Aram

Bayangan 3

Tangan Kageyama bergetar hebat setelah melihat ponselnya. Ternyata benar. Kekasih Tsukishima yang Hinata bicarakan itu adalah lelaki yang berada di rumahnya saat ini.

Kenapa? Kenapa dadanya terasa sesak? Jika Nishinoya mempunyai kekasih memangnya kenapa? Itu haknya kan? Ia dan lelaki itu tidak mempunyai hubungan apa-apa selain teman. Bahkan disebut teman pun sepertinya tidak bisa.

“Kageyama, kau sakit?” Nishinoya panik.

Nishinoya memegang tangan Kageyama yang bergetar. Matanya menatapnya dengan khawatir. Air mata Kageyama jatuh tanpa disadari.

“Eh, kenapa?”

Ah.. Ia menyukainya. Ia sangat menyukai lelaki di depannya ini. Perhatian dan kasih sayang yang ia berikan membuat hatinya luluh.

Kageyama mengulurkan tangannya dan mendekap Nishinoya. Sakit, sakit sekali. Membayangkan lelaki ini akan meninggalkannya suatu hari. Ia tidak mau.

“K-kageyama?”

Kisah cintanya harus berakhir bahkan sebelum dimulai.

Bayangan 2

“KAGEYAMA BANGUN!”

Sudah satu bulan Nishinoya tinggal dengannya. Kageyama sudah mulai terbiasa dengan keberadaannya. Bukan hanya sudah terbiasa, namun ia juga sudah merasa nyaman.

Berbeda dengan badannya yang kecil, sikap Nishinoya sudah seperti kakak padanya. Setiap hari ia akan dibangunkan olehnya. Bahkan ia juga membantu membereskan rumahnya dan menyiapkan makanan.

“Kau ini hantu tapi seperti manusia ya,” Ucap Kageyama sambil menyuapkan nasi ke mulutnya.

“Sudah kubilang, aku ini bukan hantu.”

Kageyama hanya tertawa kecil. Semenjak kedatangan lelaki kecil ini hidupnya jadi lebih berwarna. Mungkin karena ia sudah lama hidup sendiri, sehingga ketika ada seseorang yang menemaninya jadi seistimewa ini.

“Kalau begitu aku pergi ke sekolah dulu.”

Sikap dingin Kageyama sedikit demi sedikit sudah berubah. Bahkan teman-teman di sekolahnya pun berkata demikian. Berterima kasihlah kepada Nishinoya yang selalu menyuruhnya untuk tersenyum.

“Kageyama, pagi-pagi kau sudah bahagia ya?” Sindir hinata yang tiba-tiba berada di sampingnya.

“Terlihat ya?”

“Jelas sekali.”

Saat Kageyama sibuk mengobrol dengan Hinata, seseorang tidak sengaja menabrak bahunya dengan keras. Orang itu hanya berkata 'maaf' tanpa melihat ke arah Kageyama.

“Tsukki! Ah, maaf ya dia memang seperti itu,” Yamaguchi membungkukkan badannya beberapa kali lalu mengejar temannya.

“Ck, dasar si sombong Tsukishima Kei,” Hinata berbicara dengan kesal.

Tsukishima Kei, siswa nomor 1 di sekolahnya. Ia terkenal karena semua nilai mata pelajarannya di atas rata-rata. Ia juga terkenal karena kata-katanya yang pedas dan sikapnya yang buruk.

Sebenarnya Kageyama tidak pantas menilai seseorang seperti itu. Karena sebelum bertemu dengan Nishinoya dirinya pun seperti itu.

***

Kageyama dalam perjalanan pulang bersama Hinata. Kalau boleh jujur, satu-satunya teman ia di SMA ini hanyalah si rambut oranye ini. Cuman dia yang tahan dengan sikap buruknya.

“Lihat, itu Tsukishima!” Hinata menunjuk ke arah Tsukishima yang sedang masuk ke toko bunga.

“Kenapa dia ke toko bunga ya?”

“Kau tidak tahu?” Hinata terkejut.

Kageyama menaikan alisnya. Kenapa lelaki berambut oranye itu berbicara seolah hal ini sudah diketahui banyak orang?

