Chanthusiast

𝑩𝒍𝒖𝒆𝒊𝒔𝒉𝒃𝒚

𝑴𝒂𝒕𝒄𝒉 𝒊𝒏 𝒕𝒉𝒆 𝒓𝒂𝒊𝒏

𝑪𝒉𝒂𝒏 𝒂𝒏𝒅 𝒉𝒚𝒖𝒏𝒋𝒊𝒏 𝒐𝒏𝒆𝒔𝒉𝒐𝒐𝒕 𝟎𝟖𝟏𝟐𝟐𝟎

𝘴𝘦𝘦𝘮𝘴 𝘺𝘰𝘶'𝘷𝘦 𝘣𝘦𝘦𝘯 𝘤𝘩𝘢𝘯𝘨𝘪𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘵𝘦𝘭𝘺 𝘪 𝘤𝘢𝘯 𝘧𝘦𝘦𝘭 𝘵𝘩𝘦 𝘥𝘪𝘴𝘵𝘢𝘯𝘤𝘦 𝘪𝘯 𝘺𝘰𝘶𝘳 𝘵𝘰𝘶𝘤𝘩

matahari mulai terbenam hingga cahaya yang menerangi bumi mulai surut. tampak dari garis langit bahwa sang surya mulai mengganti tempatnya dengan sang teman yaitu, bulan.

oh, ternyata bulan tak sendiri setelah ditinggal mentari. ada tebaran bintang yang berdekatan juga berjauhan, namun walaupun begitu mereka seolah saling melengkapi.

sangat indah dimata hyunjin. ketika malam sunyi dan hanya ditemani suara berisik kendaraan yang menyapa relung telinganya, ciptaan tuhan diatas sana seolah mengulur tangan kepada hyunjin. hanya untuk sekejap kelerengnya menikmati, ada sosok lain yang menginterupsi dan memutus tali pandang hyunjin kepada penolongnya.

awan hitam lambat laun berjalan menghalau jarak pandang hyunjin. ia seperti ingin menjadi bintang utama untuk menarik perhatian lelaki cantik yang matanya sedikit berkaca-kaca. diikuti dengan angin yang terlampau dingin menembus tubuh hyunjin yang hanya dibalut cardigan merah marun, juga rambutnya yang melambai indah seperti rambut seorang putri yang dikurung di dalam menara.

“hujan?”

ada tersirat rasa kecewa di sanubari hyunjin, tapi hanya helaan napas yang hanya mampu keluar dari belah bibirnya. ia lelah dan semesta semakin memperburuk suasana hatinya.

“aku benci hujan.” cibiknya dengan bibir sedikit bergetar. selamat, sekarang ia kedinginan dan ujung jarinya mulai memucat.

setelah hampir berjalan satu jam juga berdiam diri tanpa tujuan selama tiga puluh menit, hyunjin memberhentikan taxi dan masuk ke dalam. tujuannya adalah ke apartemen.

harap-harap chan sudah pulang dan mampu menjelaskan sesuatu ke hyunjin.

walaupun segalanya seperti tak lagi menemui titik cahaya.

hyunjin tersesat dan chan seakan tak acuh, memilih untuk pergi dan meninggalkan hyunjin semakin tenggelam hingga dasar yang dalam.

.

kombinasi tombol hyunjin tekan tanpa semangat. awalnya ia menaruh harapan yang sangat besar sebelum satu pesan masuk ke dalam gawai persegi miliknya.

𝘢𝘬𝘶 𝘱𝘶𝘭𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘳𝘶𝘵

satu kalimat yang semakin menghancurkan sang hati yang sudah pecah. hyunjin menarik napasnya pelan dan mendorong pintu kamar apartemen yang mereka beli atas permintaan chan sendiri dan ia juga yang meminta hyunjin untuk tinggal bersamanya.

dua belas bulan yang indah dan hyunjin rindu dengan masa-masa itu.

melihat dapur yang kosong, hyunjin duduk guna menyeduh sereal saset di mug hitam. menatap kosong air yang beruap menyapa kulit wajahnya. diaduk, kemudian hyunjin mendudukkan bokongnya di salah satu kursi.

tirai jendela ia buka dan bolanya melihat tetesan hujan yang menempel di jendela, turun dan singgah lagi. berulang kali seperti itu.

tatapan hyunjin kosong. ia sudah lelah dengan semuanya dan bodohnya ia masih juga berusaha untuk menciptakan api untuk mencairkan es yang dingin. walaupun ia sudah paham betul kalau segalanya sulit untuk kembali seperti semula.

seperti menyalakan pemantik api ditengah hujan.

tak sekali hyunjin melihat sebuah masalah di mata chan, namun lelaki itu tak pernah ingin membicarakan hal tersebut kepadanya. pendam, pendam, dan menguburnya sampai akhirnya hyunjin harus bersikap seolah-olah hubungan mereka baik-baik saja.

hanya ada dua raga yang terikat dengan sebuah tali, namun hati mereka sudah lama mati.

hyunjin meneguk lagi serealnya, namun bibirnya terasa asin akibat setetes hingga dua tetes kristal yang turun tanpa perintah dari manik coklatnya.

“kak,” isaknya kembali terdengar, “i miss us.”

“tapi, apa masih ada jalan?”

lagi dan lagi air matanya menetes tepat masuk ke dalam mug nya. hujan diluar semakin deras seolah mewakili hati hyunjin yang gundah gulana, “please,”

“is there even me in your heart?”

pertemuan mereka pertama kali ketika mereka pertama kali bekerja sama untuk membuat sebuah lagu. hingga dari sana, chan makin kukuh untuk mendekatinya hingga sekarang mereka tinggal dibawah atap yang sama.

selama tinggal dengan lelaki itu, chan selalu memperlakukannya bak putri. seakan mengisi potongan puzzle yang hilang dari hati hyunjin.

namun sekarang? chan seperti kembali mengambil paksa potongan yang telah melekat sempurna di hatinya.

sejak empat bulan kebelakang, sikap chan perlahan berubah kepadanya. hyunjin selalu menebar aura positif dan memberikan afeksinya, namun chan tak mengindahkan.

sampai-sampai hyunjin tak sadar kalau ia suka menangis dalam diam. iya, ia cengeng dan gampang untuk mengeluarkan air mata. hatinya mudah tersentil hanya dengan diamnya chan.

hyunjin selalu berusaha membuat chan untuk kembali mencintainya, membuat lelakinya yang dulu untuk kembali. namun sia-sia.

apakah segalanya sudah berakhir?

sampai disini?

cardigannya yang lembab masih membalut tubuh hyunjin, matanya diusap kasar berusaha untuk berhenti menangis. ia tidak boleh begini, kasihan tubuhnya.

is everything will be okay?

“is it all over?'

pintu depan berdenyit kecil, telinga hyunjin menangkap sempurna bunyi tersebut juga derap kaki yang menyapa lantai. “aku pulang.” dan ia melengang pergi tanpa memberi sebuah kecupan seperti biasanya.

“kak”

hyunjin memanggilnya dengan nada bergetar. ia cukup yakin chan mendengar dan untuk pertama kali setelah hubungan mereka renggang, chan tidak beralasan apa pun dan menghampiri sosok figur dengan tangannya yang bergetar.

seiring dengan langkah kakinya yang mendekat, chan tak mengeluarkan sepatah kata pun. namun, firasatnya berkata tidak baik. dan segalanya semakin buruk ketika hyunjin makin terisak.

ada mulutnya ingin bertanya perihal keadaan hyunjin, namun untuk sekedar mengucapkan nama kekasihnya, chan sulit. sangat sulit sampai ia ingin menampar wajahnya sendiri.

wajah hyunjin mengadah untuk memberikan senyum terbaik yang pernah ia punya. tungkainya dibawa berdiri dan mendekat, memberi kecupan di pipi dingin chan juga bibirnya.

dan firasat buruknya semakin jadi.

“kak,”

tarik napas. sebelum hatinya kembali sesak.

“thank you for everything,” senyumnya, “thank you for all of your love and affections all this time.”

“you are the best gift that god ever given to me.”

dan hyunjin kembali menyapa lengkungan bibir chan, juga mengusap figur tegas wajahnya yang selalu melekat indah di pikiran hyunjin.

dan sepertinya memang ini yang terbaik. maka hyunjin tidak akan menganggapnya sebagai bencana, melainkan titipan terindah yang pernah tuhan berikan kepada hyunjin.

“now, let me go..”

“let's meet again on another beautiful day.”

𝘢𝘭𝘭 𝘵𝘩𝘪𝘴 𝘵𝘪𝘮𝘦, 𝘪 𝘵𝘳𝘺 𝘵𝘰 𝘧𝘪𝘯𝘥 𝘢𝘯𝘥 𝘧𝘪𝘹 𝘢𝘭𝘭 𝘵𝘩𝘦 𝘮𝘪𝘴𝘶𝘯𝘥𝘦𝘳𝘴𝘵𝘢𝘯𝘥𝘪𝘯𝘨𝘴 𝘣𝘦𝘵𝘸𝘦𝘦𝘯 𝘶𝘴.

𝘪𝘵'𝘴 𝘭𝘪𝘬𝘦 𝘵𝘳𝘺𝘯𝘢 𝘭𝘪𝘨𝘩𝘵 𝘢 𝘮𝘢𝘵𝘤𝘩 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘳𝘢𝘪𝘯

𝒆 𝒏 𝒅

Blueishby (@Chanthusiast_)

  • G e t i n t o u c h

➼ Suasana di ruangan bernuansa vintage tersebut berbanding terbalik dengan keadaan mereka. Warna-warna alami yang disuguhkan dengan tujuan memanjakan mata seaakan tak berpengaruh untuk keempat pemuda yang usianya hampir menginjak dewasa. Bahkan empat cangkir kopi dengan hiasan foam putih serta sepiring kukis coklat hanya jadi panjangan di atas meja rakit berbahan rotan.

“Intinya lo harus hemat.” Ucap si rambut coklat, Umin. Langsung tarik cangkir kopinya yang airnya sudah mendingin untuk diminum.

Sementara Sam lagi-lagi sibuk memilin sweater berbahan rajut guna meminimalisir pikiran-pikiran yang membuat kepalanya berat. Fares bukannya tidak punya hati untuk menenangkan sam, namun nyatanya apa yang disampaikan umin sepenuhnya benar.

“Dicoba dulu,” lanjut lixie, “daripada lo dikejer rei terus? Aduh, makanya gaya hidup lo jangan hedon banget.”

“Ya, tapi dia bilang bakal kasih gue semuanya?”

“Konsepnya bukan gitu juga.” Bagaimana caranya umin menjelaskan hal ini, “gini, kalian kan belum sampai tahap menikah. Jadi uang rei sepenuhnya bukan hak lo.”

“Lagian lo suka banget sih mancing si rei? Udah tau anaknya susah kontrol emosi.”

Fares terkikik geli saat itu juga, “sam kan cuma mau uangnya.” Langsung dihadiahi satu tamparan cantik dari tangan mulus sam. Si pelaku malah tetap ketawa tanpa rasa bersalah, lixie dan umin cuma bisa geleng kepala.

Dari dulu sampai sekarang, tiada hari tanpa beradu mulut.

“Makanya sam. Kalo mau hubungan adem aja, ya jangan buat ulah.”

“Lagian siapa sih yang ga marah pas ketahuan pacarnya jalan sama cowo lain?”

Sedari tadi sam merasa tersudut hingga cibiran tanpa suara keluar dari belah bibir tebalnya, “kalian pikir gue lakuin itu tanpa alasan? Yang mulai duluan rei kali. Makanya jangan macem-macem sama gue.” Bibirnya yang semula mengeluarkan cibiran lanjut membentuk kerucut menandakan kalau dirinya kesal.

Poni berwarna pirang yang terlihat cantik menjuntai melewati mata, namun dengan sigap umin langsung menyampirkan kumpulan helai lembut tersebut ke samping telinga sam.

Yang tentu saja mengundang tatapan penasaran dari fares dan lixie. Mengingat bagaimana hubungan mereka dulu yang sudah kandas padahal belum sempat berlayar.

“Gue ada di sini kalau lo butuh tempat untuk istirahat.”

“Terus gue sama lixie dianggap apa? Lampu jalan yang dilewatin doang?”

Memang yang namanya fares, tidak bisa sedikit saja membiarkan orang lain terhanyut dalam momen manis. Jiwa keirian yang tingginya hampir menyentuh langit menyebabkan lelaki tupai yang jenius itu selalu geli melihat sesuatu yang manis di depannya.

Dengan hembusan napas yang lebih terdengar seperti jengkel, umin pun menjauhkan tangannya setelah meninggalkan satu usapan di pucuk rambut sam. Tindakan kecil umin mampu buat pipi sam bersemu layaknya buah persik. Astaga, sam sadarlah!

Ia dan umin merupakan teman lama, tidak boleh melibatkan perasaan.

“Jadi gimana?” Tanya lixie, “gue khawatir lo dikejar si rei.”

“Kalau pun dia dikejar, rei ga peduli uangnya, lix. Pasti dia mau sam balik.”

Kini sam dihadangkan dengan pilihan yang sulit. Salahnya sendiri selalu menggantungkan hidup ketika ia masih menjalin hubungan dengan rei. Sekarang semua sudah pupus, lalu bagaimana sam bertahan hidup?

Ia butuh uang di atas segalanya. Uang, uang, dan uangㅡ bagaimana sam mendapatkan benda tipis tersebut dalam jumlah yang banyak?

“Gue ada kenalan, mungkin lo bisa coba kesana. Tapi dia selektif banget, lo harus pinter-pinter.”

Ketiga pemuda tersebut menajamkan pendengarannya dekat ke lixie. Sementara lelaki mungil itu sibuk berbalas pesan dengan seseorang.

“Memangnya kerja apa?”

“Jadi guru les.”

Apa?

Sam tidak salah dengar kan? Bagaimana bisa lixie menyuruhnya untuk menjadi guru les sementara ia sendiri tidak tau keahliannya terletak dimana.

Bukan kah ini sedikit beresiko? Namun sam tergiur dengan iming-iming uang yang nominalnya tidak sedikit. Meski begitu tanggung jawabnya jadi sangat besar, ini anak manusia yang bergantung padanyaㅡ bukan binatang.

“Guru les tari, tidak sulit kan?”

“Tapi lix, gue kan udah lama ga nari?”

“Pasti lo bisa,” ucap fares, “kok lo jadi minder gini? Biasanya semangat lo naik drastis kalo udah denger kata uang.”

“Tapi dia mau yang lulusan universitas terbaik.”

Senyum sam yang awalnya mengembang bak orang yang baru memenangkan lotre perlahan meluntur seperti disiram air. Apa katanya lagi? Lulusan universitas terbaik?

Bahkan sam sendiri tidak kuliah.

Bagaimana?

Habislah.

“Jangan khawatir, gue bisa ngatasin hal itu.” Sambar lixie kemudian memasukkan ponselnya ke dalam tas. Sudut bibirnya membentuk ukiran kecil menghasilkan satu kerutan halus di dahi sam, ia terlihat mencurigakan.

Disini sam berdiri, dengan pakaian semi formal serta polesan tipis sebagai pemanis wajahnya yang sudah manis. Mau apa pun yang diletakkan di tubuh sam memang hasilnya akan sangat apik, bahkan dengan setelan seadanya.

Jemarinya meremat kecil berkas yang lixie barusan beri pagi ini, entah apa isinyaㅡ lix bilang untuk percaya saja padanya. Baiklah, sam hanya perlu mempersiapkan mental.

Sebelum memencet bel, ia berkaca dulu pada pantulan keramik hitam yang tertempel disana. Mengkoreksi penampilannya, pastiin tidak ada yang kurang. Rambut panjang yang diikat setengah dengan poni tanggung dirapikan sedikit.

“Ayo sam.”

Tombol kecil tersebut disentuh sekali oleh sam. Ia menunggu dengan mengetuk ujung kakinya lebih ke gugup. Bibir bawah sedari tadi dikulum buat netralisir jantung yang rasanya seperti ingin keluar lewat kerongkongan.

Entahlah, insting hyunjin berkata lain. Namun lixie tetap mengatakan untuk tenang dan percaya saja.

Baiklah.

Tak lama kemudian pagar hitam tersebut terbuka, dari dalam seorang wanita dengan pakaian maid keluar menyambut hyunjin dengan senyuman terbaiknya.

“Sam hwang, ya?”

“Iya.” Sam menyodorkan tangannya, “salam kenal.” Ia pun ikut menghadirkan senyum terbaik yang biasa ditunjukkan untuk orang-orang.

“Silahkan masuk tuan sam. Sepatu harap dilepas dan diganti dengan sendal ini ya.”

Sam lagi-lagi mengangguk. Matanya menatap agung desain rumah yang tidak terlalu besar namun sangat elegan ini. Pasti yang punya mengeluarkan uang yang tidak sedikit membangun fondasi demi fondasi indah ini.

Senyum sam terukir kecil, di angannya terbayang uang-uang yang menari mengelilingi dirinya yang terbaring bahagia. Indahnya hidup.

“Anda bisa ke sana, tuan sam. Kalau begitu saya undur diri dahulu.” Ucap maid tersebut, hyunjin balas dengan angguk kecil.

Disini ia diarahkan. Tempat yang agaknya merupakan ruang tamu dengan bingkai kaca yang teramat besar menampilkan pemandangan langsung ke arah taman serta kolam renang. Kelereng sam menangkap satu figur kokoh dengan balutan kemeja hitam tengah berdiri sambil memegang satu buku tebal, terlihat sedang membaca.

Tarik napas, buang, tarik napas, buang. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?

Dengan langkah pasti sam menghampiri sosok lelaki dengan punggung lebar itu. “Permisi, selamat pagi.” Sapanya sesopan mungkin.

Pria dengan rambut coklat yang ditata rapi kebelakang tersebut menoleh sedikit. Menanggalkan kacamata bacanya untuk dilipat kemudian diletakkan di atas meja kaca. Ada jeda sebentar sebelum senyum pria itu terukir.

“Sam hwang?”

“Iya,” sam menawarkan jabatan tangan dan disambut dengan baik oleh pria tersebut. “Salam kenal.”

“Saya Chan Bang.” Balasnya dengan tenang namun tetap tegas.

Kenapa ia mendadak gugup hingga telapak tangannya berkeringat. Pembawaan pria dengan hidung bangir itu sedikit membuat sam jatuh hati. Tenang danㅡ ekhem, tampan.

Baiklah, opsi terakhir tidak ada sangkut pautnya. Namun kalau sam boleh jujur, pria ini sangat tampan. Bukan dari segi wajahnya, sam pun tak tau. Tapi sesuatu dari pria ini sangat menarik.

“Silahkan duduk, sam. Mari berbincang sedikit.”

“Saya direkomedasikan oleh salah seorang teman. Eumㅡ katanya anda butuh seorang guru les, ya?”

“Iya benar. Anak saya sudah lama ingin belajar tari, terutama dance pop begitu. Entahlah, saya selalu sibuk di rumah sakit, jadi kurang memahami jalan pikirnya.”

“Ah, begitu.” ㅡia merupakan seorang dokter. Begitu yang sam simpulkan sejauh ini. Dilihat dengan buku yang barusan ia baca juga merupakan tentang anatomi manusia yang diyakini tebalnya seribu halaman.

“Kalau begitu, boleh saya lihat?” Ucap chan, mata lirik map yang sam bawa dan langsung diserahkan. Sementara si manis gugup setengah mati namun masih berusaha untuk menyembunyikan.

“Kalau begitu, boleh kah saya berkenalan dengan anak anda?”

“Hm?”

“Berkenalan dengan anak anda.” Sam mengulangi kalimatnya. Chan terlalu serius melihat kertas yang lixie bekalkan. Bahkan sam sendiri tidak tau apa isinya, semoga itu hal yang baik.

“Saya salut denganmu, sam. Kamu sangat mendalami apa yang kamu suka.” Chan meletakkan kertas-kertas itu, “mulai hari ini kamu sudah boleh bekerja. Gaji awal akan saya transfer hari ini juga, silahkan beri nomor rekeningmu, okay?”

Akhirnya gaji pertama yang nominalnya sangat besar! Haha, sam rasanya ingin memeluk lixie karena telah merekomendasikannya kepada salah satu orang terkaya di negara ini,“baiklah, tuan Chan. Terima kasih banyak.”

