Chanthusiast

Chan x Hyunjin Oneshoot

ㅡ Wild and free

Siapa yang bakal mengira kalau menikmati angin malam bisa seenak ini? Apalagi ditambah dengan rokok yang terselip di bibir.

Hyunjin menghembuskan kepulan asap rokok itu dari mulutnya, membiarkan asap itu terbawa oleh angin dan menerpa wajahnya.

Hah, sungguh hidup yang sangat nikmat.

“Berhentilah menggunakan benda sialan itu, hun.”

Bibirnya mengerucut sebal tatkala mendengar suara familiar itu menyapa indra pendengarannya. Terkadang membuatnya rindu, tetapi juga jengkel disaat yang bersamaan.

Matanya melirik tajam kesamping, lelaki berambut pirang dengan sentuhan warna coklat itu hanya memandang datar ke arah wajahnya, dengan tangan yang sudah sibuk meremat pinggangnya mendekat.

“Ayolah chris, kau tau kan kalau aku susah untuk mendapat rokok ini? Aku harus membunuh seorang konglomerat dulu!”

Kalau saja tidak sesulit itu, hyunjin tidak akan merasa sebal kepada kekasihnya sekarang. Dia memang suka dengan benda yang dapat merusak paru-paru ini, hanya saja tidak semua rasa dipakainya.

Tetapi kali ini berbeda, it's taste like a strawberry.

Chris kemudian tersenyum kecil ketika hyunjin menatapnya sebal. Wajah kesal hyunjin memang selalu bisa menarik perhatiannya. Ah, memang semua yang ada di hyunjin menarik perhatian chris.

Rokok yang tersisa setengah namun masih menempel di kedua belah bibir penuh hyunjin, chris ambil, kemudian membuangnya kebawah. Kebetulan mereka berada di lantai dua sekarang.

Siap-siap hyunjin yang tidak akan memberinya jatah nanti.

“Kau tau kenapa aku melarangmu, hun?” Tanya chris yang entah kenapa suaranya membuat hyunjin begitu candu.

Sangat candu, sampai-sampai hyunjin sangat menyukai suara bariton yang begitu berwibawa membawa berkeliling imajinasinya.

Hyunjin lantas menggeleng pelan. Mendadak menjadi anak kecil yang polos di hadapan chris yang sayangnya chris begitu menyukainya. Wajah inosen itu malah kelihatan sangat seksi di mata chris.

“I don't want the taste of your lips to change because of that fucking cigarettes.” Bisiknya sebelum menarik hyunjin ke dalam ciuman lembut. Bibir hyunjin yang awalnya mengerucut itu langsung spontan tersenyum saat benda kenyal tersebut memanjakan bibirnya.

“Tapi kau harus janji untuk menggantinya dengan sesuatu yang lebih mewah, rokok yang barusan kau buang itu dibandrol harga mencapai milyaran tau.”

Chris tertawa renyah diantara angin malam, kedua tubuh mereka semakin dirapatkan. Wajah chris mengikis jarak diantara mereka sambil mengagumi cantiknya wajah hyunjin.

“Aku selalu memberikanmu semua, sugar. Apapun yang kau minta.”

Senyuman lucu hyunjin tampilkan. Tangannya mengalung di leher chris, membawa wajah pucat itu mendekat dan menciumnya lagi.

“Bagaimana mayatnya? Dimana kau letakkan?”

Chris menoleh ke pintu kamar yang terhubung langsung ke balkon luar kamar ini, di dalam sana gelap dengan bau anyir yang samar, tentu saja chris sudah membereskan semua sebelum bisa berduaan dengan hyunjin di sini.

“Aku meletakkan mayatnya di gudang bawah tanah. Uang sudah ku transfer sebagian ke rekening kita, sebagian ke panti-panti dengan nama samaran kita.”

Hyunjin mengangguk paham, kemudian tersenyum kecil. Dendamnya terbalas. Membunuh memang semenyenangkan itu menurut hyunjin. Tapi hyunjin tidak sembarang membunuh, tidak mungkin dirinya selalu mengotori tangan dengan darah-darah dari penjahat terselubung itu.

Mereka berdua menetapkan kategori tersendiri apakah orang tersebut pantas dibunuh atau tidak.

“Apakah polisi akan mencari kita lagi?” Tanya hyunjin, walaupun sudah terprediksi, dirinya hanya ingin basa-basi dengan chris.

“Tentu saja. Bahkan yang berhasil menemukan kita akan mendapat reward yang sangat besar.”

“Ingat, hun. Kita diburu untuk dibunuh.”

.

Hyunjin menjilat permen tangkainya sambil bersandar di mobil mereka, menanti chris yang sedang membeli cemilan untuk perjalanan mereka berdua.

Televisi di tempat pengisian bahan bakar menampilkan berita lagi. Berita yang tentu saja tidak asing, yaitu pembunuhan seorang konglomerat, lagi.

Tak terbesit pun rasa takut di dalam diri hyunjin, padahal dirinya dan sang kekasih lah pelaku dari kejahatan tersebut. Eh? Membunuh orang jahat tidak dilarang dong.

Dari jauh orang beramai-ramai melihat berita di televisi itu yang sedang membicarakan riwayat hidup konglomerat tersebut sebelum mereka kaget saat polisi membongkar kasus-kasus kejahatannya yang terselubung.

Hyunjin dibalik kacamata hitamnya tersenyum manis, kekehan kecil keluar dari mulutnya.

Sudah kebiasaan matanya melirik sekitar. Entah mengapa, dirinya merasa diawasi.

Tepat di depannya, hyunjin menangkap sosok lelaki. Tampan hyunjin akui. Tubuh tinggi dengan helm hitam dan balutan ripped jeans.

Sialan. Baru kali ini hyunjin memusatkan perhatian pada seorang lelaki selain kekasihnya, karena menurut hyunjin, tidak ada seorang pun yang mempunyai aura seperti chris.

Lelaki itu juga memandang hyunjin dari jauh, bergeming, sama seperti hyunjin. Sayangnya mereka tidak bisa mengenali wajah satu sama lain karena dirinya yang memakai kacamata hitam dan lelaki itu memakai helmnya, namun hyunjin tak cukup bodoh untuk mengetahui fakta kalau lelaki itu sempat memperhatikannya.

“Kau melihat siapa?”

Spontan matanya tertutup erat bersamaan dengan mulutnya. Hyunjin mendengus kesal di hadapan chris yang menenteng sekantong kudapan untuk mereka berdua.

“Kau menganggu acaraku, chris.”

Chris hanya menatap heran kepada kekasihnya yang terlihat sebal kepadanya. Kemudian menarik tangan hyunjin mendekat dan mengecup leher hyunjin,

“A- ah!”

Dan tentu saja sedikit menggigitnya.

“Apa aku belum cukup seksi di matamu?”

Tidak ada angin, tidak ada hujan. Tiba-tiba saja chris berbicara seperti itu, wajar saja kan kalau pipi hyunjin bersemu saat itu juga?

Jangan lupakan bahwa mereka masih berada di luar, dan belum masuk ke dalam mobil.

“Hun? I need an answer.”

“Yes, yes, yes, you're fucking sexy and hot okay!”

Hyunjin kalah telak dan masuk ke dalam mobil sambil membanting pintu dengan rasa malu yang luar biasa.

Memang tidak ada yang bisa menandingi pesona chris, begitu menurut pandangan hyunjin.

Tapi tetap saja dirinya penasaran dengan lelaki itu.

“Jangan pernah jauh dariku, hun. Aku tau kau melihatnya tadi.”

Kepala chris tertoleh, “kita tidak tau siapa dia, kita hanya bisa mempercayai satu sama lain kan?”

Mata hyunjin memandang meminta kepastian. Tapi benar, tidak ada yang bisa dirinya percayai selain chris.

Terkadang hyunjin juga kesepian dan ingin mengenal orang lain.

.

Mereka telah sampai di pinggiran kota. Tempat yang begitu rawan akan kejahatan dan begitu berbahaya tentunya.

Target hyunjin dan chris selanjutnya berada disini. Kali ini mereka ditugaskan membunuh seseorang agar mendapat bayaran yang begitu besar. Setelah mencari-cari informasi tentang targetnya, chris dan hyunjin sepakat untuk melancarkan aksi mereka.

“Tetap berada di dekatku, hun. Demi tuhan, tempat ini sangat berbahaya.” Bisik chris tepat di telinga hyunjin sambil membawa pinggang ramping kekasihnya merapat. Merengkuh hyunjin seperti takut kehilangan.

Hyunjin mengeluh. Chris seperti meremehkan kemampuan nya dalam melindungi diri. Untuk apa dia terampil menggunakan senjata? Untuk apa chris mengajarinya bela diri?

Detik berikutnya, hyunjin melepaskan  cengkraman tangan chris dari pinggangnya, “kau seperti tidak percaya padaku,”

Kedua kaki itu terdiam. Kemudian menatap hyunjin mengernyit, heran dengan sikap hyunjin yang mendadak berubah menurutnya.

“Hei, aku hanya-”

“Sudahalah. Kita berpencar saja.” Final hyunjin, “akan lebih mudah bukan menemukan target kita kalau begitu?” Timpalnya lagi. Padahal dirinya hanya ingin memisahkan diri dan berpaling untuk sebentar. Entah kenapa emosi sedikit menguasai dirinya sekarang akibat perkataan singkat chris.

Anggaplah hyunjin sensitif, ya mau bagaimana lagi?

Pada akhirnya lelaki pucat itu mengalah, membiarkan hyunjin untuk jauh darinya walaupun perasaan tidak enak semakin menghampiri seiring dengan jauhnya langkah hyunjin.

Chris ingin egois, tapi lebih memilih mengalah. Setidaknya untuk kali ini.

Sementara hyunjin tetap berjalan ke depan tanpa menoleh kebelakang. Terlalu malas untuk melihat kekasihnya. Mereka memang sering bertengkar, tapi pada akhirnya akan kembali lagi seperti semua. Lagi pun, bertengkar dalam hubungan itu merupakan sesuatu yang wajar bukan?

Tapi belakangan ini hyunjin sedikit lelah. Entah apa yang membuatnya lelah, padahal segala keluh kesah telag dia lontarkan semua kepada chris.

Entahlah, lelah dengan kehidupannya mungkin? Yang tak pernah tenang dan selalu dihantui. Hyunjin sepenuhnya sadar kalau hal tersebut merupakan konsekuensi nya sebagai seorang pembunuh. Sulit untuk berhenti, hyunjin tidak bisa keluar dari lingkaran sesat itu. Tetapi semakin dilakukan, semakin tertekan batinnya. Kepuasan yang menhampirinya hanyalah sesaat.

Sibuk dengan pemikirannya sendiri, hyunjin tak sengaja menabrak seseorang tepat di depannya.

“Ah,”

“Maaf, maaf, aku tidak lihat-lihat tadi.”

“Kau yang di tempat pengisian bahan bakar itu, bukan?”

Mata hyunjin mengerjap, kemudian menatap rinci lelaki yang berbalut jaket kulit dan celana ripped jeans di depannya.

Celana yang sama. Matanya kembali menelisik lelaki dengan rambut merah muda itu. Senyumnya menawan, seperti mengingatkan hyunjin kepada seseorang.

“Ah, dirimu, yang mengenakan helm?”

“Kau benar.” Ucapnya sambil tersenyum. Untuk sesaat hyunjin jadi ikut tersenyum dibuatnya. “Apa yang kau lakukan di sini?”

“Aku?” Hyunjin menunjuk dirinya sendiri dan ditanggapi oleh lelaki berambut merah muda itu, “hanya berjalan-jalan...”

“Jeongin, panggil saja jeongin.”

Bibir hyunjin mendadak katup. Jantungnya mendadak berdegup lebih cepat daripada tadi. Saliva nya ditelan kasar.

“Apa?” Kaki hyunjin melangkah mundur sedikit.

Jeongin hanya tertawa sinis, menatap hyunjin yang sedikit ketakutan karenanya, “sudah ingat? Wah, sayang, cepat sekali kau melupakanku.”

“Jangan-jangan kau juga melupakan malam-malam panas yang pernah kita lakukan, hm?”

Harusnya hyunjin mendengarkan perkataan chris untuk tidak jauh darinya. Harusnya hyunjin mengikuti perkataan chris, bukannya malah egois dan pergi.

Tangannya dengan sigap memgeluarkan sebuah pistol, tetapi kalah cepat dengan jeongin yang sudah menembaknya.

Bukan peluru, melainkan sebuah benda berukuran kecil mirip dengan jarum suntik.

Setelahnya, hyunjin kehilangan kesadaran.

.

Chris memakai topi hitam miliknya, sembari meminum sekaleng soda. Targetnya berada di depan mata dan chris sedang mengamatinya.

Ponselnya tergeletak tepat di samping, dengan layar yang mendial nomor hyunjin berkali-kali, namun tak ada jawaban.

“Ayolah, hyunjin. Kau dimana?” Gumamnya pelan. Jemari pemuda itu sedari tadi mengetuk-ngetuk permukaan meja untuk meredakan rasa gugup yang tak kunjung hilang.

Sekarang chris bimbang, antara menjalankan misinya dahulu, atau mencari partner dari misinya dahulu?

