moon and universe

all written by Sel

Area pesta; sebelum acara dimulai

O: Jangan jauh-jauh, sini pegangan.

G: Aduh, Adek kok deg-degan ya?

O: Kenapa? kamu sakit?

G: Nggak, Um, Nanti kalau kita ketemu teman-teman Om Ju, Adek bakal dikenalin?

O: Iyalah, masa nggak dikenalin.

G: Sebagai apa? tetangga?

O: ... Kalau sebagai pasangan, boleh?

G: ... Okay

O: ... Okay

ㅡ🌙

XXI. how deep is our love

Menjadi seseorang yang hidup dalam lingkaran nyaman menjadikan Off Jumpol terlampau bingung akan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah ia saksikan. Bukannya heran, laki-laki jangkung itu hanya tidak tahu bagaimana harus bersikap ketika ia tiba-tiba dihadapkan pada situasi yang baru. Ada kalanya ia hanya bisa diam, dan biasanya orang lain akan mengambil kesimpulan yang salah. Sama sekali bukan karena ia tidak punya simpati, ia hanya tidak tahu harus berbuat apa.

Dari segala hal di luar lingkaran nyaman, yang paling tidak terduga adalah bagaimana ia bisa jatuh pada laki-laki mungil yang usianya terpaut jauh. Orang bilang kita memang tidak bisa merencanakan kepada siapa kita menjatukan hati. Off paham, ia tidak bisa menyalahkan perasaan, ini semua bagian dari dirinya sendiri. Sudah cukup laki-laki jangkung itu terpaku pada duka yang urung sembuh. Sang tuan terlampau pasrah dan sibuk menutupi duka yang dirasa sehingga ia membiarkan dirinya jatuh bebas pada laki-laki mungil tersebut.

Laki-laki mungil yang kini tengah melompat-lompat riang. Sibuk berceloteh tentang ujian akhir sekolah yang baru saja ia lakukan, tentang pengawas galak yang kelewat ketat sampai mengecek kaus kaki bahkan ikat pinggang peserta ujian, tentang temannya yang lupa membawa kotak pensil sehingga perlu meminjam alat tulis ke beberapa orang. Satu minggu yang kosong, semuanya digantikan dengan cerita lengkap dengan senyum yang sampai ke mata menampilkan ceruk di pipi juga mata berbinar menatap Off penuh adorasi.

Sekali lagi, Off kembali jatuh pada Gun. Berhasil melupakan tujuh hari kehilangan penuh tanya dan tiba-tiba saja sang tuan merasa tidak apa-apa. Begini saja. Asal Gun bisa tersenyum, menjadi seperti tupai melompat tinggi-tinggi lantas kembali ke pelukannya. Padahal mereka hanya akan pergi ke tempat tukang bubur seberang komplek apartemen. Tapi memang bukan perihal kemana tujuan atau aktivitas apa yang akan dilakukan, semuanya cenderung pada dengan siapa menghabiskan waktu. Kalau boleh Off meminta, sang tuan ingin seperti ini selamanya.

Selamanya.

Off menggantungkan sendok berisi bubur yang hampir menyapa bibirnya, sukses membuat Gun menoleh heran, “kenapa, Om Ju?”

Off melirik Gun yang menampilkan ekspresi khawatir, “enggak, kaget tadi masih panas buburnya.” Jawab Off sekenanya.

Gun manggut-manggut, sepenuhnya percaya lantas berujar, “pelan-pelan makannya, ditiup dulu.”

“Iya, Adek.” Off mengamini tutur Gun, meniup pelan suapan selanjutnya lantas kembali makan sembari mendengar episode lain dari cerita Gun perihal ujian sekolah.

“Adek, udah makannya?” tanya Off sesudah meneguk teh hangat dalam gelas.

“Udaaah! mau pulang sekarang?” Gun balik bertanya, Off segera berdiri menghampiri penjual bubur dan membayar makanan mereka berdua.

“Ayo?” ajak Off menoleh, mencari-cari keberadaan Gun di belakangnya lantas terkejut ketika tangan mungil itu mengambil lengannya.

“Adek di sini!” seru Gun, mengumumkan presensinya pada orang tua yang kebingungan lantas terkikik geli melihat ekspresi luar biasa lega yang ditampilkan Off.

“Let's go pulang!” ujar si mungil setengah menarik lengan Off untuk segera ingkah, mengucap terimakasih sekali lagi pada tukang bubur lantas keduanya benar-benar melangkah pergi.

Tidak ada yang berbicara. Gun sudah selesai menceritakan semua hal menarik yang terjadi seminggu kebelakang. Alih-alih canggung, hening kali ini malah terasa nyaman. Setidaknya bagi Off, Gun terlihat tidak merasa terganggu dengan kehadirannya. Tapi tetap saja ada yang janggal, seperti kerikil di atas aspal yang menghalangi mulusnya jalan. Ada yang belum selesai di antara mereka berdua.