“Pacar Tsukishima itu koma. Setiap hari ia akan menjenguknya sambil membawa bunga. Sedih dan romantis di saat yang bersamaan,” Ucap Hinata dramatis.

K-koma? Pacar Tsukishima koma? Entah kenapa hati Kageyama terasa berat. Bukan dia kan? Pasti bukan Nishinoya kan?

“Kageyama, aku pulang ke arah sini,” Hinata menunjuk ke arah jalan. “Aku duluan!”

Kageyama hanya menganggukkan kepalanya. Di kepalanya terlalu banyak pertanyaan. Entah kenapa ia menjadi gelisah.

“Kageyama!”

Teriakan Nishinoya membuyarkan lamunannya. Ah, dia tidak sadar bahwa dirinya sudah sampai rumah. Bahkan ia sudah berganti pakaian.

“Kau sedang ada masalah?” Tanya Nishinoya khawatir.

“Tidak,” jawabnya singkat. “Mm, anu.”

“Hm?”

“Ah, tidak jadi.”

“Hari ini kau kenapa? Aneh sekali—-Ah! Telurnya gosong!”

Kageyama memperhatikan Nishinoya yang sedang sibuk memasak. Ia baru tersadar bahwa lelaki itu tidak akan selamanya berada di sisinya. Suatu saat ia akan sadar dan menghilang dari kehidupannya.

Lalu kenapa hati Kageyama terasa sakit? Bukan kah itu hal bagus? Orang baik ini akan kembali berkumpul dengan keluarganya. Ia juga masih bisa bertemu dengannya kan?

... iya kan?

Bayangan

Langkah Kageyama terhenti ketika melihat ada seorang anak lelaki sedang berjongkok di bawah lampu jalan. Ia menghampiri anak itu.

“Anu, kamu tersesat?” Tanya Kageyama.

Anak itu mendongakan kepalanya. Mata besarnya menatap tajam Kageyama.

“Kau pikir aku ini anak kecil?” Anak itu berdiri.

Kageyama menatap heran ke arah tanah. Ia menatap anak itu dan tanah secara bergantian. Ada yang aneh.

“Hei, kenapa kau tidak mempunyai bayangan?”

“Aku bukan manusia,” Ucap anak itu dengan polos.

Kageyama menundukan badannya lalu berbalik arah. Ia langsung berlari secepat mungkin. Bisa-bisanya ia mengajak bicara seorang hantu. Wah, apakah sekarang ia mempunyai indra keenam? Sungguh luar biasa.

“HEI, TUNGGU!”

Sialnya anak tadi malah mengejarnya. Habislah, ketenangan hidupnya berakhir malam ini.

“Hei,” Kageyama merasakan tangannya ditarik.

Kageyama berdoa di dalam hati. Mungkin ini karena dirinya mempunyai niat yang tidak baik sehingga diberi hukuman seperti ini.

“Sebentar, kenapa tanganmu bisa memegang tanganku?”

Kageyama baru menyadari bahwa hantu kecil di hadapannya ini cukup aneh. Bukannya hantu itu menembus badan ya? Atau aslinya memang bisa?

“Tentu, aku kan bukan hantu.”

“Lalu kenapa kau mengikutiku?”

“Selama ini tidak ada yang bisa melihatku. Aku selalu merasa kesepian,” Terdengar nada sedih di perkataannya.

Kesepian ya? Kata-kata itu cukup familiar untuk kageyama. Ia selalu kesepian. Ia tidak tinggal bersama keluarganya. Ayah ibunya selalu sibuk bekerja dan kakaknya tinggal di luar kota. Ia juga tidak mempunyai teman di sekolah. Hahaha, cukup menyedihkan.

“Aku boleh kan ikut denganmu?”

Yah, mungkin Kageyama pun butuh teman.

***

“Rumahmu bagus.”

Ya, benar. Kageyama membawa anak kecil tadi ke rumahnya. Ia masih belum tahu niat sebenarnya makhluk tidak diketahui ini apa.

“Oh! Namaku Nishinoya Yuu dan umurku 17 tahun,” Ucap anak— sebentar sepertinya ada yang salah.

“Jadi kau lebih tua dariku? Aku kira kau anak SD,” Ucap Kageyama sambil tersenyum miring.

