XXI. how deep is our love
Menjadi seseorang yang hidup dalam lingkaran nyaman menjadikan Off Jumpol terlampau bingung akan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah ia saksikan. Bukannya heran, laki-laki jangkung itu hanya tidak tahu bagaimana harus bersikap ketika ia tiba-tiba dihadapkan pada situasi yang baru. Ada kalanya ia hanya bisa diam, dan biasanya orang lain akan mengambil kesimpulan yang salah. Sama sekali bukan karena ia tidak punya simpati, ia hanya tidak tahu harus berbuat apa.
Dari segala hal di luar lingkaran nyaman, yang paling tidak terduga adalah bagaimana ia bisa jatuh pada laki-laki mungil yang usianya terpaut jauh. Orang bilang kita memang tidak bisa merencanakan kepada siapa kita menjatukan hati. Off paham, ia tidak bisa menyalahkan perasaan, ini semua bagian dari dirinya sendiri. Sudah cukup laki-laki jangkung itu terpaku pada duka yang urung sembuh. Sang tuan terlampau pasrah dan sibuk menutupi duka yang dirasa sehingga ia membiarkan dirinya jatuh bebas pada laki-laki mungil tersebut.
Laki-laki mungil yang kini tengah melompat-lompat riang. Sibuk berceloteh tentang ujian akhir sekolah yang baru saja ia lakukan, tentang pengawas galak yang kelewat ketat sampai mengecek kaus kaki bahkan ikat pinggang peserta ujian, tentang temannya yang lupa membawa kotak pensil sehingga perlu meminjam alat tulis ke beberapa orang. Satu minggu yang kosong, semuanya digantikan dengan cerita lengkap dengan senyum yang sampai ke mata menampilkan ceruk di pipi juga mata berbinar menatap Off penuh adorasi.
Sekali lagi, Off kembali jatuh pada Gun. Berhasil melupakan tujuh hari kehilangan penuh tanya dan tiba-tiba saja sang tuan merasa tidak apa-apa. Begini saja. Asal Gun bisa tersenyum, menjadi seperti tupai melompat tinggi-tinggi lantas kembali ke pelukannya. Padahal mereka hanya akan pergi ke tempat tukang bubur seberang komplek apartemen. Tapi memang bukan perihal kemana tujuan atau aktivitas apa yang akan dilakukan, semuanya cenderung pada dengan siapa menghabiskan waktu. Kalau boleh Off meminta, sang tuan ingin seperti ini selamanya.
Selamanya.
Off menggantungkan sendok berisi bubur yang hampir menyapa bibirnya, sukses membuat Gun menoleh heran, “kenapa, Om Ju?”
Off melirik Gun yang menampilkan ekspresi khawatir, “enggak, kaget tadi masih panas buburnya.” Jawab Off sekenanya.
Gun manggut-manggut, sepenuhnya percaya lantas berujar, “pelan-pelan makannya, ditiup dulu.”
“Iya, Adek.” Off mengamini tutur Gun, meniup pelan suapan selanjutnya lantas kembali makan sembari mendengar episode lain dari cerita Gun perihal ujian sekolah.
“Adek, udah makannya?” tanya Off sesudah meneguk teh hangat dalam gelas.
“Udaaah! mau pulang sekarang?” Gun balik bertanya, Off segera berdiri menghampiri penjual bubur dan membayar makanan mereka berdua.
“Ayo?” ajak Off menoleh, mencari-cari keberadaan Gun di belakangnya lantas terkejut ketika tangan mungil itu mengambil lengannya.
“Adek di sini!” seru Gun, mengumumkan presensinya pada orang tua yang kebingungan lantas terkikik geli melihat ekspresi luar biasa lega yang ditampilkan Off.
“Let's go pulang!” ujar si mungil setengah menarik lengan Off untuk segera ingkah, mengucap terimakasih sekali lagi pada tukang bubur lantas keduanya benar-benar melangkah pergi.
Tidak ada yang berbicara. Gun sudah selesai menceritakan semua hal menarik yang terjadi seminggu kebelakang. Alih-alih canggung, hening kali ini malah terasa nyaman. Setidaknya bagi Off, Gun terlihat tidak merasa terganggu dengan kehadirannya. Tapi tetap saja ada yang janggal, seperti kerikil di atas aspal yang menghalangi mulusnya jalan. Ada yang belum selesai di antara mereka berdua.
Off berhenti tepat di depan pintu unit kamarnya, sang tuan menoleh pada Gun yang masih betah mengamit lengan Off. “Adek mau masuk?”