Off berhenti tepat di depan pintu unit kamarnya, sang tuan menoleh pada Gun yang masih betah mengamit lengan Off. “Adek mau masuk?”

Gun menatap Off ragu, lantas mengangguk pelan, si mungil juga merasa perlu memuntahkan apa-apa yang mengganggu di kepala juga pergumulan perasaan dalam hati. Ia pikir Off perlu tahu sehingga yang dilakukan anak kecil itu adalah melangkah masuk pelan-pelan saat pintu unit kamar Off dibuka lebar-lebar oleh sang empu.

“Adek mau nonton film? lanjutin Age of Ultron?” tawar Off, mengingat bahwa terakhir kali mereka belum selesai menonton satu film tersebut.

Alih-alih mengangguk, Gun menggelengkan kepalanya pelan. Off lagi-lagi menawari, “mau teh?”

“Om Ju punya?” tanya Gun penuh sangsi.

“Mulai deh ngeledek lagi,” protes Off melangkah ke area dapur dan membuka lemari gantung.

“Om Ju gak punya air panas...”

“Ya bikin?”

“Om Ju gak ada teko....”

“Ada dispen-” ucapan Off terhenti ketika melihat pemanas air otomatis tersebut berada dalam kondisi mati. “Bisa nyalain dulu.” Sahut Off mengangkat bahunya tak acuh.

“Gak usah deh, Adek mau ngomong serius aja sama Om Ju.” ujar Gun meminta atensi Off.

Laki-laki jangkung itu menghela napas, “sebentar, saya belum siap.”

Gun terkekeh geli, merasa lucu dengan ekspresi Off yang kelewat khawatir. Padahal Off tidak melakukan kesalahan apapun, tapi orang tua itu terlanjur khawatir dan panik kalau-kalau ia tidak sengaja menyakiti hati Gun.

“Om Ju mukanya ih!” Tuduh Gun, tidak tahan dengan wajah serius Off yang tengah menariknya duduk di atas sofa ruang tengah. Sudah saling berhadapan, Gun menatap wajah Off lekat-lekat.

“Adek cuma mau minta maaf, kok.” Ujar Gun, mencoba menenangkan dirinya.

“Kok Adek yang minta maaf?”

“Ya, karena Adek udah diamin Om Ju seminggu, Om Ju marah nggak?” tanya Gun balik, membuat Off mengerutkan dahinya semakin dalam. “Aduh Adek gak tahan! Adek mau cubit pipi Om Ju, boleh ya?” tanya Gun gemas.

Off mendengus, tapi toh memberikan wajahnya pada si mungil. Membiarkan jemari kecilnya bermain dengan pipi yang tidak seberapa gembil dibandingkan milik Gun. “Udah belum?”

“Sedikit lagiiii!” seru Gun masih asyik menarik-narik pipi Off ke segala arah.

“Saya gak marah, btw,” ujar Off, tidak begitu jelas tapi Gun berhasil mengerti, juga sukses membuat si mungil berhenti mencubiti pipi Off.

“Harusnya, Om Ju marah aja. Om Ju bingung kan kenapa Adek tiba-tiba diamin Om Ju?” tanya Gun yang hanya dijawab dengan anggukkan oleh Off.

Gun menurunkan tangannya dari pipi Off lantas menunduk lemas, “Adek juga bingung sebenarnya, kenapa ya Adek diamin Om Ju? padahal Om Ju gak salah apa-apa, loh?” tanya Gun retoris, ia menatap netra Off lurus-lurus, menampilkan hanya kejujuran di dalamnya.

“Adek malah senang,” lanjut Gun, “senang banget waktu Om Ju ajak Adek ke pesta pernikahan teman Om Ju. Adek jadi tahu kayak gimana dunia orang dewasa, pembicaraan dan interaksi yang dilakukan sama orang gede.” tangan-tangan mungil itu bergerak pelan meraih ujung lengan sweater yang dikenakan Off. Pelan-pelan memilin kain tebal tersebut, gesture yang selalu dilakukan saat sang empu tengah merasa gugup.

“Tapi itu juga yang bikin Adek sadar kalau ternyata Adek masih kecil ya, Om Ju? tangan Adek kecil,” sahut Gun menunjukkan telapak yang terbuka, “kaki Adek juga kecil,” lanjut si mungil sukses membuat Off memiringkan kepala, seratus persen bingung karena Gun tidak pernah mau mengakui kalau dirinya kecil. Kecuali,

“Secepat apapun langkah yang Adek ambil, gak mungkin Adek bisa sejajar sama Om Ju, kan?”

