat sebelum tersadar didapatinya tatapan menyeramkan dari Jae. Bergegas ia memakai pakaiannya dan berlari keluar ruangan. Jae memandangnya geram, namun ia menahan semuanya. Sedang Renata malah melambaikan tangan dan mengatakan akan menghubunginya kembali.
Jae kembali memandang Renata geram dengan tangan dilipat ia duduk di kursi belajar kamar Renata, memandang kekasihnya yang sekarang justru sibuk menyalakan rokok.
“Kalo cuma diem doang ngapain juga kamu malem-malem kesini, Jae, biasanya juga siangan,” ujar Renata disela-sela hisapan rokoknya.
“Kalian ngapain?” cicit Jae dengan amarah tertahan.
“One night stand, sama-sama high habis minum yaudah,” terang Renata tanpa beban.
Tangan Jae sudah mengepal amarahnya sudah memuncak, pikirannya sudah kalut.
“Kenapa bisa?”
Renata menghembuskan asap rokoknya perlahan, “ya bisa, seks kebutuhan setiap orang kan?”
“Argh gila kamu benar-benar gila, RENATA!” teriak Jae penuh kekesalan.
“Ya memang, kenapa? Mau pergi? Memang bisa?”
Renata mengatakan dengan penuh penekanan, pertanyaan penuh sindiran. Senyumnya miring menguji kesabaran Jae.
“Kata siapa aku tak bisa tanpamu, Ren.”
Jae berkata mantap, ia bangkit dari duduknya berjalan menuju luar ruangan.
“Kita lihat saja, Jae sayang.”
Renata terkikik, Jae semakin mantap keluar ruangan. Amarah sudah memenuhi seluruh relung hati dan pikirannya.
Jae adalah mahasiswa biasa yang hidup dengan bantuan Renata sebagai anak dewan kampus untuk mempermudah jalannya perijinan kampus. Jae sangat tahu Renata adalah gadis dengan nafsu dan jalan pikiran yang aneh. Kejadian ini bukan hanya terjadi sekali dua kali, namun sudah puluhan kali. Puluhan kali didapati pria keluar masuk apartement Renata entah darimana saja.
Jae amat tahu setelah ini hidupnya tak lagi mudah, termasuk Renata yang mengubah dirinya menjadi setengah manusia predator seks, mengejar wanita tanpa rasa hanya untuk memuaskan dirinya. Hingga ia menyadari bahwa ia tertarik dengan anak gadis tetangga rumahnya, Vanya. Namun terlambat dua tahun ia memendam diadapatinya Vanya telah menjadi kekasih dari rekan kerjanya, Jo.
Ia masih terbelenggu banyangan Renata, hingga ia bertemu dengan Ana. Gadis muda yang ia temui bersama Jevano hingga terlibat sebuah hubungan rumit tanpa arah.
-amara.
Sebuah cerita tentang dua orang yang terluka, bersama saling menyembuhkan. Benar, ini kisah tentang mereka, Jevano dan Azra.
Jevano lelaki yang hidupnya dihantui penyesalan atas luka-luka yang ia gores dalam ke hati wanitanya, Ana, hidup bak setengah mayat, berjuang bangun dari mimpi buruk yang terus-menerus hidup dalam benaknya.
Sedangkan Azra, wanita yang lelah dengan dunia yang mempermainkannya. Ketakutan akan dunia membuatnya mengurung dan menutup diri dari segalanya. Memilih hidup dalam kotak kosong tanpa cahaya, gelap dan sunyi.
Pasca perawatan panjang di rumah sakit, kini mereka berdua pulang ke rumah. Ya, rumah bersama yang Jevano tempati. Azra memutuskan untuk turut pindah, lebih tepatnya dipaksa pindah karena keadaannya yang mengkhawatirkan.
Jevano membiarkan Azra menempati kamar lantai atas bekas kamar Dion sebelumnya. Cukup aman dalam pantauannya. Terlebih dengan kondisi setelah perawatan dengan tangan masih terbalut perban dan penyangga. Malam ini Jevano menghampiri Azra di kamarnya.
“Ra, gue masuk ya,” ujar Jevano setelah mengetuk pintu pelan. Tanpa ada sahutan dari dalam, Jevano memutuskan membuka sendiri pintu kamar.
Kakinya melangkah perlahan tak ingin mengganggu Azra yang terlelap. Ia memandang sekeliling kamar yang gelap, didapatinya puluhan kertas penuh coretan tak beraturan. Beginilah cara Azra melampiaskan kekalutan pikirannya. Azra bukan orang yang akan menunjukkan emosinya secara langsung, ia memilih diam dan tersenyum seolah semua baik-baik saja, padahal benaknya siap meledak dengan segala amarah.
Jevano lamat mengamati kertas di tangan dan Azra yang terlelap secara bergantian, berusaha memahami apa yang ada dalam benak Azra. Namun, buntu, kini ia bangkit memunguti kertas-kertas yang berceceran dan meletakkannya di atas nakas sebelum ia kembali keluar kamar dan menuju kamarnya sendiri.
Dua tahun berlalu, dua tahun yang sama, Jevano masih dengan mimpi buruknya dan Azra dengan krisis kepercayaan terhadap orang lain.
Acap kali Azra mendapati Jevano bekerja seminggu penuh hingga larut malam bersamaan dengan kuliahnya atau didapatinya puluhan bekas kaleng minuman keras berserakan di lantai ruang tengah. Semua dijadikan pelariannya untuk menutupi rasa sesal tiada ujungnya.
Begitu pula Jevano mendapati setiap pagi Azra akan duduk di tepian balkon, menggenggam gelas dan melamun hingga petang.
Tengah malam ini, entah apa yang membuat mereka berakhir duduk bersama di meja makan menikmati makan malam —yang sedikit terlambat.
“Jev.”
“Ra.”
Ucap mereka bersamaan.
“Lo duluan,” tungkas Jevano.
Azra mengaduk makanannya resah, menghembuskan nafas berat beberapa kali.
“Jev, sampe kapan lo diem-diem liatin keluarga Ana?” lirih Azra dengan tatapan menunduk menghindari sorot tajam Jevano.
Jevano menghentikan gerakan tangannya, perlahan meletakkan sendoknya. Menautkan jari-jarinya dan menatap Azra penuh tanya.
“Dari kapan lo tau?” tanya Jevano.
“Setahun lalu, gue hafal lo selalu berangkat pagi-pagi buat sekadar mampir lewat kompleks perumahan mereka, sarapan pagi nasi kuning dekat sana padahal lo gak suka nasi kuning, dan bahkan lo selalu ikutan acara amal mereka dengan nutup seluruh muka lo pake masker, kacamata item sama topi. Capek gak?” terang Azra.
Azra memaparkan seluruh pengamatannya selama ini, semua hal yang ia pendam.
Jevano menarik nafas panjang sebelum menjawab, “Jelas capek, Ra. Tapi, capek gue gak akan sebanding dengan seluruh hal yang Ana rasain. Ngeliat Ana sekarang buat gue sadar kalo banyak hal yang gak akan termaafkan bahkan oleh waktu atau nyawa sekalipun.”
“Kenapa lo gak nyoba deketin dia? Paling gak ngeliat anak lo,” tanya Azra.
“Gue gak layak buat deketin mereka, Ra. Ngeliat dari jauh udah lebih dari cukup,” putus Jevano.
Azra mengangguk, melanjutkan kembali makannya.
“Sekarang ganti gue yang nanya,” sahut Jevano.
Azra memandang sekilas, sebelum melanjutkan kembali makannya berusaha menebak apa pertanyaan Jevano.
“Mau sampe kapan lo mengurung diri di sini?”
Jevano tegas mempertanyakan hal tersebut, dua tahun tanpa perubahan berarti pada diri Azra. Sedang empunya hanya terdiam sejenak, mengunyah makanannya tenang.
“Sampai gue merasa layak diterima manusia lain, Jev. Karena gue terlalu kotor untuk semuanya,” jawab Azra dengan pandangan kosong.
Jevano meletakkan sendok garpunya, menarik tangan Azra yang menggantung di udara dan digengamnya lembut.
“Ra, bukankah dua tahun ini sudah berat untuk kita?”
Azra mematung, perlakuan Jevano yang tiba-tiba membuatnya terkejut. Tapi otaknya masih berusaha menjawab pertanyaan Jevano.
“Mau kujawab jujur atau bohong pun lo pasti tau, Jev. Semua berat dan melelahkan seakan berputar pada pusaran yang sama,” sindir Azra dengan kekehan kecil di akhir.
Jevano mengusap pelan tangan Azra, menyalurkan rasa yang entah rasa apa.
“Ra, mau memulai kembali? Saling memperbaiki dan menyembuhkan,” tawar Jevano tulus.
“Maksudmu?” tanya Azra, satu alisnya terangkat mempertanyakan.
“Jujur gue capek, Ra. Capek dengan semuanya, capek lari dari semuanya, capek bertingkah seolah semua baik-baik saja. Tinggal dua tahun sama lo, gue sadar kalo gue yang memutar pusarannya ke arah yang sama tanpa berusaha merubah arahnya, gue sadar kenapa gak sama lo gue memulai yang baru menjadi manusia baru, jadi mau kan lo nyoba sama gue?”
Nada suara Jevano penuh keputusasaan, hidupnya sudah bak berjalan di tengah hutan gelap seorang diri, kini ia berusaha meraih seseorang untuk menemaninya melangkah walau pelan, walau dalam gelap.
“Emang lo udah sepenuhnya ngelepas bayangan Ana?”
Azra masih belum bisa mempercayai Jevano seutuhnya, ia teramat tahu Ana di hidup Jevano sudah seperti candu yang meradang.
Jevano kini bangkit dari duduknya berjalan perlahan ke arah Azra, tangannya memutar kursinya hingga kini mereka berhadapan. Digenggamnya kedua pundak sempit Azra, manik mata mereka saling menatap tajam seolah menembus isi pikiran masing-masing.
Jevano masih membeku, begitu pula Azra yang menahan nafasnya. Ia tak menyangka seorang Jevano, temannya, melakukan hal ini. Nafas mereka kini saling membentur, tatapan mata Jevano turun ke bibir Azra. Perlahan ia memajukan dagunya dan mengecup bibir Azra. Lembut tanpa tututan, matanya terpejam seolah menyampaikan seluruh hal yang tak mampu ia sampaikan lewat kalimat. Sedang Azra mematung, matanya mengerjap beberapa kali memastikan semua memang nyata. Tengah malam, meja makan, Jevano dan sebuah ciuman manis tidak pernah terlintas dalam benaknya.
Jevano melepas tautan mereka, tangannya mengusap perlahan surai panjang Azra. Kini ia duduk menumpu satu kakinya di hadapan Azra menggenggam tangannya lembut.
