Title: Axis
Pairing(s)
– Jaehyuk/Asahi
– Mentioned members/Asahi and members/Jaehyuk pairing as well but jaesahi for the win
– slight!HaJeongwoo
– slight!DoDam if you squint lol
There will be another female character mentioned here.
Di sini aku buat Treasure udah debut cukup lama. Around 5 years.
Notes:
Italic:flashback
This story is cross-posted on wattpad as well.
______________________________________
Axis (noun), “an imaginary line about which a body rotates”
______________________________________
●●I saw you in myself
You are my orientation on some other axis
Now I get it why it hurts
when you cry●●
___________________
Apakah kalian pernah mencintai seseorang sampai dada kalian terasa sesak? Apakah pernah mencintai seseorang sampai hati kalian terasa sakit? Dan bodohnya tetap bertahan di satu titik yang sama. Memandang orang yang sama. Merindukan orang yang sama. Mengharapkan orang yang sama. Rela melakukan segalanya, tapi harus kehilangan begitu saja. Terlalu lama sakit hingga dirimu terbiasa.
Mati rasa.
Pemuda Jepang dengan lesung pipit yang membuatnya terlihat manis baru saja menyelesaikan latihan vokalnya. Kakinya melangkah cepat menuju ruang latihan dance yang berjarak dua ruangan dari ruang latihan vokalnya. Senyum terpatri di bibir tipisnya. Tangannya membawa sekotak cokelat yang ia beli sebelum memulai latihan. Sesekali bersenandung kecil membayangkan senyum bahagia yang akan ia lihat dari sang penerima cokelat nanti.
Asahi membuka kenop pintu ruang latihan semangat ketika hatinya mencelos melihat pemandangan yang berada tepat di depannya. Jaehyuk sedang mengusap lembut surai hitam seorang pemuda yang kini tertidur dengan pahanya sebagai sandaran. Jeongwoo tertidur lelap di sana. Jaehyuk menyingkirkan surai Jeongwoo yang menutupi dahinya. Tatapannya menjadi lembut.
Mata Asahi memanas. Berkali-kali Jaehyuk mengatakan Jeongwoo adalah adik kesayangannya. Tidak lebih dari itu. Tapi, Jaehyuk tidak pernah menatapnya seperti itu. Jaehyuk tidak pernah mengelus lembut rambutnya. Jaehyuk tidak pernah melakukan itu semua. Berkali-kali Jaehyuk mengatakan Jeongwoo hanyalah adik yang selalu ingin ia lindungi tapi kenapa hati Asahi tetap terasa sesakit ini?
“Ah Sahi-ya, sedang apa di sini?” tanya Jaehyuk membuat lamunan Asahi buyar.
Asahi menghembuskan napasnya berusaha menetralkan gemuruh di hatinya.
“Ah tidak. Aku mau memberi cokelat ini untukmu. Cokelat kesukaanmu.”
Asahi berjalan mendekat kemudian memposisikan dirinya duduk di samping Jaehyuk. Menatap Jeongwoo yang masih terlelap dari sudut matanya. Hatinya sakit. Kerap kali rasa cemburu mengusik hatinya tapi Asahi tidak akan pernah bisa membenci Jeongwoo. Justru sebaliknya, Asahi sangat menyayangi pemuda yang lebih muda 3 tahun darinya itu. Jeongwoo itu sumber kebahagiaan Jaehyuk. Jadi, seharusnya Asahi harus bahagia melihat Jaehyuk bahagia kan? Begitu kata-kata yang selalu ia dengar di film romansa. Tapi, itu terlalu munafik bukan? Nyatanya dirinya hanyalah manusia biasa. Ketika orang yang kau cintai tidak lagi menjadikan dirimu sumber bahagianya, itu terlalu menyakitkan.
Jaehyuk menatap Asahi yang tampak berpikir keras. Menerawang jauh dengan pandangan kosong. Lagi, Jaehyuk menghiraukannya. Mencoba tak peduli.
“Jeongwoo-yah,” panggil Asahi lembut sambil mengguncang lembut pundak Jeongwoo.
Jaehyuk menatap Asahi bingung.
“Kenapa dibangunkan? Ia kelelahan berlatih seharian.”
Hati Asahi terasa sakit lagi.
Bukan hanya Jeongwoo yang lelah. Bahkan tenggorokannya terasa perih sekarang karena terlalu banyak menggunakan suaranya tadi.
“Jeongwoo juga suka cokelat ini. Aku ingin ia menikmatinya juga. Lagipula, akan lebih baik jika ia beristirahat di dorm. Punggunya bisa sakit jika tidur di lantai keras seperti ini,” jelas Asahi lembut. Berusaha tersenyum manis. Kata orang senyum Asahi manis tapi senyum ini pun tak mampu mengembalikan Jaehyuknya yang dulu.
Ah, Asahi rindu masa-masa itu. Dulu Jaehyuk begitu lembut dan perhatian padanya. Tapi, entah sejak kapan hubungannya menjadi hambar seperti sekarang.
Asahi pernah memberanikan diri bertanya tapi Jaehyuk bilang Asahi terlalu perasa. Katakan Asahi bodoh karena cinta. Biarkan saja terasa hambar asal raga Jaehyuk masih bisa ia miliki. Soal hati, tentu bisa diubah kan? Hal yang hambar bisa memiliki rasa lagi. Mungkin Jaehyuk hanya jenuh? Semua akan baik-baik saja, kan? Jaehyuk seharusnya masih mencintainya juga, kan? Bertanyapun Asahi tak kuasa. Takut akan jawaban yang akan didengarnya.
“Kau kembalilah ke dorm terlebih dahulu. Aku akan menggendong Jeongwoo sampai dormnya. Tidak perlu menungguku. Aku akan kembali larut malam. Aku berjanji untuk mencoba game baru dengan Jeongwoo dan Jihoon Hyung.”
Asahi menatap Jaehyuk sedih. Maniknya berkaca-kaca. Jaehyuk melengos, tidak ingin melihat air mata yang siap jatuh dari sepasang mata indah itu.
“Jangan lupa makan. Jangan pulang terlalu larut. Nanti kau sakit,” ucap Asahi lembut seraya mencoba tersenyum.
Palsu.
Jaehyuk hanya mengangguk pelan kemudian meninggalkan Asahi. Pemuda manis itu memandangi punggung Jaehyuk yang semakin menjauh.
Air mata satu per satu mendesak keluar dari pelupuk matanya. Isakan demi isakan lolos dari bibir mungilnya. Memukul dadanya sendiri berusaha meredakan sakit yang terlalu lama ia pendam. Memeluk tubuh kurusnya berusaha menyalurkan sisa kekuatan yang ia punya.
Sepasang lengan melingkar di pundaknya, mendekapnya dari belakang.
“Ssst... Sahi Hyung, jangan menangis. Haruskah aku memukul Jaehyuk Hyung sampai dirinya sadar? Aku akan melakukannya jika itu meredakan sedikit rasa sakit yang Hyung rasakan.”
Asahi menggelengkan kepalanya.
“Tidak perlu melakukan itu Ruto-yah. Aku baik-baik saja.”
Haruto memandang sendu Asahi. Ia melihat semua. Ia sudah berdiri di balik pintu sejak 30 menit lalu. Kesal setengah mati dengan manusia bernama Yoon Jaehyuk. Bukan ini yang dibayangkannya 5 tahun lalu ketika Jaehyuk berjanji untuk menjaga Asahi. Untuk tidak membuatnya menangis. Kesal juga mengapa Asahi masih bisa diam dengan keadaan yang seperti ini.