Si mungil tengah tidak percaya diri. Off membulatkan matanya, ada banyak untaian benang yang akhirnya membuat sang tuan mengerti. Laki-laki jangkung itu merasa menjadi manusia terdungu seantero jagat. Bisa-bisanya ia tidak memikirkan konsekuensi dari perbuatannya. Ia melupakan fakta bahwa Gun merupakan anak pintar yang kelewat peka dengan hal-hal sekitar. Termasuk pada tempat dimana ia harus berdiri.

“Adek, maaf..”

“Kok Om Ju minta maaf juga sih?” tanya Gun bingung, si mungil memajukan bibirnya tidak suka dengan fakta bahwa Off juga merasa bersalah. Bukan salah Off, pikir Gun, sama sekali bukan salah orang tua itu. Perasaan miliknya bukan tanggung jawab orang lain dan tidak akan pernah menjadi.

“Saya cuma mikirin ego saya doang kemarin,” jawab Off mengambil tangan Gun yang masih betah memilin ujung lengan sweater-nya, lantas mengamit dalam genggaman penuh.

“Maaf ya, harusnya saya mentingin perasaan kamu duluan daripada yang lain. Harusnya saya bisa lihat jauh ke depan lagi.”

Gun menarik sudut bibirnya ke atas, “memangnya Om Ju cenayang apa?”

Off ikut tersenyum dibuatnya, “ya kan hal kayak gini bisa diprediksi? Kemarin saya beneran mentingin ego saya aja,”

“Om Ju tuh ngajak Adek biar apa coba? Kan teman Om Ju banyak yang udah gede juga.” Tanya Gun mengayunkan tangan mereka yang saling bertaut.

“Mau pamer,” jawab Off jujur sukses membuat Gun menyatukan kedua alisnya. “Sekalian mau ngenalin kamu ke teman-teman saya juga sih,”

“Memangnya Gun siapa pakai harus dikenalin segala?”

“Pasangan saya, kan?” Goda Off menunjukkan seringaian jahilnya. Mata Gun membulat dan bisa laki-laki mungil itu rasakan kalau pipinya mulai memanas. Namun sedetik kemudian, ekspresi Gun berubah menjadi getir.

“Om Ju jangan gitu,” tutur Gun pelan.

Off bergeming, “maaf.” Ujarnya, “kamu risih ya?”

“Enggak!” sahut Gun panik, “bukan gitu maksud Adek, cuma aneh aja kan kita bukan pasangan?” ujarnya lagi.

“Memangnya Adek gak mau jadi pasangan saya?” tanya Off, makin membuat Gun bingung dan panik.

“Bukan gituuu!” rengek Gun, “kan Adek udah jadi pasangan Om Ju kemarin,”

“Kalau sekarang?”

“Ih apasih Om Ju!”

Off tergelak, tidak tahan melihat ekspresi si mungil yang kelewat menggemaskan. Sang tuan mengangkat sebelah tangan yang bebas dan mengusak surai hitam milik Gun, “jadi saya dimaafin nggak nih?”

“Adek dimaafin nggak?” Gun balik bertanya

“Kamu punya hak buat diamin saya, saya nggak marah juga.” jawab Off ringan, “malah saya yang salah di sini, kan?”

“Nggak,” jawab Gun pelan, “tetap Adek sih, kalau aja Adek gak suka sama Om Ju mungkin Adek gak akan ada pikiran sampai ke situ.” tuturnya lagi.

“Gimana?”

“Hah?”

“Kamu tadi bilang apa?”

Gun memiringkan kepalanya, kembali menggali memori sepuluh detik yang lalu kemudian sadar kalau ia telah mengutarakan perasaannya secara tidak sengaja.

“Sebentar,” ujar Gun perlahan menjauh dari Off, “Adek bisa jelasin,”

Off yang melihat Gun menjauh dengan sigap menahan tangan si mungil, “jangan jauh-jauh, sini aja,” ujarnya dengan tatapan memohon, sukses membuat Gun merasa tidak enak lantas membiarkan Off kembali menariknya untuk duduk lebih dekat.

“E-eh? Om Ju!” Protes Gun saat yang lebih tua malah membawa tubuh mungilnya duduk di atas pangkuan.

“Ya, kenapa Adek?”

“Turunin Adek! Ini dekat banget!!”

“Jawab dulu, tadi Adek bilang apa? saya nggak dengar?”

“Gak mauuuu! Turunin Adek!!” seru Gun berusaha melepaskan tangan Off di pinggangnya.

“Jangan gerak-gerak nanti kamu jatuh,” Off mengingatkan Gun yang langsung bergeming. “Nah, tadi kamu bilang apa?”

“Om Ju nyebelin.” Gun memajukan bibirnya, tanda kalau ia merasa sebal.

“Oke, terus?” Off malah menarik sudut bibirnya ke atas, sama sekali tidak terpengaruh dengan ucapan si mungil.

“Om Ju suka tiba-tiba ngirim gopay, mana banyak lagi, padahal Adek gak minta. Tuh sampai sekarang masih nyisa,” ujar Gun lagi, masih cemberut menatap Off kesal. Yang diajak bicara hanya bergumam panjang, tanda kalau ia masih mendengarkan.

