Amara.

Happy ending

((KONTEN MINUS MINUS))

BUBBLE BATH

“Morning...” erau Jo sembari merekatken kembali pelukannya ke tubuh sang kekasih.

“Morning ... hmmm... bisa dilepas gak gerah nih.” Tukas sang gadis sembari berusaha melepaskan diri.

Jo masih berusaha merekatkan kembali pelukannya. Semakin menyamankan posisi tidurnya.

“Jo sudah siang ayo bangun, aku lapar.”

Gadis itu masih meronta berusaha melepaskan diri. Tiba-tiba Jo mencium puncak kepalanya dan mengelus lembut surai hitamnya.

“Sudah cerewet lagi tandanya sudah sembuh nih. Mau sarapan apa, sayang?”

Jo kini berguling ke samping kemudian meregangkan otot-ototnya yang kaku. Sedang sang gadis berusaha duduk diatas kasur dengan tangan berusaha menarik selimut untuk menutupi bagian tubuhnya yang terbuka.

Tergambar jelas jejak mereka semalam di bagian leher, pundak hingga dada. Walaupun permainan mereka tidak seperti biasa, tetap saja tanda kepemilikan ini tersebar ke seluruh area tubuh milik si gadis.

“Kan biar semua tau kamu punyaku, ya aku.” Kata Jo setiap ditanya alasan mengapa begitu banyak tanda yang ia tinggalkan.

“Aku mau mandi, selimutnya ku bawa yaaa.” Ujar gadis itu menarik selimut yang ada dan turun dari atas kasur.

Tiba-tiba tangan Jo menahan pergelangan tangan si gadis agar berhenti.

“Gimana kalo mandi bareng aja biar cepet?” Jo masih menggenggam tangan tersebut dengan tatapan penuh harap dan senyum tipis yang tertera diwajahnya.

“Biar cepet apa biar makin lama terus nambah ke yang lain-lain?” Kata gadis itu dengan tatapan yang dialihkan dari pandangan Jo.

Dengan tiba-tiba Jo bangkit dari tempat tidur dan membopong tubuh si gadis. Dengan pandangan terkejut, si gadis otomatis memeluk leher Jo. Selimut yang menutupi tubuhnya terjatuh begitu saja. Ia menyembunyikan wajah merah malunya didalam pundak tegap Jo. Jo terkikih kecil melihat perlakuan si gadis.

“Kan aku sudah liat puluhan kali, kenapa malu?” Jo masih terkikih dan berjalan ke arah kamar mandi.

“Malu..” lirih si gadis dibalik wajah yang tertutupi rambut panjangnya.

“Tubuhmu indah, sayang. Mahakarya Tuhan terindah.” bisik Jo ke telinga si gadis dalam gendongannya.

Mereka kini sudah di dalam kamar mandi. Jo menurunkqn tubuh si gadis dalam bilik shower yang ada di dalamnya. Kini mereka saling tatap, memandangi tubuh keduanya. Si gadis berusaha mengalihkan pandangannya dengan menyalakan kran air tiba-tiba.

Tanpa aba-aba air kran menghujani mereka berdua. Tangan Jo tiba-tiba merengkuh si gadis dan bibirnya menyambar lembut bibir si gadis. Tangan si gadis yang mulanya hqnya menggantung di sisi tubuh kini sudah dikalungkan di leher Jo. Ciuman hangat tiba-tiba berubah menjadi panas dan dalam begitu tangan Jo meraba bongkahan dada dan bongkahan pantat gadis.

Diremasnya lembut dan perlahan dengan ritme yang sesuai dengan hisapan bibir keduanya. Air dari shower masih membasahi keduanya. Kini tangan Jo tiba-tiba meraih sabun cair di tembok sebelah kanan. Dioleskan sabun tersebut ke seluruh tubuh si gadis tanpa memutus pangutan keduanya.

Tangannya membalurkan sabun mulai dada hingga bagian dalam paha si gadis perlahan disertai dengan remasan singkat.

'Eugh..'

Tanpa sadar eluhan itu lolos dari bibir sang gadis kala kedua buah dadanya diremas keras oleh Jo. Kini giliran tangan si gadis ia gunakan meremas inti tubuh Jo dan satunya meremas rambut basah Jo.

Dia sudah di mabuk kepayang dengan perlakuan Jo. Liang tubuhnya sudah basah. Nafsunya sudah memuncak memenuhi seluruh tubuhnya, yang ia mau hanya Jo segera menuntaskan semuanya.

