binyeoniverse

“Hard to Explain”

“Just as much as I want to explain it to anyone, I found it's hard, and hurting me more.”


Hening, hanya ada suara detik dari jarum jam dinding di apartemen kecil milik Soobin. Tak ada yang mencoba membuka suara, tak ada yang berniat untuk membunuh keheningan. Keduanya hanya terdiam di sana, di sofa panjang yang cukup nyaman, namun tidak terlalu terasa untuk saat ini.

Detik, menit, satu jam telah terlewati begitu saja tanpa ada suara apapun di antara mereka. Soobin hanya terdiam, menunggu sang omega membuka suara untuk bercerita. Sedangkan sang omega, Yeonjun, masih membisu menatap nanar ke depannya, antara terlalu banyak berpikir atau tidak berpikir sama sekali.

“Yeonjun,” panggil sang alpha dengan lembut, memecah keheningan lebih dulu.

Sang omega menoleh, terlihat seperti orang kebingungan. “Iya?”

“Sini.”

Soobin menepuk sisi sebelahnya, meminta Yeonjun untuk bergeser mendekat padanya.

“Kenapa?”

“Sini aja.”

Lalu sang omega menurut, menggeser duduknya mendekat ke arah si pemilik tempat tinggal.

Soobin merengkuh tubuh Yeonjun yang lebih kecil, membawanya ke dekapan hangat, memberinya ketenangan.

Yeonjun tak bergeming, tak membalas, tak juga berusaha melawan. Ia hanya diam sambil kembali menatap tak fokus ke depan sana, membiarkan tubuhnya dipeluk dari samping oleh sang alpha.

“Kalo kamu udah siap cerita, bilang, ya?”

Usapan lembut pada puncak kepalanya membuatnya nyaman, tangan sang alpha tak henti bergerak di sana. Hangat, dan terasa aman berada dalam dekapannya bagi Yeonjun. Ia tak pernah diperhatikan seperti ini, tak pernah disayang seperti ini. Semuanya terasa asing, namun sang omega sangat menikmatinya.

“Kamu nggak apa-apa?”

Yeonjun kemudian menggelengkan kepala sebagai jawaban.

“Aduh, aku bingung. Gelengan kepala itu maksudnya nggak apa-apa atau ada apa-apa?”

Panggilan 'aku' tiba-tiba digunakan sang guru, membuat Yeonjun mendengus pelan sambil sedikit tersenyum.

“Pake 'aku-kamu' lagi, Pak?”

'Kak', Yeonjun. Kita nggak di sekolah. Dan, sepertinya lebih baik pakai panggilan 'aku-kamu' saja, biar lebih cepat dekat.”

“Ngajak manggil pake 'aku-kamu' tapi ngobrolnya kaku banget kaya kanebo kering.”

Jawaban Yeonjun membuat sang alpha mengernyit bingung. “Emangnya aku kaku?”

“Banget, kaya ngobrol sama om-om.”

“Kamu ini senang sekali nyebut aku om-om.”

Sang omega sedikit terkekeh mengatakan hal tersebut. Soobin merasa sedikit tenang sekarang, walau masih terlihat ketegangan dan ketakutan pada sorot mata Yeonjun.

“Mau scenting?”

Seketika si omega mengangkat kepalanya menatap ke sang alpha.

“B-Boleh?”

Soobin langsung mengangkat tubuh Yeonjun, membiarkannya duduk di pangkuan menghadap ke samping. Wajahnya terlihat terkejut dengan gerakan tiba-tiba dari sang guru.

“Apa pun biar kamu merasa baik, Yeonjun,” ucapnya dengan senyum lembut, mengusap rambut sang omega lagi.

Yeonjun perlahan menempatkan wajahnya ke tengkuk sang alpha. Soobin mengeluarkan feromon menenangkan, membiarkan sang murid menghirupnya.

“Harum.”

“Hm?” Soobin mendengar Yeonjun bergumam namun tak begitu jelas.

“Kakak harum, suka.”

Sang alpha tersenyum. Tangannya mengusap punggung Yeonjun perlahan naik-turun.

“Suka sama akunya nggak?”

“Belum,” gumam Yeonjun pelan.

Terkekeh, ia memeluk tubuh kecil itu dengan erat. Rasanya ia tak mau melepas tubuh sang omega, ia mulai menyukai kehadirannya.

“Tadi aku bohong soal kerjaan sama pertama ketemu kamu, maaf ya,” ucap Soobin mengingat acara tadi.

“Oh iya,” Yeonjun mengangkat wajahnya, menatap sang alpha. “Aku udah takut tadi, untung ayah sama ibu percaya.”

Soobin terkekeh lagi. “Kalo soal keluarga punya restoran, aku nggak bohong, kok. Cuma nggak akan buka cabang di sini, aku males urusnya.”

“Huh? Jadi itu beneran? Aku kira bohong juga.” Yeonjun menunduk, menempelkan dahinya pada pundak sang alpha. “Tadi ibu sama ayah ngomong apa aja pas aku nggak ada?”

“Cuma bilang kalo kamu itu dari keluarga terpandang dan kamu nggak bisa sama aku yang dari keluarga biasa. Terus katanya kamu mau dijodohin sama alpha brengsek tadi.”

Yeonjun terdiam mendengar itu. Soobin mengatakannya dengan santai, tanpa ada rasa kesal atau apa pun. Merasa bersalah, sang omega meremat pelan baju yang dikenakannya.

“Maafin ya, ayah sama ibu emang gitu. Maafin kalo ada kata-kata dari mereka yang nyakitin perasaan kakak.”

Hati Soobin rasanya menghangat. Tentu saja ia tidak suka dengan kata-kata orang tua Yeonjun tadi padanya, namun ia tak terlalu peduli karena yang penting adalah sang omega, yang penting mate-nya bahagia.

Dan benih-benih rasa pada Yeonjun mulai tumbuh, entah sejak kapan, entah bagaimana, Soobin merasa dirinya begitu tertarik pada sang omega yang merupakan muridnya di tempat ia mengajar.

“Nggak apa-apa, aku nggak terlalu peduli juga sama omongan nggak enak dari orang tua kamu.”

Yeonjun tetap menunduk, tak ingin mengangkat kepalanya atau bahkan bertatapan dengan sang alpha yang memangkunya saat ini. Malu, bersalah, takut, semua ia rasakan saat ini.

“Yeonjun, udah, nggak apa-apa. Itu orang tuamu, jangan merasa bersalah, ya? Kamu kenapa takut? Aku di sini, kan?”

Ah, lagi-lagi karena feromonnya.

“Maaf, maaf aku punya orang tua yang kaya gitu, maaf ....”

“Nggak ada yang bisa milih kita lahir di keluarga mana, Yeonjun. Itu bukan salah kamu.”

“Aku takut kakak tinggalin aku.”

Kata-kata itu tanpa sadar terucap dari kedua belah bibir sang omega sembari menangis. Pundaknya sedikit bergetar, air matanya jatuh ke baju yang dikenakan Soobin.

“Aku nggak akan tinggalin kamu, Yeonjun. Kalo kamu mau aku terus sama kamu, aku bakal lakuin itu.”

Ucapan meyakinkan dari sang alpha disertai dengan usapan kembut di punggung membuatnya tenang sedikit demi sedikit. Ia memeluk tubuh sang alpha, menghirup kembali feromon menenangkan dari tengkuknya.

“Aku mau sama kakak, aku nggak mau dijodohin sama Seunggi, aku nggak mau tinggal sama ayah ibu. Aku benci, aku cape, aku sakit ....”

Soobin menghela nafas pelan. Sungguh, ia merasa hidup Yeonjun sepertinya begitu melelahkan hingga sang omega bisa berkata demikian.

“Aku paham kalo kamu nggak mau dijodohin sama dia, tapi kenapa kamu nggak mau tinggal sama orang tua kamu?”

Soobin bertanya dengan hati-hati, ia takut salah ucap. Yeonjun tak baik-baik saja, sorot matanya berkata demikian sejak hari pertama mereka bertemu. Namun Soobin tak tahu dengan pasti apa yang membuatnya demikian.

Yeonjun hanya menggeleng, tak menjawab pertanyaan sang alpha. Ia masih menangis, terdengar pilu.

“Sshh, iya, nggak apa-apa. Aku nggak maksa, cerita kalo memang udah siap aja, ya? Aku bakal tunggu.”

Sebuah anggukan Soobin dapat setelahnya. Terdiam, ia hanya sibuk mengusap punggung Yeonjun lembut sembari mendengar tangisnya yang kian lama kian mereda. Feromon Soobin menguar di seluruh penjuru apartemen kecil itu, demi menenangkan sang omega yang masih terus merasa takut.

“Kak.”

“Hm?”

“Aku tinggal di sini, boleh?”

Soobin mengangkat wajah Yeonjun dari pundaknya, menatapnya serius namun dengan kekhawatiran di sana.

“Boleh banget, tapi nanti kalo kamu dicariin, gimana? Kamu juga harus sekolah.”

“Aku nggak mau sekolah, lagi pula nggak akan ada yang peduli.”

Mendesah berat, Soobin tidak ingin memaksa karena ia sendiri tak terlalu paham dengan keadaan yang Yeonjun alami serta situasi seperti apa yang selama ini sang omega hadapi. Soobin hanya ingin Yeonjun merasa aman dan nyaman berada di dekatnya, ia merasa itu kewajibannya.

“Aku izinin buat beberapa waktu, tapi aku nggak biarin kamu lama-lama nggak sekolah, oke? Kamu udah kelas 12, sedikit lagi kamu lulus. Bertahan sedikit lagi, ya?”

Beberapa lama tak mendapat jawaban, akhirnya sang murid mengangguk.

Soobin tersenyum teduh, menggerakkan tangannya menangkup wajah sang omega, mengusap pipinya lembut dengan ibu jari.

“Aku suka, sukaaaa banget sama kamu. Entah dari kapan, dan bukan cuma karena feromon kamu, Yeonjun. Rasanya aku pengen selalu jagain kamu, buat kamu nyaman. Jadi jangan ngerasa nggak enak, ya? Aku pengen perasaan ini ada terus buat kamu, dan aku harap kamu bisa rasain yang sama ke aku. Aku harap takdir kita memang sama-sama sampai nanti.”

Dan ucapan manis dari sang alpha, menutup malam mereka di hari itu.

Hari esok, biarlah menjadi kekhawatiran mereka di esok hari.



Nulisnya agak oleng karena demam ehe ehe tp semoga gak banyak typo dan cukup mengisi malam kalian ;)

• komentar, kritik, saran dan pertanyaan bisa ke sini ya: https://secreto.site/20749976

“Out of Place”

“No matter how hard I tried, I still feel out of place from them.”


“Kamu yakin ini nggak apa-apa?”

Yeonjun menatap sang guru yang sudah berpakaian rapi dari atas sampai bawah. Mereka saat ini sedang berada di butik yang ia dan keluargnya sering datangi. Melihat dasi yang sedikit tidak rapi, Yeonjun maju dan membenarkannya, lalu terlihat berpikir lagi.

“Yeonjun, jawab saya.”

Suara rendah sang guru akhirnya menarik atensi si pemuda. Menatapnya dengan wajah polos nan manis, Yeonjun akhirnya membuka suara.

“Apanya yang nggak apa-apa, Pak?”

“Ini, kamu belikan saya pakaian begini, pasti mahal.”

Lalu Yeonjun dengan cepat mengibaskan tangannya ke udara. “Nggak apa-apa, gampang. Nanti saya bilang kalo ini beli buat saya.”

Mendesah berat, Soobin menatap sang omega dengan wajah bersalah. “Saya yang nggak enak, Yeonjun.”

“Justru aku dandanin bapak gini biar cocok buat ketemu ayah sama ibu.”

'Aku katanya?'

Sedetik kemudian sang murid menyadari panggilan yang ia ucapkan tadi.

“E-Eh, maksudnya 'saya', Pak. Saya dandanin bapak biar presentable buat orang tua saya.”

Soobin mengangguk-angguk sambil tersenyum simpul. “Sulit, ya, jadi keluarga terpandang.”

Namun Yeonjun tersenyum miring sambil menunduk, terlihat sedih.

“Saya nggak pernah merasa saya berada di keluarga yang tepat, kok, Pak. Saya selalu merasa nggak pantas jadi bagian keluarga itu.”

Tak disangka-sangka, ternyata reaksi yang diberikan sang guru di luar dugaannya.

“Jadi satu-satunya omega di sekumpulan alpha, pasti berat. Kamu kuat sekali bisa bertahan sampai saat ini. Terima kasih, ya.”

Yeonjun menatap sang alpha yang tersenyum teduh padanya itu. Membuatnya terkekeh pelan karena jawabannya.

“Ngapain bapak bilang makasih?” tanyanya sambil menaikkan alis, senyum terpatri di wajah manisnya.

“Karena kalo kamu nggak bertahan sampai sekarang, saya nggak bisa ketemu sama kamu, sama mate saya.”

Tertawa, sang omega tak kuasa menahan geli karena kata-kata yang seperti gombalan itu.

“Pak, please, deh. Nggak bosen ngomong kaya gitu?” Mata Yeonjun menyipit akibat tertawa.

Ah, jantung Soobin sepertinya berdetak lebih cepat karena pemandangan itu. Yeonjun terlihat manis sekali.

“Kaya gimana maksudnya?” tanya sang alpha berpura-pura tak paham.

“Iya, gitu, ngegombalin saya sambil nyebut saya mate bapak.”

Sang guru menggeleng sambil tersenyum. “Nggak, saya bakal bilang begitu terus sampai kamu percaya kalo kita itu mate, sampe kamu suka sama saya.”

“Emangnya bapak suka sama saya?”

Lalu Soobin memiringkan kepalanya, menatap ke atas, terlihat berpikir. “Sepertinya sudah sedikit. Kalo kamu bertingkah manis begini terus sepertinya saya bakal suka kamu lebih banyak dan cepat.”

Pipi Yeonjun seketika memerah, malu karena ucapan sang guru yang seperti tak ada artinya itu, tak mempedulikan dampaknya pada sang omega.

Dan tentu saja, sang alpha melihat itu.

“Kenapa pipi kamu merah? Malu, ya?”

Pukulan cukup keras pada pundak Soobin membuatnya mengaduh pelan.

“Nggak usah diperjelas, Pak.”

“Kamu boleh panggil saya 'Kakak' kalo bukan di sekolah.”

“Lah, kan bapak guru saya, udah om-om.”

“Enak aja, saya cuma beda lima tahun sama kamu, loh.”

“Oh, bapak masih muda toh.”

Soobin akhirnya hanya bisa menggelengkan kepala, merasa gemas tak henti menghadapi sang murid.


“Pak.”

Soobin menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Mereka sedang berada di dalam mobil, di perjalanan menuju ke acara makan malam para petinggi pemerintahan di Seoul.

