Amara.

Happy ending

Mau sampai kapan mereka menari.

Mau sampai kapan mereka menari di bawah mentari? Dalam naungan awan dan pelangi setelah hujan. Tautan itu tak akan terlepas.

Mau sampai kapan mereka menari di bawah mentari? Derap langkahnya masih terdengar hingga kini. Masih saling saut menyaut satu sama lain.

Mau sampai kapan mereka menari di bawah mentari? Dua insan yang saling tertaut. Dua insan dengan alunan nada yang seirama. Dua insan yang kini satu.

Rasa.

Pernahkah kau terlibat percakapan panjang mengenai hidup? Jika pernah, tolong cermati kembali.

Selena menatap kembali jajaran kisah yang telah ia tulis.

Merangkai kata bak merangkai hidup,” tukasnya.

Dengan pandangan yang nanar ia memandang rangkaian kisah yang ada.

Selena masih menyesali perbedaan definisi antara ia dan Mark. Ia masih yakin bahwa kisah mereka adalah rangkaian kata yang telah sama-sama mereka susun.

Namun, Mark punya pendapat lain. Kisah mereka adalah kisah yang tidak akan pernah tertulis dalam rangkaian kata. Karena kata tak akan pernah berisi nilai hidup dan rasa.

Benar, rasa.

Hidup tampak seperti menikmati setiap rasa yang hadir dan kata tak akan sanggup merangkum semuanya. Kata tanpa rasa hanyalah kehampaan, begitulah sebaliknya.

Harusnya kala itu Selena menyadari, sebuah tanda bahwa mereka telah kehilangan rasa. Terlihat sejak rasa dalam katanya sudah dipenuhi titik atau bahkan harusnya ia juga sadar bahwa rasa itu tidak pernah ada. Hampa.

Ya, hidup mereka bukan di atas nilai dan rasa yang sama lagi. Kisah mereka hanyalah bayangan semu atas rangkaian kata dalam kisah. Hanya kata, tanpa nilai hidup dan rasa.

Selena masih setia merangkai kata tanpa rasanya. Karena ia yakin kelak satu dari jutaan rangkaian kata yang ia buat akan bernilai rasa. Walaupun ia tahu semua hanya kehampaan.

Midnight

Deru detaknya masih terasa ringan. Hangat dalam rangkaian kata yang telah terucap. Tenang, menenangkan jiwa.

Tidak!

Deru detaknya punya makna lain. Ia menuntun pada rangkaian peristiwa tak terucap. Peristiwa yang tertimbun selimut hangat, namun, nyatanya penuh kabut dini hari.

Ditengah malam ia bergelut. Dalam kotak pandora kehidupan. Kini ia tak takut lagi sendiri. Kameo kehidupan tlah tiba.

Kabut dingin kan berangsur punah. Hanya menunggu fajarnya tiba. Tak lagi sendiri dalam penantiannya. Kameo datang dalam keheningannya. Merengkuh kembali, menyusun deru detaknya menjadi kembali hangat.

last night ever.

Malam kali ini cukup berbeda. Kami, dua orang budak korporat, tanpa sengaja menghabiskan waktu bersama.

Obrolan lepas di atas KRL mengantarkan kami berdua duduk di depan meja bar dengan segelas bir di tangan.

Lelaki itu, Jo, begitu ia mengenalkan namanya. Pria tinggi dengan setelan khas pegawai kantoran yang melekat di tubuhnya.

Jo mengawali percakapan dengan sebuah diskusi klasik tentang musik yang diputar oleh pihak KRL, kemudian kami saling menyadari kalau kami sepemikiran. Pada akhirnya kami berlanjut di sini, di sebuah bar, membicarakan makna hidup dalam keadaan setengah mabuk. Saling menertawakan hidup, tentu.

Jo bercerita bahwa dia telah mengabdi sepuluh tahun di perusahaan, namun jabatan tertingginya hanya wakil manager sebuah divisi kecil. Jujur Ia lelah. Dituntut oleh keluarganya untuk segera menikah. Namun, dia sendiri tahu jika tiap akhir bulan masih terlilit tagihan paylater uang digital.