“Om Ju juga gak bisa cuci piring. Padahal Adek udah ajarin tapi masih kaku pas megang alat makannya. Om Ju susah dibilangin, selalu lembur gak tahu waktu, terus harus ada yang ingatin buat makan tepat waktu.”

“Aduh jelek banget saya di mata kamu,” Off mengaduh, ternyata ia memang tidak lebih dari laki-laki manja yang sulit diatur.

“Tapi Adek suka,” potong Gun. Laki-laki mungil itu menatap Off tepat di netra tanda bahwa ia memang bersungguh-sungguh, lantas menunduk malu-malu. Kedua tangan Gun yang tersampir di bahu Off pelan-pelan bergerak turun menuju kerah sweater yang dikenakan Off. Lagi-lagi menemukan kain untuk dipilin demi mengurangi rasa gugup.

“Adek suka Om Ju,” tegas Gun tanpa menaikkan pandangan, “Om Ju baik banget. Om Ju selalu bantuin Adek kalau kesusahan, tanpa sadar Om Ju juga yang ngenalin Adek ke hal-hal baru di luar sekolah dan teman-teman Adek.

Semua tentang Om Ju menarik, Adek penasaran, Adek pengen tahu lebih banyak lagi tentang Om Ju. Mungkin itu juga yang bikin Adek makin suka sama Om Ju.”

Off pelan-pelan menaruh sebelah telapak di atas pipi gembil milik Gun. Sebegitu hati-hatinya sang tuan menyapu permukaan raba si mungil dengan ibu jari. Seolah Gun adalah berlian paling mahal dan ia orang paling beruntung karena berhasil menemukannya. Sapuan itu lembut, saking lembutnya membuat Gun seperti diberi keberanian untuk menatap Off penuh pertanyaan.

“Ternyata saya nggak jatuh sendirian,” ujar Off lebih pada diri sendiri, tapi dengan jarak yang terlampau dekat membuat Gun ikut mendengar tuturnya. Gun mengangkat kedua alis, menuntut penjelasan tanpa kata-kata. “Kalau gitu, Adek mau nggak jadi pasangan saya? Kalau bisa sih pasangan hidup.”

“Om Ju! Bercanda terus!” Protes Gun, setengah jengkel saat yang lebih tua kembali mengangkat topik pasangan.

Pelan-pelan, Off mendekatkan wajahnya pada si mungil. Menipiskan jarak di antara mereka berdua kemudian dengan sukses membubuhkan kecup di dahi Gun, lamat-lamat, berharap apa-apa yang dirasa sampai pada insan mungil yang sudah lama memenuhi ruang di hati juga kerap berlarian di kepala. Gun memejamkan matanya tepat saat ranum milik Off menyentuh dahi juga sebagian surai yang jatuh di atasnya. Dalam diam membiarkan hatinya penuh atas tingkah Off. Si mungil merasakan dadanya meletup-letup, ada jutaan popcorn yang berhamburan kemana-mana, memenuhi tiap sudut rongga hati yang sebelumnya kosong melompong. Hanya Off yang dapat membuat Gun merasa seperti ini.

Off menarik kepalanya dengan lembut, lantas menatap netra si mungil yang menampilkan binar familiar. Itu. Percikan yang sama, yang selalu dipancarkan Gun juga menjadikan tanda bagi Off kalau ia melakukan hal yang benar.

“Jadi, um, sekarang kita pasangan beneran?” tanya Gun seraya menggigit bibir bawahnya. Menatap Off penuh harap tidak bisa menyembunyikan rona di pipi lagi.

Off mengulas senyum paling bahagia yang pernah Gun lihat, matanya sampai hilang juga ada beberapa kerutan di bawahnya, “yep, pasangan.” sahut Off final.

Di hari sabtu yang teduh, ada dua insan saling mencinta yang masih betah berpandangan. Mereka baru saja secara resmi membuka perjalanan panjang atas nama pasangan. Yang kalau dilakukan bersama-sama, sesulit apapun itu, akan berhasil mereka lalui untuk mencapai tuju.

ㅡ🌙

XX. Terduduk jatuh

Gun menutup pintu dibalik punggung mungilnya. Ia menarik napas dalam-dalam seraya mengatur napas yang mulai memburu. Tanpa sadar menggigit bibir bagian bawah untuk menahan isak yang keluar, sementara pandangannya mulai mengabur akibat bulir air mata menggenang di kelopak. Kini satu persatu turun di atas pipi gembilnya.

Pelan-pelan, Gun membawa tubuhnya turun dan terduduk di atas lantai dingin unit kamar. Si mungil tidak kuasa untuk pindah. Rasa sakit yang sebelumnya hanya berupa cubitan kini berubah menjadi torehan bilah panjang dan semakin lama terasa semakin sakit.