Nishinoya langsung meledak-ledak mendengar perkataaannya. Di sisi lain Kageyama tertawa puas. Baru kali ini ia tertawa sebahagia itu setelah sekian lama.

“Kau mau makan?”

“Aku tidak makan.”

Kageyama lupa kalau makhluk ini bukanlah seorang manusia. Jadi dia itu apa? Siluman? Goblin? Atau sebenarnya ia ini pencuri yang pura-pura?

“Kau ini sebenarnya apa?” Rasa penasaran Kageyama sudah tidak bisa ditahan lagi.

“Aku juga tidak tahu. Begitu bangun aku sudah seperti ini,” Ucap Nishinoya acuh.

“Begitu bangun?”

“Aku juga manusia sepertimu. Malam itu aku sedang diperjalanan untuk pergi liburan. Mungkin karena sedang badai salju jadi kecelakaan itu terjadi. Yang terakhir aku ingat adalah semua orang di mobil berteriak, menangis dan panik. Setelah itu semuanya menjadi gelap.”

Ah, jadi dia korban kecelakaan. Kageyama melihat sorot kesedihan di mata Nishinoya. Semua orang pun pasti akan bersedih jika melalui hal seperti itu.

“Lalu?”

“Saat aku bangun, tempat itu sangat sepi. Hanya ada bekas darah yang sudah kering. Awalnya aku berpikir bahwa aku sudah mati, tapi aku melihat berita tentang kecelakaan itu. Di berita tidak disebutkan ada korban jiwa yang tewas. Jadi, sepertinya aku hanya koma.”

“Kau tidak mencoba mencari badanmu?” Tanya Kageyama hati-hati.

Nishinoya hanya menggelengkan kepalanya. Menurutnya, mencari keadaan dirinya hanya akan membuat hatinya sakit. Ia akan melihat kondisi dirinya yang mengenaskan. Ditambah ia akan melihat keluarganya yang menangisi kondisinya.

“Suasananya jadi tidak enak. Oh ya, Kau belum memperkenalkan dirimu,” Nishinoya mencoba mencairkan suasana.

“Kageyama tobio, 16 tahun.”

Nishinoya terlihat sedikit terkejut ketika Kageyama menyebutkan namanya.

“Kau kenal aku?”

“Tidak, tapi aku pernah mendengar tentangmu dari seseorang.”

Kageyama hanya menganggukkan kepalanya. Dia tidak ingin bertanya lebih lanjut. Ia tidak terlalu peduli dengan urusan seseorang.

Ombak 9

“Jadi, perempuan itu siapa?” Tanya Nishinoya yang sedang tiduran dengan tangan Tsukishima sebagai bantal.

“Teman.”

“Hah?”

Nishinoya menatap Tsukishima curiga. Mana ada teman yang memposting poto teman lelakinya dengan caption memakai emoticon love.

“Aku enggak tahu apa niat dia posting itu,” Tsukishima mengusap rambut Nishinoya yang jatuh karena tidak memakai pomade.

“Ooh.”

Ya sepertinya Tsukishima berkata jujur. Jadi, Nishinoya akan percaya saja. Lagian lelaki berkacamata itu kan tadi sudah menyatakan perasaannya.

Sebenarnya Nishinoya tidak terlalu percaya dengan pernyataan Tsukishima. Pasalnya, semasa SMA ia sama sekali tidak pernah melihat ketertarikan lelaki berkacamata itu padanya. Tetapi kadang-kadang ia sering membuat kesal dirinya sih.

“I love you, Kei,” Ucap Nishinoya tiba-tiba.

“Tiba-tiba?”

“Ck, gak romantis. Harusnya langsung jawab 'i love you, too',” Nishinoya mengembungkan pipinya.

Tsukishima hanya tertawa kecil. Ia mencium dahi Nishinoya yang terhalangi oleh poni kuningnya. Lalu mendekatkan dirinya ke telinga lelaki kecil itu.

“I love you too, Yuu,” bisik Tsukishima tepat di telinga Nishinoya.

Nishinoya terperanjat mendengar perkataan Tsukishima. Ia langsung bangun dari tidurnya. Namun lelaki tinggi itu sudah menutup matanya.