“Ra, maaf kalo gue lancang, tapi tiadak ada manusia yang lebih tepat dari lo buat ngebantu gue memperbaiki semuanya dari awal,” tungkas Jevano dengan pandangan menunduk, terlalu takut dengan jawaban dari Azra.
Azra menarik dagu Jevano hingga pandangan mereka kini bertemu, senyum lembut terpampang di wajah cantik Azra.
“Jevano, yuk kita mulai bersama,” sambut Azra dengan tulus.
Kini senyum keduanya merekah, luka-luka yang ada memang tak menghilang tapi setidaknya dengan begini mereka dapat melalui hari-hari berat bersama, dalam balutan nafas yang sama dalam tangis yang saling berirama.
Kini tiga bulan pernikahan mereka, terhitung enam bulan sejak mereka memutuskan untuk saling memulai bersama. Kehidupan mereka berjalan sangat normal, dengan selingan tawa tangis amarah yang melengkapi.
Malam ini Jevano datang dari tour eventnya. Ya, kini ia bekerja bersama beberapa temannya mengembangkan bisnis event organizer. Didapatinya sang istri, Azra, terlelap di atas sofa ruang keluarga rumah mereka.
Perlahan Jevano mendekat mengusap lembut pipi Azra, berusaha tak mengganggu tidur nyenyak istrinya. Dipandangi lekukan mata, hidung hingga bibir wajah sang istri dengan takjub, hatinya penuh syukur dipertemukan dengan Azra.
Azra bergerak resah dalam tidurnya, secara tiba-tiba ia meregangkan ototnya dan mengerjapkan matanya.
“Ah, sudah pulang? Mau makan malam apa mandi?” tanya Azra beruntun sembari bangkit dari tidurnya.
Jevano mencegah Azra bediri ditahannya pundak Azra untuk tetap duduk.
“Enggak usah, tadi sudah makan kok, mandinya nanti aja,” jawab Jevano yang kini duduk di sisi Azra.
“Yakin beneran? Capek ya pasti?”
Azra mencecar banyak pertanyaan dengan raut wajah khawatir. Tangannya mengusap rahang tegas Jevano lembut menyalurkan kasih sayangnya. Jevano tersenyum tipis memandang Azra, ditahannya tangan Azra di pipinya dan dikecup perlahan telapak tangan istrinya.
Secara tiba-tiba ia merebahkan kepalanya di pundak Azra dan dilingkarkan tangannya di pinggang kecil istrinya. Azra amat tahu Jevano tak akan mengatakan secara jelas apabila ia lelah, ia akan selalu berlagak kuat di hadapannya.
Kini mereka menghabiskan beberapa saat saling berbagi kehangatan dalam pelukan, sebelum Jevano yang tiba-tiba mengecupi leher jenjang Azra.
Tangan Azra refleks mengalung di leher Jevano, memperdalam kecupan hangat yang Jevano ciptakan. Tangan Jevano mulai mengusap perlahan punggung Azra berusaha melepas ikatan bra yang dikenakan Azra. Dalam satu tarikan ikatan tersebut terlepas, membebaskan dua gundukan payudara sintal favoritnya, diraba perlahan dada tersebut dan diremas-remasnya gemas.
Azra menggigit bibir bawahnya menahan desahannya lolos, ia begitu menikmati permainan ini. Terlebih saat ini Jevano mulai memilin putingnya dan menciptakan lebih banyak kissmark di lehernya. Tangan satunya mulai melebarkan paha Azra yang terbuka karena Azra hanya mengenakan dress rumahan selutut. Diusapnya perlahan paha dalamnya dan tangannya mulai meraba vagina dari balik g-string tipis yang Azra kenakan, sudah sedikit basah terlebih saat Jevano semakin gencar mengusap klitoris dan menusuk-nusuk dengan dua jarinya. Ditariknya celana yang menghalanginya dan ia biarkan menggantung di antara kaki Azra. Jarinya semakin gencar menusuk dan melebarkan lubang vagina Azra, membuat si empunya menggelinjang. Jari-jari tersebut sudah masuk perlahan dan dikeluar-masukkan perlahan dengan tempo yang nyaman.
Azra semakin melebarkan pahanya terlebih saat ini Jevano tengah asik menyusu di dadanya dan jarinya juga sibuk mengaduk lubang vaginanya.
“Aaah Jeeeevvvvv ... aakuuuuu gak tahaaannnnn....”
Azra semakin merancau penuh kenikmatan, setelah ini ia akan mencapai pecapaiannya yang pertama.
Semakin cepat Jevano mengaduk lubang tersebut terlebih saat lubang Azra semakin berkedut hebat dan mengeluarkan cairannya.
“Aaaah Jeeeevv ....”
Jevano memgeluarkan jemarinya dan kini ia memindahkan Azra untuk berbaring. Dibukanya paha Azra lebar-lebar, lidahnya mulai mengaduk lubang Azra, tangannya sibuk melepas ikatan sabuk dan celananya hingga terpampang kejantanannya yang berdiri tegak dengan cum yang menetes di ujungnya. Segera ia beralih naik ke atas istrinya dan mengarahkan tepat kejantanannya di hadapan lubang Azra.
“Ra, aku benar-benar sayang kamu, sangat!”
Bersamaan dengan perkataannya, Jevano menusuk lubang Azra dengan penisnya. Kini lubang Azra sudah penuh dengan penis besar dan panjang milik Jevano.
“Aaaahhhhhh....”
Azra hanya mampu mendesah dan mengangguk setuju dengan apa pun yang Jevano katakan. Perlahan pinggul Jevano mulai bergerak keluar masuk memompa lubang dengan tempo perlahan, ia tak ingin membuat Azra merasa kelelahan.
Azra seperti terbang, otot-otot vaginanya memijit halus penis Jevano yang menumbuknya tepat di g-spotnya.
“Aaaah jeeeev faaaasssteeeerrrr pleaseeee... maauuuu keluaar lagiii...”
Azra menggelinjang penuh kenikmatan, lubangnya kini ditusuk dengan tempo yang cepat, lubangnya semakin mengetat tanda ia akan sampai pada puncaknya.
“Keluaarnyaa barengan yaa.”
Penis Jevano juga turut membesar, siap melontarkan spermanya. Dihentaknya kuat-kuat penisnya, hingga lubangnya semakin mengetat.
“Aaahhhhh sekaraang jeeev sudah gak tahaaaan....”
Azra semakin kuat mencengkram lengan Jevano, ditambah kini Jevano juga turut melepaskan cairannya di dalam. Terasa hangat menyembur di seluruh rahimnya.
“Haaaah haaaah... terima kasih sayaang.”
Jevano mengecup kening istrinya, ia menahan bobot tubuhnya agar tak menimpa Azra. Dilepasnya perlahan penisnya dari lubang vagina Azra yang berkedut, cairannya meluber dari dalam lubang.
Azra masih mengatur nafasnya kelelahan, berusaha menahan matanya agar tak terpejam. Sedang Jevano sudah bnagkit memunguti pakaiannya dan mengenakan kembali, ia juga merapikan baju Azra sebelum menggendongnya ke kamar mereka untuk beristirahat. Azra hanya tersenyum dan menyembunyikan wajahnya pada dada Jevano, sedang suaminya tak henti mengucap kata-kata sayang di telinganya.
Malam ini indah bagi mereka yang sedang saling memadu kasih dan berbagi kehangatan bersama. Hingga pagi harinya Azra dilarikan ke rumah sakit karena pendarahan hebat.
Jevano panik didapatinya sang istri merintih kesakitan dengan darah mengucur deras, semalam setelah mereka melakukan seks, mereka sama-sama terlelap tak ada hal aneh, namun paginya berbeda.
Didapatinya kabar buruk bahwa istrinya mengidap kanker rahim dan harus segera dioperasi. Jevano kalut, ia berjalan keluar area rumah sakit menuju taman kecil.
Ia duduk di salah satu kursi taman, mengamati banyak manusia lalu lalang. Tangannya mengeluarkan rokok dari sakunya, tersisa satu buah sisa kemarin pulang kerja. Diselipkan di belahan bibirnya rokok itu, nyaris ia nyalakan hingga suara anak kecil menginterupsinya.
“Om, jangan merokok yaaa kata bunda rokok gak baik, bikin sakit kayak ayah,” ujar bocah berusia hampir tiga tahun di hadapan Jevano.
Jevano terdiam wajahnya tak asing.
“Om mending makan permen punya Ano aja, yaaa,” lanjut bocah yang menyebut dirinya Ano, tangannya terlujur menawarkan Jevano satu buah permen susu.
“IVANO!” teriak seseorang dari kejauhan.
Jevano dan bocah kecil ini menatap sumber suara bersamaan, didapatinya wanita muda dengan perut setengah membesar menuju ke arah mereka.
Wanita itu berjalan cepat, hingga saat manik matanya bertemu langsung dengan Jevano langkahnya melambat, nafasnya tercekat. Begitu pula Jevano dengan ekspresi terkejutnya.
“Bundaaaa,” kata bocah itu sumringah menghampiri wanita yang ia sebut Bunda.
Jevano bangkit dari duduknya tatapannya masih tak beralih dari wanita di hadapannya, “Ana.”
Lirih sekali Jevano memanggil nama tersebut sedang sang pemilik nama masih terdiam menetralkan nafasnya.
“Hai, Jev. Lama tak jumpa,” sapa Ana, wanita itu, ramah.
“Ah, iya. Lama juga ya, ini siapa?”
Jevano kikuk, tergagap ia berbicara. Ia berusaha menutupi rasa takut dan bersalahnya.
“Dia anakku, Ivano. Maaf kalo gangguin lo, yaa,” terang Ana sembari mengusap rambut Ivano.
“Ah, gaapa kok. Ada apa di rumah sakit? Ada acara?” tanya Jevano berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Oh, enggak. Suamiku sakit, kamu ngapain kesini? Ada yang sakit?” tanya Ana dengan senyuman.
“Ah, itu istriku sakit,” gagap Jevano, ia mengusap tengkuknya beberapa kali.
“Aah, semoga cepat sembuh, ya. Oh, ya, duluan ya, Jev,” putus Ana meninggalkan Jevano yang masih terdiam.
Bayangan Ana semakin jauh, menyadarkan Jevano akan satu hal, ya luka mereka tak sembuh hanya saja sedang saling menyampingkan. Menutupnya dengan hal-hal lain berharap luka itu kan terpupuk dan kemudian kering.
Selain itu Jevano sadar akan satu hal lagi, bahwa kini Ana adalah bayangan masa lalu nya yang selayaknya ditinggalkan, kini ia punya Azra yang sedang tidak baik-baik saja, ia sadar untuk tak lagi menyia-nyiakan seseorang yang melengkapi hidupnya, meninggalkan tanpa tanggung jawab.