Jujur, ini merupakan kali pertama ia jatuh hati sebegitunya. Yang menjadi masalah adalah kepada siapa hatinya memutuskan untuk jatuh. Tentang laki-laki jangkung yang usianya terpaut jauh, terlampau bahkan. Yang Gun kira dunia mereka jauh berbeda sampai-sampai ia merasa tidak pantas untuk bersandingan dengan laki-laki jangkung tersebut.

Gun setengah meraung, kini membiarkan isaknya keluar lepas-lepas. Juga air mata yang tidak henti-hentinya jatuh, ikut luruh bersamaan dengan rasa sedih luar biasa yang melingkupi sekujur tubuhnya. Untuk pertama kali, laki-laki mungil berumur delapan belas tahun itu menitikan air mata akibat masalah hati.

ㅡ🌙

XIX. Minus

Off menatap figur laki-laki mungil yang tengah berpamitan pada salah satu temannya. Gun melambaikan sebelah tangan pada Kit yang sudah siap meluncur menggunakan sepeda motor beat hitam kesayangannya. Tidak ingin mengganggu, Off diam berdiri tepat di samping mobil yang ia parkir di depan area stasiun. Ia menunggu, sengaja memberitahu kalau ia akan menunggu sehingga Gun tidak perlu repot mencari tumpangan pulang. Toh mereka berdua menuju tempat yang sama.

Off tidak mengalihkan pandangan dari dua figur laki-laki mungil, sampai akhirnya Kit memandang lurus tepat di netra Off. Teman Gun itu mengangguk dan mengulas senyum tanda bahwa ia berpamitan. Lantas motor beat itu meluncur ingkah membelah jalan meninggalkan Gun dan Off di antara hiruk pikuk stasiun kereta.

“Adek udah makan? mau makan dulu?” tanya Off, keduanya sudah berada di dalam mobil dengan Off fokus menyetir sementara sebelah tangannya melonggarkan dasi yang terasa mengikat leher. Laki-laki jangkung itu belum sempat masuk ke parkiran basement, tapi sudah memutar balikkan arah mobil kembali keluar.

Gun berdengung lama, jelas sekali bingung dengan tawaran yang diberi Off. Si mungil mencuri pandang pada pengemudi mobil, hanya sepersekian detik sampai akhirnya Gun kembali memandang ke luar jendela. Seperti enggan berlama-lama menatap Off.

“Adek?” panggil Off lagi, meminta jawaban dari Gun.

“Adek ngikut Om Ju aja,” jawab Gun setengah acuh, sebenarnya ia lapar tapi ide berlama-lama menghabiskan waktu dengan orang tua favoritnya hanya akan membuat usaha jaga jarak si mungil melebur seketika.

“Adek belum makan?”

“Belum, adek tadi tidur sesorean,” Gun menjawab pelan, kini benar-benar menatap Off dari samping, lantas cemberut.

“Okay kita makan dulu,” sahut Off, tampak tidak masalah dengan sikap Gun yang jauh di luar kata biasanya.

Biasanya, Gun selalu merasa bersemangat, ia akan menatap wajah Off lekat-lekat dan tidak berhenti tersenyum. Biasanya, Gun akan berceloteh, tentang apapun yang dirasa menarik, hal-hal random yang terlintas di kepala. Kalau dalam situasi yang normal, Off bisa menebak si mungil akan menceritakan perihal soal ujian yang tidak masuk akal juga pengalaman dengan pengawas rese nan menyebalkan.

Tapi perjalanan mereka terlampau dingin. Entah karena pengatur suhu di mobil atau karena aura yang dikeluarkan keduanya, Off tidak begitu paham. Sampai ia menepikan mobilnya di salah satu bistro di daerah sukajadi, juga saat mereka berdua menikmati hidangan yang dipesan, Gun masih betah bergeming. Enggan membuka pembicaraan, juga enggan menatap Off lama-lama.

“Adek...” ujar Off pelan, meminta atensi si mungil. Laki-laki jangkung itu ingin mencoba untuk berbicara, ingin bertanya tapi juga bersikap hati-hati.

Yang dipanggil mengangkat kepalanya, sukses membuat pandangan mereka beradu. Off meringis, bukan kilat mata yang biasanya dipancarkan oleh Gun. si mungil menatap Off dengan penuh rasa takut, entah takut apa, juga keraguan kentara yang membelenggu. Jelas sekali sampai rasanya Off ingin berteriak karena ia tidak suka. Laki-laki jangkung itu tidak suka diberi tatapan itu oleh Gun.

“Om Ju udah selesai makannya? Adek udah.” Gun balas bertanya. Tidak mengindahkan panggilan dari yang lebih tua.

“Mau langsung pulang?” tanya Off mengelap sudut bibirnya setelah meneguk air putih.