“Tidak, sam. Saya yang berterimakasih. Mari saya ajak ke kamar ayen.”

Chan menawarkan tangannya membuat sam sedikit tertegun sebelum pada akhirnya menyambut. Keduanya berjalan beriringan menuju lantai kedua, melangkah perlahan di atas anak tangga yang berlapis kaca satu demi satu.

“Maafkan saya, sam. Sebenarnya ijazah dan yang lainnya harusnya tidak perlu karena saya merupakan tipikal orang yang lebih mengandalkan skill. Kamu tau? Biasanya ijazah dan lainnya itu bisa dimanipulasi.”

“A- ah, iya anda benar..”

“Namun satu orang lagi tidak setuju dengan pendapatku.”

Dan yang sam lupa, pasti ia sudah menikah (tentu) Mendadak kaki terasa lemas, padahal apa yang sam harapkan sih? Masih banyak kok lelaki tampan di luar sana.

Argh! Kenapa ia malah memiliki tipe seperti chan? Orang pertama yang baru ditemuinya pagi ini. Semoga tuhan menyisakan satu seperti chan.

Cklek.

“Dia di dalam.”

Tunggu.

Tunggu sebentar.

Kenapa ada dua chan?

“Chan, siapa dia?” Ujar lelaki yang memiliki rambut pirang serta headphone hitam yang menggantung di lehernya. Penampilannya sedikit sembrono dibanding chanㅡ kaos hitam dan celana kain diatas lutut. Kulit mereka sama pucatnya dan wajah itu, persis!

Ada apa ini? Rasanya sam seperti dibawa ke dunia lain yang sangat aneh. Ia pun kembali menoleh ke belakang dimana chan masih disana, tersenyum kepadanya.

“Dia chrisㅡ Chris bang, kembaranku.”

“Anda kembar?” Tanya sam, spontan.

Sementara mata tangkap sosok lain juga yang diyakini sebagai ayen, karena wajahnya berbeda sendiri. Hyunjin kira yang ia akan ajar merupakan seorang anak-anak berumur delapan tahun, namun jika dilihat dan dikiraㅡ ayen merupakan anak berumur empat belas tahun dan dianugerahi tubuh tinggi, juga tampan! Semua yang ada di rumah ini mempunyai visual yang memabukkan.

Mungkin wajah hyunjin masih kentara akan rasa kaget sehingga membuat chan satu lagiㅡ chris (begitulah sam menyebutnya) melangkahkan kaki ke hadapannya. Lidah pria itu menjilat bibir bawahnya yang tampak kering dan mengikis jarak antara wajahnya dan sam.

“Manis. Namanya sam, kan?”

“Iya, ini yang jeongin rekomendasikan lewat lixie.”

Sudut bibir chris tertarik membentuk senyum yang menyebalkan yang sayangnya tampan. Sangat kontras dengan chan yang dominan menenangkan. Sam sedikit kesal dengan senyuman yang dibuat oleh chris ini.

“Buat dirimu nyaman, sam.” Sebelah tangan diambil kemudian punggung tangan tersebut dikecup pelan, “anggap saja rumah sendiri.”

Apa semua orang di rumah ini mempunyai bakat untuk memporak-porandakan hati orang lain? Perlakuannya terlalu manis!

“Um, i- iya tuan chris, terimakasih.”

“Baiklah, kalau begitu kami harus pergi. Saya harus ke rumah sakit dan chris akan pergi ke studio. Kalau kamu butuh sesuatu, ada maid di bawah siap melayani. Ayen, baik-baik ya dengan guru baru?”

Intonasi rendah tersebut sangat nyaman untuk di dengar. Sam sangat menyukainya, namun tidak dengan chris.

“Bro! Kakak cuma sebentar di studio, nanti malam sudah pulang. Nanti kita lanjut lagi bermain game nya, okay?”

Namun tampaknya ayen lebih dekat ke chris dibanding chan. Sekali lagi, apa karena pembawaan chan yang tenang namun tetap tegas? Mungkin karena chan mempunyai figur sebagai ayah.

Keduanya pergi meninggalkan hyunjin dan ayen berdua di kamar. “Studionya di sebelah, kan?”

Ayen mengangguk kecil sebelum berdiri. Bahkan tinggi anak ini hampir menyaingi sam di umurnya yang masih belasan. Pasti kedua kakak kembar itu mengasupi dirinya dengan baik.

“Jadi kamu anaknya chan?”

“Sebenarnya aku bukan anak mereka berdua.” Jawab ayen seadanya. Kini malah hyunjin yang tertegun.

“Maksudmu?”

“Aku bukan anak mereka berdua, kak. Mereka hanya merawatku. Aku tidak punya orang tua sejak bayi.”

“Tapi chan tadi bilang kamu anaknya,” sam mengulum bibirnya sedikit, “baiklah maafkan aku.”

“No problem. Aku harap kak sam ga menyesal jadi guru aku.”

Okay, anak ini sedikit membuat sam berpikir janggal, “kenapa harus menyesal?”

“Mereka, kak Chan dan Chris sering membicarakanmu. Sudah lumayan lama.”

Chris memberhentikan mobil pajero hitamnya di halaman rumah sakit megah warisan orang tua mereka. Chan bersiap-siap untuk turun dan mengambil jas yang tersampir di jok belakang.

“Lo pulang sendiri, kan?”

“Iya, ada mobil di sini.”

“Chan.” Panggil si rambut pirang, “lo yakin dengan semua ini?”

Yang mempunyai gelar sebagai dokter menahan kenop pintu yang ingin dibuka, “aku yakin, chris.”

“Aku yakin pembunuh orang tua ayen ada sangkut pautnya dengan keluarga sam.”

Chan menampilkan senyum manisnya yang tampak sangat menyeramkan di mata chris, “kita bisa mendapatkannya lewat sam.”

Helaan napas yang menunjukkan ia pasrah keluar dari mulut chris. “Okay, gue percaya lo.”

“Semua demi ayen.”

Chan dan Chris sangat menanti apa yang akan terjadi berikutnya.

Blueishby (@Chanthusiast_)

  • G e t i n t o u c h

➼ Suasana di ruangan bernuansa vintage tersebut berbanding terbalik dengan keadaan mereka. Warna-warna alami yang disuguhkan dengan tujuan memanjakan mata seaakan tak berpengaruh untuk keempat pemuda yang usianya hampir menginjak dewasa. Bahkan empat cangkir kopi dengan hiasan foam putih serta sepiring kukis coklat hanya jadi panjangan di atas meja rakit berbahan rotan.

“Intinya lo harus hemat.” Ucap si rambut coklat, Umin. Langsung tarik cangkir kopinya yang airnya sudah mendingin untuk diminum.

Sementara Sam lagi-lagi sibuk memilin sweater berbahan rajut guna meminimalisir pikiran-pikiran yang membuat kepalanya berat. Fares bukannya tidak punya hati untuk menenangkan sam, namun nyatanya apa yang disampaikan umin sepenuhnya benar.

“Dicoba dulu,” lanjut lixie, “daripada lo dikejer rei terus? Aduh, makanya gaya hidup lo jangan hedon banget.”

“Ya, tapi dia bilang bakal kasih gue semuanya?”

“Konsepnya bukan gitu juga.” Bagaimana caranya umin menjelaskan hal ini, “gini, kalian kan belum sampai tahap menikah. Jadi uang rei sepenuhnya bukan hak lo.”

“Lagian lo suka banget sih mancing si rei? Udah tau anaknya susah kontrol emosi.”

Fares terkikik geli saat itu juga, “sam kan cuma mau uangnya.” Langsung dihadiahi satu tamparan cantik dari tangan mulus sam. Si pelaku malah tetap ketawa tanpa rasa bersalah, lixie dan umin cuma bisa geleng kepala.

Dari dulu sampai sekarang, tiada hari tanpa beradu mulut.

“Makanya sam. Kalo mau hubungan adem aja, ya jangan buat ulah.”

“Lagian siapa sih yang ga marah pas ketahuan pacarnya jalan sama cowo lain?”

Sedari tadi sam merasa tersudut hingga cibiran tanpa suara keluar dari belah bibir tebalnya, “kalian pikir gue lakuin itu tanpa alasan? Yang mulai duluan rei kali. Makanya jangan macem-macem sama gue.” Bibirnya yang semula mengeluarkan cibiran lanjut membentuk kerucut menandakan kalau dirinya kesal.

Poni berwarna pirang yang terlihat cantik menjuntai melewati mata, namun dengan sigap umin langsung menyampirkan kumpulan helai lembut tersebut ke samping telinga sam.

Yang tentu saja mengundang tatapan penasaran dari fares dan lixie. Mengingat bagaimana hubungan mereka dulu yang sudah kandas padahal belum sempat berlayar.

“Gue ada di sini kalau lo butuh tempat untuk istirahat.”

“Terus gue sama lixie dianggap apa? Lampu jalan yang dilewatin doang?”

Memang yang namanya fares, tidak bisa sedikit saja membiarkan orang lain terhanyut dalam momen manis. Jiwa keirian yang tingginya hampir menyentuh langit menyebabkan lelaki tupai yang jenius itu selalu geli melihat sesuatu yang manis di depannya.

Dengan hembusan napas yang lebih terdengar seperti jengkel, umin pun menjauhkan tangannya setelah meninggalkan satu usapan di pucuk rambut sam. Tindakan kecil umin mampu buat pipi sam bersemu layaknya buah persik. Astaga, sam sadarlah!

Ia dan umin merupakan teman lama, tidak boleh melibatkan perasaan.

“Jadi gimana?” Tanya lixie, “gue khawatir lo dikejar si rei.”

“Kalau pun dia dikejar, rei ga peduli uangnya, lix. Pasti dia mau sam balik.”

Kini sam dihadangkan dengan pilihan yang sulit. Salahnya sendiri selalu menggantungkan hidup ketika ia masih menjalin hubungan dengan rei. Sekarang semua sudah pupus, lalu bagaimana sam bertahan hidup?

Ia butuh uang di atas segalanya. Uang, uang, dan uangㅡ bagaimana sam mendapatkan benda tipis tersebut dalam jumlah yang banyak?

“Gue ada kenalan, mungkin lo bisa coba kesana. Tapi dia selektif banget, lo harus pinter-pinter.”

Ketiga pemuda tersebut menajamkan pendengarannya dekat ke lixie. Sementara lelaki mungil itu sibuk berbalas pesan dengan seseorang.

“Memangnya kerja apa?”

“Jadi guru les.”

Apa?

Sam tidak salah dengar kan? Bagaimana bisa lixie menyuruhnya untuk menjadi guru les sementara ia sendiri tidak tau keahliannya terletak dimana.

Bukan kah ini sedikit beresiko? Namun sam tergiur dengan iming-iming uang yang nominalnya tidak sedikit. Meski begitu tanggung jawabnya jadi sangat besar, ini anak manusia yang bergantung padanyaㅡ bukan binatang.

“Guru les tari, tidak sulit kan?”

“Tapi lix, gue kan udah lama ga nari?”

“Pasti lo bisa,” ucap fares, “kok lo jadi minder gini? Biasanya semangat lo naik drastis kalo udah denger kata uang.”

“Tapi dia mau yang lulusan universitas terbaik.”

Senyum sam yang awalnya mengembang bak orang yang baru memenangkan lotre perlahan meluntur seperti disiram air. Apa katanya lagi? Lulusan universitas terbaik?

Bahkan sam sendiri tidak kuliah.

Bagaimana?

Habislah.

“Jangan khawatir, gue bisa ngatasin hal itu.” Sambar lixie kemudian memasukkan ponselnya ke dalam tas. Sudut bibirnya membentuk ukiran kecil menghasilkan satu kerutan halus di dahi sam, ia terlihat mencurigakan.

Disini sam berdiri, dengan pakaian semi formal serta polesan tipis sebagai pemanis wajahnya yang sudah manis. Mau apa pun yang diletakkan di tubuh sam memang hasilnya akan sangat apik, bahkan dengan setelan seadanya.

Jemarinya meremat kecil berkas yang lixie barusan beri pagi ini, entah apa isinyaㅡ lix bilang untuk percaya saja padanya. Baiklah, sam hanya perlu mempersiapkan mental.

Sebelum memencet bel, ia berkaca dulu pada pantulan keramik hitam yang tertempel disana. Mengkoreksi penampilannya, pastiin tidak ada yang kurang. Rambut panjang yang diikat setengah dengan poni tanggung dirapikan sedikit.

“Ayo sam.”

Tombol kecil tersebut disentuh sekali oleh sam. Ia menunggu dengan mengetuk ujung kakinya lebih ke gugup. Bibir bawah sedari tadi dikulum buat netralisir jantung yang rasanya seperti ingin keluar lewat kerongkongan.

Entahlah, insting hyunjin berkata lain. Namun lixie tetap mengatakan untuk tenang dan percaya saja.

Baiklah.

Tak lama kemudian pagar hitam tersebut terbuka, dari dalam seorang wanita dengan pakaian maid keluar menyambut hyunjin dengan senyuman terbaiknya.

“Sam hwang, ya?”

“Iya.” Sam menyodorkan tangannya, “salam kenal.” Ia pun ikut menghadirkan senyum terbaik yang biasa ditunjukkan untuk orang-orang.

“Silahkan masuk tuan sam. Sepatu harap dilepas dan diganti dengan sendal ini ya.”

Sam lagi-lagi mengangguk. Matanya menatap agung desain rumah yang tidak terlalu besar namun sangat elegan ini. Pasti yang punya mengeluarkan uang yang tidak sedikit membangun fondasi demi fondasi indah ini.

Senyum sam terukir kecil, di angannya terbayang uang-uang yang menari mengelilingi dirinya yang terbaring bahagia. Indahnya hidup.

“Anda bisa ke sana, tuan sam. Kalau begitu saya undur diri dahulu.” Ucap maid tersebut, hyunjin balas dengan angguk kecil.

Disini ia diarahkan. Tempat yang agaknya merupakan ruang tamu dengan bingkai kaca yang teramat besar menampilkan pemandangan langsung ke arah taman serta kolam renang. Kelereng sam menangkap satu figur kokoh dengan balutan kemeja hitam tengah berdiri sambil memegang satu buku tebal, terlihat sedang membaca.

Tarik napas, buang, tarik napas, buang. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?

Dengan langkah pasti sam menghampiri sosok lelaki dengan punggung lebar itu. “Permisi, selamat pagi.” Sapanya sesopan mungkin.

Pria dengan rambut coklat yang ditata rapi kebelakang tersebut menoleh sedikit. Menanggalkan kacamata bacanya untuk dilipat kemudian diletakkan di atas meja kaca. Ada jeda sebentar sebelum senyum pria itu terukir.

“Sam hwang?”

“Iya,” sam menawarkan jabatan tangan dan disambut dengan baik oleh pria tersebut. “Salam kenal.”

“Saya Chan Bang.” Balasnya dengan tenang namun tetap tegas.

Kenapa ia mendadak gugup hingga telapak tangannya berkeringat. Pembawaan pria dengan hidung bangir itu sedikit membuat sam jatuh hati. Tenang danㅡ ekhem, tampan.

Baiklah, opsi terakhir tidak ada sangkut pautnya. Namun kalau hyunjin boleh jujur, pria ini sangat tampan. Bukan dari segi wajahnya, sam pun tak tau. Tapi sesuatu dari pria ini sangat menarik.

“Silahkan duduk, sam. Mari berbincang sedikit.”

“Saya direkomedasikan oleh salah seorang teman. Eumㅡ katanya anda butuh seorang guru les, ya?”

“Iya benar. Anakku sudah lama ingin belajar tari, terutama dance pop begitu. Entahlah, aku selalu sibuk di rumah sakit, jadi kurang memahami jalan pikirnya.”

“Ah, begitu.” ㅡia merupakan seorang dokter. Begitu yang sam simpulkan sejauh ini. Dilihat dengan buku yang barusan ia baca juga merupakan tentang anatomi manusia yang diyakini tebalnya seribu halaman.

“Kalau begitu, boleh saya lihat?” Ucap chan, mata lirik map yang sam bawa dan langsung diserahkan. Sementara si manis gugup setengah mati namun masih berusaha untuk menyembunyikan.

“Kalau begitu, boleh kah saya berkenalan dengan anak anda?”

“Hm?”

“Berkenalan dengan anak anda.” Sam mengulangi kalimatnya. Chan terlalu serius melihat kertas yang lixie bekalkan. Bahkan sam sendiri tidak tau apa isinya, semoga itu hal yang baik.

“Saya salut denganmu, sam. Kamu sangat mendalami apa yang kamu suka.” Chan meletakkan kertas-kertas itu, “mulai hari ini kamu sudah boleh bekerja. Gaji awal akan saya transfer hari ini juga, silahkan beri nomor rekeningmu, okay?”

Akhirnya gaji pertama yang nominalnya sangat besar! Haha, sam rasanya ingin memeluk lixie karena telah merekomendasikannya kepada salah satu orang terkaya di negara ini,“baiklah, tuan Chan. Terima kasih banyak.”

“Tidak, sam. Saya yang berterimakasih. Mari saya ajak ke kamar ayen.”

Chan menawarkan tangannya membuat sam sedikit tertegun sebelum pada akhirnya menyambut. Keduanya berjalan beriringan menuju lantai kedua, melangkah perlahan di atas anak tangga yang berlapis kaca satu demi satu.

“Maafkan saya, sam. Sebenarnya ijazah dan yang lainnya harusnya tidak perlu karena saya merupakan tipikal orang yang lebih mengandalkan skill. Kamu tau? Biasanya ijazah dan lainnya itu bisa dimanipulasi.”

“A- ah, iya anda benar..”

“Namun satu orang lagi tidak setuju dengan pendapatku.”

Dan yang sam lupa, pasti ia sudah menikah (tentu) Mendadak kaki terasa lemas, padahal apa yang sam harapkan sih? Masih banyak kok lelaki tampan di luar sana.

Argh! Kenapa ia malah memiliki tipe seperti chan? Orang pertama yang baru ditemuinya pagi ini. Semoga tuhan menyisakan satu seperti chan.

Cklek.

“Dia di dalam.”

Tunggu.

Tunggu sebentar.

Kenapa ada dua chan?

“Chan, siapa dia?” Ujar lelaki yang memiliki rambut pirang serta headphone hitam yang menggantung di lehernya. Penampilannya sedikit sembrono dibanding chanㅡ kaos hitam dan celana kain diatas lutut. Kulit mereka sama pucatnya dan wajah itu, persis!

Ada apa ini? Rasanya sam seperti dibawa ke dunia lain yang sangat aneh. Ia pun kembali menoleh ke belakang dimana chan masih disana, tersenyum kepadanya.

“Dia chrisㅡ Chris bang, kembaranku.”

“Anda kembar?” Tanya sam, spontan.

Sementara mata tangkap sosok lain juga yang diyakini sebagai ayen, karena wajahnya berbeda sendiri. Hyunjin kira yang ia akan ajar merupakan seorang anak-anak berumur delapan tahun, namun jika dilihat dan dikiraㅡ ayen merupakan anak berumur empat belas tahun dan dianugerahi tubuh tinggi, juga tampan! Semua yang ada di rumah ini mempunyai visual yang memabukkan.

Mungkin wajah hyunjin masih kentara akan rasa kaget sehingga membuat chan satu lagiㅡ chris (begitulah sam menyebutnya) melangkahkan kaki ke hadapannya. Lidah pria itu menjilat bibir bawahnya yang tampak kering dan mengikis jarak antara wajahnya dan sam.

“Manis. Namanya sam, kan?”

“Iya, ini yang jeongin rekomendasikan lewat lixie.”

Sudut bibir chris tertarik membentuk senyum yang menyebalkan yang sayangnya tampan. Sangat kontras dengan chan yang dominan menenangkan. Sam sedikit kesal dengan senyuman yang dibuat oleh chris ini.

“Buat dirimu nyaman, sam.” Sebelah tangan diambil kemudian punggung tangan tersebut dikecup pelan, “anggap saja rumah sendiri.”

Apa semua orang di rumah ini mempunyai bakat untuk memporak-porandakan hati orang lain? Perlakuannya terlalu manis!

“Um, i- iya tuan chris, terimakasih.”

“Baiklah, kalau begitu kami harus pergi. Saya harus ke rumah sakit dan chris akan pergi ke studio. Kalau kamu butuh sesuatu, ada maid di bawah siap melayani. Ayen, baik-baik ya dengan guru baru?”