'Kak', bukan 'Pak',” jawabnya sambil tersenyum kecil.

“Iya, itu lah,” kata Yeonjun tak menghiraukan. “Kenapa? Tegang?”

“Kok rasanya kata-kata kamu agak ambigu, ya?”

“Ish!” Yeonjun memukul pelan pundak pria yang duduk di sebelahnya itu sambil mengerutkan alisnya sebal. “Maksud saya tuh 'gugup', kenapa gugup?”

Terkekeh kecil, Soobin menjawab sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Kecium ya? Feromon gugupnya?”

Dan sang omega hanya mengangguk mengiyakan.

“Saya 'kan cuma dari keluarga biasa, Yeonjun. Bisa bekerja di Seoul udah seperti keajaiban buat saya. Apalagi ini, datang ke acara makan malam para petinggi pemerintah, saya seperti sedang bermimpi.”

“Ya gimana, bapak mate-nya sama anak petinggi pemerintah,” jawab Yeonjun sekenanya sambil mengendikkan bahu.

“Kok manggilnya 'bapak' lagi sih?”

“Ya ampun iya, kakak, maaf lupa,” ucap Yeonjun sambil memutar matanya malas. “Jangan gugup-gugup. Nanti bareng saya aja selama acara.”

Soobin mengangguk. “Kita mau manggil 'saya-kamu' terus, nih? Nggak akan 'aku-kamu' gitu?”

Yeonjun mengernyitkan dahinya. “Biar apa?”

“Biar kita lebih deket. Sama biar orang tua kamu percaya saya mate kamu.”

“Oh, bener juga,” gumam sang omega menyetujui. “Iya deh, bapak-”

“Tuh, baru dibilangin.”

“Iya, maksudnya, kakak juga daritadi pake 'saya' terus. Aku jadi kebawa bilang 'saya' juga jadinya.”

Laju mobil yang dikendarai mereka berdua melambat seiring dengan percakapan mereka yang mulai kehabisan topik. Terlihat sedikit ramai, mobil pun berhenti di depan pintu masuk menuju gedung acara makan malam tersebut.

“Udah kaya acara artis, ya.”

Yeonjun terkekeh. “Lebih parah dari itu, Kak.”

“Oh, iya?” tanya Soobin mengangkat alisnya. Keduanya saat ini sudah turun dari mobil, berjalan beriringan menuju pintu masuk.

Namun tiba-tiba, tangan Yeonjun memegang lengannya, merangkulnya erat, seperti layaknya seorang pasangan.

Tentu saja. hal itu membuat sang alpha terkejut.

“Malam ini aja, pura-pura jadi pasangan aku. Aku minta tolong ....”

Feromon gugup dan takut menguar kembali dari sang omega yang menatap ke dalam sana. Pegangannya begitu kuat pada lengan atas Soobin, membuat sang alpha berpikir kemana-mana.

Apa yang sebenarnya membuat Yeonjun gugup dan takut seperti ini? Padahal 'kan ini acara keluarganya.

Soobin, dengan segala kebingungan dan keinginan untuk membuat sang omega merasa tidak terlalu gugup dan takut, mengeluarkan feromonnya demi menenangkannya walau sedikit.

“Iya, kamu emang pasangan aku, kan.”

Yeonjun tersenyum kecil mendengar itu. Mereka pun akhirnya berjalan masuk ke dalam gedung, yang ternyata sudah cukup ramai.

Sekarang sudah pukul enam lebih tiga puluh menit, wajar saja jika tempat itu sudah mulai ramai. Semua wajahnya terlihat tidak terlalu asing untuk Soobin, ia sering menonton berita dan mengikuti politik kota besar itu karena tahu ia akan bekerja di sana.

Banyak pasang mata langsung memperhatikan mereka. Tentu saja, itu semua karena Yeonjun. Hampir semua dari para tamu adalah keluarga besar Yeonjun, keluarga Choi yang terkenal di pemerintahan.

Yang membuat mereka menjadi pusat atensi juga, adalah karena Yeonjun pertama kalinya membawa seorang pendamping berstatus alpha di acara makan malam itu.

Mencoba untuk terlihat tak terganggu oleh semua itu, Yeonjun tetap berjalan sembari merangkul lengan alpha di sebelahnya. Semakin jauh ke dalam, Soobin melihat sepasang suami-istri yang sedang bercengkrama dengan beberapa orang, menolehkan kepala dan melihat kedatangan mereka. Yeonjun membawanya ke pasangan itu sambil menunduk hormat, Soobin pun mengikuti.

“Yeonjun,” ucap si pria yang terlihat mirip dengan sang omega.

“Ayah, Ibu,” salamnya pada pasangan tersebut. Ternyata itu orang tua Yeonjun.

“Oh, ternyata kamu membawa mate-mu.” Sang ibu berkata dengan nada sarkas. Matanya menatap tajam Soobin dari bawah hingga ke atas, lalu kembali ke kedua mata Soobin yang masih menatap pasangan itu dengan ramah dan sopan.

'Ah, kenapa kedua orang tua Yeonjun dingin sekali?'

Lalu tiba-tiba seorang alpha yang terlihat tak terlalu jauh umurnya dengan Yeonjun menghampiri mereka berempat, tersenyum lebar.

“Oh, Yeonjun. Akhirnya kamu dateng juga,” ucap pria itu, lalu melirik ke arah Soobin. Melihat bagaimana Yeonjun merangkul erat lengannya, senyum di pria itu langsung memudar. “Siapa?” tanyanya langsung tanpa basa-basi.

Sang omega itu segera menjawab dengan nada datar. “Mate aku. Kenalin, ini Choi Soobin. Kak Soobin, ini orang tuaku, itu Seunggi.”

Soobin mengangguk lagi tanda hormat, senyum masih setia di bibirnya walau mereka semua hanya menatapnya dengan ekspresi datar.

“Salam kenal, semua. Saya Choi Soobin.”

Kecut, feromon ketidaksukaan samar-samar tercium oleh Soobin.

Dan ia tahu, itu dari si pria bernama Seunggi tadi.

Kedua orang tua Yeonjun hanya mengangguk. “Kalian kenal dari mana?”

Oh, tidak!

“Saya pernah datang ke sekolah Yeonjun untuk promosi jurusan kampus, kebetulan bertemu dengannya waktu itu. Tapi kami baru menjalin hubungan setelah saya benar-benar sudah lulus.”

Mulus sekali kebohongan yang diucapkan oleh mate Yeonjun ini.

“Sekarang kamu kerja apa?” tanya sang ayah lagi, nadanya masih terdengar tak enak.

“Saya meneruskan restoran milik keluarga di Ansan. Saya kesini untuk mencari tempat membuka cabang restoran yang akan saya buka nanti.”

Ibu Yeonjun memicingkan matanya, sedikit aneh. Sedangkan sang ayah hanya mengangguk paham.

Hah, kebohongan apalagi yang disebutkan gurunya itu? Lucu sekali.

Tapi setidaknya Yeonjun dapat sedikit bernafas lega, sepertinya kedua orang tuanya percaya.

“Yeonjun, boleh kita ngobrol sebentar?” tanya Seunggi, lalu melirik Soobin sebelum berbicara lagi. “Berdua aja.”

Tangan Yeonjun tiba-tiba mengerat di lengan Soobin. Takut, ia dapat mencium samar-samar feromon sang omega. Namun akhirnya ia melepaskan cengkeramannya dan menjawab.

“Oke.”

Soobin menatap khawatir sang murid yang melepas tangannya, lalu menepuk lengan sang alpha memberikan tanda bahwa 'semua akan baik-baik saja' sambil membalas tatapannya.

Membiarkan sang omega berjalan menjauh darinya bersama si pria alpha itu, Soobin ditinggalkan bersama kedua orang tuanya yang hanya diam sambil menyesap wine yang ada di gelas mereka.

“Kamu benar mate Yeonjun?”

Soobin menolehkan kepala menatap sang ayah yang bertanya padanya. “Walau tak ada hal yang bisa membuat saya mengatakan dengan pasti bahwa benar saya mate Yeonjun, tapi beberapa hal yang meyakinkan saya bahwa Yeonjun kemungkinan besar memang mate saya.”

“Bagaimana kamu bisa yakin?” Sekarang sang ibu yang bertanya, menatapnya tajam.

Ia masih tersenyum, mencoba memberi kesan terbaik pada orang tua sang omega. “Saya tidak pernah tertarik dengan feromon omega manapun, dan saya bisa mencium feromon lain selain feromon dasar Yeonjun,” jawab Soobin dengan percaya diri.

“Keluargamu tinggal dimana? Ansan?”

Soobin mengangguk menjawab sang ayah. “Iya.”

“Dengar,” ucap si pria tua itu dengan tatapan dingin. “Yeonjun, kami, merupakan keluarga terpandang. Kami tidak bisa menyerahkan Yeonjun begitu saja pada alpha yang hanya dari keluarga biasa sepertimu,” tegasnya pada Soobin.

Apa maksudnya, ia tak bisa bersama Yeonjun, begitu?

“Jadi, saya tidak direstui untuk bersama anak Anda? Walaupun saya mate-nya?”

“Kami tidak pernah percaya akan hal semacam itu.”

Oh, ternyata keluarga Yeonjun memang begitu. Pantas saja tak mudah meyakinkan Yeonjun bahwa dirinya dan sang omega adalah mate. Terdengar tabu bagi Yeonjun rupanya. Ibunya saja mengatakan ini dengan nada sinis.

“Lalu, jika Yeonjun ingin bersama saya, apakah Anda berdua akan memaksanya untuk berpisah dengan saya?”

“Yeonjun akan kami jodohkan dengan alpha yang satu kasta dengan kami, tentu saja.”

Wow, jadi seperti ini kedua orang tua Yeonjun. Soobin terkejut, berbeda sekali dengan kedua orang tuanya yang memberinya kebebasan dan tak memikirkan masalah kasta.

“Maksudnya, dengan pria yang barusan membawa Yeonjun untuk mengobrol?” tanya Soobin memastikan.

“Iya, kami akan menjodohkannya dengan Seunggi.”

Soobin menggelengkan kepalanya, terkekeh dan mendengus karena merasa lucu.

“Saya prihatin dengan Yeonjun. Bagaimana bisa ia hidup dengan orang tua yang begitu menuntut seperti Anda berdua ini?”

Feromon tak suka menguar dari kedua orang tua Yeonjun. “Apa maksudmu berkata seperti itu?”

“Maaf sebelumnya, tapi jika Yeonjun ingin bersama saya, dan menolak untuk dijodohkan, saya tidak akan segan untuk membawa Yeonjun pergi bersama saya. Saya akan terima saya tidak bersama mate saya jika Yeonjun memang bahagia bersama yang lain. Tapi jika ia menderita bersama yang lain kecuali saya, saya berjanji untuk membawanya. Saya ingin Yeonjun bahagia, mate saya bahagia.”

Sang ibu mendengus meremehkan perkataan Soobin. “Berani sekali kamu berkata seperti itu.”

Namun saat Soobin hendak menjawab perkataannya, ia mendengar samar-samar teriakan seseorang dari kejauhan. Feromon ketakutan, dan feromon beraroma mint dengan campuran citrus.

Itu Yeonjun.

Dengan cepat sang alpha menoleh ke kanan dan kiri. Semua masih terlihat tidak merasakan apa yang ia rasakan sekarang.

Apakah ini karena Soobin adalah mate Yeonjun, sehingga ia dapat merasakannya?

Soobin menatap kedua orang tua Yeonjun bergantian, senyumnya sudah luntur karena khawatir. “Saya permisi,” ucapnya singkat lalu langsung berlari ke arah sumber feromon dan teriakan itu.

Terlalu samar, sepertinya Yeonjun berada cukup jauh dari tempatnya berada. Menoleh ke kiri dan kanan, mencari aroma yang tercium lebih kuat, lalu berlari lagi.

Semakin lama feromon itu semakin kuat. Feromon Yeonjun, jelas sekali. Dirinya sudah berada di area yang cukup sepi dari gedung tadi. Lorong yang gelap, sepertinya ini area belakang yang tak dipakai untuk acara.

“AAAAAKKKHH!!”

Lagi, suara teriakan terdengar. Suara Yeonjun, itu pasti suara sang omega. Soobin berlari, hingga akhirnya ia berada di pintu yang tertutup di ujung lorong. Pintu itu sepertinya mengarah ke gang belakang gedung. Feromon Yeonjun tercium sangat kuat dari sana.

Soobin akhirnya membuka pintu tersebut, dan terlihatlah sang omega yang ia cari-cari dengan feromon yang begitu kuat, bersama dengan alpha yang mengajaknya 'mengobrol' tadi.

Betapa terkejutnya Soobin melihat apa yang ada di hadapannya. Di balik pintu itu, merupakan gang sempit antara gedung yang mereka datangi dengan gedung sebelahnya. Terhimpit tembok tinggi dan penerangan minim, Yeonjun terperangkap di antara tembok gedung dengan sang alpha bernama Seunggi yang wajahnya sudah berada di lehernya.

Seunggi berusaha membuat tanda pada Yeonjun.

Soobin seketika langsung mendorong tubuh Seunggi menjauh, membuatnya tersungkur ke pinggir dengan suara yang cukup keras.

“Kamu mau apa pada Yeonjun?!”

Sang omega sudah bercucuran air mata. Baju yang ia kenakan sudah berantakan, jas yang ia pakai berada di tanah dengan dua kancing teratas dari kemejanya terbuka. Ia langsung berlari bersembunyi di balik sang alpha yang menyelamatkannya sambil menangis.

Ck. Mate, ya? Pantes ketemu. Padahal udah sengaja dibawa jauh.” Seunggi berdiri, lalu menepuk kotoran di celana dan jasnya karena tersungkur tadi.

“Saya tanya, kamu mau apa pada Yeonjun barusan?!” Wajah Soobin memerah karena marah, feromonnya tercium kuat. Mate-nya hampir terluka.

Marking? Sebelum di tandain sama om-om yang ngaku mate Yeonjun,” jawabnya santai dengan tatapan mengejek. “Gue kasih tau, gue sama Yeonjun bakal dijodohin, jadi jangan berharap lo bisa ngambil Yeonjun.”

“Saya tau,” ucap Soobin masih dengan amarah yang memuncak. “Tapi saya nggak peduli. Mau Yeonjun dijodohkan dengan kamu, jika Yeonjun terancam, saya nggak akan biarin siapapun celakain dia.”

Si pria alpha yang lebih muda itu terkekeh menyebalkan. “Pede banget. Inget, Yeonjun bukan dari keluarga sembarangan, KAMI bukan dari keluarga sembarangan, jadi jangan harap lo bisa ancurin rencana perjodohan itu.”

“Pak, udah.” Suara lirih Yeonjun terdengar oleh Soobin. “Udah, aku mau pergi dari sini,” ucapnya memelas masih sedikit menangis.