Gun mengangguk sebagai jawaban. Belum apa-apa tapi Gun tahu kalau malam ini akan ia nobatkan sebagai malam terlelah sepanjang sejarah.

ㅡ🌙

XVIII. The past is in the past

Hampir pukul tiga sore dan Ayah Gun sudah pergi naik taksi online yang dipesan oleh Gun. Bersikeras tidak ingin diantar meski sudah ditawari Off, padahal hanya sampai terminal. Tapi Ayah Gun tetap menolak dengan alasan akan merepotkan. Kini Off tahu darimana sikap mandiri yang dimiliki Gun.

Keduanya tengah berada dalam lift setelah mengantar Ayah Gun sampai pelataran gedung apartemen mereka. Berkali-kali Off merasakan kalau si mungil mencuri pandang, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi urung karena ragu.

Denting pintu lift berbunyi lantas keduanya turun. Off menunggu Gun bertanya, tahu kalau ada sesuatu yang tengah ia pikirkan tapi juga tidak ingin memaksa si mungil untuk berbicara. Laki-laki jangkung itu sengaja diam di depan pintu unitnya lama-lama, sementara Gun masih bergeming tepat di samping Off.

Dibukanya pintu unit kamar Off lebar-lebar, sang tuan menoleh dan bertanya, “Adek mau masuk?”

Gun bergumam, “boleh?”

Off mengangguk dan mempersilahkan Gun masuk, “mau nonton film lagi?”

“Mau, lanjutin ke Age of Ultron ya Om Ju?” Usul Gun bersemangat, ia setengah melompat masuk ke area ruang tengah.

“Boleh,” sahut Off menyerahkan remote pada si mungil yang menyambut dengan antusias. Sudah menemukan film yang dimaksud, tapi tiba-tiba Gun menurunkan remote yang ia genggam.

Off yang sudah duduk di samping si mungil mengangkat alis, “kenapa, Adek?”

Gun menoleh, jelas sekali ada yang tengah ia pikirkan. Terlalu abu-abu bagi Off sehingga sulit untuk dibaca dan laki-laki jangkung itu kurang suka. “Adek mau tanya sesuatu?”

“Adek boleh tanya?” Gun menatap Off setengah tidak percaya. Laki-laki jangkung itu menarik sebelah tangan Gun pelan, membawa si mungil ikut duduk di atas pangkuannya. Dengan tangan yang setengah memeluk pinggang milik Gun, Off berusaha memberikan gesture nyaman agar si mungil dapat leluasa mengutarakan apa-apa yang berenang di kepala.

“Adek boleh tanya apapun,” jawab Off berusaha meyakinkan si mungil kalau semuanya tidak apa-apa. Kalau ia boleh mengajukan pertanyaan dan akan dijawab dengan jujur apa adanya.

Gun menggigit bibir bagian bawah, jelas masih ada ragu tapi toh pada akhirnya pertanyaan tersebut keluar, “yang bikin rumah Adek disita, perusahaan Om Ju?”

Off meringis, tapi cepat atau lambat Gun harus tahu. Jadi yang laki-laki jangkung itu lakukan adalah menganggukkan kepalanya pelan. “Ralat, perusahaan keluarga. Saya udah gak kerja di sana lagi juga,”

Gun bergumam pelan, “Adek boleh tahu kenapa?”

Off menghela napas panjang, “singkatnya, ada salah satu pegawai gelapin uang dan mengkambing-hitamkan ayah kamu. Waktu itu saya lagi urus Nini yang masuk rumah sakit. Semuanya chaos banget.

Saya pernah ke rumah kamu lho dek, mungkin kamu udah pindah ke sini ya makanya kita gak pernah ketemu?” Tutur Off panjang lebar.

Gun mengangguk-anggukkan kepalanya, “terus, kenapa rumah gun gak bisa balik lagi?”

Off mengerjapkan netranya, sedikit bingung dengan pertanyaan si mungil, “waktu itu posisinya semua udah terlambat, udah terlanjur diurus ke ranah hukum juga dan gak ada bukti yang kuat kalau ayah kamu bukan pelakunya.

Sedih memang, jadi yang bisa saya lakuin cuma kasih uang kompensasi dan permintaan maaf.

Beruntung Ayah kamu masih mau nemuin saya. Ayah kamu hebat Gun,”

“Hebat ya?” Tanya Gun retoris, ia memilin kerah sweater yang dikenakan Off lantas menunduk, “Om Ju tahu? Bulan-bulan pertama rumah Adek disita dan kita terpaksa pindah ke rumah peninggalan Kakek di Desa, Ayah gak ngelakuin apapun selain mabuk.

Ayah yang Om Ju bilang hebat itu pernah nelantarin anak sama istrinya, padahal dalam masa sulit akan lebih ringan kalau kita saling menguatkan.

Tapi Ayah nggak.