Intonasi rendah tersebut sangat nyaman untuk di dengar. Sam sangat menyukainya, namun tidak dengan chris.

“Bro! Kakak cuma sebentar di studio, nanti malam sudah pulang. Nanti kita lanjut lagi bermain game nya, okay?”

Namun tampaknya ayen lebih dekat ke chris dibanding chan. Sekali lagi, apa karena pembawaan chan yang tenang namun tetap tegas? Mungkin karena chan mempunyai figur sebagai ayah.

Keduanya pergi meninggalkan hyunjin dan ayen berdua di kamar. “Studionya di sebelah, kan?”

Ayen mengangguk kecil sebelum berdiri. Bahkan tinggi anak ini hampir menyaingi sam di umurnya yang masih belasan. Pasti kedua kakak kembar itu mengasupi dirinya dengan baik.

“Jadi kamu anaknya chan?”

“Sebenarnya aku bukan anak mereka berdua.” Jawab ayen seadanya. Kini malah hyunjin yang tertegun.

“Maksudmu?”

“Aku bukan anak mereka berdua, kak. Mereka hanya merawatku. Aku tidak punya orang tua sejak bayi.”

“Tapi chan tadi bilang kamu anaknya,” sam mengulum bibirnya sedikit, “baiklah maafkan aku.”

“No problem. Aku harap kak sam ga menyesal jadi guru aku.”

Okay, anak ini sedikit membuat sam berpikir janggal, “kenapa harus menyesal?”

“Mereka, kak Chan dan Chris sering membicarakanmu. Sudah lumayan lama.”

Chris memberhentikan mobil pajero hitamnya di halaman rumah sakit megah warisan orang tua mereka. Chan bersiap-siap untuk turun dan mengambil jas yang tersampir di jok belakang.

“Lo pulang sendiri, kan?”

“Iya, ada mobil di sini.”

“Chan.” Panggil si rambut pirang, “lo yakin dengan semua ini?”

Yang mempunyai gelar sebagai dokter menahan kenop pintu yang ingin dibuka, “aku yakin, chris.”

“Aku yakin pembunuh orang tua ayen ada sangkut pautnya dengan keluarga sam.”

Chan menampilkan senyum manisnya yang tampak sangat menyeramkan di mata chris, “kita bisa mendapatkannya lewat sam.”

Helaan napas yang menunjukkan ia pasrah keluar dari mulut chris. “Okay, gue percaya lo.”

“Semua demi ayen.”

Chan dan Chris sangat menanti apa yang akan terjadi berikutnya.

  • C L O S E

➼ Hwang hyunjin cuma anak biasa. Bukan anak dari CEO kaya yang bergelimang harta atau bagian dari royal family yang megah.

Bahkan orang tua pun tak ada. Hyunjin tak tau menahu tentang mereka, yang ia tauㅡpanti asuhan adalah rumahnya.

Mungkin hidupnya sedikit beruntung karena diangkat oleh pasangan yang tidak bisa memiliki anak. Dibesarkan dengan penuh kasih sayang walau bukan orang tua biologis.

Tetapi hanya sebentar, kecelakaan pesawat 2 tahun yang lalu merenggut nyawa orang terkasih kemudian meninggalkan hyunjin sebatang karaㅡlagi. Untungnya metode bertahan hidup sudah hyunjin pelajari dari dulu. Tak sulit baginya, ditambah lagi dengan sebagian warisan peninggalan sang orang tua membantunya menunjang hidup.

Di lantai dua gedung falkutas, berhadapan langsung dengan lapangan di bawah, hyunjin berdiri diam.

Meminum susu pisang dengan tangan bertumpu di pagar besi berkilap. Melamun menerawang jauh sambil menyusun rencana yang sangat ingin dilakukan setelah lulus nanti.

Memandang jemu ke orang-orang yang sibuk menata panggung. Oh, ya hyunjin baru ingatㅡ ada festival musik nanti malam. Pantas saja semua sibuk.

“Padahal lulus masih lama,”

Terlalu bersemangat untuk keluar dari gedung yang di dominasi kaca bening, karena hidupnya yang begitu monoton sejak memutuskan untuk mengayom pendidikan di sini.

Tak banyak temannya, hanya beberapa. Yang mempunyai kadar gila yang sama dengan hyunjin. Jujurㅡhyunjin sulit untuk membangun komunikasi dengan orang lain. Jiwa intovert yang sudah mendarah daging sangat sulit dihilangkan.

“Hoi,”

Hyunjin berdecih pelan. Melirik tak suka ke lelaki manis berpipi bulat yang tengah menggantung tangan di bahu nya.

Melepas sedotan putih itu dari mulut, “ganggu ketenangan.” Racaunya pelan, masukan lagi tangkai tipis tersebut lewat bibir.

“Judes amat.”

Jisung tertawa jenaka membuat hyunjin mau tak mau ikut terkekeh. Temannya itu punya tawa yang khas membuat siapa pun yang mendengar pasti tergelak.

“Ikut festival nanti malem?”

Mengendik bahu acuh, hyunjin lanjut fokus ke bawah sana, “ikut kayaknya. Gue butuh refreshing.”

Tak dapat dipungkiri jisung terlonjak senang. Akhirnya setelah hobi hyunjin yang membenam di bawah selimut, lelaki manis itu menyudikan kakinya untuk langkah keluar. Ya walaupun kos dan kampus tidak terlalu jauh.

Tetapi hyunjin abai dengan celotehan jisung tepat di samping telinga nya. Mulut yang masih menyedot susu pisang, tetapi mata yang terfokus ke satu orang.

Rambut coklat, membawa papan pipih berisikan kertas-kertas, lelaki itu ikut andil dalam penataan panggung. Hyunjin bertaruh, dia bukan sembarang orang. Bukan juga orang biasa seperti dirinya. Pasti salah satu bagian organinasi.

Entah kenapa otak hyunjin mendadak sarat akan beribu pertanyaan tentang lelaki bertampang datar di sana.

“Sung. Yang rambut coklat, siapa dia?”

Diantara lautan manusia, mata hyunjin malah tertuju kepadanya.

.

Dering ponsel begitu memekakkan telinga, seperti tak sabaran orang diseberang sana hanya untuk menunggu, padahal tak lamaㅡhyunjin hanya perlu memakai bedak sebagai sentuhan akhir.

“Sialan. Sabar sih!”

Terlintas ingin membanting ponsel nya saat itu juga kalau belum ingat cicilan ponselnya tinggal sekali bayar lagi. Hyunjin menghela napas, akui kalau dirinya sedikit emosian beberapa hari kebelakang ini. Mengabaikan mungkin lebih baik.

“Lama banget dandannya,”

“Berisik.”

Empat sekawan itu berjalan di bawah gemerlap bintang. tiga dari mereka sibuk tertawa dan meledek, sementara satunya mengerucut dengan wajah tertekuk.

Sibuk membicarakan bintang tamu festival musik tahun ini yang katanya anak band.

Tapi hyunjin bodoamat, ketertarikannya bukanlah ke hal seperti itu. Lebih lari ke buku tetapi bukanlah seorang book loversㅡ ikut hal seperti ini karena butuh hiburan, hitung-hitung nambah pengalaman. Lembar ceritanya terlalu polos, butuh ditulis dan dihias.

“Day6 kan? lo pada tau gak sih? Lagunya enak-enak banget.” Sambar felix kelewat semangat sambil melompat-lompat kecil di tempat.

“Tau lah, band abang gue kok.”

Seungmin baru ingat juga, “bener juga. Udah lama gak liat abang lo, muncul-muncul malah di kampus kita.”

“Kalo lo,” felix menoleh ke hyunjin yang masih mempertahankan wajah datarnya. “Tau Day6 ga?”

“Tau congratulations doang. Soalnya lagu sejuta umat.”

Ketiganya sukses terbahak mendengar penuturan hyunjin. Padahal tidak ada unsur jenaka sama sekali di dalam kalimatnya. Memang punya teman yang selera humor nya rendah itu beda dari yang lain.

Semakin dekat mereka berjalanㅡmasih di depan gerbang universitas, tapi suara alunan musik khas band serta lampu sorot warna-warni sudah terpampang di antara langit malam.

Euforia di tengah lapangan sana begitu terasa, padahal jarak masih jauh, harus memakan beberapa langkah lagi.

“Ayo, ayo, ayo!” Ujar jisung tak sabaran. Menarik tangan hyunjin untuk ikut berlari, sementara tangan hyunjin menarik tangan seungmin begitu juga seterusnya sampai felix. Mereka tertawa riang tanpa peduliin tatapan aneh dari mahasiswa lain.

Menerobos kepadatan orang mungkin udah jadi hal lumrah dalam menonton konser. Beberapa kali di lempar tatapan sinis dari orang lain, mereka tak peduli. Dunia berasa milik mereka sendiri, yang lain hanya figuran.

Diatas sana, Day6 sudah menenteng masing-masing alat musik. Memberi beberapa kalimat pembuka festivalㅡmembuat beberapa mahasiswa terutama perempuan histeris karena kedipan mata sang bassis YoungK.

“Kerjaan abang lo menelin orang mulu,” kata felix menepuk nepuk pundak jisung.

“Memang sih ganjen. Tapi belum punya pacar tuh, ngegalau terus iya.”

“Sudah bukan rahasia lagi memang,” balas seungmin terkekeh kecil.

Temannya yang sibuk bergumul percakapan tentang band populer di atas sana, hyunjin malah asik dengan dengan alam semesta nya sendiri.

Diantara keramaian, hyunjin merasa sendiri. Seperti waktu berhenti begitu saja. Dentuman musik seakan hilang di telan bumi, orang-orang diam  mematungㅡhanya karena hyunjin memandang sosok lelaki. Rasanya seperti tokoh utama dari drama picisan yang selalu hyunjin tonton, begitu nyata.

Sosok yang sempat mencuri atensi nya saat di lantai dua.

Fokusnya tak lagi ke arah Day6 yang sedang menyanyikan lagu yeppeoseo. Melainkan ke arah lelaki berambut gelombang yang di semir blonde.

Padahal baru tadi pagi hyunjin perhatikan rambut lelaki itu coklat. Apa mereka dua orang yang berbeda? Tetapi wajah mereka sama. Hyunjin dimakan kebingungan.

“Hei! Gak hapal lirik?”

Hyunjin menggeleng kecil menanggapi seungmin. Ah, anak iniㅡ pikir hyunjin. Padahal maniknya sedang menikmati figur tampan di jauh sana.

“Liat ponsel dong!”

“Lo aja! Gue cuma mau denger!”

Harap-harap teriakannya terdengar di telinga seungmin karena, damn lapangan ini benar-benar dialihfungsikan menjadi lahan konser. Musiknya tak tanggung-tanggung, full volume yang ada.

But, to be honestㅡ hyunjin enjoy. Walaupun dia bukanlah MyDay seperti seungmin. Day6 begitu memikat walau kalian hanya pernah mendengar dan memandang sekali. Apa mungkin efek tugas yang menumpuk dan praktek terus menerus yang membuat otaknya penuh sehingga semua hal terlihat menyenangkan jika dilakukan.

Walau tak hapal sepenggal lirik pun, hyunjin ingin mengikuti arus musik yang akan membawa ekspetasinya melambung tinggiㅡ mengalihkan pandangannya dari sang lelaki misterius yang sudah di telan keramaian.

Bodoamat. Tak begitu penting menurut hyunjin.

Tak dapat dipungkiri, hyunjin akui lagu-lagu mereka sungguh bagus. Lirik yang begitu menyentuh dan emosi yang terkandung begitu dalam di setiap bait lagu yang dinyanyikan.

Sialan. Dia cuma tau congratulations, mungkin setelah ini hyunjin harus kepo dengan mereka berlima.

“Nan neomu yeppeoseo..”

“Hyunjin.”

Sontak saja pemuda manis itu kaget saat ada yang membisikkan namanya di telinga hingga menimbulkan rasa merinding yang cepat merembet ke tubuhnya.

Kepala menoleh cepat, jantung berdegup kencangㅡ astaga, astaga, astaga. Lisannya hampir melayangkan umpatan, untungnya tertahan.

Desiran darah rasanya mengarus cepat dari otak turun ke kaki untuk kemudian naik lagi. Sialan ini lelaki yang tadi sempat hyunjin perhatikan eksistensi nya.

Senyumnyaㅡmanis. Dua titik dalam yang begitu menawan menghias di sana. Matanya mungkin sipit, namun entah bagaimana menawan. Bak memancarkan sejuta kenyamanan lewat garis kecil itu.

“Sini bentaran deh.” Ucap lelaki berambut pirang langsung ambil tangan hyunjin ditarik menjauh dari kerumunan.

Bodohnya, hyunjin mau-mau saja di tarik. Padahal, kenal saja tidak. Hyunjin cuma pernah liat dan ekhem ia tertarik.

Ada apa ini, matanya berusaha untuk melihat ke yang lain tapi jatuh ke genggaman pemuda yang kulitnya begitu putih, menarik, terkesan menuntut namun sangat lembut dan tegas.

Tak jauh dari kerumunan, masih ada beberapa mahasiswa yang memilih melihat Day6 dari jauh, di sinilah hyunjin di bawa. Pinggir lapangan.

“Maaf. Ada apa ya, kak?”

Lelaki itu berdehem, lagi-lagi tersenyum. Apa hobinya memang begitu? Tolonglah, pohon pun tunduk kepada senyumanmu. Begitu menawan, hyunjin akui.

“Sorry kalau tiba-tiba, tapiㅡboleh minta nomor ponsel kamu?”

Untuk kedua kalinya hyunjin dimakan kebingungan karena lelaki ini.

.

Dua hari berlalu sejak kejadian itu.

Tanpa sadar hyunjin jadi sering kali memegang benda pipih miliknya sejak nomor ponsel itu sampai kepada anak berambut pirang kemarin.

Apa yang di harapkan? Dia akan telpon atau chatting?

Terlalu tinggi mimpimu hyunjin.

Inisiatif akhirnya hyunjin cari tau siapa lelaki itu. Ditanya semua ketiga sahabatnya yang untungnya mereka tau.

Namanya Christopher Bang, sering di panggil Chris. Anak bisnis, asdos, dan mantan ketua Bem dan sebentar lagi lulus. Usut punya usut, dia mengundurkan diri karena gak mau terlalu membebankan dirinya, tapi langsung ditarik jadi asisten dosen.

Kebayang gak pinter nya gimana? Hyunjin can't relate.

Ayahnya pengusaha timah, sampai-sampai hyunjin disuruh googling agar dapat informasi lengkap keluarga Bang, tapiㅡibu nya tidak pernah ter-expose ke lini masa, ngebuat hyunjin agak bingung.

Tapi, ahㅡ masa bodo. Yang dibutuhkannya hanya informasi tentang chris.

Anak tunggal dan ada darah asing mengalir di dalam dirinya. Tak heran sih wajahnya agak berbeda dari kebanyakan.

Hyunjin sedikit tersenyum kala melihat instagram kakak tingkatnya itu. Ada foto bersama ratusan anak kecil, apa mungkin berkunjung ke panti asuhan? Bisa jadi. Ternyata tidak hanya wajahnya yang setampan pangeran, ia pun diberkati hati malaikat.

Keasyikan scrolling, sampai gak sadar kalau kue pesanan orang belum di masukin ke loyang.

“Astaga!”

Ponsel dilempar begitu saja, mendarat kasar di kasur. Hyunjin terbirit pergi ke dapur langsung memasukkan adonan yang udah setengah jam tetdiam di atas meja.

“Is, tuh kan! Gara-gara ngepoin cowo nih,” dumel nya kesal.

Dengan gerakan brutal dia masukin loyang kue itu ke oven, balik lagi ke kamar.

Nyambar ponsel, tapi ada satu notif masuk ke ponsel nya. Hyunjin ngernyit, nomor tidak di kenal mengirim pesan kepadanya.

Bola mata sukses membulat saat membaca pesan singkat itu. Dengan langkah secepat kilat hyunjin pergi ke depan pintu.

Cklek.

“Eh, dek. Belum tidur ya? Maaf ganggu malam-malam.”

“Eh kak, eung- gak ganggu kok.”

Chan cuma ngangguk pelan. Sebenarnya terbesit perasaan tak enak juga saat mampir ke kediaman adik tingkatnyaㅡapalagi sudah pukul 10 malam.

Tetapi apa daya, chan kebetulan lewat sini habis pulang dari kantor papa nya sambil bawa makanan. Kepikiran adik tingkat yang sudah lama dia taksir itu, akhirnya inisiatif datangㅡ di sms lewat nomor ponsel yang diminta kemarin.

“Ini,” tanpa basa-basi chan memberi plastik berisi kotak kecil berawarna oren di dalamnya. “Martabak.”

“Eh?”

Hyunjin menerima pemberian katingnya itu, alamat gendut ini makan malam-malam.

“Makasih, kak.” Senyum hyunjin.

Keduanya hening di antara angin malam. Senyuman hyunjin yang malu-malu tak luntur sejak tadi ngebuat chan terkekeh kecil.

Chan ingin bisa melihat senyum itu setiap hariㅡ saat dirinya bagun tidur sampai saat ingin terlelap lagi.

Ingin Senyuman hangat itu saat kelak chris sudah memegang perusahaan papa nyaㅡ menemaninya di ruang kerja, membicarakan hal-hal random dan membuatkan chan teh hangat sambil memberi kecupan semangat di pipinya.

Chan mau hyunjin.

Mau untuk sehidup semati.

“Besok kakak mau ngajak ke suatu tempat, boleh?”

.

Senja telah direnggut sang kegelapan. Bulan menampakkan dirinya terang-terangan di atas sana. Memberi sinar yang begitu cantik.

Hyunjin duduk di sini sambil memainkan ponselnya. Kakak tingkatnya, chrisㅡbelum menampakkan diri walau 25 menit telah berlalu.

Awalnya hyunjin tak keberatan diajak pergi ke sini oleh chris. Tapi melihat katingnya yang belum tampak batang hidungnya sama sekali sedikit ngebuat hyunjin ragu.

Apa dia dikerjain?

Tak ingin berburuk sangka. Tapi itulah yang terlintas di otak hyunjin.

“Huh!”

Lima menit lagi menuju tiga puluh menit alias setengah jam menunggu di bangku taman bercat putih ini.

Kesal. Hyunjin pikir lebih baik pergi dari sini kemudian menolak menemui chris untuk seterusnya karena hyunjin benci orang yang tidak bisa menepati waktu saat bertemu.

Earphone di lepas kasar. Hyunjin cepat mematikan musik yang tengah memutar Day6 – Still. Menghela kasar sambil menendang rumput yang tak bersalah di depannya.

“Setan.”

Mengumpat membuat sedikit lapang dadanya. Tapi hanya sebentar, dadanya gemuruh mendadak seolah terjadi badai di dalam sanaㅡ begitu melihat chris menyodorkan sebuket mawar merah kepadanya. Maksudnya, tepat di depan matanya.

“Suprise.”

Kerutan samar terlukis di dahi hyunjin. Baru saja badannya berbalik, langsung di suguhkan pemandangan yang membingungkan, atau memang hyunjin yang terlalu sulit untuk mencerna?

Chris, sebuket bunga, maksudnya?

“Jadi lo lama ngapain aja kak?”

Chris langsung cemberut. Bukan itu jawaban yang di harapkan. Sedikit menggeser buket berwarna hitam itu dari wajahnya. Matanya bertemu hyunjin. Tatapan yang tak ada lembut-lembutnya sama sekali, seperti ingin mengeluarkan kobaran api untuk membakar chan.

“Sengaja. Biar suprise.”

Hyunjin emosi. Tangannya menggenggam kuat, rasa-rasa ingin menonjok kating yang sudah membuang 25 menit berharga nya.

“Maaf, hyunjin.”

Bahu hyunjin langsung merosot ketika mendengar kata maaf terlontar dari mulut katingnya tersebut. Ah, lemah! Apa memang ini efek yang ditimbulkan ketika orang yang disukai melalukan hal yang manis?

Hyunjin menatapnya, dia hanya diam masih menggenggam sebuket mawar merah.

“Untuk?”

Chan menatap hyunjin dalam, penuh kesungguhan. “Untuk membuat kamu nunggu lama, danㅡ”

“Karena udah jatuh hati ke kamu.”