Jevano membuang rokoknya kemudian melangkahkan kakinya mantap menuju ruangan di mana Azra berada. Sudah saatnya ia berubah, demi menebus dosa-dosa masa lalunya.
Between Us, tentang mereka yang sama-sama bercerita.
Dalam series sebelumnya terdapat kisah dari Luke dan Renata yang belum usai atau Jae dengan pencarian cintanya, kini akan diungkap. Ditambah kisah dari Ekhsan atau echan dengan kekasihnya Eca yang warna-warni. Kisah berikutnya dari teman sepermainan Echan, Winar yang seorang selebriti dengan kekasihnya yang gemar membaca au yang unik dan kisah terakhir oleh Tian dan Aurora, teman masa kecil yang terlibat kisah rumit.
Bagaimana?
Amara notes :
Hai! Kita bertemu kembali dalam series yang baru! Disini tetap jadilah pembaca yang bijak yaa.
Untuk, shooting star kalian akan terlibat dalam jalan cerita. Naya adalah pembaca au, pasangan ini hobi memaikan peran saat melakukan hubungan seks, jadi kalian bisa terlibat dalam menentukan peran yang akan dimainkan mereka! Kalian bisa dm atau isi cc ku atau sc dengan #amarashootingstar nanti akan ku pilih satu untuk lanjutan ceritanya! Menarik bukan?
Ditunggu yaa~~
Ana masih terlelap dalam rengkuhan hangat Dion. Beberapa kali Dion mengusap surai hitamnya. Membisikkan kata-kata indah untuk menghapus sedikit demi sedikit apa yang memberatkan pikiran Ana. Beberapa saat kemudian Dion melepaskan pelukan Ana dan bangkit mencari ponselnya.
Jarinya lincah mengirimkan pesan singkat untuk Jevano dan Jae. Pandangan matanya tajam sarat akan kemarahan. Setelah usai, ia kembali meletakkan ponselnya di atas nakas dan kembali tertidur di sisi Ana.
Jevano kembali memacu kendaraannya, berjalan zig-zag menuju ke apartemen Ana dalam keadaan muka babak belur setelah pertengkarannya dengan Luke. Kini dalam benaknya hanya satu, sesegera mungkin meminta maaf kepada Ana walaupun ia sendiri tak tahu apa langkah selanjutnya.
Sepeda motornya bergerak mulus terparkir di basement kompleks apartemen Ana. Beberapa saat ponselnya berdering, tanda pesan masuk. Ia melepas helmnya sebelum akhirnya mengambil ponselnya di dalam saku.
Sebuah pesan dari Dion. Matanya lamat membaca pesan tersebut, tangannya mengepal penuh amarah. Langkahnya tergesa menuju ke unit milik Ana.
Sesampainya di depan unit milik Ana, ia berusaha memutar kenop pintu dan masuk ke dalam. Didapatinya Dion berdiri di ambang pintu kamar dengan bersilang tangan. Matanya tajam menatap Jevano.
“Mau apa kesini?” ucapnya kasar.
Jevano terdiam membeku, lidahnya kelu. Perkataan Dion dalam pesan singkat tadi bukan main-main rupanya.
“Kalo ga ada urusan mending pergi, Jev. Gue ga mau ribut sama lo.”
Dion melangkah mendekati Jevano, kedua tangannya memegang pundaknya dan pandangannya tajam menembus manik hitam Jevano.
“Gue mau tanggung jawab, Kak.”
Jevano terbata-bata, aura yang dikeluarkan Dion begitu mengintimidasi, seolah siap menerkam dia.
“Buat apa? Telat. Seumur hidup Ana bakal mengenang lo sebagai sosok yang lari dari hidupnya dan sekarang lo punya apa buat tanggung jawab?”
Perkataan Dion menghujam tepat ke jantung Jevano, kacau sudah pikiran Jevano, benaknya bergemuruh penuh amarah namun ia juga sadar betapa bodoh apa yang ia lakukan sebelumnya. Pundaknya semakin dicengkram kuat oleh Dion, kedua manik itu saling beradu, mempertahankan ego masing-masing.
'Drrrttt...'
Ponsel Jevano bergetar tanda sebuah pesan masuk. Tangannya merogoh sakunya, mengalihkan pandangannya, membaca sekilas notifikasi yang masuk.
Disingkirkan tangan Dion dari pundaknya, bergegas ia meninggalkan Dion dan berlari menuju motornya berada. Pikirannya sekarang semakin kacau karena memikirkan Azra. Entah mengapa Azra begitu memenuhi pikirannya, sekarang ia begitu khawatir karena Azra bukan orang yang sering pergi seorang diri ke tempat hiburan malam, ia biasanya pergi bersama Ana.
Hari ini, tempat hiburan malam itu penuh dengan anggota klub dari kampus tetangga mereka. Beberapa kali sempat bersinggungan, tak ada masalah dengan Jevano sebenarnya. Namun, tabiat mereka yang suka membawa siapa saja wanita di dalam bar untuk disetubuhi secara bersama membuat Jevano panik. Takut jika hal itu akan menimpa Azra.
Jevano menempuh jarak lumayan jauh dalam waktu kurang dari lima menit dengan sepeda motornya. Beberapa kali nyaris tertabrak, namun akhirnya ia sampai di tempat.
“BRENGSEK LO!”
Jevano menatap geram segerombol lelaki yang memapah Azra keluar Bar. Segera ia berlari menghantam kepala pria tersebut dengan helm yang ia bawa, tangannya sigap menarik Azra dan membawanya kedalam pelukan. Sedang Azra masih dalam keadaan tak sadarkan diri hanya diam dalam pelukan Jevano.
Kaki dan tangan Jevano sibuk menahan serbuan beberapa orang yang menyerang Jevano. Hingga tiba-tiba kepala belakangnya dihantam balok kayu dan ia akhirnya jatuh terhuyung bersama dengan Azra.
Tak lama terdengar suara sirine mobil polisi membubarkan kerumunan bersamaan dengan hilangnya kesadaran dari Jevano.
Di sisi lain, di salah satu club house di Bali.
Sepasang lelaki dan perempuan duduk berdampingan, memegang segelas alkohol yang entah sudah gelas ke berapa. Dalam kehingan mereka menyesap alkohol di tangan. Jae masih memikirkan mengapa mantan kekasihnya kini duduk berdua dengannya di sini, di sebuah club house.
Renata, gadis itu. Mantan kekasih Jae yang tiba-tiba menghubunginya semalam.
“Minum dan mengenang kenangan kita.”
Kalimat yang terdengar begitu memuakkan di telinga Jae karena tak ada kenangan yang layak untuk dikenang dari hubungan mereka.
“Hahahaha konyol,” sangkal Jae di tengah kesadarannya yang tersisa setengah.
“Why? Bukankah kamu menikmati setiap perjalanan cinta kita?”
Renata menyesap kembali alkohol di tangannya, menggeser duduknya mendekat ke arah Jae.
“Berhentilah mengoceh, Ren. Pergilah, apapun urusanmu di sini aku tak peduli,” tegas Jae mengusir Renata dari duduknya.
Namun, Renata bergerak sebaliknya, ia justru duduk di pangkuan Jae dan mengalungkan tangannya ke leher. Menatap lamat bibirnya sebelum menyesap dengan ganas.
Renata memandu ciuman panas mereka. Lidahnya berusaha menerobos masuk kedalam mulut Jae dan kedua tangannya sudah beralih ke rahang tegas milik Jae, merabanya sensual dan memperdalam hisapan.
Jae yang sudah setengah sadar justru mengikuti permainan yang Renata buat. Tangannya mulai meraba payudara sintal Renata dari balik mini dress merahnya. Meremasnya keras serta memilin puting yang tercetak jelas dari balik dress dan membuat si empunya mengeram di sela-sela ciuman panas mereka.
Lidah mereka saling bertaut mengabsen gigi masing-masing. Sedang tangan Renata sudah menuntun tangan Jae untuk meraba paha dalamnya. Beberapa kali ia sengaja menggesek penis Jae dengan bongkahan pantatnya untuk membangkitkan gairah.
Tangan Jae menyingkap celana dalam Renata, menggesek klitorisnya dengan jari telunjuk dan menusuk lubangnya dengan jari tengahnya. Lidahnya kini sudah bergerliya menjilat seluruh area leher Renata, sedang si wanita hanya menahan desahannya dengan menggigit bibir bawahnya. Kepalanya mendongak penuh kenikmatan atas permainan jari Jae di dalam lubangnya.
“Let's get the fuck, Jae! I miss your dick so hard!”
Racau Renata yang semakin aktif mendorong pinggulnya mengikuti jari Jae yang keluar masuk secara bebas.
“Jalang akan tetap jalang selamanya, bitch!“
Jae melepas jarinya dari lubang vagina Renata dan mengarahkan ke mulut wanita tersebut untuk dijilati secara sensual. Tangannya kini bergerak membuka resleting celananya dan membiarkan penisnya mengacung dengan otot yang sudah menegang dengan cum diujungnya.
Renata menggenggam penis yang sudah sangat tegang tersebut, memijatnya perlahan, mengusap lembut ujungnya membuat Jae mendesis. Diangkatnya Renata ke atas meja tak peduli beberapa mata yang memandang mereka.
Dibukanya paha Renata lebar-lebar. Diarahkan penisnya tepat di muka lubang vagina Renata.
'JLEEEB'
Dalam sekali sentak penis tersebut masuk, dengan brutal Jae menyodoknya. Tangannya dengan sengaja mengeluarkan kedua payudara Renata dan meremasnya ganas.
“Aaah ... aahhh ... Jaee ... penismu tak pernah salah.”
Desah Renata di sela-sela kegiatan. Lubangnya tanpa ampun disodok Jae. Kini tiba-tiba tubuhnya diputar tanpa melepas tautan mereka. Posisi Renata menungging di atas meja dengan satu kaki Jae yang naik keatas kursi.
'Plakk'
Jae menampar bokong sintal Renata di tengah-tengah ia memompa lubang vagina Renata.
“Lihatlah, kamu tampak seperti pelacur, Ren.”
Berulang kali Jae mengumpati Renata, tetapi wanita ini hanya mendesah dan mengeram.
“Iya, bersamamu aku jadi pelacurmu.”
“Bodoh!”
Jae masih menusuk lubangnya dengan brutal, ditambah dengan remasan di bokong sintalnya. Beberapa orang memandangi mereka bercinta. Bagi Jae ini sungguh memalukan, tapi tidak bagi Renata. Wanita ini sungguh sangat menikmati seks di publik, fantasi seks yang aneh.
