Amara.

Happy ending

Jo semakin larut dalam rasa bersalah, Jae yang tiba-tiba mengiriminya pesan singkat mengenai keberadaan Vanya membuatnya larut dalam kebimbangan. Egonya yang tinggi menuntunnya untuk membenci Vanya, namun ia juga merasa bahwa semua juga kesalahannya.

Sejak awal ia lah yang meminta dimengerti, meminta juga untuk selalu dimaklumi oleh Vanya. Tanpa sadar yang ia melukai oranglain demi kemapanan yang ia maksud. Hari ini semakin memburuk dengan ia yang tersulut emosi. Melukai harga diri Vanya, melukai kepercayaannya juga.

Kini ia duduk termenung dikamarnya, menatap jendela yang lurus menghadap jalanan ibukota. Ramai, namun ia merasa sepi. Hatinya menghilang bersama larinya Vanya sore tadi. Ia masih tak mengerti apa yang harus dilakukan, sejujurnya ia ingin segera pergi menjemput Vanya namun meluruhkan keras kepalanya sungguh sulit.

Layar ponselnya kembali berkedip, notifikasi pesan singkat kembali masuk.

Screenshot-20210608-164050-Me-Mi-Notify

“BRENGSEK!”

Matanya membelalak segera mungkin ia bangkit dari duduknya dan berlari menuju keluar rumah. Raut mukanya panik yang ia pikirkan sekarang hanya keadaan Vanya.


Dengan gegabah ia turun dari mobilnya. Berlari menuju unit apartement milik Vanya. Tengah malam yang sunyi membuatnya leluasa berlari hingga tiba didepan pintu unit. Tangannya cekatan memasukkan kode kunci dan dengan terburu masuk.

Ditemuinya Jae yang duduk di sofa dengan tangan bersedekap.

“Gimana? Capek?”

Jae memandang Jo marah. Tangannya sedari tadi sudah mengepal.

“Lo ngapain disini masihan?”

Jo berteriak menarik kerah baju Jae. Dengan cepat kepalan tangan Jae sudah melayang ke pipi kanan Jo.

“BRENGSEK! Coba lihat Vanya sekarang?! Kalo definisi bahagia lo bikin Vanya kek gini mending lo gue bunuh Jo, ngelepas Vanya buat lo adalah kebodohan.”

Jae menatap nyalang mata Jo. Tersirat jelas kekecewaan yang mendalam.

Jo melepas cengkramannya dan berlari kearah kamar Vanya. Dibukanya perlahan pintu kamar tersebut berusaha tidak membuat suara. Vanya tertidur dalam keadaan resah. Badannya basah kuyup penuh keringat, suhu tubuhnya tinggi.

Jo mendekat mengusap keringat yang mengucur perlahan. Ia juga perlahan berbaring disamping Vanya, menatap kekasihnya sendu. Dibawanya tubuh ringkih Vanya dalam dekapan.

“Van, maafin gue. Maaf kalo selalu minta dimengerti tanpa mengerti. Maaf aku terlalu bodoh menjadi manusia.” Bisik Jo perlahan.

Tangannya mengusap surai hitam Vanya perlahan.

“Jo..”

Vanya mengerjap perlahan. Tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak.

“Hus hus tidur aja sayang ..”

Jo menahan kepala Vanya untuk kembali berbaring. Diusapnya perlahan hingga dirasa nyaman.

“Jo kamu jahat.”

Vanya berbisik, perlahan airmatanya turun.

“Iya, aku jahat Van, banget. Ke kamu apalagi. Dunia ku menggelap tanpamu, Van. Tolong maafin aku.”

Jo memeluk Vanya erat, namun tiba-tiba Vanya melepasnya. Vanya berusaha untuk duduk, Jo membantunya menegakkan punggungnya.

Kini Jo duduk bersimpuh dihadapan Vanya. Sedari tadi Vanya hanya terdiam meneteskan airmata, tanpa suara. Tanpa sadar Jo turut meneteskan airmata.

Vanya memeluk Jo erat. Melepaskan tangisnya yang sedaritadi tertahan.

“Jo, ayo menikah.”

Vanya mengatakannya dalam sekali nafas. Menyudahi pertengkaran pikirannya.

Jo mendongak, ia memastikan kembali apa yang Vanya katakan.

“Tapi nanti saat kita menikah, ijinkan aku ngejar mimpiku lagi ya, Jo. Mimpi yang hilang selama aku nungguin kamu, boleh?”

Vanya menatap dalam Jo, tatapannya tulus meminta. Jo mengangguk semangat menyetujui permintaan Vanya. Mereka kini saling berpelukan erat, melepas perasaan berat masing-masing.

Jo kini meraup lembut bibir Vanya, meluapkan rasa rindunya yang mendalam. Tangan Vanya sudah mengalung dileher Jo, merapatkan ciuman mereka. Tangan Jo mulai meraba punggung Vanya lembut dari balik kaosnya.

Vanya melepas pangutan mereka, meraup udara sebanyak-banyaknya.

“Jo, bukannya ada Jae diluar.”

Jo menengok kearah pintu, memastikan bahwa Jae sudah pergi.

“Dia sudah pergi, Van. Pulang kali, besok dia tugas ke Bali. Van, maaf ya tadi aku kasar. Maaf bikin kamu gak nyaman, maaf.”

Jo menelusupkan kepalanya diantara perpotongan leher Vanya. Berusaha melepaskan rasa bersalahnya sore tadi.

“Its okay, Jo. Jangan lagi ya? Nanti kalo nikah kamu gitu aku minggat beneran.” Goda Vanya sembari mengusap surai hitam Jo.

Diam-diam Jo mengecup perpotongan leher Vanya. Lidahnya menjelajah keseluruh perpotongan Vanya. Tangannya menelusup mengusap punggung Vanya lembut.

Vanya menggigit bibirnya, menahan desahannya keluar. Tangannya sudah sibuk meremas rambut Jo.

Kini Jo menggigit leher Vanya, meninggalkan banyak bekas kissmark. Tangan juga mulai meremas perlahan dada Vanya, memelintir putingnya.

'Aaaahhhhh...'

Desahan Vanya lolos dari bibirnya. Ia menikmati setiap sentuhan yang Jo berikan. Dadanya kini juga sudah dihisap dan diremas.

Jo bangkit beralih posisi, berpindah ke belakang Vanya. Sedangkan Vanya terdiam menetralkan nafasnya. Jo tiba-tiba melepaskan kaos yang Vanya kenakan, begitu pula celananya.

Kini Vanya sudah telanjang bulat, dada sintalnya sudah terpampang jelas. Jo tersenyum nakal menatap tubuh Vanya, sedangkan pemilik tubuh tersipu malu. Begitupula Jo turut melepas pakaiannya, menyisahkan celana boxer yang menutupi kejantanannya.

“Van, ada kaca tuh gamau nyoba sesuatu?”

Vanya hanya mengangguk, mengikuti apapun yang Jo minta.

Jo dengan semangat duduk dibelakang Vanya, memeluknya dari belakang menghadapkan mereka di depan kaca besar disudut ruangan. Tangannya sudah meremas dada Vanya sedang satu tangannya sudah meraba area vaginanya. Telunjuknya mengusap klitorisnya lembut, jari tengahnya mengocok lubang vagina Vanya.

“Van, lihat kamu cantik banget kalo gini, salah, makin cantik. Lihat lubangmu lapar minta diisi.”

Jo berbisik ditelinga Vanya sembari menjilatinya. Vanya mengangguk serta menggelinjang menatap dirinya sendiri dari kaca. Jo semakin ganas mengocok lubang Vanya, ditusuk perlahan dan dimainkan. Begitupula dengan putingnya yang dipilin dan ditariknya gemas.

“Aaahhh Joo.. tusuk pake punyamuuuu... itu sudah berdirii...”

Vanya menggeliat tak tahan, belahan pantatnya menghimpit penis Jo yang membesar.

Jo masih melanjutkan kegiatannya mengocok lubang Vanya cepat. Vanya menggeliat tanpa ampun tangannya kini sibuk meremas sprei dibawahnya.

“Aaah aaahhh... Joo ayolaaaahhhhh.”

Vanya sudah lemas, tangan Jo sudah basah dengan cairan cinta yang ia keluarkan. Jo merubah posisi Vanya menjadi menungging, kemudian melepaskan boxernya menampilkan kejantanannya yang mengacung.

“Van, gue boleh masuk?”

Jo meminta persetujuan Vanya. Vanya kini menungging dengan siku menjadi tumpuan tubuhnya. Lubangnya kini berusaha ditusuk Jo perlahan. Walaupun sudah berulang kali, namun selalu sakit diawal.

'Aaargggh'

Penis Jo sudah masuk sempurna didiamkannya sejenak untuk menyesuaikan. Vanya mengangguk memandangi tubuhnya yang sedang ditunggangi. Perlahan penis Jo dikeluar masukkan, menghujam g-spotnya.

Vanya sebenarnya malu memandang tubuhnya dari kaca namun setiap kali ia menunduk, Jo selalu menarik rambutnya supaya kembali mendongak menatap adegan bersetubuh mereka.

“Aaahhhh ... Jo lebih keraaaassss... mau keluaaarrr aaahhhh...”

Vanya mencengkram kuat sprei dibawahnya hingga kusut. Hujaman yang Jo berikan dalam lubangnya sungguh nikmat, ia sudah tak tahan untuk melepaskan cairannya.

“Vaaan... sebentaarrrr.”

Jo semakin cepat mendorong keluar masuk penisnya. Ia memegang pinggang Vanya untuk mempermudahnya menusuk lubang vagina Vanya.

Dalam hentakan ketiga Jo menahan pinggang Vanya, melepaskan cairannya dalam rahimnya. Hangat dan meluber keluar. Vanya yang nyaris ambruk ditahan oleh Jo dengan tangannya. Dilepasnya tautan keduanya, kini kembali ambruk bersama.

Jo menciumi punggung Vanya mengucapkan jutaan kalimat cinta. Vanya hanya mampu tersenyum dan terlelap perlahan. Kini usai sudah kisah rumit mereka, sudah saatnya bersama menyambut saat yang baru bersama sesorang yang dicintanya.


Disisi lain malam itu,

Jae melangkah gontai dari apartement Vanya. Menatap miris nasib dirinya yang tidak jelas. Terlibat cinta rumit dengan Ana dan ditolak oleh Vanya. Sungguh malang ia.

Berulang kali ia menarik nafas berat, melirik layar ponselnya. Tertera satu pesan singkat.

Screenshot-20210608-214648-Me-Mi-Notify

Titik Temu.

  • Long Convo with Jevano.

Ana berjumpa dengan Jevano dalam pertemuan tanpa sengaja. Kala itu Azra, sahabat Ana, mengajaknya ke sebuah kafe untuk menemui sahabatnya, Luke. Luke kala itu datang bersama beberapa kawannya salah satunya Jevano.

Jevano menatap Ana lamat, mereka duduk menepi dari keramaian sama-sama menyesap matcha latte ditangan. Tak ada percakapan, selain pandangan saling tatap keduanya.

“Kalo lo ngerasa risih gue disini mending pergi.”

Putus Ana menyudahi kekosongan antara mereka. Jevano tersenyum, meletakkan gelasnya.

“Hahahaha, menarik juga lo. Lo jomblo kan?”

Ana menatap Jevano aneh, risih dengan pertanyaan tiba-tiba.

“Apaaan sih?! Aneh.”

Ana bangkit dari duduknya, pergi keluar kafe. Kini ia menyusuri jalanan, seorang diri. Kali ini ia tak bisa pulang, rumahnya kembali diterpa badai, orangtuanya lagi-lagi bertengkar hebat. Tak punya tempat berpulang ia hanya mampu menghabiskan waktu ditengah taman dengan rokok ditangan.