Jatungnya seaakan di terjang sesuatu. Bukannya sakit, tapi malah berdebar tak henti. Mata yang berkedip-kedip kebingungan ngebuat chan ketawa kecil.

Kaki sang kakak tingkat berjalan mendekat ke hyunjin yang masih mematung. Entah ada angin apa, tangan chan mengusap poni hyunjin yang panjang.

Yang muda masih coba mencerna situasi. Tak dapat dipungkiri dirinya kaget. Rasanya seperti di dunia dongengㅡtidak. Rasanya seperti mimpi.

“jatuh hati?”

Gugup setengah mampus. Apalagi saat mengucapkan kata singkat itu, chan lagi-lagi mengangguk. Membenarkan hal yang diucapkan adik tingkatnya. Raut wajah hyunjin yang terkesan speechless membuat tangan chan reflek yang tadinya mengusap kemudian menyampirkan poni yang semakin panjang tersebut ke samping telinga hyunjin. Tidak ada korelasinya sama sekali, namun hyunjin rasanya makin dibawa ke nirwana akibat tindakan kecilnya.

“Iya.”

Sebuket mawar di terima, senyuman tipis di berikan. Hyunjin sedikit ragu dengan pemberian chan, tapi mawar tak buruk juga.

Mungkin sebuah kesalahan menarik katingnya itu berbicara lebih jauh perihal 'jatuh hati'ㅡ

Jangan di tanya, hyunjin merasakan panas menjalar di pipinya merambat hingga telinga. Dia tau makna tersirat dari kakak tingkatnya tersebut. Ditambah lagi mawar merah yang ditangannya. Bukankah sudah jelas bunga ini melambangkan apa?

“Hyunjin.”

Mendengar namanya di panggil oleh chan memberi sengatan-sengatan aneh di tubuhnya. Lambungnya seakan penuh oleh kupu-kupu membuatnya geli sendiri. Dengan segala keberanian kelereng coklatnya menatap manik sehitam jelaga di hadapannya, “iya?”

“Aku tidak ingin terburu-buru. Pelan saja.”

“Maksud kakak?”

“Aduh,” chan gemas sendiri hingga menjawil ujung hidung mancung adik tingkatnya yang memerah akibat suhu dingin yang menusuk kulit. “Polos banget.”

“Can i get a permission to know more about you?”

Diakhiri dengan senyuman lebar tersebut, chan mengecup pucuk hidung hyunjin yang mendingin. Yang muda malah terkekeh geli sambil memukul lengan chan main-main.

Walaupun jantung masih berdegup cepat atau mungkin tidak akan reda jika lelaki pemilik senyum menawan ini menjauh, entah mengapa disisi lain hyunjin merasa hangat. Seperti ada sesuatu yang mengisi kekosongan rongga hatinya.

Sungguh unik bagaimana tuhan dapat memutarbalikkan hati manusia dalam waktu yang terbilang cepat.

ㅡ You had me at hello.

“Setelah ini hadiri rapat untuk mewakilkan papa,”

“Iya pa.”

“Jangan malu-maluin papa dan mama, lakukan yang terbaik.”

“Iya pa.”

“Jangan iya-iya saja, kamu dengar kan?”

“Hyunjin dengar.”

Tuan hwang tersenyum bangga dan menepuk punggung hyunjin, “bagus.” Kemudian pergi setelah memberikan sebuah map hitam kepada hyunjin.

Itu hal-hal yang harus di bahas untuk tender. Hyunjin menghela napas dan mengangguk, setelah itu mama dan papa nya pergi meinggalkan hyunjin sendiri di lorong perusahaan karena harus pergi ke perjalanan kantor yang akan memakan waktu yang cukup lama.

Tanpa meninggalkan sebuah kata semangat, kecupan selamat tinggal, atau senyuman hangat. Hanya menampilkan dua punggung yang telah bekerja keras hingga membesarkan dirinya hingga seperti ini. Menjadi sosok pribadi yang harus bekerja keras untuk meneruskan perjalanan mereka.

Hyunjin harus bisa memenangkan tender karena ini merupakan projek terbesar milik sang papa. Kalau hyunjin gagal, maka orang tuanya akan kecewa.

Hyunjin ingin mendapatkan pujian dan senyuman barang sekali saja dari orang tuanya, makanya hyunjin mati-matian belajar bisnis agar bisa mengambil alih bisnis orang tuanya kelak. Walaupun dirinya memang sudah tertulis menjadi pewaris selanjutnya, tujuan awal hyunjin adalah membuat mata orang tuanya hanya tertuju padanya.

Sebenarnya hyunjin sedikit bingung, kebahagiaannya atau kebahagiaan orang tuanya yang dia kejar?

.

“Selamat bro!”

Felix menjabat tangan hyunjin ketika lelaki manis itu datang menghampiri rombongan mereka. Hyunjin tentu saja menyambut kata selamat felix, “makasih ya.” Jawabnya lembut.

“Hebat banget sih lo, udah menang tender yang keberapa?”

Hyunjin duduk di kursi dekat mereka, “keempat sih,” kemudian mengambil sebuah gelas berisi tequilla yang tak jauh dari meja.

Seungmin mengangguk kecil sambil memandang side face hyunjin yang sangat sempurna. Ah, dia memang cantik sih mau dilihat dari mana pun. Pemuda yang dikenal sebagai dokter itu sangat mengagumi hyunjin.

Yang membuat semua orang itu kagum dengan hyunjin adalah kepintarannya disamping  paras cantik yang menoreh wajahnya. Banyak yang mengejar hyunjin, tapi si manis tidak ingin memberi hatinya dahulu karena terlalu sibuk menangani perusahaanㅡ satu hal yang menjadi daya tarik hyunjin juga.

“Istirahat ya habis ini, tender itu ga sebentar. Pasti makan banyak waktu.”

Anggukan seungmin dapat sebelum hyunjin meminum lagi tequilla di gelasnya, “iya, min. Tapi gue harus rekap data-data perusahaan sebentar.”

“Sebentar nya lo, lamanya gue. Kadang gue udah selesai operasiin pasien yang makan hampir delapan jam kadang, dan lo belum kelar dengan urusan lo.”

“Ya, tapi minㅡ” wajah hyunjin memelas, namun seungmin langsung menutup mulut hyunjin menggunakan jari telunjuknya, “tidur. Gaada tapi-tapi.”

“Atau perlu gue pasang cctv di kamar lo, monitorin, dan ngingetin tidur?”

Lengan seungmin jadi sasaran hyunjin, “ya jangaan.” Katanya. Si manis mendadak seperti anak kecil ketika seungmin sudah seperti itu. Hanya seungmin dan sifat dominasi nya yang bisa membuat hyunjin mengeluarkan sisi lembut yang tak pernah ditunjukkan ke sebagian orang.

“Makanya, nurut. Orang tua lo bakal di US untuk beberapa bulan ke depan. Besok masih ada, hyun. Jangan paksain tubuh lo karena rumah sakit gue udah penuh.”

“Sialan!” Sungut hyunjin, “gue ga bakal masuk rumah sakit juga kali!”

“Bisa aja, kalo lo tetep paksain. Ntar gue gamau ngerawat, soalnya dibilangin ngeyel.”

“Seungmin ih, tega lo sama gue.” Kata hyunjin lagi dengan wajah makin melas, “makanya dengerin.”

Iyain aja biar cepet, “iya min, gue tidur pulang ini.”

“Baㅡ”

“Jangan percaya min! Si hyunjin ngadi-ngadi mau tidur! Katanyaㅡ iyain aja biar cepet!”

Hyunjin menoleh ke jisung cepat dengan tatapan horror, serta aura-aura hitam sudah terasa di samping hyunjin, “lo suka banget baca pikiran gue tanpa izin!”

Jisung ketawa, “mampus lo! Si seungmin udah ngomongㅡ oh, mau bohong ya anak ini? Gelud lah kalian sana!”

“Jisung! Sibukin aja cewe-cewe lo, gausah baca pikiran seungmin sama gue!” Teriak hyunjin kesal.

.

Sudah dua gelas tequilla yang hyunjin habiskan, tapi ga teler juga. Memang sih, toleransi nya terhadap alkohol memang sedikit tinggi. Namun, sepertinya satu gelas lagi tidak apa kan?

“Eits, ga baik untuk ginjal.” Kata felix menarik gelas yang sudah menempel di bibir penuh hyunjin. Mata hyunjin lirik ke felix bertanya-tanya, namun menyerah ketika felix mengambil gelas miliknya.

Si manis melihat felix bergantian dengan rombongan teman mereka yang sedang bercengkrama di belakang, “kok misahin diri fel?”

“Mau ketemu sepupu bentar, katanya mau ketemuan di sini.” Kata felix lagi. Sejujurnya karena melihat hyunjin yang misahin diri juga sih dan penampilan si manis yang mulai kacau.

“Lo kenapa?”

“Hah?” Hyunjin menoleh, “gapapa kok.” Senyumnya tipis.

Felix menggeleng kecil, “engga, lo lagi gapapa.” Hyunjin pun merenung. Setelah lama berdiam dengan pikirannya, mulutnya pun bersuaraㅡ

“Sebenernyaㅡ ada yang gue pikirin,” kata hyunjin, “gue udah menang tender dan ngasih keuntungan ke perusahaan papa banyak banget. Tapi mereka selalu ngasih gue kritik dan kata selamat.”

“Maksudnya kata selamat, ya bener-bener selamat doang tanpa bilang kata-kata penyemangat gitu,”

“Gue seneng sih, tapi kayak belum puas. Capek juga, tapi selalu pengen push diri gue.”

“Bingung fel,”

Helaan napas keluar dari belah bibir felix. Tangannya terulur untuk mengusap bahu hyunjin guna menguatkan teman seperjuangannya. “Kita semua bangga kok sama lo, jin. Jangan terlalu push diri, ya? Waktu lo masuk rumah sakit dua minggu yang lalu aja kita khawatir banget, soalnya gaada yang nanggung traktiran pas ngumpul.

“Bangsat,” sungut hyunjin sembari terkekeh, tapi kemudian felix lanjut lagi, “bener tau, but seriously kita semua bangga sama lo.”

“Makasih udah bekerja keras ya, kalau capekㅡ coba cari pelarian, jangan yang negatif loh ya, nakal dikit gapapa lah. Kalau ada yang ganjel, cerita ke kita-kita, oke?”

“Iya, fel. Thanks bro.” Senyumnya manis.

“Mau kenalan sama sepupu gue ga?” Felix naik turunin alisnya bikin hyunjin keanehan, “baddas habis. Jadi investor di perusahaan papa lo juga.”

Tentu saja mendengar penuturan felix hyunjin dibuat kaget oleh nya, “yang bener lo, Kok gue ga pernah tau ya?”

“Ya, mungkin itu urusan papa lo. But yes. He's rich af, has a lot girlfriends, and bussiness.”

“Sekaya apa sih?” Ledek hyunjin, “pengen dong dibeliin jet pribadi.”

“Ntar gue bilangin, orangnya royal parah. But be careful, sedikit brengsek orangnya.” Kekeh felix.

“Tapi kalau untuk dijadiin temen seru kok.”

“Btw gue cuma bercanda yang soal beli jet pribadi fel.”

“Siapa yang mau beli jet pribadi?”

Fuck, badan hyunjin menegang kemudian kala mendengar suara berat muncul dari balik tubuhnya. Felix sedikit mengubah posisi dan wajahnya langsung sumringah, “bro!”

“Eyy, my little brother felix.” Katanya dengan senyuman lebar dan menghampiri felix sambil memeluk tubuh kurus yang dikenal dengan seppupunya. Pipi felix dikecup kecil, namun dihadiahi tabokan oleh yang muda.

“Jangan cium! Ada pacar gue!”

“Pacar lo masih yang preman itu? Serem tau.”

“Heh, preman-preman juga lebih berbakat dari lo. Bisa ngehasilin duit lewat lagu.”

“Gue juga berbakat kok, dalam memikat hati seseorang,” kata chan bangga. Felix kemudian mencubit lengan chan di balik leather jacket yang membalut tubuh ateltis itu.

Disana hyunjin bak nyamuk yang singgah diantara dua orang asing. Niatnya ingin pergi, tiba-tiba felix panggil namanya.

“Hyun, kenalinㅡ namanya christopher,” felix tarik tangan hyunjin mendekat sebelum beralih ke chan, “chan, ini hyunjin. Temen gue. Cantik kan? Cantik lah dibanding cewe mainan lo.”

Hyunjin rasanya ingin menyumpal mulut felix menggunakan kertas koran karena ucapannya itu. Tapi lidah hyunjin tidak cukup kuat untuk melontarkan semacam kalimat ketika matanya bertatap lurus dengan yang namanya christopher.

Entahlah, hanyaㅡ sedikit gugup. Seperti saat akan memulai tender, yang membedakannya hanya chan merupakan kerabat felix sementara mereka merupakan klien.

Chan ulurin tangannya duluan dan tersenyum, “christopher, biasa dipanggil chan atau chris. Kalo khusus lo bisa dapat panggilan khusus.”

Hyunjin mengernyit tanda tak paham, “apa panggilan khususnya?”

“Sayang.” Kata chan tepat di samping telinga hyunjin. Yang dibisikin cuma bisa ketawa canggung dan tanpa sadar pipinya sedikit memerah. Untung ruangan ini sedikit remang, kalau tidakㅡ warna pink merona akan sangat kentara bertolak dengan kulit susunya.

“Em, hyunjin. Hwang hyunjin.” Balas hyunjin mejabat tangan chan yang sangat pucat, namun begitu berurat dan kasar bersanding dengan kulit halusnya.

“Cantik ya,” kata chan lagi. Yang bikin kagetnya, punggung tangan hyunjin ditarik untuk di kecup.

“Jangan macem-macem sama hyunjin lo, ntar pawangnya marah.” Kata felix. Untung aja seungmin ga sadar dengan perlakuan chan tadi. Sempat saja seungmin lihat, bisa dipastiin tempat ini bakal kacau sekacau-kacaunya.

“Oh, already have one?” Chan bertanya kepada felix. Namun tangannya masih menggenggam jemari hyunjin erat.

Felix menggeleng, “just friend, sih. Tapi udah di tag, kayaknya.” Kekehan kecil keluar dari mulut chan.

“Selama janur kuning belum melengkung.”

Hyunjin tarik pelan tangannya karena sedikit berbahaya kalau terlalu lama bertatapan dengan chan, tidak baik untuk jantung. Apalagi dengan senyumnya yang khas dan menawan dengan dua dimple yang sangat sempurna berada di sana.

Baru kali ini hyunjin menemukan seseorang yang attractive luar dan dalamya. Walaupun dilihat gayanya sedikit sembrono karena menggunakan leather jacket, ripped jeans, serta kalung rantai. Oh, ditambah lagi piercing yang menggantung indah di kedua telingannya. Hyunjin memang tipikal orang yang suka berpakaian rapi. Makanya ketika melihat chan yang beda, sedikit menarik perhatiannya.

“Um, gue cabut ya. Kalian mau ngomongin sesuatu kan? Bye lix, chan. Nice to meet you.”

Hyunjin melengang pergi dari sana. Pandangan chan tak berhenti sampai tadi, diikuti kemana punggung hyunjin pergi hingga membuat bibirnya menyunggingkan senyum.

“Cutie.”

“Damn, chan. Stop it. Don't look hyunjin like that, geli.”

“Do you believe to 'love at the first sight?'” Kata chan menatap felix, “i think i feel it.”

“Shut up, semua orang memang suka sama dia dalam sekali pandang. Ah, you just wanna play with him, aren't you?!”

“Don't hurt my bestie you dumbass, or i'll gonna kick you outta here,” gumam felix serius, tapi di mata chan terlihat lucu.

“Gue serius btw.”

“Jangan ah,” balas felix lagi, “gue ga yakin sama lo. Udah, main-main aja sana sama para bitches lo.”

“Hyunjin tuh anak baik-baik, teratur, terdidik. Ga kaya lo,”

“Ya makanya lix,” chan menjentikkan jarinya. “I'm gonna take him to another level, another place, another pleasure. Gue udah denger semua cerita tentang dia.”

“It's time to make him feel what a freedom is.”

.

“Pulang?”

Seungmin memakai coat hitamnya. Kaca mata bertengger di hidung bangir dipadukan dengan rambut yang ditata rapi ke belakang. Padahal kalau di luar, seungmin bukanlah seorang dokter. Tapi gaya nya selama bertugas di rumah sakit terbawa ke mana-mana.

“Gue sama felix. Searah juga kan? Dia minta temenin.” Balas hyunjin sembari merapikan kerah baju seungmin, “jangan tidur larut.”

“Gue sih ga pernah kecuali pas lembur, omongin ke diri lo sendiri.”

“Pedes amat omongannya, kayak cabe seger. Iya, iya, nanti gue bilangin ke diri gue sendiri sambil berdiri di depan kaca.” Kata hyunjin lagi, seungmin tertawa kemudian.

Wajah seungmin mendekat kepada hyunjin dan mengecup pipi gembil si manis, “aku serius, jaga diri kamu karena aku ga tega liat kamu sakit.”

“Walaupun aku dokter, aku ga tega kalau harus ngerawat kamu. Sakit rasanya, kenapa ga aku aja yang di posisi kamu.”

“Iya seungmin, aku ga akan tidur larut lagi.” Hyunjin berucap kemudian menangkup wajah seungmin.

Setelahnya seungmin pergi masuk ke dalam mobil, memberikan lambaian tangan kecil kepada hyunjin yang masih menunggu felix di luar bar. Dinginnya angin malam rasanya menembus kulit. Hyunjin ngeruntukin dirinya sendiri karena ga bawa baju tebal dan hanya turtleneck ini yang membalut tubuhnya sekarang.

Tak lama kemudian, felix dan chan keluar dari bar. Hyunjin beringsut memdekat ke felix, “lama banget.” Bisiknya.

“Maaf, banyak ngomongnya si chan. Maklum, udah lama ga ketemu.” Bisik felix lagi. Yasudah, hyunjin berusaha mengerti saja. Biar gimana pun, mereka memang dekat, jadi wajar saja kan?

“Ayo pulang.” kata hyunjin, “mobil lo mana?”

“Lah, gue pulang sama changbin.”

Tentu saja si rambut gelap kaget, “kok sama changbin? Tadi minta tungguin.”

“Tadi katanya gamau nungguin? Jadi gue nyuruh lo pulang aja. Seungmin udah pulang?”

Hyunjin ngangguk lesu. Iya sih, tadi dirinya sempat nolak. Tapi tak lama kemudian merasa ga enak sama felix, jadinya ditunggu.

“Gue gabisa nganter lo, hyun. Sorry. Mau pulang ke apartemen changbin.”

“Halah, pasti mau nganu,” ceplos chan, “ngaku.”

“Sembarangan! Emang lo!” Balas felix lagi, “anterin hyunjin pulang sana.”

Chan lirik hyunjin, kemudian bergantian lirik felix, “oke.”

“Lah kok?” Tanya hyunjin, “fel? Kok gitu siiih.”

“Sekaliii aja hyun, maaf banget nih. Bye guys, gue pergi dulu! Changbin udah nunggu.”

Lalu mobil ferarri hitam melintas begitu saja melewati matanya. Hyunjin memandang tak percaya, kenapa dia malah terjebak dengan seseorang yang baru saja dia kenal beberapa menit yang lalu?!

Bagaimana hyunjin harus menyikapi semua ini?

Mendengar chan berdehem, atensi hyunjin langsung tertarik, “mau pulang sekarang?”

“Apa jaminan kalau gue bakal sampai rumah dengan selamat?” Tanpa ragu, “we are totally strangers that met a few minutes ago.”

“Few hours, exactly.” Kata chan sembari menjentikkan jari nya, “gue orangnya ga macem-macem.”

“Ada kantor polisi, ada felix, boleh sewa pembunuh bayaran juga kalau gue berani macem-macem.”

Chan mengambil ponselnya, “gue aktifin gps yang terhubung sama ponsel nya felix, supaya dia bisa mantau kita.”

Hyunjin masih mempertimbangkan ikut dengan chan atau tidak. Walau pun semua tindakan chan sudah cukup membuktikan kalau lelaki itu tidak akan aneh-aneh, tapi tetap saja kan mereka orang asing?