Hyung kesayangannya ini bilang semua karena cinta. Haruto memang belum punya banyak pengalaman mengenai cinta tapi dirinya tahu cinta tidak seharusnya begini.
“Kau tidak baik-baik saja, Hyung. Hatiku sakit melihatmu menangis seperti ini. Manusia bernama Yoon Jaehyuk itu pernah berjanji di hadapanku tidak akan membuatmu menangis. Lalu apa yang aku lihat sekarang? Mau sampai kapan seperti ini terus? Kau berhak bahagia.”
“Tapi aku mencintainya, Ruto-yah.”
“Aku mungkin bukan orang yang banyak pengalaman, Hyung. Tapi aku tidak bodoh untuk mengetahui jika cinta tidak mungkin seperti ini.”
Asahi menangis keras. Tangannya menggengam lengan Haruto yang melingkar di lehernya. Dirinya tahu cinta tidak seperti ini. Tapi, Asahi ingin lebih lama lagi memiliki raga Jaehyuk.
Konyol.
Bahkan raganya pun tak teraih sekarang. Nyatanya Jaehyuk selalu menghindar sekarang.
Lantas mengharapkan apa lagi?
“Hari ini kau tidur di dormku saja, Hyung. Kita nonton film bersama Hyunsuk, Junkyu dan Yoshi Hyung.”
Haruto melepaskan dekapannya. Menatap Asahi lembut kemudian menghapus jejak air mata dari wajah manis itu. Mata dan hidung Asahi memerah. Haruto berusaha menahan amarah yang ingin ia luapkan saat ini juga.
“Jaehyuk akan pulang larut hari ini. Aku takut dia kelaparan dan tidak ada makanan. Aku mau membuatkannya sushi.”
Haruto menghembuskan napasnya kasar. Kedua tangannya mengepal erat.
Jaehyuk lagi.
Dasar Yoon Jaehyuk bodoh.
●●●
Asahi tersenyum kecil menatap sushi buatannya. Tidak sempurna tapi rasanya cukup enak. Asahi berharap Jaehyuk menyukainya.
Hatinya kembali berdenyut mengingat nama pemuda Korea itu. Pemuda yang amat dicintainya. Terkadang lucu mengingat masa lalu. Tidak pernah terpikirkan bahwa dirinya dan Jaehyuk bisa berpacaran. Nyatanya dulu keduanya mengagumi dua orang berbeda. Lalu karena ucapan konyol Jaehyuk, mereka terjebak dalam suatu hubungan spesial yang ternyata begitu indah.
Namun ironis. Merekah sempurna kemudian layu begitu saja. Tanpa sebab yang jelas.
Asahi mendudukkan dirinya di kursi meja makan. Mengeluarkan ponselnya dari saku celana, berharap ada 1 pesan di sana. Tapi nihil. Jaehyuk tidak menghubunginya sama sekali. Asahi menghela napas panjang. Potongan kenangan manis terputar di otaknya. Dulu, dirinya pernah begitu bahagia.
Jaehyuk tertawa kecil melihat Asahi yang memandang kagum Junkyu yang sedang bernyanyi di hadapannya. Bukan rahasia lagi bagi Jaehyuk jika Asahi sangat mengagumi Junkyu. Wajah tampan sekaligus menggemaskan. Jangan lupakan suaranya yang juga bagus. Siapa yang tidak menyukainya.
“Kau menatapnya sampai bengong seperti itu. Jika memang menyukainya, katakan saja langsung.”
Asahi melirik tajam kemudian mencubit lengan Jaehyuk keras.
“Astaga sakit, Sahi-ya! Kenapa harus mencubit, sih?”
“Habis kau bicara sembarangan. Memang aku harus mengatakan apa? Aku hanya kagum dengan Junkyu Hyung, kok.”
Jaehyuk menggelengkan kepalanya tanda tak percaya.
“Kenapa? Kau tidak percaya? Lihatlah dirimu sendiri, Yoon Jaehyuk. Bahkan kau tidak berkedip ketika mendengar Yedam bernyanyi. Jika kau menyukainya, katakan saja langsung,” ejek Asahi meniru kata-kata Jaehyuk.
Jaehyuk mencubit pipi Asahi gemas.
“Jangan bicara sembarangan! Aku hanya menyukai suara indah Yedam. Tidak lebih.”
Asahi terkekeh pelan.
Mereka memang bersaing di Treasure Box tapi tidak perlu gengsi untuk mengakui bahwa keduanya mengagumi saingan mereka sendiri.
“Sahi-ya,” panggil Jaehyuk pelan.
“Hm?” sahut Asahi masih dengan matanya yang terfokus pada Junkyu.
“Kita ini seperti orang bodoh ya. Kagum dari jauh. Tak berani mengatakan. Diam-diam memperhatikan. Jika sampai survival show ini kita tidak juga berani mengatakannya, lebih baik kita berdua saja yang bersama,” ucap Jaehyuk asal membuat Asahi hampir menyemburkan air mineral yang sedang ditegaknya.
“Ya Yoon Jaehyuk! Jangan konyol!”
Asahi memukul kepala Jaehyuk.
Jaehyuk tertawa keras.
“Aku hanya bercanda, Sahi-ya. Tidak perlu sampai memukul kepalaku eperti itu,” balas Jaehyuk sambil mengerucutkan bibirnya. Tangannya mengusap kepalanya yang terasa sakit.
“Siapa suruh seenaknya berbicara.”
Jaehyuk terkekeh kemudian mengacak rambut Asahi hingga berantakan mengundang sekali lagi pukulan di kepalanya.
Ucapan konyol.
Namun terkadang hidup memang selucu itu. Tidak akan pernah bisa menduga apa yang terjadi suatu hari nanti.
Malam itu di tahun 2019 ketika daun-daun berguguran dari dahannya. Angin musim gugur bertiup lembut. Dua anak manusia berdiri memandang Sungai Han di hadapannya. Tangan keduanya saling bertautan.
Jaehyuk menatap lembut pemuda Jepang yang tepat berada di dekatnya. Mengagumi lekuk wajah sempurna yang membuatnya gila beberapa bulan belakangan.
Asahi menoleh ke arah Jaehyuk yang menatapnya dengan tatapan lembut. Memberikan senyum manisnya tanpa tahu satu senyuman saja mampu membuat jantung lawan bicaranya berdegup lebih cepat.
“Ingat ucapan konyolmu dulu? Nyatanya hal yang kau pikir paling konyol sedikitpun bisa menjadi senyata dan seindah ini.”
Jaehyuk tersenyum menampakkan barisan giginya. Sejurus kemudian mendekatkan kepala Asahi kemudian mengecup keningnya singkat.
“Aku tidak pernah melupakan hari itu. Di tengah hujan kau rela berlari hanya untuk membeli obat demam untukku. Aku tidak pernah lupa kau rela mencari cokelat kesukaanku hanya untuk membuatku senang setelah pelatih memarahiku kala itu. Kau bahkan kehilangan waktu tidurmu hanya untuk mendengarkan semua keluh kesahku. Kau banyak melakukan hal-hal luar biasa yang tidak pernah aku bayangkan. Sederhana tapi kau melakukannya dengan tepat. Aku mencintaimu, Hi-kun. Sekarang, giliran aku yang melakukan semuanya untukmu. Aku akan menjagamu, melindungimu, membahagiakanmu.”
Asahi menatap Jaehyuk lembut. Matanya berair sekarang. Air mata siap tumpah dari sudut matanya namun Jaehyuk buru-buru menghapusnya.