Jo memahami situasi yang ada. Namun ia masih melanjutkan kegiatan membalur sabu ke seluruh tubuh si gadis dengan perlahan dan sengaja melewatkan bagian inti si gadis. Si gadis semakin resah dengan perlakuan Jo. Ia meremas keras penis Jo.

'Aahhhh..'

Erangan Jo memutus pangutan keduanya. Kini dimabuk kepayang.

Kini Jo mengelus lembut klitoris si gadis sembari menjilati telinganya. Tangannya mulai menekan perlahan dan meremas dada si gadis. Ditarik puting merah muda dengan gemas. Satu jarinya sudah lolos masuk ke dalam vagina si gadis. Digerakkan keluar masuk yang membuat si gadis mulai hilang kewarasan. Tangannya makin kuat meremas rambut Jo dan satunya meremas penis Jo yang kian membesar dan berurat.

“Jo ... cukup ... main-mainnya. Masuk...kin. Su-dah gak tahan. Please fuck me right now!” rancu si gadis dengan keadaan basah air dan busa-busa sabun diseluruh tubuhnya. Setengah menggelinjang karena dua jari Jo kini masuk kedalam dan mempercepat ritme tusukan. Lidah Jo kian aktif menjilat, kini tengah menghisap payudara si gadis dengan lahap. Tangan satunya digunakan untuk menahan tubuh si gadis yang sudah melemah.

Jo kini mendorong tubuh ke arah tembok dan disandarkan tubuh si gadis ke tembok. Jarinya sudah ia keluarkan dan kini ia menjilat jemarinya.

“Selalu nikmat.” Jo memandang nakal gadi dihadapannya.

Kini diangkat kaki kiri si gadis ditumpunya dengan tangan kirinya. Tangan kanan ia gunakan untuk mengeratkan keduanya. Dicumbunya kembali si gadis dengan ganas. Kini ia berusaha menerobos vagina si gadis.

'Aahhhh...'

Desah keduanya. Walaupun sudah berulang kali, tetap saja terasa sempit lubang itu. Tentu saja masih menjadi candu bagi Jo.

Di diamkan sejenak junior Jo yang sekarang masih kepalanya saja yang masuk. Cumbuan mereka terjeda sejenak kala si gadis mengangguk tanda siap untuk Jo masuk semakin dalam.

Aaaarghh.. Jo. Kena-pa nikmat sekali?” Desah gadis tersebut ditengah cumbuan mereka.

“Kamu yang ratusan kali tak akan pernah berubah, sayang. Masih rapat, memeras junior ku tanpa ampun.” Jo menghisap kembali dada si gadis dengan rakus.

Di mulainya memaju mundurkan tubuhnya. Menusuk semakin dalam G-spot si gadis. Ritmenya semakin cepat dan brutal. Tangan si gadis semakin keras menjambak rambut Jo seiring dengan tusukan yang semakin dalam.

“Jo.. faster honey, fuck me until i feel dying.” desah si gadis.

Jo semakin mempercepat tusukannya dan hisapan dipayudara kirinya. Payudara kanannya kini sudah diremas keras oleh Jo.

“Sayang, setelah ini aku keluar.” Jo melepas sejenak hisapannya. Menjilat puting dihadapannya.

“Keluarkan.. di.. dalam, please. Ha..ngat sayang ... enaak... aku juga mau keluar.. sama-sama...” desahnya memenuhi seisi kamar mandi yang penuh busa dilantainya.

Jo semakin mempercepat ritme seiring dengan pelepasannya yang kian dekat. Dicumbunya kembali si gadis dengan brutal. Kulumannya kini makin kuat.

“Sekarang!”

Cairan Jo kini sudah memenuhi liang si gadis, dilepasnya junior yang kini sudah terkulai. Diturunkan kembali kaki si gadis. Tangannya digunakan menahan si gadis yang limbung setelah pelepasan tersebut.

“Sekarang ayo kita mandi beneran!” Kata Jo ke si gadis dengan sumringah. Si gadis hanya menggeleng kecil menatap kekasihnya yang lagi-lagi membuatnya mabuk kepayang.

Kini mereka benar-benar mandi dibawah shower berdua. Dengan penuh busa di bilik shower dan gelak tawa yang menyerobot. Bubble bath time yang menyenangkan di pagi hari bersama kekasih, Jo.