Soobin mendesah keras. Ini seperti deja vu, mengingat bagaimana dirinya menolong Yeonjun beberapa hari lalu di toilet sekolah.

Mengalah, akhirnya Soobin meredam amarahnya, lalu mengangkat tubuhnya, menggendongnya.

Seunggi terkekeh melihat mereka, sambil berjalan menuju pintu tadi. “Hidup lo nggak akan pernah tenang, Yeonjun.” Lalu ia masuk kesana kembali ke acara makan malam.

Soobin berjalan keluar dari gang itu, ke jalanan yang cukup ramai hingga mereka menemukan taksi, memberhentikannya dan masuk ke dalam sana.

“Yeonjun, kamu mau saya antar pulang?”

Sang omega menggeleng. “K-Ke tempat bapak aja.”

Tanpa banyak bertanya, sang alpha mengangguk mengiyakan. Keadaannya sedang tak baik, dan ia akan dengan senang hati menenangkan omeganya.

Soobin menyebutkan alamatnya pada sang supir, lalu membiarkan keheningan menyelimuti mereka selama di perjalanan.

Sepertinya, bertemu mate-nya tidak sesederhana yang ia pikirkan.

Dan mungkin, perjuangan mereka untuk bersama, tidak sesederhana itu.



Aku belum baca ulang jadi kalo ada typo maafkan ya hehe. Aku membayar satu hari nggak update dengan update yang cukup panjang kali ini. Mulai masuk inti cerita~ ;)

• komentar, kritik, saran dan pertanyaan bisa ke sini ya: https://secreto.site/20749976

“More Trouble”

“There will always be a trouble in your life, and that's what makes you feel alive.”


Bingung, ragu, gugup, semua itu dirasakan oleh si pemuda omega yang sedang berada di kelas sekarang. Guru di depan sana sedang menerangkan materi, namun fokus Yeonjun berkelana entah kemana.

Mengingat percakapan dengan kedua orang tuanya dua hari yang lalu, otaknya tak dapat fokus pada apapun. Bagaimana tidak, ia harus mengajak gurunya yang bahkan baru 3 hari bekerja di sekolahnya.

Yeonjun tak berani mengajak sang guru, dua hari ini ia hanya berpikir keras apakah ia harus meminta guru muda itu untuk datang ke acara makan malam itu? Apa yang harus ia katakan untuk mengajaknya?

'Pak, apakah bapak mau menolong saya untuk datang ke acara makan malam para petinggi pemerintah?'

Tidak, itu terdengar memelas.

'Pak Choi, feromon bapak nggak sengaja tercium oleh kedua orang tua saya dan mereka meminta Bapak untuk datang ke acara makan malam keluarga besar kami bersama para petinggi di pemerintah.'

Oke, itu juga terdengar buruk, seperti menyalahkan gurunya.

Frustasi, pemuda manis itu memegang pelipisnya karena pening memikirkan bagaimana cara mengajak sang guru.

Apa Yeonjun kabur saja? Tidak usah datang ke acara makan malam itu?

Tidak mungkin, orang tuanya bisa menemukannya hanya dalam waktu beberapa jam.

Menunduk dalam, ia takk berhenti memikirkan bagaimana ia harus menghadapi acara itu. Hingga ia tak sadar bel istirahat sudah berbunyi, kelas bahkan sudah kosong, hanya tersisa dirinya.

Dan seseorang sedang melihatnya dari arah pintu kelas.

Tak tercium, Yeonjun terlalu fokus pada pikirannya. Feromon sang alpha yang menyengat tak juga menyadarkannya dari lamunan.

Alpha yang sedang memperhatikannya itu akhirnya memasuki ruangan, berjalan perlahan mendekatinya. Satu langkah, dua langkah, Yeonjun masih tak sadar bahwa seseorang telah masuk ke kelas itu, dimana dirinya hanya sendirian.

Lalu sampai sang alpha berada di hadapannya, Yeonjun masih menunduk, namun mulai mencium feromonnya.

'Ah, saking seriusnya sampe kebayang feromonnya. Yeonjun gila.'

“Yeonjun.”

Suara yang memanggilnya itu membuatnya seketika melompat dari kursi tempatnya duduk, mengangkat kepalanya terkejut dengan mata yang membelalak.

“P-Pak Choi.”

Itu Soobin, si guru yang sedari tadi sedang ia pikirkan sampai tidak fokus.

“Kamu sedang apa? Nggak istirahat?”

Yeonjun tersenyum kikuk, menggaruk leher belakangnya yang tak gatal. “Ah ... saya nggak sadar udah istirahat, Pak,” jawabnya sambil tertawa malu. “Ada apa bapak ke kelas saya?”

Sang guru hanya tersenyum. “Saya cuma mau tau kabar kamu. Kamu nggak apa-apa?”

Hati Yeonjun rasanya menghangat, senang sekali rasanya diperhatikan begini oleh seseorang.

Si pemuda manis itu tersenyum kecil. “Saya baik, Pak. Makasih udah khawatir sama saya,” katanya sambil menunduk kecil memberi hormat.

Soobin duduk di kursi tepat di hadapan sang murid. Menghadap ke arahnya, ia memiringkan kepalanya sedikit terlihat bingung. “Kamu seperti sedang banyak pikiran. Apa kamu mau cerita? Tapi kalo kamu nggak mau saya nggak maksa.”

Ah, apakah ini yang para leluhur maksud dengan 'mate-mu bisa merasakan semua yang kamu rasakan'?

Yeonjun tertawa dalam hati, percaya diri sekali ia menyebut sang guru di hadapannya adalah mate-nya. Mereka 'kan belum tahu pasti.

“Kok kamu diam? Nggak mau cerita, ya? Kalo gitu-”

“Saya sebenernya lagi bingung, Pak.”

Yeonjun memotong perkataan sang guru dengan cepat, bibir bagian dalamnya ia gigit karena gugup juga takut.

Feromon gugup sang omega tercium oleh Soobin, membuatnya tersenyum lembut.

“Ada apa? Mungkin saya bisa bantu.”

“Umm.” Yeonjun memulai untuk bicara, merangkat kata agar tidak terdengar aneh. “B-Bapak inget 'kan pas bapak t-tolong saya dua hari yang lalu?”

Soobin mengangguk, mendengarkan dengan seksama.

“F-Feromon bapak kecium s-sama orang tua saya. T-Terus saya diminta buat b-bawa bapak buat d-dampingin saya di acara makan malam Sabtu nanti.”

Sang guru terlihat bingung. “Kok saya diminta buat dampingin kamu? Memangnya kenapa?”

Nah, ini yang Yeonjun takutkan. Bagaimana ia menjawabnya? Itu 'kan karena dia menyebut kata 'bertemu dengan mate'.

Jika Yeonjun mengaku, berarti secara tidak langsung ia mengakui kalau sang guru adalah mate-nya, kan?

Terdiam cukup lama, Soobin pun terkekeh.

“Feromon kamu baunya macam-macam sekarang. Kenapa? Kamu takut bilang ke saya? Atau ... ada yang kamu sembunyiin, yang nggak mau saya tahu?”

Sial. Yeonjun benci saat seperti ini. Sulit sekali menutupi perasaannya sendiri.

Tunggu, memang feromonnya sekuat itu?

“Eh, emang feromon saya kecium banget, Pak?”

Soobin terkekeh lagi. “Iya, pertama kali saya bisa cium feromon orang lain sekuat dan sejelas ini. Apa karena kita mate, ya?”

“Bapak kok pede banget kalo kita mate?”

“Habisnya saya nggak pernah tertarik sama feromon orang lain kecuali kamu. Cium feromon kamu kaya candu buat saya.”

Yeonjun mendengus mendengar jawaban sang guru. “Bapak lebay banget.”

“Saya serius, emang kamu nggak bisa cium feromon saya dengan jelas?”

Ya, sang murid dapat mencium feromon Soobin dengan jelas.

Sang guru sedang senang saat ini.

“Emang bapak cium feromon apa dari saya?” tanya sang Yeonjun penasaran.

“Gugup, takut ... senang? Tapi feromon gugup dan takutnya lebih besar.”

Si pemuda mengerutkan dahi. Senang? Ia memang sedang senang karena mengobrol dengan sang guru, sih.

Eh?

“Jadi,” ucap sang guru menggantungkan kalimatnya, “kamu mau cerita ke saya kenapa saya diminta untuk dampingin kamu?”

Ah, sudah terlanjur tertangkap basah. Jika ia berbohong, semua justru akan menyulitkannya. Lebih baik jujur saja.

“S-Saya bilang kalo bapak itu m-mate saya,” gumam Yeonjun sembari terbata, namun sang guru masih dapat mendengarnya dengan jelas, dan memberi kekehan rendah.

“Saya kira kamu nggak percaya bahwa saya mate kamu.”

“Terpaksa, Pak,” cicit Yeonjun pelan sekali sambil menunduk dalam, mengingat bagaimana ia mengucapkan bahwa feromon yang menyelimuti tubuhnya dua hari yang lalu adalah milik mate-nya, dalam keadaan tersiksa.

“Apa? Kamu bilang apa, Yeonjun? Saya nggak dengar.”

Yeonjun mengangkat kepalanya menatap sang guru. “Jadi gimana, Pak? Bapak mau dampingin saya, nggak? Kalo nggak juga-”

“Boleh.”

“Eh?” Sang murid membulatkan matanya terkejut. “Bapak serius?”

Dan Soobin mengangguk. “Cuma mendampingi kamu, kan? Lagi pula kalau benar orang tua kamu mau bertemu saya, itu hal bagus. Saya 'kan harus kenal dengan orang tua dari mate saya.”

Tertegun, Yeonjun terdiam atas jawaban yang diberikan sang guru, satu-satunya alpha yang mau menolongnya dan membantunya.

Air mata sang murid tiba-tiba mengalir, senyum manis terpatri di wajahnya yang seputih salju, membuat Soobin panik dan segera mengusap butiran yang keluar dari mata sang omega.

“Eh? Yeonjun? Kok kamu menangis? Saya salah ngomong, ya? Maaf-”

“Nggak, Pak,” jawab Yeonjun sedikit serak. “Saya seneng, makasih udah mau bantu jadi pendamping saya. Maaf udah ngerepotin bapak, padahal kita baru kenal berapa hari tapi saya udah banya ngerepotin.”

Namun Soobin menggeleng kuat. “Udah saya bilang, saya senang bantu kamu, Yeonjun. Terlebih lagi, saya tertarik sama kamu, karena kamu mate saya.”

Sang murid omega itu terkekeh. “Bapak ke Seoul mau cari kerja atau mau cari mate, sih?” tanyanya bercanda sambil tertawa kecil.

Menggemaskan. Suara sang omega seperti alunan melodi lagu indah di telinga sang guru muda.

“Kalo bisa dapet dua-duanya, kenapa nggak?”

Dan sebuah pukulan kecil dari sang omega mendarat di lengan sang guru, mereka tertawa di dalam kelas yang kosong dan sepi itu.

Ah, Yeonjun setidaknya sedikit lega. Masalah lain, biar nanti ia pikirkan.



Jangan lupa cek penjelasan di write as 'Kiya's Omegaverse Querencia' ya, ada tambahan penjelasan untuk omegaverse di sini ;)

• komentar, kritik, saran dan pertanyaan bisa ke sini ya: https://secreto.site/20749976

“The Unexpected”

“When you didn't expect something, you'll get more than what you wanted.”
Tag(s): mention of rape, violance.

|||

“Kamu, harum. Apa kamu mate saya?”

“Huh?” Sang siswa yang ditanya itu mengerutkan alisnya.

“Apa kamu bisa mencium feromon saya?”

Suara dengusan pelan terdengar dari pemuda itu. “Ya bisa lah, Pak. Bapak lupa tadi abis keluarin feromon banyak-banyak?”

Ah, Soobin lupa tadi habis mengeluarkan feromon kesalnya.

“Bukan itu, maksud saya, feromon saya yang biasa. Kamu bisa cium feromon saya?”

Sang siswa menggelengkan kepalanya. “Ya, bisa? Kan' saya omega.” Ia memiringkan kepalanya memberi tatapan sebal. “Ada apa, sih, Pak?”

“Saya bisa cium feromon kamu, kuat sekali.”

“Terus?”

“Saya suka, seperti kecanduan,” ucap sang guru muda tak pikir panjang. “Saya nggak pernah mencium feromon omega seharum kamu. Jangan-jangan kamu mate saya?”

Terkekeh, sang siswa omega itu terlihat heran. “Pak, bapak ini pedo-”

“Saya tanya, kamu mencium feromon saya? Apa menurut kamu feromon saya harum?”

Soobin mengeluarkan nada memerintah sedikit agar sang omega mau menjawab.

Merasa sedikit tertekan, sang omega pun mengangguk.

“Feromon saya aroma apa di penciuman kamu?”

Siswa itu terdiam sebentar, mengendus feromon sang guru yang ada selangkah di depannya.

“Kayu ... manis, Pak,” jawabnya pelan.

Benar, itu feromon Soobin. Namun itu feromon yang semua alpha dan omega bisa cium dari dirinya. Jika siswa itu benar mate-nya, ia akan bisa mengendus aroma lain di selain feromon dasarnya.

“Ada aroma lain selain itu?”

Mengendus lagi, sang omega menelan ludah kasar.

“I-Iya ... aroma coklat.”

Benar dugaannya. Ini pasti mate-nya.

“Kamu, berarti mate saya.”

“Emangnya bapak bisa cium feromon campuran aku?”

“Feromon dasar kamu mint?”

Sang siswa mengangguk.

“Saya bisa cium citrus juga dari kamu, sama tanah basah.”

Nafas siswa itu tercekat. Tidak ada yang bisa mencium itu, tidak satupun kecuali dirinya.

Dan jika bukan karena hidung sang alpha sensitif, berarti mereka memang mate.

“Jangan bercanda, Pak.” Siswa itu melepas pegangan sang guru di tangannya. “Baru dateng tiba-tiba ngaku mate saya.”

“Saya nggak bercanda,” jawab Soobin tegas. “Saya juga nggak akan tanya kalo feromon kamu nggak tercium sekuat itu. Kamu beda, saya tertarik sama feromon kamu.”

Tatapan sang guru begitu serius, membuat sang siswa tak nyaman, diketahui dari feromonnya yang menguar dan tercium oleh sang alpha.

Ia segera meneduhkan tatapannya. “Maaf, saya cuma ... penasaran. Maaf sudah bikin kamu nggak nyaman.”

Sang omega terlihat sedikit heran. Pasalnya tak banyak alpha yang sopan pada seorang omega sepertinya, yang memikirkan keadaannya saat feromon tidak nyamannya menguar. Ini pertama kalinya.

“Bapak bukan orang Seoul, ya?”

Pertanyaan tiba-tiba itu sukses membuat sang guru mengangkat alisnya bingung. “Iya, memangnya kenapa?”