“Sahi-ya, air mata ini tidak boleh mengalir dari mata indahmu. Aku tidak mau membuatmu menangis.”
Jaehyuk menarik Asahi ke dalam pelukannya, membenamkan wajahnya pada ceruk leher Asahi, menghirup wangi yang sangat ia sukai.
“Jangan pernah pergi dari sisiku, Asahi.
Asahi mengangguk pelan kemudian mengeratkan lingkaran tangannya pada pinggang Jaehyuk. Memeluknya erat merasakan kehangatan yang terpancar dari tubuh tegapnya.
Lamunan Asahi buyar ketika pintu dorm terbuka menampakkan sosok Jaehyuk yang sedang melepas sepatunya. Asahi buru-buru mengusap air mata yang tanpa sadar membasahi pipinya.
“Ah kau sudah kembali,” sambut Asahi dengan senyum lembutnya.
Jaehyuk menatapnya malas menghiraukam Asahi begitu saja.
“Aku membuat sushi untukmu. Kau pasti lapar. Kau selalu lapar ketika pulang larut.”
“Aku sudah bilang tidak perlu menungguku. Jadi untuk apa kau membuat sushi untukku? Sudah larut, yang aku perlukan adalah tidur bukan makanan,” jawab Jaehyuk dingin seraya melangkahkan kakinya menuju kamar. Membanting pintu kamarnya keras menyisakan Asahi yang mematung.
Sakit.
Hatinya benar-benar sakit sekarang. Tanpa bisa dicegah air mata lolos dari maniknya.
''Kau melanggar ucapanmu sendiri, Jaehyuk-ah. Air mata ini justru jatuh karenamu,'' gumam Asahi pelan.
Pelan tapi Jaehyuk mendengarnya. Jaehyuk menjambak rambutnya frustasi. Mengusap wajahnya kasar.
'Berapa banyak lagi air mata yang harus Asahi tumpahkan untuk pria brengsek seperti dirimu, Yoon Jaehyuk?' katanya dalam hati.
Jika memang rasa itu sudah melebur tidak tersisa, lantas mengapa tidak diakhiri saja?
●●●
Tidur Asahi terusik ketika mendengar sayup-sayup suara dari luar kamar. Asahi melihat ponselnya. Sudah jam 8. Asahi menggerakkan tubuhnya yang terasa nyeri. Matanya terasa panas. Asahi mengeratkan selimutnya ketika merasa hawa dingin dari pendingin ruangan menusuk tulangnya. Asahi memegang keningnya.
Demam.
Kepalanya terasa pening. Rasanya ingin kembali tidur. Lelah. Bukan hanya soal fisik tapi juga mental. Memasang senyum palsu setiap hari bukanlah hal mudah. Pura-pura baik-baik saja meskipun hati dan perasaannya tak karuan bentuknya.
Asahi memaksa tubuhnya untuk bangun, merapikan rambutnya dan mencuci muka. Tubuhnya berjengit tatkala air menyentuh lengannya. Sepertinya ia benar-benar demam. Untung saja hari ini tidak ada jadwal latihan. Setidaknya dirinya bisa beristirahat di dorm.
Jika ini terjadi dulu, pasti Jaehyuk akan memarahinya tanpa henti karena dirinya sakit. Jaehyuk akan mengurusnya 24 jam penuh. Tidak beranjak sama sekali dari kamarnya.
Asahi tertawa miris. Itu dulu. Bagaimana sekarang? Asahi tak berharap bahkan semalam Jaehyuk tidak mau memandang wajahnya sama sekali.
Asahi membuka pintu kamarnya. Melihat Jaehyuk yang sedang duduk di meja makan dengan secangkir teh yang masih mengepul. Netranya menatap Asahi ketika mendengar pintu kamarnya terbuka.
“Selamat pagi, Jaehyukkie,” ucap Asahi pelan.
Jaehyuk hanya mengangguk kecil.
“Sahi-ya.. Aku ingin bicara.”
Langkah Asahi terhenti. Jantungnya berdegup kencang. Tubuhnya seperti kehilangan tenaga begitu saja. Bukan hanya karena demamnya tapi perasaannya tidak enak. Lututnya terasa lemas membuat tubuh mungilnya terhuyung namun secepat mungkin meraih pinggiran meja makan untuk menahan tubuhnya.
“Apa yang ingin kau bicarakan?”
Asahi berusaha menahan getaran di pita suaranya. Jelas Asahi sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan Jaehyuk namun dengan beraninya masih bertanya.
Jaehyuk menatap wajah Asahi yang pucat. Bulir keringat terlihat jelas di pelipisnya.
'Apakah Asahi sakit?' tanyanya dalam hati.
Jaehyuk memejamkan matanya. Menghela napas kasar. Katakan sekarang atau tidak sama sekali.
“Aku mau kita mengakhiri hubungan ini.”
Akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulut Jaehyuk.
Satu kalimat namun mampu menghancurkan lawan bicaranya. Pukulan telak baginya.
“Apakah sesulit itu untuk tetap mencintaiku, Jaehyukkie? Apa ada sesuatu yang salah dariku yang membuatmu hilang rasa? Apa ada hal yang membuatmu tidak nyaman? Katakan maka aku akan membuatnya lebih baik lagi,” mohon Asahi dengan nada memelas. Hatinya hancur. Kekuatannya menguap di udara. Tangannya berusaha meraih tangan Jaehyuk yang mengepal kaku di atas meja.
Jaehyuk menunduk tak ingin menatap pemuda manis yang satu setengah tahun ini menjadi poros dunianya. Dirinya tidak ingin melihat manik indah itu mengeluarkan air mata sekarang. Tidak seharusnya Asahi menangisi pemuda brengsek sepertinya.
“Ucapan konyol waktu itu seharusnya tetap menjadi ucapan konyol. Bukan menjadi hubungan istimewa yang pernah kita punya,” tandas Jaehyuk dengan nada dingin.
Asahi melepaskan genggamannya kemudian menegakkan tubuhnya. Memaksa adalah hal percuma. Tangisnya tergantikan tawa miris yang keluar begitu saja dari bibir mungilnya.
“Lebih bodohnya lagi aku percaya pada ucapan seseorang yang kerap kali mengatakan hal konyol dan seenaknya. Terima kasih sudah membuatku terlihat bodoh selama ini, Jaehyuk-ah. Kau benar, kekonyolan harusnya tetap menjadi hal konyol. Betapa gilanya kita berdua menjadikannya sebagai hubungan yang kita kira bisa bertahan lama bahkan membuatnya terjalin selama 5 tahun. Aku mencintai dengan sepenuhnya lalu kau membuangnya. Kau bebas sekarang, Jaehyuk-ah. Maaf sudah menahanmu lebih lama,” ucap Asahi lirih dengan senyum tegar yang dipaksakan.
Asahi mengatakannya. Tak perlu memikirkan perasaanya lagi. Toh, hatinya sudah tidak berbentuk. Asahi membalikkan tubuhnya, melangkah cepat menuju kamarnya sebelum pertahanannya runtuh.
Jaehyuk diam. Menatap nanar punggung Asahi yang menghilang di balik pintu. Sosok itu tidak akan pernah ia gapai lagi.
Tes!
Cairan bening lolos begitu saja dari matanya.
Ini yang dirinya mau kan? Jelas ini keputusan yang ia ambil dengan akal sehatnya. Dengan begini, seharusnya lebih baik, kan? Berhenti saling menyakiti.
Jaehyuk menghela napas panjang kemudian bangkit dari duduknya. Tak berapa lama pintu dorm dibuka kemudian ditutup keras diiringi derap langkah kakinya yang menjauh pergi.