“Jangan pura-pura tidur! Ayo sebut 'Yuu' lagi!”

Ombak 8

“Ah, Kei mau mandi dulu atau langsung makan?”

Bukan. Bukan ini yang Tsukishima harapkan. Sejak ia masuk ke dalam rumah, ia tidak melihat amarah di wajah Nishinoya. Bahkan suaminya itu bertindak seakan-akan keadaan sedang baik-baik saja.

“Kenapa kakak gak nanyain soal tweet itu?”

Tsukishima takut jika hubungan mereka ini sama sekali tidak ada kemajuan. Ia tidak ingin bahwa Nishinoya berpikir bahwa pernikahan mereka ini hanya untuk Nami.

“Enggak deh, nanti kita malah jadi ribut. Lagian kita kan nikah cuman gara-gara—”

“Jangan,” Tsukishima menangkap tubuh Nishinoya dan mendekapnya.

Ucapan Nishinoya terpotong karena Tsukishima mendekapnya dengan erat sehingga sulit untuk berbicara.

“Jangan cuman mikirin Nami, kak. Yang butuh kakak bukan cuman Nami, tapi aku juga.”

Dada Tsukishima terasa sesak. Begitu juga dengan Nishinoya. Pandangannya terlihat kabur, air matanya sudah siap untuk jatuh. Mungkin karena dirinya sedang hamil, ia jadi lebih mudah terbawa emosi.

“Aku udah suka kakak dari SMA. Aku selalu nunggu kakak nyerah ngejar kak Shimizu,” Tsukishima masih mendekap Nishinoya.

“Jadi, kamu gak punya pacar simpanan?” Ucap Nishinoya sembari memperlihatkan wajahnya. “Kenapa gak langsung jawab dichat?”

“Maaf, aku cuman mau lihat kakak cemburu.”

Nishinoya menyembunyikan wajahnya di dada Tsukishima. Tangannya menjulur dan membalas pelukan suaminya.

“Jadi, aku boleh cemburu?”

Jika Tsukishima boleh OOC, ia ingin sekali berteriak sambil bersalto di atap rumahnya. Namun, ia harus mempertahankan sikap kalemnya.

“Iya, boleh.”

Nishinoya memperlihatkan wajahnya lagi lalu tersenyum lebar. Jujur saja jantung Tsukishima berdetak lebih cepat dari biasanya.

Siapa yang akan mengira bahwa kakak kelasnya yang suka sekali berteriak dan melakukan kekerasan—-sebagai lelucon— akan bersikap semenggemaskan ini. Apalagi hal itu dilakukan di dalam pelukannya.

Ombak 7 Tw // kissing [Catatan Aram : ini aku ngetiknya sambil malu-malu, jadi maaf kalau errr kurang memuaskan]

Nishinoya merengut ketika membaca balasan tweet dari teman-temannya. Hei, dia ini bisa memasak! Ya walaupun dia terpaksa belajar memasak karena banyak makanan yang tidak ia sukai ketika travelling.

Setelah selesai memasak, ia segera memeriksa Tsukishima. Ternyata lelaki itu masih tertidur.

“Kei, bangun,” Nishinoya mengguncang-guncangkan tubuh Tsukishima.

Untung saja Tsukishima bukan tipe orang yang sulit dibangunkan. Setelah membuka matanya, ia langsung pergi ke kamar mandi.

***

“Kak, ini masih pagi,” Ucap Tsukishima ketika melihat Nishinoya memegang bungkus Gari-gari-kun.

“Bukan 'kak', coba panggil 'Yuu',” Ucap Nishinoya.

Wajah Tsukishima mulai memerah. Kenapa di pagi hari ini dia sudah diberi ujian seperti ini? Beda dengannya, Nishinoya merasa puas ketika melihat reaksi lelaki berkacamata itu. Ia jadi ingin semakin menggodanya.

“Kalau gak mau manggil 'Yuu', coba panggil 'sayang'.”

Tsukishima terlihat panik. Ia bahkan tidak bisa mengeluarkan suaranya. Nishinoya yang puas, tertawa dengan keras. Secara tidak sadar, ia malah membuka bungkus esnya.

“Dibilangin masih pagi.”

