Aram

AWAT 4

Seperti yang ia harapkan, kencan bersama Kiyoko berjalan dengan lancar. Walaupun bibirnya itu harus dikorbankan terlebih dahulu. Yang penting Nishinoya dapat bersenang-senang dengan pujaan hatinya.

“Anu, Nishinoya,” Kiyoko memecah keheningan. “Maaf soal Terushima.”

Kini mereka sedang menunggu pesanan mereka datang. Nishinoya memang agak terganggu oleh Terushima, namun bukan berarti ia menyalahkan Kiyoko.

“Tenang aja, kak! Gak usah minta maaf.”

“Aku juga mau minta maaf, aku gak bisa nerima perasaan kamu,” Kiyoko membungkukan badannya.

Bohong jika hati Nishinoya tidak patah hati. Ditolak saat dirinya sama sekali belum menyatakan perasaannya, siapa yang tidak sedih? Tapi ia juga tidak bisa memaksakan Kiyoko untuk menerima perasaannya.

“Sebenarnya ada orang yang aku sukai,” pipi Kiyoko sedikit memerah.

“Dia tahu?” Kiyoko menggelengkan kepalanya.

Jujur saja Kiyoko yang malu-malu seperti ini sangat menggemaskan. Tetapi ia bersikap seperti ini ketika membicarakan orang yang ia sukai. Nishinoya bingung harus bahagia atau bersedih.

“Kak Kiyoko gak usah minta maaf. Perasaan kan gak bisa dipaksain,” Nishinoya tersenyum lebar.

“Soal Terushima juga kak Kiyoko gak usah merasa bersalah. Kalau ada yang suka aku itu artinya aku menarik kan,” Nishinoya tertawa.

“Iya,” Kiyoko juga ikut tersenyum. “Terima kasih, Nishinoya.”

“Kak Kiyoko juga harus semangat buat nyatain perasaan ke orang yang kakak sukai!”

Nishinoya tidak percaya dengan apa yang ia katakan. Padahal ia baru saja ditolak. Namun, ia malah menyemangati orang yang baru saja menolaknya untuk menyatakan perasaan.

Sisa waktu berkencan mereka dilakukan dengan hati yang berat. Namun melihat wajah Kiyoko yang terlihat lega membuat Nishinoya jadi merasa bersalah. Mungkin saja pujaan hatinya itu terbebani dengan para lelaki yang mengejar-ngejarnya.

Ia malu. Setelah diganggu oleh Terushima, ia jadi tahu rasanya menjadi Kiyoko. Diganggu oleh orang yang tidak terlalu ia kenal membuatnya tidak nyaman.

Mungkin memang ini waktu yang tepat untuk mengakhiri rasa sukanya pada Kiyoko. Lagipula perempuan itu menyukai orang lain.

AWAT 3

Nishinoya menyilangkan kedua tangan nya di dada. Ia menatap sengit ke arah Terushima yang tersenyum tanpa dosa padanya. Di sisi lain Kiyoko hanya menatap datar pada lelaki berambut kuning tersebut.

“Wah, kebetulan banget ya kita ketemu di sini,” Ucap Terushima tanpa dosa.

“KEBETULAN MATAMU!”

Kesabaran Nishinoya sudah habis. Lelaki di depan nya ini sudah keterlaluan. Kencan bersama Kiyoko adalah hal yang paling ia dambakan.

“Lo kalau mau gangguin gue nanti aja, gak usah hari ini,” Nishinoya mencoba bernegosiasi.

“Beneran?” Mata Terushima berbinar-binar. “Kalau gitu cium gue dulu, nanti gue pulang.”

Nishinoya menarik kaus yang Terushima kenakan sehingga lelaki itu agak menunduk. Ia mengecup pipi lelaki itu dengan cepat.

“Ayo, kak! Kita ke sana!”

Nishinoya dan Kiyoko meninggalkan Terushima yang masih bertahan di posisinya. Tangannya memegang pipinya perlahan. Ia tidak menyangka lelaki kecil itu akan menyetujui syaratnya begitu saja. Bahkan di depan orang yang ia sukai.