●●●
Peluh membasahi sekujur tubuh Jaehyuk. Decitan sepatunya tidak berhenti sejak pagi tadi. Dirinya butuh sesuatu untuk mengalihkan pikiran kalutnya.
“Sebentar lagi kita akan debut Jaehyuk-ah! Apa kau senang?” tanya pemuda manis dengan surai hitam. Sepasang lesung pipit menghiasi pipinya.
Jaehyuk tersenyum kecil mengacak surai halus Asahi.
“Tentu aku senang. Ini impian kita. Aku tidak pernah membayangkan bisa meraih mimpi bersama dengan orang yang paling aku sayangi. Jangan pernah pergi eum? Selalu bersama denganku. Tetap di sampingku.”
Jaehyuk mengecup bibir tipis Asahi.
Their first kiss.
Jaehyuk memaksakan tubuh lelahnya bergerak. Namun bagian kisah lalunya berputar di kepalanya bagaikan alur mundur dari sebuah film.
“Kau selalu membuatku khawatir. Kenapa bisa sampai sakit begini? Tidak ada latihan hari ini. Tidak ada keluar kamar. Kau harus istirahat!” ucap Jaehyuk tegas melihat Asahi terbaring lemah di sebelahnya. Wajahnya merona karena suhu tubuhnya yang panas.
Asahi mengerucutkan bibirnya. Lengannya melingkar sempurna di pinggang Jaehyuk dan membenamkan wajahnya di dada bidang pemuda Korea itu.
“Maaf membuatmu khawatir.”
Jaehyuk menghela napas pelan lalu mengecup pucuk kepala Asahi.
“Jangan meminta maaf. Tidurlah. Kau butuh banyak istirahat agar merasa lebih baik.”
Jaehyuk terus mengulang gerakan tari yang cukup intens. Tangan dan kakinya terasa kebas tapi ia tak peduli. Asalkan pikiran yang mengganggunya bisa pergi dari otaknya. Semakin dipaksa pergi semakin banyak kenangan itu bermunculan.
“Kau yakin dengan ini? Aku tidak akan melakukannya jika kau belum siap. Tidak perlu terburu-buru. Aku rela menunggu sampai kau siap,” kata Jaehyuk lembut menatap pemuda manis yang berada di bawah dominasinya.
“Aku menanti lama untuk hari ini. Waiting for you to make love with me,” lirih Asahi lembut dengan bibir ranumya yang sudah membengkak.
Their first time.
Tubuh Jaehyuk merosot—membiarkan dirinya terduduk di lantai ruang latihan yang dingin. Menjambak rambutnya frustasi membiarkan isakan lolos dari bibir penuhnya.
Sesak.
Sakit.
Hancur.
Andai saja dirinya bisa ikut mati rasa seperti kedua lengan dan kakinya.
BRAK!
Pintu ruang latihan dibuka kasar. Haruto berjalan cepat dengan tangannya yang terkepal. Sejurus kemudian melayangkan pukulannya pada wajah Jaehyuk yang dalam posisi tidak siap—membuat pemuda yang lebih tua darinya itu tersungkur.
“Kau brengsek, Jaehyuk Hyung! Jika menurutmu hubungan kalian konyol seharusnya kau cepat akhiri, tidak membuatnya sakit terlalu lama! Kau berjanji untuk tidak membuatnya menangis tapi sekarang justru dirimu membuatnya terbaring tak berdaya di kamarnya!”
Mata Jaehyuk membelalak. Tangannya menyeka ujung bibirnya yang sedikit mengeluarkan darah.
“Kenapa?! Terkejut?! Bukankah Hyung sudah tidak peduli?! Bahkan ketika Sahi Hyung sakit tadi pagi kau tetap dengan tega mengatakannya!”
Jaehyuk menetralkan deru napasnya.
“Kau tidak tahu apa-apa, Haruto. Jangan ikut campur,” sahutnya dingin.
Haruto tertawa miris.
“Jangan ikut campur? Semua yang menyakiti Asahi Hyung menjadi urusanku!”
Haruto menatap Jaehyuk tajam. Ingin rasanya memukul Jaehyuk berkali-kali tapi bagaimanapun Jaehyuk lebih tua darinya.
“Begitukah? Kau menyukainya?”
Emosi Haruto bangkit lagi. Tangannya menarik kaus bagian depan Jaehyuk membuat pemuda Korea itu terpaksa mendekat ke arahnya.
“Jangan bicara sembarangan! Asahi itu Hyung yang paling aku sayangi! Siapapun yang menyakitinya menjadi uruskanku. Aku tidak akan membiarkannya!”
Jaehyuk melepas kasar tangan Haruto dari kausnya. Mendorong sedikit tubuh Haruto agar menjauh darinya.
Pikirannya kalut. Asahi sakit. Jaehyuk menertawakan dirinya sendiri. Bahkan menampakkan diri di depan Asahi saja Jaehyuk tak punya nyali. Lebih baik Asahi tidak usah melihatnya lagi. Lebih baik begini.
Jaehyuk menghela napas panjang. Matanya berubah sendu. Jaehyuk meraih pundak Haruto—menepuknya pelan.
“Ruto-yah..kumohon jaga Asahi,” katanya dengan ringisan kecil ketika bibirnya digerakkan. Sedetik kemudian melangkah pergi.
Perih. Tapi lebih perih hatinya.
Haruto mematung di tempatnya. Tatapan sendu itu.. Jaehyuk terlihat menderita juga. Lalu mengapa? Jika keduanya sama-sama sakit lalu kenapa harus berpisah?
●●●
Jeongwoo berlari cepat di koridor gedung latihan. Ia tahu sesuatu telah terjadi ketika Asahi pingsan di dormnya dan terbaring lemah di kamarnya karena demam tinggi. Ia tahu sesuatu yang jauh lebih buruk dari perkiraannya telah terjadi ketika dirinya tidak bisa menemukan Jaehyuk dan Haruto di dorm mereka. Langkah kakinya bergerak semakin cepat melangkah masuk ke dalam ruang latihan yang terlihat gelap.
Jaehyuk tidak ada di sana. Netranya menangkap sosok yang berlutut di sudut ruangan kemudian mendekat perlahan.
“Haruto?” panggilnya ragu.
Haruto mengangkat kepalanya. Maniknya bertemu dengan pemuda yang seumuran dengannya.
“Kenapa kau di sini?” tanya Jeongwoo lagi.
Hening. Tak ada jawaban.
“Apa kau puas merusak hubungan Jaehyuk dan Asahi?”
Maniknya membulat sempurna. Tangannya mengepal.
“A-apa maksudmu, Ruto-yah?”
“Kau dan Jaehyuk memiliki hubungan istimewa tanpa sepengetahuan Sahi Hyung kan? Hanya sebatas kakak beradik. Cih! Mana ada hubungan kakak beradik yang merusak hubungan percintaan kakaknya?!”
Setiap kata menusuk hati Jeongwoo. Menghujam perasaannya—memaksa cairan bening lolos dari pelupuk matanya.
“Kau tidak tahu apa-apa tapi beraninya dengan tanpa rasa bersalah menuduh seperti itu. Aku merusak hubungan mereka? Aku punya hubungan istimewa dengan Jaehyuk Hyung? Menyedihkan sekali diriku ini. Memandang pada satu titik yg sama terus-menerus tapi orangnya sadar saja tidak. Kau bodoh, Ruto-yah,” jawab Jeongwoo sambil menahan isakannya.
