Dua minggu, sudah selama itu ternyata mereka memulai masa 'PDKT' di restoran cepat saji kala itu. Bisa dibilang, cukup banyak hal yang berubah sedikit demi sedikit dari hari deklarasi PDKT mereka hingga saat ini.
Mulai dari menanyakan kabar (kali ini Soobin pun berinisiatif melakukan hal tersebut), bertemu hampir setiap hari, sedikit skinship seperti mengusap rambut dan memegang tangan (yang selalu membuat pipi Soobin merah karena malu), atau seperti yang ditawarkan sang adik tingkat barusan, datang ke kosan untuk mengajak makan dan menemani satu sama lain selama mengerjakan tugas.
Yeonjun sedang mengerjakan tugas di salah satu restoran cepat saji yang buka 24 jam. Sudah menjadi tempat biasa untuk nongkrong dan mencari wi-fi jika mendesak, juga memang tempatnya yang cukup nyaman untuk dijadikan tempat mengerjakan tugas yang kadang tak kenal waktu.
Bosan, biasanya ia akan mengerjakan tugas bersama Beomgyu. Namun hari ini ternyata sang sahabat ada kerja kelompok, sehingga ia terpaksa pergi dan berdiam di sana sendirian.
Pemuda manis itu mendesah lelah, ia ambil minuman bersoda yang ada di sebelah laptopnya dan menyedotnya, melepaskan dahaga. Lalu tiba-tiba ponselnya mengerjap nyala, menampilkan suatu notifikasi berupa pesan singkat pada lockscreen-nya.
Entah kenapa, jantung Yeonjun rasanya berdegup kencang, menantikan sang adik tingkat sampai ke kosannya.
Choi Yeonjun, seorang mahasiswa yang baik, kalem, pintar, tak banyak tingkah, menjadi pembimbing kelompok OSPEK jurusannya karena dipaksa oleh Beomgyu, sang sahabat, yang juga mendaftar menjadi pembimbing.
Namun siapa sangka, ia menemukan seseorang yang menurutnya ... menarik.
Menarik. Iya. Yeonjun merupakan salah satu mahasiswa yang cukup terkenal karena wajahnya. Yeonjun itu tampan, manis, elegan di waktu yang bersamaan.
Yeonjun memarkirkan mobil yang ia bawa dari rumah persembunyian sang ayah di depan suatu rumah, ia sampai di tempat yang paling ia benci selama ini.
Rumah sang Ayah dan Ibu tirinya.
Dengan tekad yang bulat, sang omega kembali ke rumah itu, untuk berbicara dengan sang ibu dan menyelesaikan semuanya. Ia tak punya rencana apa pun, ia hanya ingin bicara pada sang ibu bahwa ia tahu hal yang dapat menghancurkannya, dan akan mencoba melawannya kali ini.
“Bisa, Yeonjun, kamu bisa,” ucapnya pada dirinya sendiri, mencoba menyemangati dirinya yang gugup dan gemetar.
“It's my life, and it's up to me to make it better.”
“Yeonjun.”
Sang omega yang sedang memasak itu menjawab dengan gumaman. Kedua pelayang yang ada di rumah persembunyian milik Choi Jinoo (atau sudah menjadi milik Yeonjun sekarang) hanya diam dengan wajah kebingungan dan khawatir melihat sang tuan muda yang tak mau diganggu.
Soobin melihat ke kedua pelayan yang langsung menatapnya memelas, seakan meminta tolong untuk menghentikan kegiatan memasak sang omega. Lalu ia tersenyum sedikit dan mengangguk kecil.
Yeonjun memanggil sang alpha yang sedang menyetir dengan wajah serius. Tak bergeming, sepertinya Soobin tak berniat untuk menjawab.
“Kak, kita mau kemana?”
Mereka sudah mengganti mobil di mini market tadi. Sang omega hanya mengikuti alphanya tanpa bertanya sepatah kata pun sebelumnya. Sang alpha pun terlihat enggan untuk sekedar bicara.
Suara dari sambungan telepon di seberang sana terdengar sedikit pelan, sepertinya sang penelepon berusaha agar suaranya tak terdengar oleh orang lain di sekitar.
“Iya, ada apa? Apa ada kabar tentang Yeonjun?”
Yang menelepon Soobin adalah ayah sang mate, Choi Jinoo.
“Hari ini Saya dan Haera akan pergi ke suatu acara. Karena Yeonjun masih tercium feromon kehamilan, kami meninggalkannya di rumah. Saya ingin minta kamu bawa Yeonjun pergi dari sini saat kami pergi.”
“If I should sacrifice my self to save you, then I will.”
Soobin memarkirkan mobilnya di salah satu rumah yang cukup jauh dari perkotaan. Ia membawa mobilnya mengikuti mobil yang dikendarai oleh Jinoo, ayah Yeonjun, dan berakhir di sini, di rumah sederhana yang terletak di pinggir danau kecil setelah melewati pohon-pohon besar yang cukup panjang-seperti hutan.
Suara jangkrik terdengar cukup kencang, mengingat langit pun mulai redup karena matahari baru saja terbenam beberapa saat lalu. Jalanannya gelap, tak banyak lampu penerangan di sekitar maupun di jalan menuju ke tempat tersebut.
Terkurung, lagi-lagi Yeonjun hanya bisa bersandar di kepala ranjang, terkurung di rumah besar yang bahkan tak terasa seperti rumah baginya.
Seperti neraka, rumah milik keluarganya ini, milik sang ayah dan ibu tiri, sudah seperti tempat penyiksaan tanpa jalan keluar. Rumah megah itu seperti terowongan gelap tak berujung.
“The disappointment made me blind, and forgot to realize that I have to fight for us.”
“Soobin. Nak. Ayo makan, ibu sudah masak makanan kesukaan kamu.”
Tak ada jawaban. Sujin, Ibu Soobin, sedang membujuk sang anak untuk makan bersamanya dan sang suami di ruang makan. Sudah seminggu ini anaknya tak mau keluar kamar.
Iya, sudah seminggu semenjak Yeonjun meninggalkannya, kembali bersama sang ibu tiri ke Seoul.
Dan seminggu itu pula, Soobin mengurung diri di kamarnya. Ia dan sang ibu sudah kembali ke rumah mereka, dan Soobin tak meninggalkan kamarnya sejak sampai.