Gundah.

Illa hanya mematung di dalam kamar. Tanpa rasa tanpa suara. Terdiam. Pantulan bayangannya dari cermin yang menempel di dinding, menampilkan air mukanya yang dingin.

Huft.

Berulang kali dia menghembuskan nafas kasar. Mengusap kasar wajahnya dan terdiam kembali. Siklus yang memprihatinkan.

Langkah kaki terdengar dari balik dinding. Semakin mendekat ke arah pintu kamar Illa.

'Tok ... tok ...'

“Illa ini kakak. Buka pintu dong.” Suara berbisik dari balik pintu menyeruak keheningan kamar.

“Masuk aja, Kak. Nggak Illa kunci.” Illa hanya menoleh kecil ke arah pintu tanpa berniat beranjak dari posisinya.

Ian memasuki kamar perlahan, mengambil posisi duduk di samping Illa. Memandang nanar adiknya yang terpaut hanya 1 tahun darinya. Perlahan tangannya merengkuh pundak Illa, menepuknya pelan.

“Illa sudah hebat. Illa sudah berjuang, adikku sudah berusaha yang terbaik. Mimpi Alvin bukan tanggung jawabmu, yang jadi tanggung jawabmu ya kebahagianmu sendiri, Illa.”

Ian merekatkan pelukannya kembali saat mengetahui Illa tengah menangis dalam diamnya. Benteng itupun runtuh.

“Illa tau, Illa sudah kuat semenjak mama pergi. Illa dengan tegar dan kuat berkembang hingga sekarang. Illa, papa gak jahat. Papa nggak pengen Illa sedih.”

Illa melepaskan rengkuhan kakaknya, menatap sendu kakaknya.

“Kakak, Illa sayang papa sama kakak. Illa sayang Alvin. Kita semua punya mimpi kan kak? Tapi kenapa mimpi Alvin justru jadi mimpi buruk bagi Illa? Atau bahkan bagi ia sendiri?”

Ian berusaha memahami arah pembicaraan kali ini. Illa masih belum sepenuhnya melepaskan gengamannya dari Alvin. Akar itu tertanam terlalu dalam hatinya.

“Illa tak ada yang salah dengan mimpi-mimpi itu. Yang salah manusianya. Manusia yg tak mengerti langkah mimpinya ke mana. Mereka bertindak berdasarkan ego, dengan dalih memenuhi mimpi. Tapi semua benar, semua benar karena semua punya orientasi yg sama, yakni bahagia.”

Tangan Ian mengusap lembut muka adik kecilnya. Senyum tipis tertoreh di mukanya.

“Illa ingin bahagia, Kak. Apakah dengan mengikuti langkah ini Illa bahagia?”

Ian menggengam kedua tangan Illa. Erat.

“Semoga.”

Keduanya tersenyum tipis, pagi itu, Ian menerbangkan jutaan permintaan atas kebahagian Illa kepada langit. Yang entah dijawab kapan. Namun ia percaya dan masih yakin kelak Illa akan bahagia.

“Yuk, sekarang siap-siap sebelum keluarga Zeus datang.”

Keduanya bangkit dari duduk, Illa berbalik ke arah kamar mandi dan Ian yang keluar kamar menuju kamarnya sendiri

Sore.

Perlahan, matahari berjalan ke ufuk barat. Sudah 30 menit Eca berada di taman. Dia masih menggerutu dengan sikap temannya yang membuatnya kurang nyaman.

Terlihat Eca sedang memainkan kerikil ketika Ayah sudah sampai di tempat Eca berada.

“Dek? Kenapa mukanya ditekuk gitu sih? Tumben amat. Padahal biasanya selalu senang kalau habis ketemu teman,” tanya Ayah ketika sudah berada di dekat Eca. Eca mendongak lalu tersenyum pada ayahnya.

“Nanti Eca ceritakan di mobil, Yah. Yuk pulang. Hehe...”

Ayah dan Eca berjalan menuju mobil. ___

“Kenapa sih, Dek? Dari tadi Ayah liatin kamu uring-uringan mulu?” tanya Ayah ketika Eca belum juga membuka suara setelah memasuki mobil. Eca hanya membuka HP, mengetik beberapa pesan, mendecak sebal, dan begitu selama berulang kali.

“Ini, Yah. Ada temen Adek yang kalau cerita nggak tahu kondisi,” adu Eca pada Sang Ayah.