Aku yang merasa senasib pun ikut tertawa terpingkal. Ah, lebih tepatnya tertawa miris. Bertahun-tahun tidak bekerja, menuntunku menyesali deretan angka dalam ijazah atau gelar kehormatan yang kusanding kala masa itu. Seperti dipermainkan nasib.

Katanya hidup bukan tentang deretan angka, bukan pula tentang validasi. Tetapi, berisi seberapa pamrih kita kepada hidup. Tidak dinilai dari nominal, tapi dari makna hidup yang terserap. Tidak berstandar, semua rahasia.

Benar adanya, tapi mengapa semua menilai seolah-olah terdapat standar?

Kami kembali meneguk bir dingin di tangan. Kini lantai dansa telah ramai. Penuh lautan manusia yang berusaha lari dari rutinitas memuakkan sehari-hari.

Kali ini aku bukan tertawa, tapi menangis. Benar. Standar. Siapa yang tengah lancang menciptakan standar seolah-olah bahagia akan datang setelah semua terlalui. Apakah kala kita melalui semua itu kita harus tenggelam dalam duka?

Lelaki itu hanya menatapku, tanpa arti. Ia tahu hidup begitu memuakkan.

“Karena standar bahagia ada padamu, bukan pada orang lain. Yang membuatmu terluka karena standar itu bukan orang lain, melainkan dirimu sendiri. Dunia tetap berjalan semestinya. Begitupun hidupmu. Kala standar yang kau tetapkan tercapai atau tidak. Kitalah yang membunuh bahagia itu tanpa sadar.”

Jo mengatakannya dalam satu tarikan nafas sebelum ia menengguk kembali bir di tangan.

Tanpa sadar akulah yang membunuh aku. Akulah yang menetapkan standar bahagia tanpa menelaah kembali apa yang telah terlampaui. Orientasi pada hasil akhirlah yang membawaku ke ekspetasi yang tinggi hingga menciptakan standar pada diri.

Apakah bahagia?

Tidak.

Nafasmu akan semakin tercekat seiring waktu berjalan.

Jo menarik pergelangan tanganku. Menuntunku ke lantai dansa. Dalam balutan irama, terdengar sebuah lirik penuh makna.

We don't give a fuck about tomorrow We don't really care about the day after All we care about is tonight Tonight is the last ever

Benar.

Mari kita anggap hari ini adalah hari terakhir. Lupakan kemarin, dan jangan pedulikan esok. Karena kita tau bahwa bahagia tercipta dari diri, menuntun diri untuk menikmati hari ini tanpa kekhawatiran hari esok, nan seterusnya.

amara.

Sendu.

Illa menuruni tangga rumahnya dengan lunglai. Dia selalu membenci situasi ini. Rumah, Keluarga papa, dan Obrolan. Tiga hal yang paling Illa hindari sejak kepergian Mamanya lima tahun lalu.

Illa memandangi ketiga orang yang sedang duduk di sofa ruang keluarga. Menarik nafas berusaha menetralkan pikiran.

“Illa, sini. Tante mau tanya-tanya tau.”

Tangan Illa ditarik tiba-tiba oleh Tante Saras, Adik oma.

20 menit berjalan Illa dihujani pertanyaan-pertanyaan seputar kuliah, Zeus, hingga persiapan pertunangannya. Ia hanya terdiam dan menjawab seperlunya karena papa lah yang menjawab sebagian besar pertanyaan.

“Ternyata kamu udah becus ngasuh anak, ya?”

Oma menginterupsi pertanyaan Tante Saras. Sarkas. Jelas sekali. Papa selalu dinilai tidak becus mengatur keluarga karena mama bukan sosok yang sesuai harapan oma.

“Sudah yakin calonnya gak kek istrimu? Ilang tengah jalan ninggal anak tau-tau nikah sama yang lain.”

Papa hanya tersenyum tipis. Tangannya mengepal menahan emosi.

“Zeus rekan kerjaku, Ma. Aku yakin dia yang terbaik.”

Papa tak mampu menjawab lebih banyak. Takut yang keluar bukan jawaban tapi airmata.

“Illa gimana? Kuliahmu udah baru beres? Tadi kata Saras harusnya kamu lulus bareng Talia, kenapa baru lulus? Kuliah gak guna aja, kampus gak terkenal buat apa?”