Ruto menata Jeongwoo yang masih berdiri di hadapannya. Bodoh katanya? Matanya membulat ketika mengerti dengan benar apa yang dimaksud Jeongwoo. Apa mungkin Jeongwoo menyukai dirinya? Namun dirinya tak pernah sadar. Kepalanya terasa pening sekarang. Terlalu banyak yang terjadi dalam satu hari.
“Aku pergi. Cepatlah kembali ke dorm sebelum Hyunsuk Hyung khawatir. Sudah cukup dirinya khawatir karena Sahi Hyung. Kau jangan menambah bebannya lagi.”
Jeongwoo beranjak pergi ketika Haruto menahan tangannya.
“Aku memukul Jaehyuk Hyung tadi.”
Jeongwoo menghela napasnya kemudian memposisikan dirinya di sebelah Haruto. Memeluk erat pemuda yang sedikit lebih tinggi darinya. Membiarkan pemuda itu menangis di pundaknya.
“Aku benci Jaehyuk Hyung karena menyakiti Sahi Hyung. Aku benci melihat Sahi Hyung menangis setiap hari. They used to be so happy together. Kenapa sekarang seperti ini? Bahkan Jaehyuk Hyung tidak menjelaskan apa-apa. Kau tahu sesuatu kan? Kau pasti tahu kenapa Jaehyuk Hyung berubah. Katakan padaku! Jelaskan padaku!” isak Haruto.
Jeongwoo hanya bisa mengelus punggung tegap Haruto. Tidak bisa mengatakan apa-apa. Semua hanya soal waktu. Waktu yang akan menjawab.
“Mereka sudah dewasa. Setiap keputusan yang diambil akan selalu ada akibatnya. Biar waktu yang menjawabnya.”
Haruto menatap tatapan sayu Jeongwoo. Ada lelah di sana. Pandangan Haruto melembut seketika.
“Tentang kita, juga biar waktu yang menjawabnya. Maafkan aku sudah menyakitimu dengan kata-kataku tadi,” ucap Haruto pelan hampir tak terdengar seraya mengecup kening Jeongwoo singkat.
Jeongwoo menatap Haruto. Terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.
“Teruslah memandang pada satu titik itu, Jeongwoo-yah. Titik itu tidak akan lari lagi. Sekarang titik itu sedang menatapmu—menyadari kebodohannya.”
Bibir Jeongwoo terkatup rapat. Tidak ada satu patah katapun keluar dari bibirnya. Tatapan keduanya sudahlah cukup menjawab semuanya.
●●●
Jaehyuk menatap sayu pintu kamar Asahi yang tertutup rapat. Rasa bersalah menghantuinya. Jaehyuk menyentuh ujung kenop pintu bermaksud membukanya namun secepat itu juga mengurungkan niatnya.
Tidak perlu lagi peduli. Asahi bukan siapa-siapanya lagi. Ada member lain yang bisa menjaganya kan? Jaehyuk membalikkan tubuhnya ketika pintu kamar Asahi terbuka menampakkan sosok Junkyu dengan mangkuk dan gelas di tangannya.
“J-junkyu Hyung..”
Junkyu menatap Jaehyuk datar. Melewatinya begitu saja dengan sengaja.
“Besok Asahi tidak akan tinggal di sini lagi. Ia bisa semakin sakit jika terus berada di sini. Ia akan tinggal di dorm-ku. Tentu ini yang kau harapkan juga bukan? Pasti sulit juga bagimu melihat orang yang kau sakiti setiap hari.”
Junkyu mengucapkannya dengan senyum tapi Jaehyuk tahu senyum itu. Senyum mengejek. Ucapannya juga bermaksud menyudutkannya.
“Baguslah jika ia tidak tinggal di sini lagi. Kau benar, Hyung. Berat untukku melihat wajahnya setiap hari yang selalu tersenyum seakan tidak terjadi apa-apa. Konyol.”
PLAK!
Satu tamparan mendarat di pipinya. Hari ini hari beruntungnya bukan? Mendapat pukulan dan tamparan dari dua orang.
Sesaat Junkyu merasa bersalah sudah menampar keras pipi Jaehyuk yang memerah.
“Kenapa kau melakukannya, Jaehyuk-ah? Kenapa?” tanya Junkyu lirih.
“Aku menyukai orang lain,” jawab Jaehyuk singkat kemudian meninggalkan Junkyu yang masih berdiri di ruang tengah.
Jaehyuk menutup pintu kamarnya kemudian terduduk lemas. Tenaganya habis. Tubuhnya bisa ambruk detik ini juga.
Ponselnya bergetar. Ada 1 pesan masuk dari Manager Hyungnya. Jaehyuk membacanya sekilas kemudian melempar ponselnya kasar ke atas meja. Menjambak rambutnya frustasi.
Jaehyuk melempar tubuhnya ke atas tempat tidurnya. Memejamkan matanya. Jika perlu, tak usah terbangun lagi.
●●●
Dua minggu berlalu sejak kejadian menyedihkan antara dirinya dan Asahi. Jaehyuk menyadari beberapa member berlaku dingin terhadapnya. Bicara seperlunya saja lalu berpura-pura semuanya baik-baik saja di depan kamera.
Jaehyuk memperhatikan Asahi yang sedang berjalan menuju sebuah mobil SUV hitam. Sejak mereka tidak tinggal di dorm yang sama, otomatis mereka tidak pernah berada di 1 mobil yang sama lagi. Matanya tertuju pada Junkyu yang merangkul pundak Asahi. Keduanya tertawa lepas. Entah apa yang sedang dibicarakan.
Matanya beradu tatap dengan Asahi. Jaehyuk segera mengalihkan fokusnya pada Yedam yang berada di sampingnya.
“Kau baik-baik saja Hyung?” tanya Yedam khawatir. Belakangan Jaehyuk lebih banyak diam dan menyendiri. Tawa dan candaannya tak pernah terdengar lagi. Yedam tahu apa yang terjadi di antara kedua hyung-nya yang hanya terpaut 1 tahun darinya.
Jaehyuk tersenyum lembut kemudian mengacak surai Yedam.
“Aku tidak apa-apa. Manager Hyung sudah menunggu lebih baik kita segera ke mobil,” ajak Jaehyuk seraya meraih lengan Yedam.
Asahi memandang dua mantan dormmate-nya yang semakin hari semakin dekat. Tak jarang Asahi melihat mereka pergi bersama. Tatapan dan senyum lembut Jaehyuk selalu muncul ketika bersama sang vokalis utama.
“Aku menyukai orang lain.”
Kata-kata itu terngiang di kepalanya. Asahi mendengar pembicaraan Jaehyuk dengan Junkyu malam itu.
'Jadi Yedam orangnya? Orang yang kau kagumi sejak dulu?' lirihnya dalam hati.
Matanya kembali terasa memanas. Sadar akan posisinya. Mengalahkan Yedam? Yedam yang baik, pintar dan suaranya yang sempurna. Asahi menyadari betapa Jaehyuk semakin jauh untuk digapai.
“Ucapan konyol waktu itu seharusnya tetap menjadi ucapan konyol. Bukan menjadi hubungan istimewa yang pernah kita punya.”
Asahi tertawa miris memutar kembali kata-kata menyakitkan itu di otaknya. Sejak awal memang Yedam-lah yang Jaehyuk selalu kagumi. Bukan dirinya. Bukan seorang Hamada Asahi—yang menjadi kekasih Jaehyuk hanya karena ucapan konyol kala itu.
Junkyu melihat perubahan wajah Asahi. Dirinya tidak perlu bertanya apa alasannya. Ia melihat dengan matanya sendiri.