“Loh? katanya lo mau ngikutin Nishinoya?” Iizaka yang baru datang terheran-heran melihat postur tubuh Terushima yang err —aneh?

“K-kayaknya gue gak bakal cuci muka selamanya,” Ucap Terushima yang masih terkejut dengan kejadian barusan.

“Jorok.”

Ombak 14

Nishinoya membuka pelan pintu kamar Nami. Ia memasuki ruangan tersebut pelan-pelan. Di belakangnya ada Tsukishima yang mengekorinya.

Keduanya menatap anak mereka yang kini sudah remaja. Tidak terasa waktu berjalan dengan cepat. Nami yang dulunya ceria dan polos berubah menjadi remaja yang tidak terlalu banyak bicara namun sedikit tengil.

Nishinoya merebahkan bokongnya di ranjang Nami pelan-pelan, begitu juga Tsukishima. Tangan Sang Papi mengelus rambut anaknya yang sedang tertidur itu.

“Ngh? Papi?” Nami membuka matanya ketika merasakan ada sentuhan di kepalanya.

Begitu tahu anaknya terbangun, Nishinoya langsung merebahkan badannya di samping Nami dan memeluk anaknya dengan erat.

“Papi kenapa udah pulang? Kan masih banyak negara yang belum dikunjungi,” Nami penasaran.

“Nami kan dunianya papi, jadi papi gak usah keliling dunia lagi,” Ucap Nishinoya.

Mata Nami melirik Tsukishima yang sedari tadi melihat mereka dengan iri. Wah tingkat bucin ayah nya ini sudah parah. Masa pada anak sendiri saja ia cemburu?

“Papi jangan gitu! Liat ayah cemburu, mukanya sampe merah gitu,” ejek Nami.

“Kei, sini!” Nishinoya menepuk-nepuk bagian kosong yang ada di sebelah Nami.

Tentu saja Tsukishima langsung merebahkan dirinya di tempat yang suaminya tunjuk. Mereka tidur bertiga dengan Nami berada di posisi tengah.

Nami suka ini. Walaupun sifatnya yang terlihat dingin seperti ayahnya. Namun, aslinya ia adalah anak yang ceria dan suka kehangatan. Ia sangat suka ketika kedua orang tuanya memanjakannya seperti ini.

Matanya jadi berkaca-kaca ketika mengingat cerita kedua orang tuanya yang melewati banyak hal sulit demi membesarkannya. Tentu saja semua cerita itu ia dengar dari teman-teman ayah nya dan papi nya.

“Ayah, Papi, makasih atas segalanya,” Ucap Nami tiba-tiba.

Suasana diantara mereka berubah menjadi mellow. Ucapan Nami mempunyai arti yang sangat dalam. Apalagi setelah membaca pesan teks yang anak itu berikan tadi.

“Yuu, makasih udah mempertahankan Nami,” Kini Tsukishima bersuara.

“Aku yang harusnya bilang terima kasih. Kalau bukan karena kamu yang terus-terusan ngajak aku nikah, kita gak mungkin sebahagia ini. Maaf Kei, dulu aku egois,” Nishinoya pun membuka suaranya.

“Emang.”

Nami melirik sinis ke pada ayahnya. Dasar perusak suasana. Padahal suasananya sedang bagus-bagusnya.

“Nami, makasih udah lahir di antara kita,” Ucap Tsukishima.

Jika yang mengatakan hal itu adalah Nishinoya, Nami tidak akan setersentuh ini. Tsukishima bukan tipe ayah yang mengatakan hal-hal manis seperti itu pada anaknya. Maka ketika ia mengatakannya akan menjadi sebuah hal yang sangat spesial.

“Sekarang tidur, besok sekolah.”

Keluarga kecil itu langsung tertidur dengan nyenyak. Senyum tercetak di bibir Nami dalam tidurnya. Menjadi anak Nishinoya dan Tsukishima adalah hal yang paling ia syukuri di dunia ini.