“Kek bocah patah hati aja kelakuan lo.”

Sebuah suara menginterupsi Ana memutar tubuhnya mencari sumber suara dan menemukan sosok Jevano tersenyum.

“Lo kenapa sih ngikutin gue?”

Ana membuang putung rokoknya, menatap wajah Jevano.

“Gue nyari temen aja.”

“Yaudah sono tuh banyak.”

Usir Ana mendorong pelan tubuh Jevano.

“Gamau, lo aja. Temenin gue mabok.”

Ana menatap Jevano aneh, tiba-tiba saja.

“Berhubung gue pening, okedah gue ikut.”

Tanpa sadar hal tersebut berjalan tiga bulan yang lalu, awal mula hubungan aneh ini.

“Jev, gaboleh ada perasaan, kan?”

Tanya Ana kala mereka tidur bersama setelah malam panas yang panjang.

“Yap.”

Jawab Jevano singkat sembari memeluk Ana dari samping.

“Tapi kalo gue suka sama lo gimana?”

Ana menatap wajah Jevano yang terlelap.

“Ya gue gabisa bales, An.”

“Kenapa?”

Ana membalik tubuhnya, menghadap Jevano.

“Cinta tuh rumit, An. Gue benci hal rumit.”

Jevano menjawab singkat dengan mata tertutup, lelah.

“Tapi lo bisa bisa ngelakuin ini ke gue? Bercinta maksudnya, nge-seks.”

Jevano tiba-tiba membuka matanya, menyelami kedua manik mata Ana.

“Manusia bisa bercinta tanpa cinta, tapi enggak akan bisa bercinta tanpa nafsu, An. Ya gue nafsunya sama lo.”

Tangan Ana sudah melayang dikepala Jevano, memukulnya pelan.

“Brengsek lo!”

“Emang gue brengsek, An. Kalo gak brengsek buat apa lo gue tiduri.”

Ana terdiam.

“Tapi, Jev. Gimana kalo gue suka Kak Jae?”

Ana bertanya takut-takut, Jevano bak malaikat pelindungnya. Menolong ia kala itu, membantunya melampiaskan kekesalannya pada dunia.

“Ya lo gaboleh sama dia.”

Ana mengernyit, mencari alasan dibalik pernyataan Jevano.

“Kenapa?”

“Ya gaboleh, pokok.”

Putus Jevano final.

“Terus ngapain kemarin lo ajak dia main bareng?”

“Gak apa, fantasi sex. Bukannya lo juga seneng main bertiga?”

Ana terenyuh, hatinya seperti diterkam.

“Brengsek!”

Jevano mengecup bibir Ana sekilas.

“Tapi gue gabisa lepasin lo begitu aja, An. Walaupun itu ke dia. Lo punya gue, siapapun yang ngerebut lo gue ajak ribut. Bahkan jika itu ortu lo yang anjing.”

Jevano tegas menatap Ana. Ada makna tersembunyi dari ucapannya. Ia lebih dari sekedar serius.

Ana bimbang. Jevano lah alasan Ana bertahan hidup, Jevano juga yang menolong Ana, menariknya saat kedua orangtuanya nyaris membunuhnya dua malam setelah pertemuan pertama mereka. Namun, Jevano juga lah alasan Ana menjadi sekarang, sosok yang haus akan seks.

Titik Temu.

  • Deep Talk with Jae.

Siang ini Ana duduk ditepi sofa menikmati tayangan televisi yang ia nyalakan secara acak. Hari libur tanpa kegiatan ia habiskan di rumah Jae sejak orangtuanya berada di rumah.

Ana memandang Jae yang duduk disampingnya sedang sibuk menatap layar ponsel. Entah apa yang dilakukan di hari libur begini.

“Kak, aku mau tanya.”

Jae menatap Ana sekilas sebelum kembali mantap layar poselnya.

“Apa?” Ucapnya singkat.

Ana menegakkan duduknya, menatap Jae lebih dekat.

“Gue denger yang lo omongin kemarin malem sama yang dimobil juga,” ucap Ana berbisik, takut.

“Apa? Cinta?”

Jae meletakkkan ponselnya bersedekap menatap Ana tegas.

“An, jangan jatuh cinta sama gue.”

Ana terdiam membeku. Kalimat Jae seakan menghujam jantungnya.

“Gue tahu lo suka sama gue kan? Sekarang lo berusaha nyari jawaban buat memastikan kalo lo gak ngerasain sendirikan?”

Ana mengerjap perlahan dan berkata, “gue suka lo, Kak. Orang pertama yang hadir dihidup gue seperti kakak, teman, hingga ayah yang gak pernah gue punya.”

“Jangan jatuh cinta ke gue, An. Kita adalah kesalahan sejak awal. Jangan pernah menjebak gue dengan kalimat cinta, An. Karena gak akan pernah bisa gue penuhi.”

Jae mengucap tegas. Mencegah Ana menyukainya.

“Tapi kenapa lo bilang suka gue, Kak? Kenapa lo ngelakuin semuanya, bahkan sekarangpun lo bilang gak boleh suka lo dalam keadaan lo meluk gue bahkan ngasih gue tumpangan buat lari dari dunia?”

“Karena gue gak pengen lo hilang, An. Tetap disini sama gue.”

“Brengsek! Egois!.”

“Memang, An. Gue egois, mengharapkan cinta Vanya tapi yang gue peluk lo. Menyerahkan dunia untuk Vanya tapi gue malah seks sama lo, terlilit ikatan rumit antara lo sama Jevano.”

“Kalian sama, sama-sama brengsek! Memang salah gue ngarepin kepastian dari lo yang jelas-jelas ngeliat gue jadi objek seks, gak lebih.”

Ana memalingkan wajahnya, seharusnya ia sadar ia hanya boneka seks bagi Jae tidak lebih. Airmatanya jatuh perlahan, Jae memeluknya lembut.

“Tapi, An.”

Jae mengangkat dagu Ana sehingga tatapan mereka bertemu.

“Gue bakal nyoba cinta sama lo seumur hidup gue, tunggu.”

Jae mengucap dengan penuh keyakinan, jemarinya mengusap airmata Ana yang turun , dipeluknya Ana lembut. Ciuman hangat antara keduanya menjadi penutup percakapan rumit ini. Tanpa ujung yang jelas, semakin abu-abu.

Titik Temu.

  • Reason From Dion.

Dion duduk dikursi teras rumah sembari menyesap teh hijau ditangan, penghilang pengar katanya. Pandangannya lurus menembus pekarangan rumah yang penuh dengan tanaman mawar yang sejujurnya tak cocok dengan kepribadian pemilik rumah, Jae.

Tak berselang lama Ana datang menghampiri Dion dan duduk dikursi sisi kanannya.

“Manusia misterius,” ujar Ana menelaah raut wajah Dion dari samping.

Dion menoleh singkat, mempertanyakan mengapa Ana tiba-tiba disini melontarkan pernyataan bodoh.

“Lo yang aneh. Manusia aneh,” timpal Dion dengan senyum mengejek.

Why?

Ana mengrutkan alisnya, tak memahami maksud perkataan Dion.

“Coba lo pikir sendiri,” ucap Dion sembari menyesap tehnya perlahan.

“Gue ya normal. Menjalani hari dengan normal.”

Ana menanggapi pernyataan tersebut sekenanya.

“Bodoh yang bilang lo normal, An. Tanpa cinta lo memilih tidur dengan dua lelaki berbeda yang merlakuin lo seolah binatang, ah salah pemuas seks nya. Miris, bukankah lo sadar?”

Dion menatap tajam kedua manik hitam Ana, menyelami isi pikiran wanita tersebut. Ana hanya terdiam.

“Gue tahu lo lagi nyari pembenaran atas semua tuduhan yang gue kasih. Tapi mau sampe kapan lo begini? Tanpa arah dan kejelasan.”

Ana masih merenung menatap mata Dion, mencari makna sesungguhnya ia berbicara seperti ini.

“An, ngerusak tubuh emang enak banget buat pelarian, tapi buat apa lo tetap hidup dalam keadaan rusak tanpa niatan diperbaiki? Bukannya makin hancur?”

Ana memalingkan penadangannya membisikkan kalimat, “mending lo diem kalo gatau apa-apa.”

“Hidupmu gak akan berubah kalo lo habisin cuma buat melarikan diri, An. Sampe seterusnya bakal gini terus, apa bedanya lu sama ortu lo yang hancur?”

Dion kembali menyesap tehnya ringan. Tanpa sadar kalimatnya menghujam Ana dalam.

“Terus lo, kenapa semalem milih diam ngeliatin doang? Gak punya nafsu? Atau emang lo sengaja ngeliatin doang?”

Ana berusaha mengalihkan pertanyaan yang Dion lontarkan dengan pertanyaan yang ia pendam sejak semalam.

“Kata siapa gue gak nafsu. Tapi buat apa gue nge-seks sama orang yang otak dan hatinya penuh sama gairah sampe lupa diri. Lagian gue gamau ikutan ribet, nyusahin.”

Dion menatap tajam mata Ana. Pernyataannya menembus jantung Ana, pedih.

“Terus kalo lo main sama gue sekarang gimana? Tanpa mereka.”

Tantang Ana dengan tangan dilipat didepan dada.

“Hahahaha, selesaikan urusan lo sama mereka dulu. Orang milih salah satu aja belum bisa, sok mau nambah orang. Yang pasti apa yang gue punya gue gamau bagi ke orang lain.”

Dion bangkit dari duduknya membawa cangkir teh yang telah kosong. Secara tiba-tiba ia mengecup bibir Ana singkat kemudian berlalu meninggalkan Ana yang sedang membeku.

“Sungguh manusia misterius,” gumam Ana sembari meraba bibirnya.

Jevano menatap marah layar ponselnya. Percakapannya dengan Jae selalu mengundang emosi, harga dirinya terasa jatuh. Semakin lama semakin dirasa aneh hubungan antara mereka bertiga. Teman pemuas seks namun nyatanya terasa seperti persaingan siapa yang paling diantara keduanya.

Bila ditanya apakah Jevano sempat menyesali ajakannya, jawabnya jelas iya. Namun, fantasi seks-nya yang membuat ia tetap keukeuh membenarkan hal tersebut. Jevano juga amat sangat tahu bahwa Ana menyukainya entah lagi bila itu cinta, yang ia tahu Ana hanya wanita kesepian yang sama-sama haus gairah seks. Sebuah alasan yang cukup membuat mereka sama-sama bergairah.

Beberapa hari lalu sejak Jevano melakukan panggilan video saat seks dengan Ana, Jae memutuskan untuk pindah dari rumah bersama. Alasannya membeli rumah yang dekat kantor, namun alasan sesungguhnya ia ingin menjauh dari Jevano.

Rumah bersama kini ditempati oleh orang baru, teman Jae satu kantor. Dion, lelaki tinggi putih dengan senyum irit. Sebelumnya cukup sering Dion datang ke rumah bersama menemui Jae, menjadikan Dion akrab dengan Jevano. Termasuk akrab juga dengan kisah rumit hubungan seks mereka.

Jevano masih bersama Azra saat pesan dari Jae masuk. Azra menatap bingung Jevano yang tiba-tiba saja keluar kamar kosnya meninggalkan ia sendiri. Muram wajahnya terlihat sangat jelas.

Jevano kembali ke rumah bersama menemui Dion yang sedang duduk disofa ruang tamu. Sibuk dengan berkas yang berceceran.

“Kak, mau main gak?” Ajak Jevano sembari duduk disisi Dion.

“Main apaan? Okelah, mumpung berkas gue udah beres.”

Dion menatap Jevano menyetujui ajakannya sembari membersihkan berkas-berkas yang ada. Jevano tersenyum tipis.