Tsukishima berusaha merebut es yang ada di tangan Nishinoya. Tetapi gerakan Lelaki kecil itu lebih cepat darinya. Ia dengan cepat menyembunyikannya di belakang tubuhnya.

“Panggil 'Yuu' dulu,” Goda Nishinoya.

“Y-yuu, ini masih pagi. Siniin esnya,” Ucap Tsukishima malu-malu.

“Gak mau.”

Nishinoya memakan es yang ada di tangannya dengan dua kali gigitan. Siapa pun yang melihat itu pasti merasa ngilu. Tetapi itu malah membuat Tsukishima kesal.

Tsukishima mendekatkan dirinya ke pada Nishinoya yang masih mengunyah es di dalam mulutnya. Dengan cepat lelaki berkacamata itu menempelkan bibirnya ke bibir suaminya. Berkat keterkejutan pasangannya, lidahnya dapat mengakses mulutnya. Ia memindahkan semua es yang ada di mulut Nishinoya ke miliknya.

Tidak ada balasan dari Nishinoya. Ia hanya mematung dan menerima perlakuan suaminya itu. Tangannya gemetar. Ini adalah ciuman pertama dirinya dalam keadaan sadar.

Tsukishima menjauhkan badannya dari Nishinoya dan mengusap ujung bibirnya. Ia memperhatikan keadaan bibir pasangannya yang terlihat berantakan. Ia tersenyum miring.

“Bibir kamu belepotan,” Ucap Tsukishima sembari mengusap bibir Nishinoya oleh ibu jarinya.

Nishinoya mematung dengan mulutnya yang terbuka sedikit. Dia ingin protes tapi mulutnya sulit untuk digerakan. Apa ini balasan karena sudah menggodanya tadi?

Ombak 6

Tsukishima mengambil ponselnya dan langsung menekan nomor telepon Nishinoya. Ia menatap rumah yang ada di depannya sembari menunggu panggilan nya diangkat.

“Kei?”

“Kak, aku ada di depan rumah kak Tanaka,” Bukannya menjawab, Nishinoya malah menutup panggilannya.

Apa dia masih marah? Pikir Tsukishima. Tetapi pikirannya itu langsung dibantah oleh pintu rumah Tanaka yang terbuka. Terlihat Nishinoya yang berlari ke arahnya.

“Hati-hati! Nanti jatuh,” Tsukishima segera menghampiri Nishinoya.

Tsukishima memakaikan jaket pada Nishinoya. Ia tahu bahwa suaminya ini pasti memakai baju berlengan pendek, jadi ia sengaja membawa jaket.

“Lain kali kalau mau pulang malem bawa jaketnya,” Ucap Tsukishima saat memakaikan jaket.

Lalu keluarlah Tanaka dan juga Kiyoko. Sebenarnya Tsukishima agak kesal. Jangan-jangan Nishinoya datang ke rumah Tanaka karena ingin bertemu Kiyoko.

“Ciee khawatir ya? Sampai dijemput gitu,” Tanaka tertawa puas.

Senior botaknya ini memang dari dulu selalu menyebalkan. Tapi karena dirinya menikah dengan Kiyoko, ia jadi bisa menikah dengan Nishinoya. Jadi ia agak berterima kasih padanya.

“Kalau gitu kita pulang dulu ya!” Ucap Nishinoya sembari melambaikan tangannya.

Tanaka dan Kiyoko hanya mengangguk dan mengucapkan kata-kata seperti 'hati-hati di jalan'.

***

“Maaf,” Ucap Tsukishima disela-sela menyetir.

“Kamu cemburu ya sama kak Asahi?”

Pertanyaan itu membuat Tsukishima memberhentikan mobilnya secara mendadak. Sejak kapan Nishinoya sepeka ini?

“Kok tau?”

“Tadi cerita sama kak Kiyoko. Terus kata kak Kiyoko kamu cemburu,” Ucap Nishinoya sambil menggaruk-garuk pipinya yang tidak gatal.

Situasi saat ini sangat lucu. Kiyoko adalah perempuan yang membuatnya patah hati sampai ia melakukan hal yang tidak-tidak. Tetapi sekarang perempuan itu menjadi tempatnya bercerita tentang suaminya.