“Ayo pulang.” Ajak hyunjin. Chan menunjuk ke mobil mewah berwarna hitam tak jauh dari bar. Hyunjin jalan duluan dan duduk di kursi samping kemudi.

Mobil pun membelah jalan yang sudah sepi karena sudah pukul 1 pagi. Rumah hyunjin mungkin sedikit jauh dari bar tempat mereka minum, sekitar di kawasan perbukitan.

Hyunjin bilang, sengaja memilih rumah di sana. Dia suka ketenangan. Jauh dari pusat kota yang sangat berisik.

“Jadi kita teman sekarang?”

“You seems good, so yeahㅡ kita teman.” Kata hyunjin melirik ke chan yang sedang menyetir.

“Apa yang ngebuat lo ngecap gue sebagai orang baik? Kita baru ketemu dan baru kali ini nganter lo pulang.”

Hyunjin meletakkan telunjuknya di bibir tanda berpikir, “em, gue selektif dalam memilih teman. Walau pun lo agak sembrono dari yang gue lihat, tapi kelihatan baik sih, i can feel it.”

“Innocent banget,” kekeh chan, “padahal gue bisa aja merkosa lo sekarang.”

“Gue yakin lo ga bakal ngelakuin itu,” hyunjin ikut terkekeh kecil, “Gps nya hidup.” Keduanya malah tertawa karena kalimat yang dilontrain oleh si manis.

“Bener ya kata felix, lo enak di jadiin temen.”

“Really? Makasih review nya. Kasih lima bintang dong.”

“Dikata barang kali.”

Keduanya tertawa lagi. Saling lempar guyonan hingga terpingkal-pingkal. Namun, tak lama kemudian ada suatu hal yang terjadiㅡ mobil chan mendadak mogok.

“Loh? Gabisa jalan?” Tanya hyunjin.

Chan keluar dan membuka kap mobil, namun tak menemukan sesuatu yang salah, “ga tau nih. Tapi mobilnya memang jarang dipake sih.”

Ini masih satu kilometer lagi hingga mencapai kediaman hyunjin. Mereka mogok di sekitar area perbukitan dimana tak ada satu pun orang disini, hanya terangnya lampu jalan yang menemani mereka.

“Gue udah telpon orang buat bantu, tapi katanya gabisa sekarang. Sekitar jam 4 pagi baru nyampe.”

“Whatㅡ ini masih jam satu.”

“Maafin gue ya, hyun. Gara-gara gue jadi repot gini.”

Hyunjin mendekat ke chan, “engga kok. Jangan nyalahin diri, dong. Kan kita gatau bakal begini. Syukur-syukur ada yang nganterin gue pulang.”

“Yeah, but still.” Kata chan lagi. Kap mobil di tutup. Chan buka bagasi nya dan ambil sebuah kain yang cukup tebal berwarna abu-abu, “selimut, lo pake baju tipis banget. Pasti dingin.”

“Makasih.”

Hyunjin mutusin untuk duduk bersandar pada mobil chan sambil membalut tubuhnya dengan selimut. Membalut tubuhnya dengan selimut yang wanginya sangat khas dengan aroma tubuh chan, tanpa sadar hyunjin tersenyum tipis.

Aroma yang sangat maskulin namun begitu lembut.

“Mau minum?” Tawar chan kepada hyunjin, ikut duduk di sampingnya. Hyunjin menolak tawaran chan karena tidak merasa haus, takut buang air kecil juga sihㅡ karena di sini tidak ada wc umum.

Netra keduanya memandang gemerlap kota di bawah sana. Dihiasi gedung-gedung tinggi yang kelihatan bercahaya, walau pun sudah hampir pagiㅡ di bawah sana seaakan masih hidup dan tidak pernah ada waktu untuk tidur.

“Denger-denger, lo katanya investor di perusahaan papa?” Hyunjin membuka obrolan. Chan naikin satu alisnya sebelum mengangguk.

“Yup, gue udah sering denger tentang lo.”

“Kok gue engga ya?” Matanya melirik chan, “gue aja baru tau dari felix.”

“Gue memang ga suka di expose sih, memang ga banyak pembisnis yang tau. Lagian mereka mana percaya modelan gue jadi investor.”

“Gue rapat sama karyawan atau sama kolega ga pernah pakai jas. Selalu pakai boots atau sneakers kalau ke kantor. Memang sih, ada tata cara berpakaian yang baik dan benar, dan disini memang gue yang salah karena ga profesional dalam berpakaian, but kalau ga nyaman gimana?”

“Gue ga suka memaksakan sesuatu yang ga gue suka.”

Angin menari di helaian rambut hyunjin sementara matanya menatap lurus chan yang tengah memandang ke depan. Namun ketika atensi chan beralih, hyunjin buru-buru balik ke posisi awalnya.

“Kalau lo?”

“Apanya?” Jawab hyunjin.

“Ceritain tentang lo.”

“Eumㅡ” hyunjin berpikir apa yang harus dirinya ceritakan kepada chan. “Ya, gue bisa dibilang kebalikan dari lo, sih. Gue orangnya tertata, rapi, dan harus perfect dalam segala hal. Gue orangnya gampang nangis, sering ngetawain hal kecil hehe.” Kekehnya.

“Biasanya ya,” chan mengikis jarak mereka, “orang yang doyan ngetawain hal sekecil apa pun adalah orang yang suka kesepian, yes or yes?”

Hyunjin terkekeh lagi, “bisa aja kutil badak. Tapi beneran sih.”

“Gue sering kesepian. Mungkin karena gue anak satu-satunya dan sering ditinggal orang tua kali ya? Untung ada temen-temen yang bisa sedikit isi hati gue.”

Puk

Awalnya hyunjin terkejut karena kepalanya terasa berat. Setelah dilihat, ternyata itu adalah chan yang sedang mengusap kepalanya. Wajah hyunjin kentara akan rasa bingung, sementara chan di hadapannya cuma tersenyum.

Senyum yang sangat membuat hyunjin nyaman dalam sekali tatap. “Ja- jangan liatin gue gitu.”

“Eh, maaf-maaf. Engga lagi kok. Gue cuma mau bilang kalau lo udah bekerja keras.”

“Kerja keras boleh, tapi jangan paksain tubuh lo. Kasian mereka, udah lo suruh kerja paksaㅡ tapi ga di kasih bonus gaji.”

Lagi-lagi hyunjin tertawa dibuatnya, “lucu.”

“Istirahat yang banyak. Ada loh orang yang mati gara-gara kebanyakan kerja.”

“Ih, chan! Jangan gitu, serem!”

“Nah, makanya banyakin bobo. Kalo misalnya tubuh lo seger, dijaminㅡ kerjaan di kantor bakal lo tuntasin sampe gudang-gudangnya sekalian.”

“Hahaha, beda banget lo ya. Ga kayak orang lain yang gue temuin.”

Chan tersenyum dan menggosok-gosok ujung hidungnya yang memerah, “kata iklan sabun, berani beda itu baik.”

“Berani kotor itu. Lo dingin? Sini bagi dua selimutnya.”

“Emang cukup, gue gede lho?”

“Cukup-cukupin.” Hyunjin mau mendekat, namun ditahan sama chan,  “masuk aja, yuk? Gue ga tahan sebenernya hehe.”

“Bilang dari tadi kek, hidung lo udah merah banget.”

Chan berdiri dan membukakan pintu untuk hyunjin masuk. setelah si manis di dalam, chan mau nutup pintunya, tapi di tahan sama hyunjin, “kenapa?”

“Mau kemana?”

“Depan.” Balasnya sedikit bingung, “sini aja, temenin.”

Mendengar penuturan hyunjin, chan sedikit kaget. “Gapapa nih?” Tanyanya memastikan, hyunjin mengangguk pelan. Maka dari itu chan masuk ke dalam mobil dan duduk di samping hyunjin.

Tiba-tiba saja jemari hyunjin menggenggam jemari chan yang sangat dingin. Chan kaget dan langsung melihat hyunjin di sampingnya, “masih dingin?” Tanya hyunjin. Chan mendadak gugup karenaㅡ astaga, jarak mereka sangat dekat.

“Masih, tapi mendingan sih.”

Hyunjin masih menggenggam jemari chan dengan erat. Mungkin maksudnya agar jemari chan sedikit hangat (walau ga ngaruh menurut chan.) Tapi bisa sedekat ini dengan hyunjin sudah bikin hatinya senang.

Kapan lagi coba?

“Jangan di pegang terus, grogi gue nya.”

“Jujur amat deh,” hyunjin ketawa lagi, “dasar.”

“Jangan ketawa terus, entar gue naksir.”

“Yaudah, gue mau ketawa terus biar lo naksir gue.” Tanpa ragu, matanya menatap chan yang ternyata balik menatapnya juga. Jantungnya berdegup sangat kencang dan saliva nya ditelan kasar.

Padahal mereka hanya bertatapan bukan ngelakuin sesuatu yang lain. Namun entah kenapa rasanyaㅡ beda. Otak chan rasanya penuh akan potret wajah indah yang selama ini hanya bisa dilihat ketika chan berkunjung ke kantor tuan hwang.

Entah terbawa suasana atau apa, hyunjin merangkak mendekat dan mengecup bibir tebal chan. Hanya menempel di sana tanpa ada pergerakan sedikit pun.

“Hyunㅡ” chan terdiam beberapa saat. Tapi melihat hyunjin yang langsung bersandar pada bahunya, chan mengurungkan niat untuk bertanya.

Senyumnya terukir kecil, tangannya menyapa helaian rambut hyunjin untuk di usap pelan. Si manis makin meringkuk dengan balutan selimut chan di tubuhnya.

Awalnya chan ragu, akhirnya keberanian itu muncul. Pelipis hyunjin di kecup pelan sebelum menarik selimut hyunjin untuk menutupi leher si manis. Sebenarnya dia juga kedinginan dan ingin berbagi selimutㅡ tapi sepertinya hyunjin lebih kedinginan. Maka chan lebih memilih mengalah.

“Sweet dream, cutie.”

Laundry 🚫

Siang yang redup kala itu menyapa daerah perumahan hyunjin. Harusnya sih turun hujan, namun tanda-tanda seperti rintiknya saja tidak ada.

Chris asik duduk di ruang tengah sambil memainkan ponselnya sambil sesekali melirik ke televisi yang menayangkan berita gosip artis.

“Ada-ada aja manusia, doyan banget narkoba.”

“Siapa?”

Hyunjin menyela sambil membawa dua gelas coklat hangat dan setoples kue kering coklat buatan mamanya. Chan tampak antusias dengan adonan panggang berhias choco-chips di atasnya tersebut. Cookies buatan mama hwang memang jangan diraguin rasanya, untuk itulah chris rajin datang ke rumah ini. Karena mamanya hyunjin sendiri seperti sudah menganggap chris seperti anak keduanya.

Bahkan kalau bisa ditukar saja ke hyunjin, menyakitkan.

“Itu di televisi, makin banyak aja artis kecanduan narkoba.”

“Ya mungkin mereka ga punya 𝘗𝘦𝘭𝘢𝘮𝘱𝘪𝘢𝘴𝘢𝘯.” Jawab hyunjin tanpa mengalihkan pandangan dari televisi, bibir tebalnya pelan-pelan menyapa pinggir cangkir putih yang tak berhenti mengeluarkan uap.

Dari samping, chris cuma melirik bibir merah yang sempat di-piercing itu menempel pada bibir gelas. Ahㅡ kenapa ia merasa iri, ya?

𝘕𝘦𝘷𝘦𝘳𝘮𝘪𝘯𝘥, chris datang ke sini untuk menikmati makanan mama hwang, hyunjin dan segala kecantikan paripurnanya hanya sebuah bonus yang membuat chris betah di rumah ini. Lagi pun, ia hanya tinggal seorang diri jadi butuh teman untuk sekedar berbagi canda tawa.

Sangking banyaknya frekuensi seorang christopher menginjakkan lantai marmer kediaman ini, mama hwang sampai hapal berapa porsi yang dibutuhkan chris untuk makan. Mengingat lelaki itu kuat berolahraga, maka mama hwang akan menyiapkan makanan yang banyak. Begitu pengertian bukan?

“Mama di mana?”

“Kamar, katanya sih mau pergi ke acara arisan. Tapi lama banget turunnya.”

Hyunjin lanjut lagi minum coklat hangatnya. Dari jendela besar di samping ruang tamu, ada beberapa titik air yang mengenai jendela kemudian turun membentuk pola-pola abstrak. Ah, hujan juga akhirnya setelah melewati musim panas yang panjang.

“Kak, kamu tau gaㅡ AH!”

Kejadian tersebut sangat cepat. Petir sialan! Sudah tau kalau hyunjin sangat anti mendengar suara yang terlampau keras, kenapa malah muncul tiba-tiba? Kini mulut hyunjin terbuka lebar karena kaos putih yang membalut tubuh kekar tetangganya itu basah akibat coklat panas dari gelas. Namun ekspresinya kenapa biasa saja? Hey! Cairan itu masih panas!

“Sshhㅡ kamu gapapa?” Desis chris. Ia merasa kepanasan, namun tak ingin menunjukkan ekspresi berlebihan karena pemuda hwang itu terlihat shock dan seperti ingin menangis akibat ulah tak sengaja yang ia barusan lakukan.

Hmph, lucu.

“Loh, chris kok bajunya jadi berpola? Perasaan dari tadi kamu ga pulang?” Tanya mama hwang yang tiba-tiba sudah di belakang mereka, “jangan bilang ini ketumpahan?”

Chris cuma bisa meringis sembari menggaruk tengkuknya pelan.

“Gapapa kok, ma”

“Gapapa gimana sih chris, liat nih. Mana baju kamu putih semua.”

Wanita dengan anting berlian yang mencolok itu menggeleng kecil, kemudian melirik kepada anaknya yang menatap dengan mata sejuta bintang. Senjata ampuh agar tidak dimarahi, yang mana membuat wanita itu akhirnya menghela napas.

“Kamu cuci bajunya kak chan ke ruang cuci, nanti pinjemin salah satu baju kamu, oke? Mama udah telat, pergi dulu ya.”

“Hati-hati ma!” Lambai hyunjin dengan senyum lebarnya, dibalas dengan dadah centil dari sang mama sebelum pintu berbahan kayu mahoni itu tertutup menyisakan dua orang pemuda di dalamnya.

“Uh, kak. Maafin hyunie.” Cicitnya kecil, kemudian berusaha menarik chris, “kakak mau ke kamarku atau gimana?”

“Ikut kamu aja, sekalian bantuin.”

“Cuma nyuci satu baju kok, sini buka.”

“Tunggu di sana aja, dek.”

Ya sudah, hyunjin manut-manut aja. Kemudian pemuda dengan poni yang disampirkan ke samping telinga seret chan lewat ujung kaosnya lantas masuk ke ruang cuci. Chris merasa gemas namun tetap menahan untuk tidak mencengkram kucing yang wajahnya memang sengaja dibuat memelas (walau memang aslinya begitu.)

“Sini buka kaosnya.”

Chris terdiam sebentar, “𝘈𝘳𝘦 𝘺𝘰𝘶 𝘴𝘶𝘳𝘦?”

Sedetik berikutnya mata hyunjin mengerling malas, “𝘐'𝘮 𝘱𝘳𝘦𝘵𝘵𝘺 𝘴𝘶𝘳𝘦, 𝘮𝘪𝘴𝘵𝘦𝘳. 𝘚𝘰 𝘨𝘪𝘷𝘦 𝘮𝘦 𝘺𝘰𝘶𝘳 𝘥𝘢𝘮𝘯 𝘤𝘭𝘰𝘵𝘩𝘦𝘴, 𝘧𝘢𝘴𝘵.” Jemari hyunjin terkesan meminta, tapi yang didapati malah chan yang memutar badan membelakanginya.

“Padahal sedetik yang lalu, wajahmu seperti anak kucing dan kamu memanggil namamu sangat lucu. Sepertinya jiwa singamu sudah kembali.”

Apa-apaan?

Namun kesabaran berbuah hasil. Selagi dirinya menuang sebuah cairan pewangi di box khusus dan menutupnya lagi. Tiba-tiba saja chris membuka kaos putihnya naik hingga melewati kepala. Otot-otot kencang yang membalut punggung turut bekerja sama menghantarkan rasa aneh bagi tubuh hyunjin. Astaga! Apa yang kau pikirkan hwang? Bersihkan otak kotormu itu.

“Ini.”

“Kurang lama.” Hyunjin merebut kain dengan noda coklat tersebut untuk kemudian ia masukkan ke dalam mesin cuci dengan bentuk lingkaran di depannya.

Kombinasi tombol hyunjin tekan guna menjalankan mesin cuci secara otomatis. Tapi, tiba-tiba saja ada sepasang lengan kekar yang mengukung tubuhnya dari belakang. Perlu diingat, walaupun ia lebih tinggi, namun porsi tubuhnya lebih kecil dibanding chris. Sehingga terkadang hyunjin terlihat sangat kecil.

“Kita ke kamar?” Tanya hyunjin, “biar aku ambilkan baju.”

“Ini berapa lama?”

Hyunjin meneguk ludahnya, “aku setel dua puluh menit.”

“Cukup lama juga.”

“Iya, begitulah.”

Kemudian hening. Baik chris maupun hyunjin masih terdiam pada tempatnya. Lengan yang masih mengukung tubuhnya, juga perlahan punggung tipisnya yang bertemu dengan dada telanjang milik chris.

“Hyunjin, 𝘏𝘢𝘷𝘦 𝘺𝘰𝘶 𝘦𝘷𝘦𝘳 𝘬𝘪𝘴𝘴𝘦𝘥 𝘣𝘦𝘧𝘰𝘳𝘦?”

Pertanyaan yang jika diteliti memiliki makna implisit dan mungkin hanya orang tertentu yang paham. Sialnya, hyunjin termasuk salah satunya.

“𝘜𝘩𝘮, 𝘺𝘦𝘴ㅡ” bisiknya tanpa sadar sedikit menggoda. Sial, sial, sial! Bibir bawahnya ia gigit keras kala mendengar tawa chris yang lebih seperti decihan menggelitik daun telinganya. Setelah itu chris menjilat piercing yang sengaja hyunjin tindik di telinganya akibat sang mama yang menentang piercing bibir hyunjin. Anggap saja sebagai pengganti dan lidah chris dengan brengseknya bermain di sana untuk kemudian mengecup pipi merahnya.

Kedua tangan hyunjin mengepal di atas mesin cuci yang masih berjalan. Sementara tangan itu sedang berusaha menggoda, mengusap leher hyunjin agar lelaki manis itu mendongak sehingga chris lebih leluasa lagi menciumi leher jenjangnya.

Tawanya mengalun pelan, “𝘠𝘰𝘶 𝘸𝘢𝘯𝘵 𝘪𝘵?”

“𝘈- 𝘢𝘯𝘨𝘩”

“𝘐 𝘴𝘢𝘪𝘥, 𝘥𝘰 𝘺𝘰𝘶 𝘸𝘢𝘯𝘵 𝘪𝘵, 𝘩𝘮?”

Hyunjin mengangguk tergesa-gesa. Please, darah di tubuhnya sudah mengalir deras dan rasanya sangat panas. Sementara jemari yang mulai turun menelusup ke celana pendeknya malah membuat semua makin buruk.

Bayangkan, jari-jari berurat akibat mengangkat beban berat itu sangat dingin. Menyentuh permukaan kulitnya yang hangat untuk menyentuh sesuatu yang menegang minta dipuaskan. Double kill, chris malah menyeringai senang seolah-olah dia yang memenangkan permainan.

“𝘐𝘵'𝘴 𝘸𝘦𝘵 𝘢𝘭𝘳𝘦𝘢𝘥𝘺”

“Chris, please. 𝘈𝘯𝘩-” hyunjin ingin namun sekaligus malu. Ini pertama kalinya, namun seolah-olah mereka pernah melakukan sex setiap hari.

Oh! Waktu itu hampir kelepasan, untung saja chris langsung mengingat akal sehatnya yang mana saat itu hanya sebesar biji jagung.

Namun kini, iblis seperti sedang menguasainya dan hyunjin rela bertekuk lutut demi dipuaskan. Haha, bangsat. Pesona lelaki itu memang candu, seperti narkoba.

Narkoba yang tidak akan pernah terikat dengan hukum dan kawanannya.