Penis Jae semakin membesar dan lubang Renata semakin mengetat, tusukan demi tusukan menghujam tepat disweetspot milik Renata, dalam beberapa saat Jae akan mengalami puncaknya.
“Mari kita selesaikan dengan cepat dan pergilah!”
“Aaaah... terseraaahhhh”
Jae menusuk lubang vagina Renata cepat dalam beberapa hentakan sebelum ia melepas penisnya dan membiarkan cairannya menyembur membasahi tubuh Renata.
'Croot'
Cairan Jae memenuhi punggung Renata dan menyiprat ke beberapa bagian meja. Kemudian ia merapikan kembali penisnya ke dalam celana, membiarkan Renata yang tergeletak dengan nafas terengah-engah di atas meja.
Tangannya meraih sebatang rokok dan menyalakannya, lalu menghisap perlahan.
Renata kini berubah posisi manjadi terlentang di atas meja. Tersenyum miring mangingat apa yang baru saja terjadi pada mereka. Seks bersama Jae selalu menjadi candu baginya, kini ia bangkit duduk di atas meja berhadapan langsung dengan Jae.
“Fantastis, Jae.”
Jae tak menggubris, ia masih asik menghisap dan menghembuskan asap rokok.
Renata menarik dagu Jae, memberikan kontak mata yang dalam antarkeduanya.
“Bagaimana kalau kita memulai kambali? Bukannya menyenangkan?”
“Konyol,” sergah Jae di sela-sela hembusan asap rokoknya.
“Bertiga, dengan suamiku. Ralat calon suamiku.”
Renata tersenyum miring, ia teramat menyukai ide konyolnya. Sedang Jae hanya memandang aneh wanita di hadapannya. Ia mengalihkan pandangannya dengan melakukan hal lain, mencari ponselnya.
“Enyah kau!”
Jae menyingkirkan Renata dari hadapannya, ia berpindah kursi kemudian menyalakan ponselnya perlahan. Puluhan notifikasi masuk ke dalam ponselnya termasuk dari Ana dan Dion.
Ia mengusap mukanya kasar, membuang putung rokoknya ke asbak di hadapannya. Pikirannya kacau, pesan tersebut berisi ultimatum Dion, sangat jelas isinya, menyadarkan dirinya bahwa hidupnya terlalu kacau untuk sekadar memandang Ana kembali. Manusia pengecut, batin Jae.
Renata kini beralih duduk di sebrang Jae, mengambil sebatang rokok dan menyalakannya perlahan. Pakaiannya sudah tak karuan, tetapi ia tak peduli. Seluruh pengunjung dan pegawai tempat ini tahu siapa dia, wanita pesta, sebutannya.
“Bagaimana? Apa makin hancur hidupmu? Dulu sudah kuingatkan jangan pergi, tapi kamu memilih pergi, Jae,” ucap Renata di sela-sela hembusan asap rokoknya, menatap sinis Jae.
“Hanya orang gila yang bertahan denganmu, Ren.”
Jae bangkit dari duduknya, meninggalkan Renata seorang diri. Kini langkahnya lunglai, menyadari betapa kacau hidupnya dikacaukan seorang wanita.
Ana sudah terbangun dari tidurnya lima belas menit yang lalu, kini ia duduk di sofa bersama Dion yang memeluknya.
Hangat, seperti rumah, setidaknya itu yang ada dalam benak Ana. Walaupun sejujurnya ia masih menanti kabar dari Jevano maupun Jae.
'Drttt drrttt'
Ponsel Ana bergetar, sebuah panggilan telepon masuk. Tanpa melepas pelukannya Ana meraih ponsel di sampingnya menatap Dion sekilas dan tersenyum.
Tertulis nama Azra di layar. Dahinya sedikit berkerut bingung karena tak biasanya Azra meneleponnya di tengah malam begini.
“Iya, Ra, kenapa?”
“Maaf, apa benar ini teman dari saudari Azra?” sahut suara dari ujung telpon. Suaranya asing bukan seperti suara Azra.
“Ah, iya, benar. Ini siapa, ya?”
Dion menatap Ana lamat, memperhatikan percakapan telepon tersebut.
“Kami dari pihak rumah sakit, saudari Azra dan teman laki-lakinya bernama Jevano sedang menjalani perawatan setelah mengalami pengeroyokan di depan tempat hiburan malam. Tolong segera kemari untuk mengisi kelengkapan administrasi.”
“Ah, apa? Baik saya ke sana sekarang.”
Ana bergegas bangkit, panik menutup teleponnya. Dion turut bangkit dari tidurnya, mengamati Ana.
“Kenapa?” tanya Dion.
“Azra sama Jevano, dikeroyok,” ucap Ana bersamaan dengan ia membongkar isi lemarinya mencari pakaian yang layak.
“Biar gue yang berangkat. Lo di sini aja, sudah malam Ana, kasian bayinya.”
Dion bangkit segera mengambil jaketnya, namun Ana mengekor di belakangnya.
“GAK! GUE IKUT!”
Ana segera meraih kunci mobil di nakas ruang tamu, bergerak mendahului Dion. Langkahnya cepat sebelum lengannya ditarik Dion.
“ANA! DENGERIN!”
Ana menatap nyalang Dion, marah tak terima dicegah. Aslinya ia panik karena Azra dan Jevano sudah seperti keluarganya.
“An, oke kalau lo tetep maksa ke sana. Tapi, pertama apa pun yang terjadi jangan panik, jangan sedih, tetap berpikir positif. Okay? Pengang tangan gue kalo lo ngerasa takut, sekarang ambil turtleneck sama jaket, pake celana panjang, sama sepatu yang nyaman. Ingat sekarang kamu membawa satu nyawa lagi, harus tanggung jawab.”
Dion mengusap surai hitam Ana, menenangkan Ana dari kepanikan. Membantu Ana mengatur nafas dan keperluan yang harus ia bawa dan kenakan. Sedang Ana masih mematung, sadar ia sendiri bahkan tak pernah memedulikan dirinya sendiri.
Kini mereka sudah berada di mobil, Dion mengendarainya dengan tenang. Sesekali tangannya mengusap lembut tangan Ana, menenangkan Ana yang ketakutan.
“Mereka ga papa, An. Jangan panik,” ucap Dion berulang menenangkan Ana. Ana hanya mengangguk.
Mereka sudah sampai dan memarkirkan kendaraan, berjalan beriringan menuju lorong IGD tempat Azra dan Jevano diberi perawatan. Dari kejauhan Ana menemukan Azra sudah sadarkan diri, tetapi ia sedang menangis menggenggam tangan Jevano yang masih tak sadarkan diri dengan kepala terbalut perban, tangan yang disangga dan kaki yang terbalut perban juga. Mukanya penuh luka, babak belur. Ana berjalan mendekati ranjang, memandang dari kejauhan menutup mulutnya terkejut. Dion sigap menggenggam tangan Ana, menguatkan.
Azra menyadari ada seseorang dibelakangnya, ia segera menghapus airmatanya dan bangkit menuju Ana. Pandangannya bergantian menatap Ana dan Dion.
“An, maafin gue, Jevano begini karena gue,” bisik Azra memandang Ana yang sedang menatap Jevano nanar.
Ana tidak merespon, Azra giliran memandang Dion. Sebelumnya ia hanya mengenal Dion sekilas dari cerita Jevano atau Ana. Selebihnya tak pernah bertemu.
“An, gue ngurus administrasi dulu, titip dia ya.”
Dion melepas genggaman tangannya pada Ana, berbalik arah menuju bagian administrasi, ia merasa ada beberapa hal yang harus diselesaikan mereka berdua. Azra mengangguk, tangannya meraih tangan Ana yang menggantung diusapnya perlahan berusaha menenangkan Ana.
Tiba-tiba Ana memandang Azra, tatapan yang Azra sendiri tak mengerti apa maksudnya.
“Ra, apapun masalahmu, kenapa harus Jevano yang jadi korban?”
Azra terkejut, tangannya menggenggam tangan Ana kuat.
“Maafin gue, An. Maaf..”
Azra menangis airmata yang ia tahan sedari tadi kini tumpah.
“Ra, gak perlu minta maaf ke gue. Gue sama Jevano gak ada apa-apa, kita selesai. Lo harusnya minta maaf ke Jevano, Ra, sayangi dia, rawat dia lagi. Tolong,” pinta Ana.
Ana mengakhiri kalimatnya dengan senyum, ia tahu berat namun memaksakan kehendaknya bersama Jevano juga bukan hal yang baik. Mereka tidak ditakdirkan bersama, mereka hanya ditakdirkan untuk saling singgah.
Ana memeluk Azra erat sebelum Dion tiba dengan beberapa perawat yang bertugas memindahkan Jevano dan Azra ke tempat rawat inap.
Ana memeluk Dion erat melepaskan perasaannya yang tersisa. Dion menepuk pelan punggung Ana, menenangkan.
“Terimakasih Ana, kamu sudah kuat bertahan hingga kini. Terimakasih sudah mengurai satu simpul rumit dalam hidupmu,” bisik Dion tepat ditelinga Ana.
Tepat dua minggu setelah tragedi pengeroyokan Jevano, Ana dan Dion kini tinggal bersama di apartemen Ana. Dion belum berani meninggalkan Ana seorang diri dirumah, mentalnya belum stabil. Sesekali ia masih mendapati Ana melamun di depan kaca atau ditepian balkon dengan mengusap perut datarnya. Jevano juga baru sadarkan setelah dua hari tak sadarkan diri, Jevano tak memiliki keluarga disini, seluruh keluarganya di luar negeri, untungnya ada Eksan, Azra dan teman-teman lainnya yang bergantian menjaganya.
Pagi ini sebelum Dion berangkat kerja seperti biasa, didapatinya Ana melamun kembali di depan meja makan. Menatap segelas susu tanpa nafsu.
“Ana, kenapa?”
Dion berjongkok dihadapan Ana, menatap Ana dari bawah, mengusap lengannya perlahan. Ana hanya tersenyum dan menggeleng kecil.
Dion menyadari Ana masih tidak baik-baik saja, ia tahu Ana masih memikirkan respon keluarganya mengenai kehamilannya.
“Good morning, Baby. Gimana disana sepi ya? Sabar yaa sebentar lagi ketemu Bunda sama Ayah, jangan nakal sama Bunda yaa.” ucap Dion sembari mengusap perut Ana. Ana tersenyum, setiap pagi Dion selalu seperti ini, membuatnya meras bagitu dicintai.
“Kenapa Bunda dan Ayah?” tanya Ana.
“Karena dia anakku,” ucap Dion dengan senyum merekah.
Ana mengerjap kemudian mengernyit kebingungan.