“Maaf, harusnya aku gak sampai cuek ke kakak.”

“Iya, benar! Harusnya kalau ada apa-apa langsung bilang!”

Mereka berdua lega. Yah, ternyata masalahnya langsung selesai. Kekuatan komunikasi memang dahsyat.

“Boleh gak kakak berhenti kerja aja?” Tsukishima berhati-hati saat mengatakannya. “Aku juga kan udah kerja.”

Nishinoya tidak langsung menjawab. Matanya lurus ke depan seperti ada yang sedang ia pikirkan.

“Sebenarnya aku emang niat berhenti kerja, tapi ragu. Kalau sekarang kan Kei yang minta, jadi harus aku turutin dong!” Ucap Nishinoya dengan senyum lebar di wajahnya.

Ternyata benar kata Ennoshita. Nishinoya pasti akan mengerti jika ia mengatakannya. Selama ini ia selalu ragu-ragu karena takut membuat lelaki kecil itu marah. Ia sangat malu. Kenapa sebelumnya ia seperti meragukan pasangannya sendiri.

“Kei, ayo pulang.”

“Iya.”

Love potion 5

Atsumu membuka pintu rumahnya dengan lesu. Ia membuka sepatunya dan menyimpannya di rak. Langkah kakinya terasa berat dan juga dadanya terasa sakit.

“Tsumu? Kenapa?” Osamu merasa ada yang tidak beres dengan kembarannya itu.

“Samu, gue udah jujur sama Nishinoya,” Atsumu mengambil jeda sebelum melanjutkan ucapannya. “Dia pasti benci sama gue.”

“Dia bilang dia udah suka gue dari setahun yang lalu. Itu pasti gara-gara efek Love potion nya kan?”

“Gue juga gak tau Tsum,” Osamu menatap sedih ke arah kembarannya yang terlihat kacau.

Dia mengusap punggung kembarannya itu. Berharap ia dapat menenangkannya.

“Enggak apa-apa, Tsum. Yang penting lo udah jujur sama Nishinoya.”

Atsumu mengangguk dalam diam. Sepertinya ia pun harus jujur ke pada teman-temannya yang lain.

Ombak 5 Warning dialog non-baku

Nishinoya menjadi pendiam sejak pulang dari rumah Tsukishima. Kepalanya terasa kosong. Ia tidak tahu harus memikirkan apa.

“Kak?” Tanya Tsukishima yang sedang menyetir.

Sekarang, mereka sedang dalam perjalanan menuju ke rumah Nishinoya. Tentu saja Tsukishima mengantarkan lelaki itu pulang dengan selamat.

“Tsukishima, kalau kita nikah terus kuliah lo gimana?” Tanya Nishinoya.

“Hah? Ya gue izin dulu gak masuk,” Ucap Tsukishima tanpa dosa.

“Nak, ayahmu ternyata bodoh,” Ucap Nishinoya sembari mengusap-ngusap perutnya.

Tsukishima memberhentikan mobilnya, lalu berkata, “Oh, jadi ini alasan kakak gak mau nikah?”

“Iya. Kalau kita nikah, lo pasti gak bebas. Gak bisa kumpul sama temen-temen lo juga.”

“Kebebasan gue? Bukan nya kebebasan lo ya? Lo jadi gak bisa keliling dunia sepuasnya. Mungkin itu yang lo khawatirin,” Nada bicara Tsukishima mulai berubah.

Nishinoya tidak suka dengan nada bicara Tsukishima. Perkataannya seolah menyudutkan dirinya. Ia sama sekali tidak pernah berpikiran seperti itu.

“Kalau gue punya pikiran kayak gitu dari dulu, gue gak akan pulang ke Jepang.”

Nishinoya mencoba menahan amarahnya. Sebenarnya ia ingin sekali berteriak-teriak. Tetapi ia harus memikirkan kondisinya juga.

“Kalau gitu kenapa lo gak mau nikah sama gue?”

Mata Nishinoya melebar. Ia tidak pernah melihat Tsukishima berekspresi seperti itu sebelumnya. Wajahnya seperti kucing yang minta dipelihara.

“G-gue kan udah bilang tadi,” Nishinoya memalingkan wajahnya.