“Nggak tahu kondisi kayak gimana?” tanya Ayah masih belum paham maksud Eca.

“Kan tadi Eca ngerjain tugas kelompok sama temen Eca. Terus Eca lagi pusing mikirin tugasnya, harusnya kan dia juga ikutan mikirin gimana biar tugas ini tuh cepet selesai. Bukannya malah curhat tentang gebetannya lah, si A lah, si B lah. Eca jadi makin pusing, Yah. Curhat boleh tapi kerjain dululah tugasnya. Eca juga bakal dengerin kok kalau emang mau curhat. Tapi mbok ya tahu situasi gitu, loh.”

Eca menggebu mengeluarkan unek-uneknya pada Ayah. Ayah tersenyum maklum.

“Terus tadi Adek udah negur temen Adek?”

“Udah, Yah. Tapi dia malah marah-marah. Adek malah dibilang nggak bisa ngertiin dia. Adek dibilang udah nggak mau temenan sama dia lagi. Ya Adek jadi marahlah. Terus Adek beres-beres, lalu pulang. Capek, Yah,” keluh Eca.

“Aduduh, anak cantik Ayah serem juga kalau ngambek.”

“Ih, Ayah kok ngeledek sih. Habisnya Adek sebel, Yah.”

“Hahaha, iya adek nggak salah. Adek pasti sebel banget kalau ada tindakan dari temanmu yang kebetulan tidak sesuai dengan kehendakmu .... ” Ayah menjeda obrolannya. Mencoba mencari kata supaya tidak terlalu memojokkan putri satu-satunya ini.

“Sebel boleh, Dek. Marah juga boleh. Tapi Adek udah bener-bener ngerti belum kondisi dari temen Adek sebenarnya? Apa iya dia curhat dengan begitu bahagianya itu adalah dia yang sebenarnya? Atau dia lagi berusaha menghibur diri karena keadaan sedang tidak berpihak padanya?”

Adek diam mendengar nasihat, Ayah. Dalam hati ia membenarkan juga karena pas Eca datang, temannya itu terlihat murung. Tidak seperti biasanya.

“Kalau Adek belum benar-benar ngerti, Adek boleh kok negur temen Adek, tapi dengan bahasa yang lebih halus. Mengingatkan misal dengan bilang, 'ayo kerjakan tugas ini dulu. Nanti setelah selesai, aku bakal dengerin curhatanmu sampai tuntas,' sertai senyuman juga. Dia pasti bisa ngerti. Adek nih kebiasaan kalau udah sebel dari awal langsung ngegas kayak motor king. Berisik. Emosi lagi. Hahahaha...”

“Ih, Ayaaah. Kenapa nyamainnya sama motor king, sih?”

“Yaaa, emang bener. Adek kalau lagi marah beneran kayak motor king yang kalau lewat bikin budek kuping. Sadar nggak, Dek?”

Adek menggeleng menanggapi perkataan Ayah.

“Nah, temen Adek juga pasti nggak sadar udah bikin sebel Adek. Tau-tau aja Adek langsung ngegas. Temenmu pasti kaget, makanya dia terus bilang kalau Adek nggak bisa ngertiin dia.”

Eca masih merenungi perkataan Ayah. Ada benarnya juga, pasalnya tadi Eca langsung meninggikan suara ketika temannya masih membicarakan hal yang menurut Eca tidak penting. Terbesit rasa bersalah. Tetapi, di sisi lain Eca juga masih sebal karena Eca juga ingin didengar.

“Adek mau minta maaf ke dia?”

“Kenapa harus Adek yang minta maaf, Yah?”

“Karena dalam hal ini Adek yang udah membentak dan menyakiti seseorang.”

“Tapi, kan, Yah ....”

“Iya, Ayah tahu. Adek melakukan hal benar dengan menegur, tapi cara Adek salah. Adek kalau dibentak temen, padahal Adek nggak ngerasa melakukan kesalahan, terus menurut Adek siapa yang salah?” tanya Ayah lagi.

Eca masih diam tidak menanggapi, tapi batin Adek menjawab ia akan menyalahkan teman yang membentaknya.

“Teman Adek juga pasti ngerasa Adek yang salah. Terus kalau Adek masih egois, Adek bakal bener-bener kehilangan teman. Ayah tahu Adek bisa cari teman lagi. Tapi apa iya Adek beneran mau kehilangan teman walaupun bisa cari lagi?”