“Hah?”
“Iya, Ana nikah yuk? Biar adek punya Bunda sama Ayah, biar Bundanya gak sedih lagi.”
Dion menggenggam tangan Ana dan tersenyum tulus sedangkan Ana menutup mulutnya terkejut tak menyangka Dion akan seserius ini.
“Lusa orang tuamu datang kan? Nanti aku yang bilang, hari ini kita ketemu mama sama papa dulu, jadi sekarang siap-siap kamu kuliah dulu aku kerja, okey?”
Dion tersenyum dan bangkit, memeluk Ana yang terisak bahagia. Mereka kini bersiap memulai lembaran baru memulai kisah yang baru.
Sore ini mereka bersama menuju ke keluarga Dion. Sebelumnya Ana tak pernah tahu mengenai latar belakang lelaki yang kini menjadi kekasihnya, yang ia tahu ia Dion, empat tahun lebih tua darinya, dan seorang manager perusahaan, selebihnya tidak. Mobil mereka memasuki sebuah kawasan pemakaman keluarga, Ana mengernyit tak paham mengapa mereka berjalan kemari.
“Turun yuk,” ajak Dion kepada Ana.
Ana mengangguk dan mengikuti langkah Dion dari belakang hingga tiba dihadapan sepasang makam yang bersih dan ditanami banyak rerumputan hijau.
“An, ini mama dan papa. Mereka meninggaal sejak aku SD, An, kecelakaan. Ayo kenalan dulu,” jelas Dion.
Ana menatap kedua makam tersebut bergantian, “Halo, mama papa saya Ana.”
“Hahahahaha gausa kaku-kaku, An. Mama papa, ini Ana dan bayi nya, kita akan menikah besok lusa, tolong doakan kami yaa,” kata Dion dengan riang memperkenalkan Ana dan bayinya dihadapan makam kedua orangtuanya.
Dion duduk beberapa saat untuk bercerita dan sesekali Ana menyauti cerita Dion.
Kini mereka sudah kembali dalam kendaraan dalam perjalanan pulang Ana melirik kearah Dion disisinya.
“Kak, gamau cerita apa gitu?” tanya Ana memancing Dion untuk lebih dalam bercerita tentang keluarganya. Matanya berbinar penasaran.
“Yayayaya kasian ada yang penasaran, aku anak tunggal, sejak mama papa pergi semua ditanggung paman, tapi rumah peninggalan masih ada cuman yayasan yang harusnya atasnama papa dipegang sementara oleh paman sampe aku dewasa, sekarang yayasannya masih peralihan kepengurusan dari paman ke aku,” terang Dion.
“Ah, singkat banget ceritanya. Yayasan apa coba?” tanya Ana.
“Rumah sakit tempat Jevano sama Azra kemarin itu yayasannya,” tungkas Dion.
“What?, terus kenapa coba tinggal di sharing house bareng Jevano?”
Ana mengeryit kebingungan, penuh tanda tanya.
“Bosen dirumah, sepi.”
Ana memukul pelan lengan Dion, gemas.
“Alesan macem apa coba!”
“Yakan ntar kalo ada kamu sama adek baru rame, jadi lusa pindah ya?”
Ana mengangguk bersemangat, kali ini ajakan Dion bukan main-main memulai kehidupan baru memulai lembaran baru bersamanya.
Tiga tahun Ana melewati bahtera rumah tangga bersama Dion dan Ivano, putra mereka. Ana kini telah menuntaskan kuliahnya dan menjadi wanita karier bekerja bersama Dion mengatur yayasan. Kini yayasan menaungi banyak bidang termasuk anak-anak jalanan dan bidang khusus untuk remaja yang mengalami trauma psikologis pasca trauma kekerasan dalam keluarga maupun kekerasan seksual.
Ana kini tengah hamil anak kedua mereka dan Ivano yang berusia tiga tahun tampak aktif dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Sekilas raut wajah Ivano seperti Jevano dengan lesung pipit persis milik Jae, sungguh aneh permainan Tuhan, karena sifat Ivano menurun persis Ayahnya, Dion, yang tegas.
“Ayah, hari ini kita jadi ke pantai kan?”
Suara lelaki kecil menginterupsi keheningan di dalam mobil. Dion mengangguk semangat merespon jagoan kecilnya yang sudah tak sabaran.
“Benaar, kakak hari ini sudah berbuat baik apa?” tanya Dion sang Ayah kembali.
“Aku hari ini menyiram tanaman milik Bunda, karena perut Bunda sudah besar jadi capek kasian Bunda,” celoteh Ivano dengan penuh semangat. Tangannya sibuk memainkan boneka dinosaurus besar hadiah ulangtahun ketiganya.
“Beneran gitu, Bun?”
Dion melirik Ana sekilas, sedang Ana tak hentinya tersenyum menatap kedua lelaki favoritnya.
“Iya, Ayah, Vano pintar hari ini. Dia sudah gamau digendong, tiba-tiba juga dia bangun pagi sendiri. Apa dia sadar ya kalo mau jadi kakak?”
“Kayaknya sih gitu deh,” sahut Dion menyetujui perkataan Ana.
Kini mereka tiba di pantai favorit Dion sejak dulu, namun kali ini ia tak sendiri tapi bersama keluarganya, tersenyum bahagia dan lepas bermain air.
Langit kian sore, banyak hal yang Dion sampaikan pada Ana. Termasuk pecapaian yang Ana raih sejak awal perjumpaan mereka. Banyak hal yang mengubah sosok Ana menjadi lebih dewasa terlebih dengan hadirnya Ivano dihidupnya, menjadikan semua lebih berwarna.
“An, uhuk, maaf. Kapanpun aku pergi tolong ikhlaskan batinmu,” lirih Dion disela-sela nafasnya yang menipis.
Ana terdiam membeku tak memahami apa yang suaminya maksud.
“An, terimakasih sudah menjadi warna bagi duniaku yang hampa. Terimakasih telah menghadirkan tawa dirumah yang hampa,” lanjut Dion, sedang Ana masih memandangi lamat suaminya dari samping dengan memeluk Ivano yang terlelap.
“An, ingatlah jangan pernah menyimpan sesal, luka dan duka dalam kalbumu. Karena pancaran sinar seseorang kan memudar bersamaan dengan penyakit-penyakit hati yang singgah. Lepaskan semua agar kau tenang,” tutup Dion, kemudian ia tersenyum lebar menuntun Ana dan putranya kepelukan.
Sore itu, kala matahari tenggelam menjadi saksi seorang Ana memaknai arti perpisahan yang sesungguhnya. Sore itu jadi saksi terakhir sebuah keluarga yang tumbuh dari bersama dari luka-luka yang telah terlewat, saling menyembuhkan bersama.
Karena sore-sore selanjutnya tak lagi sama, tak ada lagi senyum indah sesosok Ayah, tak ada sapaan hangat dari suara lembutnya.
Dion menjalani hari-hari berat dirumah sakit dengan puluhan selang terpasang untuk menopang hidupnya. Ana tahu sangat tahu Dion memaksakan diri hingga sekarang.
“Sayang, pergilah kan kutabur abumu bersama deburan ombak, seperti keinginanmu kala itu.”
Ana melepas Dion seseorang yang menyembuhkan batinnya dari ratusan luka yang menghujam, melepas dengan senyum terpaksa. Tangan yang sebelumnya bertaut saling menggengam kini terlepas, Dion meninggalkan mereka. Meninggalkan Ana, Ivano dan anak kedua mereka dalam kandungan.
Riuh tawamu masih terdengar, kala senja beriringan dengan hembusan angin menerpa wajah kita.
Candamu sederhana, sesederhana dedaunan yang menaungi kita tanpa pamrih.
Hari itu, semua masih terasa ringan, seringan serbuk sari yang terbang terbawa angin. Tak ada keraguan akan kisah kita. Kisah yang dilukis seolah-olah dengan tinta emas, bukan kemewahan yang kumaksud, namun terasa menawan dan menyiluakan mata.
Semua kuyakin pasti setuju, antara aku dan kamu, tercipta bak dua burung merpati yang saling mencintai dan tak terpisahkan. Walaupun asumsi mereka kini salah, benar-benar salah. Karna kami masih dua insan yang memiliki ego sebesar gunung batu; keras, tak terbantahkan.
Yang mereka lihat, kami adalah sejoli penuh tawa dan taburan gula manis disetiap sisinya. Padahal kami adalah sepasang yang saling menghujam, tidak tajam. Namun, bukankah pisau tumpul justru menyakiti lebih lama?
Di sini, hari ini, aku masih memujamu, menikmati senyum dan kalimat manis yang mengiris perlahan di kemudian hari. Aku masih menikmati semuanya, menikmati semua rasa sakit yang tertimbun perlahan. Karna kupercaya, luka-luka akan sembuh saat pisau itu patah. Aku hanya ingin menjadi tempatmu berpulang, saat dunia menghujammu dengan sejuta pisau tajam. Inilah alasanku bertahan menahan pisau tumpul yang kau toreh.
Terima kasih, masih memilihku menjadi tempatmu berpulang. Bersandar bersama, menikmati waktu saling menyembuhkan perlahan.
Hari itu untuk kesekian harinya Luke menghilang, walaupun beberapa pesan singkat masuk, namun kehadirannya tak pernah ada.
Azra menatap nanar ponselnya, bertanya pada diri sendiri mengapa mencintai bisa semenyakitkan ini. Hari-hari hanya ia habiskan didalam kamar, merenung menanti suara ketukan pintu.
Pagi ini, seperti biasa tidak ada yang spesial, selain sepucuk surat undangan tiba di alamatkan padanya. Undangan pernikahan tertulis jelas nama Luke dan Renata disampul depan. Selembar kertas yang mampu menusuk hatinya lebih dalam dari pisau. Kakinya sudah tak mampu lagi menapak, seribu tanya mengerubungi pikirannya. Mengulang jutaan kenangan mereka. Hingga tiba disebuah pertanyaan, “mengapa kau menebar harapan padaku jika itu jelas-jelas hanya semu?”
Azra masih mematung, kali ini suara ketukan pintu terdengar. Tangannya perlahan memutar kenop pintu. Sosok tinggi tegap yang ia nantikan tiba didepan pintunya dengan kaos dan muka lesu tak seperti biasa.
“Ra...”
Pria itu memanggil Azra perlahan, menjelajah mata hingga menatap sepucuk undangan yang Azra genggam.
“Ah, telat ya. Pesuruh Mama pasti sengaja ngasih kamu.”
Azra masih terdiam, mencari kembali akal sehatnya. Pikirannya kacau antara ingin memeluk lelaki ini atau mengusirnya.