Untuk ke dua puluh tiga kalinya, panggilan chris tidak terjawab. Matanya hanya bisa menatap layar tersebut khawatir.

Mungkin tunggu sebentar lagi.

.

“Kau mau apa?”

Napas hyunjin memburu, sementara jeongin di hadapannya cuma bermondar-mandir dengan wajah datar nan tenangnya. Hyunjin tidak bisa menebak ekspresi wajah lelaki itu, apa yang ada di otak lelaki itu, tidak ada satu pun yang bisa menebak.

Lelaki yang bernotabene mantan kekasih dari hyunjin itu tiba-tiba saja tersenyum senang.

“Hahh...aku hanya ingin mengajukan pemawaran.” Ucap jeongin, langkahnya tepat berhenti di hadapan hyunjin yang sedang terikat di sebuah kursi.

Kepalanya turun, mensejajarkan dengan kepala hyunjin, tangannya terulur menyentuh dagu hyunjin dan menatap wajahnya.

Masih menarik dan indah untuk dipandang, dari dulu. Sekelibat pikiran kotor menghantui pikiran jeongin membuatnya bibirnya menyungging.

“Ayo kembali seperti dulu, hyunjin. Maka kau bebas, tidak perlu seperti ini. Kau akan hidup senang bersamaku.”

“Kau gila,” tatapannya berpaling, enggan menatap jeongin. “Aku tidak akan sudi kembali padamu.”

Rahang jeongin mengeras mendengarkan penuturan hyunjin, namun tetap menampilkan senyum terbaiknya.

“Apa kau tidak merindukan sentuhanku?”

“Sialan, jeongin. Jangan berbicara hal itu!”

Hyunjin berteriak tepat di hadapan jeongin, matanya tertutup erat berusaha menjauhi memori buruk yang kembali datang.

“Sudahlah, aku menawarimu hidup senang, kau hanya perlu terbaring dengan lemah dan senang hati di bawahku, hwang.”

“Keparat!–”

Plak!

Suara tamparan itu menggema di ruangan tersebut, sangking kerasnya suara pukulan.

Satu tetes air mata lolos dari hyunjin. Pipi kanannya panas, kepalanya juga pusing akibat tamparan dari jeongin.

Hyunjin mendadak lemah, semua tentang cara melindungi diri sendiri mendadak tak bisa dia gunakan.

Dirinya lemah kalau sudah diungkit tentang masa lalunya.

Masa lalunya yang begitu buruk, direndahkan, dicaci maki, dibuang, dipakai oleh orang. Pernah mencitai seseorang, tetapi mereka semua hanya memanfaatkannya tubuhnya untuk mencari kepuasan.

Hyunjin lelah, sebelum akhirnya chris datang kedalam lembar hidupnya. Merobek semua cerita menyakitkan dan menulis lembaran baru dengan cerita yang lebih indah.

“Jangan, jeongin, ku mohon...” lirihnya. Dengan suara serak bercampur isakan, memohon jeongin untuk menghentikan aksinya.

Sampai kancing kemeja nya makin terbuka kebawah, hyunjin kembali memberontak.

Satu tamparan lagi di dapat, sudut bibirnya berdarah.

“Dengar ya sialan.” Jemari jeongin mengcengkram erat rahang hyunjin yang membiru, kuku-kukunya menancap di kulit putih hyunjin membuatnya meringis, “aku tidak akan sudi melepasmu, setidaknya kau harus mati di tanganku.”

“Kalau begitu bunuh! Bunuh saja aku!”

Lebih baik dirinya mati. Ya, ya, mati adalah hal yang paling diinginkannya dari dulu.

Tetapi jeongin tidak akan langsung membunuh hyunjin, chris harus tau kalau hyunjin pernah menjadi miliknya, kalau hyunjin tidak sebaik yang lelaki itu kira. Ketika chris melepas hyunjin, maka kesepatan tersebut akan diambilnya.

Kembali memiliki hyunjin.

Hyunjin terisak dalam diam. Perutnya seperti terasa ditekan oleh benda tajam. Sementara jeongin, bermain di bibirnya, memaksa hyunjin membuka mulutnya.

Benda tajam itu semakin menekan perutnya membuat hyunjin makin terisak, tangan jeongin menggerayangi tubuhnya, membuatnya merasa kotor.

Dirinya kotor, dirinya tak pantas untuk chris, bagaimana kalau chris tau? Bagaimana kalau chris mencampakkannya?

Kenapa untuk mati saja rasanya sesulit ini.

Dor!

Matanya membulat. Cipratan darah mengenai tubuhnya yang tak terbalut apa pun, sementara sebagian mengenai wajahnya.

Bibirnya bergetar hebat saat chris jalan mendekat sambil menatap hyunjin dengan pandangan sulit diartikan.

Chris masih bungkam segera mengambil kemeja milik hyunjin dan memakaikannya, jeongin yang tertembak tepat di jantung chris singkirkan dari tubuh hyunjin.

Diamnya chris memunculkan beribu kemungkinan di otak hyunjin. Dirinya harus siap jikalau setelah ini chris menjauh darinya dan menghilang.

“Jangan pernah jauh dariku lagi...” chris berbisik di telinga hyunjin, setelah melepaskan ikatan di tangan dan kaki hyunjin, lelaki itu merengkuh hyunjin ke dalam pelukannya.

“Aku tidak siap kehilanganmu, sampai kapan pun tidak akan siap.” Ucapnya dengan nada bergetar. Chris takut, telat sedikit saja maka permatanya akan dikotori oleh tangan jeongin.

Hyunjin meraung hebat di bahu chris.    Dirinya merasa tak pantas mendapatkan chris di sisinya. Perasaan bersalah kembali menghantuinya,

“Chris, aku tidak sebaik yang kau kira, a- aku,”

“Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidupmu.”

Tangan besar chris menyentuh pipi hyunjin yang membiru, mengusapnya pelan dan hati-hati dengan senyuman tipis, “aku tidak peduli masa lalumu, kau sangat berharga untukku, hyunjin. Kita lewati ini semua bersama ya?”

Lagi-lagi hyunjin merasa tak pantas, tetapi bersyukur kalau dirinya diberi kesempatan untuk mencintai dan dicintai. Memilih chris diantara sekelibat orang bukanlah pilihan yang salah.

Hanya chris, orang yang merangkul hyunjin disaat titik terendahnya, chris yang menemukan hyunjin disaat hyunjin hampir melompat gedung waktu itu.

Dia yang selalu ada. Walau pun mereka dijauhi semua orang, mereka punya satu sama lain.

Dor!

Dor!

Dor!

“Kami menemukan mereka!”

.

“Dua orang pembunuh yang sudah tiga tahun diburu akhirnya ditemukan.”

“Polisi menemukan mereka di pinggiran kota,”

“Keduanya mati di tempat, dari informasi yang kami dapatkan, mereka merupakan sepasang kekasih.”

“Polisi melacak rekening mereka, uang dari hasil dari pembunuhan mereka salurkan kepada panti-panti dan pengemis jalanan dengan nama samaran 'Diamonds' “

“Seperti di cerita fiktif, mereka dianggap jahat, padahal tidak sepenuhnya jahat.”

Jempol lelaki itu mematikan televisi yang menampilkan berita-berita yang tengah heboh saat ini. Lenguhan prihatin keluar dari mulutnya.

“Kenapa?” Tanya seorang lelaki lain yang baru muncul dari dapur sambil membawa dua cangkir coklat hangat.

“Tidak, kasihan mereka. Kita belum sempat bertemu dengan mereka.” Lelaki dengan rambut hitam legam itu mengecup kilas pipi kekasihnya.

“Kau harus banyak makan, felix. Pipimu sangat tirus.”

“Tapi aku tetap manis kan changbin?” Ujar felix dengan senyum manisnya membuat changbin gemas.

“Tidak, kau jelek. Jadi jangan pernah pergi ke lelaki mana pun.” Ujar changbin membuat felix mengerucut sebal. Cepat-cepat coklat panasnya dihabiskan, kemudian mengambil sebuah senjata dibawah sofa apartemen mereka.

“Padahal, kita dan mereka bisa menjadi teman baik kurasa.” Ujar felix sambil mengganjal sebuah pisau lipat di pahanya.

Changbin mengangguk, kemudian membawa felix ikut berdiri sebelum mereka merencanakan aksi mereka malam ini.

Tidak seluruh dunia tau bahwa felix dan changbin ada, mereka hanya tau Diamonds.

Bedanya, changbin dan felix tidak menjadikan pekerjaan mereka sebagai penghasilan utama. Mereka hanya bekerja di waktu-waktu tertentu dan tidak untuk sembarang orang.

Yahh, setidaknya felix dan changbin harus menyambung apa yang belum chris dan hyunjin selesaikan.

Kebetulan mereka mempunyai target yang sama.

Chan x Hyunjin Oneshoot

ㅡ Wild and free

Siapa yang bakal mengira kalau menikmati angin malam bisa seenak ini? Apalagi ditambah dengan rokok yang terselip di bibir.

Hyunjin menghembuskan kepulan asap rokok itu dari mulutnya, membiarkan asap itu terbawa oleh angin dan menerpa wajahnya.

Hah, sungguh hidup yang sangat nikmat.

“Berhentilah menggunakan benda sialan itu, hun.”

Bibirnya mengerucut sebal tatkala mendengar suara familiar itu menyapa indra pendengarannya. Terkadang membuatnya rindu, tetapi juga jengkel disaat yang bersamaan.

Matanya melirik tajam kesamping, lelaki berambut pirang dengan sentuhan warna coklat itu hanya memandang datar ke arah wajahnya, dengan tangan yang sudah sibuk meremat pinggangnya mendekat.

“Ayolah chris, kau tau kan kalau aku susah untuk mendapat rokok ini? Aku harus membunuh seorang konglomerat dulu!”

Kalau saja tidak sesulit itu, hyunjin tidak akan merasa sebal kepada kekasihnya sekarang. Dia memang suka dengan benda yang dapat merusak paru-paru ini, hanya saja tidak semua rasa dipakainya.

Tetapi kali ini berbeda, it's taste like a strawberry.

Chris kemudian tersenyum kecil ketika hyunjin menatapnya sebal. Wajah kesal hyunjin memang selalu bisa menarik perhatiannya. Ah, memang semua yang ada di hyunjin menarik perhatian chris.

Rokok yang tersisa setengah namun masih menempel di kedua belah bibir penuh hyunjin, chris ambil, kemudian membuangnya kebawah. Kebetulan mereka berada di lantai dua sekarang.

Siap-siap hyunjin yang tidak akan memberinya jatah nanti.

“Kau tau kenapa aku melarangmu, hun?” Tanya chris yang entah kenapa suaranya membuat hyunjin begitu candu.

Sangat candu, sampai-sampai hyunjin sangat menyukai suara bariton yang begitu berwibawa membawa berkeliling imajinasinya.

Hyunjin lantas menggeleng pelan. Mendadak menjadi anak kecil yang polos di hadapan chris yang sayangnya chris begitu menyukainya. Wajah inosen itu malah kelihatan sangat seksi di mata chris.

“I don't want the taste of your lips to change because of that fucking cigarettes.” Bisiknya sebelum menarik hyunjin ke dalam ciuman lembut. Bibir hyunjin yang awalnya mengerucut itu langsung spontan tersenyum saat benda kenyal tersebut memanjakan bibirnya.

“Tapi kau harus janji untuk menggantinya dengan sesuatu yang lebih mewah, rokok yang barusan kau buang itu dibandrol harga mencapai milyaran tau.”

Chris tertawa renyah diantara angin malam, kedua tubuh mereka semakin dirapatkan. Wajah chris mengikis jarak diantara mereka sambil mengagumi cantiknya wajah hyunjin.

“Aku selalu memberikanmu semua, sugar. Apapun yang kau minta.”

Senyuman lucu hyunjin tampilkan. Tangannya mengalung di leher chris, membawa wajah pucat itu mendekat dan menciumnya lagi.

“Bagaimana mayatnya? Dimana kau letakkan?”

Chris menoleh ke pintu kamar yang terhubung langsung ke balkon luar kamar ini, di dalam sana gelap dengan bau anyir yang samar, tentu saja chris sudah membereskan semua sebelum bisa berduaan dengan hyunjin di sini.

“Aku meletakkan mayatnya di gudang bawah tanah. Uang sudah ku transfer sebagian ke rekening kita, sebagian ke panti-panti dengan nama samaran kita.”

Hyunjin mengangguk paham, kemudian tersenyum kecil. Dendamnya terbalas. Membunuh memang semenyenangkan itu menurut hyunjin. Tapi hyunjin tidak sembarang membunuh, tidak mungkin dirinya selalu mengotori tangan dengan darah-darah dari penjahat terselubung itu.

Mereka berdua menetapkan kategori tersendiri apakah orang tersebut pantas dibunuh atau tidak.

“Apakah polisi akan mencari kita lagi?” Tanya hyunjin, walaupun sudah terprediksi, dirinya hanya ingin basa-basi dengan chris.

“Tentu saja. Bahkan yang berhasil menemukan kita akan mendapat reward yang sangat besar.”

“Ingat, hun. Kita diburu untuk dibunuh.”

.

Hyunjin menjilat permen tangkainya sambil bersandar di mobil mereka, menanti chris yang sedang membeli cemilan untuk perjalanan mereka berdua.