Eca menggeleng.

“Oke, Yah. Nanti Adek minta maaf sekalian menjelaskan kenapa Adek marah dengan selembuuut mungkin. Tapi kalau dia nggak mau ngertiin Adek gimana, Yah?”

“Beri dia pengertian. Dalam hal ini Adek harus ekstra sabar ngasih tahunya. Jangan tersulut emosi. Semoga teman Adek juga intropeksi diri sebelum Adek menjelaskan. Tetapi, kalau Adek sudah dibatas kesabaran Adek dan teman Adek masih juga nggak ngerti maksud Adek, sini bilang sama Ayah.”

“Lah? Mau Ayah apain anaknya?”

“Mau Ayah traktir makan biar nggak uring-uringan mulu. Orang laper suka rese, Dek,” pungkas Ayah membuat Eca terpingkal karena mengingat iklan di televisi.

Adek pun memutuskan untuk meminta maaf nanti setelah sampai rumah. Dan mungkin Adek harus membagi lagi pekerjaan kelompoknya supaya bisa dikerjakan dengan jarak jauh.

“Mau mampir makan dulu?” tawar Ayah.

“Boleh, Yah. Eca pingin nasi padang dekat komplek.”

“Oke, Leggo,” seru Ayah semangat. Eca hanya menggeleng dengan tingkah ayahnya.

((KONTEN MINUS MINUS))

BIKIN SEHAT?!

19++

Screenshot-20210516-010607-Me-Mi-Message Screenshot-20210516-010617-Me-Mi-Message Screenshot-20210516-010630-Me-Mi-Message

Gadis kembali meletakkan ponselnya dinakas dan merapatkan selimut yang ada. Dia tau kekasihnya akan tiba 15 menit kemudian. Tanpa perlu persiapan apaoun kekasihnya kan tiba dan langsung menindih tubuhnya. Mungkin kali ini akan berbeda mengingat ia sedang sakit.

Tak lama pintu apartemen terbuka, langkah kakipun terdengar dari arah ruang tengah.

Terasa ada beban lain yang menimpa kasur ukuran sedang tempat gadis itu tidur.

“Sayang, sudah sampai. Aku bawa bubur. Mau disuapin?” Jo menatap sendu wanita dihadapannya. Mengelus surai hitam gadisnya dengan harap meringankan demam yang diderita.

“Ah, maaf ketiduran. Gausa nanti dulu, sini peluk.”

Tubuh Jo ditarik lemah oleh gadis dihadapannya supaya masuk kedalam pelukan.

Jo terdiam menuruti keinginan sang gadis. Dielus lembut kemudian ia kecup ringan puncak kepala sang gadis.

“Dingin ya? Mau lebih hangat?” Jo masih memeluk erat tubuh itu dari balik selimut. Turut merasakan suhu tubuh sang gadis yang tak kunjung turun.

Gadis itu hanya menangguk lemah. Disibaknya selimut yang melilit tubuhnya dan mempersilahkan Jo untuk masuk memeluk erat tubuhnya.

Sungguh saat permukaan kulit keduanya bersentuhan, aliran darah Jo semakin deras. Ia tau ia sedang dalam posisi on. Tapi sadar wanitanya sedang dalam keadaan sakit.

“Jo, aku tau kamu mau.”

Jo mengerutkan dahinya.

“Apa?” Jo berusaha memandang wajah wanitanya.

“Tuh berdiri.”

Dengan polosnya wanita itu menatap Jo dan meraba-raba bagian bawah. Jo hanya diam menahan gejolak nafsu.

“Gaapa, pelan-pelan aja gimana?” Kata gadis itu dengan tangan mengelus lembut bagian sensitif itu dibalik jeans hitam Jo.

Jo meraba lembut bibir gadis dihadapannya. Tangan satunya ia jadikan bantal untuk kepala si gadis. Ia mulai mendekatkan bibirnya. Dimulai dari ciuman tipis dan hangat hingga cuiman yang dalam dan semakin basah.

Tangannya tak lagi diam, satu mulai meraba area dada yang hangat karena demam, satu lagi untuk menekan kepala gadisnya supaya ciuman itu lebih dalam.

Walaupun lemah gadis itu mengikuti ritme yang Jo berikan. Lembut tanpa terkesan menuntut. Tangan yang sebelumnya ia gunakan untuk mengelus, sekarang beralih ia berikan sedikit pijatan lembut.