Kini mereka sudah berdiri didepan pintu sebuah rumah. Yang Dion tahu ini rumah baru Jae yang diceritakan dikantor beberapa saat lalu.

'Tok tok tok'

“Sebentar,” sahut suara wanita dari dalam rumah.

'Krieet'

Dari ambang pintu rumah terlihat seseorang yang Jevano kenal, Ana, dengan kaos hitam kebesaran yang membalut tubuh atasnya dan paha yang terekspos.

“Halo, An. Ada Kak Jae? Gue boleh masuk?” Sapa Jevano dengan senyum dimatanya.

“Ah iya. Oke.”

Entah apa yang membuat Ana menjadi gugup padahal hanya kedatangan Jevano dan Dion.

Mereka melangkah bersama ke ruang tengah rumah tersebut. Disana terdapat Jae yang sedang santai menonton televisi.

“Kak!”

Jae memalingkan pandangannya kearah Jevano dan Dion yang baru saja tiba.

“Kalian kanape sih kesini weekend gini?”

Tanya Jae menatap heran Jevano dan Dion bergantian.

“Gue ikutan dia, katanya mau main ya gue ikutan lah capek kerja.”

Gerutu Dion. Tatapannya tak beralih dari Ana yang berada diseberangnya.

“Hehehe rumah baru ya mau main dong.”

Jevano tersenyum usil, menatap Jae.

“Main apaan lo kata ini taman bermain?”

Jae menatap sinis Jevano yang tersenyum miring. Senyum bermakna lain.

“Mau ToD? Tinggal milih mau truth or dare kalo gamau semua minum vodka dilemari.”

Tunjuk Jevano ke deretan minuman keras yang berderet di lemari sebelah televisi. Dion hanya mengangguk setuju ia mengikut apapun yang akan dilakukan.

“Hmm, oke. Boleh.”

Jae menyetujui permainan yang Jevano usulkan. Kini mereka sudah duduk melingkar dilantai dengan botol air yang sebagai penanda.

“Kita mulai ya, gue yang pertama. An, dekatan kek lo kek mau baris aja jauh-jauhan.”

Jevano memulai permainan memutar botol yang diletakkan ditengah. Ujung botol tersebut berhenti dihadapan Dion.

Dion menatap datar Jevano, “truth.” Ucapnya tenang menatap Ana, Jae dan Jevano bergantian.

“Waah apanih, gue mau nanya, Kak. Kapan terakhir kali having sex?”

Jevano menatap Dion dengan senyum miring. Mencoba menabak manusia seperti apa Dion.

“Hmm, keknya minggu lalu.”

Dion mengetuk dagunya mengingat-ingat.

“Giliran gue, Di. Sama siapa? Cewe kantor?”

Dion menatap kesal Jae, Jae sebenarnya tahu cuman ia sengaja mengejek Dion.

“Bukan, temen SMA. Udah Jae mending mulut lo diem, gue tahu lo sengaja mau ngeledek gue kan?”

Jae hanya terkekeh menertawakan temannya. Tangan Dion sudah siap melempar botol yang ada ke kepala Jae namun urung karena suara Ana.

“Kak, suka pantai gak?”

Entah mengapa pertanyaan random yang keluar dari mulut Ana. Semua mata menatapnya merasa aneh, Ana tiba-tiba gugup.

“Lo yakin nanya begituan ke gua, An?”

Ana mengangguk. Jae dan Jevano menatap curiga Ana.

“Gue suka pantai, langit sore dan ombak. Nih gue tambahin kalo gue mati gue mau abunya disebar dilaut biar gue bisa keliling dunia.”

Jae melempar bantal kursi ke muka Dion. Kesal.

“Mulut lo ada-ada aja.”

Ana mengangguk. Ia merasa canggung terhadap Dion karena tatapannya yang mengintimidasi, belum lagi pakaian Ana yang terbuka. Aneh tiba-tiba ia merasa malu.

“Lanjut gih, Kak.”

Jevano menyerahkan botol dihadapannya ke Dion. Dion memutar botol air ditangannya. Kini ujungnya berhenti dihadapan Jevano.

“Ah akhirnya nih bocah yang kena. Lo milih apa?”

Tawar Dion.

“Truth. Biar seru, ntar dare pas yang lain.”

Jawab Jevano mantap.

Gue tanya nih, Ana siapa Jev? i mean siapanya lo dihidup lo.”

Dion mengetuk-ngetuk jemarinya ke lantai, tersenyum miring. Ia tahu pertanyaannya mudah, namun sulit bagi Jevano maupun Jae.

“Ana? Temen. Apalagi? Temen main, dikasur Hahahahahha.”

Jevano menutup jawabannya dengan kekehan keras. Entah dia sedang menertawakan jawabannya atau menertawakan dirinya sendiri.

Miris.

Dion hanya menggeleng, “brengsek mulut lo, Jev.”

“Gue sini, lo boleh milih deh. Truth or dare?

Jae kini angkat bicara. Menawarkan pilihan ke Jevano. Sedang Jevano masih terdiam.

“Karena gue laki, DARE.”

Jevano menjawab mantap, manatap tajam Jae.

“Kalo gitu coba lo buka laci bawah tv, ambil vibrator. Pasangin ke Ana dalam waktu tiga menit.”

Jae tersenyum miring begitupula Jevano. Sedang Dion hanya terdiam memakan camilan yang ada.

“KOK GUE YANG KENA?!”

Ana memprotes, ia berusaha melarikan diri dari Jevano yang berusaha mengukungnya.

“Kalo lo gamau ya gantiin gue minum tuh, segelas doang.”

Tunjuk Jevano kearah botol vodka dimeja.

“YA GA-”

Ana berusaha menolak sebelum bibirnya dibungkam Jevano yang kini sudah mengukungnya. Diraupnya bibir Ana ganas dan jari-jari yang menelusup dqri balik celana kependekan Ana.

Jari telunjuknya sudah menggesek klitoris Ana kasar sedang jari tengahnya sudah menelusup menusuk lubang vagina Ana, mengaduknya asal. Tangan satunya ia gunakan untuk memeras dada Ana kasar.

Saat dirasa lubang Ana sudah basah, Jevano mengeluarkan jarinya menjilatnya sensual dihadapan Ana. Tangan satunya mempersiapkan vibrator kecil untuk dimasukkan.

'Jleb grrrtt grrt'

Vibrator tersebut sudah masuk dan bergetar sedang. Jevano bangkit dan kembali duduk, memandang Jae yang sedang melihat jam.

“Dua menit 30 detik. Lumayan lah.”

Jae memandang Jevano tersenyum usil. Jevano meraih remot vibrator dan menyetelnya dengan kecepatan maksimal.

'Aaahhhhhhh'

Desahan panjang Ana lolos begitu saja. Jevano tersenyum puas.

“Nah, An. Sekarang giliran lo yang nanya.”

Jevano menatap Ana yang mulai menggeliat tidak nyaman dengan vibrator yang ada.

“Aahhh... gue mau dare. Plis lo lepasin ini.”

Jevano menggeleng. Menolak permintaan Ana.

“Gak, An. Gue kecilin deh gantinya.”

Ana mengangguk setidaknya ia mengurangi siksaannya. Jevano mengambil kembali remotnya, menurun naikkan kecepatannya.

“BRENG-SEEKK! AAHHH....”

Jerit Ana sembari menggelinjang. Sedang Jevano dan Jae tertawa nakal melihatnya. Dion diam mengamati, ia sibuk dengan camilan kedua yang ia makan.

“Naah sekarang gue puter nih.”

Jevano memutar kembali botol air tersebut, kali ini berhenti dihadapan Jae.

“Kak, giliran gue yang nanya. Truth or Dare?”

Jevano memandang tajam Jae. Jae tersenyum sebelum menjawab.

“Dare.”

Keduanya tersenyum nakal, seperti terkoneksi.

“Sekarang hisap dada Ana, bentuk sepuluh kissmark sampai ke perutnya.”

Jevano menunjuk Ana dengan alisnya. Jae yang mengerti kode tersebut segera menghampiri Ana yang menggeliat vibrator dalam vaginanya. Disingkapnya kaos yang dikenakan Ana, pauyadara tanpa bra terpampang jelas dihadapannya.

Jae mulai mengulum memilin dan memeras payudara Ana brutal. Desahan Ana semakin keras, vibrator dalam vaginanya turut dimainkan Jevano, getarannya ia naik turunkan secara acak.

Kini Jae beralih mengecup dada Ana acak, membentuk sepuluh kissmark hingga area perut. Ana sudah menggelijang, celananya sudah basah dengan cairannya yang merembes. Jae bangkit dan kembali duduk. Sebelumnya ia mengambil ponselnya memotret Ana menyimpan karya seninya dalam ponsel.

“Beres. Lanjut lo, Di.”

Dion membersihkan jari-jarinya dari remahan makanan. Tiba-tiba dia bangkit dari duduknya, menghampiri Ana membantu Ana menutup kaos dan membantunya duduk. Semua mata tertuju padanya, namun Dion tetap melanjutkan kegiatannya sebelum kembali duduk.

“Jae, Vanya siapa?”

Dion menatap data Jae dan kembali memakan camilannya tenang. Jevano terdiam menanti jawaban Jae begitupula Ana yang masih menetralkan nafasnya berusaha mengendalikan nafsunya.

Jae membenarkan duduknya, tersenyum menutupi kecanggungan.

“Vanya, temen gue. Tetangga deket. Udah, adalagi?”

Dion masih menatap Jae lamat.

“Deket banget sampe sayang?”

“Pertanyaannya satu doang anjir lu nambah.”

Jae kesal. Melempar Dion dengan remahan keripik kentang disekitarnya.

“Udah jawab aja dah gampang aja lo.”

Sahut Dion sembari mengunyah.

“Iyap, gue sayang Vanya. Ini kenapa gue gak boleh milih sih?”

Jae kesal kenapa ia harus dihujani pertanyaan mengenai Vanya.

“Gue mau nanya, Kak. Kenapa gak pacaran sama Kak Vanya?”

Ana menutup sesi dengan pertanyaan lagi setelah ia usai mengatur nafasnya. Jangan tanya vaginanya masih diisi oleh vibrator yang terus bergetar.

“Karena dia pacar orang. Pacar Jo, percuma gue pacaran atau nikah, tapi hatinya punya orang lain.”

Jae menatap tajam Ana. Isyarat ini pertanyaan terakhir tentang Vanya.

“Oh oke.”

Ana mengangguk sebelum ia kembali menggeliat resah.

Jae meraih botol airnya kembali. Memutar hingga ujung botolnya tiba tepat dihadapan Ana. Sudut bibir kanannya terangkat, senyum tersirat.

“An, khusus buat lo, pertanyaanya cuman Dare or Dare.”

“Aaahhhhh'

Ana mendesah panjang, Jevano usil mengubah kembali kecepatan getaran vibratornya.

“Hhhaasshhh ... kok gituuuuuuhhh.”

Ana mulai menggeliat tidak nyaman. Nafsunya sudah memuncak. Tangannya tanpa sadar menggerayangi tubuhnya sendiri. Meraba dada dan vaginanya yang basah.

“Lo sekarang mana bisa jawab pertanyaan, An. Udah sekarang lo pilih minum nih vodka atau blow job Dion.”

Jae menyodorkan sesloki vodka dengan aroma yang menyengat kehadapan Ana. Sedangkan Dion hanya diam mengamati sembari menikmati keripik kentang bungkus ketiganya.

Secara spontan Ana menengguk alkohol yang disodorkan kepadanya. Ia memilih meminum alkohol yang jelas-jelas kelemahannya daripada ia mem-blow job manusia tanpa ekspresi Dion. Sebuah keputusan yang diluar ekspetasi Jevano dan Jae. Mereka berharap mendapatkan tontonan gratis dari Ana.

“Waaah gila lo!”