Yoon Jaehyuk. Pandangannya begitu baik terhadap pemuda tampan itu tapi tidak menyangka Jaehyuk bisa setega ini terhadap Asahi. Lima tahun bukanlah waktu yang singkat. Seharusnya hubungan mereka memang berlandaskan rasa saling cinta, bukan? Apakah semudah itu bagi Jaehyuk melupakan Asahi?
“Jangan menangis, Sahi-ya. Luka tidak selamanya sakit. Jika kau butuh teman bicara, ada aku.”
Asahi memberikan senyumnya. Dalam hati bersyukur ada Junkyu yang mau mendengar semua ceritanya. Kesedihannya. Tidak hanya Junkyu saja, tapi juga member lainnya. Haruto yang selalu mengajaknya bercanda dan menulis lagu bersama. Asahi bersyukur memiliki member yang selalu mendukungnya.
●●●
Lagi, hati Asahi berdenyut sakit melihat Jaehyuk yang sedang tertawa lepas dengan Yedam dan Jeongwoo di sudut ruang latihan. Jaehyuk terlihat bahagia. Tawa itu terdengar lagi.
Jaehyuk benar-benar hidup lebih baik tanpa dirinya, kan? Jaehyuk tidak membutuhkannya lagi. Betapa bodohnya Asahi masih berharap bisa memperbaiki segalanya. Memulai segalanya dari awal.
Asahi meremas dadanya. Sakit.
Tertawa di depan kamera, tersenyum di depan penggemar, menari dengan semangat di atas panggung. Tapi nyatanya hatinya kosong.
Asahi menekuk lututnya, membenamkan wajahnya di sana. Kali ini saja Asahi tidak ingin menjadi kuat. Kali ini saja biarkan pertahanannya runtuh.
Sepasang lengan melingkari pundaknya membawanya ke dalam sebuah pelukan.
“Tiak boleh menangis sekarang, Sahi-ya. Tidak ketika Jaehyuk melihatmu,” ucap Junkyu pelan sambil mengelus punggung sempitnya berusaha menenangkannya.
“Kita kembali ke dorm eum?”
Asahi mengangguk pasrah membiarkan Junkyu menarik pelan lengan kurusnya.
Sementara Jaehyuk hanya bisa memandangi keduanya.
“Kau menyesal Hyung?” tanya Jeongwoo tiba-tiba.
Hening.
Jaehyuk tidak memberikan jawaban sama sekali.
“Menyesal atau tidak bukanlah hal yang penting lagi sekarang,” jawabnya singkat seraya berdiri meninggalkan ruang latihan.
●●●
Langit berwarna kelabu sore itu sebagai pertanda hujan akan turun sebentar lagi. Bunyi gemuruh terdengar dari langit. Pemuda manis dengan surai hitam masih betah berdiri di tempatnya. Menatap langit abu-abu yang membentang di atas gedung-gedung pencakar langit yang berdiri kokoh. Pemandangan dari atas gedung dorm tidak pernah membuatnya bosan. Setiap kali pikirannya terasa menyesakkan, Asahi akan menghabiskan waktunya di sini. Sunyi dan tenang.
“Bagaimana menurutmu dengan kalimat ini? Apakah cukup bagus untuk dijadikan lirik lagu?”
Jaehyuk membaca deretan kalimat yang ditulis Asahi di notesnya. Sesekali tersenyum lebar.
“Liriknya indah sekali. Bahasa Koreamu semakin baik dari hari ke hari,” puji Jaehyuk.
Asahi tersenyum senang. Kepalanya menengadah melihat langit berwarna biru cerah. Hamparan awan berarak di langit luas.
“Semua berkat kau, Jaehyuk-ah. Ketika pertama kali datang ke Korea, aku tidak tahu apa-apa. Bahkan untuk memesan makanan saja aku kesulitan. Tapi kau selalu membantuku. Kau membantuku ketika aku menulis lirik lagu Korea pertamaku. Kau rela tidak tidur hanya untuk menemaniku. Jika aku bisa menulis lirik seindah ini, semua juga karenamu,” kata Asahi tulus. Pandangannya kini beralih menatap Jaehyuk.
Jaehyuk mempersempit jarak di antara mereka—mendekap erat tubuh yang jauh lebih mungil darinya.
“Aku selalu menunggu saat dirimu menulis lagu untuk kita nyanyikan bersama. Aku ingin dunia tahu Asahi adalah composer yang hebat.”
Asahi meletakkan kepalanya di bahu Jaehyuk.
Nyaman.
Di dalam dekapan Jaehyuk dirinya selalu merasa aman.
Hiruk pikuk dunia dengan segala kerumitannya. Bukanlah masalah jika ada Jaehyuk di hidupnya.
“Aku mencintaimu, Hamada Asahi. Aku berjanji tidak akan pernah meninggalkanmu.”
Setetes air mata mengalir dari maniknya. Kemanapun dirinya pergi, ingatannya tentang Jaehyuk selalu mengikuti. Nyatanya di setiap harinya, Jaehyuk selalu di sana. Di setiap sudut tempat ini, Jaehyuk selalu hadir. Lima tahun menjalin hubungan bukanlah waktu yang sebentar.
Asahi masih tak habis pikir bagaimana di tengah perjalanan, seseorang berhenti mencintai dan memilih pergi. Bagaimana dengan mudahnya mengucap janji lalu melupakannya kemudian.
“Sahi-ya..,” panggil seseorang membuatnya kembali tersadar pada realita.
Suara itu. Asahi kenal betul suara itu.
Asahi menoleh—melihat Jaehyuk yang berdiri tak jauh darinya.
Berapakalipun keduanya berusaha menghindar, tetap bertemu juga. Mereka memang tak bisa lari selamanya.
“J-jaehyuk-ah.”
Jaehyuk mendekat—berdiri di sebelah pemuda manis yang kini tertunduk.
“Kau baik?”
'Baik? Haha. Apakah Jaehyuk gila? Apakah dirinya terlihat baik sekarang?'gumamnya dalam hati.
Asahi mengangguk pelan.
“Bagaimana denganmu?”
“Tidak pernah lebih baik daripada ini.”
Hati Asahi mencelos. Apakah Jaehyuk sebahagia itu?
“Jaehyuk-ah, apa rasa itu sudah benar-benar hilang tak tersisa? Apa tidak ada kesempatan lagi untuk kembali memulai semuanya dari awal?”
Persetan dengan ego dan harga diri. Logikanya kalah oleh perasaannya.
“Maafkan aku, Asahi. Aku tahu aku pria brengsek tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri bawah aku menyukai orang lain. Aku yakin kau tahu siapa orangnya. Orang yang seharusnya dari awal aku perjuangkan. Andai aku punya keberanian waktu itu.”
Asahi tersenyum miris. Menertawakan dirinya yang malang.
“Apakah orang itu Yedam?” tanya Asahi memberanikan diri menatap Jaehyuk.
Jaehyuk melengos. Tidak berani menatap manik teduh yang sudah berkaca-kaca.
Jaehyuk mengangguk.
“Memang dari sisi manapun, aku tidak ada apa-apanya dibanding dirinya. Seharusnya aku sudah menduganya. Rasa kagum yang kau katakan dulu bukan hanya sebatas itu. Aku merasa menjadi idiot. Mengira kau benar-benar mencintaiku selama ini.”
“Bukan salahmu. Aku yang brengsek. Jadi, bencilah aku. Benci aku dengan segala rasa sakitmu yang kau rasakan sekarang. Kau harus melupakanku dan menemukan kebahagiaanmu lagi.”