Gun menatap Off ragu, lantas mengangguk pelan, si mungil juga merasa perlu memuntahkan apa-apa yang mengganggu di kepala juga pergumulan perasaan dalam hati. Ia pikir Off perlu tahu sehingga yang dilakukan anak kecil itu adalah melangkah masuk pelan-pelan saat pintu unit kamar Off dibuka lebar-lebar oleh sang empu.
“Adek mau nonton film? lanjutin Age of Ultron?” tawar Off, mengingat bahwa terakhir kali mereka belum selesai menonton satu film tersebut.
Alih-alih mengangguk, Gun menggelengkan kepalanya pelan. Off lagi-lagi menawari, “mau teh?”
“Om Ju punya?” tanya Gun penuh sangsi.
“Mulai deh ngeledek lagi,” protes Off melangkah ke area dapur dan membuka lemari gantung.
“Om Ju gak punya air panas...”
“Ya bikin?”
“Om Ju gak ada teko....”
“Ada dispen-” ucapan Off terhenti ketika melihat pemanas air otomatis tersebut berada dalam kondisi mati. “Bisa nyalain dulu.” Sahut Off mengangkat bahunya tak acuh.
“Gak usah deh, Adek mau ngomong serius aja sama Om Ju.” ujar Gun meminta atensi Off.
Laki-laki jangkung itu menghela napas, “sebentar, saya belum siap.”
Gun terkekeh geli, merasa lucu dengan ekspresi Off yang kelewat khawatir. Padahal Off tidak melakukan kesalahan apapun, tapi orang tua itu terlanjur khawatir dan panik kalau-kalau ia tidak sengaja menyakiti hati Gun.
“Om Ju mukanya ih!” Tuduh Gun, tidak tahan dengan wajah serius Off yang tengah menariknya duduk di atas sofa ruang tengah. Sudah saling berhadapan, Gun menatap wajah Off lekat-lekat.
“Adek cuma mau minta maaf, kok.” Ujar Gun, mencoba menenangkan dirinya.
“Kok Adek yang minta maaf?”
“Ya, karena Adek udah diamin Om Ju seminggu, Om Ju marah nggak?” tanya Gun balik, membuat Off mengerutkan dahinya semakin dalam. “Aduh Adek gak tahan! Adek mau cubit pipi Om Ju, boleh ya?” tanya Gun gemas.
Off mendengus, tapi toh memberikan wajahnya pada si mungil. Membiarkan jemari kecilnya bermain dengan pipi yang tidak seberapa gembil dibandingkan milik Gun. “Udah belum?”
“Sedikit lagiiii!” seru Gun masih asyik menarik-narik pipi Off ke segala arah.
“Saya gak marah, btw,” ujar Off, tidak begitu jelas tapi Gun berhasil mengerti, juga sukses membuat si mungil berhenti mencubiti pipi Off.
“Harusnya, Om Ju marah aja. Om Ju bingung kan kenapa Adek tiba-tiba diamin Om Ju?” tanya Gun yang hanya dijawab dengan anggukkan oleh Off.
Gun menurunkan tangannya dari pipi Off lantas menunduk lemas, “Adek juga bingung sebenarnya, kenapa ya Adek diamin Om Ju? padahal Om Ju gak salah apa-apa, loh?” tanya Gun retoris, ia menatap netra Off lurus-lurus, menampilkan hanya kejujuran di dalamnya.
“Adek malah senang,” lanjut Gun, “senang banget waktu Om Ju ajak Adek ke pesta pernikahan teman Om Ju. Adek jadi tahu kayak gimana dunia orang dewasa, pembicaraan dan interaksi yang dilakukan sama orang gede.” tangan-tangan mungil itu bergerak pelan meraih ujung lengan sweater yang dikenakan Off. Pelan-pelan memilin kain tebal tersebut, gesture yang selalu dilakukan saat sang empu tengah merasa gugup.
“Tapi itu juga yang bikin Adek sadar kalau ternyata Adek masih kecil ya, Om Ju? tangan Adek kecil,” sahut Gun menunjukkan telapak yang terbuka, “kaki Adek juga kecil,” lanjut si mungil sukses membuat Off memiringkan kepala, seratus persen bingung karena Gun tidak pernah mau mengakui kalau dirinya kecil. Kecuali,
“Secepat apapun langkah yang Adek ambil, gak mungkin Adek bisa sejajar sama Om Ju, kan?”