Ruangan itu kini penuh dengan suara hembusan nafas dan peluh. Suasananya semakin panas. Masih dibalik selimut yang ada keduanya beradu cumbu. Pakaian mereka sudah ditanggalkan. Kini dua permukaan kulit yang saling menyatu.

“Gimana masih pusing? Demamnya masih?” Tanya Jo dalam posisi memeluk erat wanita disampingnya.

“Enggak sudah lebih baik. Tapi Jo ... ” wanita itu menjeda kalimatnya. Menatap Jo singkat. Jo hanya berdehem singkat.

”... itu gamau dilepas? Dibiarin didalem sampe pagi?”

Sumber: kumparan.com/kumparanmom/5-penyakit-yang-bisa-sembuh-dengan-berhubungan-seks

Mark and Sal.

Minggu pagi seperti biasa dihabiskan dua sejoli ini dengan menikmati semilir udara depan teras rumah mereka.

((KONTEN MINUS MINUS))

Yuk Olahraga!!

Bijaklah menjadi pembaca ada baiknya kalo gak sesuai umur atau gabisa bijak mundur dah~

7vr60j

2yd1jy

Perayaan.

Disaat setiap manusia merayakan gembiranya, akankah kau masih memendam duka di dalamnya?

Perayaan ini bukan topeng, Kawan.

Mengapa kau masih menyimpan duka dalam pelepasannya?

Duka adalah bagian dari gembira. Ia erat dan terikat.

Tanpa duka, gembira tak lagi terasa.

Semua hampa bila hanya dalam satu rasa, bukan?

Gelap, hitam, kan terus mengiringi pelangi. Begitu dengan duka.

Aku bukanlah hamba dengan sejuta rasa syukur. Keluhku bersanding banyak dengan jajaran dosa yang tertimbun.

Masih layakkah kumerayakan perayaan?

Merayakan perayaan atas duka-duka yang menumpuk.

Merayakan bahwa duka inilah sejatinya kawan yang menguatkan, hingga titik ini.

Trap.

Ten masih memandangi selembar foto yang terbakar bagian sudutnya. Lamat ia mengamati sesosok yang ada di dalamnya.

Baginya setiap hari punya ritme dan alunan nadanya sendiri. Tapi sejak Ashila menghilang dunianya menjadi bisu.

Tenggelam dalam keheningan, tersudut dalam sudut yang gelap.

Ashila dalam foto masih indah dengan senyumnya walaupun sudah setengah terbakar. Namun, Ashila di kehidupan nyata tak lagi tersenyum padanya.

Penyesalan selalu tiba di akhir. Ten menyesali setiap detik perpisahan mereka. Rangkaian perpisahan mereka menjadi mimpi buruknya. Kalimat-kalimat perpisahan yang ia sangka hanya candaan ternyata sungguh terjadi.

Mereka dua sejoli dengan batu besar di atas kepala mereka. Tanpa sadar saling membentur dan menyakiti. Ten menyesali kenapa ia tak pernah menyadari bahwa setiap detik Ashila selalu berusaha menahan egonya yang sama-sama besar. Justru Ten semakin mengeraskan egonya dan melawan kembali ego Ashila yang melunak.

Perdebatan sederhana mengenai tempat makan hingga perdebatan mengenai prinsip hidup kian menghiasi hari-hari mereka. Tanpa sadar mereka saling memupuk luka, bukan cinta.

Hingga puncak penyesalan Ashila ketika kala itu ia bertanya, “Ten, bila kau dihadapkan pilihan meninggalkanku demi mimpi besarmu atau hidup bersamaku menyusun bata-bata kehidupan yang baru untuk mimpi yang baru, mana yang kau pilih?”

Pertanyaan seperti ini kerap Ashila tanyakan padanya. Ten yang kala itu meletakkan mimpi besarnya di atas segalanya dengan bodoh menjawab, “melanjutkan mimpiku apapun resikonya, Shil. Termasuk kehilanganmu.”

Ten sebenarnya kalut, kemudian menjawab sekenanya. Namun, Ashila tidak. Dia menelaah setiap kata yang Ten lontarkan. Hingga esoknya perpisahan itu terjadi.

Ashila mengatasnamakan perpisahan mereka sebagai bentuk damai ia atas semua ego yang membentengi Ten darinya. Ia memilih menyerah.