Televisi di tempat pengisian bahan bakar menampilkan berita lagi. Berita yang tentu saja tidak asing, yaitu pembunuhan seorang konglomerat, lagi.

Tak terbesit pun rasa takut di dalam diri hyunjin, padahal dirinya dan sang kekasih lah pelaku dari kejahatan tersebut. Eh? Membunuh orang jahat tidak dilarang dong.

Dari jauh orang beramai-ramai melihat berita di televisi itu yang sedang membicarakan riwayat hidup konglomerat tersebut sebelum mereka kaget saat polisi membongkar kasus-kasus kejahatannya yang terselubung.

Hyunjin dibalik kacamata hitamnya tersenyum manis, kekehan kecil keluar dari mulutnya.

Sudah kebiasaan matanya melirik sekitar. Entah mengapa, dirinya merasa diawasi.

Tepat di depannya, hyunjin menangkap sosok lelaki. Tampan hyunjin akui. Tubuh tinggi dengan helm hitam dan balutan ripped jeans.

Sialan. Baru kali ini hyunjin memusatkan perhatian pada seorang lelaki selain kekasihnya, karena menurut hyunjin, tidak ada seorang pun yang mempunyai aura seperti chris.

Lelaki itu juga memandang hyunjin dari jauh, bergeming, sama seperti hyunjin. Sayangnya mereka tidak bisa mengenali wajah satu sama lain karena dirinya yang memakai kacamata hitam dan lelaki itu memakai helmnya, namun hyunjin tak cukup bodoh untuk mengetahui fakta kalau lelaki itu sempat memperhatikannya.

“Kau melihat siapa?”

Spontan matanya tertutup erat bersamaan dengan mulutnya. Hyunjin mendengus kesal di hadapan chris yang menenteng sekantong kudapan untuk mereka berdua.

“Kau menganggu acaraku, chris.”

Chris hanya menatap heran kepada kekasihnya yang terlihat sebal kepadanya. Kemudian menarik tangan hyunjin mendekat dan mengecup leher hyunjin,

“A- ah!”

Dan tentu saja sedikit menggigitnya.

“Apa aku belum cukup seksi di matamu?”

Tidak ada angin, tidak ada hujan. Tiba-tiba saja chris berbicara seperti itu, wajar saja kan kalau pipi hyunjin bersemu saat itu juga?

Jangan lupakan bahwa mereka masih berada di luar, dan belum masuk ke dalam mobil.

“Hun? I need an answer.”

“Yes, yes, yes, you're fucking sexy and hot okay!”

Hyunjin kalah telak dan masuk ke dalam mobil sambil membanting pintu dengan rasa malu yang luar biasa.

Memang tidak ada yang bisa menandingi pesona chris, begitu menurut pandangan hyunjin.

Tapi tetap saja dirinya penasaran dengan lelaki itu.

“Jangan pernah jauh dariku, hun. Aku tau kau melihatnya tadi.”

Kepala chris tertoleh, “kita tidak tau siapa dia, kita hanya bisa mempercayai satu sama lain kan?”

Mata hyunjin memandang meminta kepastian. Tapi benar, tidak ada yang bisa dirinya percayai selain chris.

Terkadang hyunjin juga kesepian dan ingin mengenal orang lain.

.

Mereka telah sampai di pinggiran kota. Tempat yang begitu rawan akan kejahatan dan begitu berbahaya tentunya.

Target hyunjin dan chris selanjutnya berada disini. Kali ini mereka ditugaskan membunuh seseorang agar mendapat bayaran yang begitu besar. Setelah mencari-cari informasi tentang targetnya, chris dan hyunjin sepakat untuk melancarkan aksi mereka.

“Tetap berada di dekatku, hun. Demi tuhan, tempat ini sangat berbahaya.” Bisik chris tepat di telinga hyunjin sambil membawa pinggang ramping kekasihnya merapat. Merengkuh hyunjin seperti takut kehilangan.

Hyunjin mengeluh. Chris seperti meremehkan kemampuan nya dalam melindungi diri. Untuk apa dia terampil menggunakan senjata? Untuk apa chris mengajarinya bela diri?

Detik berikutnya, hyunjin melepaskan  cengkraman tangan chris dari pinggangnya, “kau seperti tidak percaya padaku,”

Kedua kaki itu terdiam. Kemudian menatap hyunjin mengernyit, heran dengan sikap hyunjin yang mendadak berubah menurutnya.

“Hei, aku hanya-”

“Sudahalah. Kita berpencar saja.” Final hyunjin, “akan lebih mudah bukan menemukan target kita kalau begitu?” Timpalnya lagi. Padahal dirinya hanya ingin memisahkan diri dan berpaling untuk sebentar. Entah kenapa emosi sedikit menguasai dirinya sekarang akibat perkataan singkat chris.

Anggaplah hyunjin sensitif, ya mau bagaimana lagi?

Pada akhirnya lelaki pucat itu mengalah, membiarkan hyunjin untuk jauh darinya walaupun perasaan tidak enak semakin menghampiri seiring dengan jauhnya langkah hyunjin.

Chris ingin egois, tapi lebih memilih mengalah. Setidaknya untuk kali ini.

Sementara hyunjin tetap berjalan ke depan tanpa menoleh kebelakang. Terlalu malas untuk melihat kekasihnya. Mereka memang sering bertengkar, tapi pada akhirnya akan kembali lagi seperti semua. Lagi pun, bertengkar dalam hubungan itu merupakan sesuatu yang wajar bukan?

Tapi belakangan ini hyunjin sedikit lelah. Entah apa yang membuatnya lelah, padahal segala keluh kesah telag dia lontarkan semua kepada chris.

Entahlah, lelah dengan kehidupannya mungkin? Yang tak pernah tenang dan selalu dihantui. Hyunjin sepenuhnya sadar kalau hal tersebut merupakan konsekuensi nya sebagai seorang pembunuh. Sulit untuk berhenti, hyunjin tidak bisa keluar dari lingkaran sesat itu. Tetapi semakin dilakukan, semakin tertekan batinnya. Kepuasan yang menhampirinya hanyalah sesaat.

Sibuk dengan pemikirannya sendiri, hyunjin tak sengaja menabrak seseorang tepat di depannya.

“Ah,”

“Maaf, maaf, aku tidak lihat-lihat tadi.”

“Kau yang di tempat pengisian bahan bakar itu, bukan?”

Mata hyunjin mengerjap, kemudian menatap rinci lelaki yang berbalut jaket kulit dan celana ripped jeans di depannya.

Celana yang sama. Matanya kembali menelisik lelaki dengan rambut merah muda itu. Senyumnya menawan, seperti mengingatkan hyunjin kepada seseorang.

“Ah, dirimu, yang mengenakan helm?”

“Kau benar.” Ucapnya sambil tersenyum. Untuk sesaat hyunjin jadi ikut tersenyum dibuatnya. “Apa yang kau lakukan di sini?”

“Aku?” Hyunjin menunjuk dirinya sendiri dan ditanggapi oleh lelaki berambut merah muda itu, “hanya berjalan-jalan...”

“Jeongin, panggil saja jeongin.”

Bibir hyunjin mendadak katup. Jantungnya mendadak berdegup lebih cepat daripada tadi. Saliva nya ditelan kasar.

“Apa?” Kaki hyunjin melangkah mundur sedikit.

Jeongin hanya tertawa sinis, menatap hyunjin yang sedikit ketakutan karenanya, “sudah ingat? Wah, sayang, cepat sekali kau melupakanku.”

“Jangan-jangan kau juga melupakan malam-malam panas yang pernah kita lakukan, hm?”

Harusnya hyunjin mendengarkan perkataan chris untuk tidak jauh darinya. Harusnya hyunjin mengikuti perkataan chris, bukannya malah egois dan pergi.

Tangannya dengan sigap memgeluarkan sebuah pistol, tetapi kalah cepat dengan jeongin yang sudah menembaknya.

Bukan peluru, melainkan sebuah benda berukuran kecil mirip dengan jarum suntik.

Setelahnya, hyunjin kehilangan kesadaran.

.

Chris memakai topi hitam miliknya, sembari meminum sekaleng soda. Targetnya berada di depan mata dan chris sedang mengamatinya.

Ponselnya tergeletak tepat di samping, dengan layar yang mendial nomor hyunjin berkali-kali, namun tak ada jawaban.

“Ayolah, hyunjin. Kau dimana?” Gumamnya pelan. Jemari pemuda itu sedari tadi mengetuk-ngetuk permukaan meja untuk meredakan rasa gugup yang tak kunjung hilang.

Sekarang chris bimbang, antara menjalankan misinya dahulu, atau mencari partner dari misinya dahulu?

Untuk ke dua puluh tiga kalinya, panggilan chris tidak terjawab. Matanya hanya bisa menatap layar tersebut khawatir.

Mungkin tunggu sebentar lagi.

.

“Kau mau apa?”

Napas hyunjin memburu, sementara jeongin di hadapannya cuma bermondar-mandir dengan wajah datar nan tenangnya. Hyunjin tidak bisa menebak ekspresi wajah lelaki itu, apa yang ada di otak lelaki itu, tidak ada satu pun yang bisa menebak.

Lelaki yang bernotabene mantan kekasih dari hyunjin itu tiba-tiba saja tersenyum senang.

“Hahh...aku hanya ingin mengajukan pemawaran.” Ucap jeongin, langkahnya tepat berhenti di hadapan hyunjin yang sedang terikat di sebuah kursi.

Kepalanya turun, mensejajarkan dengan kepala hyunjin, tangannya terulur menyentuh dagu hyunjin dan menatap wajahnya.

Masih menarik dan indah untuk dipandang, dari dulu. Sekelibat pikiran kotor menghantui pikiran jeongin membuatnya bibirnya menyungging.

“Ayo kembali seperti dulu, hyunjin. Maka kau bebas, tidak perlu seperti ini. Kau akan hidup senang bersamaku.”

“Kau gila,” tatapannya berpaling, enggan menatap jeongin. “Aku tidak akan sudi kembali padamu.”

Rahang jeongin mengeras mendengarkan penuturan hyunjin, namun tetap menampilkan senyum terbaiknya.

“Apa kau tidak merindukan sentuhanku?”

“Sialan, jeongin. Jangan berbicara hal itu!”

Hyunjin berteriak tepat di hadapan jeongin, matanya tertutup erat berusaha menjauhi memori buruk yang kembali datang.

“Sudahlah, aku menawarimu hidup senang, kau hanya perlu terbaring dengan lemah dan senang hati di bawahku, hwang.”

“Keparat!–”

Plak!

Suara tamparan itu menggema di ruangan tersebut, sangking kerasnya suara pukulan.

Satu tetes air mata lolos dari hyunjin. Pipi kanannya panas, kepalanya juga pusing akibat tamparan dari jeongin.

Hyunjin mendadak lemah, semua tentang cara melindungi diri sendiri mendadak tak bisa dia gunakan.

Dirinya lemah kalau sudah diungkit tentang masa lalunya.

Masa lalunya yang begitu buruk, direndahkan, dicaci maki, dibuang, dipakai oleh orang. Pernah mencitai seseorang, tetapi mereka semua hanya memanfaatkannya tubuhnya untuk mencari kepuasan.

Hyunjin lelah, sebelum akhirnya chris datang kedalam lembar hidupnya. Merobek semua cerita menyakitkan dan menulis lembaran baru dengan cerita yang lebih indah.

“Jangan, jeongin, ku mohon...” lirihnya. Dengan suara serak bercampur isakan, memohon jeongin untuk menghentikan aksinya.

Sampai kancing kemeja nya makin terbuka kebawah, hyunjin kembali memberontak.

Satu tamparan lagi di dapat, sudut bibirnya berdarah.

“Dengar ya sialan.” Jemari jeongin mengcengkram erat rahang hyunjin yang membiru, kuku-kukunya menancap di kulit putih hyunjin membuatnya meringis, “aku tidak akan sudi melepasmu, setidaknya kau harus mati di tanganku.”

“Kalau begitu bunuh! Bunuh saja aku!”

Lebih baik dirinya mati. Ya, ya, mati adalah hal yang paling diinginkannya dari dulu.

Tetapi jeongin tidak akan langsung membunuh hyunjin, chris harus tau kalau hyunjin pernah menjadi miliknya, kalau hyunjin tidak sebaik yang lelaki itu kira. Ketika chris melepas hyunjin, maka kesepatan tersebut akan diambilnya.

Kembali memiliki hyunjin.

Hyunjin terisak dalam diam. Perutnya seperti terasa ditekan oleh benda tajam. Sementara jeongin, bermain di bibirnya, memaksa hyunjin membuka mulutnya.

Benda tajam itu semakin menekan perutnya membuat hyunjin makin terisak, tangan jeongin menggerayangi tubuhnya, membuatnya merasa kotor.

Dirinya kotor, dirinya tak pantas untuk chris, bagaimana kalau chris tau? Bagaimana kalau chris mencampakkannya?

Kenapa untuk mati saja rasanya sesulit ini.

Dor!

Matanya membulat. Cipratan darah mengenai tubuhnya yang tak terbalut apa pun, sementara sebagian mengenai wajahnya.