Si mungil tengah tidak percaya diri. Off membulatkan matanya, ada banyak untaian benang yang akhirnya membuat sang tuan mengerti. Laki-laki jangkung itu merasa menjadi manusia terdungu seantero jagat. Bisa-bisanya ia tidak memikirkan konsekuensi dari perbuatannya. Ia melupakan fakta bahwa Gun merupakan anak pintar yang kelewat peka dengan hal-hal sekitar. Termasuk pada tempat dimana ia harus berdiri.
“Adek, maaf..”
“Kok Om Ju minta maaf juga sih?” tanya Gun bingung, si mungil memajukan bibirnya tidak suka dengan fakta bahwa Off juga merasa bersalah. Bukan salah Off, pikir Gun, sama sekali bukan salah orang tua itu. Perasaan miliknya bukan tanggung jawab orang lain dan tidak akan pernah menjadi.
“Saya cuma mikirin ego saya doang kemarin,” jawab Off mengambil tangan Gun yang masih betah memilin ujung lengan sweater-nya, lantas mengamit dalam genggaman penuh.
“Maaf ya, harusnya saya mentingin perasaan kamu duluan daripada yang lain. Harusnya saya bisa lihat jauh ke depan lagi.”
Gun menarik sudut bibirnya ke atas, “memangnya Om Ju cenayang apa?”
Off ikut tersenyum dibuatnya, “ya kan hal kayak gini bisa diprediksi? Kemarin saya beneran mentingin ego saya aja,”
“Om Ju tuh ngajak Adek biar apa coba? Kan teman Om Ju banyak yang udah gede juga.” Tanya Gun mengayunkan tangan mereka yang saling bertaut.
“Mau pamer,” jawab Off jujur sukses membuat Gun menyatukan kedua alisnya. “Sekalian mau ngenalin kamu ke teman-teman saya juga sih,”
“Memangnya Gun siapa pakai harus dikenalin segala?”
“Pasangan saya, kan?” Goda Off menunjukkan seringaian jahilnya. Mata Gun membulat dan bisa laki-laki mungil itu rasakan kalau pipinya mulai memanas. Namun sedetik kemudian, ekspresi Gun berubah menjadi getir.
“Om Ju jangan gitu,” tutur Gun pelan.
Off bergeming, “maaf.” Ujarnya, “kamu risih ya?”
“Enggak!” sahut Gun panik, “bukan gitu maksud Adek, cuma aneh aja kan kita bukan pasangan?” ujarnya lagi.
“Memangnya Adek gak mau jadi pasangan saya?” tanya Off, makin membuat Gun bingung dan panik.
“Bukan gituuu!” rengek Gun, “kan Adek udah jadi pasangan Om Ju kemarin,”
“Kalau sekarang?”
“Ih apasih Om Ju!”
Off tergelak, tidak tahan melihat ekspresi si mungil yang kelewat menggemaskan. Sang tuan mengangkat sebelah tangan yang bebas dan mengusak surai hitam milik Gun, “jadi saya dimaafin nggak nih?”
“Adek dimaafin nggak?” Gun balik bertanya
“Kamu punya hak buat diamin saya, saya nggak marah juga.” jawab Off ringan, “malah saya yang salah di sini, kan?”
“Nggak,” jawab Gun pelan, “tetap Adek sih, kalau aja Adek gak suka sama Om Ju mungkin Adek gak akan ada pikiran sampai ke situ.” tuturnya lagi.
“Gimana?”
“Hah?”
“Kamu tadi bilang apa?”
Gun memiringkan kepalanya, kembali menggali memori sepuluh detik yang lalu kemudian sadar kalau ia telah mengutarakan perasaannya secara tidak sengaja.
“Sebentar,” ujar Gun perlahan menjauh dari Off, “Adek bisa jelasin,”
Off yang melihat Gun menjauh dengan sigap menahan tangan si mungil, “jangan jauh-jauh, sini aja,” ujarnya dengan tatapan memohon, sukses membuat Gun merasa tidak enak lantas membiarkan Off kembali menariknya untuk duduk lebih dekat.
“E-eh? Om Ju!” Protes Gun saat yang lebih tua malah membawa tubuh mungilnya duduk di atas pangkuan.
“Ya, kenapa Adek?”
“Turunin Adek! Ini dekat banget!!”
“Jawab dulu, tadi Adek bilang apa? saya nggak dengar?”
“Gak mauuuu! Turunin Adek!!” seru Gun berusaha melepaskan tangan Off di pinggangnya.
“Jangan gerak-gerak nanti kamu jatuh,” Off mengingatkan Gun yang langsung bergeming. “Nah, tadi kamu bilang apa?”
“Om Ju nyebelin.” Gun memajukan bibirnya, tanda kalau ia merasa sebal.
