Chan masih berusaha untuk menghubungi hyunjin yang tak satu pun panggilannya diangkat. Dari dalam mobil, chan memandang ke rumah yang didominasi warna putih. Lampu halamannya hidup, sementara dibalik tirai tipis jendela depan, terdapat cahaya temaramㅡ bisa di pastikan kalau hyunjin berada di rumah.
Pintu mobil akhirnya dibuka. Angin langsung menyapa kulitnya seiring dengan langkah kaki beradu dengan tanah. Satu tangga, dua tangga, hingga sampai tepat di depan pintu rumah sekretarisnya tersebut.
Tok, tok, tok!
Tak ada sahutan.
Sekali lagi,
Tok, tok, tok!
Cklek!
”..oh my..”
Begitu terdapat celah sedikit, chan langsung membuka pintu tersebut dan menguncinya dari dalam. Hyunjin masih termangu kaget kala bos nya itu dengan siap menahannya di dekat dinding. Bibir pucatnya menjadi titik fokus utama chan, balik tatap mata yang warnanya mulai berbeda sejak terakhir kali mereka bertemu.
“Kamu sakit?”
“Pak, saya mohonㅡ pergilah.”
“Kalau saya tidak ingin?”
Hyunjin memejamkan matanya. Aroma itu, aroma yang membuatnya cinta. Namun, di salah satu sisi membenci mati-matian. Ketika chan mengikis jarak antara wajah mereka, hyunjin malah sebaliknya. Berusaha menghindar sekuat mungkin walau tubuhnya lemah.
Jemarinya gemetar mendorong pelan dada chan, “saya mohon.”
“Kenapa kamu menyembunyikan semua ini? Apa gunanya berbohong pada saya?”
Aura yang sangat mengintimidasi dapat hyunjin rasakan, buat kepalanya penuh dengan pikiran-pikiran buruk. “Saya ada alasan tersendiri.”
“Kalau begitu apㅡ”
“Anda tidak akan mengerti! Anda pikir mudah hidup sebagai orang yang berbeda di antara lautan manusia?!”
“Saya sudah berusaha sekuat tenaga, hiksㅡ”
Lelehan kristal itu membuat chan sedikit iba. Coba untuk taruh simpati ke hyunjin, akhirnya tubuhnya menjauh dan hyunjin langsung terduduk lemas di lantai.
“Maaf karena saya sudah lancang terhadap pak chris. Sekarang saya menyesal, tubuh saya sangat sakit dan butuh waktu untuk sembuh.”
Helaan napas kasar terdengar dari bibir chan. Ambil sebuah gelas yang tak jauh darinya dan tuang air mineral di sana.
“Awalnya aku datang untuk membunuhmu.”
“Apa?”
Tak dapat dipungkiri kalau hyunjin kaget. Bahkan berusaha untuk melindungi dirinya sendiri walau pun hal itu sebenernya sia-sia. Minuman di genggaman akhirnya ditenggak hingga habis.
“Aku membenci kaum kalian walaupun aku juga memiliki darahnya. Hanya seperempat dibanding keseluruhan.” Timpalnya lagi, tatap hyunjin yang masih terdiam. “Tapi ada sebuah hal gila yang tengah kurasakan.”
Tangannya meraih tangan hyunjin yang dingin. Menariknya perlahan dan mengarahkan ke dadanya sendiri. Hyunjin bisa merasakan dentunan kehidupan di sana, berkumandang seperti menyebut-nyebut namanya.
Suara yang sudah sangat lama tidak dirinya dengar, membuatnya berkaca-kaca.
“Rasakan itu, dia menginginkanmu.”
Pupil mata yang kian menggelap berada dalam satu garis lurus dengan mata lawannya. Si rambut pirang pelan mengusap pipi tembam si manis sebelum melayangkan sebuah kecupan di bibir yang masih terdapat sisa darah manusia di sana.
“Bawa aku menyusuri gelapnya dunia malam.”