Ombak 13

Nami yang berusia 5 tahun sibuk bermain dengan mobil-mobilan yang baru dibelikan oleh paman Akiteru.

“Nami, apa yang paling kamu suka?”

“Ayah dan Papi!” Ucap anak itu dengan senyuman yang cerah.

***

“Cewek sexy,” Ucap Nami yang kini sudah berusia 15 tahun.

Tsukishima tidak percaya bahwa anaknya yang dulu sangat imut akan mengatakan hal seperti itu. Sepertinya Nishinoya terlalu banyak menurunkan sifatnya pada Nami.

“Nami, selera kamu bagus juga,” Ucap Nishinoya yang kini sedang berbaring di sofa dan menjadikan paha Tsukishima menjadi bantal.

“Soal mimpi kamu yang mau berkeliling dunia, mau kamu lanjutin? Sekarang Nami udah besar,” Ucap Tsukishima tiba-tiba.

Nishinoya langsung merubah posisinya menjadi duduk. Matanya menatap Tsukishima berbinar-binar.

“Boleh?” Tsukishima menganggukkan kepalanya.

Nishinoya langsung melakukan atraksi aneh. Nami yang sudah terbiasa hanya mengabaikan kelakuan orang tuanya itu. Yang satu tidak tahu malu, yang satu bucin tsundere.

“T-tapi kamu emang gak bakal kesepian?” Tanya Tsukishima.

Sudut atas kiri bibir Nami terangkat sedikit. Ah, Ayahnya ini ingin ikut bersama papi nya. Dasar orang tua kasmaran.

“Kalau gitu kita pergi bertiga!” Nishinoya menyerukan idenya dengan semangat.

Tentu saja Tsukishima senang dengan ide itu. Bahkan dari awal dia memang inginnya seperti itu. Ia tidak ingin jauh-jauh dari pasangannya itu.

“Jangan aneh-aneh!” Nah, kali ini Nami yang tidak setuju.

“Ayah, inget di Jepang banyak kerjaan! Nami juga kan harus di sekolah. Papi boleh kok lanjutin mimpinya, Nami juga oke-oke aja ditinggal sama Ayah berduaan.”

Nami memang tidak ada masalah jika harus ditinggal Nishinoya. Masalahnya ada di ayahnya. Seratus persen dia pasti tidak ingin berpisah dengan pasangannya itu walau sebentar.

“Ayah, jangan kayak gitu! Papi kan ada mimpi yang harus dicapai, Kita harusnya mendukung,” Ucap Nami ketika melihat wajah Tsukishima mulai sedih.

Berkat ucapan Nami, Akhirnya Tsukishima dengan berat hati mengizinkan Nishinoya untuk melanjutkan mimpinya sendirian.

Ombak 12

“Tante Kiyoko kenapa perutnya bulet?” Tanya Nami ketika melihat perut Kiyoko tidak seperti biasanya.

“Soalnya ada dedek bayi di dalemnya, Nami,” Jawab Kiyoko sambil mengelus kepala Nami.

Nami memperhatikan perut Kiyoko dengan fokus.

“Nami juga pernah jadi bayi,” Ucap Nami tiba-tiba.

“Iya, dulu kan Nami ada di perut papi,” Ucap Nishinoya yang sedang duduk di sofa bersama Tanaka dan Tsukishima.

Entah kenapa semenjak reuni hari itu, Nami jadi sering ingin bertemu dengan Kiyoko. Setiap hari rengekannya hanya tentang tante kiyoko. Padahal dulu ia sempat memusuhi wanita itu.

Karena itulah setiap akhir pekan mereka sering berkunjung ke kediaman Tanaka. Yah, walaupun Tsukishima kurang nyaman tapi demi anak semata wayangnya apa pun akan ia lakukan.

“Papi, Nami juga mau punya dedek bayi!” Wajah Nishinoya langsung berubah ekspresi.

Bukan ekspresi terkejut, Namun ekspresi sedih. Tsukishima yang menyadari hal itu langsung menggenggam tangan suaminya.