“Oke, terus?” Off malah menarik sudut bibirnya ke atas, sama sekali tidak terpengaruh dengan ucapan si mungil.
“Om Ju suka tiba-tiba ngirim gopay, mana banyak lagi, padahal Adek gak minta. Tuh sampai sekarang masih nyisa,” ujar Gun lagi, masih cemberut menatap Off kesal. Yang diajak bicara hanya bergumam panjang, tanda kalau ia masih mendengarkan.
“Om Ju juga gak bisa cuci piring. Padahal Adek udah ajarin tapi masih kaku pas megang alat makannya. Om Ju susah dibilangin, selalu lembur gak tahu waktu, terus harus ada yang ingatin buat makan tepat waktu.”
“Aduh jelek banget saya di mata kamu,” Off mengaduh, ternyata ia memang tidak lebih dari laki-laki manja yang sulit diatur.
“Tapi Adek suka,” potong Gun. Laki-laki mungil itu menatap Off tepat di netra tanda bahwa ia memang bersungguh-sungguh, lantas menunduk malu-malu. Kedua tangan Gun yang tersampir di bahu Off pelan-pelan bergerak turun menuju kerah sweater yang dikenakan Off. Lagi-lagi menemukan kain untuk dipilin demi mengurangi rasa gugup.
“Adek suka Om Ju,” tegas Gun tanpa menaikkan pandangan, “Om Ju baik banget. Om Ju selalu bantuin Adek kalau kesusahan, tanpa sadar Om Ju juga yang ngenalin Adek ke hal-hal baru di luar sekolah dan teman-teman Adek.
Semua tentang Om Ju menarik, Adek penasaran, Adek pengen tahu lebih banyak lagi tentang Om Ju. Mungkin itu juga yang bikin Adek makin suka sama Om Ju.”
Off pelan-pelan menaruh sebelah telapak di atas pipi gembil milik Gun. Sebegitu hati-hatinya sang tuan menyapu permukaan raba si mungil dengan ibu jari. Seolah Gun adalah berlian paling mahal dan ia orang paling beruntung karena berhasil menemukannya. Sapuan itu lembut, saking lembutnya membuat Gun seperti diberi keberanian untuk menatap Off penuh pertanyaan.
“Ternyata saya nggak jatuh sendirian,” ujar Off lebih pada diri sendiri, tapi dengan jarak yang terlampau dekat membuat Gun ikut mendengar tuturnya. Gun mengangkat kedua alis, menuntut penjelasan tanpa kata-kata. “Kalau gitu, Adek mau nggak jadi pasangan saya? Kalau bisa sih pasangan hidup.”
“Om Ju! Bercanda terus!” Protes Gun, setengah jengkel saat yang lebih tua kembali mengangkat topik pasangan.
Pelan-pelan, Off mendekatkan wajahnya pada si mungil. Menipiskan jarak di antara mereka berdua kemudian dengan sukses membubuhkan kecup di dahi Gun, lamat-lamat, berharap apa-apa yang dirasa sampai pada insan mungil yang sudah lama memenuhi ruang di hati juga kerap berlarian di kepala. Gun memejamkan matanya tepat saat ranum milik Off menyentuh dahi juga sebagian surai yang jatuh di atasnya. Dalam diam membiarkan hatinya penuh atas tingkah Off. Si mungil merasakan dadanya meletup-letup, ada jutaan popcorn yang berhamburan kemana-mana, memenuhi tiap sudut rongga hati yang sebelumnya kosong melompong. Hanya Off yang dapat membuat Gun merasa seperti ini.
Off menarik kepalanya dengan lembut, lantas menatap netra si mungil yang menampilkan binar familiar. Itu. Percikan yang sama, yang selalu dipancarkan Gun juga menjadikan tanda bagi Off kalau ia melakukan hal yang benar.
“Jadi, um, sekarang kita pasangan beneran?” tanya Gun seraya menggigit bibir bawahnya. Menatap Off penuh harap tidak bisa menyembunyikan rona di pipi lagi.
Off mengulas senyum paling bahagia yang pernah Gun lihat, matanya sampai hilang juga ada beberapa kerutan di bawahnya, “yep, pasangan.” sahut Off final.
Di hari sabtu yang teduh, ada dua insan saling mencinta yang masih betah berpandangan. Mereka baru saja secara resmi membuka perjalanan panjang atas nama pasangan. Yang kalau dilakukan bersama-sama, sesulit apapun itu, akan berhasil mereka lalui untuk mencapai tuju.
ㅡ🌙