“Jika kau benar-benar mencintai seseorang, perasaan yang kau punya tidaklah mudah dihilangkan begitu saja. Seberapapun luka yang diberikan, rasa cinta tak semudah itu menguap. Tentu mudah bagi dirimu, Yoon Jaehyuk karena dirimu pembohong. Kau..tidak pernah mencintaiku sama sekali. Akan sulit bagiku untuk melupakanmu, tapi jangan khawatir, rasa cinta juga bisa berubah menjadi benci ketika dirimu disakiti berkali-kali,” jelas Asahi dingin kemudian beranjak pergi meninggalkan Jaehyuk yang mematung di sana.
Hati Asahi hancur. Tidak berbentuk lagi. Tapi, mau sampai kapan begini? Mau sampai kapan mengharapkan seseorang yang memilih pergi?
Langkahnya menjauh diiringi tetes air yang satu per satu tumpah dari langit membahasi bumi. Semakin lama semakin deras. Awan kelabu tebal menutupi langit. Bunyi gemuruh bersahutan.
Meninggalkan Jaehyuk yang terduduk lemas. Tangannya meremas dadanya yang terasa sesak. Derasnya hujan menyamarkan teriakan yang keluar dari bibir penuhnya. Butiran air menyamarkan air mata yang mengalir deras dari matanya.
Jeongwoo berlari kecil dengan payung di tangannya. Jangan tanyakan bagaimana keadaan hatinya sekarang melihat Hyung yang paling disayanginya dalam keadaan menyedihkan seperti ini. Jeongwoo tak tahan lagi.
Jeongwoo menghampiri Jaehyuk kemudian berjongkok di hadapannya—memayungi tubuhnya yang sudah basah kuyup.
“Sampai kapan mau terus begini, Hyung? Sampai kapan mau menyakiti dirimu sendiri seperti ini?” tanya Jeongwoo prihatin. Mati-matian berusaha menahan tangisnya.
“Sampai dia benar-benar membenciku.”
Tangisnya pecah juga. Mendekap tubuh Hyungnya yang terlihat rapuh. Memeluknya erat membiarkan Hyung kesayangannya menangis di dadanya.
●●●
Hari-hari berikutnya Jaehyuk terus menempel pada Yedam, memperlakukannya dengan manis. Membuat Asahi terus menerus merasakan sakit tatkala melihat pemandangan yang selalu ia jumpai tiap hari.
Doyoung kerap kali memperhatikan gerak-gerik mereka.
Aneh.
Yedam tidak terlihat nyaman ketika Jaehyuk melakukan perlakuan manis. Kepalanya akan tertunduk. Wajahnya dipenuhi rasa bersalah. Wajah Jaehyuk juga tak luput dari perhatiannya.
Tersenyum tapi palsu. Senyumannya tidak pernah mencapai matanya.
“Yedammie, bisa berbicara sebentar?”
Keningnya berkerut melihat Doyoung yang menatapny serius.
“Hm kenapa?”
“Kau dan Jaehyuk Hyung. Apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian berdua?” tanyanya menyelidik.
Mata Yedam membulat namun berusaha menetralkan ekspresinya.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian tapi aku bisa melihat dan merasakan bukan hubungan seperti ini yang kalian inginkan. Kalian berdua terlihat seperti aktor yang sedang bermain peran.”
Yedam hanya bisa diam. Jika ditanya, tentu dirinya tidak mau melakukan ini tapi mau bagaimana lagi?
“Kau hanya diam berarti perkataanku tepat sasaran. Yedammie, setiap perbuatan yang kita lakukan akan selalu ada akibatnya di kemudian hari. Aku harap kau tak menyesalinya.”
Menyesal?
Bahkan saat inipun dirinya sudah menyesal. Membiarkan orang yang benar-benar disukainya sejak dulu memiliki anggapan buruk tentangnya. Tapi, Yedam terikat janji yang harus ditepatinya.
●●●
Seluruh member berkumpul di ruang tengah dorm yang ditempati rapper sekaligus leader mereka. Tidak ada yang berani membuka suara. Headline yang muncul pagi ini di situs berita cukup mengejutkan untuk mereka.
TREASURE member, Yoon Jaehyuk caught dating with idol Kim So Young from GirlGroup A
Hyunsuk dan Jihoon selaku leader menatap tajam Yoon Jaehyuk yang menjadi pusat perhatian. Pemuda tampan itu menunduk dalam. Tatapan kesebelas member cukup mengintimidasinya.
“YOON JAEHYUK! APA KAU GILA?! APA KAU KEHILANGAN AKAL SEHATMU?! teriak Jihoon dengan nada tinggi. Tangannya mengepal berusaha menahan amarahnya yang meluap.
Hyunsuk menghembuskan nafas kasar. Bertanya dengan amarah tifak akan menghasilkan apa-apa.
“Jaehyuk-ah, apa berita ini benar? Aku tahu ini hidup pribadimu. Tapi, kenapa tidak pernah mengatakannya? Kau tahu untuk sementara agensi melarang kita untuk berpacaran. Lagipula kukira kau..Asahi.. Yedam. Ah bagaimana mengatakannya. Kukira wanita bukan prefensimu?”
Diam.
Jaehyuk tak bersuara sama sekali.
“Yoon Jaehyuk. Apakah belum cukup kau membuat masalah beberapa bulan belakangan? Masalahmu dengan Asahi membuat hubunganmu dengan member lain menjadi dingin. Lalu entah apa hubunganmu dengan Yedam sekarang. Lalu tiba-tiba kau berpacaran dengan idol dari grup lain? Apa yang kau pikirkan sebenarnya? Jawab aku Yoon Jaehyuk!”
Jihoon kembali menaikkan suaranya.
“Cukup Hyung!” teriak Jeongwoo tiba-tiba.
Sepuluh pasang mata menatap Jeongwoo dengan kening berkerut. Sementara Jaehyuk menatapnya dengan tatapan memohon sambil menggelengkan kepalanya pelan.
Di sisi lain Yedam menundukkan kepalanya. Memainkan lengan sweaternya yang terlihat lebih menarik sekarang.
Asahi menatap bingung kejadian yang sedang berlangsung di hadapannya. Entah sejak kapan hidupnya jadi sekacau ini.
“Sampai kapan kau akan terus diam dan menyimpan semuanya? Sampai kapan kau mau terus menanggung anggapan buruk member lain terhadapmu? Sampai kapan kau mau menderita sendiri? Dan sampai kapan kau mau membuat Sahi Hyung dan Yedam Hyung terluka karena ini semua? Sampai kapan, Jaehyuk Hyung?”
Jeongwoo mengucapkannya dengan cairan bening yang terus mengalir dari sepasang mata tajamnya.
Dirinya lelah menyimpan rahasia. Dirinya lelah berusaha menepati janji. Mau sampai kapan ditutupi karena nyatanya semakin disembunyikan semakin banyak hati yang harus menanggung luka.
Asahi menatap Jaehyuk yang masih menunduk. Apa lagi ini? Apa hal yang tidak diketahuinya selama ini?
“Haruskah aku yang mengatakannya?” tanya Jeongwoo lagi.
Helaan napas berat terdengar dari mulut Jaehyuk. Kali ini ia menegakkan kepalanya menatap satu per satu member yang sangat amat disayanginya. Fokusnya tertuju pada Asahi. Tatapan keduanya bertemu.
“Biar aku yang menjelaskannya,” ucap Jaehyuk singkat. Suaranya lirih dan terdengar lelah.