Pekik Jae. Kini Ana sudah setengah mabuk ditambah vibrator yang terus menerus mengaduk vaginanya. Tangannya sudah memeras payudaranya sendiri sekarang, memilin dan menariknya. Kakinya sudah menganggkan lebar menampilkan celana yang basah dengan cairannya.

“An, lo pasti sering manstrubasi, kasih liat kita gimana lo manstrubasi.”

Ucapan Jevano barusan ditanggapi tepukan singkat oleh Jae. Tanda setuju.

Secara tiba-tiba Ana melepas kaosnya menampilkan dada sintalnya memantul. Bekas-bekas kissmark masih tercetak jelas. Kini ia melepas celananya beserta celana dalamnya, Ana yang setengah mabuk dan dibutakan oleh gairah hanya mengikuti apa yang harus dilakukan untuk memenuhi nafsunya.

Jari-jarinya ia gunakan untuk menggosok klitoris dan vibrator yang ada dalam vaginanya. Satunya sudah ia gunakan untuk meremas dadanya. Kini ia duduk bertumpu dengan lututnya, membusungkan dada memilin putingnya, tangannya mulai ia tusuk masuk kedalam vaginanya yang banjir.

“AHHHHHH.... JJEEEEVVVV JAEE TUSUK DISANAAA”

Secara tiba tiba Ana mendesahkan nama teman seks-nya, membayangkan sedang bermain bertiga bersamaan. Jev dan Jae hanya bisa menengguk ludah. Belum saatnya ia ikut dalam permainan.

Kini Ana sudah berubah posisi menjadi menungging, bokong sintalnya ia arahkan kehadapan Jae dan Jev. Lubang vaginanya yang merah dan sudah gatal ia gosok dengan jemarinya. Ia goyangkan pinggulnya menggoda Jae dan Jev.

“Apa kalian gamau makaaaann aahhhhh?”

Ana sudah mulai merancau, yang ia inginkan sekarang hanya penis milih keduanya untuk segera masuk kedalam vaginanya.

“FUCK YOU, AN! LUBANGMU GAK TAHAN DIDIEMIN!”

Jev berteriak dan segera bangkit melepas celananya, namun Jae sudah terlebih dahulu meraup bibir vagina Ana. Menjilati paha dalam hingga bibir vagina Ana sebelum meraup dan menusukkan lidahnya.

Kejantanan Jev sudah berdiri sempurna, disingkirkannya Jae dari lubang Ana. Vibrator yang ada didalam lubang Ana ia tarik cepat sebelum ia gantikan dengan penis panjangnya.

“Aaahhhhhhhrrrrggg....”

Desah nikmat Ana disertai rasa sakit akibat penis besar yang tiba-tiba menggenjotnya.

Jev menarik kedua tangan Ana kebelakang serta rambutnya sehingga Ana mendongak. Jev mensodok Ana dengan kasar dan tanpa ampun bersamaan dengan Jae yang sudah memposisikan penisnya dihadapan mulut Ana. Siap disantap.

Kini posisinya kepala Ana ditekan untuk semakin mengulum penis Jae, ditambah rambut yang dijambak Jev. Tangannya ditarik kebelakang Jev untuk memperdalam tusukannya.

Ana sudah tak sanggup untuk mendesah, peluh diseluruh tubuhnya bukti nikmat yang ia rasakan. Kini ia berganti posisi, pantatnya menungging tinggi, lubangnya terbuka lebar. Jev dan Jae secara bergantian memasukkan penis mereka. Ana menggelinjang nikmat.

“Aaahhhhh kalian brengseeekkkk tapi nikmat. Tusuk lebih keraaaaassshhh...”

Ana sungguh rak lagi bisa berfikir dengan akal sehatnya. Yang ia rasakan hanya kenikmatan. Secara tiba-tiba tangan Ana sudah diikat kebelakang. Posisinya diubah lagi, terlentang dengan lutut ditekuk dan lubang yang terbuka lebar. Jae kini ganti menusuk Ana dengan penis besar beuratnya keras menuju titik g-spotnya. Sedang Jev sudah memompa penisnya masuk kedalam mulut Ana.

“Di, lo gak mau ikutan sekalian, daripada makan kacang mending lo minum tuh susu.”

Jae menunjuk payudara Ana yang memantul resah kesana kemari mengikuti tusukan dari Jev dan Jae. Sedangkan Dion hanya diam menikmati kacang goreng camilan keempatnya.

“Gak minat, gue liat kalian aja. Dah.”

Dion menolak, ia menjadi penonton dan mengamati Ana lamat-lamat. Jae setelah mendengar pernyataan Dion kembali menggenjot Ana kasar, penisnya sudah siap menembakkan spermanya. Begitupula Jev, penisnya sudah membesar ditambah ia kini meremas dada dua-duanya.

“Arrrgggghhhhhh....”

Desah Ana saat seluruh titik kelemahannya tersentuh. Dalam beberapa saat Jev dan Jae bersamaan menyemprotkan spermanya acak. Jev melepaskan spermanya didalam mulut Ana hingga meleber keluar mulutnya, begitu pula Jae yang melepaskan dalam vagina Ana.

Tak berhenti disitu, Jae dan Jev masih mengocok vagina Ana hingga cairan Ana menyemprot kesegala arah. Squirt.

Mereka jatuh bersamaan didepan Dion yang masih menikmati kacang goreng ditangan. Jev bangkit dari tidurnya dan menenggak vodka yang ada. Kemudian menghapus jejak cairan diwajah Ana dan mengecup bibir dan pipinya singkat. Membisikan kalimat ditelinga kiri Ana, “An, lo hebat, gue sayang lo.”

Sedang Jae meletakkan tangannya dibawah kepala Ana sebagai tumpuan bantal Ana tidur. Lebih tepatnya entah tidur atau pingsan. Kemudian mengecup bibir dan pipi Ana singkat sebelum membisikkan kalimat ditelinga kanan Ana, “An, gue bakal berusaha cinta lo seumur hidup.”

Mereka tertidur bersama, ditengah-tengah ruang keluarga bersama remah-remah sisa camilan dan cairan cinta yang berhamburan. Ditambah Dion, saksi bercinta tiga orang didepannya. Ia bangkit dari duduknya, mengambil selimut untuk ketiga orang ini.

“Mereka yang membuat benang ini rumit, bodoh.”

Kalimat sarkas yang Dion lontarkan sebelum ia menghabiskan alkohol yang tersisa dan turut tidur diatas sofa.

Ia sempatkan mengusap rambut Ana. Merapikannya supaya tak menutup wajah Ana. Mengecup dahinya singkat dan berkata, “dunia memang gila, An. Jangan merasa sendiri. Aah gue udah mabuk beneran ini.”

Segitiga yang terbangun sudah mulai koyak, menjadi sebuah persegi dengan empat titik, tidak ada yang tahu kemanakah sudut ini akan berlabuh. Semua abu-abu dan penuh tanda tanya.

Jo beberapa hari ini cukup sibuk, bahkan sekadar menyapa kekasihnya melalui pesan singkat pun tak sempat. Perjuangannya demi meraih posisi Kepala Bagian sebagai dasar pecapaian dia sebelum menikahi Vanya. Sebenarnya baik Vanya maupun keluarganya tidak pernah menuntut kekayaan ataupun jabatan seperti apa yang harus Jo miliki. Namun, sebagai seorang lelaki pertama keluarga, ia membutuhkan hal ini untuk aktualisasi diri. Ya, dipandang bahwa sudah mampu memenuhi segala ekspetasi orang-orang di sekitar.

Hari ini, genap dua hari ia menempati ruangan barunya, Kepala Bagian Public Relation. Sesegera mungkin ia ingin mengejutkan Vanya tentang jabatan dan ruangan barunya. Ruangan berukuran tiga kali empat meter ini cukup luas untuknya serta cukup baginya untuk membuktikan pada kekasihnya bahwa ia kini sudah menempati posisi yang tepat.


Sore ini, Jo pulang lebih awal karena ingin menjemput Vanya sekaligus membawanya kemari. Sengaja ia tak menghubungi terlebih dahulu, kejutan pikirnya.

Kakinya dengan riang melangkah melalui lobby gedung, pandangannya menyapu deretan kafetaria di lantai dasar. Menatap lamat dua orang yang ia kenal sedang bercengkrama. Vanya dan Jae, menikmati kopi bersama dengan penuh tawa.

Jo tiba-tiba meradang, pikirannya sudah melayang kemana-mana. Ia menghampiri dua orang tersebut dengan cepat. Vanya yang menyadari kedatangan Jo memandang aneh kekasihnya.

“Jo, kenapa?”

Vanya bangkit dari duduknya, berusaha tetap tenang menanyakan keadaan Jo. Sedang lelakinya memandangnya marah, tiba-tiba ditarik lengannya tanpa suara meninggalkan Jae yang turut terkejut.


Jo manarik Vanya masuk ke dalam ruangannya. Melempar Vanya ke sofa. Kemudian ia berbalik mengunci pintu dan kembali berjalan perlahan mendekati Vanya yang terdiam.

Kini ia duduk di pangkuan Vanya. Menatap manik matanya dalam.

Mereka hanya terdiam, saling memandang tanpa suara. Secara tiba-tiba Jo meraup bibir ranum Vanya. Melumatnya tanpa ampun seraya menekan tengkuknya memperdalam lumatan. Vanya berusaha mengimbangi apa yang Jo lakukan, yang ia pahami kali ini Jo sedang marah atas kesalahpahaman yang ada.

Tanpa suara Jo melepas kancing kemeja Vanya terburu-buru, mengeluarkan payudara bulatnya dari bra tanpa melepasnya. Dipilin, kulum dan hisap secara keras hingga menciptakan bekas merah yang banyak.

'Aaaahhhhh ....'

Vanya merancau, desahannya sudah tak lagi tertahan. Tanggannya menjambak perlahan rambut Jo yang mulai memanjang, melampiaskan perasaannya ke sana. Walaupun Jo melakukan dalam keadaan kesal Vanya tak berani menentang sedikit pun.

Tangan Jo kini memilin dan menarik putingnya kasar. Lagi-lagi mereka bercumbu tanpa ampun saling bertaut hingga saliva menetes di salah satu sudut bibir Vanya.

Vagina Vanya sudah mulai berkedut dan gatal. Ia gesek-gesekan dengan penis Jo yang masih terbungkus celana. Namun, tiba-tiba Jo bangkit dari pangkuan Ana dan menggendongnya menuju meja kerja. Dibaringkanlah perlahan dengan kaki yang menggantung di sisi meja.

“Jo, kalo kamu masih diem mending gausa dilanjut.”

Putus Vanya, ia tahu hal ini merugikan dia namun berhubungan badan karena paksaan bukan hal yang baik. Ia bangkit dari tidurnya dan duduk di atas meja, menantap tajam manik hitam Jo.

Manik hitam yang penuh kilatan kekecewaan.

“Oh, sengaja biar bisa main sama Jae?”

'PLAK!'

“JAGA MULUTMU, JO! SEMINGGU MENGHILANG KAMU MEMILIH MENGATAKAN INI?!”

Vanya geram, bisa-bisanya dengan mudah kalimat itu terlontar dari lelakinya yang seminggu menghilang.

“Hah, lucu sekali. Seminggu Van gue nyusun kerjaan buat dapetin jabatan ini. Tapi apa yang gue lihat? lo malah jalan bareng Jae? Waras gak sih?”

Kilatan emosi memancar dari mata Jo. Tak pernah ia semarah ini.

“Aku gak pernah memintamu seperti ini, Jo. Kamu minta aku sabar? Oke, iya aku sabar buat memenuhi egomu. EGOMU JO! Tapi kamu bisakan tanya ke aku alasannya terlebih dulu daripada nuduh?”

Vanya tak mau kalah. Nyalang suaranya memekik di antara keheningan.