Ayah milih buat mabuk. Ayah milih ngurung diri di dalam kamar penuh dengan botol-botol alkohol. Berbulan-bulan sampai beliau pun gak tahu kalau istrinya jatuh sakit.

Bunda sakit ngelihat Ayah yang kayak gitu. Ayah kayak berubah jadi orang lain yang gak pernah Gun kenal.”

Si mungil menyelesaikan celoteh panjang lebar, menarik napas dalam-dalam dan menghapus kasar jejak air mata yang tidak sengaja turun. Entah keberanian darimana ia bisa menumpahkan semua yang dulu pernah dialami. Dulu rasa-rasanya sulit untuk membuka diri, tapi Off berhasil membuatnya merasa aman.

“Tapi Ayah yang Gun kenal udah kembali kan?”

Gun menganggukkan kepalanya, “cuma perlu pukulan di kepala, secara figuratif ya,” ujar Gun lantas terkekeh.

“Kamu akhirnya ngamuk?” Tebak Off yang membuat Gun tercenung.

“Kok Om Ju tahu?” Pekik Gun, tidak menyangka.

“Ayah pernah cerita,” balas Off mengusap punggung si mungil, “waktu saya datang ke rumah kamu,”

“Ish Adek malu,” Gun cemberut, membayangkan sang ayah bercerita perihal dirinya mencak-mencak karna ingin kembali bersekolah di Kota dan berterus terang penuh amarah kalau ia membutuhkan sang ayah.

“Lucu ya, kalau dipikir-pikir kita bisa aja ketemu dari dulu lho dek,”

Gun mengulas senyum, “takdirnya baru ketemu sekarang kali,” jawabnya mengangkat bahu.

Takdir ya, Off menyukai permainan takdir yang disuguhkan. Ia bersyukur diberi kesempatan untuk bertemu Gun, mengenal si mungil dalam dekat dan hadir dalam hidupnya. Meski semuanya terasa tidak masuk akal dan terlalu mengejutkan.

Padahal kalau ingin menarik kesimpulan dari semua teater yang sudah berjalan, selama ini ada benang merah tak kasat mata menghubungkan dua insan yang masih berpandangan. Yang baru sempat terurai saat semesta mereka akhirnya bertubrukan.

ㅡ🌙

XVII. Ayah

Gun menghentikan langkah, membuat Off ikut berhenti dan menatap si mungil penuh tanya. Tapi netra Gun tetap tertuju pada satu figur jauh di seberang mereka berdua, matanya membulat dan ia setengah berteriak.

“Ayah!” Pekik Gun seraya mengambil langkah lebar-lebar.

Jauh beberapa langkah di hadapan mereka, ada laki-laki paruh baya mengenakan jaket kulit usang dan topi baseball berwarna senada. Ayah Gun tersenyum menatap putra kesayangannya lantas merenggangkan tangan, gesture agar si mungil masuk ke dalam dekapan sang ayah.

Hati Off menghangat, tentunya sedikit terharu melihat pemandangan yang disuguhkan di awal hari. Tapi tunggu sebentar, laki-laki jangkung itu seperti mengenali sosok Ayah Gun. Sang tuan kemudian membawa tungkainya mendekat, pelan-pelan memberi tahu eksistensi diri di antara ayah dan anak yang masih melepas rindu.

“Ayah kenapa gak bilang-bilang Gun dulu kalau mau ke sini!” omel Gun, nada yang sama seperti saat Off tiba-tiba memberinya hadiah.

Ayah Gun terkekeh, “kalau ayah bilang pasti kamu gak bolehin ayah datang, ya kan?”

Gun cemberut, dalam diam mengiyakan ucapan ayahnya kemudian tersadar, “oh! Ayah kenalin ini tetangga Gun, namanya Off Jumpol, Om Ju ini Ayah,”

Laki-laki paruh baya tersebut menatap Off lekat-lekat, “Off Jumpol?”

Off mengangkat kedua alisnya, kepingan memori sukses terputar ulang di kepala, “Pak Phunsawat? Astaga udah lama banget Pak,” seru laki-laki jangkung itu kemudian mengambil sebelah tangan Ayah Gun seraya menunduk hormat. Tidak mengindahkan alis Gun yang sukses bertaut penuh pertanyaan.

“Sudah lama sekali ya,” tawa Ayah Gun menggema di pelataran gedung apartemen mereka, “bagaimana perusahaan?”

Off menggaruk belakang kepalanya kikuk, “saya udah gak di sana lagi pak,”

Ayah Gun jelas ingin bertanya lebih lanjut, tapi dipotong oleh si mungil cepat-cepat, “masuk dulu yuk, ngobrolnya di dalam aja,” usul si mungil yang langsung diamini keduanya.

Gun menggandeng lengan ayahnya dan menuntut laki-laki paruh baya tersebut masuk. Selapan menit menunggu lift, ketiganya sampai di lantai paling atas. Gun buru-buru membuka unit kamarnya lantas mempersilahkan sang ayah serta Off masuk.

