Americano Tripleshot
Pelayan kafe datang membawakan segelas ice americano dan sepiring butter rice with chicken lemon sauce milik Kalla. Sementara itu Illa masih menunggu pesanan tambahan dia Miso ramen.
Mereka terlibat percakapan basa-basi mengenai hari mereka atau sekadar membahas topik hangat terkini. Tampak mereka sudah cukup akrab.
“Illa, maaf nih kalo gue ngasal. Bener gak sih kalo gue ngerasa lo cuma 'menikmati' pertunangan ini bukan 'jatuh dan mencintai' pertunangan ini. Ya gatau cuma perasaan gue aja atau emang gimana?”
Kalla bertanya santai sembari menyuapkan nasi ke mulutnya. Menatap Illa yang tiba-tiba termenung.
“Lo bisa gak sih kagak tiba-tiba?”
“Ha?”
Kalla terkejut dengan pernyataan Illa, diluar perkiraannya Illa akan menjawab begitu.
“Maaf kalo bikin kaget, hahaha. Bisa dibilang begitu, Kal. Keliatan ya?”
Kalla masih menyendokkan nasi kemulutnya dengan tenang.
“Iya, keliatan lah. Lo mau tunangan tapi ekspresi lo gak ada happy-nya. Malah kek orang frustasi mikir utang.”
Illa menarik nafas berat dan menghembuskan dengan keras. Ramen di hadapannya tak lagi menarik. Ia melipat kedua tangannya dan mulai berbicara.
“Kal, kalo gue nitip mimpi ke orang lain salah gak?”
Kalla melirik Illa sekilas, kemudian melanjutkan makannya kembali.
“Bukan salah, Il. Tapi menggantungkan harapan ke pundak orang lain apakah menjadikanmu bahagia?”
Illa mematung. Kalla yang beberapa jam lalu baru ia kenal seolah mengerti pemikirannya.
“Bukan tidak bahagia. Aku hanya semakin tak mengerti jalan hidup.”
Illa mengaduk acak ramen di depannya. Tertunduk dengan pikiran yang semakin runyam.
“Jalani apa yang kamu rasa benar, Il. Bahagiamu adalah tanggung jawab dirimu sendiri. Kalo dengan ini kamu bahagia, jalani. Kalo tidak sudahi. Tidak ada yang benar-benar merugi nantinya.”
Kalla menyesap ice americano tripleshot-nya dengan tenang. Menyudahi makan malamnya. Illa masih penuh tanya, tidak memahami maksud dari perkataan Kalla.
“Sudah jangan kau ambil pusing, acaramu tinggal beberapa hari lagi. Sudah tak ada waktu memikirkan rasa penyesalan dan bersalah. Kau mungkin belum 'jatuh dan mencinta' untuk saat ini. Gatau kan esok atau lusa bagaimana?”
Kalla bangkit dari duduknya. Berjalan perlahan ke meja kasir. Meninggalkan Illa yang masih mematung. Setelah Illa menyadari Kalla meninggalkan kursinya, ia pun turut beranjak kearah kasir.
“Kall, biar aku aja yang traktir. Itung-itung ganti anter pulang nih.”
Illa langsung menjulurkan kartu kreditnya ke pagawai kasir. Kalla menutup kembali dompet hitam miliknya dan memasukkan kembali ke saku jasnya.
“Waaah, thanks. Sering-sering deh, lumayan nih gaji bulanan gue bisa buat beli kamera baru.”
“Terima kasih.”
Illa mengambil bon dan kartunya kembali. Memasukkannya ke dalam dompet dan tas kecilnya.
“Lo suka fotografi?”
Mereka mengambil beberapa barang yang tertinggal di meja dan berjalan menuju pintu keluar.
“Ya hobi lah. Dikit-dikit buat sampingan kalo lagi bosen. Hiburan, nambah duit juga.”
Kalla membantu Illa membuka pintu dan berjalan beriringan menuju mobil di tempat parkir.
“Boleh dong ntar pas gue tunangan lo fotografernya?”
“Dengan senang hati, Kawan. Asal bayarannya cocok ya.”
Mereka tertawa lepas bersama. Sore itu ditutup dengan perbincangan basa-basi dalam mobil. Langkah awal dua insan ini menjalin persahabatan.
—amara.