“Nggak ada alpha yang sopan sama omega kaya bapak di Seoul. Semuanya cuma bisa meremehkan ....”

Entah kenapa air muka sang murid terlihat sedih. Soobin tak suka melihat itu.

“Nama kamu siapa?”

Lalu murid itu menatapnya dengan senyum kecil. “Bukannya tadi saya udah kumpulin form? Masa bapak lupa?”

Soobin terkekeh, sebenarnya ia tahu namanya. Hanya ingin sedikit basa-basi dan berkenalan dengan langsung saja.

“Kalo kamu memang mate saya, ya ini semacam perkenalan yang lebih pribadi.”

Senyum terukir cukup lebar di bibir sang murid. Pipinya sedikit bersemu, entah karena dingin atau malu, terlihat seperti kue tepung yang kenyal.

“Choi Yeonjun, Pak. Salam kenal.”

Keduanya saling tatap, seperti menemukan ketenangan di dalam obsidian satu sama lain. Mereka tak memungkiri kemungkinan mereka adalah mate.

Hingga waktu berjalan dan menyadarkan mereka bahwa ada banyak hal yang masih harus mereka lakukan di hari itu.


“Ah, hari ini selesai.”

Menghela nafas lega, Soobin bersandar pada kursi guru di kelas terakhir ia mengajar. Para murid sudah keluar, jam sekolah sudah usai. Dengan senyum senang, ia merasa hari ini berjalan dengan lancar.

Sang guru muda itu berdiri dari kursi, membereskan semua perlengkapannya dan berjalan menuju ke luar kelas, kembali ke ruang guru untuk mengemas barangnya dan pulang ke apartemen kecilnya.

Lorong-lorong sudah mulai sepi, tak seperti tadi pagi dan siang saat istirahat. Sekolah ini besar sekali, dan Soobin sepertinya tersesat, menuju ke tempat yang lebih sepi dari area lainnya.

Tak ada seorang pun di area itu. Ah, sepertinya guru muda itu harus memutar balik.

Namun ia mencium sesuatu.

Feromon siswa tadi.

Choi Yeonjun.

Soobin berjalan semakin ke ujung lorong yang ia lewati. Di depannya hanya ada tembok, jalan buntu. Di sebelah kiri terdapat kelas yang sudah kosong, dan sebelah kanannya toilet.

Aroma Yeonjun semakin kuat, ditambah feromon ketakutan.

Ia berjalan tergesa-gesa, semakin ia berjalan aromanya semakin kuat, semakin membuat Soobin tak tenang.

Saat sampai di depan pintu toilet, ia bisa mencium feromon campuran mint dengan citrus itu begitu kuat menguar, juga terdengar suara lirih tangis dan tawa menyebalkan.

Tak menunggu lama, sang guru muda langsung membuka pintu tersebut.

Dan alangkah terkejutnya ia dengan pemandangan yang ia lihat.

Sang siswa yang tadi pagi berkenalan dengannya, Choi Yeonjun, tengah dihimpit oleh satu pemuda alpha yang terlihat cukup besar dan berotot. Sang siswa alpha itu sepertinya mencoba untuk menggerayangi tubuh sang siswa omega yang menangis ketakutan dengan kain yang disumpal di mulutnya membuatnya tak dapat berteriak.

Yeonjun dilecehkan siswa di sekolah itu.

Dengan cepat Soobin menarik sang siswa alpha menjauh dari Yeonjun, membuatnya menabrak tembok di belakangnya.

“Aw, lo siapa?!”

Soobin menatap nyalang sang murid alpha itu. “Saya guru di sekolah ini. Kamu mau apa? Melecehkan temanmu sendiri?”

Siswa itu malah mendengus sembari tertawa. “Omega kaya dia emang pantes buat dilecehin, kan?”

Darahnya seperti mendidih mendengar ucapan siswa tersebut. “Brengsek!” Soobin mengangkat tangannya siap untuk meninju sang siswa yang masih tersenyum menyebalkan, namun gerakannya terhenti akibat sang omega yang memeluknya dari belakang.

“Pak, jangan, udah! Saya nggak apa-apa.”

Mendengar itu, Soobin langsung menurunkan tangannya tak jadi meninju siswa kurang ajar itu. Feromon marah milik sang guru masih menguar dengan kuat.

“Pergi. Atau saya laporkan pada guru yang lain.”

Tanpa berucap, sang siswa alpha tadi mengambil tasnya yang berada di lantai, lalu berjalan keluar dari toilet tersebut meninggalkan mereka berdua, masih dalam keadaan Yeonjun yang tengah memeluk sang guru sambil menangis.

“Yeonjun, hey, kamu nggak apa-apa?”

Feromon ketakutan masih kentara menguar menyelimuti tubuh sang omega. Badannya bergetar, tangannya menggenggam erat baju sang guru yang baru saja menyelamatkannya.

Dengan cepat Soobin memeluk tubuh sang murid, memberikan ketenangan, mengeluarkan feromon menenangkan guna membuatnya percaya bahwa semua sudah baik-baik saja.

Yeonjun menyembunyikan wajahnya di perpotongan leher sang guru muda, menghirup aroma yang keluar dari sana. Badannya mulai terasa lebih baik sedikit demi sedikit, pelukannya melonggar seiring waktu berjalan. Hingga akhirnya tangisan itu terhenti, meninggalkan sedikit nafas yang tersengal sisa menangis barusan. Namun wajahnya tetap ia sembunyikan di sana, menikmati rasa aman dan hangat dari sang guru.

“Kamu diapain tadi?” tanya Soobin lembut sambil mengusap punggungnya naik turun.

Masih sedikit sesenggukan, Yeonjun menjawab. “T-Tadi dia mau p-perkosa saya. D-Dia cium leher, mau buka p-paksa baju saya, nyekik s-saya.”

Soobin menarik dirinya sedikit melepas pelukan demi melihat leher sang omega, yang dimana terdapat bekas merah akibat cekikan di sana.

“Terus dia apain kamu lagi?” tanyanya masih selembut mungkin walau dirinya sudah sangat marah pada murid tadi. Ia menahan amarahnya sekuat tenaga.

Yeonjun menggeleng. Menandakan tidak ada hal lain yang terjadi setelahnya.

“Bener?”

Lalu mengangguk sebagai jawaban.

Soobin menarik kembali tubuh mungil yang masih sedikit gemetar itu. Diusapnya rambut sang omega, terus memberinya afeksi dan ketenangan.

“Kalo yang kaya gini kejadian lagi, hubungin saya aja, ya? Nanti saya simpen nomor saya di ponsel kamu.”

Dengan itu, Yeonjun pun mengangguk.

“Makasih, Pak.”

“Nggak usah makasih, saya cuma mau bantu.”

Dan sore itu berakhir dengan tubuh Yeonjun yang dibalut dengan aroma sang guru muda yang baru bekerja di sekolahnya hari itu. Ia menyukai itu, ia suka feromon Soobin yang menyelimutinya.

|||

• you can send a question or comment on https://secreto.site/20749976

“A New Place”

“When you come to a new place, you'll seek new experience, and maybe more than what you expected.”

|||

Seorang guru muda berjalan masuk ke gedung sekolah yang terlihat cukup megah. Seoul, tempat impiannya sejak dulu, akhirnya ia bisa menginjakkan kaki-bahkan memiliki pekerjaan tetap-di kota besar itu. Bagi dirinya yang besar di Ansan, bekerja di ibu kota merupakan suatu kebanggaan tersendiri.

Melangkahkan kakinya, menikmati interior dari gedung sekolah tersebut, ia masih merasa ini semua seperti mimpi. Itu bukan sekolah biasa, melainkan sekolah yang cukup elit. Ia bisa diterima karena dirinya seorang alpha.

Ya, tidak terlalu banyak alpha yang menjadi seorang guru. Namun karena ia dari luar kota (dan biasanya mereka tidak menerima pelamar dari luar Seoul), menjadi alpha merupakan jalannya untuk diterima di sana. Walau bukan alpha yang suka memanfaatkan 'status'-nya untuk mengatur dan mendominasi, tapi setidaknya ia bisa diandalkan untuk orang lain.

Sampai di depan ruangan bertuliskan 'Ruang Kepala Sekolah', ia mengetuk pintu tersebut beberapa kali sebelum akhirnya suara dari dalam sana menjawab dan menitahnya untuk masuk.

Knob pintu diputar, Soobin mendorong pintu tersebut, menampilkan seorang wanita dengan pakaian rapi dan wajah yang mengintimidasi. Jelas, itu sang kepala sekolah. Seorang alpha wanita.

“Selamat pagi, kamu benar Choi Soobin?” tanya sang kepala sekolah yang tersenyum masih di kursinya yang besar di belakang meja kayu.

“Selamat pagi. Iya, bu. Saya Choi Soobin, guru baru untuk pelajaran Sosiologi,” jawab si guru muda membungkuk hormat dengan senyum dan lesung pipi yang muncul.

Sang kepala sekolah berdiri, lalu berjalan mendekat ke arah Soobin. Ia memberikan tangannya untuk berjabat.

“Selamat datang di sekolah ini, Pak Choi. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik.”

Soobin mengambil tangan tersebut, berjabat tangan dengan perasaan yang benar-benar tak terjabarkan. Ia senang, seperti membuka lembaran hidup baru, rasanya sangat segar dan ringan.

Ia diantar menuju ke ruang guru, diperkenalkan kepada para pengajar di sekolah tersebut. Guru-guru yang memiliki jabatan tinggi (seperti wakil kepala sekolah, bendahara, dan sebagainya) semua berstatus alpha, yang menjabat sebagai wali kelas berstatus alpha dan didominasi oleh beta. Adapun omega yang mengajar sebagai honorer, guru konseling, dan beberapa posisi yang cukup mudah tergantikan dan terlupakan.

Begitulah, sepertinya aturan kasta di kota besar lebih mengerikan dari yang Soobin duga.

Menyimpan barang di meja yang dikhususkan untuknya, berkenalan sedikit dengan guru lain, bel masuk pun akhirnya berbunyi, tanda kelas pertama di pagi itu akan segera berlangsung.

Soobin mengambil beberapa barangnya. Ponsel dan dompet, kertas berisi formulir untuk perkenalan dengan murid-murid barunya, serta satu buku pelajaran yang entah akan terpakai atau tidak untuk minggu pertama ini.

Berjalan mencari-cari, akhirnya mata si guru muda menemukan kelas yang ia cari. '12-5', itu kelas pertama yang akan ia ajar hari ini. Suara para murid yang mengobrol terdengar hingga luar kelas, namun suara itu berhenti saat pintu kelas terdengar bergeser, terbuka, menampakkan dirinya yang tersenyum dengan kacamata yang bertengger.

Semua atensi tertuju padanya, beberapa berbisik ke teman di sebelahnya, ada juga yang memberikan tatapan remeh seperti tidak peduli.

Namun sesuatu, feromon yang ia cium saat memasuki kelas itu, membuat senyumnya menurun perlahan, mengedarkan pandangannya mencari sumber dari feromon tersebut.

Harum. Feromonnya tercium kuat sekali, menarik dirinya.

Ibu bilang kalau ada feromon yang kuat tercium dan begitu menarik, berarti itu mate-nya.

Namun ia segera tersadar dari lamunan, mengingat keadaannya yang sedang menjadi pusat perhatian satu kelas.

Kecuali satu siswa di belakang sana, yang melihat ke luar jendela.

“Halo, semuanya. Perkenalkan, saya guru baru untuk pelajaran Sosiologi. Nama saya Choi Soobin.”

Hampir semua murid di kelas itu menatap kagum karena seorang alpha muda dan tampan mengajar kelas mereka. Jelas saja, feromonnya yang kuat itu tak mungkin tak tercium dan terdeteksi bahwa dirinya seorang alpha.

Satu siswa dengan wajah meremehkan mengangkat tangannya, meminta perhatian sang guru muda.

“Iya? Ada pertanyaan?”

Siswa itu menurunkan tangannya, menatapnya menantang. “Kenapa ada alpha yang cuma jadi guru biasa? Apa bapak terlalu lemah buat jadi guru dengan jabatan tinggi? Wali kelas, misalnya.”

Beberapa kawan dari siswa itu tertawa bersamanya, menatap meledek sang guru muda yang terlihat terkejut.

Begini rupanya para alpha di ibu kota, cukup kurang ajar juga.

Soobin tersenyum, namun feromonnya tercium jelas tak suka. Ia menatap siswa tadi lalu berjalan mendekat ke bangkunya.

“Siapa nama kamu?”

“Buat apa? Hukum saya?”

Sang guru masih tersenyum, feromon sang siswa pun sekarang tercium, menguar menandakan ketidaksukaan, membuat beberapa omega di kelas tersebut sedikit pening.

“Semua guru di sini pasti pernah jadi guru biasa, bahkan kepala sekolah sekalipun. Jangan karena status alpha memiliki kekuatan untuk mengatur lalu kamu mengasumsikan hidup akan lebih mudah untuk para alpha. Tidak begitu, jika kamu bodoh dan tak beretika, kamu tetap tidak menjadi apa-apa, walau kamu seorang alpha sekalipun. Jaga etikamu, belum terlambat untuk itu jika kamu mau jadi seorang yang sukses dan memiliki jabatan tinggi.”

Hening. Semua murid terdiam, termasuk siswa yang menantang sang guru tadi hanya menatap merasa kalah lalu meneguk ludahnya kasar. Feromon yang Soobin keluarkan begitu kuat dan mengintimidasi, membuat sang lawan ketakutan.

“Saya minta maaf, Pak,” cicit murid tadi sambil menunduk malu.

Setelahnya Soobin pun berhenti mengeluarkan feromon menusuknya. “Tidak apa, jangan ulangi pada guru manapun. Saya harap kamu bisa belajar.”

Sang guru berjalan kembali ke mejanya, menatap ke semua murid di hadapannya.

“Saya minta maaf karena sudah membuat beberapa dari kalian pening,” ucap Soobin dengan wajah menyesal saat melihat beberapa omega di kelasnya menunduk dan memegang kepala mereka.

Kecuali satu siswa tadi, yang melihat ke luar jendela. Sekarang dirinya hanya menatap Soobin dengan heran.

Soobin pun melanjutkan kelasnya. Membagikan selebaran formulir, meminta nama dan beberapa hal tentang para murid, lalu sedikit mengobrol dan tanya jawab.

Otak Soobin masih memikirkan tentang feromon yang ia cium saat memasuki kelas, dan feromon itu masih ada sampai sekarang, hingga waktu kelasnya habis. Bel berbunyi menandakan pergantian jam pelajaran.

“Baiklah, mungkin segitu yang saya sampaikan untuk hari ini. Pertemuan berikutnya kita akan mulai membahas pelajaran, oke?”

Suara mengeluh terdengar dari ruangan tersebut. Soobin hanya terkekeh, lalu membiarkan mereka pergi keluar kelas lebih dulu karena mereka akan melakukan kelas olahraga di lapangan.