Bibirnya bergetar hebat saat chris jalan mendekat sambil menatap hyunjin dengan pandangan sulit diartikan.

Chris masih bungkam segera mengambil kemeja milik hyunjin dan memakaikannya, jeongin yang tertembak tepat di jantung chris singkirkan dari tubuh hyunjin.

Diamnya chris memunculkan beribu kemungkinan di otak hyunjin. Dirinya harus siap jikalau setelah ini chris menjauh darinya dan menghilang.

“Jangan pernah jauh dariku lagi...” chris berbisik di telinga hyunjin, setelah melepaskan ikatan di tangan dan kaki hyunjin, lelaki itu merengkuh hyunjin ke dalam pelukannya.

“Aku tidak siap kehilanganmu, sampai kapan pun tidak akan siap.” Ucapnya dengan nada bergetar. Chris takut, telat sedikit saja maka permatanya akan dikotori oleh tangan jeongin.

Hyunjin meraung hebat di bahu chris.    Dirinya merasa tak pantas mendapatkan chris di sisinya. Perasaan bersalah kembali menghantuinya,

“Chris, aku tidak sebaik yang kau kira, a- aku,”

“Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidupmu.”

Tangan besar chris menyentuh pipi hyunjin yang membiru, mengusapnya pelan dan hati-hati dengan senyuman tipis, “aku tidak peduli masa lalumu, kau sangat berharga untukku, hyunjin. Kita lewati ini semua bersama ya?”

Lagi-lagi hyunjin merasa tak pantas, tetapi bersyukur kalau dirinya diberi kesempatan untuk mencintai dan dicintai. Memilih chris diantara sekelibat orang bukanlah pilihan yang salah.

Hanya chris, orang yang merangkul hyunjin disaat titik terendahnya, chris yang menemukan hyunjin disaat hyunjin hampir melompat gedung waktu itu.

Dia yang selalu ada. Walau pun mereka dijauhi semua orang, mereka punya satu sama lain.

Dor!

Dor!

Dor!

“Kami menemukan mereka!”

.

“Dua orang pembunuh yang sudah tiga tahun diburu akhirnya ditemukan.”

“Polisi menemukan mereka di pinggiran kota,”

“Keduanya mati di tempat, dari informasi yang kami dapatkan, mereka merupakan sepasang kekasih.”

“Polisi melacak rekening mereka, uang dari hasil dari pembunuhan mereka salurkan kepada panti-panti dan pengemis jalanan dengan nama samaran 'Diamonds' “

“Seperti di cerita fiktif, mereka dianggap jahat, padahal tidak sepenuhnya jahat.”

Jempol lelaki itu mematikan televisi yang menampilkan berita-berita yang tengah heboh saat ini. Lenguhan prihatin keluar dari mulutnya.

“Kenapa?” Tanya seorang lelaki lain yang baru muncul dari dapur sambil membawa dua cangkir coklat hangat.

“Tidak, kasihan mereka. Kita belum sempat bertemu dengan mereka.” Lelaki dengan rambut hitam legam itu mengecup kilas pipi kekasihnya.

“Kau harus banyak makan, felix. Pipimu sangat tirus.”

“Tapi aku tetap manis kan changbin?” Ujar felix dengan senyum manisnya membuat changbin gemas.

“Tidak, kau jelek. Jadi jangan pernah pergi ke lelaki mana pun.” Ujar changbin membuat felix mengerucut sebal. Cepat-cepat coklat panasnya dihabiskan, kemudian mengambil sebuah senjata dibawah sofa apartemen mereka.

“Padahal, kita dan mereka bisa menjadi teman baik kurasa.” Ujar felix sambil mengganjal sebuah pisau lipat di pahanya.

Changbin mengangguk, kemudian membawa felix ikut berdiri sebelum mereka merencanakan aksi mereka malam ini.

Tidak seluruh dunia tau bahwa felix dan changbin ada, mereka hanya tau Diamonds.

Bedanya, changbin dan felix tidak menjadikan pekerjaan mereka sebagai penghasilan utama. Mereka hanya bekerja di waktu-waktu tertentu dan tidak untuk sembarang orang.

Yahh, setidaknya felix dan changbin harus menyambung apa yang belum chris dan hyunjin selesaikan.

Kebetulan mereka mempunyai target yang sama.

Mata mereka bertemu dalam satu garis pandang.

Minho masih mempertahankan posisinya di bingkai pintu, sementara hyunjin menyampirkan rambutnya ke belakang telinga dengan satu alis naik.

“Sini.”

Pun kemudian tungkai minho melangkah juga. Dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku training guna menghilangkan rasa asing yang begitu membuncah di dada kala hyunjin menatapnya tanpa perlawanan.

Ia seperti anak kucing yang begitu lugu, kecil, dan tak berdaya. Ia sendiri bingung apa yang menyebabkan lelaki manis satu ini mengubah ekspresinya yang biasa sedikit angkuh menjadi lebih lembut.

“Ada apa?” Pertanyaan retoris terlempar dari mulut minho.

Hyunjin terkekeh geli, “kamu bilang kita harus latihan untuk pernikahan palsu ini?”

“Lantas?”

“Aku hanya memberikan penawaran.”

Kulum bibir bawah sendiri, “namun kita tidak berada di luar kawasan rumah.”

“Apakah hal itu berlaku untuk di luar kawasan rumah saja?” Hyunjin bertanya, “ah, baik. Kalau begitu mari membicarakan sesuatu.”

Hyunjin menepuk-nepuk ruang kosong di sampingnya. Mengode minho supaya duduk di sana. Untung yang tua paham lantas duduk, namun tak menatap hyunjin melainkan lurus ke pintu.

“Kenapa kamu setuju dengan pernikahan ini?” Hyunjin bertanya dan melirik minho dari ujung matanya. Air wajah lelaki itu tak berubah, namun satu tarikan napas disertai hembusan kecil mengalun di telinga hyunjin.

“Bisnis.”

Hyunjin menoleh, ubah sedikit posisi duduknya, “kamu tidak mencintaiku?”

Mencitainya?

Untuk apa mencintainya?

Lelaki dengan mata kucing itu menyugar rambut kadrunya. Suasana sunyi memberikan euforia aneh di sekitar mereka. Dengan jarak yang terbilang sejauh beberapa jari, jangan salahkan minho kalau otaknya sudah melayang nun jauh di sana.

Sempat takut, tapi ia tatap balik sang lawan bicara. Kepalanya sedikit miring seiring dengan tarikan senyum di bibir, “untuk apa aku melakukannya jika kamu tidak akan melakukan hal yang sama?”

Hyunjin membalas senyum lelaki itu, “aku bisa mengikuti alurnya.” Jemari lentik si pirang mengusap rahang minho. Jempolnya ia himpit dengan telunjuk agar wajah minho menatapnya.

Pandangan mereka bertemu untuk kali kedua. Bedanya hanya pada jarak yang semakin dekat, “apa?” Minho bertanya kepada hyunjin yang masih mempertahankan senyumnya.

“Kamu mencintaiku.”

“Darimana kamu bisa menyimpulkan hal tersebut?”

“Tatapanmu.”

Terdiam lagi.

Tangan minho menjalar untuk singkirkan tangan hyunjin dari dagunya. Bisa saja minho sekarang mendorong hyunjin dan mengukungnya dari atas. Mengecupi ceri merah tebal hasil pahatan tuhan itu. Membuka semua pakaiannya hingga memperlihatkan tiap lekuk tubuh indah si cantikㅡ

Tidak, minho tidak melakukan itu.

“Hyunjin,” suaranya memelan, berat, dan menuntut. “Kamu sendiri yang bilang, kalau harus tau batasan di antara kita.”

“Kenapa kamu melakukan ini, hm?”

Ia ingin sebuah jawaban. Karena sedalam apa pun ia mencintai hyunjin. Semua orang tau kalau ia berbahaya.

“Berbahaya” dalam tanda kutip. Terlahir di keluarga yang dipandang tinggi oleh orang-orang tak membuat mereka memiliki sifat yang baik.

Minho yakin, hyunjin punya tujuan. Pernikahan, bisnis, dan segala kepalsuan iniㅡ hyunjin tak peduli akan hal itu.

Ada hal lain, tapi minho tak tau itu apa.

Ia ingin jawaban yang jujur.

“Aku mau membuang kata 'palsu' dari status pernikahan kita.”

Bohong.

Ia berbohong walaupun senyumnya seindah malaikat. Tak berdosa, padahal dia menyembunyikan pisau yang sangat tajam untuk membunuh minho. Cantik, namun berduri dan menyakitkan.

Tak butuh waktu lama setelah pengakuan itu berlangsung. Minho menarik rahang yang muda mendekat guna meraih bibir mengkilap si manis.

Cuma kecupan kecil namun penuh keintiman di dalamnya. Sebelum hyunjin membuka rongga mulutnya, figur minho mundur.

Hyunjin menatap matanya. Berbeda. Mata itu penuh kabut, terbakar nafsu, namun mati-matian ditahan. Rasanya hyunjin sesak padahal yang lebih tau adalah minho.

Namun hyunjin paham. Minho mau dirinya. Mau hyunjin, kan? Untuk menemaninya sepanjang malam ini. Entah intuisi darimana, namun hyunjin mendekati si rambut coklat untuk kembali mengecup bibirnya.

“Aku butuh bukti.”

“Apa?” Hyunjin bertanya.

“Aku butuh bukti kalau kamu bersungguh-sungguh.” Minho sedikit menjilat bibir bawahnya. “Bagaimana?”

Kekehan keluar dari mulut hyunjin. Tawa kecil yang begitu cantik sampai-sampai minho ikut tersenyum dibuatnya.

Seperdetik berikutnya, suara resleting dari jaket yang hyunjin kenakan turun perlahan. Namun bukan itu yang jadi masalah, melainkan tatapan lelaki itu yang sangat ingin mendobrak pertahanan minho dengan menaiki paha keras yang tua.

Mau apa?

Apakah hyunjin membaca pikiran minho lewat matanya?

Apakah hyunjin tauㅡ kalau minho sedang mati-matian untuk tidak menyentuhnya?

“Jangan,” suaranya pelan, ada larangan di dalamnya. Hyunjin mengusap lagi rahang minho.

“Jangan ditahan lagi.”

Cih,

Hyunjin sangat ahli dalam membaca apa yang ada di pikirannya.

Mata mereka bertemu dalam satu garis pandang.

Minho masih mempertahankan posisinya di bingkai pintu, sementara hyunjin menyampirkan rambutnya ke belakang telinga dengan satu alis naik.

“Sini.”

Pun kemudian tungkai minho melangkah juga. Dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku training guna menghilangkan rasa asing yang begitu membuncah di dada kala hyunjin menatapnya tanpa perlawanan.

Ia seperti anak kucing yang begitu lugu, kecil, dan tak berdaya. Ia sendiri bingung apa yang menyebabkan lelaki manis satu ini mengubah ekspresinya yang biasa sedikit angkuh menjadi lebih lembut.

“Ada apa?” Pertanyaan retoris terlempar dari mulut minho.

Hyunjin terkekeh geli, “kamu bilang kita harus latihan untuk pernikahan palsu ini?”

“Lantas?”

“Aku hanya memberikan penawaran.”

Kulum bibir bawah sendiri, “namun kita tidak berada di luar kawasan rumah.”

“Apakah hal itu berlaku untuk di luar kawasan rumah saja?” Hyunjin bertanya, “ah, baik. Kalau begitu mari membicarakan sesuatu.”

Hyunjin menepuk-nepuk ruang kosong di sampingnya. Mengode minho supaya duduk di sana. Untung yang tua paham lantas duduk, namun tak menatap hyunjin melainkan lurus ke pintu.

“Kenapa kamu setuju dengan pernikahan ini?” Hyunjin bertanya dan melirik minho dari ujung matanya. Air wajah lelaki itu tak berubah, namun satu tarikan napas disertai hembusan kecil mengalun di telinga hyunjin.

“Bisnis.”

Hyunjin menoleh, ubah sedikit posisi duduknya, “kamu tidak mencintaiku?”

Mencitainya?

Untuk apa mencintainya?

Lelaki dengan mata kucing itu menyugar rambut kadrunya. Suasana sunyi memberikan euforia aneh di sekitar mereka. Dengan jarak yang terbilang sejauh beberapa jari, jangan salahkan minho kalau otaknya sudah melayang nun jauh di sana.

Sempat takut, tapi ia tatap balik sang lawan bicara. Kepalanya sedikit miring seiring dengan tarikan senyum di bibir, “untuk apa aku melakukannya jika kamu tidak akan melakukan hal yang sama?”

Hyunjin membalas senyum lelaki itu, “aku bisa mengikuti alurnya.” Jemari lentik si pirang mengusap rahang minho. Jempolnya ia himpit dengan telunjuk agar wajah minho menatapnya.

Pandangan mereka bertemu untuk kali kedua. Bedanya hanya pada jarak yang semakin dekat, “apa?” Minho bertanya kepada hyunjin yang masih mempertahankan senyumnya.

“Kamu mencintaiku.”

“Darimana kamu bisa menyimpulkan hal tersebut?”

“Tatapanmu.”

Terdiam lagi.