“Buat apa? Bukannya jelas, Jae suka kamu begitu pula orang tuamu. Jelas kan kamu lebih memilih dia, Van?!”

Vanya menggeleng tak percaya atas pernyataan yang Jo lontarkan. Ia memikih turun merapikan kembali kemejanya dan berlari secepat mungkin.

Ia menangis, meratapi keadaannya.

Jo hanya terdiam menatap Vanya pergi. Rasanya berat melihat semuanya. Namun, ego membelenggu kakinya untuk beranjak dari sana. Otaknya mencerna semua yang ada, mencoba mengingat kembali pesan-pesan singkat Jae dan Vanya tentang orang tua Vanya, hingga fakta Jae juga memiliki rasa pada kekasihnya. Pikirannya yang kalut semakin kalut kala pesan singkat masuk ke ponselnya.

Screenshot-20210604-224055-Me-Mi-Notify 20210116-160335


  • amara.

Ana semula hanya terduduk dikursi taman dengn bermodalkan hoodie yqng menutup setengah pahanya, sandal rumah bentuk elmo dan ponsel ditangan. Lagi-lagi ia melarikan diri dari rumah. Kali ini apartementnya tak hanya berisi ia seorang diri. Namun, mama papanya juga yang pulang selepas perjalanan bisnis yang tak ada habisnya.

Ana menunduk, ponselnya berkedip. Tangannya lincah membalas pesan singkat yang masuk sebelum cahaya lampu mobil menyilaukan matanya. Beberapa saat ia berdiri dari kursi taman menuju mobil yang ada dihadapannya.

Ana mendapati lelaki itu, Jae, tengah tersenyum dibalik kemudi. Melambaikan tangan ke Ana antusias.

“Gila lo kek bocah!” Sambutan Ana kepada Jae yang hanya dibalas kekehan.

“Sekarang yang lebih bocah siapa, malem-malem ngambek.” Sahut Jae.

Ana memalingkan wajahnya kesal tangannya di lipat didepan dada dan kakinya ia silangkan. Pahanya terekspos sempurna didepan Jae.

“Udahlah, ayo kita jalan-jalan.”

Jae menyalakan kendaraannya, memutar kemudi kearah jalanan.

Kini mereka menikmati jalanan menuju kearah pantai. Dengan musik yang diputar acak dari playlist Ana. Ana menyanyikan lagu secara semangat diikuti oleh Jae disebelahnya. Hingga lagu Double Take milik Dhruv mengalun lembut. Ana menyanyikan liriknya perlahan sembari menatap Jae.

Boy, you got me hooked on to something Who could say that they saw us coming? Tell me, do you feel the love? Spend the summer of a lifetime with me Let me take you to the place of your dreams Tell me, do you feel the love?

Jae yang awalnya memandangi jalanan kini turut menatap Ana. Dua manik matanya bertemu, sama sama berusaha mencari jawaban.

“We'll be friend forever..” Sahut Jae. Tangannya kini membelai lembut paha dalam Ana.

“Brengsek! Hahaha friend, kocak lo bilang hubungan kita 'bertiga' teman wkwkwk. Teman mana yang berbagi liur sama sperma kak?” Ucap Ana sarkas. Iya memang sudah kesal dengan semuanya, namun ia butuh. Seks adalah pelampiasannya atas kekesalan hidup.

Jae hanya menarik bibirnya singkat tertawa tertahan. Tangannya meraba-raba paha dalam Ana hingga bagian selangkangannya. Digesek dan ditekannya dari balik celana. Ana yang sedang fokus melihat jalanan melonjak kaget.

“Gila lo! Lo lagi nyetir!”

Ana berusaha menyingkirkan tangan Jae. Menepisnya namun gagal. Tangannya kembali usil menggrayangi dadanya kini. Meremasnya dari balik hoodie.

“Kebiasaan lo kagak pernah pake bra, tuh kan jadi tegang.”

Jae meremas dan memilin payudara Ana dari luar hoodienya. Perlahan hingga Ana memggeliat keenakan.

“Plis, Kak. Kalo mau minggir dulu. Gue gamau mati muda cuma gegara lo grepe-grepe.”

Jae tak menggubris Ana, ia masih asik dengan kegiatannya meremas milin puting Ana gemas.

“Bentar lagi sampe, An. Kalo gue gabisa, seenggaknya lo bisa kan mainin Jae junior pake mulut seksi lo?”

Jae mengerling nakal ke Ana. Mengkode Ana supaya mengikuti yang diminta.

“Kalo nolak emang boleh?”

Ana melipat tangannya didada menggoda Jae dengan dada sintalnya yang menyumbul.

“Ya mana bisa lo nolak.”

Benar sekali, Ana tak akan pernah bisa menolak permintaan Jevano maupun Jae seaneh apapun itu. Kini ia sudah melepaskan seatbeltnya membuka perlahan kancing dan resleting jeans Jae dengan giginya. Menggoda Jae memang tujuannya.

Jae memelankan kendaraannya, jalanan memang sepi malam ini. Cenderung tak ada kendaraan yg lain. Namun, tak mengurangi kewaspadaan Jae.

Ana mengelus perlahan kejantanan Jae dari balik boxernya. Menciuminya tanpa ada niatan untuk mengeluarkannya.

“Arrghh... An. Kalo lo main-main gue bikin lo gak bisa jalan ntar.”

Jae geram dengan kelakuan Ana yang setengah-setengah. Andai ini bukan di jalan raya sudah dipastikan Ana dibuatnya terkapar. Sedang wanita itu hanya terkekeh melanjutkan kegiatannya.

Ana mulai mengeluarkan kejantanan Jae yang besar berurat. Ana menenggak airliurnya. Walaupun sudah sering bermain seks baik dengan Jevano atau Jae tetap saja pemandangan penis dihadapannya selalu membuatnya tegang.

Ana membuat jilatan melingkar menyapu seluruh permukaan kulit penis Jae. Mengikuti alur urat-urat yang mulai menonjol terangsang. Mulai memijit perlahan dengan jemari lentiknya. Jae mencengkram kemudinya, menahan sensasi yang ia terima. Ana mengecup ujung penis Jae sebelum memasukkan kedalam mulutnya. Mengulumnya, menghisap, serta mengeluar masukkan penis yang kian membesar itu.

'Argghhh ...'

Desahan panjang Jae lolos begitu saja. Ia sudah tak sabar untuk segera tiba di lokasi tujuan mereka, pantai tepi kota.

Ana tersenyum disela-sela sesi mengulumnya. Sangat tahu titik kelemahan Jae saat blow job. Bola zakar Jae juga jadi sasaran permainan Ana. Penis Jae sudah membesar sempurna memenuhi mulut Ana. Siap untuk pelepasan yang pertama. Namun, Ana tak membiarkan itu terjadi. Saat akan mencapai pelepasannya Ana justru melepas kulumannya dan menutup ujung penisnya seraya tersenyum usil.

“BRENGSEK KAU!”

Ana hanya terkekeh dengan reaksi Jae. Senang melihat wajah patner yang lima tahun lebih tua darinya menggerang kecewa.

“No no no, Kak. Kalo sekarang keluar gak seru. Lebih baik kita selesaikan nanti.”

Ana melepas genggamannya pada penis Jae dan melipat tangannya didepan dada. Pandangannya mengejek Jae yang kalah dengan permainan yang ia mulai.

Mobil mereka berhenti di lampu merah, kini Jae secara tiba-tiba membaringkan kursi Ana membuat wanita tersebut terkejut. Ditambah tiba-tiba juga Jae menarik celana Ana hingga menggantung di paha mulusnya.

Ana mendelik dengan aksi tiba-tiba Jae. Kini satu tangan Jae ia gunakan untuk memegang kemudi satu lagi untuk menusuk lubang vagina Ana. Mengocok klitoris sekaligus lubangnya.

Ana semakin melebarkan kakinya, menampilkan lubangnya yang berkedut diobrak-abrik jari Jae. Pinggulnya semakin ia condongkan ke arah Jae. Tangannya tanpa sadar sudah meremas dan memilin putingnya perlahan.

'Aaahhhh...ehmmmmm...'

Desah Ana.

“Kaaakkk ... ampuun.... ahhhh ... tusuuuknyaaahh lebih daleeeemmm.”

Ana semakin merancau, dia mudah sekali terangsang atas sentuhan kecil terlebih di titik-titik sensitifnya.

Jae masih membagi konsentrasinya, sebisa mungkin untuk tetap fokus menyetir walau tangan satunya sudah tanpa ampun mengocok lubang Ana. Penisnya juga semakin berkedut mendengar Ana merancau. Desahan serta ekspersi Ana yang penuh nafsu membuatnya semakin terangsang

Kini mobil mereka sudah terparkir di tepian pantai yang sepi. Disini gelap hanya diterangi sinar bulan dan beberapa penerangan kecil.

Setelah memastikan mobilnya berhenti dengan aman, Jae segera berpindah posisi. Kini ia duduk dipangkuan Ana, membuat penisnya dan vagina Ana bergesekan tanpa sengaja.

'Aaahh...'

Desah keduanya bersamaan. Ana menatap sendu Jae menggigit bibir bawahnya menggoda Jae.

Jae langsung meraup bibir Ana brutal, mengulum bibir atas bawah bergantian bersamaan lidah yang saling bertaut. Ditusuknya lubang Ana dalam sekali hentak. Dipompanya tanpa ampun.

Ana mengalunkan tangan dan kakinya pada Jae, memperdalam tusukan ke sweetspotnya. Mereka sama-sama dimabuk nafsu. Sebelum Jae tiba-tiba melepas tautan mereka.

“Sebentar, An. Gue punya sesuatu buat lo.”

Tiba-tiba Jae melepas hoodie Ana. Melemparnya ke arah kursi sebelahnya dan mengambil bungkusan misterius. Terdapat dua alat yang Jae keluarkan yakni vibrator payudara dan ring vibrator. Dipasangnya vibrator payudara ke dada sintal Ana dan dipasang dalam kecepatan maksimal untuk memerasnya. Kemudian ia juga memasang ring vibrator ke penis besarnya memastikan juga bergetar sesuai keinginannya.

Ana terdiam ia berusaha mengatur nafasnya yang mulai terenggah karena dadanya diperas maksimal. Lubangnya juga tiba-tiba ditusuk Jae bersamaan dengan getaran vibrator yang menggelitik lubang dan klitorisnya.

Ana mencakar punggung Jae yang kini menghisap salah satu payudaranya, sedang payudara yang lain sedang diremas oleh vibrator. Lubangnya digenjot tanpa ampun. Hentakan yang Jae berikan membuat punggung Ana melengkung sempurna semakin membusungkan dadanya. Semakin dalam hisapan dan kuluman Jae pada payudara sintalnya.

“Aaahhhhh ... Kaakkk Jaeeeeee ... iniiiii nikhmaaaat ... tusuk disanaaa lebih cepaatt lebih keraaas.”

Ana merancau tak karuan. Lubangnya sudah dihajar habis-habisan. Kini semakin penuh dan sesak saat Ana menyempitkan vaginanya ditambah penis Kae yang semakin membesar siap menyemprotkan cairan cintanya.

“Keluaaar dimana aaahh?”

Jae menanyakan kemana ia harus mengeluarkan cairannya. Ia tak ingin merusak wanitanya dengan akhir seks yang tak sesuai keinginan.

“Diluaar pleaseee...”

Setelah mendengar tersebut Jae semakin mempercepat tusukannya. Meningkatkan ritme keluar masuk penisnya yang semakin rapat dilahap vagina Ana yang rakus. Sejenak kemudian ia melepas penisnya, menyemprot dengan keras ke seluruh perut dan muka Ana. Begitu pula Ana yang squirt, cairannya berhamburan kemana-mana.