Semua sudah keluar dari ruangan tersebut, tersisa satu siswa yang tadi duduk di paling belakang hanya memperhatikan ke luar jendela. Ia bergerak perlahan, seperti malas melakukan apapun.

Aroma feromon tadi masih ada. Apakah siswa ini?

Sang siswa mulai berjalan dari mejanya, menatap Soobin sekilas lalu menunduk kembali, sedikit memberi hormat.

Namun saat siswa tersebut bergerak sedikit melewati mejanya, aroma feromonnya semakin kuat, membuat Soobin semakin mabuk kepayang.

Dan tanpa berpikir panjang, ia menarik kembali lengan sang siswa, membuatnya memutar badan menatapnya heran.

“Kamu, harum. Apa kamu mate saya?”

|||

• you can send a question or comment on https://secreto.site/20749976

Querencia (adj.) : a place where one feels safe, a place where one feels at home.
  • Semua pemeran sepenuhnya manusia (bukan werewolf)
  • Terdapat mate atau pasangan yang sudah ditetapkan (seperti soulmate). Tidak banyak berpengaruh, hanya memiliki kelebihan dapat merasakan perasaan yang dirasakan mate-nya jika sudah marking (atau semacam hal yang dirasakan setelah bonding). Jika tidak melakukan marking dan mating bersama mate yang sudah ditentukan, mereka masih dapat hidup seperti biasa tapi tidak mendapat kelebihan tersebut.
  • Alpha kebanyakan memiliki jabatan tinggi di berbagai aspek, namun tak jarang juga hanya kalangan biasa/jabatan menengah dan pekerjaan lainnya.
  • Omega sangat sulit memiliki jabatan tinggi, hanya jabatan menengah kebawah. Banyak tes yang harus mereka lalui sebelum dinyatakan layak mendapat jabatan tinggi.
  • Beta seperti manusia pada umumnya. Beta dapat mencium aroma omega saat heat dan aroma alpha saat mereka marah/mengeluarkan sisi posesif atas kepemilikannya. Namun tak dapat mencium feromon biasa dari alpha dan/atau omega. Mereka juga tidak memiliki feromon.
  • Heat dan rut untuk omega dan alpha terjadi setiap 2-3 bulan sekali.
  • Kasta keluarga dan status (a/b/o) sedikit banyak berpengaruh terhadap pergaulan mereka.
  • Feromon alpha dan omega memiliki dua lapisan. Lapisan dasar merupakan feromon yang dapat dicium dan diidentifikasi oleh para alpha dan omega. Sedangkan lapisan atas feromon hanya dapat dicium oleh diri sendiri dan mate-nya.
  • Suppressant (obat penahan feromon) hanya dapat menahan feromon lapisan dasar. Sehingga dirinya dan sang mate masih dapat mencium feromon lapisan atas.
  • Alpha wanita bisa hamil hanya oleh alpha pria. Namun persentase kemungkinan memiliki banyak keturunan sangat kecil dibanding dengan omega.
  • Jika alpha pria memiliki anak dengan alpha wanita (anak kandung) maka anaknya akan otomatis berstatus alpha. Tidak ada keistimewaan dari hal tersebut.
  • Marking dapat diibaratkan seperti 'pengikatan terhadap satu'. Jika sudah melakukan marking, feromon pemberi 'tanda' akan menempel pada yang diberi 'tanda' selama kurang lebih 6-12 bulan. Beberapa menganggap marking adalah ritual sakral yang harus dilakukan mendekati/saat sudah mengikat janji atau saat sudah melakukan perjanjian, sehingga marking yang tidak sesuai dengan aturan tersebut dianggap tabu dan menyalahi norma, terlebih untuk kalangan kasta atas/keluarga terpandang.

Penjelasan akan bertambah seiring berjalannya cerita. Jangan lupa selalu cek bagian ini :)


Penjelasan Karakter

Choi Soobin: Alpha, keluarga kalangan biasa dari ayah seorang alpha dan ibu seorang omega. Baru lulus kuliah dan diterima menjadi guru muda di SMA di ibu kota Seoul. Belum menemukan mate. Feromon: kayu cendana pada lapisan dasar, sedikit aroma manis seperti coklat pada lapisan atas.

Choi Yeonjun: Omega, anak keluarga terpandang yang semuanya memiliki jabatan tinggi di pemerintahan ibu kota Seoul, penyendiri karena di-bully sebab menjadi satu-satunya omega di antara semua anggota keluarga besarnya yg hampir semua berisi alpha. Feromon: mint pada lapisan dasar, citrus dengan sedikit wangi basah sehabis hujan pada lapisan atas.

Yoon Seunggi: Alpha dari keluarga terpandang yang (katanya) akan dijodohkan dengan Yeonjun. (Info lainnya menyusul)

Choi Jinoo: Ayah dari Choi Yeonjun, seorang alpha. Pejabat pemerintah Seoul dari keluarga Choi yang terpandang.

Choi Haera: Istri dari Choi Jinoo, seorang alpha wanita. Salah satu dari keluarga terpandang sebelum menikahi Choi Jinoo, cukup berpengaruh di Seoul bahkan Korea Selatan.

Kim Yena: Omega, ibu kandung dari Yeonjun.

Choi Sujin: Omega, ibu dari Choi Soobin. Tinggal di Ansan dan memiliki bisnis restoran bersama suami sekaligus mate-nya.

Choi Yeongsik: Alpha, ayah dari Choi Soobin dan suami dari Choi Sujin. Tinggal di Ansan bersama sang istri dan mengurus bisnis mereka bersama.

Karakter lainnya akan bertambah seiring berjalannya cerita. Jangan lupa selalu cek bagian ini :)

Welcome to “Querencia”!

[(n.) Sugar] One-shot Soobjun AU Tag(s): NSFW 🔞, mention of; drinking (idk what should i write for this but agak seperti 'menjual diri') Old!Soob Young!Jun

-0-

“Kalau kamu nggak bayar tunggakan kosannya minggu depan, saya terpaksa usir kamu dari sini.”

Seorang wanita paruh baya yang baru saja mengancamnya itu melenggang pergi meninggalkan si pemuda yang menyewa kamar itu sendirian.

Mendesah berat, si pemuda pun menutup pintu dan menguncinya.

“Bayar semesteran, biaya hidup, dipecat dari part-time, tunggakan kosan. Bagus, Yeonjun.”

Ya, si pemuda, Choi Yeonjun, sedang mengalami krisis keuangan. Kedua orang tuanya sedang banyak terlilit hutang akibat ditipu bisnis oleh kawan ayahnya, sehingga ia tidak mendapat uang bekal untuk merantau demi mengenyam pendidikan tinggi sejak enam bulan lalu.

Ditambah sekarang adalah tahun terakhirnya kuliah (jika ia sanggup membayar semester depan). Ia pasti butuh dana yang cukup banyak untuk skripsinya.

Ah, membingungkan!

Yeonjun mengunci pintu kamarnya dan berjalan menuju kasur yang hanya muat untuk satu orang. Bersandar pada dinding, matanya menatap kosong ke depan, mendesah berat ke sekian kali.

Lalu ia mengangkat kedua lututnya, menunduk dan bertumpu di sana sambil sedikit menangis. Berat, kenapa cobaan datang bersamaan begini? Yeonjun bingung harus apa sekarang.

Tangannya bergerak menuju ke ponsel yang ada di sebelahnya. Mencari kontak seseorang beberapa saat, lalu memencet tanda telepon, membawa benda pipih itu ke telinga kanannya.

Nada tunggu mulai terdengar di rungunya, hingga bunyi telepon tersambung memutus nada tersebut.

“Yeonjun, ada apaan?”

Si pemuda terdiam sesaat, sesenggukan sedikit sebelum menjawab. “Gyu, gue bingung,” jawabnya lirih, tangisnya begitu pelan.

“Lo nggak papa? Lo kenapa?”

“Masalah uang, Gyu,” jawabnya lagi. “Barusan gue udah ditagih kosan, kalo nggak bayar sampe minggu depan, gue diusir.”

Terdengar suara desahan pelan di ujung sana. “Ah, Yeonjun ... sorry gue nggak bisa bantu lo.”

“Nggak apa-apa, gue bukan mau minta bantuan, kok. Gue cuma butuh cerita aja.”

Keduanya sempat terdiam sebentar. Yeonjun pun akhirnya membuka suara lebih dulu.

“Kalo gue ikutin saran Kai, gimana?”

“Hah? Maksud lo ... jual diri? Nggak! Yeonjun, lo bisa cari duit selain pake cara itu!”

“Tapi nggak ada yang bisa bikin gue dapet uang gede secepet itu, Gyu,” ucap Yeonjun dengan nada lelah. “Satu malem doang, lagian gue udah pernah 'dimasukin'.”

“Aish, frontal banget sih lo. Tapi kan lo nggak tau, kalo ntar yang nyewa lo kakek-kakek, lo mau? Atau punya penyakit kelamin? Iiiihhh!!! Nggak, nggak boleh!”

“Ya gue bisa pilih-pilih, kali. Gue kepepet banget, Gyu ....” Si pemuda terdengar memelas sekarang.

“Ah, terserah lo deh!”

Telepon pun terputus setelah itu. Mendesah lagi, Yeonjun merasa kepalanya pusing.

Ia berniat menjual diri, membiarkan para lelaki hidung belang menghabiskan uang mereka untuk menyewanya selama satu malam.

Satu malam saja, jika satu malam cukup untuk membayar biaya sewa kamar kosnya dan biaya semesteran kuliahnya, Yeonjun rela.

Setelah memantapkan diri (karena ditambah tak ada banyak waktu yang ia miliki), akhirnya ia menghubungi salah satu teman yang pernah memberi saran itu padanya, menanyakan alamat dan apa yang harus ia lakukan.

Yah, bagaimanapun juga, waktu terus berjalan. Dan Yeonjun tak punya pilihan lain.

Semoga saja yang menyewanya nanti bukan kakek-kakek tua bau tanah, apalagi punya penyakit kelamin. Hiiiiihh!!!! Mengerikan!


“Ah, kamu Yeonjun, ya?”

Seseorang menyapa dirinya saat ia baru memasuki ruangan yang remang-remang. Penampilan orang itu sedikit mencolok, bajunya dipenuhi serbuk glitter dan memakai syal berbulu.

Agak aneh, tapi orangnya cukup manis, sih.

Yeonjun pun mengangguk mengiyakan. “Iya. Apa ... Kai udah kasih tau?”

Si pria berpenampilan aneh itu mengangguk dengan senyum cerah. “Waahh~ Bener kata Kai, kamu manis bangeeett. Barang mahal.” Ia berseru kegirangan sambil meraba wajah dan tubuh Yeonjun yang terbalut crop top dengan skinny jeans.

Memang manis, Yeonjun manis sekali dengan rambut gulali yang diikat setengah dan memakai jepit rambut.

Yeonjun merasa sedikit risih, namun dia hanya diam. Toh, nanti dia akan diraba begini, bahkan lebih parah oleh orang asing yang menyewanya.

Diseret lebih jauh ke dalam sana, terdengar musik dengan tempo cepat yang memekakan telinga. Di dalam sana terlihat ruangan lebih besar dengan meja bar dan lantai dansa serta tiang tinggi dengan para penari yang menggerakkan badannya dengan binal, mencoba menarik perhatian para mangsa mereka di seluruh penjuru ruangan.

Dan semuanya, laki-laki.

Sudah jelas, itu gay bar.

Yeonjun memang dikenal sebagai penyuka sesama jenis, sudah sejak lama. Namun itu bukan hal tabu, beberapa temannnya juga begitu. Termasuk yang memberikan saran untuk ke tempat itu.

Dia seperti sedang masuk lubang buaya.

Beberapa mata langsung menatapnya saat masuk. Melihat siapa yang menyeretnya ke dalam, mereka tersenyum mengerikan seperti hendak memangsanya.

“Wow, siapa ini? Anak baru?”

Namun si pria yang menyeret Yeonjun hanya tersenyum dan mengangguk sambil lalu. Tak memedulikan mereka yang melihatnya dengan tatapan 'lapar'.

“Jangan layanin itu, udah tua, miskin lagi. Kamu kebagusan.”

Mendengar itu, Yeonjun sedikitnya merasa lega entah kenapa. Yah, setidaknya ia tidak diberikan pada sembarang orang.

Mendekat ke meja bar, terdapat beberapa tempat VIP tersedia di pinggir kanan dan kiri, tertutup tirai yang agak menerawang namun cukup memberi privasi.

Yeonjun dibawa masuk ke salah satu meja khusus tamu VIP tersebut. Dibukalah tirainya, menampakkan dua orang yang (menurut Yeonjun) sepertinya masih cukup muda. Setelan kantor, yang satu terlihat masih memakai pakaian cukup rapi dengan minuman di genggaman, tangan yang lain sedang memegang ponsel di telinga.

Sedangkan yang satunya cukup berantakan. Dasi longgar, jas yang sudah disampirkan di sofa yang tersedia dengan lengan kemeja dilinting hingga bawah siku. Tangan satunya ia tumpu pada atas sofa sembari memegang gelas berisi minuman beralkohol, dan tangan lain disimpan di atas pahanya. Kedua kakinya menyilang bak raja.

Wah, yang kedua tampan sekali. Untung saja tempat itu pencahayaannya kurang, sehingga pipinya yang memerah tidak terlihat.

Pria yang membawa Yeonjun tadi segera menyapanya ramah. “Tuan Soobin, apakah Anda butuh seseorang buat 'menemani' Anda malam ini? Saya membawa orang yang saya pikir Anda akan suka,” katanya dengan ceria, tidak seperti tadi pada kakek-kakek di depan sana.

Sepertinya orang ini penting sekali.

Tanpa berbicara apapun, si pria yang disebut 'Soobin' tadi mengangkat tangan yang tidak memegang minuman, memberi gestur untuk Yeonjun mendekat padanya menitahnya masuk.

Mata si pria berpenampilan aneh tadi terlihat berbinar senang. “Selamat menikmati malam Anda, Tuan.” Lalu ia mendekat ke arah Yeonjun, berbisik di telinganya. “Layanin, dia nggak aneh-aneh.” Itu yang dikatakannya pada Yeonjun sebelum pergi meninggalkannya bersama dua orang itu.

Yeonjun meneguk ludahnya gugup. Ia berjalan perlahan menuju ke sofa, duduk di samping pria tinggi yang menitahnya masuk tadi. Tangannya ia simpan di atas pangkuan, kepala menunduk.

“Baru?”

“Huh?” Yeonjun mengangkat kepalanya saat suara si pria terdengar di telinganya.

“Kamu baru di sini?”

Ia menatap pria bernama Soobin itu, memperhatikan wajahnya. “I-Iya.”

“Kenapa kamu jual diri gini?”

Seperti tertampar, pertanyaan itu sukses membuat Yeonjun terdiam seketika. Tubuhnya menegang, nada si pria itu terdengar agak menusuk.