Tangan minho menjalar untuk singkirkan tangan hyunjin dari dagunya. Bisa saja minho sekarang mendorong hyunjin dan mengukungnya dari atas. Mengecupi ceri merah tebal hasil pahatan tuhan itu. Membuka semua pakaiannya hingga memperlihatkan tiap lekuk tubuh indah si cantikㅡ

Tidak, minho tidak melakukan itu.

“Hyunjin,” suaranya memelan, berat, dan menuntut. “Kamu sendiri yang bilang, kalau harus tau batasan di antara kita.”

“Kenapa kamu melakukan ini, hm?”

Ia ingin sebuah jawaban. Karena sedalam apa pun ia mencintai hyunjin. Semua orang tau kalau ia berbahaya.

“Berbahaya” dalam tanda kutip. Terlahir di keluarga yang dipandang tinggi oleh orang-orang tak membuat mereka memiliki sifat yang baik.

Minho yakin, hyunjin punya tujuan. Pernikahan, bisnis, dan segala kepalsuan iniㅡ hyunjin tak peduli akan hal itu.

Ada hal lain, dan minho tak tau itu apa.

Ia ingin jawaban yang jujur.

“Aku mau membuang kata 'palsu' dari status pernikahan kita.”

Bohong.

Ia berbohong walaupun senyumnya seindah malaikat. Tak berdosa, padahal dia menyembunyika pisau yang sangat tajam untuk membunuh minho. Cantik, namun berduri dan menyakitkan.

Tak butuh waktu lama setelah pengakuan itu berlangsung. Minho menarik rahang yang muda mendekat guna meraih bibir mengkilap si manis.

Cuma kecupan kecil namun penuh keintiman di dalamnya. Sebelum hyunjin membuka rongga mulutnya, figur minho mundur.

Hyunjin menatap matanya. Berbeda. Mata itu penuh kabut, terbakar nafsu, namun mati-matian ditahan. Rasanya hyunjin sesak padahal yang lebih tau adalah minho.

Namun hyunjin paham. Minho mau dirinya. Mau hyunjin, kan? Untuk menemaninya sepanjang malam ini. Entah intuisi darimana, namun hyunjin mendekati si rambut coklat untuk kembali mengecup bibirnya.

“Aku butuh bukti.”

“Apa?” Hyunjin bertanya.

“Aku butuh bukti kalau kamu bersungguh-sungguh.” Minho sedikit menjilat bibir bawahnya. “Bagaimana?”

Kekehan keluar dari mulut hyunjin. Tawa kecil yang begitu cantik sampai-sampai minho ikut tersenyum dibuatnya.

Seperdetik berikutnya, suara resleting dari jaket yang hyunjin kenakan turun perlahan. Namun bukan itu yang jadi masalah, melainkan tatapan lelaki itu yang sangat ingin mendobrak pertahanan minho dengan menaiki paha keras yang tua.

Mau apa?

Apakah hyunjin membaca pikiran minho lewat matanya?

Apakah hyunjin tauㅡ kalau minho sedang mati-matian untuk tidak menyentuhnya?

“Jangan,” suaranya pelan, ada larangan di dalamnya. Hyunjin mengusap lagi rahang minho.

“Jangan ditahan lagi.”

Cih,

Hyunjin sangat ahli dalam membaca apa yang ada di pikirannya.

22.30

Dan hyunjin masih terdiam memandangi minho yang masih asyik meninju-ninju benda hitam yang bergelantuangn di langit-langit. Seperti tengah melampiaskan emosinya keluar.

Ekspresi pemuda itu seperti penuh guratan marah namun juga seksi disaat yang bersamaan. Lengan berototnya yang licin akibat keringat, rambut yang disibak ke belakang, kain basah yang tercetak akibat keringat yang memaksa keluar lewat pori-pori tubuhnya.

He's very hot. Hyunjin akui. Walaupun senyumnya semanis gula, tidak dapat dipungkiri kalau ia jauh lebih menarik jika berpenampilan seperti ini.

Ya, apa yang ada di otakmu sekarang!

Hyunjin menatap jam tangan yang membalut di sebelah kiri. Sudah mulai larut, namun sepertinya minho masih enggan untuk menyudahi kegiatannya yang sudah berlangsung selama dua jam.

“Udah malem.”

“Lalu?”

“Mau pulang.”

“Untuk malam ini, tidur disini.”

Kemudian minho membuka sarung tipis yang membalut kedua punggung tangannya. Ia bukan menggunakan yang tebal karena menurutnya terlalu ribet. Setelah membuka botol minum dan meneguk cairannya dari dalam sedikit tergesa, ia lantas menoleh ke hyunjin yang kelerengnya membola.

Ada apa dengan anak ini, “kenapa?”

“Mau pulang!”

“Ya sudah, silahkan sendiri.”

Kali ini hyunjin terdiam. Orang mana yang akan pergi keluar atau pulang jam segini? Benar-benar lelaki yang tidak bertanggung jawab! Ia yang memaksa hyunjin menemaninya malah tidak mau mengantarnya pulang.

“Lagi pun saya sudah izin ke papamu. Bukankah terlihat aneh kalau kamu malah menampakkan diri di sana?”

“Kenapa lo selalu bertindak seenaknya?”

“Karena cara bicaramu yang tidak berubah dan itu sedikit menyakiti hati saya, maka saya yang akan memberikat sangsi. Kamu sudah lupa?”

Skak.

Hyunjin terdiam di tempat. Minho teguk lagi cairan dari dalam botol bening tersebut tanpa ragu, sementara hyunjin sibuk sesali pilihannya mengiyakan ajakan minho untuk menemaninya boxing.

Tidak! Kalau hyunjin terus-terusan merengek untuk minta pulang. Itu berarti tandanya ia takut kan? Kata takut tidak ada dalam kamus hyunjin.

Maka ia menarik napas, untuk kemudian tatap pasang mata yang menatapnya penuh tanda tanya.

“Oke, saya tidur dengan anda malam ini.”

“Oh wow, hyunjin.” Minho tertawa singkat, “kenapa kalimatmu sangat ambigu? Kita hanya akan tidur malam ini. Mungkin sambil bercerita sebagai bentuk pendekatan diri?”

“Anda yakin?” Cara bicara hyunjin berubah, “kalau kita hanya akan tidur malam ini?” Senyumnya tertarik manis. Minho tak cukup bodoh untuk menyimpulkan kalau ada sesuatu yang tengah bermain di pikiran pemuda manis ini.

Tawanya yang semula singkat kini bersambung lagi. Jempol dan telunjuknya menyentuh dagu hyunjin; mengikis jarak di antara mereka hingga hyunjin sendiri dapat rasa napas hangat minho.

“Hm, kamu menyarankan sesuatu? Kalau begitu saya setuju.” bola matanya menatap hyunjin, “bukankah itu merupakan salah satu cara untuk mengenal pribadi kita masing-masing dengan menyenangkan?”

Bisikan halus itu mengalun indah bak melodi di telinga hyunjin, “saya tidak sabar.”

Kediaman minho.

Minho mengajak hyunjin ke kediamannya yang berjarak hampir tiga jam. Susah payah hyunjin berdandan memberikan penampilan yang terbaik dan anehnyaㅡ kenapa hyunjin turuti saja kata minho untuk memakai jepit di rambutnya?

Saat hyunjin sudah meribetkan dirinya sendiri menggunakan boots semata kaki keluaran desainer ternama, menggunakan coat dengan warna senada juga kemeja dengan hiasan pita panjang di kerahnya, minho malah menjemputnya dengan jaket beserta dalaman kaos berwarna hitam dan training.

Dan sepanjang jalan hanya terdengar suara sen mobil juga lagu-lagu keluaran beberapa tahun yang lalu yang diputar lewat radio. Jadi selama itu. Bayangkan, seratus delapan puluh menit lebih hyunjin mendengarkan suara cowok pembawa radio namun minho malah enggan berbicara.

Hyunjin sih memilih tak acuh. Sibuk pandang jalanan yang dihiasi pepohonan tinggi. Seperti tatanan kota di masa depan dimana gedung-gedung tinggi namun tetap ada pepohonan sebagai penghasil oksigen. Minho bawa hyunjin ke daerah dimana ada beberapa rumah dengan halaman luas yang berjarak lumayan jauh dari satu dengan yang lain.

Cuma ada sinar lampu jalan sebagai sumber cahaya. Beda dari tempat dimana hyunjin tinggal, luas lahan jika diibaratkan mampu menampung sekitar lima lapangan sepak bola, ditengah-tengah berdiri megah mansion rancangan papanya.

Anggaplah hyunjin sombong. Namun ia masih bingung kenapa orang tuanya mau menjodohkan dengan lelaki yang bahkan rumahnya tak lebih besar.

“Kamu kaget?”

“Karena?”

Minho terkikik kecil, “wajahmu terlihat seperti berpikir keras.”

“Bukan urusan lo.”

Kendaraan besi mereka memasuki halaman lewat pagar yang terbuka otomatis. Namun yang ia kira minho akan antusias, nyatanya wajah lelaki itu malah masam.

Apa yang terjadi? Wajahnya sedikit menyeramkan. Hyunjin terus membatin bingung sementara otaknya begitu ribut; memberi sinyal kalau ada bahaya yang akan berlangsung.

Helaan napas kasar itu lebih terdengar seperti rasa tak suka. Matanya yang lebih bulat dibanding milik hyunjin tatap dengan tegas yang lebih muda. Gurat wajahnya benar-benar menyiratkan rasa ketidaksukaan yang tepat ditunjukkan untuk hyunjin.

Aneh, “apa?”

“Saya sudah singgung perihal cara bicara.”

“Kenapa semua hal perlu dipermasalahin?”

“Saya tidak nyaman.”

“Urusannya dengan gue?”

“Sebaiknya kita saling mengerti satu sama lain.” Alis minho makin menukik, “tolong, saya sudah berusaha sebisa mungkin untuk mengungkapkan apa yang di otak saya.”

“Saya paling sulit kalau soal berbicara apa yang ada di pikiran saya.”

Kemudian lelaki itu keluar meninggalkan hyunjin sendiri di antara remangnya cahaya. Namun langkahnya tak bergerak barang sedikit pun.

Ia menoleh ke dalam, menkode lewat kepalanya agar hyunjin keluar. Maka yang harus dilakukan hyunjin adalah mengikuti mau lelaki itu.

Kenapa, kenapa, dan kenapa hyunjin mau-mau saja. Tidak mungkin ia luluh secepat itu.

“Lee minho yang dulu memang susah buat ekspresiin apa yang dia pikirkan, sih..” gumam yang lebih muda seiring hentakan heels dari boots nya yang menginjak batu alam. Sengaja dipasang sebagai pemanis dan menambah kesan natural.

Hyunjin cuma bisa memandangi punggung kokoh lelaki itu yang mengingatkannya dengan seseorang.

Lembayung senja mulai merobek langit kebiruan, diganti dengan torehan cahaya kejinggaan. Hal itu sebagai tanda bahwa bumi berputar sampai pada akhirnya lahirlah langit malam.

Kala itu waktunya makan telah tiba. Salah satu maid naik ke lantai dua untuk pergi ke kamar hyunjin. Dari dalam, hyunjin sudah memiliki firasat seiring dengan suara ketukan alas kaki yang khas dan bayangan yang memantul dibawah celah pintu.

“Ah, maaf tuan muda. Makanan sudah siap.” Kata perempuan itu sebelum membungkuk kecil.

Hyunjin angguk, cuma sebagai formalitas dan bentuk kesopanan. Waktu terus berdetak dan papanya bukan tipikal orang yang suka keterlambatan, maka hyunjin bergegas turun.

Suasana makan malam adalah yang paling ia hindarkan. Dimana ada beberapa orang maid yang berdiri tak jauh dari mereka. Belum lagi penjaga yang berada di depan pintu. Ini bukan rumah, melainkan penjara.

“Kenapa lama sekali?” Tuan hwang langsung meninggikan suaranya waktu melihat anak semata wayang yang baru saja menampakkan wajah.

“Maaf, tadi ada urusan.”

Tak mau memperpanjang perdebatan, hyunjin langsung duduk di meja makan dan menyantap makanannya.

“Hyunjin, jangan permalukan title keluarga Hwang yang sudah kakek buyutmu bangun susah payah.” Ucap lelaki berumur empat puluh sembilan tahun itu tiba-tiba. Buat hyunjin bingung sejenak sampai cekung sendok yang berisikan air bumbu melayang di udara.

“Maksud papa?”

“Kamu tau betul apa yang papa bicarakan,” ujar pria itu lagi. “Ini juga demi kebaikan generasi keluarga Hwang kelak. Agar mereka tidak ada yang hidup susah nantinya.”

Lantas apakah hyunjin akan terikat lagi? Sebelum awalnya terjebak di sangkar emas sambil dikendalikan seperti boneka pertunjukan?

Atau malah pernikahan ini akan memberinya sebuah kebebasan yang ia dambakan?

Lantas, apakah seseorang yang hyunjin tidak suka mampu membawanya terbang ke udara untuk menikmati hidup dengan melepas segala beban pikiran yang selama ini merantainya?

Opsinya hanya dua, jika dia tidak memilih satu diantanya. Maka opsi ketiga adalah menghilang dari dunia. Namun ia belum mau, masih banyak mimpinya yang belum terwujud.

“Papa sudah membebaskanmu untuk mengejar apa yang kamu inginkan, sekarang turuti kemauan papa.”