Ten kala itu masih buta, tak tahu bahwa Ashila lah poros dunianya. Ashila lah sumber mimpinya dan benar, ia kehilangan segalanya. Bersama dengan terhapusnya bayang-bayang Ashila di ujung jalan. Kemarahan menguasainya ketika mimpinya pupus begitu pula cintanya.

Semakin kehilangan hidup dan akal sehatnya. Kini ia hanya seonggok daging dengan penyesalan yang memenuhi tubuhnya. Pintanya sebelum ajal hanya satu, “Bila aku diizinkan mengulang waktu, sudikah kau memaafkanku dan kembali padaku?”

Ayah.

Ayah. Seribu diam kerap kali kau lakukan.

Ayah. Berisik kepalamu kerap kau abaikan.

Ayah. Ketika hidup penuh teka-teki, kau lah teka-teki terumitnya.

Ayah. Ketika ku pikir A, kau malah memberiku jawaban X.

Ayah. Dunia penuh tanya dan abu-abu kan? Tapi mengapa banyak yang menentang ku kala hitam kupilih menjadi warna ku?

Ayah. Aku masih tak mengerti tentang dunia. Layak kah aku masih singgah disini?

Ayah. Bila ku masih boleh singgah, bisakah ku pilih warnaku? Tanpa lagi kau tuntun aku.

Ayah. Aku mampu berlari sendiri kini. Mengarungi dunia dengan berani.

Ayah. Dunia memang rumit. Seperti isi kepala mu. Kini ku mengerti. Karena kala dunia memberi pertanyaan, A hingga Z adalah jawaban.

Ice Tea

Apakah kamu mengingat bagaimana pertemuan pertama kita?

Saat itu, hujan turun memanduku masuk ke salah satu kedai kecil tepi jalan. Kamu dengan segelas es teh manis dalam genggaman.

Hujan, kamu, dan es teh.

Kombinasi yang aneh, tapi tak apa, aku suka.

Pandangan pertama yang membuatku jatuh cinta. Bayangan tentangmu menghantui seluruh relung.

“Permisi, boleh saya duduk sini?”

“Silahkan.”

Senyummu semanis es teh yang kamu genggam. Nampaknya diriku sudah dibutakan pesonamu.

“Dingin-dingin kenapa milih es teh, Mbak?”

“Kenapa memang?”

“Kombinasi yang unik.”

Pandanganmu teralih ke arah jendela, masih deras.

“Karena hujan datang menghapus jejaknya. Namun, saya masih ingin menggegamnya. Kali ini saya hanya mampu menggenggam dalam rupa minuman yang ia suka.”

Senyum tipis terpatri dalam wajah menawanmu.

“Boleh aku menawarkan bantuan?”

Raut muamu penuh tanya.

“Maksudnya?”

“Izinkan aku menggantikan es teh itu, bukan sebagai sesuatu yang kau genggam dalam kenangan tapi sesuatu yang kau genggam dalam kenyataan.”

Kamu terdiam tak menjawab. Hanya memandang gelas es dan tersenyum tipis.

“Tawaran menarik. Sayangnya, apakah kamu mampu menggantikan ibuku? Karena ia yang kini tak lagi bisa kugenggam dan es teh ini adalah minuman favoritnya.”

Ya, dunia memang sedang melucu padaku.

Aku terdiam menutup muka. Tak sanggup menjawab pertanyaannya.

Hujan mulai reda, kuputuskan pergi dari sana meninggalkan ia dalam tawa yang tertahan.

Kini, pertemuan kedua kami. Dalam dua balutan setelan formal. Di depan stand minuman di restoran all you can eat. Dia, es teh dan hujan. Masih situasi yang sama.

Yang membedakan kini kamu tak hanya menggenggam es teh tapi menggenggam tangan mungil di tangan lainnya.

“Hai, kamu Mas 'Es Teh', kan?”

“Ah, iya.”

“Lama tak jumpa. Bagaimana? Apakah masih ingin menjadi pengganti es teh?”

“Maksudmu?”

“Iya, menjadi sesuatu yang bisa digenggam dalam kenyataan bukan hanya dalam kenangan, bersamanya.”

Ia mengangkat salah satu tangan yang menggenggam tangan mungil itu. Tanpa basa-basi. Dunia memang sebercanda itu. Sebercanda menikmati es teh di tengah hujan. Tidak salah, tapi nanti pilek.