“S-Saya butuh uang b-buat bayar kuliah dan sewa k-kos. Udah nunggak dua bulan,” jawab si lelaki manis itu, suaranya mengecil di akhir kata.

Malu. Yeonjun merasa malu.

Namun jawaban dari si pria tadi tidak seperti yang Yeonjun bayangkan. Pria tinggi dan gagah itu menggerakkan tangannya menuju wajahnya, mengusap pipinya pelan dan membenarkan poninya ke samping.

“Sini, duduk di pangkuan saya.”

Beberapa detik meragu, Yeonjun pun berdiri lalu berjalan, mendudukkan dirinya di pangkuan si pria tinggi menghadap ke samping. Kedua tangannya ia simpan di atas pundak pria itu. Ia menunduk lagi.

“Soobin, tumben 'nyewa'. Biasanya lo tolak mulu. Udah lupa sama istri?”

Oh, jadi Yeonjun agak istimewa?

Mantan istri. Gue udah cerai kalo lo lupa.”

Wah, percakapan macam apa yang sedang Yeonjun dengarkan ini?

Si pria yang berpenampilan rapi tadi berdiri dari kursinya. “Gue harus balik kantor kayanya, tadi di telepon ada yang nggak beres masalah merger.”

“Taehyun memang sekretaris andalan.”

“Bacot. Punya bos kaya lo ya gue harus bisa diandalin,” ucap si pria rapi yang disebut 'Taehyun' itu. “Kalo gitu gue cabut. Lagian lo udah ada yang nemenin. Jangan kasar-kasar.” Pria itu berjalan menjauhi mereka.

“Kapan, sih, gue kasar?”

Hanya dijawab gumaman, pria itu pun keluar meninggalkan Yeonjun dengan si pria tinggi yang memangkunya.

Menyesap minumannya, si bos itu menatap wajah Yeonjun lamat-lamat. Setelah beberapa saat, ia menyimpan gelasnya di meja, lalu menghirup harum tubuh si lelaki manis di pangkuan, menempelkan hidungnya di ceruk leher dengan sensual.

“Kamu wangi, ya. Saya suka wanginya. Kaya wangi bayi.”

Yeonjun menahan diri agar tidak mengeluarkan suara aneh. Gesekan hidung dengan kulit lehernya itu membuatnya geli. Pegangannya pada pundak si pria itu menguat, kepalanya menengadah sedikit memberi akses lebih.

“Nama kamu siapa?”

Sial. Pertanyaan itu mau tak mau harus ia jawab. Ia harus membuka mulutnya.

“Y- hmm~ Yeonjun, T-Tuan.”

Yah, lolos juga ternyata desahannya.

“Panggil saya Soobin aja, ya.”

Yeonjun mengangguk patah-patah sebagai jawaban. Kecupan kupu-kupu diberikan Soobin pada ceruk leher hingga pundak Yeonjun, mulai menyingkapnya sedikit memperlihatkan kulit seputih susunya itu.

Tak berhenti disitu, Soobin mencium kembali lehernya, naik ke atas, mencium dagu lalu ke pipi, mata, hidung, seluruh wajahnya kecuali bibirnya yang merah menggoda.

Yang paling enak disimpan paling terakhir, kan?

“Mmhh ... T-Tuan Soobin.”

“Iya, manis?”

Jantung Yeonjun rasanya berdetak lebih kencang mendengar panggilan sarat pujian tersebut. Menatap sang dominan dengan mata sayu, ia mendesah berat sebelum akhirnya memberanikan diri mencium bibir pria di hadapannya.

Soobin menyeringai senang, tangannya ia gerakkan ke pinggul lelaki manis itu, mengusap kulitnya yang terbuka, masuk ke dalam kain yang menutupi tubuh bagian atasnya. Menyesap bibir Yeonjun dengan menggebu-gebu, rasanya ia tak ingin berhenti mencium, melumat, menghisap bibir itu.

Sudah lama Soobin tak merasa seperti ini.

Melepas ciuman keduanya, sang dominan menatap wajah Yeonjun yang sudah memerah. Mungkin karena kehabisan oksigen, mungkin juga karena terbawa suasana.

Matanya sarat akan nafsu.

“Kamu nggak apa-apa kalo nggak pulang malam ini, kan?”

Yeonjun tak menjawab, ia menggigit bibir bawahnya ragu.

“Saya lunasin tunggakan kos kamu, hm?”

Mendengar itu, Yeonjun seketika ingat apa tujuan utama ia melakukan semua ini.

Ya, untuk mencari uang.

Akhirnya, Yeonjun pun mengangguk pelan mengiyakan. Dengan itu, Soobin segera membawa Yeonjun keluar dari tempat tersebut, masuk ke dalam mobilnya sambil berpegangan tangan, sesekali mengecup pipi dan bibir.

Entah bagaimana caranya Soobin dan Yeonjun sudah sampai di salah satu hotel berbintang lima yang terlihat sangat bagus. Tak sempat lelaki manis itu mengagumi kamar yang mereka (atau lebih tepatnya Soobin) sewa untuk malam ini, si pria tinggi sudah menciuminya bagai serigala yang kelaparan, tak memberinya jeda barang sedetik saja.

Sesaat setelah mereka masuk kamar dan menutup pintu, Soobin langsung mengangkat kedua kaki si lelaki manis, membuatnya melingkarkan kedua kaki dan lengannya agar tidak terjatuh. Bibir keduanya menyatu kembali, dengan sang dominan yang membawa mereka masuk.

Kamar itu berada di lantai yang cukup tinggi, jendelanya menampakkan jalanan kota yang ramai serta langit gelap yang menyelimuti. Soobin menyandarkan badan Yeonjun pada jendela tersebut, sampai mereka melepas ciumannya dan Soobin menurunkan badan sang submissive, memutarnya agar menatap pemandangan indah di luar sana.

Yeonjun seketika menganga takjub. “Wah, bagus. Cantik banget.”

Soobin tersenyum senang, memeluk tubuh Yeonjun sambil menciumi kembali leher dan pundaknya. “Kamu suka?”

Terkekeh, Yeonjun mengangguk. “Hmm ... suka.”

Pria tinggi itu kembali memutar badan Yeonjun agar menghadapnya, lalu tersenyum.

Tampan dan seksi. Yeonjun rasa wajah pria yang menyewanya akan menghantuinya untuk waktu lama.

“Kamu tau,” ucapnya menggantungkan kalimat membuat Yeonjun penasaran, “kamu orang pertama yang saya sewa, yang saya bawa buat bermalam sama saya,” aku Soobin sambil mengusap pipi kemerahan miliknya.

Ibu jari sang dominan bergerak menuju bibir Yeonjun, mengusapnya, menarik bibir bawahnya.

“Kamu cantik, lebih cantik dari pada pemandangan di luar sana.”

Yeonjun tak tahu sudah kali ke berapa perutnya berasa seperti ada kupu-kupu beterbangan. Kata-kata manis seperti itu membuatnya lemah, apalagi dari pria setampan dan seseksi Soobin.

Soobin segera mencium kembali bibir ranum si lelaki manis. Melumat, menghisap, menikmatinya tanpa henti.

Begitupun Yeonjun yang membalas ciuman tersebut. Ia sama semangatnya dengan sang dominan. Mengalungkan kedua tangannya di leher pria di hadapan, ia meremas sedikit rambutnya karena terbawa nafsu.

Yeonjun ingin lebih dari ini.

Tangan Soobin yang sedang memegang pinggul Yeonjun pun mulai bergerak lagi, mengusap kulit di dalam crop top tersebut. Menciumnya tanpa ampun, mengusap dadanya, Yeonjun merasa terbang ke awan.

“T-Tuan ... ahh~”

Ciuman terlepas, membuat Soobin dapat dengan jelas melihat wajah sang submissive yang menikmati sentuhannya. Wajahnya memerah, matanya terpejam, bibirnya terbuka melantunkan desahan indah.

Sempurna. Yeonjun begitu sempurna di matanya.

Soobin melepas baju yang Yeonjun kenakan, menampakkan kulit putih susu yang tadi hanya samar-samar dapat ia lihat. Sekarang tubuh itu terpampang di hadapannya.

Tak mau tertinggal, Yeonjun pun menggerakkan tangannya membuka tiap kancing kemeja yang Soobin kenakan, melepas dasinya, membuangnya ke sembarang arah.

Ah, badan milik Soobin membuat Yeonjun semakin menginginkannya.

Dengan berani, Yeonjun menggerakkan tangannya menuju bawah sana, memegang kancing dan resleting celana sang dominan, lalu menatapnya meminta izin dengan bibir bawahnya yang digigit, mencoba menggodanya.

Oh, itu membuat Soobin semakin keras di bawah sana.

“Buka, sayang.”

Suara rendah milik si pria tinggi itu sukses membuat Yeonjun merinding. Seksi sekali. Tak mungkin Yeonjun menolak untuk digagahi oleh pria seperti Soobin.

Yeonjun pun membuka kancing dan resleting celananya, menurunkannya bersamaan dengan celana dalam yang dikenakan si pria itu, membuatnya dapat melihat sesuatu yang sudah menegang, mengacung tinggi minta dimanjakan.

Tanpa berucap, Yeonjun bergerak sendiri. Ia berjongkok di hadapan benda itu, lalu menatap ke atas melihat wajah sang dominan. Matanya sudah gelap akan kabut nafsu, sama seperti Yeonjun saat ini.

Ia mulai memajukan wajahnya, mendekatkan bibirnya pada kejantanan milik Soobin. Mencium kecil, lalu menjilat ujungnya, membuat si pemilik mendesis.

“Sshh ... Yeonjun, don't test me.”

Menatap ke atas, Yeonjun tersenyum kecil sebelum akhirnya melahap benda itu, mengemutnya seperti permen, hingga menggerakkan kepalanya naik turun membuatnya sedikit tersedak.

Tangan Soobin meraih kepala sang submissive yang asik dengan kejantanannya di bawah sana, mendorong kepalanya, memasukkan miliknya semakin dalam, menikmati mulut basah itu.

“Ahh ... ah! Dikit lagi, sayang. Aah~”

Cairan itu menyembur di dalam mulut Yeonjun begitu banyak, mengalir ke tenggorokannya begitu cepat tanpa aba-aba. Si lelaki manis itu terbatuk sebentar setelah menelan semua cairan yang disemburkan di dalam mulutnya.

Soobin mengangkat tubuh Yeonjun untuk berdiri lagi menghadapnya. “Sakit?”

“Sedikit,” jawabnya dengan serak, membuat Soobin terkekeh.

Cairan tadi sedikit keluar dari mulutnya, membuat sang dominan menggerakkan ibu jarinya mengusap sisa cairan tersebut, lalu menjilatnya.

Yeonjun cemberut melihat itu, dengan segera mencium dan melumat bibir serta lidah si pria tinggi.

That's mine.

Tak kuasa menahan gejolak nafsu akibat kejadian kecil tersebut, Soobin membuka celana sang submissive dengan tergesa, memutar badannya menghadap ke jendela, lalu menarik pinggulnya sedikit ke belakang.

You really wanna test me, do you?

Yeonjun terkekeh, kali ini terdengar menggoda dan menantang.

“Nggak, cuma pengen Tuan Soobin. Wanna feel you so bad, daddy.

Soobin memegang kejantanannya, menggesekkannya pada sekitar lubang milik Yeonjun.

“Kemana Yeonjun yang malu-malu tadi, hm?”

Sang submissive merasa tak sabar, ia menggeram tertahan. “Hhhh ... t-tadi belum siap, T-Tuan. Hmm~ Masukiin ....”

“Ini bukan kali pertama kamu, kan?”

Yeonjun menggeleng, masih menggeram menahan gatal di lubangnya.

“T-Tapi udah lama nggak, Tuan.”

Mendengar itu, Soobin pun mengarahkan tiga jarinya menuju ke mulut Yeonjun. Tahu apa yang dimaksud, sang submissive segera mengemut ketiga jari itu dengan semangat, wajahnya begitu menggoda.

“Tenang, Kamu udah emut penis saya tadi, nggak usah semangat gitu ngemut jari saya.”

Beberapa saat, Soobin melepas jarinya dari kuluman Yeonjun. Si lelaki manis hanya tersenyum senang. Tanpa aba-aba, Soobin langsung memasukkan satu jarinya ke lubang Yeonjun.

“Ahk! T-Tuan,” seru si lelaki manis sedikit terkejut.

“Jangan diketatin.”

Yeonjun pun mencoba menenangkan otot bawah sana, membiarkan rasa aneh dari jari Soobin, membiasakan.

“Tuan Soobin, l-lagi.”

Mengerti maksud sang submissive, Soobin menambahkan jarinya ke dalam lubang itu.

“O-Owh ....”

Soobin menggerakkan dua jarinya keluar masuk, membuat gerakan seperti gunting. Melihat wajah Yeonjun yang sudah tidak kesakitan, ia melanjutkan memasukkan jari terakhir.

“Ahh! Tu-tuan.”

Tak henti Soobin menggerakkan ketiga jarinya keluar masuk dari lubang sempit itu. Menyodok lebih dalam, lebih cepat, membuat lenguhan dan desahan nikmat keluar dari belah bibir sang submissive yang keenakan.

“Tuan S-Soobin. Ahh~ Enak, Tuan. Hmm~”

Dirasa lubangnya sudah cukup untuk diberi pemanasan, Soobin mengeluarkan jarinya, membuat Yeonjun melenguh sedih.

“Bentar, sayang. Mau ini?”

Soobin menggesekkan ujung penisnya pada lubang Yeonjun, membuat mata sang submissive terpejam kembali.

“Hhhh ... mau, Yeonjun mau dimasukin- ahh!”

Kejantanan Soobin akhirnya mulai masuk ke lubang itu. Menggeram tertahan, sang dominan menarik pinggulnya ke belakang, membuatnya menungging.

“Rileks, sayang.”

Yeonjun mengangguk, mengerutkan dahinya karena sedikit sakit dan perih. Lubangnya seperti dikoyak, ia tak menyangka bahwa kejantanan Soobin sebesar itu.

Sudah terasa lebih tenang, Soobin memajukan kejantanannya sedikit demi sedikit, masuk ke dalam lubang hangat milik Yeonjun.

“Ahh ... panjang, Tuan. Hmm~”

Sang dominan tersenyum bangga, lalu mengecup punggungnya. “Kamu suka? Sakit nggak?”

Yeonjun mengangguk dengan semangat. “Suka, ahh~ suka banget. Ohh ... s-sakit sedikit.”

“Kamu juga tau nanti enak, saya nggak akan kasar, kok.”

Memejamkan matanya dengan erat menikmati lubangnya yang terasa penuh, Yeonjun bertumpu pada jendela depan yang langsung memberikannya pemandangan kota malam yang cantik.

Untung saja di luar sana tidak ada gedung lain yang setinggi ini.