Jae menahan tubuhnya agar tak jatuh diatas Ana. Menatap Ana yang sama-sama terengah-engah. Pantai, langit malam, dan mobil ini saksi bercinta yang penuh gairah antara mereka. Jae mengecup kening Ana sebelum ia kembali ke kursi kemudi. Menetralkan nafasnya yg memburu kemudian melepas vibrator yang melekat dirinya dan Ana. Setelahnya ia mengambil tisu dan membersihkan tubuh Ana yang setengah sadar. Memungut kembali hoodie Ana dan memakaikannya perlahan. Celananya pun ia benarkan kembali. Kemudian ia mengambil selimut dikursi penumpang dan menyelimuti Ana perlahan.

Ana ssudah terlelap namun dalam setengah sadarnya ia mendengar Jae bergumam, “aku mencintaimu, An. Tapi kamu bukan pemenang hatiku.”

Ana terdiam, memilih untuk tertidur. Memang benar menanyakan status atau sekedar memperjelas makna hubungan mereka adalah kesia-siaan. Karena mereka adalah kesalahan sejak awal. Setidaknya mulai disadari oleh seseorang yang tanpa sadar melihat semua yang terjadi dari seberang mereka. Jevano, ia mengikuti Ana pergi dengan sepeda motornya dan merekam seluruh kejadian yang berlangsung, memandang wanitanya bercumbu panas dengan lelaki lain.


-amara.

Azra terduduk lemah memandangi layar ponsel miliknya. Berulang kali ia keluar masuk aplikasi pesan aingkat berharap Luke, dambaan hatinya, segera membalas pesannya. Genap sudah satu minggu tanpa kejelasan.

Azra berusaha mencari tahu mulai menghubungi Jevano teman Luke bahkan datang ke tempat tinggal Luke di perumahan elit dekat kampus mereka.

Saat Azra datang kesana ia hanya sanggup memandang dari jauh, tak ada tanda-tanda Luke barada.

“Huft, dimana dia? Bagimana dia? Apakah semua baik-baik saja?” Gumam Azra memikirkan semuanya.

Sejak pergumulan panas mereka, Luke tak menghubunginya sama sekali. Bahkan pagi hari setelah seks panjang mereka, Luke terbangun lebih dulu, memeluknya, menciumnya kemudian pergi tanpa penjelasan siapa Renata sebenarnya.

'Tok tok”

Pintu kamar kos Azra terdengan ada yang mengetuk perlahan. Dipandangnya jam di nakas, pukul sebelas malam. Siapa pula akan bertamu tanpa kabar ditengah malam ini.

Azra bangkit dari duduknya, membuka pintu kamarnya perlahan. Sesosok lelaki tinggi tampan yang ia nantikan berdiri disana, menatapnya sayu. Bau alkohol kuat menyeruak dari tubuhnya.

Azra tertegun seminggu menghilang Luke datang dengan keadaan seperti ini.

Saat pintu sempurna terbuka, Luke tiba-tiba mendorang Azra masuk. Memangut bibirnya kasar, meremas dadanya acak. Azra terkejut berusaha memberontak, namun kekuatannya tak sebanding. Bibirnya sudah terkoyak dihisap gigit oleh Luke. Dadanya sudah mengegang sempurna saat Luke tiada henti meremas dan memilin putingnya.

'Arrgh'

Bibir Azra berdarah, tergigit oleh Luke. Lelaki tersebut segera menyesap darah yang keluar dan melanjukan pangutan mereka.

Salah satu tangannya sudah turun ke arah vagina Azra. Menekan-nekan klitorisnya berusaha menusuk lubang Azra dengan jari-jarinya. Luke membanting tubuh Azra keras dan menibannya, ditariknya celana Azra dalam sekali sentak. Azra hanya bisa meringis di sela-sela pangutan panas mereka. Pahanya dipaksa terbuka lebar, hingga lubangnya terpampang nyata. Dua jari Luke sudah menerobos lubang Azra tanpa ampun walaupun masih kering, diaduknya lubang tersebut kasar.

Azra meringis kesakitan, memang nikmat namun perih. Pangutan panas mereka terlepas, kini kaos Azra sudah dirobek oleh Luke. Terkoyak menampilkan bra merah dengan dada yang menyumbul keluar. Ditariknya keluar kedua payudara sintal Azra. Dikulumnya kasar bersamaan dengan sodokan jari dilubang Azra tanpa ampun.

'AAhhhhhh...'

Azra merancau menikmati hal ini tangannya mengacak-acak rambut Luke. Ia tau ini sakit namun setuhan Luke adalah candu baginya. Secara tiba-tiba Luke melepas jari dan kukumannya. Bangkit dari atas tubuh Azra dan melepas ikat pinggangnya. Secara tiba-tiba ia mengikat tangan Azra keatas dengan tepian tempat tidur kemudian Luke melepas celana dalam Azra untuk disumpalkan ke mulutnya.

“Hmammahhmmam”

Azra ingin protes namun tak bisa. Ia sudah terikat dan mulutnya tersumpal. Dipunggungnya ditumpu beberapa bantal sehingga kini vaginanya lebih tinggi dari kepala.

Luke melepaskan celananya, mengeluarkan kejantanannya yang sudah membesar. Dibawanya kedepan lubang Azra yang sudah berkedut meminta segera dimasuki. Tanpa aba-aba penis tersebut dipaksa masuk. Punggung Azra melengkung membusung perih namun nikmat. Kukunya mencengkram ikat pinggang yang mengikatnya.

“ARGHHHHH...”

Terikannya tertahan. Sungguh perih seperti dipaksa robek.

Luke secara tiba-tiba mengeluarkan penisnya hingga tersisa kepalanya saja kemudian menusuknya kasar tanpa ampun. Hujaman tersebut sangat kasar terlebih Azra belum sepenuhnya terangsang. Azra memantul kesegala arah, hujaman yang Luke berikan sakit namun memabukkan.

Ia menyukai siksaan ini.

Airmatanya sedikit menetes. Sedangkan Luke masih dengan senyum nakalnya memandang Azra tanpa suara. Ia sempurna masih mabuk.

Lubang itu dipompa tanpa ampun, ditambah kini payudara Azra diremas digigit hingga menyisakan tanpa merah dan biru.

'Plak'

Beberapa kali Luke menampar paha atau bokong Azra saat Azra mendesah panjang. Kini lubang itu sudah penuh, semakin menyempit ditambah Azra sudah mendekati pecapaiannya. Namun, tiba-tiba Luke melepaskan penisnya.

“Kata siapa kau boleh keluar dulu ha?”

Luke tiba-tiba memutar posisi Azra menjadi menungging. Doggie style. Azra pasrah mengikuti lelakinya, ia terlampau lemah bertahan.

Ditusuk kembali lubang Azra dengan ditambah kocokan di klitorisnya. Ditusuknya cepat Azra tanpa ampun. Ditusuk putar hingga ditambah dengan kocokan klitorisnya membuat lutut Azra melemas. Ia sudah tak sanggup.

“Kamu cantik, Ra. Tapi aku gabisa sama kamu, buat apa.”

'PLAAAKK' ditamparnya kembali bokong sintal Azra. Ditusuk-tusuk tanpa ampun.

Penis Luke sudah sangat membesar. Ia siap menembakkan spermanya. Ia menikatkan ritme tusukannya semakin brutal. Saat pelepasannya sudah diujung, ia menembakkan ke arah punggung dan rambut Azra.

“Aaaahhh.... nikmat sekali-”

Kemudian ia terjatuh disisi Azra. Azra yang masih menungging dengan mulut tersumpal dan tangan terikat hanya meringis menitikkan airmata.

Azra berusaha membalik tubuhnya menjadi terlentang dan berusaha untuk tertidur walaupun masih dalam keadaan seperti itu.


Mentari sudah mulai naik diufuk timur. Seorang pria mengerjapkan matanya terbangun dengan kepala yang berat. Ia lupa apa yang terjadi semalam. Terkejut ia saat melihat ia berada dikamas kos Azra dalam keadaan setengah telanjang. Melihat kesisi sampingnya, terlihat Azra meringkuk dengan tangan terikat dan mulut yang masih tersumpal. Badannya penuh cairan sperma dan merah-merah bekas kissmark dan tamparan.

Luke mangacak rambutnya, menyadari kebodohan yang ia lakukan. Alkohol semalam ternyata bercampur dengan obat perangsang. Ia segera melepas ikatan dan membuang sumpalan Azra. Azra menggeliat terbangun mengerjap menatap Luke. Dipeluknya Azra erat.

“Maaf maaf aku sudah gila maaf.”

Azra tak mampu menjawab rahangbya kebas, ia mengangguk singkat.

“Sungguh jangan marah, Ra. Aku cinta kamu, sangat. Maaf bikin sakit.”

Luke masih memeluknya erat. Azra menatap semuanya datar. Bodoh memang dia. Dipaksanya ia untuk menggerakkan mulut.

“Lalu, siapa Renata?”

Luke terkejut dengan pertanyaan Azra, melepaskan pelukannya dan menatap matanya.

Luke terdiam. Suara rintik hujan terdengar dari balik jendela. Hujan dipagi hari.

Luke masih berusaha mencari penjelasan yang tepat, sedang manik mata Azra menuntut untuk segera dijawab.

“Dia tunanganku. Kita dijodohkan, sejak kemarin.”

Bak petir menyambar, Azra membeku. Menatap Luke. Tanpa sadar speaker kamar Azra otomatis menyala setiap pagi, memutar sebuah lagu.

When the world turns dark And the rain quietly falls Everything is still Even today without a doubt I can’t get out of it I can’t get out from the thoughts of you Now I know that it’s the end I know that it’s all just foolishness Now I know that it’s not true I am just disappointed in myself for Not being able to get a hold of you Because of that pride

On the rainy days you come and find me Torturing me through the night When the rain starts to stop, you follow Slowly, little by little, you will stop as well

Beast- On Rainy Days

Ditengah rintik hujan, hati Azra hancur luruh bersama rintik hujan yang turun. Sedangkan Luke memeluknya erat, dengan bisikan penuh kata maaf dan kalimat aku mencintaimu yang terdengar sangat munafik ditelinga.

Cr : kpoplyrics.net Translete by @Astred1004

Sore itu seperti biasa Jo menghampiri Vanya dan duduk disalah satu kursi taman depan gedung kantornya. Menatap lalu lalang manusia yang keluar masuk gedung pencakar langit itu.

Jo bekerja di perusahaan multinasional seberang kantor Vanya. Hari ini Jo ingin melepas lelahnya bersama Vanya, kekasihnya, terlampau lelah hari ini menghadapi segala laporan dan teriakan dari atasan atas proyek yang bermasalah. Bukan salahnya sebenarnya, namun apa daya hanya pegawai kelas menengah yang hanya bisa mengikuti perintah.

Jo memandang pintu keluar lamat, memastikan bahwa Vanya sudah keluar dari gedung. Ia melambaikan tangan sebagai tanda bahwa ia menanti Vanya disana.

“Haai, Jo! Lama ya? Maaf tadi ada meeting dulu sebelum pulang.” Kata Vanya dengan muka lelah karena ia berlari dari ruangannya di lantai 10.

Jo tersenyum merapikan surai rambut Vanya yang berantakan.

“Barusan kok gaapa, yuk pulang! Naik taksi, gocar atau mau naik krl aja?” Tanya Jo. Tatapannya masih tak lepas dari Vanya, sesekali melihat jam ditangan memastikan mereka tak akan terjebak macet.

“Gocar gimana? Aku ada voucher lumayan hemat.”

Vanya mengeluarkan ponselnya, memulai memesan gocar untuk mereka pulang. Jo hanya mengangguk. Setidaknya mereka tak akan terhimpit manusia-manusia yang ada dalam krl sore ini.

“Tuh udah sampe bapaknya, yuk!”