“Chris, 𝘖𝘩- touch me there, yes uhn-”

“Ah, my baby become needy, huh?” Desisnya semakin mempercepat tempo kocokan pada penis hyunjin. Ujungnya tampak merah muda sudah mengeluarkan sedikit cairan akibat terangsang. Sementara sisanya masih berkedut dan chris dengan senang hati memuaskan si manis yang nyawanya sudah terbang di angkasa.

Tanpa sadar celana pendek hyunjin sudah jatuh begitu saja seiring dengan tangan yang sibuk memompa dengan tempo yang makin cepat.

Hyunjin kacau, racauan bercampur desahan yang sialnya sensual di telinga chris makin menjadi. Tangannya satu meremat lengan chris erat, sementara satunya lagi sibuk mencari dimana letak kejantanan chris karena, fuckㅡ hyunjin tidak sedang dalam posisi berhadapan!

“𝘍𝘶𝘤𝘬 𝘺𝘦𝘴! 𝘈𝘩𝘯- 𝘧𝘢𝘴𝘵𝘦𝘳,”

“Chris, 𝘈𝘩- 𝘢𝘩-”

Batang yang dirasa siap mengeluarkan putih tersebut dipompa makin cepat.

Makin cepat sampai mata hyunjin terpejam dan mulutnya terbuka hingga air liurnya menetes. Wajahnya menyiratkan kenikmatan yang tiada tara hanya karena sebuah tangan.

“Ah!”

Hingga putihnya sampai. Menyembur ke mesin cuci yang masih berjalan. Tubuhnya sedikit lemas kemudian. Punggungnya bersandar pada chris yang menopang bobot tubuh hyunjin akibat kaki yang gemetaran. Tawanya mengalun pelan.

“Baru tangan, baby.”

“I can't imagine it, chris. How big your dick are,” helanya, “don't stop, keep going.”

Oh, chris tidak menyangka jika balasan hyunjin seperti itu? Ia kira lelaki manis tersebut akan menyudahi segala kekacauan yang baru saja mereka perbuat. Namun jawaban yang diberikan sangat di luar dugaan.

Lebih di luar dugaan lagi ketika hyunjin memisahkan dirinya untuk kemudian mencondongkan badannya ke arah mesin cuciㅡ

Dan menungging.

Menungging hingga menampilkan kerutan merah muda yang berdenyut minta dimasuki. Sengaja ia menggoda lelaki yang lebih tua, terbukti dengan seringaian dibalik wajah needy nya. Menggoyang-goyangkan bongkahan yang sedikit licin akibat keringat tersebut ke kanan dan kiri secara perlahan.

Tapi chris bukan tipikal banyak omong melainkan langsung ke tindakan. Ia sedikit berjongkok untuk kemudian membenamkan lidahnya menyapa anal kemerahan hyunjin. Menjilat garis-garis lembut tersebut sembari meremas kasar permukaan pantat yang muda hingga memerah.

Lidahnya yang runcing makin terbenam di antara lingkaran bertekstur lembut tersebut hingga hidung bangirnya ikut tersentuh di antara bongkahan besar yang sudah memerah akibat tamparan dari telapak tangannya.

“God, pleaseㅡ” teriaknya lirih. Kakinya bergetar sementara analnya semakin berkedut akibat bibir yang mengecup serta benda tak bertulang sibuk membuat pola abstrak.

Tak akan ia biarkan hyunjin selamat siang ini.

“Ugh!”

Pipinya digigit gemas. Astaga, hyunjin tau kok kalau bokongnya sangat berisi, namun tak menyangka jika chan akan menggigitnya begitu.

“Haha, you love my butt?”

“I love you more when you moan my name, sweetheart.”

“Fuck? Chris!”

Tubuh kurusnya yang hanya terbalut kaos tipis kini di dudukkan di atas mesin cuci. Sementara bagian pinggang ke bawah sudah bebas. Hyunjin melirik ke cermin yang terpajang tepat di samping mesin cuci.

Wajah penuh bulir keringat, bibir bengkak, pipi merah. Hyunjin seperti bukan melihat dirinya, melainkan seperti bintang video porno yang banyak dinikmati orang. Ia menyeringai, seketika membuka kakinya lebar tanpa diminta.

Lubang anal yang telah basah akibat permainan singkat yang dilakukan chris tadiㅡ kini terpampang di depan nyata. Penisnya sesak di antara celana jeans yang belum di lepas. Sementara si manis itu malah menggoda-goda kejantanannya dengan tangan lentik nan indah itu.

“Sengaja?”

“Tuntaskan saja,” balas hyunjin menjilat bibirnya, “i know you can't handle it anymore, chris. Look at your dick, it want his nest.”

“Ungh, come on. Come inside me.” Ledeknya dengan tawa kecil.

Karena merasa mendapat lampu hijau, chris membuka resleting celana jeans miliknya dan menurunkan sedikit, kemudian melepaskan dalaman dan penis itu akhirnya keluar dari sarang.

Mata hyunjin membola saat itu juga ketika melihat ukuran yang ternyata tidak main-main. Sedikit ngilu membayangkan benda berurat tersebut masuk ke dalam analnya, namun di salah satu sisi penasaran.

“This is your first time right? Free to slap me or something like that, okay?” Desisnya di samping telinga hyunjin.

Ketika ujung yang terasa tumpul itu mengenai lubang anal sang submisif, “enghㅡ” hyunjin mengerang kecil kemudian mencengkram erat leher chris. Setelahnya, penis chris terbenam sempurna di antara kedua bongkahan pantatnya. Hyunjin sedikit merasa lega,

“Be ready, sweety.”

“What? 𝘈𝘕𝘎𝘏𝘏-”

Matanya sedikit berair. Okay, apa memang awalnya sesakit ini? Namun sakit yang dirasa bukan sakit seperti ditusuk jarum, melainkan sakit yang nikmat. Sensasi dinding analnya yang mencengkram kuat penis chris seperti tak terdefenisi.

Sangat luar biasa.

Perlahan pinggang sang dominan bergerak. Keluar kemudian terbenam lagi untuk beberapa kali sampai hyunjin terbiasa. Sampai alis yang awalnya menukik kini kelihatan lebih rileks. Sampai bibir seksinya ternganga mengeluarkan desahan putus-putus nan memikat.

“Ah- ahn-”

“Oh, slow- slowly, chris-”

Dan lelaki itu mendadak bodoh dan sinyal hyunjin tak sampai akibat nafsu yang sudah di ujung tanduk. Chris makin menggila karena hyunjin. Pinggangnya bergerak dengan tempo yang terbilang sangat cepat. Hingga suara kulit menyentuh kulit terdengar seantero ruangan bercampur dengan teriakan keenakan hyunjin.

“Chris, fu- fuck, ohㅡ”

“Yes, deep, deeper like that!”

“Anh, ah, ah-”

“Moan, baby.” Desisnya, “moan my name. Loud.”

“Yes, chris,” desahnya putus-putus karena tubuh yang makin terguncang.

“Louderㅡ”

“Chris! Anghㅡ” teriaknya frustasi. Sedikit lagi sampai, namun hyunjin tak mau mengakhirinya. Refleksi dirinya yang terpantul di kaca sangat kacau. Namun ia malah tertawa, ia suka tubuhnya dikacau, suka tubuhnya dilecehkan oleh lelaki bahng di hadapannya. Lihat saja wajah penuh kabut tersebut, seolah-olah tak ingin mengeluarkan kesaktiannya dari lubang hyunjin.

Ingin berlanjut terus. Lagi- lagi- dan lagi sampai pita suara hyunjin putus karena meneriakkan namanya.

𝘛𝘰𝘬, 𝘵𝘰𝘬, 𝘵𝘰𝘬!

“Dek hyunjin? Ini bibi barusan pulang dari pasar. Kenapa adek di dalem?”

“Ha- hmph!” Chris membungkam bibirnya dengan cumbuan, namun pinggangnya tetap bergerak di bawah sana. Hyunjin ingin mendesah keras! Sayangnya bibir sialan itu tengah mengajak lidahnya beradu.

“A- adek lagi nyuci,” ucapnya penuh usaha, “bibi ke dapur a- aja.”

Hyunjin menyugar rambut coklatnya kala chris tetap memutuskan untuk tidak berhenti dengan seringaian menyebalkan.

“Tapi adek kok kayak ngerintih sakit?”

“Ngerintih enak, bi.” Bisik chris, langsung dibungkam oleh ciuman juga oleh hyunjin.

“Don't tell them, or you'll die, christopher.”

“Hyunjin gapapa, anh!” Sialan kelepasan! “A- adek gapap seriusan, bi!”

Sialan lelaki itu malah menghentak tubuhnya makin keras.

“Ssst, be careful sweety, ada bibi di rumah.” Godanya dengan sangat menyebalkan.

Bukan kah sudah menjadi rahasia umum kalau hyunjin itu terkenal akan “visual” nya di stray kids?

Wajah rupawan dengan hidung bangir, bibir penuh bak delima, rahang tajam yang di pahat sempurna. Sepertinya tuhan sedang bahagia ketika menciptakannya.

Auranya di stage juga mampu menarik semua pasang mata tertuju padanya. Haha, siapa sih yang tidak suka?

Tapi, Oh! Mungkin ada satu hal yang tidak kalian tau.

Hyunjin menyukai leadernya sendiri.

Sounds ridiculous, right? Well, that's the truth.

Semua itu bermula ketika melihat chan yang sibuk di studio setiap masa comeback mereka. Mengaransemen lagu-lagu yang akan diisi untuk album mereka kelak. Diantara semua member, dia yang paling sibuk. Keduanya merupakan roomate, tapi hyunjin sangat jarang melihat chan tidur bersamanya.

Sejak awal mereka debut, hyunjin terus memperhatikan lelaki bermata sipit itu. Semakin hari, semakin besar pula rasa ingin mendekatinya. Namun, di salah satu sisi hyunjin takut menganggu pekerjaan lelaki itu. Yang mana kalau chan sudah diganggu, marahnya bukan sekedar mengerikan lagi.

Setiap jam, setiap menit, hyunjin selalu awas dalam memperhatikan chan. Mulai dari ujung kepala, sampai ujung kaki. Detail terkecil yang ada pada diri lelaki kesukaannya direkam lekat di memori otak. Akibat kelakukannya sendiri juga, rasa ingin memiliki chan semakin besar.

“Kak, minum.”

Sebuah botol minum berwarna hitam ditawarkan kepada chan dan tentu saja diterima dengan baik oleh yang lebih tua, tak lupa mengucapkan terima kasih.

“Haha, tau aja lagi haus.” Balas chan dengan cengiran kecil, yang mana hal itu sangat membuat hyunjin kegirangan. Rasanya ingin mencubit pipi lelaki kesukaannya itu, kemudian menciumnya gemas.

Hanya dibalas hyunjin dengan anggukan kecil sebelum ia memutuskan untuk duduk di samping si rambut pirang. Peluhnya menetes hingga jatuh ke kaos hitam panjang yang balut tubuh atletis. Ugh, hyunjin jadi membayangkan lekukan seksi hasil work out leadernyaㅡ pasti tubuhnya sangat bagus.

Terdiam dengan renungan, chan malah menyadarkan hyunjin, senggol sedikit adiknya itu, “hei, kok ngelamun?”

“Enㅡ ga ada kak, hehe.” Jawab seadanya.

Tak menaruh rasa curiga apa pun, chan bergegas untuk menghabiskan minuman dari botolnya. Kemudian berdiri untuk mengambil sebuah kain guna mengelap keringat yang sudah membuat tubuhnya basah. Berlatih dance dengan lagu come to my house ternyata tidak semudah membuat lagu, pikirnya. Padahal, ini merupakan basic seorang idol. Ah, sepertinya chan harus extra latihan lagi.

“Gerah.” Gumamnya kecil. Toleh ke belakang, hyunjin masih duduk memandang cermin. Sepertinya membuka kaos panjang ini tak masalah, bukan? Toh hanya ada hyunjin.

Sementara yang masih duduk menghadap cermin, tak sengaja menatap chan yang tengah meloloskan kain dari tubuhnya. Lewat dari kepala, hingga punggung putih kekar dengan licinnya keringat akibat latihan ditangkap oleh hyunjin melalui pantulan cermin.

Tanpa sadar hyunjin teguk ludahnya kasar, “shit.” Harusnya dia kesini hanya untuk memberi minum, bukan untuk menonton tubuh atletis lelaki yang selalu berlari di imajinasi liarnya.

Setelah selesai mengelap keringat, chan datang menghampiri hyunjin, “Nanti mau pulang bareng?” Tanyanya. Yang muda hanya mengangguk kecil, tak berani tatap chan dalam satu garis lurus.

Tentu saja chan merasa aneh, tidak biasanya hyunjin menjawab tanpa melihat ke arahnya, “apa ada sesuatu?”

Bukan, hyunjin menggeleng lagi. Astaga, bingung melandanya. Tidak mungkin juga hyunjin bilang kalau dirinya malu sekarang. Malu apa? Toh, mereka sama-sama lelaki. Apabila hyunjin mengatakan hal yang sebenarnya, namanya mempermalukan diri sendiri.

“Hei, kamu tau kan kalau aku tidak suka orang yang begitu?”

“Ma- maaf, kak.”

“Memangnya ada apa? Beritahu aku, mungkin aku bisa bantu.” Ujarnya lagi, mulai khawatir kala melihat adiknya itu, wajahnya memerah hingga ke telinga.

Demam kah? Atau ada sesuatu yang lain. Chan tak habis pikir, hyunjin masih bungkam dan hal itu malah bikin dirinya bingung.

Sampai, “Hyunㅡ”

Tubuhnya terdorong ke belakang hingga punggung menubruk sempurna kaca besar di belakangnya, dengan pelaku si rambut coklat mengunci sisi tubuhnya. Alis chan mengernyit aneh, tatap hyunjin minta penjelasan akan perbuatan yang menurutnya sangat tiba-tiba ini.

“Aku kadang selalu berandai-andai apa rasanya bibir ini,”

“Bikin candu, kah? Atau ada rasa lain?”

Matanya bergetar begitu juga jemarinya. Padahal ia sendiri yang mengatakan hal itu, namun kenapa yang bereaksi malah tubuhnya sendiri. Lelaki di hadapannya masih menatap dengan tenang, membuat hyunjin seolah-olah dipermalukan disini.

“Kamu sudah kunci pintunya?”

Satu kalimat pertama yang lolos dari belah bibir seksi chan. Lirik ke belakang dimana pintu putih tersebut berdiri dan balik tatap hyunjin. “Aku bertanya.”

“Sudah.”

Jawaban hyunjin bak lampu hijau. Helaan napas terdengar dari chan, suara berat khas leadernya itu mulai nengarungi pikirannya. Jari-jari dengan sebuah cincin perak khas dengan hiasan tali dibawah kulit ikut andil dalam menyempurnakan tangan pucat pasi miliknya. Lelaki itu menyentuh tangan hyunjin yang berada di kedua sisi tubuhnya, menyeret halus hingga mendarat sempurna di bahu tegap hyunjin.

“Apakahㅡ kamu juga tau kalau aku selalu berandai setiap malam bagaimana rasanya mencicipi ceri merah ini?”

Tawanya mengalun pelan, “jangan berpikir kalau aku tidak tau, baby boy. Kamu selalu memperhatikanku setiap hari, bukan? Mulai dari aku yang selalu di studio, curi pandang ketika kita sedang latihan, atau kadang ketika aku mengerjakan lagu di kamar, kamu diam-diam melihat dibalik selimut.”

Selangka hyunjin yang timbul di balik kerah kemeja yang sedikit turun ditekan chan hingga yang muda mendesis kecil. Kedua tangan yang menumpu di kedua sisi tubuh chan perlahan terlepas, tergantikan dengan rematan erat di paha keras si pirang. Chan cuma tertawa kecil menanggapi.

Bertanya lagi, “Is this what you want?” Sementara tangan makin gencar untuk menyentuh titik tubuh hyunjin yang lain. Walaupun kulit hyunjin tak seputih dirinya. Namun, chan akui kalau milik hyunjin sangat bersih setelah diperhatikan. Sialan, kemana saja chan? Bukankah mereka hampir setiap hari bersama?

Ruangan di studio itu mendadak sunyi karena pertanyaan chan yang mengambang begitu saja. Sibuk meringis karena tulang selangkanya yang masih ditekan oleh chan, hyunjin coba tatap mata leadernya itu. Mata jernih yang selalu digunakan untuk pandang lelaki kesukaannya itu kini memohon untukㅡ meminta lebih.

“Please.”

Hahaha, apa?

Well, chan cukup tertegun dengan jawaban hyunjin, sama sekali tak mempunyai tali hubung antara pertanyaan yang dilontarkan. Senyumnya mengembang tipis, raih rahang tajam adiknya itu untuk diangkat tinggi. “Fine.” Retoris, hyunjin malah berbalik tertegun mendengarnya.

Ia tidak sedang bertanya, tapi chan serius. Kini hyunjin ketakutan namun diselingi rasa penasaran apa yang akan dilakukan oleh leadernya itu. Raut wajahnya tidak bisa ia baca, hyunjin bingung harus bereaksi apa.

Ketika telapak tangan itu mulai bergerakㅡ bukan, lebih tepatnya sang ibu jari. Mengusap bibir hyunjin yang basah karena dikulum sendiri. Kikis jarak antara kedua tubuhnya dan mulai jilat bibir tebal adiknya itu sebelum menerobos masuk ke dalam rongga hangat yang muda. Anehnya, hyunjin pasrah saja.

Pasrah ketika chan coba berkuasa atas dirinya.

Sementara tangan lain sibuk melepaskan satu per-satu kancing kemeja kotak-kotak yang balut tubuh hyunjin, lelaki itu kian mengurus bisa dilihat dari tulang selangka yang makin menonjol. Namun, pipinya tetap berisi, lebih enak untuk dikecup.

Suara kecipak basah, saling mengejar dan beradu bergema di ruangan luas itu. Rintihan hyunjin samar-samar terdengar, terlebih lagi ketika sang kakak memutus tautan terlebih dulu namun langsung menyerang lehernya dengan sebuah gigitan kecil yang diyakini akan menimbulkan bekas.

“Jangan di situ,”

“Kenapa? Bukannya ini mau kamu?” Bisiknya, jilat basah leher hyunjin setelah meninggalkan sebuah tanda di sana, “biar dunia tau kalau kamu milikku.”

Sialan. Hyunjin tidak tau kalau orang yang selama ini dia lihat selalu ceria dan serius, serta mengayomi semua adiknya dengan bijak, mempunyai sisi yang lain seperti ini. Sangat baru, hyunjin pertama kali yang tau sepertinya. “Mh-”

Merasa sesuatu makin mengeras dibalik celana training hitamnya, diperburuk ketika lutut chan malah makin menekan ereksinya. Sakit, namun dia tidak ingin berhenti. Sepertinya hyunjin sudah hilang kewarasan, dia ingin lagi.

Ingin disakiti lagi.

Puas meninggalkan beberapa tanda, chan menjauhi wajahnya dan pandang hyunjin yang pipi sudah merah padam dengan peluh yang mulai menyucur. Pendingin ruangan rasanya tak mampu menghilangkan hawa panas yang diciptakan keduanya. Kali ini chan tertawa. Maksudnya, benar-benar tertawa ketika memandangi wajah yang muda.

Bibir penuhnya kelihatan lebih merah dari sebelumnya, leher dengan tanda ungu kemerahan dan kemeja cuma tinggal hiasan, siap lepas kapan saja. Fuck, mata laknatnya malah membayangi bagaimana kalau tak ada satu pun fabrik yang melekat di tubuh hyunjin. Apa yang akan terjadi? Sepertinya chan sudah tidak dapat menahannya lagi.

Setelah hyunjin sibuk menetralkan napasnya, lututnya diseret mendekat dan duduk di paha keras chan. Gapai sebuah tangan yang selalu jadi objek fantasinya dan mengusap pelan jemari kasar yang selalu menekan tombol laptop kebanggaannya.

“Can i have this?”

Matanya berkedip lucu. Apakah ada seseorang yang meminta sesuatu namun dengan raut wajah sepolos itu? Kalau ada, hyunjin orangnya. Padahal chan belum memberi izin, tapi dengan lancangnya satu jari telunjuk mendarat sempurna di dalam mulut hyunjin.