Oma memandang Illa sinis, sedangkan Tante Saras memandangi ponselnya tak peduli.

“Illa baik-baik aja kok. Kuliah Illa empat tahun gak kurang gak lebih, Talia tuh yang aneh, jelas kuliah D3 tiga tahun ngapain dia lulus bareng Illa 4 tahun. Apa oma lupa? Illa masuk kampus beasiswa penuh, mahasiswa berprestasi, dan lulusan terbaik nanti saat wisuda. See, siapa yang lebih unggul?”

Illa memandang nyalak oma didepannya. Ia tau salah besar yang ia lakukan. Papa akan semakin terhujat kini.

“Oma cuma nanya, kenapa kamu jadi pamer begitu? Siapa yang ngajari kamu gak beretika begitu?”

Oma mengalihkan pandangan ke arah Papa yang termangu memandang Illa. Sejujurnya papa tak mengetahui kegiatan Illa di kampus.

“Illa, pergi naik sana tidur. Besok harus lanjut survey.”

Papa menarik lembut tangan Illa, menyuruhnya untuk pergi dari ruang keluarga dan mengakhiri perdebatannya dengan Oma. Illa bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan ruang keluarga. Terbakar amarah sudah dengan pertanyaan-pertanyaan tadi. Sudah bisa ditebak Papa malam ini akan penuh dengan omelan dari Oma karena sikap Illa barusan.

Americano Tripleshot

Pelayan kafe datang membawakan segelas ice americano dan sepiring butter rice with chicken lemon sauce milik Kalla. Sementara itu Illa masih menunggu pesanan tambahan dia Miso ramen.

Mereka terlibat percakapan basa-basi mengenai hari mereka atau sekadar membahas topik hangat terkini. Tampak mereka sudah cukup akrab.

“Illa, maaf nih kalo gue ngasal. Bener gak sih kalo gue ngerasa lo cuma 'menikmati' pertunangan ini bukan 'jatuh dan mencintai' pertunangan ini. Ya gatau cuma perasaan gue aja atau emang gimana?”

Kalla bertanya santai sembari menyuapkan nasi ke mulutnya. Menatap Illa yang tiba-tiba termenung.

“Lo bisa gak sih kagak tiba-tiba?”

“Ha?”

Kalla terkejut dengan pernyataan Illa, diluar perkiraannya Illa akan menjawab begitu.

“Maaf kalo bikin kaget, hahaha. Bisa dibilang begitu, Kal. Keliatan ya?”

Kalla masih menyendokkan nasi kemulutnya dengan tenang.

“Iya, keliatan lah. Lo mau tunangan tapi ekspresi lo gak ada happy-nya. Malah kek orang frustasi mikir utang.”

Illa menarik nafas berat dan menghembuskan dengan keras. Ramen di hadapannya tak lagi menarik. Ia melipat kedua tangannya dan mulai berbicara.

“Kal, kalo gue nitip mimpi ke orang lain salah gak?”

Kalla melirik Illa sekilas, kemudian melanjutkan makannya kembali.

“Bukan salah, Il. Tapi menggantungkan harapan ke pundak orang lain apakah menjadikanmu bahagia?”

Illa mematung. Kalla yang beberapa jam lalu baru ia kenal seolah mengerti pemikirannya.

“Bukan tidak bahagia. Aku hanya semakin tak mengerti jalan hidup.”

Illa mengaduk acak ramen di depannya. Tertunduk dengan pikiran yang semakin runyam.

“Jalani apa yang kamu rasa benar, Il. Bahagiamu adalah tanggung jawab dirimu sendiri. Kalo dengan ini kamu bahagia, jalani. Kalo tidak sudahi. Tidak ada yang benar-benar merugi nantinya.”

Kalla menyesap ice americano tripleshot-nya dengan tenang. Menyudahi makan malamnya. Illa masih penuh tanya, tidak memahami maksud dari perkataan Kalla.

“Sudah jangan kau ambil pusing, acaramu tinggal beberapa hari lagi. Sudah tak ada waktu memikirkan rasa penyesalan dan bersalah. Kau mungkin belum 'jatuh dan mencinta' untuk saat ini. Gatau kan esok atau lusa bagaimana?”