Tapi bayangan seseorang memergoki mereka sedang bercinta begini kedengarannya hot juga.

Soobin mulai menggerakkan pinggulnya, masuk, keluar, sedikit demi sedikit kejantanannya melesak semakin dalam. Ritmenya pun semakin lama semakin cepat, membuat suara desahan dan geraman nikmat menggema di kamar itu.

“Ahh ... lubang kamu anget, ketat sayang. Hmm~”

Geraman, desahan, lenguhan, hanya suara itu yang ada di ruangan tersebut. Panas, serendah apapun suhu pendingin ruangan di kamar itu tidak terasa sama sekali oleh keduanya yang tengah menikmati penyatuan mereka.

Yeonjun semakin menungging, membuka lubangnya lebih lagi memberikan akses untuk Soobin menghentak ke dalam lubangnya lebih lagi. Ia belum puas, ia ingin lebih.

“Ohh ... lagi, d-dalem lagiihh~”

Permintaan sang submissive langsung dituruti oleh Soobin. Ia menarik pinggul Yeonjun lebih dalam, mendorong kejantanannya lebih kuat lagi, membuat Yeonjun berteriak memanggil namanya dengan suara memelas.

“AHH! T-Tuan Soobin- ohh~ OH! Enak, Tuaaann~ Iya, di situ!”

Sedikit menyenggol titik nikmat di dalam lubangnya, Soobin dengan sengaja memperlambat geraknya, membuat ujung kejantanannya meleset dari titik tersebut.

Yeonjun melenguh sebal. “Hmm~ Tuaaann~ lagiii~” rengeknya sambil menggerakkan pantatnya maju mundur, membuat kejantanan Soobin keluar masuk menambah kenikmatannya.

Soobin terkekeh, ia suka melihat sang submissive memohon minta digagahi begini. Sepertinya pemandangan seperti ini setiap hari bisa membuatnya semangat.

Tak berapa lama, Soobin menggerakkan kembali pinggulnya, cepat dan kasar. Dirinya mulai mendesah keenakan juga, menengadah saking nikmatnya lubang Yeonjun menjepit kebanggaannya.

“Ohh ... Yeonjun, sayang. Ahh~”

“Hmm~ Soobin- ahh~ lagi, sodok lagi, enak. Awhh~”

Dinding itu mulai menjepit kejantanan Soobin, begitu erat, berkedut, membuatnya semakin nikmat dan bergerak tak beraturan.

“Ahh, sayang, kamu- hmm~ kamu mau keluarhh?”

Yeonjun mengangguk cepat, pinggulnya bergerak liar mencari kenikmatan lebih lagi dari sodokan di lubangnya.

Dan hanya beberapa hentakan dan desahan nikmat, sang submissive pun mencapai puncaknya. Menyembur hingga dadanya, kejantanannya bergerak bergelantungan karena hentakan Soobin yang masih begitu cepat dan kuat.

“T-Tuan, ahh! Ohh~”

Cairan hangat pun memenuhi lubangnya, Soobin mengeluarkan cairan nikmatnya di dalam lubang Yeonjun. Terus memompa mengeluarkan sisa dan menikmati puncaknya, Soobin bergerak perlahan sambil menggeram rendah, membuat Yeonjun merinding nikmat.

“Maaf, saya nggak bilang hmm~ dulu, saya bersih, tenang aja,” ucap Soobin dengan nafas yang terengah. Kejantanannya masih bergerak maju mundur perlahan di bawah sana.

Yeonjun mengangguk sambil menikmati gerakan Soobin. “Bayarannya aja, Tuan. Mmhh~” jawabnya ikut menggerakkan pinggulnya lagi berlawanan dengan gerakan sang dominan.

Soobin berhenti bergerak, lalu mencium pundak Yeonjun kembali.

“Kalo kamu jadi sugar baby saya, gimana? Saya penuhin semua kebutuhan kamu, semua saya yang bayar.”

Yeonjun terdiam, lebih tepatnya terkejut dengan tawaran tersebut.

“A-Apa itu ... nggak apa-apa? T-Tuan serius?”

“Saya serius, asal kamu penuhi kemauan saya seperti ini, kamu boleh minta apa saja sama saya.”

Seperti ditimpa rejeki nomplok, Yeonjun tanpa ragu mengangguk menyetujui.

“I-Iya, Tuan. Saya mau.”

Yah, mana mungkin Yeonjun ragu. Toh, dia menikmati bercinta dengan pria tinggi yang baru dia kenal beberapa jam lalu ini.

Dan dibayar? Tak ada yang lebih baik lagi untuk Yeonjun saat ini.

Tiba-tiba Soobin melepas penyatuan mereka, membalikkan tubuh Yeonjun lalu mengangkat tubuhnya menuju ranjang yang masih rapi, merebahkannya.

“Kalo gitu, ini pekerjaan pertama kamu sebagai sugar baby saya.”

Dan pergumulan mereka kembali terulang. Desahan kembali menggema. Suasana kembali memanas.

Seperti itu, Yeonjun sedikitnya tak menyesal telah menuruti saran temannya yang cukup laknat.

Menjadi sugar baby bos perusahaan besar yang tampan, seksi, dan jago bermain di ranjang? Siapa yang mau menolak?

Tentu saja, bukan Yeonjun.

-끝-

Lagi ketagihan halu soob as duda dan sugar daddy hhahaaayy~

[(v.) Admire] One-shot Soobjun AU Tag(s) : Slightly harsh words. College life

-0-

“Ah, maaf.”

Suara cicit pelan terdengar dari pemuda tinggi berkacamata tebal itu. Ia baru saja menabrak salah satu senior yang terkenal di kampusnya.

Choi Yeonjun, itu nama sang senior.

“Kalo jalan tuh liat pake mata. Kacamata doang tebel, jalan aja nggak bener.”

Iya, itu Choi Yeonjun, senior yang terkenal berandal dan tukang buat onar.

Kehadiran? 60 persen.

Dengan kata lain, ia sering bolos.

Sulit sekali diatur oleh para dosen. Namun otaknya tak dapat diragukan.

Senior Soobin satu itu memang sangat pintar.

Dan Choi Soobin, si pemuda berkacamata tebal itu, menyukai sang senior.

“M-Maaf, Kak.” Pemuda tinggi itu menunduk lalu mengambil buku-bukunya yang terjatuh dari tangannya tadi.

Yeonjun tak menjawab, malah mendengus kasar dan berkacak pinggang, lalu pergu meninggalkan sang junior sendirian mengambil barang-barangnya yang terjatuh.

Soobin mendesah pelan.

“Kak Yeonjun masuk hari ini.”


“Untuk tugas hari ini, kelompoknya hanya dua orang dan saya sudah membuat daftarnya.”

Suara mengeluh dari tiap mahasiswa di kelas itu terdengar keras. Sang dosen terlihat tak begitu peduli, mulai membacakan nama-nama mahasiswa.

Hingga lebih dari setengah mahasiswa sudah disebutkan, hanya tersisa beberapa, termasuk Soobin.

Jantungnya berdegup kencang karena ...

“Choi Soobin dengan Choi Yeonjun.”

Iya, karena itu. Yeonjun berada di kelas yang sama dengan Soobin sebab dirinya mengulang kelas tersebut. Hanya karena kurang kehadiran.

Namun sang junior bersyukur, sih. Jadi ada kesempatan untuk berada di satu kelas yang sama.

Soobin setengah mati menahan senyum kegirangan. Walaupun nakal dan galak, Yeonjun itu idaman banyak lelaki, apalagi yang penyuka sesama jenis sepertinya.

Idaman lelaki? Iya, benar. Yeonjun itu terkenal di kalangan para lelaki gay seperti Soobin.

Siapa, sih, yang tidak suka dengan perawakan manis nan menawan milik Choi Yeonjun? Badan ramping, kaki jenjang, pipi gembil, kulit putih kemerahan seperti bayi, jangan lupakan wajahnya yang manis dan bibirnya yang sering mengerucut sambil menggerutu.

Tipe submissive yang sulit ditaklukan, membuat semakin banyak lelaki penasaran.

Tak terkecuali dengan Soobin, si anak pemalu dan kutu buku yang sering menyendiri.

Yah, habisnya tidak ada yang mau berteman dengannya hanya karena dia berpenampilan culun.

“Mau sampe kapan lo liatin gue terus, cupu?”

Lamunan Soobin seketika buyar saat suara sang pujaan hati terdengar tepat di hadapannya. Dengan sedikit terkejut, Soobin mengedip beberapa kali sebelum menjawab.

“A-Ah, m-maaf, Kak.” Soobin menunduk malu.

Sang senior itu menarik kursi yang kosong di dekat meja Soobin, menempatkannya di hadapan sang junior yang masih menunduk.

“Cepet, gue pengen cepet selesai. Mau ngerjain dimana?”

Soobin merasa hilang suaranya hanya untuk membalas. Baru kali ini ia bisa benar-benar mengobrol dengan Yeonjun. Jantungnya tak berhenti berdetak dengan kencang.

“Ah, lo lama. Ayo ke perpus, biar bahannya banyak.” Yeonjun bangkit dari kursinya, mengambil tasnya lalu menarik lengan Soobin yang ada di mejanya.

Menarik lengan Soobin? Hampir saja sang junior pingsan di tempat.

Yeonjun mendengus kasar saat dilihatnya sang junior yang tangannya sedang ia tarik itu justru membeku di tempat.

“Ih, lo kenapa, sih? Naksir gue, ya? Ngeliatin gue mulu.”

Wah, pede sekali. Tapi memang benar sih.

Soobin pun segera mengambil tasnya dan bangkit dari duduknya, membiarkan sang senior menarik lengannya menuju ke perpustakaan kampus.

Berjalan dalam diam, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Yeonjun dengan tugas yang harus ia kerjakan sekarang, dan Soobin dengan genggaman tangan sang senior yang tak lepas hingga mereka sampai di tempat tujuan.

Tangannya lembut. Itu yang terpikirkan oleh Soobin.

Saat ini keduanya telah fokus pada bacaan masing-masing untuk membuat tugas yang diberikan pada mereka berdua. Laptop Soobin terbuka, menampilkan aplikasi untuk mengetik yang sudah berisi nama dan nomor induk mahasiswa keduanya di pojok kiri atas. Tadi Soobin menyalakan laptopnya saat Yeonjun sedang mencari buku.

Karena, tahu tidak? Lockscreen dari laptopnya adalah foto Yeonjun yang ia jepret diam-diam beberapa bulan lalu. Wajah Yeonjun tak terlalu terlihat di situ, namun perawakannya jelas menunjukkan itu adalah si senior yang sedang duduk di hadapannya saat ini.

Namun karena saking seriusnya keduanya dengan bacaan mereka, Soobin tak sadar layar laptopnya sudah mati, dan jika dihidupkan kembali, akan menampilkan lockscreen tadi.

Dan Yeonjun bergerak lebih dulu mengambil laptop sang adik tingkat karena ingin mengetik sesuatu. Memencet satu tombol untuk menyalakan layarnya, matanya seketika membelalak kaget.

Lockscreen-nya, ia lihat dengan jelas gambar di laptop Soobin.

Sang adik tingkat tak sadar akan hal itu. Yeonjun masih membeku di tempat, lalu menatap Soobin, lalu kembali menatap layar laptopnya.

Astaga, apa adik tingkatnya yang culun ini menyukainya?

Yeonjun jadi memperhatikan si adik tingkat dengan seksama. Wajahnya, menggemaskan, tampan juga, hanya terhalangi oleh sepasang kacamata tebal saja. Pipinya yang memiliki ceruk cukup dalam, menjadi nilai tambah di wajahnya. Garis wajahnya, oh, Yeonjun baru menyadarinya. Garis wajah Soobin begitu tegas.

Kini mata Yeonjun menatap ke arah tangan dan tubuhnya. Terlihat kekar, tangan itu sepertinya kuat. Untuk ukuran anak kutu buku, badan Soobin sebenarnya cukup tegap dan terlihat sering berolahraga, berisi, tak seperti anak culun yang kurus kering tak terurus. Yeonjun suka lelaki seperti itu.

Apa?

“Lo sering olahraga?”

Yeonjun membulatkan matanya karena ucapannya sendiri, lalu menutup mulutnya dengan cepat. Namun pertanyaan itu terdengar oleh si adik tingkat, membuatnya mengangkat wajahnya menatap si pemberi pertanyaan.

“Huh? Emang kenapa, Kak?”

Dengan cepat sang senior menggelengkan kepala, merasa bodoh dengan kata-katanya barusan.

“U-uh, maksud gue, password laptop lo apa?”

Mendengar pertanyaan Yeonjun, Soobin segera membelalakkan matanya terkejut.

Oh, tidak. Yeonjun sudah tahu lockscreen-nya!

“A-Ah, itu!” Soobin dengan segera meraih laptopnya, memutarkan layarnya ke depannya.

Namun Yeonjun masih terdiam, sekarang menatapnya tanpa ekspresi.

“Kak,” cicit Soobin begitu pelan. “M-Maaf-”

“Kenapa? Karena udah foto gue diem-diem terus dijadiin lockscreen?”

Skak mat. Soobin terdiam, merasa tertangkap basah. Ia menggigit bibir dalamnya memperlihatkan kegugupan.

“I-Iya ...,” jawabnya dengan pelan, seperti bergumam. Ia menunduk malu. “Maaf, Kak. G-Gue ganti-”

“Kenapa diganti? Gue suka fotonya. Mau minta boleh?”

“Huh?” Soobin menatap heran sang senior. “B-Boleh banget, Kak.”

Yeonjun lalu tersenyum kecil. “Lo suka sama gue?” tanyanya dengan lebih berani. Dia sudah tidak kaget lagi. Sedikitnya, ia justru merasa senang, entah kenapa.

Soobin terdiam sebentar, lalu mengangguk kecil sebagai jawaban.

“Dari kapan?”

Mendesah kecil, gugup masih menguasai. “D-Dari awal masuk kampus ini, Kak,” jawabnya.

“Wah, udah dua tahun?! Kok bisa, sih?” Yeonjun terkekeh, merasa lebih tenang.

Sepertinya Yeonjun mulai tertarik dengan lelaki di hadapannya ini.

“K-Kakak manis, t-tapi nggak gampang dideketin. Kakak j-juga keliatan teguh pendirian, berani.”

“Tau, nggak?” Soobin menatap kembali si kakak tingkat yang mulai bicara menggantungkan kalimatnya.

“Walaupun gue keliatannya berani dan kasar, gue sebenernya pengen dijagain juga. Gue lebih seneng dimanja. Cuma belum nemu yang bisa manjain sama jagain aja.”

Jawaban Yeonjun dan tawa kecilnya membuat jantung Soobin seakan berhenti sepersekian detik.

Dan entah keberanian dari mana, Soobin menjawab tanpa ragu.

“Gue bisa jagain sama manjain lo, Kak.”