“Yoon Jaehyuk! Apa kau gila?! Kau ingin menghancurkan karirmu dan membermu?!”
Manager Hyung menaikkan nada bicaranya. Wajahnya memerah karena luapan emosi yang berusaha ditahannya. Tangannya melempar sembarang beberapa foto ke atas meja.
Mata Jaehyuk membulat sempurna melihat foto-foto tersebut. Foto-fotonya dengan Asahi. Foto-foto mereka ketika berkencan malam yang lalu. Jaehyuk menggenggam tangan Asahi. Satu foto memperlihatkan dirinya yang memegang sisi wajah Asahi kemudian memeluknya.
Jaehyuk menyadari kecerobohannya. Tapi dirinya tak menyangka wartawan mengambil gambar mereka berdua. Jaehyuk sudah berkali-kali memastikan hanya ada dirinya dengan Asahi malam itu. Bahkan jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi dan tempat yang dikunjunginya sangatlah sepi.
“Kau tahu? Jurnalis mengancam untuk merilis foto-foto ini asalkan aku bisa memberikan satu dating news sebagai gantinya. Siapakah yang harus dikorbankan menurutmu, Jaehyuk-ssi? Apakah Asahi?”
Jaehyuk menggertakkan giginya. Tangannya mengepal sempurna.
“Jangan pernah menyentuhnya. Jangan juga menyentuh member lainnya. Ini kesalahanku jadi biarkan aku yang menanggungnya.”
“Kau tahu dengan jelas apa resikonya dating news bagi seorang idol. Reaksi fans dan popularitasmu. Hal yang kau bangun selama ini bisa runtuh begitu saja.”
“Lalu aku harus mengorbankan yang lainnya? Membiarkan lainnya menanggung kesalahanku? Ini salahku jadi jangan membawa yang lain.”
“Tapi Asahi...”
“Sudah kubilang jangan membawanya ke dalam masalah ini. Aku mohon, Hyung, jangan pernah mengatakan hal ini pada Asahi. Aku tidak mau dirinya tahu dan merasa bersalah.”
Manager Hyung menatap iba Jaehyuk. Ia tahu betapa Jaehyuk menyayangi pemuda Jepang itu.
“Agensi akan merilis berita tentangmu besok.”
“Hyung, mungkin ini terdengar kurang ajar. Tapi bolehkah aku meminta waktu? Bisakah kau menyampaikannya pada agensi?”
“Apa permintaanmu? Aku akan coba menyampaikannya.”
“Aku butuh waktu. Jangan rilis berita itu besok. Aku butuh waktu sampai Asahi membenciku. Aku tak mau ia merasakan sakit karena masalah ini.”
“Berita yang muncul hari ini jauh lebih baik daripada berita yang seharusnya dirilis. Dengan berita ini, mungkin hanya karirku saja yang akan terpengaruh tapi tidak dengan kalian. Lebih baik begini bukan?”
Member lain menatap Jaehyuk tak percaya. Tidak pernah sedikitpun terbayang di benak mereka Jaehyuk melakukan semuanya untuk melindungi mereka.
“Maafkan aku... Maafkan aku juga sudah menyeret Jeongwoo dan Yedam ke dalam permainan memuakkan ini. Tapi, seharusnya aku berhasil kan?” ucap Jaehyuk menatap Asahi sendu.
“Kau sudah membenciku, kan, Sahi-ya? Aku sudah berusaha sekuat tenaga agar kau membenciku. Jadi, katakan bahwa usahaku tidak sia-sia. Katakan kau sudah membenciku.” lirihnya dengan air mata yang tidak mau berhenti mengalir.
Isakan lolos dari bibir Asahi. Hatinya terasa remuk. Merasa paling menderita namun ada yang lebih sakit darinya.
Asahi bangkit dari duduknya. Kakinya melangkah menghampiri Jaehyuk yang masih menatapnya dalam. Asahi menggenggam tangan Jaehyuk—mengelus punggung tangannya lembut.
“Kau tahu Jaehyuk-ah? Setiap hari aku berusaha membencimu. Berusaha memikirkan betapa buruknya perlakuanmu dan betapa menyakitkannya kata-katamu. Tapi sekeras apapun aku berusaha, aku tidak bisa membencimu. Nyatanya perasaanku tidak pernah berubah sama sekali sampai detik ini.”
Jaehyuk menatap Asahi tak percaya. Bagaimana bisa? Jika Asahi tidak membencinya lantas dirinya harus bagaimana?
“Yoon Jaehyuk, kau berusaha melindungiku dari rasa sakit tanpa mempedulikan dirimu sendiri. Pada akhirnya justru kita saling menyakiti. Aku tidak mau menjadi takut kemudian pasrah dengan keadaan. Aku tidak mau kau menghadapinya sendiri. Kita pernah berjanji untuk saling mendukung through thick and thin dan janji harus ditepati.”
“Jaehyukkie, kami ada di sini. Kau tidak sendiri,” yakin Hyunsuk seraya merengkuh Jaehyuk ke dalam pelukan eratnya.
Isaknya pecah. Meluapkan semua rasa sakit yang dipendamnya selama ini.
Treasure bukanlah Treasure jika bukan karena 12 member di dalamnya. Layaknya anggota tubuh, jika salah satu terluka, maka yang lainnya akan merasakan sakit juga. Layaknya anggota tubuh, mereka adalah satu kesatuan. Tidak mungkin terpisahkan.
●●●
Jaehyuk menatap langit malam dari atas gedung dorm. Cahaya lampu kota menerangi malam yang sunyi. Jaehyuk menghirup udara malam yang menyejukkan. Mengagumi cahaya lamput yang terhampar indah di batas pandangnya.
“Sudah ratusan kali rasanya melihat pemandangan ini selama lima tahun ini tapi aku tak pernah bosan,” ucap pemuda manis yang entah sejak kapan berdiri di sampingnya.
Jaehyuk menatap lembut Asahi. Mata pemuda manis itu terpejam membiarkan angin malam menerpa wajahnya. Sudah lama Jaehyuk tidak melihat Asahi sedekat ini. Melihat kesempurnaan ciptaan Tuhan yang begitu indah.
“Sahi-ya.”
“Hm?”
“Bolehkah aku mencintaimu lagi? Memulai semuanya dari awal? Aku tahu aku sudah menyakitimu. Jika aku sudah terlambatpun aku tidak akan memaksa.”
Asahi tersenyum lembut. Tangannya menangkup wajah tampan Jaehyuk.
“Memulai semuanya dari awal? Bagiku, kau dan aku tak pernah berakhir, Yoon Jaehyuk. Aku mencintaimu dan akan selalu begitu. Jangan lari lagi dan jangan pernah coba untuk menghadapinya sendiri. Apapun itu.”
Jaehyuk meraih dagu Asahi dan mengecup bibir manis itu lembut. Menciumnya dalam menyalurkan semua rasa rindu dan cintanya di sana.
“Maafkan aku yang bodoh ini yang berlari pergi dari hidupmu dan mengira semua akan menjadi baik untukmu. Seakan bertindak sebagai Tuhan yang mengetahui segala sesuatu. Nyatanya aku menyakitimu lebih dalam. Dan aku menyesali setiap detiknya.”
Jaehyuk memeluk erat pemuda manis yang menjadi poros dunianya.
“Kau adalah poros duniaku. Layaknya poros, duniaku berputar di sekitarmu. You are the axis of my life around which I wanna rotate throughout my lifetime, with your eyes being the center of gravity that constantly pulls me towards you. I love you, Hi-kun.”
End.
●●●