Mereka jadi teringat kejadian tiga bulan yang lalu. Saat itu mereka berdua berniat untuk mempunyai anak kedua. Karena Nami sudah besar dan dia bukan anak yang nakal jadi mempunyai anak kedua pasti tidak akan jadi masalah.

Namun takdir berkata lain. Pada hari itu dokter menyatakan bahwa Nishinoya tidak bisa mengandung lagi karena satu dua hal. Bohong jika mereka tidak bersedih. Mereka sangat menginginkan anak kedua.

Namun, mempunyai Nami saja mungkin sudah cukup untuk mereka. Karena itulah mereka sangat menyayangi anak semata wayangnya.

“Dedek yang ada di perut tante Kiyoko juga kan adiknya Nami,” Suara Tanaka membuyarkan lamunan Nishinoya dan Tsukishima.

“Eh? Nami boleh manggil dia adik? Kalau gitu Nami mau manggil dia dedek donat!” Ucap Nami dengan semangat.

“Hahaha, kenapa?”

“Soalnya perut tante Kiyoko bulet kayak donat!”

Perilaku Nami sukses membuat kedua orang tuanya kembali ceria. Anak ini memanglah seperti ombak yang membawa material laut ke tepian pantai. Bedanya anak ini membawa Nishinoya dan Tsukishima ke kebahagiaan.

AWAT 2

Nishinoya menatap horror ke arah Terushima yang sudah ada di depan rumah Oikawa. Wah anak ini memang sudah gila sepertinya.

“Dah, sana pulang! udah dijemput yayang tuh,” Ejek Oikawa.

Yah, sudah terlanjur tertangkap juga. Lagipula Terushima tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh padanya kan?

Nishinoya berpamitan ke pada Oikawa dan langsung menghampiri ke arah Terushima dengan wajah kesal. Walaupun ia sudah terbiasa dengan kelakuan lelaki ini, namun ia masih tidak bisa menerima semua perlakuannya.

“Ngapain lo ke sini?” Tanya nya sengit.

“Jemput pacar dong,” Ucap Terushima genit.

“Ck, gara-gara lo gue harus lari sampe lupa bawa motor,” Ucap Nishinoya.

“EH IYA ANJIR MOTOR GUE MASIH DI SEKOLAH!” Nishinoya panik.

Terushima langsung mencekal tangan Nishinoya yang sudah bersiap akan berlari. Lelaki itu mengambil salah satu helm yang menggantung di sepeda motornya. Ia memakaikan helm itu pada Nishinoya yang dari tadi memandangnya penuh tanya.

“Gue anter ke Karasuno. Ayo, naik!”

Nishinoya yang sudah tidak kuat berlari lagi hanya menurut. Ia langsung merebahkan bokongnya di jok motor Terushima.

“Pegangan dong, Milea,” Goda Terushima.

Nishinoya hanya mendengus kesal. Sedari tadi ia menggumamkan sumpah serapah ke pada lelaki yang memboncengnya. Senyum tercetak di balik helm Terushima.

Awalnya lelaki kecil itu diam dan tidak banyak protes. Namun, ketika sepeda motor itu berhenti di salah satu rumah makan, ia mulai mengamuk.

“Ini kan bukan sekolah gue!” Nishinoya menunjuk rumah makan tersebut setelah turun dari sepeda Motor Terushima.

“Emang bukan. Ayo, kita makan dulu! Lo belum makan kan?”

Nishinoya masih teguh dengan pendiriannya. Ia ingin pergi ke sekolahnya untuk membawa sepeda motor miliknya.

“Motornya gak akan ke mana-mana kan?”

“Tapi gue gak lapar!”

Krucuuuk~~~~~

Sumpah, ingin rasanya Nishinoya menyembunyikan dirinya di semak belukar. Suara perutnya tadi sangat menghancurkan suasana. Sudah dipastikan wajahnya sudah seperti kepiting rebus.

“Tuh kan!”

Akhirnya Nishinoya rela diseret oleh Terushima walau dalam hatinya ia sangat malu. Perutnya ini sangat tidak berperikenoyaan.