Vanya menarik pergelangan tangan Jo, membawanya ke arah mobil hitam yang terparkir didepan mereka.

Selama didalam mobil mereka hanya terdiam, tidak ada percakapan. Atau malah lebih tepatnya mereka sedang tak ingin memulai.

Bergandengan tangan saling menumpukan kepala. Melepas lelah. Perjalanan sore ini akan semakin panjang dengan adanya macet yang menghadang.


“Van, bangun yuk kita udah sampai.”

Jo menepuk pipi Vanya perlahan memastikan ia tak terkejut saat bangun dari tidurnya. Kini mereka sudah sampai didepan gedung apartement Vanya. Wanita itu mengerjap dan terbangun dari duduknya. Mereka keluar dari mobil.

Berjalan berdua menuju unit milik Vanya di blok b. Masih dalam suasana hening, tanpa suara hingga sampai dihadapan pintu unit. Vanya memasukkan kode dalam diam.

“Jo, kamu mau makan apa? Biar kusiapin, kamu mandi aja dulu, pemanas airnya udah bisa kok nyalain aja.”

Vanya berjalan cepat masuk kedalam, meletakkan tasnya sembarangan di sofa dan pergi ke arah dapur. Jo masih mematung depan pintu. Berusaha memahami ada apa dengan Vanya hari ini.

“Apa ajaa, Van. Aku mandi dulu ya.”

Jo memasuki kamar Vanya kemudian mandi. Vanya masih bergelut dengan pikirannya. Banyak hal yang sebenarnya ingin ia sampaikan, namun takut merubah semua yang ada.

Kini ia melepas blazer yang ia kenakan dan menggulung lengan bajunya, memulai menyiapkan makan malam mereka. Ia memilih memasak sup ayam kesuakan mereka, cocok untuk melepaskan rasa lelah keduanya.


Jo keluar dengan kaos dan celana pendek serta rambut yang basah. Vanya juga telah usai dengan masakannya.

“Sayang, biar kulanjutkan. Kamu mandi sana.”

Jo berdiri disebelah Vanya, mengambil alih kegiatan menata makan malam. Vanya mengangguk kecil, berlari menuju kamar.

'Haaaah ..'

Jo menghela nafas panjang. Ia tahu, sangat tahu bahwa setiap kali Vanya pulang ke rumah kejadian ini akan terus berulang.

Kini Jo telah usai menata makanan mereka dimeja depan tv. Ia duduk terdiam mengamati tayangan berita yang ia sendiri tak tahu apa. Ponselnya mengedip beberapa kali namun sengaja ia abaikan. Panggilan telfon pekerjaan diluar jam kerja adalah salah satu yang ia benci.

Vanya berjalan keluar kamar dengan kaos oversize dan celana pendek. Ia mendudukan diri disamping Jo. Bersandar didada Jo. Jo terkejut akan kedatangan Vanya yang tiba-tiba, ia mengelus rambutnya perlahan.

“Jo, makan yuk.”

Jo mengangguk, berusaha bangkit dari duduknya namun ditahan oleh Vanya. Ia menatap wanitanya bingung. Jo kembali terduduk.

“Kenapa? Katanya makan?”

Vanya tak menjawab, tiba-tiba ia duduk diatas pangkuan Jo menyambar bibirnya. Diraupnya bibir Jo dengan beringas dipaksakan lidahnya untuk masuk kedalam mulut Jo. Jo merespon terbata, tak biasanya wanitanya seperti ini. Kini ia mengikuti alur yang Vanya buat. Tangan Jo kini merengkuh tubuh kecil Vanya memperdalam ciumannya.

Vanya kini beralih ke leher Jo, mengecupnya menjilat perlahan. Dihisapnya perlahan hingga meninggalkan bekas yang jelas. Vanya tersenyum bangga atas karyanya.

Jo tersenyum menatap Vanya. Wanitanya menggemaskan sekali.

“Ini ya yang namanya makan?”

Vanya mengangguk, menggemaskan.

“Kamu diem aja, Jo. Aku yang bahagiain kamu!”

Jo tertawa kecil, mengikuti apapun yang Vanya minta. Kini Vanya sudah turun dari pangkuan Jo. Duduk diantara paha Jo menatap kemaluan Jo dari luar celana.

“Hai, Mr.P!”

Vanya menyapa junior Jo favoritnya. Ditariknya celana training milik Jo hingga terjatuh di antara kakinya. Menampilkan kejantanan Jo yang sudah menegang. Vanya tersenyum, menciumi ujung penis Jo yang basah, memijatnya perlahan. Dua bola zakar Jo juga dipijiatnya perlahan.

“Hssssttt... Van, masukin ke mulut.” Rancau Jo. Tangannya kini sibuk menjambak rambut Vanya.

Vanya mengarahkan kepala junior Jo masuk kedalam mulutnya. Mengulumnya dengan semangat walaupun mukutnya tak cukup menampung seluruhnya. Sisa kejantanan yang tidak masuk kemulut ia pijat-pijat bersamaan dengan bola zakarnya.

“Hassshhh... enaaaakkkk. Masukin lebih dalem, Van. Hi-saaapp.”

Jo merancau keenakan, ditekannya kepala Vanya semakin memperdalam kulumannya. Vanya mengeluar masukkan kembali kejantanan Jo, menghisap dan memutar lidahnya perlahan. Semakin membesar dan penuh didalam mulut Vanya.

“Habis i-ni keluar ..”

Vanya mempercepat dorongannya dan menghisap kuat kuat penis Jo. Hingga cairan itu menyemprot deras memuhi mulut Vanya. Ditelannya sedikit demi sedikit. Vanya melepas kulumannya, menyapu bibirnya dengan lidah. Seksi.

“Sekarang gantian, Van.”

Vanya mengangguk, dia sudah terangsang sempurna. Vaginanya sudah berkedut beberapa kali. Kini ia bertukar posisi dengan Jo. Celana pendeknya dilepas perlahan menuruni paha jenjangnya.

Jo mengecup perlahan mulut vagina wanitanya, tangannya turut meremas dada dan memilin putingnya. Lidahnya kini turut masuk menusuk-nusuk klitoris Vanya. Menyapunya perlahan dengan lidahnya.

Vanya menggelinjang, tangannya sudah mengacak rambut Jo. Dia ingin Jo menusuknya semakin dalam. Remasan yang ada membuatnya semakin membusungkan dada.

Kini jari tengah Jo berganti menusuk liang vagina Vanya, jempolnya mengusak kasar klitorisnya. Dada Vanya dihisap bak bayi kelaparan. Digigit, kulum dan hisap dada Vanya. Payudara yang selalu jadi favoritnya. Jari tengahanya mengoyak lubang vagina brutal, tanpa ampun. Vanya menggeliat kesana kemari, lubangnya sudah sempurna basah.

“Jooooo.... sudaaahhh... ayooo ditusuk seka-raaanghhhhhh.”

Vanya merancau, sudah tak tahan menahan nafsunya.

Jo melepas jarinya dan melebarkan paha Vanya. Namun, Vanya menolak.

“Aku yang diatas.”

Putus Vanya. Ia memutar posisi. Membuka kakinya lebar-lebar diatas pangkuan Jo. Tangannya menggenggam penis Jo menggosoknya perlahan didepan lubangnya.

“Geeezzzz Van. Jangan main-main.”

Jo mencengkram lengan Vanya. Perlahan penis panjangn Jo sudah masuk ke lubang Vanya.

'ARGGHHHH..'

Vanya berteriak memeluk Jo. Walaupun sudah sering 'bermain' namun sensasi penis Jo yang masuk ke lubangnya selalu terasa nikmat. Jo menepuk punggung Vanya perlahan, menenangkan. Diraupnya bibir kekasihnya dengan perlahan, mengalihkan rasa sakit dibawah.

Saat sudah terbiasa dengan penis Jo, Vanya mulai menggoyangkan perlahan pinggulnya. Memompanya perlahan, menusuk tepat ke titik favoritnya. Dengan sengaja ia menyempitkan lubangnya memeras penis Jo hingga Jo mendesah ditengah-tengah ciuman panas mereka. Tangan Jo kini semakin liar mengocok klitoris Vanya, setaunya meremas tarik puting merahmuda Vanya. Semakin kasar kocokan klitoris yang ia terima semakin cepat ia memompa pinggulnya.

Vanya melepas tautan bibir mereka, bibirnya membengkak merah merona. Pelepasannya kian dekat, namun Jo masih belum terlihat akan mencapai puncak.

“Babe, kalau capek biar gantian aku yang diatas.” Tawar Jo.

Vanya menggelang, menolak tawaran tersebut. Ia sepenuhnya ingin memanjakan Jo hari ini.

“Joooo.. aku mau keluaarrr.”

“Seben-taar....”

Jo menarik pinggang Vanya, membantunya memompa tubuhnya. Dadanya sudah bergerak kesana kemari. Penisnya sudah mengembang sempurna, menuju pelepasannya.

Jo melepaskan tautan mereka, membiarkan cairannya dan milik Vanya membasahi paha dan kaos hitamnya. Vanya jatuh di pelukan Jo. Kelelahan, surai hitamnya diusap perlahan oleh Jo.

“Terimakasih, Sayang. Untuk semuanya.” Bisik Jo ketelinga Vanya.

Vanya mengangguk. Mempererat pelukannya.

“Kalau ada masalah ceritakan padaku, mari kita membagi segala hal mulai senang, sedih, tawa, tangis, dan bahkan cairan cinta hahahha.”

Jo tertawa tipis dwngan kalimat yang ia lontarkan. Vanya sudah merah padam malu.

“Aku mau cerita, tentang mama.”

Jo mengerti arah pembicaraan ini. Walaupun saat ini posisi mereka cukup aneh tapi ia membiarkan selama Vanya nyaman.

Tentu saja Vanya nyaman dipelukan Jo, yang hangat dan menentramkan. Darisini ia dapat mendengar detak jantung Jo yang teratur dan halus.

“Iya, lalu?”

Jo masih mengusap rambut Vanya perlahan menenangkan.

“Lagi-lagi mama tanya kapan kita nikah, Jo. Belum lagi mama juga mulai mempertanyakan kesungguhanmu. Yang paling menyakitkan, mama juga mulai menanyakan keluargamu.”

Jo menghembuskan nafasnya perlahan. Sudah ia duga pertanyaan ini akan muncul.

“Sayang, kamu percaya padaku?”

Vanya mengangguk.

“Kalau kamu percaya padaku, tunggu sebentar lagi. Aku sedang memperjuangkan yang terbaik untuk kita. Mana mungkin aku menikahimu dengan segala kekurangan yang masih ada padaku. Tanggungan keluarga, cicilan rumh, hingga investasi masa depan untuk kita. Semua sedang kupersiapkan, Sayang. Apa kamu mau menunggu?”

Vanya mengangguk, “tapi tidak untuk mama, Jo. Aku tak tahu sampai kapan semua bertahan. Tapi aku selalu untukmu. Aku mengunggumu.”

Jo tertegun, penuh syukur ia bertemu Vanya. Kekasih yang selalu mendukung setiap langkahnya. Tanpa ragu.

Kini mereka saling memeluk erat satu sama lain. Setidaknya pembicaraan mereka kali ini memudarkan keraguan antara mereka. Setidaknya untuk sementara


-amara

Garis.

Ana melewati ruang-ruang kelas menuju gedung paling ujung kampus. Gedung yang sudah lama terbengkalai dan hanya digunakan sebagai gudang perlatan organisasi atau acara kampus.

Satu tangannya masih menenteng ice coffee float yang ia beli baru saja di salah satu kedai kopi di kantin. Sebenarnya ia tak mengerti mengapa Jevano memintanya kesana.

