Terlambat?
Jo semakin larut dalam rasa bersalah, Jae yang tiba-tiba mengiriminya pesan singkat mengenai keberadaan Vanya membuatnya larut dalam kebimbangan. Egonya yang tinggi menuntunnya untuk membenci Vanya, namun ia juga merasa bahwa semua juga kesalahannya.
Sejak awal ia lah yang meminta dimengerti, meminta juga untuk selalu dimaklumi oleh Vanya. Tanpa sadar yang ia melukai oranglain demi kemapanan yang ia maksud. Hari ini semakin memburuk dengan ia yang tersulut emosi. Melukai harga diri Vanya, melukai kepercayaannya juga.
Kini ia duduk termenung dikamarnya, menatap jendela yang lurus menghadap jalanan ibukota. Ramai, namun ia merasa sepi. Hatinya menghilang bersama larinya Vanya sore tadi. Ia masih tak mengerti apa yang harus dilakukan, sejujurnya ia ingin segera pergi menjemput Vanya namun meluruhkan keras kepalanya sungguh sulit.
Layar ponselnya kembali berkedip, notifikasi pesan singkat kembali masuk.
“BRENGSEK!”
Matanya membelalak segera mungkin ia bangkit dari duduknya dan berlari menuju keluar rumah. Raut mukanya panik yang ia pikirkan sekarang hanya keadaan Vanya.
Dengan gegabah ia turun dari mobilnya. Berlari menuju unit apartement milik Vanya. Tengah malam yang sunyi membuatnya leluasa berlari hingga tiba didepan pintu unit. Tangannya cekatan memasukkan kode kunci dan dengan terburu masuk.
Ditemuinya Jae yang duduk di sofa dengan tangan bersedekap.
“Gimana? Capek?”
Jae memandang Jo marah. Tangannya sedari tadi sudah mengepal.
“Lo ngapain disini masihan?”
Jo berteriak menarik kerah baju Jae. Dengan cepat kepalan tangan Jae sudah melayang ke pipi kanan Jo.
“BRENGSEK! Coba lihat Vanya sekarang?! Kalo definisi bahagia lo bikin Vanya kek gini mending lo gue bunuh Jo, ngelepas Vanya buat lo adalah kebodohan.”
Jae menatap nyalang mata Jo. Tersirat jelas kekecewaan yang mendalam.
Jo melepas cengkramannya dan berlari kearah kamar Vanya. Dibukanya perlahan pintu kamar tersebut berusaha tidak membuat suara. Vanya tertidur dalam keadaan resah. Badannya basah kuyup penuh keringat, suhu tubuhnya tinggi.
Jo mendekat mengusap keringat yang mengucur perlahan. Ia juga perlahan berbaring disamping Vanya, menatap kekasihnya sendu. Dibawanya tubuh ringkih Vanya dalam dekapan.
“Van, maafin gue. Maaf kalo selalu minta dimengerti tanpa mengerti. Maaf aku terlalu bodoh menjadi manusia.” Bisik Jo perlahan.
Tangannya mengusap surai hitam Vanya perlahan.
“Jo..”
Vanya mengerjap perlahan. Tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak.
“Hus hus tidur aja sayang ..”
Jo menahan kepala Vanya untuk kembali berbaring. Diusapnya perlahan hingga dirasa nyaman.
“Jo kamu jahat.”
Vanya berbisik, perlahan airmatanya turun.
“Iya, aku jahat Van, banget. Ke kamu apalagi. Dunia ku menggelap tanpamu, Van. Tolong maafin aku.”
Jo memeluk Vanya erat, namun tiba-tiba Vanya melepasnya. Vanya berusaha untuk duduk, Jo membantunya menegakkan punggungnya.
Kini Jo duduk bersimpuh dihadapan Vanya. Sedari tadi Vanya hanya terdiam meneteskan airmata, tanpa suara. Tanpa sadar Jo turut meneteskan airmata.
Vanya memeluk Jo erat. Melepaskan tangisnya yang sedaritadi tertahan.
“Jo, ayo menikah.”
Vanya mengatakannya dalam sekali nafas. Menyudahi pertengkaran pikirannya.
Jo mendongak, ia memastikan kembali apa yang Vanya katakan.
“Tapi nanti saat kita menikah, ijinkan aku ngejar mimpiku lagi ya, Jo. Mimpi yang hilang selama aku nungguin kamu, boleh?”
Vanya menatap dalam Jo, tatapannya tulus meminta. Jo mengangguk semangat menyetujui permintaan Vanya. Mereka kini saling berpelukan erat, melepas perasaan berat masing-masing.
Jo kini meraup lembut bibir Vanya, meluapkan rasa rindunya yang mendalam. Tangan Vanya sudah mengalung dileher Jo, merapatkan ciuman mereka. Tangan Jo mulai meraba punggung Vanya lembut dari balik kaosnya.
Vanya melepas pangutan mereka, meraup udara sebanyak-banyaknya.
“Jo, bukannya ada Jae diluar.”
Jo menengok kearah pintu, memastikan bahwa Jae sudah pergi.
“Dia sudah pergi, Van. Pulang kali, besok dia tugas ke Bali. Van, maaf ya tadi aku kasar. Maaf bikin kamu gak nyaman, maaf.”