Ombak 11

Empat tahun berlalu dengan sangat cepat. Tidak terasa Nami sekarang sudah bisa bicara dan juga berlari. Bahkan anak itu sudah bisa membaca dan menulis.

“Halo, Nami!”

Nami bersembunyi di belakang kaki Tsukishima. Tangan anak itu memegang pakaian Sang Ayah dengan erat. Suga hanya tersenyum lembut melihat sikap pemalu anak itu.

“Oh, akhirnya kalian datang,” Ucap Daichi.

Kini para alumni Karasuno itu sedang mengadakan reuni di kediaman Tanaka. Tentu saja penampilan dan keadaan mereka semua tidak sama seperti saat remaja.

“Eh, ternyata duo aneh kita sudah bertunangan,” sindir Tsukishima saat duduk di sofa.

Yang disindir tidak menjawab. Namun wajah mereka sekarang sudah memerah. Semua yang ada di sana hanya tertawa.

“Yang bikin kaget itu Noya! Dulu dia suka banget sama istri gue. Eh ternyata sekarang punya anak sama Tsukishima,” Tanaka tertawa keras.

Pembicaraan mereka tentang masa lalu Nishinoya yang menyukai Kiyoko terus berlangsung. Mereka tidak sadar ada anak kecil yang mendengar hal tersebut. Nami yang sedari tadi duduk di pangkuan Tsukishima tiba-tiba ingin duduk dengan Nishinoya.

“Papi!” Nami mengulurkan kedua tangannya meminta untuk digendong.

Tentu saja Nishinoya langsung mengambil Nami dari Tsukishima tanpa mencurigai apapun.

“Tanaka, kalian masih belum punya rencana punya anak?” Tanya Asahi tiba-tiba.

“Ah, Kiyoko masih belum siap.”

“Kiyoko? Biasanya juga nyebut 'kak kiyoko',” sindir Nishinoya.

“Ah Noya gak usah cemburu gitu!” Mereka semua tertawa kembali.

Tiba-tiba Kiyoko keluar dari dapur bersama Yachi. Mereka berdua membawa makanan dan minuman. Pembicaraan mereka terus berlanjut. Mulai dari pernikahan Yamaguchi dan Yachi hingga Asahi yang katanya mendapatkan pacar seorang dukun.

Kiyoko sedari tadi menatap Nami yang keliatan murung. Ia langsung menghampiri Nishinoya dan mencoba menyentuh anak itu. Namun, Nami malah langsung memalingkan wajahnya dengan eskpresi kesal.

“Nami, kenapa?” Nishinoya heran.

Tidak lama kemudian Nami menangis dengan keras. Tangannya memeluk Nishinoya dengan erat.

“Tante Kiyoko gak boleh rebut papi dari ayah dan Nami!” Ucapnya disela tangisan.

Mereka yang melihat momen imut itu langsung tersenyum. Wah, anak ini sangat menyayangi papi nya.

“Kak Tanaka, tanggung jawab. Nami jadi nangis,” Ucap Tsukishima.

Kiyoko mengelus kepala Nami. Anak itu menyembunyikan kepalanya di dada Nishinoya. Merasakan ada elusan di kepalanya membuat anak itu menolehkan kepalanya.

“Nami, tante Kiyoko enggak akan rebut papi. Kan Tante udah punya om Ryuu,” Ucap Kiyoko dengan lembut.

Nami mengacungkan jari kelingkingnya yang kecil, “Janji?”

Kiyoko mengaitkan jari kelingkingnya sambil tersenyum, “Janji.”

Nami merasa terpana dengan senyuman manis Kiyoko. Matanya melebar dan air matanya langsung terhenti.

“Tante Kiyoko... cantik.”

Semua yang mendengar hal itu langsung tertawa. Sepertinya kita tahu sifat itu turun dari siapa.

Ombak 10

“Shh.. shh..”

Nishinoya terbangun dari tidurnya karena terdengar suara tangis bayi. Ia langsung melirik ke arah keranjang bayi dan menemukan Tsukishima sedang berdiri di depannya.