Kalla bangkit dari duduknya. Berjalan perlahan ke meja kasir. Meninggalkan Illa yang masih mematung. Setelah Illa menyadari Kalla meninggalkan kursinya, ia pun turut beranjak kearah kasir.

“Kall, biar aku aja yang traktir. Itung-itung ganti anter pulang nih.”

Illa langsung menjulurkan kartu kreditnya ke pagawai kasir. Kalla menutup kembali dompet hitam miliknya dan memasukkan kembali ke saku jasnya.

“Waaah, thanks. Sering-sering deh, lumayan nih gaji bulanan gue bisa buat beli kamera baru.”

“Terima kasih.”

Illa mengambil bon dan kartunya kembali. Memasukkannya ke dalam dompet dan tas kecilnya.

“Lo suka fotografi?”

Mereka mengambil beberapa barang yang tertinggal di meja dan berjalan menuju pintu keluar.

“Ya hobi lah. Dikit-dikit buat sampingan kalo lagi bosen. Hiburan, nambah duit juga.”

Kalla membantu Illa membuka pintu dan berjalan beriringan menuju mobil di tempat parkir.

“Boleh dong ntar pas gue tunangan lo fotografernya?”

“Dengan senang hati, Kawan. Asal bayarannya cocok ya.”

Mereka tertawa lepas bersama. Sore itu ditutup dengan perbincangan basa-basi dalam mobil. Langkah awal dua insan ini menjalin persahabatan.

amara.

Lelaki itu bernama Kallavan.

Mentari mulai turun di ufuk barat. Jalanan kian menggelap, lampu-lampu jalan mulai dinyalakan. Illa masih duduk termangu di salah satu sudut kafe dengan ice americano di tangannya. Sesekali ia mendengus dan mengaduk acak minumannya.

Denting jam masih bergulir. Tanpa sadar ia sudah menghabiskan 2 jam berada di sini sejak usai fitting baju pertunangannya akhir minggu nanti. Harusnya sekarang ia tidak duduk di sini sendirian dan menyedihkan. Namun, memiliki calon tunangan super sibuk juga bukan permintaan Illa. Sesekali ia menyesali keputusannya, sesekali pula ia bangga ke diri sendiri atas keputusan besar yang sudah ia buat.

'Bagaimana kabar Alvin ya? Apakah dia baik baik saja?'

Pertanyaan-pertanyaan mengenai Alvin masih berputar di kepala Illa. Munafik bila Illa sudah sempurna melupakan Alvin.

'tring..'

Denting lonceng di atas pintu masuk memenuhi sudut ruangan. Tanda seseorang masuk kedalam kafe.

“Kamu Illa?”

Suara bariton menginterupsi lamunan Illa.

“Benar, Kalla ya?”

Illa menegakkan punggungnya dari duduk lesunya. Menatap sosok lelaki berambut panjang yang ada dihadapannya.

“Yap, Kallavan. Junior staff -nya Bang J. Lama ya? Maaf macet.”

Kalla, nama pria itu, kini sudah menarik kursi di hadapan Illa dan merapikan rambutnya yang sempat berantakan karena angin sore.

“Ah, enggak kok. Kamu mau minum dulu sebelum pulang?”

Illa menawarkan menu kehadapan Kalla karena dia memang sedang tidak terburu pulang. Dirumah juga hanya ia sendiri, Ian harus kembali ke luar kota untuk mengurus magangnya, begitu pula Papa nya yang pulang larut setiap hari.

Illa hanya butuh teman. Illa butuh didengar. Karena ia tak lagi punya sahabat karib sejak kuliahnya usai dan Alvin yang ia tinggalkan.

Lagi-lagi Alvin.

Kalla menerima buku menu tersebut setelah usai merapikan rambut dan bawaan yang ia bawa.

“Eh, lo gak keburu pulang, kan? Ini jam macet makanya kita makan malam sekalian aja di sini, takut mati muda di jalan. Pake lo gue aja kali ya, anggep temen dah.”

Kalla nyerocos tanpa henti membuat Illa kagum. Lama ia tak menemukan kawan seperti ini.

“Gue gak lagi keburu kok. Kebetulan juga nganggur. Pening di rumah. Thanks udah mau direpotin, ngerasa gak enak tau-tau numpang pulang.” Sesekali Illa melirik Kalla yang masih sibuk memilih menu, takut salah memilih kata.