Jo menelusupkan kepalanya diantara perpotongan leher Vanya. Berusaha melepaskan rasa bersalahnya sore tadi.
“Its okay, Jo. Jangan lagi ya? Nanti kalo nikah kamu gitu aku minggat beneran.” Goda Vanya sembari mengusap surai hitam Jo.
Diam-diam Jo mengecup perpotongan leher Vanya. Lidahnya menjelajah keseluruh perpotongan Vanya. Tangannya menelusup mengusap punggung Vanya lembut.
Vanya menggigit bibirnya, menahan desahannya keluar. Tangannya sudah sibuk meremas rambut Jo.
Kini Jo menggigit leher Vanya, meninggalkan banyak bekas kissmark. Tangan juga mulai meremas perlahan dada Vanya, memelintir putingnya.
'Aaaahhhhh...'
Desahan Vanya lolos dari bibirnya. Ia menikmati setiap sentuhan yang Jo berikan. Dadanya kini juga sudah dihisap dan diremas.
Jo bangkit beralih posisi, berpindah ke belakang Vanya. Sedangkan Vanya terdiam menetralkan nafasnya. Jo tiba-tiba melepaskan kaos yang Vanya kenakan, begitu pula celananya.
Kini Vanya sudah telanjang bulat, dada sintalnya sudah terpampang jelas. Jo tersenyum nakal menatap tubuh Vanya, sedangkan pemilik tubuh tersipu malu. Begitupula Jo turut melepas pakaiannya, menyisahkan celana boxer yang menutupi kejantanannya.
“Van, ada kaca tuh gamau nyoba sesuatu?”
Vanya hanya mengangguk, mengikuti apapun yang Jo minta.
Jo dengan semangat duduk dibelakang Vanya, memeluknya dari belakang menghadapkan mereka di depan kaca besar disudut ruangan. Tangannya sudah meremas dada Vanya sedang satu tangannya sudah meraba area vaginanya. Telunjuknya mengusap klitorisnya lembut, jari tengahnya mengocok lubang vagina Vanya.
“Van, lihat kamu cantik banget kalo gini, salah, makin cantik. Lihat lubangmu lapar minta diisi.”
Jo berbisik ditelinga Vanya sembari menjilatinya. Vanya mengangguk serta menggelinjang menatap dirinya sendiri dari kaca. Jo semakin ganas mengocok lubang Vanya, ditusuk perlahan dan dimainkan. Begitupula dengan putingnya yang dipilin dan ditariknya gemas.
“Aaahhh Joo.. tusuk pake punyamuuuu... itu sudah berdirii...”
Vanya menggeliat tak tahan, belahan pantatnya menghimpit penis Jo yang membesar.
Jo masih melanjutkan kegiatannya mengocok lubang Vanya cepat. Vanya menggeliat tanpa ampun tangannya kini sibuk meremas sprei dibawahnya.
“Aaah aaahhh... Joo ayolaaaahhhhh.”
Vanya sudah lemas, tangan Jo sudah basah dengan cairan cinta yang ia keluarkan. Jo merubah posisi Vanya menjadi menungging, kemudian melepaskan boxernya menampilkan kejantanannya yang mengacung.
“Van, gue boleh masuk?”
Jo meminta persetujuan Vanya. Vanya kini menungging dengan siku menjadi tumpuan tubuhnya. Lubangnya kini berusaha ditusuk Jo perlahan. Walaupun sudah berulang kali, namun selalu sakit diawal.
'Aaargggh'
Penis Jo sudah masuk sempurna didiamkannya sejenak untuk menyesuaikan. Vanya mengangguk memandangi tubuhnya yang sedang ditunggangi. Perlahan penis Jo dikeluar masukkan, menghujam g-spotnya.
Vanya sebenarnya malu memandang tubuhnya dari kaca namun setiap kali ia menunduk, Jo selalu menarik rambutnya supaya kembali mendongak menatap adegan bersetubuh mereka.
“Aaahhhh ... Jo lebih keraaaassss... mau keluaaarrr aaahhhh...”
Vanya mencengkram kuat sprei dibawahnya hingga kusut. Hujaman yang Jo berikan dalam lubangnya sungguh nikmat, ia sudah tak tahan untuk melepaskan cairannya.
“Vaaan... sebentaarrrr.”
Jo semakin cepat mendorong keluar masuk penisnya. Ia memegang pinggang Vanya untuk mempermudahnya menusuk lubang vagina Vanya.
Dalam hentakan ketiga Jo menahan pinggang Vanya, melepaskan cairannya dalam rahimnya. Hangat dan meluber keluar. Vanya yang nyaris ambruk ditahan oleh Jo dengan tangannya. Dilepasnya tautan keduanya, kini kembali ambruk bersama.
Jo menciumi punggung Vanya mengucapkan jutaan kalimat cinta. Vanya hanya mampu tersenyum dan terlelap perlahan. Kini usai sudah kisah rumit mereka, sudah saatnya bersama menyambut saat yang baru bersama sesorang yang dicintanya.
Disisi lain malam itu,
Jae melangkah gontai dari apartement Vanya. Menatap miris nasib dirinya yang tidak jelas. Terlibat cinta rumit dengan Ana dan ditolak oleh Vanya. Sungguh malang ia.
Berulang kali ia menarik nafas berat, melirik layar ponselnya. Tertera satu pesan singkat.