Nishinoya berencana kembali tidur karena Nami sudah diurus oleh suaminya. Namun seperti ada yang tidak beres. Ia memicingkan matanya ke arah Tsukishima.

Oh, ternyata suaminya itu sedang mencoba menenangkan Nami dengan cara menyentuh badannya dengan jarinya. Nishinoya kembali menutup matanya dan memakai selimutnya.

Tunggu, tadi Tsukishima sedang apa? Nishinoya langsung bangkit dari tidurnya dan menghampiri Nami. Ia mengabaikan rasa sakit yang ada di tubuhnya.

“Kei, bukan gitu caranya!” Nishinoya menepuk-nepuk pelan badan Nami.

Bayi itu langsung tenang kembali setelah mendapat sentuhan dari Nishinoya. Entah kenapa lelaki kecil itu merasa bangga pada dirinya sendiri.

“Kayaknya Nami benci aku,” Ucap Tsukishima tiba-tiba.

Nishinoya tidak bisa berkata-kata. Nami bahkan belum ada seminggu hidup di dunia. Mana mungkin ia langsung bisa membenci orang lain.

“Tiap deket aku dia langsung nangis,” sambungnya.

“Bayi kan emang suka nangis,” balas Nishinoya singkat. “Kei, kenapa kamu gak mau gendong Nami?”

“D-dia kecil.”

Apa boleh Nishinoya memukul suaminya ini? Sepertinya ada yang salah dengannya. Atau jangan-jangan Tsukishima yang asli diculik alien. Yang ia tahu suaminya itu pintar. Dan lelaki yang di depannya ini tidak terlihat pintar.

“Kalau Nami jatuh pas aku pegang gimana?”

“Pppfft.. Seorang Tsukishima Kei yang waktu SMA suka menebar garam sekarang lagi panik gara-gara gak bisa megang bayi,” Nishinoya menahan agar tawanya tidak keluar.

Tsukishima yang kesal mencubit pipi Nishinoya. Tentu saja lelaki kecil itu membalasnya dengan menggigit tangannya.

“Takut atau panik itu wajar Kei, kita kan sama-sama baru belajar jadi orang tua. Kita kan jadi orang tuanya berdua jadi tenang aja,” ucap Nishinoya.

Baru saja Tsukishima merasa tersentuh, Nishinoya sudah mengatakan hal yang membuatnya kesal, “Tapi kalau aku sih emang udah pro dari sananya.”

Malam itu ketakutan Tsukishima sedikit berkurang. Selain itu, mereka juga dibantu oleh ibu Tsukishima dan ibu Nishinoya untuk mengurus Nami.

AWAT

Terushima dan kawan-kawannya terkejut ketika melihat gerbang SMA Karasuno sudah dipenuhi oleh siswa dari berbagai macam sekolah. Yang paling membuat terkejut adalah banyak sekali siswa dari luar kota ada di sini.

“JANGAN MACAM-MACAM SAMA KIYOKO!” Ucap para siswa-siswa itu serentak.

Yang paling lucu adalah mereka mengatakan hal itu sambil saling bergandengan tangan satu sama lain. Siswa dan siswi Karasuno yang berlalu lalang pun menertawakan pemandangan tersebut.

“Ter, kita pulang aja deh dari pada digebukin,” ucap Futamata khawatir.

Terushima tidak menjawab. Matanya sibuk memperhatikan salah satu penggemar Kiyoko yang sedang melipatkan kedua tangannya di dada dan memasang ekpresi garang.

“Bob, tolong potoin yang itu,” Bisik Terushima pada Bobata.

Terushima memperlihatkan senyum miringnya. Sebenarnya ia tidak merasa takut melihat kumpulan penggemar Kiyoko ini. Tetapi ada satu orang yang menangkap atensinya.

“Oh kalian gak ngebolehin gue ngedeketin Kiyoko? Ya udah kalau gitu gue mau dia,” Tunjuk Terushima pada penggemar Kiyoki yang mempunyai warna rambut dan poni berbeda.

Orang itu—Nishinoya Yuu menghampiri Terushima dengan kesal. Dengan gerakan cepat ia menarik kerah lelaki di hadapannya sehingga badan Terushima ikut tertarik ke depan.