Lanjut, “dan jangan lupa apa yang papa sampaikan waktu itu. Jika kamu ingin hidup enak, gunakan akalmu.”

“Setiap imbalan pasti ada bayaran. Namun permainan bersih tidak selalu berhasil.”

Pria itu gila, pikir hyunjin. Namun bagaimana pun darahnya mengalir di sanubarinya. Bagaimana bisa mamanya bertemu dengan manusia selicik ini?

Hyunjin ingin pergi meninggalkan semua. Namun sejauh apa pun ia pergi, rantai itu akan selalu menarik lehernya untuk kembali ke penjara dunia.

Hyunjin ingin memberhentikan waktu, ingin memutar waktu, ingin mengubah waktu. Kalau ia bisa memilih, maka ia tak akan mau untuk hidup seperti ini.

“Hyunjin paham, pa.”

01.00 A.Mㅡ 🔞

Waktu telah menunjukkan pukul satu pagi dan hyunjin yang baru saja pulang dua jam lalu masih saja sulit untuk memejamkan matanya.

Alhasil dia cuma mengemut permen sembari menonton televisi. Membosankan dan tidak menarik. Bermain ponsel pun bukannya menghilangkan rasa jenuh, malah membuat dongkol hatinya saja.

Satu bungkus.

Dua bungkus.

Tiga bungkus.

Enam bungkus.

“Ekhem.”

Saat ia mau mengambil bungkus ke tujuh, tiba-tiba saja suara deheman menyapa telinga dari arah kanan. Pelan-pelan hyunjin toleh kepalanya, benar sajaㅡ cengiran khas yang mampu membuat matanya menyipit terbit kala lihat sang kakak tertua bersedekap sembari memandangnya yang tengah memakan permen.

“Ah, hyung. Sudah pulang?”

“Kalau hyung belum pulang, lantas siapa yang berdiri disini?”

“Bisa saja hantu,” hyunjin berbisik, “kan angker.”

“Dorm kita bukan bekas rumah sakit, hyunjin.” Balas si rambut arang; dibuahi tawa hyunjin yang menggema di ruang tamu.

Padahal chan baru saja melihat rambut hyunjin pirang kemarin, namun sekarang rambut adiknya itu sudah berubah menjadi merah muda dan hal tersebut membuat pandangan chan tak bisa luput darinya, “warna rambut baru?”

“Hm?”

Hyunjin menyentuh rambutnya, “engga kok, ini temprorarry saja untuk pemotretan besok.”

“Oh,” chan berdehem, “cantik.”

Bokongnya ia daratkan tepat di samping hyunjin yang masih asik menonton acara televisi pagi yang ditayangkan. Ketika seperti ini, sudah tidak banyak siaran yang akan live, maka menonton film pun dijadikan opsi untuk mengusir rasa bosan.

Hyunjin menaikkan kakinya dari lantai berlapis kayu yanh dingin. Untung dia memakai kaus kaki sehingga bisa meminimalisir. Diam-diam ia melirik kepada sang kakak yang malah santai mengenakan celana pendek juga kaos pendek senada tanpa lengan, namun di kedua sisinya terdapat lubang yang menganga sangat lebar hingga menampilkan bentuk tubuh atletis akibat sifat gila olahraganya.

Hyunjin meneguk ludah. Sensasi panas dari otaknya langsung turun hingga ujung kaki membuatnya merinding. Bibir ia gigit pelan sambil curi-curi pandang lagi ke yang tua.

Apakah chan menangkap sinyal hyunjin?

“Kamu kedinginan?”

Gotcha!

“Iya, hehe.” Hyunjin meringis, “boleh duduk deketan?” Cicitnya kecil. Mata jernih tatap langit hitam di depannya menunggu persetujuan. Saat chan menepuk pahanya, hyunjin langsung terbirit-birit tanpa menunggu apa pun.

Bokongnya ia dudukkan di paha keras milik sang kakak, juga kedua tangan yang merangkul punggung lebar nan kokoh. Hyunjin menghirup aroma alami dari tubuh chan yang mana hal itu membuatnya sangat nyaman.

Jarum detik terus berdetak dan hyunjin makin menyamankan diri di pelukan chan. Namun tangannya iseng mengusap rambut belakang chan juga beberapa kali menelusup melewati pakaian hitam tersebut.

“Tangan kamu dingin, hyunjin.”

“Makanya aku nyari kehangatan.”

Merasa telapak tangan yang dingin menyentuh kulitnya, chan menarik tangan sang adik guna agar tatapan mereka bersanding. Hyunjin nampak sedikit kaget, namun lain halnya dengan chan yang berniat untuk mempertanyakan maksud tindakan adiknya tersebut.

“Kamu mau apa, hm?”

Lagi, apakah chan menangkap sinyal yang diberikan hyunjin?

Bibir bawahnya ia gigit pelan. Spontan jari-jari menyembul dibalik sweeter yang hyunjin kenakan. Ia meraih sebungkus permen kemudian memasukkan ke dalam mulutnya; sedikit mengemut.

Ia tersenyum kecil dan jari-jari lentiknya menarik rahang keras sang kakak mendekat, membawanya kedalam cumbuan memabukkan dan disaat yang bersamaan, hyunjin mendorong sebuah perment mint dari mulutnya ke dalam rongga hangat milik chan.

Lidah mereka bermain hebat di dalam sana. Niat awal hyunjin cuma ingin “berbagi permen” namun seketika skenario yang sudah direncanakan di otak buyar begitu saja kala chan makin menarik pinggangnya mendekat.

Menempel, dan yang muda dapat rasa suara jantungnya sendiri yang sangat berisik bak ruang yang dipenuhi speaker dengan volume besar. Berbanding terbalik dengan si rambut arang, asik tarik guna memperdalam cumbuannya kepada hyunjin karena,

Salahkan bibir itu yang sangat serasi jika menempel dengan miliknya.

Berkali-kali hyunjin berusaha untuk menjauh, namun semakin ia paksa, chan malah semakin tarik agar tubuh mereka menempel sempurna. Alhasil hyunjin harus bisa mengambil napas dikala chan lengah untuk berganti posisi ciuman mereka.

“Hah, ha-”

“Thanks for the candy, sugar.” Bisiknya kemudian mengemut permen tersebut sebelum menggigitnya, “let's stop it here.”

“You got the kiss, right?”

“Huh?”

Hyunjin masih berkedip pelan dan mencerna apa yang chan katakan. Saat ia tau kalau chan ingin menyudahi kegiatan mereka berdua, satu kata keluar dari belah bibir cerinya,

“No!”

Suara dengan volume yang cukup keras, untung saja para member tidak terbangun. Chan mengecup bibir hyunjin cepat kemudian mengatakan kepadanya untuk pelan-pelan karena semua orang tengah tertidur.

“Hyung, apa hyung suka rambutku?” Tanyanya sembari membuat pola-pola abstrak pada dada bidang chan.

“Tentu, kenapa tidak?”

“Hyung,” lagi dan lagi chan mendapati hyunjin menggigit bibir bawahnya lagi. Tanpa sebab kah atau memang ada sesuatu yang membuat hyunjin melakukan gestur mengundang seperti itu?

“Hyung bisa mainin rambut hyunjin kok.” Bisiknya seduktif.

“Hm?”

Kakinya menginjak lagi lantai kayu yang dingin. Untuk kemudian berlutut lantas memyampirkan helaian rambutnya ke belakang telinga. Satu alis chan naik heran lihat yang lebih muda malah tampilkan cengiran manisnya seperti anak polos.

Padahal yang dilakukan selanjutnya adalah jemarinya yang perlahan membuk celana training pendek yang chan kenakan juga dalamannya hingga sesuatu menyembul dibalik sana.

Hyunjin menatapnya seperti anak kucing yang meminta izin, padahal ia tak butuh izin itu karena chan akan memberikannya dengan senang hati.

Apa yang hyunjin mau, maka chan akan beri. Sungguh kakak yang baik, bukan?

Di saat itu telapak tangan hyunjin menyentuh kejantatan sang kakak untuk mengurutnya pelan. Menatapnya dengan pandangan polos tak bernoda; berbanding terbalik dengan apa yang tengah ia lakukan sekarang.

Hyunjin seperti seorang yang pro dalam hal ini. Lihat saja wajahnya yang berseri sementara tangan yang bergerak dengan tempo semakin cepat membuat alis chan menukik.

“Ah, hyunjin..” desisnya, kedua tangan mengepal erat merasakan sensasi akibat kegiatan mereka yang tengah berlangsung itu.

“Hyung,” cicitnya kecil, “i have long hair for a reason.”

Kejantananan itu sebagian masuk, untuk kemudian sepenuhnya berada di dalam rongga hangat sana. Chan tidak dapat menahan lenguhannya, namun apa dayaㅡ tidak mungkin mereka tepergok oleh member lain sedang melakukan hal tidak senonoh.

Namun hyunjin sangat menikmati permainannya. Maju mundur kepala untuk merasakan batang itu menyentuh ujung kerongkongannya dan kembali lagi pada ujung lidahnya. Yang muda tidak main-main memberikan service pada waktu dini hari itu, daging tak bertulangnya sibuk buat pola melingkar dan menjilat benda itu layaknya permen yang baru saja mereka makan.

Ruangan yang sangat dingin mendadak begitu panas karena ulah hyunjin.

“Sssh, hyunjin.”

“So this is what you want, huh?” Desis lagi, “go get what you want then.”

Rambut tanggung hyunjin ia tarik. Awalnya yang muda sedikit terkejut kala chan yang mengontrol ritme blow job yang hyunjin lakukan. Mahkota kepalanya dimaju mundurkan dengan tempo lambat, kemudian cepat, kembali ke lambat dan hal tersebut membuatnya sedikit pusing.

“Hnnh-”

“Uhngh- hah,”

“H- hyung,” hyunjin mengeluarkan kejantanan milik chan dari mulutnya. Benang saliva tipis masih menjadi jembatan antara bibirnya dan ujung kepala milik sang kakak. Masih menegang sempurna seolah apa yang hyunjin barusan lakukan tidak mempan untuk memuaskannya.

Pipi hyunjin memerah juga rambutnya yang sudah lepek akibat keringat, akhirnya ia memutuskan untuk berdiri dan membuka kain bawahan yang menutupi kaki jenjang.

Naik ke atas paha keras chan dimana posisi awal mereke berpelukan, namun hyunjin langsung memposisikan batang tersebut di tengah lubang analnya.

Sedikit-

Mulai masuk-

“Anh-” kerutan di dahinya timbul, “ah, hyung-” rengeknya. Tatap mata yang tua sedikit berair. Chan paham adiknya masih berusaha menyesuaikan, maka ia mengecup bibir tebal hyunjin guna menghalau rasa sakit itu.

“Uhm-”

“Ungh-”

“H- hyung, do it fastㅡ” cicitnya lagi. Tangan ia kalungkan di leher yang tua, sementara dibawahnya chan mulai bergerak dengan tempo pelan.

Padahal chan hanya melakukan dengan tempo yang terbilang tidak terlalu cepat, namun hyunjin mati-matian menahan suara yang akan keluar dari belah bibirnya.

Berkali-kali ia menggigit ujung sweeter yang ia kenakan kala kulit milik yang tua menampar bongkahan pantat miliknya.

Namun chan seolah lupa kalau ia harus bermain pelan. Ia lupa dunia, ia malah makin mempercepat tempo hingga hyunjin makin merengek dalam pelukannya.

Lagi-

Lagi-

Lagi-

“Aah, ah- uhm, hyung!”

Hyunjin tidak kuasa menahan suaranya yang pada akhirnya ia malah berteriak.

Jemari kasarnya meremat bongkahan pantat hyunjin hingga menciptakan jejak kemerahan, “ssstt, be quiet, sugar. You don't want the members know, right?”

“Hu'uhm,”

“Ah-”

“Ah, hyungie-”

“Aaah, channie hyungㅡ”

Bukannya semakin pelan, chan malah makin memperburuk suasana. Sudah hyunjin yang berusaha untuk menahan suaranya, namun percuma karena suara kulit bertemu kulit dibawah sana malah menciptakan suara yang lebih nyaring.

Sedikit lagi-

Sedikit lagi chan mencapai puncaknya-

“Hyung?”

“Ji- jisung.”

“Ugh-”

Hyunjin memejamkan matanya lemas kala putihnya juga ikut sampai. Lubangnya terasa hangat di bawah sana, kemudian sebuah selimut besar menutupi kedua tubuh mereka.

“Hyungie, uhm-”

“Loh, hyunjin, chan hyung?”

Jisung menukik alis heran, “kalian berdua kenapa tidur disini?”

Matanya menangkap hyunjin yang terlihat berusaha meraup oksigen seperti orang yang habis lari keliling lapangan, “hyunjin kenapa?”

“Oh,” chan mengusap surai yang muda juga mengusap punggungnya, “tadi habis mimpi buruk, makan hyung peluk.”

“Jadi gitu,” jisung mengangguk kecil, “yaudah deh, aku ke kamar ya.”

Sesaat setelah mendengar debuman pintu. Chan masih senantiasa mengusap surai merah muda hyunjin, “hyunjin?”

“Hm..”

“Capek?”