Azra menarik nafas panjang, baginya sekarang yang terpenting adalah penjelasannya entah nanti bearkhir seperti apa.
“Yuk, masuk.”
Ajak Azra dengan suara bergetar berusaha terlihat setenang mungkin.
Keduanya berjalan menuju kursi makan yang ada, dengan gelas air dihadapan masing-masing. Luke masih terdiam, tangannya sibuk memutar gelas acak, sedang Azra hanya mengamati gerak geriknya. Hanya suara dentinggan jam dan hembusan nafas keduanya yang memenuhi kamar ini.
“Ra, kamu masih mau denger penjelasanku?”
Azra mengangguk, tersenyum tipis menutupi sakit hatinya.
“Ra, sama kayak yang gue bilang terakhir kali, gue dijodohin. Gabisa nolak, pernikahan bisnis. Seminggu gue pergi dari rumah, Ra. Mencoba segala hal supaya kamu diterima, tapi lagi-lagi gagal. Kata mereka, cinta gak akan ngasih kamu uang, apalagi keuntungan bisnis. Ra, maaf gatau harus maaf berapakali biar kamu maafin aku. Maaf harusnya kamu dapat laki-laki yang lebih baik dari aku. Ra, maaf membuatmu terluka, maaf.”
Luke menarik nafasnya panjang, kalimat penjelasan yang susah payah ia ungkapkan dalam sekali tarikan nafas.
Azra terdiam, airmatanya jatuh perlahan.
“Luke, jangan pernah kembali tolong.”
Azra sudah tak tahan menahan airmatanya. Pertahananya runtuh sudah. Luke bangkit dan memeluk Azra, mendekapnya erat. Azra hanya menatap kosong tanpa berusaha melepaskan pelukan yang Luke beri.
“Maaf ... maaf ... maaaf ... maaf ... maaf.”
Puluhan kata maaf terlontar dari mulut Luke. Sedangkan Azra akhirnya membalas pelukan Luke erat, mengikhlaskan seluruh rasa yang tersisa.
“Can we kiss one last time, Ra?”
Azra mengangguk lemah, airmatanya diusap perlahan dengan jemari Luke.
Luke menangkup pipi Azra, mengecup bibirnya perlahan. Azra mengikuti setiap pergerakan Luke, tangannya sudah mengalun dileher Luke memperdalam tautan mereka.
Ciuman yang mengisyaratkan perpisah ini perlahan berubah menjadi ciuman penuh gairah yang menggebu-gebu. Tangan Luke sudah meraba punggung Azra dari balik kaosnya, melepas kaitan bra yang Azra kenakan. Payudara sintal Azra memantul seiring dengan terlepasnya kaitan bra, kini tangan Luke mulai meraba dan menekan puting Azra.
Azra semakin membusungkan dadanya, menikmati sentuhan yang ada. Melihat Azra menunjukkan persetujuan kini Luke perlahan melepas kaos yang dikenakan Azra, membiarkan tergantung dileher jenjangnya. Ia kemudian melepas tautan mereka, menjelajah ke sekitar leher hingga dada membuat banyak kissmark. Azra hanya pasrah dengan meremas rambut Luke.
Kedua manik itu saling memandang, seolah berbicara dalam keheningan. Keduanya terdiam hingga tiba-tiba Luke mangangkat tubuh Azra ke atas meja makan, menidurkannya diatas meja kemudian menyingkap rok yang Azra pakai. Dalam sekali sentak ia melepaskan celana dalam Azra melemparkan secara acak menampilkan kemaluan bersih dan gemuk milik Azra.
Azra malu berusaha mengalihkan pandangannya, sedang Luke memandang nafsu vagina Azra yang sudah sedikit basah. Tangannya liar mengelus klitoris Azra kemudian ditusukkan kedalam vagina Azra membuat si empunya keglinjangan.
'Aaahhhhhh....'
Desahan Azra muncul seiring hentakan dua jari Luke yang masuk keluar dari lubangnya yang lapar. Tangannya meremas dadanya sendiri. Tangan Luke kini berganti meremas dada Azra, lidahnya ganti mengoyak vagina Azra perlahan. Kepala Luke semakin ditekan untuk memperdalam jilatan, pikiran Azra sekarang penuh dengan nafsu. Biarlah ini menjadi momen terakhir mereka yang dikenang dalam benak mereka.
“Aaahhhhhh... Luke... mari sudahi ... ini.”
Rancau Azra tak tahan ingin segera mengakhiri. Luke mengangkat kapalanya, menatap Azra.
“Ra, kalo lo gamau lanjut mending gausa, daripada sakit.”
Azra menggeleng keras, baginya sudah terlanjur maka dilanjut saja. Melihat persetujuan Azra, Luke segera melepas celananya. Penisnya sudah mengacung dengan cum yang keluar dari ujungnya. Digesekkan perlahan didepan lubang Azra, membuat Azra kelinjangan hingga meremas dadanya sendiri.
'Jleeeb' “ARRRGGH.....”
Dalam sekali sentak penis Luke sudah masuk kedalam lubang vagina Azra. Teriakan kesakitan Azra menginterupai mereka, kuku cantik Azra patah mencengkram meja. Luke terdiam memandangi Azra yang sedang kesakitan, diraupnya bibir Azra berusaha mengalihkan rasa sakit di inti tubuhnya. Saat dirasa vagina Azra sudah terbiasa dan mulai menyempitkan otot-ototnya, Luke mulai menggerakkan pinggulnya keluar masuk perlahan, masih dengan ciuman panas mereka ditambah dengan remasan di dada dan puting Azra.
“Ra, aarhhhhh... kalo gue cepetin gaapa yaaaahhh?”
Azra mengangguk, dipercepat tempo Luke memompa lubang Azra tanpa ampun, kaki Azra yang sebelumnya mengangkang kini beralih melingkari pinggul Luke membuatnya semakin dalam menusukkan penis.
Lidah Luke beralih menjilat puting dan mengemutnya seperti bayi kehausan. Tanpa ampun. Azra mendesah dan merancau penuh nikmat.
“Luuuukkk .... aku mau keluaar ...”
“Tunggu, Ra. Gue lepas dulu, keluar barengan ya.”
Luke mempercepat tempo keluar masuk penisnya, menyodok tanpa ampun. Azra menggeleng lemah.
“Keluar di dalem ajaaah... gaapa terakhir.
Luke awalnya sedikit terkejut, namun ia semakin cepat memompa lubang Azra. Penisnya semakin membesar dan vagina Azra yang semakin mengetat, dalam hentakan ketiga ia melepas cairan spermanya dalam rahim Azra meluber hingga keluar lubang dan membasahi meja dan rok Azra.
Luke terengah-engah, menahan tubuhnya dengan tangan agar tak menimpa Azra. Dilepasnya penis dari lubang Azra, menimbulkan desisan keduanya.
Luke jatuh terduduk, sedangkan Azra masih terlentang diatas meja dengan kaki menggantung. Beberapa saat mengambil nafas. Azra bangkit dari tidurnya, duduk diatas meja menatap Luke yang memandanginya dari bawah.
“Luke, anggap ini salam perpisahan. Lupakan kita, lupakan kita pernah ada. Biar kurawat sendiri luka dalam hati ini, selamat atas pernikahanmu, Sahabat.”
Azra manutup kalimatnya dengan senyuman, menekankan kata 'sahabat' diakhir ucapan, memepertegas hubungan mereka.
“Jangan jadi asing, Ra. Bagaimana bisa?”
Luke menatap nanar Azra, cintanya yang pupus.
“Harusnya pertanyaan itu untukmu, bukan aku, Luke. Pergilah, jangan kemari.”
Azra mengenakan kembali bajunya, turun dari duduknya membantu Luke bangkit. Tubuh Luke lunglai tanpa tenaga, jiwanya melayang, hatinya hancur bersama dengan ucapan Azra.
Kini ia sudah berdiri usai merapikan pakaiannya. Namun, ia masih mematung dihadapan Azra, tak ingin pergi. Azra menatap nyalang Luke, marah, memintanya segera meninggalkan ruangan ini.
“Pintunya disana, silahkan pergi.”
Tunjuk Azra kearah pintu. Luke memandangi Azra berat, tak ada salam perpisahan tak ada pelukan hangat hari ini. Semua sudah usai. Ia berat membalikkan badan, melangkah perlahan menuju pintu sebelum akhirnya ia memutar kenop.
“Ra, terakhir izinkan kuucap maaf.”
Azra terdiam mendorong kecil tubuh Luke hingga keluar ruangan.
“Terlambat, harusnya kau ucapkan dari awal.”
Pintu itu tertutup, bersamaan dengan kisah mereka yang usai. Tak ada lagi kisah keduanya. Luke pergi meninggalkan kos Azra. Sedang Azra jatuh terduduk, menatap nanar pintu kamar kosnya.
Pintu itu kembali terdengar ketukan ditengah-tengah lamunan Azra. Perlahan ia memutar kenop pintu, takut-takut bila yang tiba adalah Luke.
Sosok tinggi dengan muka kalut menatap Azra.
“Ana hamil dan gue dengan bodohnya ninggalin dia, Ra.”
Kalimat pertama yang terucap lelaki itu. Dua manik mata itu bertemu, sama-sama mengisyaratkan kesedihan.
“Jev, kalo lo mau kehilangan dia semakin jauh, diam dan ratapi saja semua. Kalo enggak, kejar dia sekarang, sebelum terlambat.”
Jevano memandang lamat Azra, benar apa yang ia ucapkan. Namun, Jevano menyadari keanehan dari Azra.
“Ra, lu kenapa?”
Azra terdiam, menatap nanar Jevano. Sedang Jevano menatap sepucuk surat undangan yang Azra pegang. Menyadari hal tersebut, Jevano berbalik arah ia berlari segera pergi. Meninggalkan Azra dengan sejuta pertanyaan.
Jevano memarkirkan asal motornya, ia tiba disalah satu basecamp tempat ia dan teman-temannya berkumpul. Segera ia berlari membuka keras pintu. Didalam ruangan terdapat 4 lelaki yang sednag duduk, termasuk Luke didalamnya, lelaki yang sedang Jevano kejar.
“BRENGSEK!”
Jevano tiba-tiba melayangkan tinjunya ke rahang Luke, menahan kerahnya menatapnya nyalang.
Luke meludahkan darah dari mulutnya, tersenyum miris.
“Kenapa?”
Luke masih menatap dengan mata sayunya, bertanya terpatah-patah. Ketiga orang yang disana terdiam menatap kedua orang yang saling menatap penuh emosi.
“LO APAIN AZRA BRENGSEK?!”
Luke tersenyum miring, menertawakan semuanya.