“APA MAKSUD LO HAH?”

Dengan jarak sedekat ini, Terushima bisa mengambil kesempatan. Ia mendekatkan wajahnya pada wajah Nishinoya dan mengecup bibirnya sekilas.

“Nakal ya, baru ketemu udah minta cium.”

Tidak perlu waktu lama sampai kepalan tangan Nishinoya mendarat di wajah tampan Terushima. Sedangkan yang ditampar hanya bisa tertawa kecil.

“Kayaknya gue udah gak ada urusan lagi di sini. Dadah manis!” Terushima mengacak poni Nishinoya yang hanya menyembul sedikit.

Ia langsung berbalik dan pergi dari wilayah Karasuno. Teman-teman nya pun langsung mengikutinya.

“Hadeh, tau gini tadi gak ikut,” Ucap Bobata merasa lelah.

Di sisi lain Terushima sudah kehilangan kewarasannya. Ia sekarang tersenyum sendiri seperti orang gila.

“Ditonjok bikin otak lo geser ya?” Sindir Futamata.

“Mulai hari ini kayaknya hidup gue bakal makin seru,” Ucap Terushima tanpa memperdulikan sindiran Futamata.

Oke bodyguard imut, Terushima sudah siap untuk mengganggumu mulai hari ini.

Bayangan 4

Kageyama melihat layar ponselnya dengan sendu. Karena rasa penasarannya yang tinggi, ia melihat semua postingan Nishinoya di akun twitternya. Kebanyakan tweetnya berisi tentang Tsukishima. Sepertinya dia memang tidak punya kesempatan, eh?

“Kageyama, Hari ini ada kejadian buruk ya? Dari tadi kau kelihatan bersedih,” Ucap Nishinoya yang sedari tadi memperhatikan Kageyama diam-diam.

“Ah, iya. Aku teringat keluargaku,” bual Kageyama.

Nishinoya hanya menganggukkan kepalanya. Ia tahu keadaan keluarga Kageyama karena lelaki itu pernah menceritakannya.

Di sisi lain, Kageyama masih terfokus pada layar ponselnya. Jarinya terhenti di satu postingan. Postingan itu hanya berisi emoticon ombak beserta gambar yang berisikan Nishinoya dan Tsukishima di suatu pantai.

Wah, bahkan mereka pernah pergi liburan bersama. Sebenarnya sudah sejauh apa hubungan mereka? Dan sudah selama apa hubungan mereka berjalan?

“Kau sedang lihat apa?” Kageyama reflek menyembunyikan tangannya ketika Nishinoya mendekat .

“Oooo~ Kageyama ternyata kau sudah besar!” Nishinoya menaik-turunkan alisnya.

“Ini tidak seperti yang kau pikirkan!”

Nishinoya hanya tersenyum tengil. Tiba-tiba Kageyama mempunyai ide cemerlang.

“Nishinoya, Apa kau tidak jenuh di rumah?”

“Ya, sedikit. Kenapa?”

“Ayo, kita pergi ke pantai!” Ajak Kageyama.

Mendengar kata pantai membuat mata Nishinoya jadi berbinar-binar. Dengan cepat ia mengiyakan ajakan Kageyama.

***

“Kageyama, yang benar saja! Baru kemarin kita membicarakan soal pergi ke pantai dan sekarang kita benar-benar ke pantai?” Nishinoya tidak habis pikir dengan lelaki ini.

Kini mereka benar-benar sedang di pantai. Gila bukan? Bahkan Kageyama izin tidak masuk sekolah dengan alasan sakit. Dasar murid nakal ini.

Walaupun begitu Nishinoya merasa senang. Sudah lama ia tidak pergi ke pantai. Ia merindukan kasarnya pasir yang ia injak dan suara deburan ombak.

“Kau senang?” Tanya Kageyama.

Nishinoya menganggukkan kepalanya, “Kau bagaimana?”

Kageyama tersenyum lembut, “Aku juga senang.”