“Cuma ngantuk.”

“Such a baby,” chan mengecup pelipis adiknya itu, “kita ke kamar?”

“Hu'um..”

“Yasudah, biar aku yang bereskan. Langsung tidur, hm?”

“Apa, tidur?”

Tiba-tiba saja hyunjin membolakan matanya mendengar penuturan chan. Lantas yang lebih tua juga ikut bingung, “jadi?”

“Ah, hyungiee-” hyunjin mengerucut sebal. Kemudian memeluk chan lagi, lebih erat. Membubuhkan sebuah ciuman di rahang tegas sang kakak.

“Mau lagi, boleh?”

01.00 A.Mㅡ 🔞

Waktu telah menunjukkan pukul satu pagi dan hyunjin yang baru saja pulang dua jam lalu masih saja sulit untuk memejamkan matanya.

Alhasil dia cuma mengemut permen sembari menonton televisi. Membosankan dan tidak menarik. Bermain ponsel pun bukannya menghilangkan rasa jenuh, malah membuat dongkol hatinya saja.

Satu bungkus.

Dua bungkus.

Tiga bungkus.

Enam bungkus.

“Ekhem.”

Saat ia mau mengambil bungkus ke tujuh, tiba-tiba saja suara deheman menyapa telinga dari arah kanan. Pelan-pelan hyunjin toleh kepalanya, benar sajaㅡ cengiran khas yang mampu membuat matanya menyipit terbit kala lihat sang kakak tertua bersedekap sembari memandangnya yang tengah memakan permen.

“Ah, hyung. Sudah pulang?”

“Kalau hyung belum pulang, lantas siapa yang berdiri disini?”

“Bisa saja hantu,” hyunjin berbisik, “kan angker.”

“Dorm kita bukan bekas rumah sakit, hyunjin.” Balas si rambut arang; dibuahi tawa hyunjin yang menggema di ruang tamu.

Padahal chan baru saja melihat rambut hyunjin pirang kemarin, namun sekarang rambut adiknya itu sudah berubah menjadi merah muda dan hal tersebut membuat pandangan chan tak bisa luput darinya, “warna rambut baru?”

“Hm?”

Hyunjin menyentuh rambutnya, “engga kok, ini temprorarry saja untuk pemotretan besok.”

“Oh,” chan berdehem, “cantik.”

Bokongnya ia daratkan tepat di samping hyunjin yang masih asik menonton acara televisi pagi yang ditayangkan. Ketika seperti ini, sudah tidak banyak siaran yang akan live, maka menonton film pun dijadikan opsi untuk mengusir rasa bosan.

Hyunjin menaikkan kakinya dari lantai berlapis kayu yanh dingin. Untung dia memakai kaus kaki sehingga bisa meminimalisir. Diam-diam ia melirik kepada sang kakak yang malah santai mengenakan celana pendek juga kaos pendek senada tanpa lengan, namun di kedua sisinya terdapat lubang yang menganga sangat lebar hingga menampilkan bentuk tubuh atletis akibat sifat gila olahraganya.

Hyunjin meneguk ludah. Sensasi panas dari otaknya langsung turun hingga ujung kaki membuatnya merinding. Bibir ia gigit pelan sambil curi-curi pandang lagi ke yang tua.

Apakah chan menangkap sinyal hyunjin?

“Kamu kedinginan?”

Gotcha!

“Iya, hehe.” Hyunjin meringis, “boleh duduk deketan?” Cicitnya kecil. Mata jernih tatap langit hitam di depannya menunggu persetujuan. Saat chan menepuk pahanya, hyunjin langsung terbirit-birit tanpa menunggu apa pun.

Bokongnya ia dudukkan di paha keras milik sang kakak, juga kedua tangan yang merangkul punggung lebar nan kokoh. Hyunjin menghirup aroma alami dari tubuh chan yang mana hal itu membuatnya sangat nyaman.

Jarum detik terus berdetak dan hyunjin makin menyamankan diri di pelukan chan. Namun tangannya iseng mengusap rambut belakang chan juga beberapa kali menelusup melewati pakaian hitam tersebut.

“Tangan kamu dingin, hyunjin.”

“Makanya aku nyari kehangatan.”

Merasa telapak tangan yang dingin menyentuh kulitnya, chan menarik tangan sang adik guna agar tatapan mereka bersanding. Hyunjin nampak sedikit kaget, namun lain halnya dengan chan yang berniat untuk mempertanyakan maksud tindakan adiknya tersebut.

“Kamu mau apa, hm?”

Lagi, apakah chan menangkap sinyal yang diberikan hyunjin?

Bibir bawahnya ia gigit pelan. Spontan jari-jari menyembul dibalik sweeter yang hyunjin kenakan. Ia meraih sebungkus permen kemudian memasukkan ke dalam mulutnya; sedikit mengemut.

Ia tersenyum kecil dan jari-jari lentiknya menarik rahang keras sang kakak mendekat, membawanya kedalam cumbuan memabukkan dan disaat yang bersamaan, hyunjin mendorong sebuah perment mint dari mulutnya ke dalam rongga hangat milik chan.

Lidah mereka bermain hebat di dalam sana. Niat awal hyunjin cuma ingin “berbagi permen” namun seketika skenario yang sudah direncanakan di otak buyar begitu saja kala chan makin menarik pinggangnya mendekat.

Menempel, dan yang muda dapat rasa suara jantungnya sendiri yang sangat berisik bak ruang yang dipenuhi speaker dengan volume besar. Berbanding terbalik dengan si rambut arang, asik tarik guna memperdalam cumbuannya kepada hyunjin karena,

Salahkan bibir itu yang sangat serasi jika menempel dengan miliknya.

Berkali-kali hyunjin berusaha untuk menjauh, namun semakin ia paksa, chan malah semakin tarik agar tubuh mereka menempel sempurna. Alhasil hyunjin harus bisa mengambil napas dikala chan lengah untuk berganti posisi ciuman mereka.

“Hah, ha-”

“Thanks for the candy, sugar.” Bisiknya kemudian mengemut permen tersebut sebelum menggigitnya, “let's stop it here.”

“You got the kiss, right?”

“Huh?”

Hyunjin masih berkedip pelan dan mencerna apa yang chan katakan. Saat ia tau kalau chan ingin menyudahi kegiatan mereka berdua, satu kata keluar dari belah bibir cerinya,

“No!”

Suara dengan volume yang cukup keras, untung saja para member tidak terbangun. Chan mengecup bibir hyunjin cepat kemudian mengatakan kepadanya untuk pelan-pelan karena semua orang tengah tertidur.

“Hyung, apa hyung suka rambutku?” Tanyanya sembari membuat pola-pola abstrak pada dada bidang chan.

“Tentu, kenapa tidak?”

“Hyung,” lagi dan lagi chan mendapati hyunjin menggigit bibir bawahnya lagi. Tanpa sebab kah atau memang ada sesuatu yang membuat hyunjin melakukan gestur mengundang seperti itu?

“Hyung bisa mainin rambut hyunjin kok.” Bisiknya seduktif.

“Hm?”

Kakinya menginjak lagi lantai kayu yang dingin. Untuk kemudian berlutut lantas memyampirkan helaian rambutnya ke belakang telinga. Satu alis chan naik heran lihat yang lebih muda malah tampilkan cengiran manisnya seperti anak polos.

Padahal yang dilakukan selanjutnya adalah jemarinya yang perlahan membuk celana training pendek yang chan kenakan juga dalamannya hingga sesuatu menyembul dibalik sana.

Hyunjin menatapnya seperti anak kucing yang meminta izin, padahal ia tak butuh izin itu karena chan akan memberikannya dengan senang hati.

Apa yang hyunjin mau, maka chan akan beri. Sungguh kakak yang baik, bukan?

Di saat itu telapak tangan hyunjin menyentuh kejantatan sang kakak untuk mengurutnya pelan. Menatapnya dengan pandangan polos tak bernoda; berbanding terbalik dengan apa yang tengah ia lakukan sekarang.

Hyunjin seperti seorang yang pro dalam hal ini. Lihat saja wajahnya yang berseri sementara tangan yang bergerak dengan tempo semakin cepat membuat alis chan menukik.

“Ah, hyunjin..” desisnya, kedua tangan mengepal erat merasakan sensasi akibat kegiatan mereka yang tengah berlangsung itu.

“Hyung,” cicitnya kecil, “i have long hair for a reason.”

Kejantananan itu sebagian masuk, untuk kemudian sepenuhnya berada di dalam rongga hangat sana. Chan tidak dapat menahan lenguhannya, namun apa dayaㅡ tidak mungkin mereka tepergok oleh member lain sedang melakukan hal tidak senonoh.

Namun hyunjin sangat menikmati permainannya. Maju mundur kepala untuk merasakan batang itu menyentuh ujung kerongkongannya dan kembali lagi pada ujung lidahnya. Yang muda tidak main-main memberikan service pada waktu dini hari itu, daging tak bertulangnya sibuk buat pola melingkar dan menjilat benda itu layaknya permen yang baru saja mereka makan.

Ruangan yang sangat dingin mendadak begitu panas karena ulah hyunjin.

“Sssh, hyunjin.”

“So this is what you want, huh?” Desis lagi, “go get what you want then.”

Rambut tanggung hyunjin ia tarik. Awalnya yang muda sedikit terkejut kala chan yang mengontrol ritme blow job yang hyunjin lakukan. Mahkota kepalanya dimaju mundurkan dengan tempo lambat, kemudian cepat, kembali ke lambat dan hal tersebut membuatnya sedikit pusing.

“Hnnh-”

“Uhngh- hah,”

“H- hyung,” hyunjin mengeluarkan kejantanan milik chan dari mulutnya. Benang saliva tipis masih menjadi jembatan antara bibirnya dan ujung kepala milik sang kakak. Masih menegang sempurna seolah apa yang hyunjin barusan lakukan tidak mempan untuk memuaskannya.

Pipi hyunjin memerah juga rambutnya yang sudah lepek akibat keringat, akhirnya ia memutuskan untuk berdiri dan membuka kain bawahan yang menutupi kaki jenjang.

Naik ke atas paha keras chan dimana posisi awal mereke berpelukan, namun hyunjin langsung memposisikan batang tersebut di tengah lubang analnya.

Sedikit-

Mulai masuk-

“Anh-” kerutan di dahinya timbul, “ah, hyung-” rengeknya. Tatap mata yang tua sedikit berair. Chan paham adiknya masih berusaha menyesuaikan, maka ia mengecup bibir tebal hyunjin guna menghalau rasa sakit itu.

“Uhm-”

“Ungh-”

“H- hyung, do it fastㅡ” cicitnya lagi. Tangan ia kalungkan di leher yang tua, sementara dibawahnya chan mulai bergerak dengan tempo pelan.

Padahal chan hanya melakukan dengan tempo yang terbilang tidak terlalu cepat, namun hyunjin mati-matian menahan suara yang akan keluar dari belah bibirnya.

Berkali-kali ia menggigit ujung sweeter yang ia kenakan kala kulit milik yang tua menampar bongkahan pantat miliknya.

Namun chan seolah lupa kalau ia harus bermain pelan. Ia lupa dunia, ia malah makin mempercepat tempo hingga hyunjin makin merengek dalam pelukannya.

Lagi-

Lagi-

Lagi-

“Aah, ah- uhm, hyung!”

Hyunjin tidak kuasa menahan suaranya yang pada akhirnya ia malah berteriak.

Jemari kasarnya meremat bongkahan pantat hyunjin hingga menciptakan jejak kemerahan, “ssstt, be quiet, sugar. You don't want the members know, right?”

“Hu'uhm,”

“Ah-”

“Ah, hyungie-”

“Aaah, channie hyungㅡ”

Bukannya semakin pelan, chan malah makin memperburuk suasana. Sudah hyunjin yang berusaha untuk menahan suaranya, namun percuma karena suara kulit bertemu kulit dibawah sana malah menciptakan suara yang lebih nyaring.

Sedikit lagi-

Sedikit lagi chan mencapai puncaknya-

“Hyung?”

“Ji- jisung.”

“Ugh-”

Hyunjin memejamkan matanya lemas kala putihnya juga ikut sampai. Lubangnya terasa hangat di bawah sana, kemudian sebuah selimut besar menutupi kedua tubuh mereka.

“Hyungie, uhm-”

“Loh, hyunjin, chan hyung?”

Jisung menukik alis heran, “kalian berdua kenapa tidur disini?”

Matanya menangkap hyunjin yang terlihat berusaha meraup oksigen seperti orang yang habis lari keliling lapangan, “hyunjin kenapa?”

“Oh,” chan mengusap surai yang muda juga mengusap punggungnya, “tadi habis mimpi buruk, makan hyung peluk.”

“Jadi gitu,” jisung mengangguk kecil, “yaudah deh, aku ke kamar ya.”

Sesaat setelah mendengar debuman pintu. Chan masih senantiasa mengusap surai merah muda hyunjin, “hyunjin?”

“Hm..”

“Capek?”

“Cuma ngantuk.”

“Such a baby,” chan mengecup pelipis adiknya itu, “kita ke kamar?”

“Hu'um..”

“Yasudah, biar aku yang bereskan. Langsung tidur, hm?”

“Apa, tidur?”