“Hahahaha tenang aja. Lo kan calon Bang J kan ya. Jadi, ya otomatis masih temen gua juga. Gausa sok kaku gitu deh, kita hampir sepantaran napa kagak temenan aja?”

Kalla menutup buku menu di tangan disertai senyuman yang melengkung di wajahnya. Ajakan bertemannya bukan main-main.

“Dengan senang hati, kawan.” Illa tersenyum lebar, kini ia tak lagi sendiri.

amara.

Sorot kamera tertuju pada satu titik. Menangkap satu objek dalam ribuan gambar. Masih kulihat sinarmu tak pernah pudar ditelan cahaya blitz kamera.

Bahagia kah kau di sana? Semoga. Elang ku telah mengudara. Melenggang elok di tatanan sang langit. Indah. Namun, menyimpan sendu.

Belenggunya kini sempurna kau lepas. Sempurna juga kau tinggalkan aku. Bukan aku menyesali ini, tapi tatanan takdir kita memang tak satu. Aku, kamu hanya tercipta sebagai belenggu bukan rengkuh.

Sinar-sinarmu masih tersisa di sudut-sudut rumah, hingga tepian danau tempat kuluruhkan belenggu. Masih terekam jejak jejak tipis nafasmu, senyummu, langkahmu.

'Bagaimana kabarmu?.'

'Akankah aku masih jadi tempat singgahmu?.'

sad story.

Ini udah tanggal 28, cicilan banyak, belum ada uang. Tugas menggunung dan masih setia menghalu.

Sad ending.

Masih jadi misteri apa alasanmu mau mengenalku. Ratusan pertanyaan hanya menghasilkan pertanyaan yang baru. Rumit dan kamu tak pernah menyangkal hal ini.

“Kamu tahu, kamu indah seperti merpati dalam sangkar,” kataku saat sore yang kita habiskan bersama di tepian danau kala itu.

“Terima kasih kuanggap itu pujian,” jawabmu di tengah mengamati bangau-bangau di sisi danau.

“Tapi aku tidak sedang memujimu.” Pandanganku mengitari danau sekitar kami kemudian mendongak menatap langit.

“Maksudmu?” Tanganmu berhenti memainkan bebatuan dan menatap tajam kearahku.

“Iya, aku lebih senang menatapmu seperti elang di atas,” jawabku sembari menunjuk ke arah elang yang sedang mengudara.

“Bebas?” Nada suaramu penuh tanya. Yang kuingat kau selalu membenci percakapan ini. Kebebasan yang kau maknai berbeda denganku.

“Iya, nampaknya genggamanku terlalu erat padamu. Izinkan aku melepaskannya. Terbanglah. Jadilah elangku.” Aku menutup pernyataan ini dengan senyum. Menatap kedua mata sendumu lamat-lamat.

“Berhentilah berbicara tentang erat dan kebebasan. Sejatinya ini cinta, bukan belenggu.” Pandanganmu semakin mengeras. Entah keberanian dari mana kamu merengkuh daksaku dengan kedua tanganmu.

“Cinta? Hahaha. Menarik. Definisimu sungguh aneh. Berhentilah membuatmu terbelenggu dalam kata yang disebut cinta. Ini bukan cinta, ini luka. Aku mencintaimu dengan melepasmu. Pergilah. Aku memintamu.” Aku melepas rengkuhanmu perlahan. Menatap matamu dengan penuh keyakinan. Semakin yakin aku melepasmu.

“Mengapa? Aku sudah menikmati belenggu ini. Mengapa harus kulepas?” Kamu masih mencari pembenaran atas pemikiran konyolmu.

“Ayo pulang, sudah petang. Setelah ini kemasi barangmu dari tempatku. Kembalilah. Kini aku melepasmu, memandangmu dari jauh bukan hal buruk untuk mencintaimu.” Aku bangkit dari dudukku, tersenyum serta menjulurkan tangan untuk membantumu bangkit. Tanganku masih menggantung, begitu pula tatapanmu kepadaku.

Tanpa sadar kita membelenggu seseorang atas mimpinya dengan dalih cinta. Sekarang kembali tanyakan padamu, apakah definisi cinta itu belenggu?