Ia senang bisa pergi ke pantai dengan Nishinoya. Menghabiskan waktu dengan lelaki itu adalah hal yang paling membuatnya bahagia saat ini. Ia tidak bisa membayangkan jika lelaki itu akan meninggalkannya.

Pemikiran itu membuat moodnya jelek. Mau bagaimana pun Nishinoya pasti akan pergi. Saat ia sadar, ia tidak akan tinggal bersama dirinya lagi. Mereka tidak akan menghabiskan waktu bersama lagi.

“Kageyama jangan cemberut seperti itu! Kau ini kan sedang membolos, jadi kau harus terlihat senang! Ayo lengkungkan bibirmu!”

Nishinoya mengulurkan kedua tangannya. Ia menarik kedua sisi bibir Kageyama. Lalu tertawa dengan puas.

“Kau terlihat jelek,” bukannya marah, Kageyama malah ikut tertawa.

Setelah sekian lama berdiri, mereka pun mulai duduk di pasir. Dan merasakan angin meniup rambut mereka. Mereka menatap ombak tanpa mengeluarkan satu kata pun.

“Kau kenal Tsukishima Kei?” Tanya Nishinoya tiba-tiba.

Untuk sesaat, jantung Kageyama berhenti berdetak. Kenapa lelaki itu tiba-tiba menyebut nama Tsukishima? Ia menolehkan kepalanya, terlihat ekspresi sendu di wajah Nishinoya.

“Hanya sekadar tahu.”

“Bagaimana dia di sekolah?”

“Aku tidak tahu, kita tidak dekat.” Kageyama mengalihkan pandangannya ke arah laut kembali. “Kau kenal dia?”

“Dia kekasihku.”

Hati Kageyama bagaikan disayat. Ia tidak menyangka bahwa ia akan mendengar pernyataan itu dari mulut Nishinoya secara langsung.

“Kau merindukannya?” Nishinoya menganggukkan kepalanya. “Kenapa kau tidak langsung melihatnya saja? Kau tidak terlihat oleh orang lain.”

Ekspresi Nishinoya semakin murung. Ia menekuk kedua kakinya. Kedua tangannya terulur dan memeluk lututnya.

“Aku pernah melakukannya. Keadaannya sangat kacau. Melihatnya seperti itu membuat hatiku sakit.”

“Jadi kau tidak menemuinya lagi?” Nishinoya menganggukkan kepalanya lagi.

Suasana hening menyelimuti mereka berdua. Nishinoya tenggelam di pikirannya dan Kageyama tidak tahu harus mengatakan apa. Ia tidak ingin membuat lelaki kecil itu semakin bersedih.

Mereka berdua mempunyai kesamaan. Keduanya sama-sama kesepian. Nishinoya tidak bisa dilihat oleh orang-orang. Sedangkan Kageyama memang sengaja tidak ingin dilihat oleh orang lain. Namun, mereka berdua saling melihat satu sama lain.

“Kageyama, lihat bayangan ini!” Nishinoya menunjuk bayangan mereka berdua. “Keberadaannya tidak pernah dipedulikan, namun ia selalu ada bersama kita.”

Benar, bayangan selalu ada bersama kita ke mana pun kita pergi. Namun, pernahkah kita memperhatikan bayangan kita? Jika bayangan mempunyai perasaan, Apakah ia akan merasa sedih karena diabaikan?

“Aku ingin jadi bayangannya Kei!” Ucap Nishinoya semangat.

“Walaupun sekarang aku tidak terlihat, aku ingin selalu ada untuk Kei!” Sambungnya.

Kageyama tersenyum. Sepertinya memang akan sulit untuk menyelinap di hubungan mereka.

“Besok temui lagi Tsukishima di sekolah,” Ucap Kageyama sembari mengusap rambut Nishinoya lembut. “Kau ingin selalu ada untuknya, kan?”

“Hei, aku lebih tua darimu!” Protes Nishinoya.

Jika memang Nishinoya ingin menjadi bayangan Tsukishima, maka Kageyama akan menjadi bayangan Nishinoya.

Tamat

Tapi boong