Tiba-tiba saja hyunjin membolakan matanya mendengar penuturan chan. Lantas yang lebih tua juga ikut bingung, “jadi?”

“Ah, hyungiee-” hyunjin mengerucut sebal. Kemudian memeluk chan lagi, lebih erat. Membubuhkan sebuah ciuman di rahang tegas sang kakak.

“Mau lagi, boleh?”

Waktu telah menunjukkan pukul satu pagi dan hyunjin yang baru saja pulang dua jam lalu masih saja sulit untuk memejamkan matanya.

Alhasil dia cuma mengemut permen sembari menonton televisi. Membosankan dan tidak menarik. Bermain ponsel pun bukannya menghilangkan rasa jenuh, malah membuat dongkol hatinya saja.

Satu bungkus.

Dua bungkus.

Tiga bungkus.

Enam bungkus.

“Ekhem.”

Saat ia mau mengambil bungkus ke tujuh, tiba-tiba saja suara deheman menyapa telinga dari arah kanan. Pelan-pelan hyunjin toleh kepalanya, benar sajaㅡ cengiran khas yang mampu membuat matanya menyipit terbit kala lihat sang kakak tertua bersedekap sembari memandangnya yang tengah memakan permen.

“Ah, hyung. Sudah pulang?”

“Kalau hyung belum pulang, lantas siapa yang berdiri disini?”

“Bisa saja hantu,” hyunjin berbisik, “kan angker.”

“Dorm kita bukan bekas rumah sakit, hyunjin.” Balas si rambut arang; dibuahi tawa hyunjin yang menggema di ruang tamu.

Padahal chan baru saja melihat rambut hyunjin pirang kemarin, namun sekarang rambut adiknya itu sudah berubah menjadi merah muda dan hal tersebut membuat pandangan chan tak bisa luput darinya, “warna rambut baru?”

“Hm?”

Hyunjin menyentuh rambutnya, “engga kok, ini temprorarry saja untuk pemotretan besok.”

“Oh,” chan berdehem, “cantik.”

Bokongnya ia daratkan tepat di samping hyunjin yang masih asik menonton acara televisi pagi yang ditayangkan. Ketika seperti ini, sudah tidak banyak siaran yang akan live, maka menonton film pun dijadikan opsi untuk mengusir rasa bosan.

Hyunjin menaikkan kakinya dari lantai berlapis kayu yanh dingin. Untung dia memakai kaus kaki sehingga bisa meminimalisir. Diam-diam ia melirik kepada sang kakak yang malah santai mengenakan celana pendek juga kaos pendek senada tanpa lengan, namun di kedua sisinya terdapat lubang yang menganga sangat lebar hingga menampilkan bentuk tubuh atletis akibat sifat gila olahraganya.

Hyunjin meneguk ludah. Sensasi panas dari otaknya langsung turun hingga ujung kaki membuatnya merinding. Bibir ia gigit pelan sambil curi-curi pandang lagi ke yang tua.

Apakah chan menangkap sinyal hyunjin?

“Kamu kedinginan?”

Gotcha!

“Iya, hehe.” Hyunjin meringis, “boleh duduk deketan?” Cicitnya kecil. Mata jernih tatap langit hitam di depannya menunggu persetujuan. Saat chan menepuk pahanya, hyunjin langsung terbirit-birit tanpa menunggu apa pun.

Bokongnya ia dudukkan di paha keras milik sang kakak, juga kedua tangan yang merangkul punggung lebar nan kokoh. Hyunjin menghirup aroma alami dari tubuh chan yang mana hal itu membuatnya sangat nyaman.

Jarum detik terus berdetak dan hyunjin makin menyamankan diri di pelukan chan. Namun tangannya iseng mengusap rambut belakang chan juga beberapa kali menelusup melewati pakaian hitam tersebut.

“Tangan kamu dingin, hyunjin.”

“Makanya aku nyari kehangatan.”

Merasa telapak tangan yang dingin menyentuh kulitnya, chan menarik tangan sang adik guna agar tatapan mereka bersanding. Hyunjin nampak sedikit kaget, namun lain halnya dengan chan yang berniat untuk mempertanyakan maksud tindakan adiknya tersebut.

“Kamu mau apa, hm?”

Lagi, apakah chan menangkap sinyal yang diberikan hyunjin?

Bibir bawahnya ia gigit pelan. Spontan jari-jari menyembul dibalik sweeter yang hyunjin kenakan. Ia meraih sebungkus permen kemudian memasukkan ke dalam mulutnya; sedikit mengemut.

Ia tersenyum kecil dan jari-jari lentiknya menarik rahang keras sang kakak mendekat, membawanya kedalam cumbuan memabukkan dan disaat yang bersamaan, hyunjin mendorong sebuah perment mint dari mulutnya ke dalam rongga hangat milik chan.

Lidah mereka bermain hebat di dalam sana. Niat awal hyunjin cuma ingin “berbagi permen” namun seketika skenario yang sudah direncanakan di otak buyar begitu saja kala chan makin menarik pinggangnya mendekat.

Menempel, dan yang muda dapat rasa suara jantungnya sendiri yang sangat berisik bak ruang yang dipenuhi speaker dengan volume besar. Berbanding terbalik dengan si rambut arang, asik tarik guna memperdalam cumbuannya kepada hyunjin karena,

Salahkan bibir itu yang sangat serasi jika menempel dengan miliknya.

Berkali-kali hyunjin berusaha untuk menjauh, namun semakin ia paksa, chan malah semakin tarik agar tubuh mereka menempel sempurna. Alhasil hyunjin harus bisa mengambil napas dikala chan lengah untuk berganti posisi ciuman mereka.

“Hah, ha-”

“Thanks for the candy, sugar.” Bisiknya kemudian mengemut permen tersebut sebelum menggigitnya, “let's stop it here.”

“You got the kiss, right?”

“Huh?”

Hyunjin masih berkedip pelan dan mencerna apa yang chan katakan. Saat ia tau kalau chan ingin menyudahi kegiatan mereka berdua, satu kata keluar dari belah bibir cerinya,

“No!”

Suara dengan volume yang cukup keras, untung saja para member tidak terbangun. Chan mengecup bibir hyunjin cepat kemudian mengatakan kepadanya untuk pelan-pelan karena semua orang tengah tertidur.

“Hyung, apa hyung suka rambutku?” Tanyanya sembari membuat pola-pola abstrak pada dada bidang chan.

“Tentu, kenapa tidak?”

“Hyung,” lagi dan lagi chan mendapati hyunjin menggigit bibir bawahnya lagi. Tanpa sebab kah atau memang ada sesuatu yang membuat hyunjin melakukan gestur mengundang seperti itu?

“Hyung bisa mainin rambut hyunjin kok.” Bisiknya seduktif.

“Hm?”

Kakinya menginjak lagi lantai kayu yang dingin. Untuk kemudian berlutut lantas memyampirkan helaian rambutnya ke belakang telinga. Satu alis chan naik heran lihat yang lebih muda malah tampilkan cengiran manisnya seperti anak polos.

Padahal yang dilakukan selanjutnya adalah jemarinya yang perlahan membuk celana training pendek yang chan kenakan juga dalamannya hingga sesuatu menyembul dibalik sana.

Hyunjin menatapnya seperti anak kucing yang meminta izin, padahal ia tak butuh izin itu karena chan akan memberikannya dengan senang hati.

Apa yang hyunjin mau, maka chan akan beri. Sungguh kakak yang baik, bukan?

Di saat itu telapak tangan hyunjin menyentuh kejantatan sang kakak untuk mengurutnya pelan. Menatapnya dengan pandangan polos tak bernoda; berbanding terbalik dengan apa yang tengah ia lakukan sekarang.

Hyunjin seperti seorang yang pro dalam hal ini. Lihat saja wajahnya yang berseri sementara tangan yang bergerak dengan tempo semakin cepat membuat alis chan menukik.

“Ah, hyunjin..” desisnya, kedua tangan mengepal erat merasakan sensasi akibat kegiatan mereka yang tengah berlangsung itu.

“Hyung,” cicitnya kecil, “i have long hair for a reason.”

Kejantananan itu sebagian masuk, untuk kemudian sepenuhnya berada di dalam rongga hangat sana. Chan tidak dapat menahan lenguhannya, namun apa dayaㅡ tidak mungkin mereka tepergok oleh member lain sedang melakukan hal tidak senonoh.

Namun hyunjin sangat menikmati permainannya. Maju mundur kepala untuk merasakan batang itu menyentuh ujung kerongkongannya dan kembali lagi pada ujung lidahnya. Yang muda tidak main-main memberikan service pada waktu dini hari itu, daging tak bertulangnya sibuk buat pola melingkar dan menjilat benda itu layaknya permen yang baru saja mereka makan.

Ruangan yang sangat dingin mendadak begitu panas karena ulah hyunjin.

“Sssh, hyunjin.”

“So this is what you want, huh?” Desis lagi, “go get what you want then.”

Rambut tanggung hyunjin ia tarik. Awalnya yang muda sedikit terkejut kala chan yang mengontrol ritme blow job yang hyunjin lakukan. Mahkota kepalanya dimaju mundurkan dengan tempo lambat, kemudian cepat, kembali ke lambat dan hal tersebut membuatnya sedikit pusing.

“Hnnh-”

“Uhngh- hah,”

“H- hyung,” hyunjin mengeluarkan kejantanan milik chan dari mulutnya. Benang saliva tipis masih menjadi jembatan antara bibirnya dan ujung kepala milik sang kakak. Masih menegang sempurna seolah apa yang hyunjin barusan lakukan tidak mempan untuk memuaskannya.

Pipi hyunjin memerah juga rambutnya yang sudah lepek akibat keringat, akhirnya ia memutuskan untuk berdiri dan membuka kain bawahan yang menutupi kaki jenjang.

Naik ke atas paha keras chan dimana posisi awal mereke berpelukan, namun hyunjin langsung memposisikan batang tersebut di tengah lubang analnya.

Sedikit-

Mulai masuk-

“Anh-” kerutan di dahinya timbul, “ah, hyung-” rengeknya. Tatap mata yang tua sedikit berair. Chan paham adiknya masih berusaha menyesuaikan, maka ia mengecup bibir tebal hyunjin guna menghalau rasa sakit itu.

“Uhm-”

“Ungh-”

“H- hyung, do it fastㅡ” cicitnya lagi. Tangan ia kalungkan di leher yang tua, sementara dibawahnya chan mulai bergerak dengan tempo pelan.

Padahal chan hanya melakukan dengan tempo yang terbilang tidak terlalu cepat, namun hyunjin mati-matian menahan suara yang akan keluar dari belah bibirnya.

Berkali-kali ia menggigit ujung sweeter yang ia kenakan kala kulit milik yang tua menampar bongkahan pantat miliknya.

Namun chan seolah lupa kalau ia harus bermain pelan. Ia lupa dunia, ia malah makin mempercepat tempo hingga hyunjin makin merengek dalam pelukannya.

Lagi-

Lagi-

Lagi-

“Aah, ah- uhm, hyung!”

Hyunjin tidak kuasa menahan suaranya yang pada akhirnya ia malah berteriak.

Jemari kasarnya meremat bongkahan pantat hyunjin hingga menciptakan jejak kemerahan, “ssstt, be quiet, sugar. You don't want the members know, right?”

“Hu'uhm,”

“Ah-”

“Ah, hyungie-”

“Aaah, channie hyungㅡ”

Bukannya semakin pelan, chan malah makin memperburuk suasana. Sudah hyunjin yang berusaha untuk menahan suaranya, namun percuma karena suara kulit bertemu kulit dibawah sana malah menciptakan suara yang lebih nyaring.

Sedikit lagi-

Sedikit lagi chan mencapai puncaknya-

“Hyung?”

“Ji- jisung.”

“Ugh-”

Hyunjin memejamkan matanya lemas kala putihnya juga ikut sampai. Lubangnya terasa hangat di bawah sana, kemudian sebuah selimut besar menutupi kedua tubuh mereka.

“Hyungie, uhm-”

“Loh, hyunjin, chan hyung?”

Jisung menukik alis heran, “kalian berdua kenapa tidur disini?”

Matanya menangkap hyunjin yang terlihat berusaha meraup oksigen seperti orang yang habis lari keliling lapangan, “hyunjin kenapa?”

“Oh,” chan mengusap surai yang muda juga mengusap punggungnya, “tadi habis mimpi buruk, makan hyung peluk.”

“Jadi gitu,” jisung mengangguk kecil, “yaudah deh, aku ke kamar ya.”

Sesaat setelah mendengar debuman pintu. Chan masih senantiasa mengusap surai merah muda hyunjin, “hyunjin?”

“Hm..”

“Capek?”

“Cuma ngantuk.”

“Such a baby,” chan mengecup pelipis adiknya itu, “kita ke kamar?”

“Hu'um..”

“Yasudah, biar aku yang bereskan. Langsung tidur, hm?”

“Apa, tidur?”

Tiba-tiba saja hyunjin membolakan matanya mendengar penuturan chan. Lantas yang lebih tua juga ikut bingung, “jadi?”

“Ah, hyungiee-” hyunjin mengerucut sebal. Kemudian memeluk chan lagi, lebih erat. Membubuhkan sebuah ciuman di rahang tegas sang kakak.

“Mau lagi, boleh?”