Soobin menahan nafasnya setelah mengatakan hal tersebut, membulatkan matanya lagi karena ucapannya barusan yang tanpa pikir panjang.

“E-Eh, maksudnya-”

“Boleh.”

“Huh? Gimana, Kak?” Soobin seperti hilang otak, ia tak bisa berpikir dan mencerna maksud perkataan sang senior.

“Kalo lo bisa, lo boleh jagain sama manjain gue.”

Apa ini mimpi? Soobin menatap Yeonjun cukup lama, masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

“T-Tapi gue anak c-culun, Kak. Nggak ada yang s-suka sama gue.”

“Bagus dong, jadi gue bisa jadi satu-satunya yang suka sama lo.”

Agaknya Yeonjun sudah lebih berani. Ia suka orang seperti Soobin, tidak memaksanya untuk menyukainya, tidak mencoba membuatnya terkesan, hanya ingin menjaga dan memanjakannya.

Manis, walau terlihat kasar sebenarnya Yeonjun suka hal manis seperti itu.

“Tapi gue belum suka sama lo, ya. Gue cuma tertarik. Nggak tau kalo nanti.”

Soobin masih terdiam, lama sekali hingga Yeonjun menggelengkan kepalanya.

“Lo mau bengong sampe kapan, sih? Udah, ayo kerjain lagi. Buka password-nya, gue keburu lupa mau nulis apaan.”

Terkesiap, Soobin pun segera menulis password laptopnya dan membuka kunci layar, menampilkan kembali aplikasi mengetik tadi.

Dengan tangan sedikit gemetar, ia menyodorkan laptopnya kembali kepada sang senior.

Yeonjun tak sengaja menyentuh permukaan tangan sang adik tingkat. Dingin. Lalu Yeonjun pun tertawa kecil.

“Selesai kelas, anterin gue, ya?”

“Kemana, Kak?”

“Ke studio, biar ada yang jagain.”

Soobin tersenyum kecil, lalu memberanikan diri mengusap pucuk kepala Yeonjun.

“Ih, berantakan nanti!”

“E-Eh, maaf, Kak ....” Soobin segera menarik lengannya merasa bersalah.

Namun dengan cepat Yeonjun memegang kembali lengan Soobin, menariknya perlahan kembali ke pucuk kepalanya.

“Jangan diacak, kalo diusap gue suka.”

Sang adik tingkat tak kuasa menahan senyumnya, merasa gemas dengan tingkah Yeonjun yang begitu berani dan membuat jantungnya berdegup kencang dengan kupu-kupu beterbangan di perutnya.

Sepertinya mulai hari ini, Soobin tak perlu lagi memuja dari kejauhan.

-끝-

keasikan nulisnya wkwk fluff lagi~

[(n.) dark, darkness] One-shot Soobjun AU Tags : mention of; drunk, violance, rape, harsh words, death. Yeonjun PoV (Point of View)

-0-

-

Perih. Gelap.

Rasanya hanya itu yang aku lihat setiap harinya selama empat tahun terakhir. Rumah kecil itu, rumah yang hanya ditinggali olehku dan ayah.

Sunyi. Sepi.

Rumah kami lebih sering tak ada suara. Sekalipun ada, pasti suara teriakan ayah, suara barang dibanting, atau teriakan kesakitanku.

Yah, hal yang sama setiap harinya.

Luka? Sudah biasa.

Tubuhku penuh dengan itu.

Aku, Choi Yeonjun, anak semata wayang ayah yang sudah berumur 20 tahun, berakhir menjadi bahan siksaannya. Katanya, ia harap aku tak ada saja, diriku lebih baik mati saja. Aku hanya menyusahkannya, aku tak berguna.

Ibu? Sudah lebih dulu pergi ke surga, sepertinya Tuhan sangat sayang pada ibu.

Aku harap aku bisa pergi dari tempat ini.

Aku berdoa agar ucapan ayah segera terkabul.

Aku ingin menyusul ibu.

Atau mungkin, ayah bisa pergi dan biarkan aku sendiri.

Itu ucapku. Itu harapku.

Satu malam, saat ayah sedang menyiksaku, melempar botol soju yang sudah kosong ke arahku, pecahan botol itu terlepas dari tangannya, jatuh ke belakang.

Ayah mabuk, dan mencoba memperkosaku, lagi.

Ayah itu ... sebenarnya suka lelaki.

Ayah gay.

Dan aku, menjadi korbannya setelah ibu tiada.

Malam itu aku memberontak, tak seperti biasanya.

Aku lelah, aku benci diperlakukan begini.

Namun saat aku melawan, ayah terhuyung, dan terjatuh tepat di atas pecahan botol soju yang cukup besar dan tajam, menusuk tepat di kepalanya.

Aku terdiam saat itu, ayah seketika terbujur kaku.

Mati. Ayah akhirnya meninggalkanku sendiri.

Aku akhirnya sendiri.

Lalu ucapan tetangga terdengar, menuduhku bahwa aku telah menjadi seorang pembunuh.

Aku dituduh membunuh ayah.

Aku tak berani berucap, tak pula berani untuk melawan. Aku hanya diam, membiarkan kabar itu menyebar luas.

Toh, aku memang ambil peran dalam kematian ayah.

Kegelapan ternyata masih mengikutiku. Lilitan hutang, membuatku harus bekerja di sebuah bar.

Menjual diriku, aku dijadikan sebagai pemuas nafsu, lagi.

Namun di satu malam, seseorang membawaku keluar dari tempat mengerikan itu. Membeliku dari si pemilik bar, membayar semua hutang yang ayah punya.

“Mulai hari ini, kau hanya boleh menuruti ucapanku. Kau milikku. Kau hanya milik seorang Choi Soobin, mengerti?”

Itu ucap si pria tinggi yang memberi tatapan datar. Membawaku ke tempat tinggalnya yang bisa dibilang seperti istana di kehidupan nyata, aku diperlakukan selayaknya raja. Semua pekerja di rumahnya menuruti ucapanku, semua menunduk hormat padaku.

“Jika kau butuh apa pun, katakan saja pada pekerja di sini.”

Ya, aku mendapatkan semua yang selama ini hanya bisa aku impikan.

Namun sebagai gantinya, aku benar-benar harus menuruti keinginannya. Lagi, menjadi pemuas nafsu. Tapi aku bisa terima, aku hanya memuaskan dirinya, aku hanya memuaskan seorang pria bernama Choi Soobin.

Pria itu tak pernah memberi afeksi. Seperti yang ku sebutkan, aku hanya pemuas nafsunya, tak lebih. Ia tak pernah menunjukkan rasa iba, tak pula memberi perhatian. Ia kejam, hatinya dingin. Itu yang semua pekerja di rumahnya katakan. Tapi, aku jatuh hati.

Ya, aku jatuh pada pesonanya, pesona seorang bos mafia bernama Choi Soobin.

Semua pekerja di rumahnya berkata bahwa dirinya tak punya pasangan, dan hal itu membuatku berharap. Aku melakukan semua hal yang dapat membuatnya terkesan. Aku memasak untuknya, aku menyapanya setiap ia pulang, bahkan ... aku merasa senang saat ia menyetubuhiku walau tanpa ada perasaan apa pun di dalamnya.

Di satu waktu, aku mulai merasa bahwa perasaanku tak terbalas. Aku sedih, aku ingin Soobin tahu bahwa aku menyukainya, aku ingin hidupku bersamanya.

Dia cahayaku, dan aku ingin dia menjadi satu bintang yang selalu menerangi hidupku yang gelap tak berujung.

Namun lidahku kelu, keberanianku tak juga terkumpul. Gelap pun tak ingin melepasku, bayang-bayang masa lalu dimana diriku tak diinginkan oleh siapapun terus berulang.

Apa mungkin Soobin menginginkanku,

seperti aku menginginkannya?

Pada akhirnya aku menelan mentah-mentah perasaanku, mencoba untuk tetap mempertahankan keberadaannya di tengah hidupku yang penuh kegelapan.

Aku tak mau merusak cahayanya, aku tak mau kehilangannya.

Sehingga aku terus hidup, terus bertahan dalam keadaan yang sama setiap harinya, berharap Soobin akan mengatakan bahwa ia memiliki perasaan yang sama sepertiku.

Hari pun terus berjalan,

namun sampai kapan, aku harus berada di dalam kegelapan dengan satu cahaya yang bahkan tak sadar sedang menerangiku?

Yang tak sadar bahwa dirinya berharga untukku?

End of page

Notes: Choi Soobin, jika kau membaca ini, ku harap kau tahu, bahwa cintaku padamu benar adanya.

-

Dan Soobin terdiam, tanpa sadar air matanya mengalir ke pipi, saat tahu bahwa Yeonjunnya telah hilang, entah kemana ....

-끝-

hueee nulis apa ini miaaannn :(

[(v.) obey] One-shot Soobjun AU Tags : mention of drinking, slightly harsh words Old!Soob Young!Jun

-0-

Yeonjun sedang bercengkrama dengan sekumpulan teman-teman balapnya. Malam, langit sudah gelap. Dia membawa mobil sedan hitam milik sang kekasih yang 'katanya' sudah diberikan padanya.

Tak memusingkan pesan yang terus masuk dari kekasihnya, ia bersandar pada mobilnya sambil memegang botol beer kecil. Tertawa bersama, bercerita macam-macam menunggu waktu balapan tiba.

Sebenarnya jadwal balapan di sana masih sekitar 20 menit lagi menuju dimulai, masih cukup lama. Namun agaknya pertengkarannya dengan sang kekasih membuatnya muak dan pergi lebih cepat.

Padahal ia sudah janji tidak akan balapan lagi.

“Kak, katanya udah berenti balap. Mobil siapa, tuh? Baru lagi aja.”

Yeonjun terkekeh sehabis menenggak beernya lalu ia simpan di atas kap mobil. “Doi. Nyogok biar gue nggak balap lagi. Tapi kelakuan kaya setan. Ya gue langgar, lah.”

Dengan jawaban tersebut, semua yang sedang bersamanya di situ pun tertawa.

Namun tanpa ia ketahui, seseorang telah memarkirkan mobilnya di dekat sana. Keluar dari pintu tempat pengemudi, terlihatlah lelaki tinggi dengan jas kerja dan dasi yang sudah berantakan di lehernya. Wajahnya terlihat gusar, maniknya bergerak cepat mencari pemuda yang tidak membalas pesannya tadi.

Itu Soobin. Kekasih Yeonjun.

Saat maniknya mendapat siluet jelas sang kekasih, ia berjalan dengan langkah lebar dan cepat mendekatinya. Lalu tiba-tiba tangannya meraih tangan pemuda itu, membuatnya terkejut dan sedikit tertarik ke belakang tempatnya berdiri.

“Kak Soob-”

“Saya bilang nggak usah ikut balapan lagi, kenapa susah sekali nurut, sih?”

Yeonjun terdiam sejenak karena terkejut akan kedatangan tiba-tiba sang kekasih yang sedang setengah mati ia hindari.

Ia sedang ngambek, tau.

“Kakak emang mau nurut sama kata-kata aku tadi? Kakak tetap jalan sama mantan istri kakak, kan?” ucap Yeonjun setelah sadar. Matanya memicing sambil menatap tajam, menunjukkan rasa kesalnya.

Sebenarnya, Yeonjun hanya cemburu, kok.

Menyadari atmosfir yang kurang mengenakkan, teman-teman Yeonjun pun undur diri perlahan meninggalkan tempat kejadian. Yeonjun pun akhirnya sendirian.

Ralat, berdua bersama Soobin.

“Dek,” suaranya melembut, bersama dengan tatapannya. “Itu permintaannya Yebin, saya cuma nurutin kemauan anak saya. Apa saya salah turutin kemauannya? Dia masih kecil, Dek. Saya sama Arin cuma mau kasih dia kasih sayang orang tuanya.”

Benar. Soobin dan Arin itu mantan suami-istri. Mereka memiliki anak yang masih berumur lima tahun bernama Yebin yang dimana hak asuhnya dimiliki oleh sang mantan istri. Keduanya sepakat untuk memberikan kasih sayang yang sama seperti kedua orang tua pada umumnya.

Sehingga saat Yebin meminta untuk jalan-jalan bersama kedua orang tuanya, Soobin seketika menurut.

Bahkan saat Yeonjun melarangnya, ia tidak menuruti kemauannya.

Si yang lebih muda menunduk, menahan tangis. “A-Aku takut kakak b-balik lagi sama A-Arin. Aku nggak mau ....”

“Yeonjun, hey,” panggil si pria tinggi itu sambil memegang dagu Yeonjun, mengangkat wajahnya. “Kisah saya sama Arin udah selesai, saya sama dia udah di jalan kami masing-masing. Dia udah sama yang lain, saya juga udah sama kamu. Saya nggak akan tinggalin kamu, Dek. Kalaupun saya harus ulang kehidupan, saya bakal tetap pilih kamu.”

“Mas,” Yeonjun mulai berkaca-kaca, matanya siap menumpahkan air yang menggenang disana. “Maaf ....”

Saat air mata pertama jatuh ke pipi si pemuda manis di hadapannya, Soobin langsung merengkuh tubuhnya, mendekapnya erat sambil mengusap kepalanya dengan sayang, mencoba menenangkannya yang mulai menangis tersedu.

“Maafin mas juga, tadi mendadak dan malah emosi sama kamu,” ucapnya lembut dan menenangkan. “Kamu sudah bilang nggak akan balapan lagi, Dek. Udah, ya? Kita pulang? Saya nggak mau kamu main kaya gini lagi. Nanti biar mobilnya saya minta tolong Taehyun yang bawa.”

Yeonjun pun menurut, menganggukkan kepala di dalam dekapan tanpa menatap sang dominan sama sekali.

Soobin mengecup pucuk kepala sang submissive dengan gemas. Yeonjun ini memang bandel, sedikit susah diatur, bahkan sering melawan orang tuanya.

Tapi dengan Choi Soobin, ia akan menurut dengan cepat. Lemah, saking sayangnya dengan si duda anak satu yang terpaut umur tujuh tahun.

Sambil berjalan menuju mobil Soobin, mereka berpegangan tangan. Tiba-tiba suara Yeonjun begitu pelan memanggilnya.

“Mas.”

“Hm?”

“Tidurnya mau peluk.”

Soobin seketika tersenyum senang mendengar permintaan sang kekasih. Hobinya balapan, tapi kalau dengan Soobin jiwanya berubah seperti anak kecil.

Menggemaskan.

Ditambah panggilan 'Mas'. Soobin lemah.

“Dek, kalo kamu manggilnya pake 'mas' terus mana bisa saya nolak.”

Dan dengan kekehan dari Yeonjun, mereka pun pulang kembali ke kediaman milik si pria tinggi.

Ah, indahnya. Mereka harap hubungan mereka akan indah seterusnya.

-끝-

hehewww~ fluff juga ternyata