“Mmnh-”

“Astaga.” Bisiknya dengan deru napas yang memburu. Sialan, kenapa seseorang dengan tampang polos namun mampu membawa imajinasi kotornya tinggi ke awang? Tambah lagi jarinya masuk ke sana. Chan bisa merasakan ujung jarinya menekan objek lembut milik hyunjin dan membuat si manis lagi-lagi merintih.

Dikeluarkannya jari-jari yang sudah dikulum. Bagai menjilat sebuah es krim, anggap saja begitu. Benang saliva di ujung jemari chan membuatnya begitu frustasi, tatap mata lawannya sebelum mengarahkan tangan tersebut ke bongkahan miliknya yang cuma dilindungi celana training.

“Lalu? What you want me to do?”

“Tell me, baby.”

Gigit bibir bawah, “would you do it for this baby?” Gumamnya lucu dengan aksen inggris yang belum terlalu kental.

“Semua orang pasti akan menjawab hal yang sama, sayang.” Balasnya seduktif.

Sedari tadi dia hanya memuaskan si manis tanpa sadar kalau diri sendiri juga tersiksa. Sesuatu menyembul di balik celana. Ya, itu penisnya yang butuh dipuaskan. Namun karena wajah polos adiknya itu, entahlahㅡ dia hanya ingin bermain lebih jauh.

Mengukur sejauh mana juga si manis akan bertahan.

“Ugh, umhㅡ”

“Kak, ah-”

“More, more, please-”

Hanya dengan sebuah jari lenguhannya sudah begini? Lalu bagaimana jika disumpal dengan miliknya nanti. Apakah hyunjin akan berteriak? “Ssst, kita di agensi.”

Oh, hyunjin baru ingat mereka masih berada di ruang latihan! Sangat disayangkan mereka tidak berada di kamar, kalau di sana mungkin hyunjin akan bertindak lebih leluasa. Banyak hal yang belum dicoba olehnya.

“Angh!” Kepalanya terdongak ketika chan berkali-kali menyentuh titik manis di dalam sana.

“Very bad baby.”

Lagi, lagi, lagi. Ditambah dengan suara favoritnya, bikin semuanya makin buruk. Hyunjin hampir sampai pada pelepasan pertamanya, namun chanㅡ dengan brengsek menutup lubang penisnya dan berkata,

“Jangan sampai sebelum aku.”

Sialan. Rasanya sangat sakit, “jangan-” rintihnya lagi. Chan tetap tak memperbolehkan, buktinya dengan sebuah jari yang masih menutup jalur pelepasannya.

“Menungging.”

Satu titah keluar mutlak dari bibir lelaki tersebut, bikin hyunjin sedikit terkejut. Jemarinya tak lagi disana, namun hyunjin tak bisa mengeluarkan putihnya, entah kenapa. Sementara sang pelaku pindah posisi menjadi di belakangnya, “ah!” Teriaknya kecil. Pinggang ke bawah terasa dingin akibat angin ac, kini hyunjin sadar kalau bawahnya tak ada lagi fabrik. Apa yang akan dilakukan lelaki itu?

Demi apa pun hyunjin tak dapat berkata-kata, dia hanya mengikuti alur permainan chan. Ini salahnya. Salah memancing serigala yang tidur.

“Apa- ahk! Chan!”

“Ah, ouh-”

“Ngh ah, ah,”

Penis lelaki itu menerobos masuk begitu saja ke dalam anal hyunjin. Tanpa ada aba-aba, dengan lancang masuk dan keluar lagi dengan kasar. Rasanya panas, namun nikmat bersamaan. Apa-apaan ini? Kenapa hyunjin suka. Terlebih lagi ketika suara tamparan di kedua pipi miliknya dengan penis yang sibuk tenggelam timbul di sana.

Tubuhnya bergetar, bukan hanya karena sentakan dari belakang. Melainkan ada sesuatu yang lain menjalar dari ujung kepalanya. “More-hh,” lambungnya serasa diguncang hebat.

Suara kulit beradu dengan kulit menggema di penjuru ruangan. Hyunjin berharap tidak ada cctv yang merekam kegiatan panas mereka disini. Sungguh, dia sangat malu, tapi ingin dipuaskan lagi.

Ia belum puas, ingin dirusak lagi.

“Lihat wajahmu itu,” bisiknya sedikit bergetar, menarik rambut hyunjin yang kian memanjang untuk mendongak menatap cermin. Mata hyunjin menangkap refleksi dirinya sendiri yang tengah berada dalam posisi sangat senonoh, dengan pipi memerah bercampur keringat, serta bibir yang terbuka dengan saliva yang menetes di ujung bibir. Matanya sayu, antara terbuka atau tertutup karena merasakan nikmat tak berujung.

“You are very bad baby, hyunjin. Look at that, suka?”

“Kamu suka dengan penisku yang tenggelam dalam analmu kan?” Bisiknya lagi.

“Ini yang kamu mau.” Ucapnya terakhir kali, kembali mendorong hyunjin agar miliknya terbenam makin dalam. “Ahh!” Bersamaan dengan hal itu hyunjin teriak hingga putihnya keluar, mengotori lantai ruang latihan mereka. Tubuhnya terkulai lemas disangga oleh sikunya.

Bokongnya masih melayang di udara, “kak, u- udah?” Tanya yang rambut pirang lewat pantulan cermin. Sungguh, penampilan luar biasa kacau, namun hyunjin menyukai penampilan kacaunya, tersenyum kecil sangking senangnya.

“Kita lanjutkan di dorm,” balasnya, “sekarang kita bereskan ini semua, okay baby.” Senyumnya manis kemudian mengusak surai panjang hyunjin sebelum melepas penisnya dari anal sang adik.

Shit. Senyuman manis yang menyimpan begitu banyak kejutan di dalamnya.

Hyunjin tidak sabar untuk menanti,

Apa ya kejutan berikutnya?

Bukan kah sudah menjadi rahasia umum kalau hyunjin itu terkenal akan “visual” nya di stray kids?

Wajah rupawan dengan hidung bangir, bibir penuh bak delima, rahang tajam yang di pahat sempurna. Sepertinya tuhan sedang bahagia ketika menciptakannya.

Auranya di stage juga mampu menarik semua pasang mata tertuju padanya. Haha, siapa sih yang tidak suka?

Tapi, Oh! Mungkin ada satu hal yang tidak kalian tau.

Hyunjin menyukai leadernya sendiri.

Sounds ridiculous, right? Well, that's the truth.

Semua itu bermula ketika melihat chan yang sibuk di studio setiap masa comeback mereka. Mengaransemen lagu-lagu yang akan diisi untuk album mereka kelak. Diantara semua member, dia yang paling sibuk. Keduanya merupakan roomate, tapi hyunjin sangat jarang melihat chan tidur bersamanya.

Sejak awal mereka debut, hyunjin terus memperhatikan lelaki bermata sipit itu. Semakin hari, semakin besar pula rasa ingin mendekatinya. Namun, di salah satu sisi hyunjin takut menganggu pekerjaan lelaki itu. Yang mana kalau chan sudah diganggu, marahnya bukan sekedar mengerikan lagi.

Setiap jam, setiap menit, hyunjin selalu awas dalam memperhatikan chan. Mulai dari ujung kepala, sampai ujung kaki. Detail terkecil yang ada pada diri lelaki kesukaannya direkam lekat di memori otak. Akibat kelakukannya sendiri juga, rasa ingin memiliki chan semakin besar.

“Kak, minum.”

Sebuah botol minum berwarna hitam ditawarkan kepada chan dan tentu saja diterima dengan baik oleh yang lebih tua, tak lupa mengucapkan terima kasih.

“Haha, tau aja lagi haus.” Balas chan dengan cengiran kecil, yang mana hal itu sangat membuat hyunjin kegirangan. Rasanya ingin mencubit pipi lelaki kesukaannya itu, kemudian menciumnya gemas.

Hanya dibalas hyunjin dengan anggukan kecil sebelum ia memutuskan untuk duduk di samping si rambut pirang. Peluhnya menetes hingga jatuh ke kaos hitam panjang yang balut tubuh atletis. Ugh, hyunjin jadi membayangkan lekukan seksi hasil work out leadernyaㅡ pasti tubuhnya sangat bagus.

Terdiam dengan renungan, chan malah menyadarkan hyunjin, senggol sedikit adiknya itu, “hei, kok ngelamun?”

“Enㅡ ga ada kak, hehe.” Jawab seadanya.

Tak menaruh rasa curiga apa pun, chan bergegas untuk menghabiskan minuman dari botolnya. Kemudian berdiri untuk mengambil sebuah kain guna mengelap keringat yang sudah membuat tubuhnya basah. Berlatih dance dengan lagu come to my house ternyata tidak semudah membuat lagu, pikirnya. Padahal, ini merupakan basic seorang idol. Ah, sepertinya chan harus extra latihan lagi.

“Gerah.” Gumamnya kecil. Toleh ke belakang, hyunjin masih duduk memandang cermin. Sepertinya membuka kaos panjang ini tak masalah, bukan? Toh hanya ada hyunjin.

Sementara yang masih duduk menghadap cermin, tak sengaja menatap chan yang tengah meloloskan kain dari tubuhnya. Lewat dari kepala, hingga punggung putih kekar dengan licinnya keringat akibat latihan ditangkap oleh hyunjin melalui pantulan cermin.

Tanpa sadar hyunjin teguk ludahnya kasar, “shit.” Harusnya dia kesini hanya untuk memberi minum, bukan untuk menonton tubuh atletis lelaki yang selalu berlari di imajinasi liarnya.

Setelah selesai mengelap keringat, chan datang menghampiri hyunjin, “Nanti mau pulang bareng?” Tanyanya. Yang muda hanya mengangguk kecil, tak berani tatap chan dalam satu garis lurus.

Tentu saja chan merasa aneh, tidak biasanya hyunjin menjawab tanpa melihat ke arahnya, “apa ada sesuatu?”

Bukan, hyunjin menggeleng lagi. Astaga, bingung melandanya. Tidak mungkin juga hyunjin bilang kalau dirinya malu sekarang. Malu apa? Toh, mereka sama-sama lelaki. Apabila hyunjin mengatakan hal yang sebenarnya, namanya mempermalukan diri sendiri.

“Hei, kamu tau kan kalau aku tidak suka orang yang begitu?”

“Ma- maaf, kak.”

“Memangnya ada apa? Beritahu aku, mungkin aku bisa bantu.” Ujarnya lagi, mulai khawatir kala melihat adiknya itu, wajahnya memerah hingga ke telinga.

Demam kah? Atau ada sesuatu yang lain. Chan tak habis pikir, hyunjin masih bungkam dan hal itu malah bikin dirinya bingung.

Sampai, “Hyunㅡ”

Tubuhnya terdorong ke belakang hingga punggung menubruk sempurna kaca besar di belakangnya, dengan pelaku si rambut coklat mengunci sisi tubuhnya. Alis chan mengernyit aneh, tatap hyunjin minta penjelasan akan perbuatan yang menurutnya sangat tiba-tiba ini.

“Aku kadang selalu berandai-andai apa rasanya bibir ini,”

“Bikin candu, kah? Atau ada rasa lain?”

Matanya bergetar begitu juga jemarinya. Padahal ia sendiri yang mengatakan hal itu, namun kenapa yang bereaksi malah tubuhnya sendiri. Lelaki di hadapannya masih menatap dengan tenang, membuat hyunjin seolah-olah dipermalukan disini.

“Kamu sudah kunci pintunya?”

Satu kalimat pertama yang lolos dari belah bibir seksi chan. Lirik ke belakang dimana pintu putih tersebut berdiri dan balik tatap hyunjin. “Aku bertanya.”

“Sudah.”

Jawaban hyunjin bak lampu hijau. Helaan napas terdengar dari chan, suara berat khas leadernya itu mulai nengarungi pikirannya. Jari-jari dengan sebuah cincin perak khas dengan hiasan tali dibawah kulit ikut andil dalam menyempurnakan tangan pucat pasi miliknya. Lelaki itu menyentuh tangan hyunjin yang berada di kedua sisi tubuhnya, menyeret halus hingga mendarat sempurna di bahu tegap hyunjin.

“Apakahㅡ kamu juga tau kalau aku selalu berandai setiap malam bagaimana rasanya mencicipi ceri merah ini?”

Tawanya mengalun pelan, “jangan berpikir kalau aku tidak tau, baby boy. Kamu selalu memperhatikanku setiap hari, bukan? Mulai dari aku yang selalu di studio, curi pandang ketika kita sedang latihan, atau kadang ketika aku mengerjakan lagu di kamar, kamu diam-diam melihat dibalik selimut.”

Selangka hyunjin yang timbul di balik kerah kemeja yang sedikit turun ditekan chan hingga yang muda mendesis kecil. Kedua tangan yang menumpu di kedua sisi tubuh chan perlahan terlepas, tergantikan dengan rematan erat di paha keras si pirang. Chan cuma tertawa kecil menanggapi.

Bertanya lagi, “Is this what you want?” Sementara tangan makin gencar untuk menyentuh titik tubuh hyunjin yang lain. Walaupun kulit hyunjin tak seputih dirinya. Namun, chan akui kalau milik hyunjin sangat bersih setelah diperhatikan. Sialan, kemana saja chan? Bukankah mereka hampir setiap hari bersama?

Ruangan di studio itu mendadak sunyi karena pertanyaan chan yang mengambang begitu saja. Sibuk meringis karena tulang selangkanya yang masih ditekan oleh chan, hyunjin coba tatap mata leadernya itu. Mata jernih yang selalu digunakan untuk pandang lelaki kesukaannya itu kini memohon untukㅡ meminta lebih.

“Please.”

Hahaha, apa?

Well, chan cukup tertegun dengan jawaban hyunjin, sama sekali tak mempunyai tali hubung antara pertanyaan yang dilontarkan. Senyumnya mengembang tipis, raih rahang tajam adiknya itu untuk diangkat tinggi. “Fine.” Retoris, hyunjin malah berbalik tertegun mendengarnya.

Ia tidak sedang bertanya, tapi chan serius. Kini hyunjin ketakutan namun diselingi rasa penasaran apa yang akan dilakukan oleh leadernya itu. Raut wajahnya tidak bisa ia baca, hyunjin bingung harus bereaksi apa.

Ketika telapak tangan itu mulai bergerakㅡ bukan, lebih tepatnya sang ibu jari. Mengusap bibir hyunjin yang basah karena dikulum sendiri. Kikis jarak antara kedua tubuhnya dan mulai jilat bibir tebal adiknya itu sebelum menerobos masuk ke dalam rongga hangat yang muda. Anehnya, hyunjin pasrah saja.

Pasrah ketika chan coba berkuasa atas dirinya.

Sementara tangan lain sibuk melepaskan satu per-satu kancing kemeja kotak-kotak yang balut tubuh hyunjin, lelaki itu kian mengurus bisa dilihat dari tulang selangka yang makin menonjol. Namun, pipinya tetap berisi, lebih enak untuk dikecup.

Suara kecipak basah, saling mengejar dan beradu bergema di ruangan luas itu. Rintihan hyunjin samar-samar terdengar, terlebih lagi ketika sang kakak memutus tautan terlebih dulu namun langsung menyerang lehernya dengan sebuah gigitan kecil yang diyakini akan menimbulkan bekas.

“Jangan di situ,”

“Kenapa? Bukannya ini mau kamu?” Bisiknya, jilat basah leher hyunjin setelah meninggalkan sebuah tanda di sana, “biar dunia tau kalau kamu milikku.”

Sialan. Hyunjin tidak tau kalau orang yang selama ini dia lihat selalu ceria dan serius, serta mengayomi semua adiknya dengan bijak, mempunyai sisi yang lain seperti ini. Sangat baru, hyunjin pertama kali yang tau sepertinya. “Mh-”

Merasa sesuatu makin mengeras dibalik celana training hitamnya, diperburuk ketika lutut chan malah makin menekan ereksinya. Sakit, namun dia tidak ingin berhenti. Sepertinya hyunjin sudah hilang kewarasan, dia ingin lagi.

Ingin disakiti lagi.

Puas meninggalkan beberapa tanda, chan menjauhi wajahnya dan pandang hyunjin yang pipi sudah merah padam dengan peluh yang mulai menyucur. Pendingin ruangan rasanya tak mampu menghilangkan hawa panas yang diciptakan keduanya. Kali ini chan tertawa. Maksudnya, benar-benar tertawa ketika memandangi wajah yang muda.

Bibir penuhnya kelihatan lebih merah dari sebelumnya, leher dengan tanda ungu kemerahan dan kemeja cuma tinggal hiasan, siap lepas kapan saja. Fuck, mata laknatnya malah membayangi bagaimana kalau tak ada satu pun fabrik yang melekat di tubuh hyunjin. Apa yang akan terjadi? Sepertinya chan sudah tidak dapat menahannya lagi.

Setelah hyunjin sibuk menetralkan napasnya, lututnya diseret mendekat dan duduk di paha keras chan. Gapai sebuah tangan yang selalu jadi objek fantasinya dan mengusap pelan jemari kasar yang selalu menekan tombol laptop kebanggaannya.

“Can i have this?”

Matanya berkedip lucu. Apakah ada seseorang yang meminta sesuatu namun dengan raut wajah sepolos itu? Kalau ada, hyunjin orangnya. Padahal chan belum memberi izin, tapi dengan lancangnya satu jari telunjuk mendarat sempurna di dalam mulut hyunjin.

“Mmnh-”

“Astaga.” Bisiknya dengan deru napas yang memburu. Sialan, kenapa seseorang dengan tampang polos namun mampu membawa imajinasi kotornya tinggi ke awang? Tambah lagi jarinya masuk ke sana. Chan bisa merasakan ujung jarinya menekan objek lembut milik hyunjin dan membuat si manis lagi-lagi merintih.

Dikeluarkannya jari-jari yang sudah dikulum. Bagai menjilat sebuah es krim, anggap saja begitu. Benang saliva di ujung jemari chan membuatnya begitu frustasi, tatap mata lawannya sebelum mengarahkan tangan tersebut ke bongkahan miliknya yang cuma dilindungi celana training.

“Lalu? What you want me to do?”

“Tell me, baby.”

Gigit bibir bawah, “would you do it for this baby?” Gumamnya lucu dengan aksen inggris yang belum terlalu kental.

“Semua orang pasti akan menjawab hal yang sama, sayang.” Balasnya seduktif.

Sedari tadi dia hanya memuaskan si manis tanpa sadar kalau diri sendiri juga tersiksa. Sesuatu menyembul di balik celana. Ya, itu penisnya yang butuh dipuaskan. Namun karena wajah polos adiknya itu, entahlahㅡ dia hanya ingin bermain lebih jauh.

Mengukur sejauh mana juga si manis akan bertahan.

“Ugh, umhㅡ”

“Kak, ah-”

“More, more, please-”

Hanya dengan sebuah jari lenguhannya sudah begini? Lalu bagaimana jika disumpal dengan miliknya nanti. Apakah hyunjin akan berteriak? “Ssst, kita di agensi.”

Oh, hyunjin baru ingat mereka masih berada di ruang latihan! Sangat disayangkan mereka tidak berada di kamar, kalau di sana mungkin hyunjin akan bertindak lebih leluasa. Banyak hal yang belum dicoba olehnya.

“Angh!” Kepalanya terdongak ketika chan berkali-kali menyentuh titik manis di dalam sana.

“Very bad baby.”

Lagi, lagi, lagi. Ditambah dengan suara favoritnya, bikin semuanya makin buruk. Hyunjin hampir sampai pada pelepasan pertamanya, namun chanㅡ dengan brengsek menutup lubang penisnya dan berkata,

“Jangan sampai sebelum aku.”

Sialan. Rasanya sangat sakit, “jangan-” rintihnya lagi. Chan tetap tak memperbolehkan, buktinya dengan sebuah jari yang masih menutup jalur pelepasannya.

“Menungging.”

Satu titah keluar mutlak dari bibir lelaki tersebut, bikin hyunjin sedikit terkejut. Jemarinya tak lagi disana, namun hyunjin tak bisa mengeleluarkan putihnya, entah kenapa. Sementara sang pelaku pindah posisi menjadi di belakangnya, “ah!” Teriaknya kecil. Pinggang ke bawah terasa dingin akibat angin ac, kini hyunjin sadar kalau bawahnya tak ada lagi fabrik. Apa yang akan dilakukan lelaki itu?