“Tolong jangan cuma mikirin kita aja. Pikirin juga bayi kita,” Ucap Tsukishima.

Nishinoya tidak menjawab. Keadaan menjadi hening sampai Tsukishima kembali menghidupkan mesin mobilnya.

Ombak 4

Begitu berhadapan dengan orang tua dan kakaknya, Tsukishima menjelaskan segalanya. Saat ini, lelaki berkacamata itu seperti sedang melakukan pengakuan dosa terhadap orang tuanya.

Menghamili anak orang ketika dirinya sedang mabuk. Ia yakin sekali orang tuanya kecewa dengan perilakunya.

“Saya minta maaf,” Ucap Nishinoya tiba-tiba sambil menundukan kepalanya hingga terbentur meja.

“Tidak perlu meminta maaf, kejadian itu kan sudah terjadi. Siapa namamu?” Tanya ibu Tsukishima.

“Nishinoya Yuu,” Ucap Nishinoya sembari mengangkat kepalanya dengan perlahan.

Ternyata ketakutan Nishinoya tidak terjadi. Malah keluarga Tsukishima antusias ketika bertanya mengenai bayi di dalam kandungannya.

“Jadi, kapan kalian akan menikah?”

Pertanyaan itu langsung membuat Nishinoya terdiam. Kenapa semua orang suka sekali bertanya mengenai pernikahan? Memangnya pernikahan itu penting?

“Dia bilang tidak mau menikah,” Tsukishima mengatakan hal itu dengan dingin.

Nishinoya menatap Tsukishima dengan tidak percaya. Wah, bisa-bisanya dia berkata seperti itu? Dasar penghianat!

“T-tapi kita akan merawat anak itu bersama,” Ucap Nishinoya dengan gugup.

Ekspresi kecewa terlihat di wajah ibunda Tsukishima. Nishinoya mulai panik. Apa ia membuat kesalahan? Kenapa tiba-tiba senyum di wajah ibunya Tsukishima memudar? Pikirnya.

“Pernikahan itu agak...”

Nishinoya bingung harus mengatakan apa. Di sisi lain ia merasa harus menjelaskan sesuatu. Di sisi lainnya ia sama sekali tidak tahu harus menjelaskan apa.

“Mereka pasti belum siap, bu. Kei bahkan belum lulus kuliah,” Ucap Akiteru sambil tersenyum.

Nishinoya merasa lega ketika Akiteru berbicara. Tsukishima Kei itu malah diam saja dan tidak berniat membela dirinya. Awas saja nanti.

“Kalian yakin? Ini pasti akan berat untuk Yuu-kun. Mengandung tanpa pernikahan, kamu pasti akan mendapatkan tatapan-tatapan dan bisikan menyakitkan dari orang-orang,” Ucap ibu Tsukishima.

“Aku kuat,” Ucap Nishinoya tanpa ragu.

“Lalu bagaimana dengan anak kalian nanti?” Ayah Tsukishima tiba-tiba mengeluarkan suaranya.

Merayu Nishinoya untuk menikah bukanlah hal yang mudah. Ia pasti akan terus membuat alasan untuk menolaknya.

“Tidak butuh lama berita tentang kehamilan Yuu akan menyebar. Entah oleh tetangga atau orang yang tidak sengaja melihat perutmu. Kita tidak tahu bahwa orang-orang akan selalu membicarakan hal-hal baik tentang kita,” Ucapnya lagi.

Ayah Tsukishima melanjutkan ucapannya, “Setelah anak kalian besar, teman-temannya pasti akan bertanya kenapa orang tuanya tidak menikah. Mungkin sebagian anak malah akan mengolok-oloknya.”

Anaknya diolok-olok? Nishinoya tidak mau. Ia selalu berharap bahwa anaknya hidup dalam kebahagiaan. Ia tidak mau kalau anaknya harus bersedih karena dirinya.

“Kita tidak memaksa kalian untuk menikah. Tapi tolong pikirkan sekali lagi tentang apa yang akan terjadi ke depannya.”

Ah, Nishinoya mulai bimbang. Perkataan Ayah dan Ibu Tsukishima membuat dirinya dilema. Ia harus memilih antara egonya atau masa depan anaknya.