“Jev, sebelum lo ngatain gue, coba lo tanya diri lo sendiri siapa yang buang Ana karena dia hamil? LO MAU BUANG DIA HABIS LO MAININ?! INGET KITA SAMA-SAMA BRENGSEK! ANA SEPUPU GUE DAN LO MAININ DIA SEOLAH DIA SAMPAH ANJING!”
BRUUUK!!
Kini giliran Luke memukul rahang Jevano keras. Kini mereka sama-sama jatuh tersungkur. Jevano menutup matanya, menangisi kebodohannya.
“Jev, setidaknya sebelum terlambat, pergilah ke Ana. Tanggungjawablah. Gue gatau harus gimana, karena gue gatau hidup gue gimana, tolong jaga Azra juga, Jev. Gue yakin lo bisa, cuma lo. Gue yakin, jangan sakitin dia kek lo nyakitin Ana.”
Luke bangkit dari tidurnya, berjalan terhuyun menuju keluar ruangan. Satu lelaki mengikuti nya dari belakang, hingga satu suara menginterupsi.
“San, udah gausa disusul biarin.”
“Tapi gimana?”
Lelaki itu, Ekhsan menatap bingung semua.
Suara itu kembali menginterupsi, “Jev, Azra di hw deket sini. Mending lo susul dia sebelum dia jadi jajanan anak klub sebelah.”
Jevano kalut, memperjuangkan Ana atau menyelamatkan Azra, sosok yang hadir disela-sela lelahnya. Ia menutup matanya sejenak sebelum bangkit.
“Gue keluar dulu.”
Ana menatap nanar barang kecil ditangannya. Masih gemetar ketakutan karena tak percaya ini akan terjadi. Pikirannya menerawang jauh menatap kejadian yang sudah terlewat. Kebodohan demi kebodohan terlintas dalam benaknya.
'Huuft'
Ini hembusan nafas panjang kesepuluh yang sudah ia keluarkan. Berusaha sebisa mungkin menetralkan pikirannya, kali ini ia tak tahu harus berbuat apa. Tangannya bergerak mengambil ponsel didekatnya, mengetikkan beberapa pesan kedua nomor yang berbeda, Jevano dan Jae, berharap salah seorang dari mereka datang menenangkan suasana. Namun, nyatanya semua nihil.
Jae menghilang, terakhir mereka berinteraksi beberapa hari lalu saat melakukan percakapan panjang. Sedangkan Jevano, sedang sibuk dengan dunianya, kali ini ia sibuk dengan pekerjaan sampingannya menjadi kru event. Kemaren mereka bertemu hanya singkat memuaskan nafsu kemudian pergi.
Ana menatap kesal ponselnya, Jae yang tak menjawab maupun respon Jevano yang sungguh diluar harapannya. Ia berbaring mengusap perutnya lembut.
“Hai, kita hidup bersama di dunia yang anjing ini.”
Delapan tespack yang Ana gunakan semua menunjukkan tanda yang sama, dua garis, Ia positif hamil. Beberapa hari ia merasa aneh dengan tubuhnya, banyak menunjukkan tanda-tanda seperti orang hamil, benar saja saat ia dengan sengaja membeli alat pendeteksi kehamilan dan mencobanya, semua menunjukkan bahwa ada kehidupan baru diperutnya.
Tanpa sadar ia tertidur dengan damai, ia menemukan dirinya dalam mimpi sedang berada di tepi pantai, menikmati semilir angin dengan seseorang yang samar ia lihat. Damai, hidup Ana damai tak seperti sekarang yang kacau. Tanpa sadar ia tersenyum dalam tidurnya.
Beberapa saat kemudian suara langkah kaki mendekat, lelaki dengan topi hitam dan tas dipundak mendekat ke arah kamar Ana yang pintuny sedikit terbuka. Jevano duduk disisi Ana, memandang wajah Ana yang damai dalam tidurnya.
“Mimpi apa coba dia senyum segala?” Ujar Jevano lirih sembari mengusap dahi Ana.
Ana menggeliat menyamankan kembali tidurnya, tanpa sadar medekat ke tubuh Jevano.
Jevano tersenyum kecil, ia sejatinya teramat sayang dengan teman seks-nya. Namun, jangan tanya mengapa ia menentang rasa itu. Sejuta alasan akan ia jabarkan, bagi Jevano cinta adalah hal terumit.
“Gue manusia brengsek, An. Yang semena-mena bikin orang tanpa arah kek lo jadi pelampisan nafsu gue. Gue gapunya apa-apa buat ngelindungi lo, jadi baiknya lo ketemu sama orang yang bener-bener baik, bukan liat lo jadi objek fantasi seks-nya.”
Jevano lirih mengucapkan kalimat itu, tangannya masih sibuk mengusap surai hitam Ana yang menutupi wajahnya.
Jevano kini bangkit, menatap sekeliling kamar Ana yang sepi tanpa ornamen sepei layaknya wanita muda usianya. Diatas nakas samping tempat tidur, Jevano menatap kumpulan alat pendeteksi kehamilan, ragu-ragu ia mengambilnya. Tangannya gemetar memandang testpack tersebut bergantian dengan menatap Ana.
Isi kepala cerdasnya mendadak kosong, seharusnya ia amat sangat tahu ini adalah resiko terbesar dalam hubungan ambigu mereka. Ditambah kebiasaannya lalai memakai pengaman. Jevano masih membeku dalam posisinya tanpa ia sadari Ana tengah bangkit dari tidurnya, ia mendadak tegang ditengah-tengah proses peregangan tubuhnya.
“Jev...” lirih Ana.
Jevano masih membatu, lidahnya kelu, tangannya perlahan mengembalikan testpack keatas meja.
“Ini bukan anak gue kan, An? Lo tidur sama banyak orang.”
Tanpa aba-aba Jevano mengambil kembali tasnya dan berlari keluar unit. Ana yang menyadari hal tersebut kemudian turut lari mengejar Jevano, tanpa sadar ia berlari tanpa alas kaki dan jaket.
Jevano sudah jauh pergi dengan sepeda motornya, jauh dari pandangan mata Ana. Sedangkan Ana jatuh tersimpun di taman denpan blok unit apartemennya. Ia meruntuki kebodohannya, kakinya kini bangkit melangkah tanpa arah. Tatapannya kosong, langkah kakinya menuntunnya menuju jembatan layang diatas jalanan utama ibukota.
Pandangannya kosong lurus menatap kendaran yang lalu lalang. Semilir angin menyapu lembut tubuhnya menerbangkan perlahan surai hitamnya.
'Drrt'
Terdengar suara getar dari ponsel yang ia kantongi. Lamunannya buyar, diraihnya ponsel itu. Pesan singkat dari dion.
Pandangannya menjelajah kesleuruh arah, mencari keberadaan Dion. Sesosok lelaki dengan jaket hitamnya berdiri tepat disisi jembatan layang, menatapnya datar. Tangan Ana lincah membalas pesan tersebut sebelum ia kembali memasukkan ponselnya ke kantong.
Dion mengamati setiap gerak gerik Ana, menatapnya memastikan tak ada hal aneh yang akan dilakukan. Ana hanya mematung memandangi kakinya yang kotor.
Dion mendekat dengan tiba-tiba ia melepas jaketnya, mengambil salah satu cadangan sandal ditasnya. Jaketnya sudah ia sampirkan ke pundak Ana memakaikannya perlahan begitupula sandalnya.
“Gue gak tahu apa yang bikin lo kek gini, setidaknya kalo mau mati pikirin dulu udah keren apa belum?”
Ana menatap kesal Dion, dilayangkannya pukulan ke pundak lelaki tersebut.
“Lo ya, Kak. Orang lagi sedih galau bisanya dibilangi gitu.”
Dion mengangkat bahu nya tak peduli.
“Terus gue harus ngomong apa? Ngasih solusi? Orang yang dikasih solusi mau gak dengerin?”
Ana menatap singkat Dion, menjelajah manik matanya dalam. Mencoba menyelami apa yang ada dalam pikirannya.
“Ayo ikut gue.”
Tangan Ana ditarik tiba-tiba, mereka kini menyusuri jalanan bersama dalam keheningan. Ana hanya menatap punggung tegap Dion, pikirannya yang kacau membawanya ke sebuah pertanyaan.
“Bisakah ku sandarkan diriku padanya? Saat dunia seolah menekanku dengan sagala hal yang orang lain bilang mimpi dan bahagia,” batin Ana.
Dengan tiba-tiba Dion berhenti, membalikkan badannya menatap Ana.
“Lo punya untuk tempat pulang?”
Ana terdiam, ia tak tahu apakah rumahnya sekarang adalah tempat pulang.
“Oke, ku antar pulang ke apartement.”
Putus Dion sembari menggenggam tangan Ana. Sepanjang jalan mereka habiskan dalam diam, menatap lalu lalang kendaraan.
“Kak.”
“Hmm.”
“Harus ya gandengan?”
“Iya biar lo gak ilang.”
Ana tiba-tiba tersipu, nyaris tak oernah ada manusia yang bersikap lembut padanya. Orangtua yang menuntut banyak hal padanya, Jevano yang menganggap ia pemuas nafsu, bahkan Jae yang menjadikannya pelampisan atas perasaannya yang tak sampai.
Kini mereka telah tiba didepan pintu unit apartemen. Dion sedang mengamati Ana yang tengah sibuk memasukkan kode pintu.
“Ayo masuk. Temenin, biar gak gila sendiri.”
Ana menarik lengan baju Dion, membawanya masuk kedalam ruang tamunya. Dion hanya diam mengikuti setiap langkah Ana.
Kini Dion sudah duduk disofa ruang tamu, kemeja kerjanya sudah ia lepas menyisakan kaos tanpa lengan yang ia kenakan. Ana sedang sibuk mengambil sesuatu dari dapur bebarap cemilan kecil, airputih, dan sebotol vodka yang sengaja ingin ia habiskan hari ini.
Dion menatap Ana diam, tak berusaha memaksanya untuk bercerita. Sedangkan Ana sudah sibuk menuangkan minuman.
“Minum, Kak, terserah mau yang mana.”
Ana sudah menghambiskan satu gelas sloki pertanmanya.
“Jadi lo ngajakin gue minum doang?”
Ana mengangguk, tangannya sudah kembali menuangkan alkohol untuk kedua kalinya.
“Rumah lo, kosong, kek lo.”
Ujar Dion setelah pandangannya memutar memandang suasana rumah, ia kini tengah menghabiskan juga segelas alkohol ditangannya dalam sekali teguk.
“Apa yang lo harapin dari rumah keluarga yang aneh? Mereka sibuk kerja, pulang nanyain uang dari kakek nenek, atau gak nanyain jadi dikasih jabatan apa diperusahaan, parahnya nanyain ipk padahal tau anaknya kuliah jurusan apa juga enggak.”