Demi apa pun hyunjin tak dapat berkata-kata, dia hanya mengikuti alur permainan chan. Ini salahnya. Salah memancing serigala yang tidur.

“Apa- ahk! Chan!”

“Ah, ouh-”

“Ngh ah, ah,”

Penis lelaki itu menerobos masuk begitu saja ke dalam anal hyunjin. Tanpa ada aba-aba, dengan lancang masuk dan keluar lagi dengan kasar. Rasanya panas, namun nikmat bersamaan. Apa-apaan ini? Kenapa hyunjin suka. Terlebih lagi ketika suara tamparan di kedua pipi miliknya dengan penis yang sibuk tenggelam timbul di sana.

Tubuhnya bergetar, bukan hanya karena sentakan dari belakang. Melainkan ada sesuatu yang lain menjalar dari ujung kepalanya. “More-hh,” lambungnya serasa diguncang hebat.

Suara kulit beradu dengan kulit menggema di penjuru ruangan. Hyunjin berharap tidak ada cctv yang merekam kegiatan panas mereka disini. Sungguh, dia sangat malu, tapi ingin dipuaskan lagi.

Ia belum puas, ingin dirusak lagi.

“Lihat wajahmu itu,” bisiknya sedikit bergetar, menarik rambut hyunjin yang kian memanjang untuk mendongak menatap cermin. Mata hyunjin menangkap refleksi dirinya sendiri yang tengah berada dalam posisi sangat senonoh, dengan pipi memerah bercampur keringat, serta bibir yang terbuka dengan saliva yang menetes di ujung bibir. Matanya sayu, antara terbuka atau tertutup karena merasakan nikmat tak berujung.

“You are very bad baby, hyunjin. Look at that, suka?”

“Kamu suka dengan penisku yang tenggelam dalam analmu kan?” Bisiknya lagi.

“Ini yang kamu mau.” Ucapnya terakhir kali, kembali mendorong hyunjin agar miliknya terbenam makin dalam. “Ahh!” Bersamaan dengan hal itu hyunjin teriak hingga putihnya keluar, mengotori lantai ruang latihan mereka. Tubuhnya terkulai lemas disangga oleh sikunya.

Bokongnya masih melayang di udara, “kak, u- udah?” Tanya yang rambut pirang lewat pantulan cermin. Sungguh, penampilan luar biasa kacau, namun hyunjin menyukai penampilan kacaunya, tersenyum kecil sangking senangnya.

“Kita lanjutkan di dorm,” balasnya, “sekarang kita bereskan ini semua, okay baby.” Senyumnya manis kemudian mengusak surai panjang hyunjin sebelum melepas penisnya dari anal sang adik.

Shit. Senyuman manis yang menyimpan begitu banyak kejutan di dalamnya.

Hyunjin tidak sabar untuk menanti,

Apa ya kejutan berikutnya?

Bukan kah sudah menjadi rahasia umum kalau hyunjin itu terkenal akan “visual” nya di stray kids?

Wajah rupawan dengan hidung bangir, bibir penuh bak delima, rahang tajam yang di pahat sempurna. Sepertinya tuhan sedang bahagia ketika menciptakannya.

Auranya di stage juga mampu menarik semua pasang mata tertuju padanya. Haha, siapa sih yang tidak suka?

Tapi, Oh! Mungkin ada satu hal yang tidak kalian tau.

Hyunjin menyukai leadernya sendiri.

Sounds ridiculous, right? Well, that's the truth.

Semua itu bermula ketika melihat chan yang sibuk di studio setiap masa comeback mereka. Mengaransemen lagu-lagu yang akan diisi untuk album mereka kelak. Diantara semua member, dia yang paling sibuk. Keduanya merupakan roomate, tapi hyunjin sangat jarang melihat chan tidur bersamanya.

Sejak awal mereka debut, hyunjin terus memperhatikan lelaki bermata sipit itu. Semakin hari, semakin besar pula rasa ingin mendekatinya. Namun, di salah satu sisi hyunjin takut menganggu pekerjaan lelaki itu. Yang mana kalau chan sudah diganggu, marahnya bukan sekedar mengerikan lagi.

Setiap jam, setiap menit, hyunjin selalu awas dalam memperhatikan chan. Mulai dari ujung kepala, sampai ujung kaki. Detail terkecil yang ada pada diri lelaki kesukaannya direkam lekat di memori otak. Akibat kelakukannya sendiri juga, rasa ingin memiliki chan semakin besar.

“Kak, minum.”

Sebuah botol minum berwarna hitam ditawarkan kepada chan dan tentu saja diterima dengan baik oleh yang lebih tua, tak lupa mengucapkan terima kasih.

“Haha, tau aja lagi haus.” Balas chan dengan cengiran kecil, yang mana hal itu sangat membuat hyunjin kegirangan. Rasanya ingin mencubit pipi lelaki kesukaannya itu, kemudian menciumnya gemas.

Hanya dibalas hyunjin dengan anggukan kecil sebelum ia memutuskan untuk duduk di samping si rambut pirang. Peluhnya menetes hingga jatuh ke kaos hitam panjang yang balut tubuh atletis. Ugh, hyunjin jadi membayangkan lekukan seksi hasil work out leadernyaㅡ pasti tubuhnya sangat bagus.

Terdiam dengan renungan, chan malah menyadarkan hyunjin, senggol sedikit adiknya itu, “hei, kok ngelamun?”

“Enㅡ ga ada kak, hehe.” Jawab seadanya.

Tak menaruh rasa curiga apa pun, chan bergegas untuk menghabiskan minuman dari botolnya. Kemudian berdiri untuk mengambil sebuah kain guna mengelap keringat yang sudah membuat tubuhnya basah. Berlatih dance dengan lagu come to my house ternyata tidak semudah membuat lagu, pikirnya. Padahal, ini merupakan basic seorang idol. Ah, sepertinya chan harus extra latihan lagi.

“Gerah.” Gumamnya kecil. Toleh ke belakang, hyunjin masih duduk memandang cermin. Sepertinya membuka kaos panjang ini tak masalah, bukan? Toh hanya ada hyunjin.

Sementara yang masih duduk menghadap cermin, tak sengaja menatap chan yang tengah meloloskan kain dari tubuhnya. Lewat dari kepala, hingga punggung putih kekar dengan licinnya keringat akibat latihan ditangkap oleh hyunjin melalui pantulan jendela.

Tanpa sadar hyunjin teguk ludahnya kasar, “shit.” Harusnya dia kesini hanya untuk memberi minum, bukan untuk menonton tubuh atletis lelaki yang selalu berlari di imajinasi liarnya.

Setelah selesai mengelap keringat, chan datang menghampiri hyunjin, “Nanti mau pulang bareng?” Tanyanya. Yang muda hanya mengangguk kecil, tak berani tatap chan dalam satu garis lurus.

Tentu saja chan merasa aneh, tidak biasanya hyunjin menjawab tanpa melihat ke arahnya, “apa ada sesuatu?”

Bukan, hyunjin menggeleng lagi. Astaga, bingung melandanya. Tidak mungkin juga hyunjin bilang kalau dirinya malu sekarang. Malu apa? Toh, mereka sama-sama lelaki. Apabila hyunjin mengatakan hal yang sebenarnya, namanya mempermalukan diri sendiri.

“Hei, kamu tau kan kalau aku tidak suka orang yang begitu?”

“Ma- maaf, kak.”

“Memangnya ada apa? Beritahu aku, mungkin aku bisa bantu.” Ujarnya lagi, mulai khawatir kala melihat adiknya itu, wajahnya memerah hingga ke telinga.

Demam kah? Atau ada sesuatu yang lain. Chan tak habis pikir, hyunjin masih bungkam dan hal itu malah bikin dirinya bingung.

Sampai, “Hyunㅡ”

Tubuhnya terdorong ke belakang hingga punggung menubruk sempurna kaca besar di belakangnya, dengan pelaku si rambut coklat mengunci sisi tubuhnya. Alis chan mengernyit aneh, tatap hyunjin minta penjelasan akan perbuatan yang menurutnya sangat tiba-tiba ini.

“Aku kadang selalu berandai-andai apa rasanya bibir ini,”

“Bikin candu, kah? Atau ada rasa lain?”

Matanya bergetar begitu juga jemarinya. Padahal ia sendiri yang mengatakan hal itu, namun kenapa yang bereaksi malah tubuhnya sendiri. Lelaki di hadapannya masih menatap dengan tenang, membuat hyunjin seolah-olah dipermalukan disini.

“Kamu sudah kunci pintunya?”

Satu kalimat pertama yang lolos dari belah bibir seksi chan. Lirik ke belakang dimana pintu putih tersebut berdiri dan balik tatap hyunjin. “Aku bertanya.”

“Sudah.”

Jawaban hyunjin bak lampu hijau. Helaan napas terdengar dari chan, suara berat khas leadernya itu mulai nengarungi pikirannya. Jari-jari dengan sebuah cincin perak khas dengan hiasan tali dibawah kulit ikut andil dalam menyempurnakan tangan pucat pasi miliknya. Lelaki itu menyentuh tangan hyunjin yang berada di kedua sisi tubuhnya, menyeret halus hingga mendarat sempurna di bahu tegap hyunjin.

“Apakahㅡ kamu juga tau kalau aku selalu berandai setiap malam bagaimana rasanya mencicipi ceri merah ini?”

Tawanya mengalun pelan, “jangan berpikir kalau aku tidak tau, baby boy. Kamu selalu memperhatikanku setiap hari, bukan? Mulai dari aku yang selalu di studio, curi pandang ketika kita sedang latihan, atau kadang ketika aku mengerjakan lagu di kamar, kamu diam-diam melihat dibalik selimut.”

Selangka hyunjin yang timbul di balik kerah kemeja yang sedikit turun ditekan chan hingga yang muda mendesis kecil. Kedua tangan yang menumpu di kedua sisi tubuh chan perlahan terlepas, tergantikan dengan rematan erat di paha keras si pirang. Chan cuma tertawa kecil menanggapi.

Bertanya lagi, “Is this what you want?” Sementara tangan makin gencar untuk menyentuh titik tubuh hyunjin yang lain. Walaupun kulit hyunjin tak seputih dirinya. Namun, chan akui kalau milik hyunjin sangat bersih setelah diperhatikan. Sialan, kemana saja chan? Bukankah mereka hampir setiap hari bersama?

Ruangan di studio itu mendadak sunyi karena pertanyaan chan yang mengambang begitu saja. Sibuk meringis karena tulang selangkanya yang masih ditekan oleh chan, hyunjin coba tatap mata leadernya itu. Mata jernih yang selalu digunakan untuk pandang lelaki kesukaannya itu kini memohon untukㅡ meminta lebih.

“Please.”

Hahaha, apa?

Well, chan cukup tertegun dengan jawaban hyunjin, sama sekali tak mempunyai tali hubung antara pertanyaan yang dilontarkan. Senyumnya mengembang tipis, raih rahang tajam adiknya itu untuk diangkat tinggi. “Fine.” Retoris, hyunjin malah berbalik tertegun mendengarnya.

Ia tidak sedang bertanya, tapi chan serius. Kini hyunjin ketakutan namun diselingi rasa penasaran apa yang akan dilakukan oleh leadernya itu. Raut wajahnya tidak bisa ia baca, hyunjin bingung harus bereaksi apa.

Ketika telapak tangan itu mulai bergerakㅡ bukan, lebih tepatnya sang ibu jari. Mengusap bibir hyunjin yang basah karena dikulum sendiri. Kikis jarak antara kedua tubuhnya dan mulai jilat bibir tebal adiknya itu sebelum menerobos masuk ke dalam rongga hangat yang muda. Anehnya, hyunjin pasrah saja.

Pasrah ketika chan coba berkuasa atas dirinya.

Sementara tangan lain sibuk melepaskan satu per-satu kancing kemeja kotak-kotak yang balut tubuh hyunjin, lelaki itu kian mengurus bisa dilihat dari tulang selangka yang makin menonjol. Namun, pipinya tetap berisi, lebih enak untuk dikecup.

Suara kecipak basah, saling mengejar dan beradu bergema di ruangan luas itu. Rintihan hyunjin samar-samar terdengar, terlebih lagi ketika sang kakak memutus tautan terlebih dulu namun langsung menyerang lehernya dengan sebuah gigitan kecil yang diyakini akan menimbulkan bekas.

“Jangan di situ,”

“Kenapa? Bukannya ini mau kamu?” Bisiknya, jilat basah leher hyunjin setelah meninggalkan sebuah tanda di sana, “biar dunia tau kalau kamu milikku.”

Sialan. Hyunjin tidak tau kalau orang yang selama ini dia lihat selalu ceria dan serius, serta mengayomi semua adiknya dengan bijak, mempunyai sisi yang lain seperti ini. Sangat baru, hyunjin pertama kali yang tau sepertinya. “Mh-”

Merasa sesuatu makin mengeras dibalik celana training hitamnya, diperburuk ketika lutut chan malah makin menekan ereksinya. Sakit, namun dia tidak ingin berhenti. Sepertinya hyunjin sudah hilang kewarasan, dia ingin lagi.

Ingin disakiti lagi.

Puas meninggalkan beberapa tanda, chan menjauhi wajahnya dan pandang hyunjin yang pipi sudah merah padam dengan peluh yang mulai menyucur. Pendingin ruangan rasanya tak mampu menghilangkan hawa panas yang diciptakan keduanya. Kali ini chan tertawa. Maksudnya, benar-benar tertawa ketika memandangi wajah yang muda.

Bibir penuhnya kelihatan lebih merah dari sebelumnya, leher dengan tanda ungu kemerahan dan kemeja cuma tinggal hiasan, siap lepas kapan saja. Fuck, mata laknatnya malah membayangi bagaimana kalau tak ada satu pun fabrik yang melekat di tubuh hyunjin. Apa yang akan terjadi? Sepertinya chan sudah tidak dapat menahannya lagi.

Setelah hyunjin sibuk menetralkan napasnya, lututnya diseret mendekat dan duduk di paha keras chan. Gapai sebuah tangan yang selalu jadi objek fantasinya dan mengusap pelan jemari kasar yang selalu menekan tombol laptop kebanggaannya.

“Can i have this?”

Matanya berkedip lucu. Apakah ada seseorang yang meminta sesuatu namun dengan raut wajah sepolos itu? Kalau ada, hyunjin orangnya. Padahal chan belum memberi izin, tapi dengan lancangnya satu jari telunjuk mendarat sempurna di dalam mulut hyunjin.

“Mmnh-”

“Astaga.” Bisiknya dengan deru napas yang memburu. Sialan, kenapa seseorang dengan tampang polos namun mampu membawa imajinasi kotornya tinggi ke awang? Tambah lagi jarinya masuk ke sana. Chan bisa merasakan ujung jarinya menekan objek lembut milik hyunjin dan membuat si manis lagi-lagi merintih.

Dikeluarkannya jari-jari yang sudah dikulum. Bagai menjilat sebuah es krim, anggap saja begitu. Benang saliva di ujung jemari chan membuatnya begitu frustasi, tatap mata lawannya sebelum mengarahkan tangan tersebut ke bongkahan miliknya yang cuma dilindungi celana training.

“Lalu? What you want me to do?”

“Tell me, baby.”

Gigit bibir bawah, “would you do it for this baby?” Gumamnya lucu dengan aksen inggris yang belum terlalu kental.

“Semua orang pasti akan menjawab hal yang sama, sayang.” Balasnya seduktif.

Sedari tadi dia hanya memuaskan si manis tanpa sadar kalau diri sendiri juga tersiksa. Sesuatu menyembul di balik celana. Ya, itu penisnya yang butuh dipuaskan. Namun karena wajah polos adiknya itu, entahlahㅡ dia hanya ingin bermain lebih jauh.

Mengukur sejauh mana juga si manis akan bertahan.

“Ugh, umhㅡ”

“Kak, ah-”

“More, more, please-”

Hanya dengan sebuah jari lenguhannya sudah begini? Lalu bagaimana jika disumpal dengan miliknya nanti. Apakah hyunjin akan berteriak? “Ssst, kita di agensi.”

Oh, hyunjin baru ingat mereka masih berada di ruang latihan! Sangat disayangkan mereka tidak berada di kamar, kalau di sana mungkin hyunjin akan bertindak lebih leluasa. Banyak hal yang belum dicoba olehnya.

“Angh!” Kepalanya terdongak ketika chan berkali-kali menyentuh titik manis di dalam sana.

“Very bad baby.”

Lagi, lagi, lagi. Ditambah dengan suara favoritnya, bikin semuanya makin buruk. Hyunjin hampir sampai pada pelepasan pertamanya, namun chanㅡ dengan brengsek menutup lubang penisnya dan berkata,

“Jangan sampai sebelum aku.”

Sialan. Rasanya sangat sakit, “jangan-” rintihnya lagi. Chan tetap tak memperbolehkan, buktinya dengan sebuah jari yang masih menutup jalur pelepasannya.

“Menungging.”

Satu titah keluar mutlak dari bibir lelaki tersebut, bikin hyunjin sedikit terkejut. Jemarinya tak lagi disana, namun hyunjin tak bisa mengeleluarkan putihnya, entah kenapa. Sementara sang pelaku pindah posisi menjadi di belakangnya, “ah!” Teriaknya kecil. Pinggang ke bawah terasa dingin akibat angin ac, kini hyunjin sadar kalau bawahnya tak ada lagi fabrik. Apa yang akan dilakukan lelaki itu?

Demi apa pun hyunjin tak dapat berkata-kata, dia hanya mengikuti alur permainan chan. Ini salahnya. Salah memancing serigala yang tidur.

“Apa- ahk! Chan!”

“Ah, ouh-”

“Ngh ah, ah,”

Penis lelaki itu menerobos masuk begitu saja ke dalam anal hyunjin. Tanpa ada aba-aba, dengan lancang masuk dan keluar lagi dengan kasar. Rasanya panas, namun nikmat bersamaan. Apa-apaan ini? Kenapa hyunjin suka. Terlebih lagi ketika suara tamparan di kedua pipi miliknya dengan penis yang sibuk tenggelam timbul di sana.

Tubuhnya bergetar, bukan hanya karena sentakan dari belakang. Melainkan ada sesuatu yang lain menjalar dari ujung kepalanya. “More-hh,” lambungnya serasa diguncang hebat.

Suara kulit beradu dengan kulit menggema di penjuru ruangan. Hyunjin berharap tidak ada cctv yang merekam kegiatan panas mereka disini. Sungguh, dia sangat malu, tapi ingin dipuaskan lagi.

Ia belum puas, ingin dirusak lagi.

“Lihat wajahmu itu,” bisiknya sedikit bergetar, menarik rambut hyunjin yang kian memanjang untuk mendongak menatap cermin. Mata hyunjin menangkap refleksi dirinya sendiri yang tengah berada dalam posisi sangat senonoh, dengan pipi memerah bercampur keringat, serta bibir yang terbuka dengan saliva yang menetes di ujung bibir. Matanya sayu, antara terbuka atau tertutup karena merasakan nikmat tak berujung.

“You are very bad baby, hyunjin. Look at that, suka?”

“Kamu suka dengan penisku yang tenggelam dalam analmu kan?” Bisiknya lagi.

“Ini yang kamu mau.” Ucapnya terakhir kali, kembali mendorong hyunjin agar miliknya terbenam makin dalam. “Ahh!” Bersamaan dengan hal itu hyunjin teriak hingga putihnya keluar, mengotori lantai ruang latihan mereka. Tubuhnya terkulai lemas disangga oleh sikunya.

Bokongnya masih melayang di udara, “kak, u- udah?” Tanya yang rambut pirang lewat pantulan cermin. Sungguh, penampilan luar biasa kacau, namun hyunjin menyukai penampilan kacaunya, tersenyum kecil sangking senangnya.

“Kita lanjutkan di dorm,” balasnya, “sekarang kita bereskan ini semua, okay baby.” Senyumnya manis kemudian mengusak surai panjang hyunjin sebelum melepas penisnya dari anal sang adik.

Shit. Senyuman manis yang menyimpan begitu banyak kejutan di dalamnya.

Hyunjin tidak sabar untuk menanti,

Apa ya kejutan berikutnya?

Haruskah dia bertanya kepada gelapnya malam? Kenapa membuatnya harus melakukan semua ini