Seperti biasa Jevano adalah manusia yang sangat tidak tertebak. Di hadapan Ana atau di hadapan teman-temannya sungguh berbeda, belum lagi perubahan mood yang tiba-tiba.

“Daripada ribet yakan,” batin Ana ia hanya bisa mengikuti permainan yang Jevano buat kali ini.

Ana kini telah berdiri di depan pintu satu-satunya ruangan yang ada di lantai empat. Lumayan bersih untuk sebuah ruangan yang kosong. Ada beberapa kursi serta karpet dan permainan papan yang biasa ia jumpai di kafe.

“Jangan-jangan ini mah markasnya Jevano sama temen-temennya,” batin Ana seraya memutar kenop pintu.

Kosong, tak ada siapapun di dalamnya. Ana berjalan pelan sembari meminum kopinya. Mengedarkan pandangan, tapi tak menemukan sesosok Jevano di sana.

“Jev, kalo lo main-main mending lo pulang deh gue balik kelas lagi.”

Ana setengah berteriak memastikan bahwa Jevano mendengar apa yang ia katakan. Tanpa ia sadari ada sepasang tangan memeluk Ana dari belakang secara tiba-tiba. Tangan tersebut memeluknya erat sembari meremas dada Ana dan mengelus paha Ana yang tereskpos. Jilatan juga mendarat di perpotongan lehernya.

Ana menggeliat terkejut hingga menyadari bahwa lelaki yang memeluknya adalah Jevano.

“JEV! BISA GAK SIH PAKE ABA-ABA!”

Ana berusaha memutar tubuh, berusaha melepaskan diri dari kukungan Jevano. Namun, gagal karena Jevano semakin erat memeluknya. Remasan yang awalnya pelan kini semakin brutal jilatannya kini berubah menjadi hisapan-hisapan liar nan panas. Tangan Jevano mulai mengelus kemaluan Ana perlahan dari balik celana pendeknya.

“Jeeevvv.. ayo-laah jaangaan aaaahhh ginihhh.” Rancau Ana tak tahan dengan apa yang Jevano lakukan.

“You FUCKING hot, babe! I want to fuck you so hard. why are you teasing me so much?” bisik Jevano di telinga Ana sebelum ia mengulum daun telinga Ana.

“Aaahhhh.. Jeeevvvv, stop it! Fuck me so hard, pleaseeeehhhhh.” Ana mendesah keras saat Jevano mulai memasukkan tangannya ke dalam celananya. Memainkan klitorisnya acak.

“Tapi aku masih mau bermain-main denganmu sayang, aku punya mainan baru untukmu.”

Jevano menuntun Ana duduk di salah satu kursi yang ada. Melepas cepat kaos dan celana Ana membuangnya kesegala arah. Jangan tanyakan tas dan kopi yang tadi Ana bawa karena sudah jatuh berantakan.

“Jev, ini kenapa diiket segala sih?!”

Ana mengomel tak mengerti apa yang Jevano lakukan. Ia kini setengah telanjang karena hanya tersisa bra hitam dan celana dalam saja yang ia kenakan.

Jevano hanya terdiam membongkar tasnya mengeluarkan sebuah benda kecil dengan remote. Ana tahu sekali itu apa, vibrator.

“WHAT THE HELL, JEV!”

Teriak Ana saat Jevano tiba-tiba mengocok liangnya dengan dua jari panjangnya.

“Gimana enak? Diem dulu ini pasti lebih enak!”

Jevano merobek celana dalam Ana dan membuangnya. Dilebarkan kedua paha Ana hingga vaginanya yang basah terpampang jelas.

Jevano mendekatkan mulutnya menciumi vagina Ana. Ana hanya mendesah dan menggelinjang atas kenikmatan tiada tara terlebih saat lidah Jevano mulai mengaduk liangnya.

“Nah sekarang sudah saatnya.”

Jevano menyalakan vibrator kecil yang ia bawa. Dengan getaran maksimal ia menyalakan. Dimasukkan paksa vibrator itu ke lubang Ana.

“AAAhhhhhhhhhhh...... Jev- brengseek!”

Ana sudah menggeliat kesegala arah, tangannya memerah kesakitan namun getaran dalam vaginanya menerbangkannya ke awan. Kini ia penuh peluh dengan pandangan sayu. Menggigit bibirnya menahan desahan

Jevano berdiri di hadapannya dengan tatapan nakal memainkan remot vibrator. Mode pelan keras berulang kali melihat Ana yang resah adalah kesukaannya.

“An, gimana kalo dada lo gue hisap?”

Goda Jevano. Ia membiarkan vibrotornya bergetar kencang. Membuang remotnya entah kemana.

Ana mengangguk antusias bibirnya sudah tak sanggup melontarkan kata-kata.

Jevano melepaskan bra Ana dan disambut dada sintal Ana yang memantul kesana kemari karena Ana tak berhenti bergoyang resah. Jevano duduk di pangkuan Ana meremas dada Ana dan memilinnya.

“Jangan ditahan doong desahannyaaa.”

Jevano memegang rahang Ana meloloskan desahan yang Ana tahan.

“Aaahhhh... Jeev lepasin ituuuuuhhh, pleaseeeeee”

Ana memandang sayu Jevano yang masih asik menghisap gigit kulum dada Ana. Tak peduli rancauan Ana yang semakin kacau.

Vagina Ana sudah sangat basah dan bercucuran. Seksi sekali.

“Gimana kalo kita tunjukin ke Kak Jae, An. Dia lagi beres meeting ini pasti ngeliat lo gini pasti horny banget hahahaha.”

Jevano bangkit dari pangkuan Ana. Mengambil ponselnya dan mencari nama Jae di kontak. Menghubungkan ke panggilan video.

/“Apa Jev?”/

“Kak, lo sibuk gak?”

Ana menahan desahannya, walaupun sedikit-sedikit terdengar.

/“Oh enggak, kenapa nih? Suara siapa tuh Jev?”/

Ana mendelik sebal ke arah Jevano walaupun ia masih dalam keadaan pasrah liangnya diaduk aduk vibrator.

“Hahahahhaha peka juga lo, Kak. Gue mau ngasih lihat sesuatu sih. Lihat siapa ini.”

Jevano mengalihkan kameranya menghadap ke Ana. Menampilkan keadaan Ana yang duduk terikat dengan peluh sekujur tubuh, cairan yang merembes dari liangnya serta dada yang bergoyang resah.

/“Brengsek juga lo, Jev!. Gue di kantor gabisa horny!”/

Kak Jae terangsang dengan keadaan Ana. Namun, ia tak dapat melakukan apa-apa.

“Hahahahha gue ada barang baru makanya gue cobain, lo mau liat apa deh, Kak?”

/“Coba lo tutup mulutnya, terus keluar masukin vibratornya.”/

Ana mendelik dengan ide yang barusan ia dengar. Dua teman seksnya memang sudah tak waras. Jevano mengambil satu kain mengikat lain untuk mengikat mulut Ana, mencegah ia mendesah.

Ia kembali mengarahkan kameranya ke arah Ana dan mulai melakukan yang Jae minta. Mengeluar masukkan vibrator.

'Ahmmmmmm...' desahan panjang Ana tertahan kain penutup ia bergerak semakin resah.

“Gimana kak?”

Jevano tersenyum nakal menatap kamera.

/“ANJING LO JEV! SHE FREAKING HOT!”/

Jae yang ada di sebrang panggilan mengacak rambutnya kesal karena tak berada disitu.

“Mau apalagi nih?”

Tawar Jevano. Ia sejujurnya juga menikmati permainan aneh ini.

/“Hisep tuh putingnya, liatin lubangnya juga, Jev.”/

Jevano kini menghisap kasar dada Ana seperti bayi kehausan. Kamera ponselnya juga ia arahkan ke lubang Ana yang terpampang jelas.

“FUCK! Kak gue lanjut sendiri!”

Jevano menutup panggilan nya dan melempar poselnya ke atas tasnya. Sudah tak tahan akan tubuh Ana. Ingin segera melahapnya.

Ia melepas celana sekaligus boxer yang ia kenakan. Kejantanan yang sudah tegak ditambah dengan cum yang menetes. Ia melepas vibrator dan semua ikatan ditangan dan mulut Ana.

“JEVANO BRENGSEK!”

Teriak Ana sebelum dia di gendong Jevano ke arah karpet yang ada.

“Siapa suruh lo seharian pamer paha? Ya rasain hukumannya. Lu milih diem apa gue tusuk kasar?”

Jevano membaringkan Ana di karpet. Carian dari vaginanya merembes keluar. Dibukanya paha Ana lebar-lebar dengan kejantanan yang menggesek lubang vagina.

“Rok gue sobek Anjing! Buruan masukiin jangan dimainin doang!”

Kini Ana mengalunkan tangannya ke leher Jevano. Meraup bibirnya kasar sudah tak sabaran. Penuh gairah dan nafsu.

Jevano mengarahkan kejantanan panjangnya masuk ke lubang Ana. Dalam sekali hentak membuat Ana terkejut dan menjambak rambutnya.

“An, lo udah dijebol berapa kali sama gue sekarang Kak Jae juga kenapa masih sempit sih?!”

Kejantanannya dilahap sempurna oleh lubang Ana. Ia diamkan beberapa saat hingga terbiasa.

“Jev kalo gue bilang tusuk pelan-pelan gak bakal lo lakuin kan?”

“JELAS!”

Jevano memompa tubuhnya cepat hingga Ana mencakar punggungnya. Tanpa ampun ia lakukan. Kaki Ana juga sudah melingkar di pinggang Jevano, memperdalam tusukan yang ada.

“Aaahhh Jevvvv kenapaaaahhh loo brutaaal siiih gueee mau keluaar...”

“Jangan keluar dulu, babe. FUCK, AN! Lubang lo candu banget!”

Jevano memutar dan mengeluar-masukkan penisnya menusuk g-spot Ana tanpa ampun. Baginya Ana adalah candunya segala yang ada di Ana adalah kenikmatan.

“Aaahhhhhh Jev gueeeh udaah gak tahaaan....”

Rancau Ana lemas berulang kali cairannya sudah membasahi karpet. Kini ia sudah tak berdaya dipompa kejantanan Jevano.

“Bentaarrr gue juga keluaar. Barengaan!”

Croooottt

Jevano mengekuarkan cairannya di dalam rahim Ana dan ambruk diatas tubuh Ana. Kini cairan mereka bercampur dan merembes dari lubang vagina Ana.

“Lo gila apa! Kenapa lo keluarin dalem?!”

“Gue tau lo bentar lagi red days. Aman.”

“Aman pala lo! Copot dulu, ayo pulang! Capek.”

Ana sebal dengan apa yang dilakukan Jevano, seks tanpa kondom sudah salah terlebih sekarang ia membiarkan cairannya masuk. Walaupun nikmat sekali. Seks bersama Jevano tak akan pernah membosankan meskipun sekarang ia juga berpartner dengan Jae.

“Mau lanjut di rumah?”

“Lo mau bikin gue gak bisa jalan seminggu?”

Jevano bangkit dan meraih kaos dan celananya memakainya kembali. Begitupula ia mengambilkan baju dan celana Ana. Membantunya memakai kembali walaupun tanpa celana dalam.

“Ya kenapa tidak? Bertiga lagi bareng Kak Jae.”

“KALIAN BRENGSEK!”

Jevano tertawa atas reaksi Ana. Dipasangkan jalet miliknya untuk menutupi leher Ana.

“Sini gue gendong,” tawar Jevano. Ana mengalungkan tangannya dan digendong seperti koala. Menuruni tangga hingga ke tempat motor Jevano berada.

Ana tahu Jevano sangat menyayanginya tapi ia lebih tahu kalau menanyakan perasaan ke Jevano adalah kebodohan terbesar. Terlebih sekarang hadirnya Jae ke kehidupan mereka semakin memperumit keadaan.