Tanpa sadar Ana mulai bercerita tentang kehidupannya, Dion menikmati cerita Ana sembari memakan cemilan yang ada.
“Kak, kenapa sih lo gini amat?”
Tanya Ana sebelum ia kembali menuangkan alkohol untuknya.
“Gini amat gimana maksud lo? Datar?”
Jawab Dion santai dengan mulut yang sibuk mengunyah.
“Iya, bisanya kek gitu.”
Ana meletakkan kembali gelasnya, kini ia merebut cemilan ditangan Dion.
“Karena gue milih jalan hidup yang gue anggap paling mudah, sudah banyak yang harus ditanggung jadi ya gausa nambah lagi.”
Jawabnya singkat sebelum ia menghabiskan segelas alkohol kembali.
“Terus lo gapunya cewe sekarang? Temen SMA yang lo bilang bukan cewe lo, Kak?”
Dion menggeleng, ia kembali menyesap segelas alkohol ditangannya.
“Bukan, cuma kebetulan ketemu lagi sama-sama high, yaudah selesai seks ya selesai.”
Ana mengangguk. Baginya mengobrol dengan Dion mengalihkan sedikit pikirannya tentang yang terjadi padanya hari ini.
“An, gue gatau apa yang lo pikirin sampe tadi ketemu gue dalam keadaan kek gitu. Tapi, gue gak akan maksa lo buat cerita.”
Dion menyesap kembali alkoholnya, entah gelas keberapa. Sedangkan Ana sudah dalam keadaan setengah mabuk.
“Kak, hidup memang bajingan.”
Rancau Ana disetengah kesadarannya.
“Iya, memang.”
Ana kembali akan menuang alkohol dari botol sebelum Dion mengambilnya dan menghabiskannya.
“Boleh minta peluk?”
Ana menatap sendu Dion dalam setengah kesadarannya yang ia harapkan kini pelukan untuk meringankan bebannya. Dion merentangkan kedua tangannya, membawa Ana dalam peluknya.
Disandarkan kepala Ana pada pundak Dion, menyamankan dirinya pada pelukan hangat tubuh Dion. Tangan Dion kini mulai lembut mengusap surai hitam Ana, menenangkannya. Beberapa kali pula Dion mengecup puncak kepala Ana, mencurahkan rasa sayangnya.
Secara tiba-tiba Ana menindih tubuh Dion, duduk diatas perutnya.
“Kak, sekali aja seks bareng gue. Gue mau ngasih tahu betapa gue cinta ke lo, Kak.”
Ana mengucapkan kalimat tersebut terpatah-patah dalam keadaan setengah sadar. Sedang Dion yang ada dibawahnya hanya tersenyum kecil.
Ana mulai mengecup perlahan bibir Dion, menyapu bibirnya dengan lidahnya yang lincah. Bibir mereka saling bertaut, menghisap bergantian. Lidah Dion yang sudah masuk kedalam mulut Ana kini mengabsen satu-persatu barisan gigi. Ciuman panas mereka semakin menggebu kala Dion menekan kepala Ana dan satu tangannya meraba bokong sintalnya.
Ciuman mereka terlepas, terengah-engah meraup udara sebanyak-banyaknya.
Secara tiba-tiba Dion bangkit dan menggendong Ana seperti koala. Refleks Ana mengalungkan tangannya ke leher Dion. Mereka menuju kearah kamar tidur Ana. Ana kembali melanjutkan ciuman panas mereka yang terpotong, baginya ia seperti menemukan candu baru.
Dion membaringkan Ana perlahan, melapaskan tautan mereka. Ia melepaskan celana panjangnya yang ia rasa mengganggu. Juga ia mengambil bantal untuk Ana supaya nyaman.
Mereka saling memandang, posisi Dion mengukung Ana dengan kaki Ana yang mengangkang. Dada mereka sama-sama naik turun, meraup udara sebanyak mungkin. Tanpa aba-aba Dion kembali meraup bibir Ana ganas, tangan satunya ia gunakan untuk menumpu tubuhnya dan satu lagi sudah meraba inti tubuh Ana. Jari-jarinya sudah mengocok klitoris dan lubang Ana.
Ana hanya mampu menggeliat, bibirnya tertahan untuk mendesah. Tangannya sudah acak meremas kaos Dion.
Kini Dion beralih ke leher Ana, mengecupnya perlahan meninggalkan beberapa bekas kemerahan.
“Aaahhh ...fuck! Berhentilah main-main .... tusuk lubangnya cepat aaahhhhh..”
Ana merancau kesal karena sedaritadi Dion hanya bermain-main dengan leher dan lubangnya. Namun, Dion tidak menggubrisnya kini ia malah sibuk menyingkap kaos Ana dan memainkan dada sintalnya.
Dihisap, kulum, dan gigit perlahan puting Ana membuat Ana gelinjangan. Lubang vagina Ana tak hentinya menghisap jari tengah Dion yang keluar masuk. Ana semakin mengangkat pinggulnya berharap Dion sesegera mungkin menusuk lubangnya.
“Ahahahhaha dasar gak sabaran!”
Dion melepas jari-jarinya, dijilati perlahan jarinya yang penuh cairan Ana. Setelahnya ia melepas celana Ana memposisikan pahanya terbuka lebar. Terlihat jelas lubang Ana yang lapar, berusaha mencari penis milik Dion.
Kini Dion turut melepas celananya penisnya sudah mengacung dengan cum yang keluar sedikit. Diarahakan kepala penisnya didepan lubang Ana, hanya ia gesek gesekkan membuat Ana kesel.
“BRENGSEEK! AAAARGH BERHENTI MAIN-MA— AAaarrgghhh...”
Ana mencengkram sprei kuat, ditengah tengah teriakan kesalnya Dion memasukkan penis besarnya dalam sekali sentak.
Dion menatap Ana diam, memastikan An tidak kesakitan. Dikecupnya dahi Ana perlahan dan diusahnya peluh yang menempel.
“Kalo udah siap bilang ya.”
Dion mendadak lembut, tangannya meremas dada Ana berusaha mengalihkan rasa sakit Ana. Lidahnya juga mulai menyapu leher Ana hingga dadanya.
Ana yang menikmati setiap perlakuan Dion hanya bisa pasrah meremas rambutnya.
“Kak.. tusuk pelan-pelan tapi.”
Lubang vagina Ana sudah siap karena tak ingin menyakiti bayi yang ada diperutnya, ia memilih untuk bergerak perlahan. Dion mengangguk, mengikuti permintaan Ana.
Digerakannya perlahan keluar masuk, Dion dan Ana sama-sama meringis merasakan sensasi kenikmatan. Kaki Ana kini mengalung dipinggang Dion, memperdalam tusukannya.
“Aaaahhhh.... iyaaa disituuu pelan pelaaan ...”
Dion menikmati setiap desahan Ana tanpa berusaha menyakiti Ana. Ritme tusukannya perlahan ia naikkan, memastikan Ana tetap baik-baik saja.
“An, kalo sakit bilang aaahhh..”
Penis Dion tiba-tiba diremas dinding vagina Ana. Ana mengangguk, meremas punggung Dion melampiaskan kenikmatan.
“Lebih cepaaat .... mauuu keluaarrrr..”
Pecapaiannya Ana sudah dekat, ia ingin sesegera mungkin Dion menuntaskan permainan. Dipercepat tusukannya ditambah dengan ciuman panas antar keduanya. Lidahnya saling bertaut, vagina Ana semakin juga terlihat lapar meraup penis Dion.
“An, sebentaar lagi... tahan yaa ..”
Dion mempercepat tusukkannya. Penisnya sudah sangat membesar siap melepaskan cairan spermanya. Dalam hentakan kelima Dion merusaha melepas penisnya sebelum Ana menahannya.
“Keluarin didalem aja ...”
Dengan persetujuan Ana, Dion melepaskan spermanya didalam rahim Ana. Cairan keduanya merembes keluar liang vagina Ana membasahi sprei. Dion menahan tubuhnya yang hampir terjatuh diatas Ana, sebelum ia berguling disamping Ana. Dipeluknya Ana erat dan diciuminya puncak kepala Ana.
“Terimakasih sudah percaya, An.”
Bisik Dion ditelinga Ana. Ana mengangguk, bergelung dalam pelukan hangat Dion.
“Kak, aku hamil.”
Ucap Ana lirih, ia menenggelamkan pandangannya dalam dada Dion.
Dion berhenti sejenak, kembali mengusap surai hitam Ana.
“Lalu?”
“Jevano pergi bilang kalo gue tidur sama banyak orang gak mungkin ini anaknya. Kak Jae menghilang. Gue gatau harus gimana, apa lebih baik mati?”
Ana menitikkan airmata. Akhirnya ia berani melepaskan beban yang menggantung di dadanya. Dion mengangkat dagu Ana pandangannya kini bertemu.
“Hush, masih ada aku, An. Sudahi hubungan rumitmu, mari memulai kisah baru bersamaku, bersamanya.”
Dihapusnya airmata disudut mata Ana perlahan, Ana masih tak percaya apa yang didengarnya. Seseorang baru hadir memberikan warna baru dihidupnya. Dion tersenyum hangat, sebelum ia kembali memeluk Ana erat.
Pertemuan mereka mungkin bukan kisah yang baik, namun Dion yakin, Ana manusia yang baik. Menyelamatkan manusia yang tersesat adalah kebahagiaan baginya, terlebih jika itu Ana. Seseorang yang kini memenuhi hati dan pikirannya.
Disisi lain Jevano,
Jevano mengemudikan motornya cepat, ia tak tahu sebenarnya harus kemana. Hingga tiba didepan gerbang rumah kos. Berjalan masuk dengan pandangan kosong. Diketuknya perlahan salah satu pintu sejenak terbuka pintu tersebut dan menampilkan sesosok wanita.
“Ana hamil dan gue dengan bodohnya ninggalin dia, Ra.”
Dua manik itu bertemu sama-sama mengisyaratkan kesedihan.
Disisi lain Jae,
Jae sudah tiba di Bali pagi ini. Berusaha lari dari kenyataan pahit yang ia terima. Ponselnya sengaja ia matikan, melupakan sejenak kehidupan yang memuakkan.
Sejak siang dia sudah berada di club house, menikmati alkohol yang entah sudah berapa botol ia habiskan.
“Jae, ternyata disini.”
Ucap salah satu wanita sembari duduk dikursi sebelahnya. Jae samar-samar mengenalinya pandangannya mulai kabur karena mabuk.
“Renata, buat apa kamu kesini?”
Wanita itu hanya tersenyum tipis, mengangkat gelas ditangannya.
“Minum dan mengenang kenangan kita.”