“Adek, ini dari bunda, buat stok makanan kamu sebentar lagi ujian kan?” Ayah Gun menyerahkan bungkusan besar pada Gun yang langsung diterima si mungil.

“Bunda sendirian yang masak? Dibantu Bibi, kan?”

“Kurang tahu Ayah, tapi kayaknya dibantu Bibi.”

“Ayah sama Om Ju duduk aja di ruang tengah, Gun buatin teh madu ya,” seru si mungil menyibukkan diri di dapur.

Off mengikuti Ayah Gun yang menuruti titah sang anak. Baru kali ini ia merasa canggung luar biasa. Mungkin kalau Off tidak mengenal Ayah Gun secara personal, sang tuan tidak akan merasa secanggung ini. Terlebih, ini Pak Phunsawat, salah satu mantan pegawai perusahaan keluarganya yang diberhentikan secara tidak hormat.

“Nak Off tidak usah canggung begitu, saya sudah tidak apa-apa,” Ayah Gun memulai pembicaraan.

Off meringis, “saya gak enak, Pak, gimanapun saya lalai, padahal bapak yang udah ajarin saya dulu,”

Ayah Gun menghela napas panjang lantas netranya menatap langit-langit, kembali memanggil memori tiga tahun lalu, “yah, kalau dipikir-pikir mungkin bukan rezeki saya lanjut di perusahaan, toh udah lama juga, dan seingat saya cuma kamu yang datang secara personal buat minta maaf,”

“Karena memang saya tahu pihak perusahaan yang salah,” Off menghentikan tuturnya melihat Gun datang menyerahkan dua cangkir teh madu. Ayah Gun mengeluarkan ekspresi yang menandakan kalau pembicaraan mereka sampai di sini saja. Off menghela napas lantas menoleh pada laki-laki mungil yang sekarang mengambil duduk tepat di sampingnya.

“Jadi, kenapa keluar dari perusahaan?” tanya Ayah Gun seraya menyeruput teh madunya.

“Eh, kekanakan sih Pak,” balas Off sedikit malu mengakuinya, “Nini udah gak ada, Pak Phunsawat dapat kabarnya nggak?”

Ayah Gun mengangguk, “maaf saya gak bisa datang,”

Off menggeleng pelan, “yah, banyak yang berubah, saya gak terlalu suka sama sistem yang sekarang,” ujar Off mengangkat bahunya. Laki-laki jangkung itu menoleh, mendapati Gun tengah menarik-narik lengan sweater yang ia kenakan.

“Adek lupa, teh Om Ju udah dikasih madu apa belum, cepet cobain.” Ujar si mungil membuat yang lebih tua mengambil cangkir tehnya.

“Saya bersyukur ternyata Nak Off sekarang jadi tetangga Gun, saya bisa nitip jagain dia berarti,” ujar Ayah Gun tiba-tiba diiringi tawa yang menggema.

Gun cemberut, “Gun udah gede, gak perlu dijagain lagi tahu Ayaaah,” rajuk si mungil.

“Nah sekarang, gimana ceritanya Adek udah dapat tempat kuliah tapi belum bilang ke ayah?”

Gun bergeming menatap sang ayah takut-takut, kemudian menarik sudut bibirnya ke bawah, “Adek cuma bingung gimana bilang ke Ayah, terus sibuk juga sama ujian praktek. Belum lagi perihal biaya yang gak sedikit, Adek masih belum dapat beasiswa.” Ujar si mungil sepenuhnya jujur. Sedikit merasa aneh mengakui hal ini di hadapan Off tapi juga tidak begitu mempermasalahkan.

Ayah Gun menghela napas, sudah tahu kalau ini yang menjadi alasan anak semata wayangnya tidak pernah memberi tahu perihal kegiatan pendidikannya. Sang ayah tahu kalau Gun selalu menabung dari uang bulanan yang didapat, mengurangi pengeluaran seminimal mungkin agar ia tidak perlu meminta untuk keperluan sekolah yang mendadak. Tapi laki-laki paruh baya tersebut terlampau mengerti tabiat anak semata wayangnya, dan diam-diam selalu melebihkan kiriman agar Gun dapat sedikit menikmati hidup.

“Maaf Yah, Adek usahain dapat beasiswa lagi biar Ayah gak repot. Tapi Adek boleh kuliah di sini ya, Yah?” pinta Gun dengan nada memelas, jemarinya tidak bisa diam meremat lengan sweater Off yang langsung mengamit telapaknya agar merasa aman.

“Adek perlu tahu kalau Ayah sama Bunda ada tabungan khusus untuk pendidikan Adek, tanpa beasiswa pun Adek bisa sekolah,

Adek gak perlu khawatir tapi mulai sekarang Adek bilang ya kalau perlu apa-apa?”

Gun bergumam pelan lantas mengangguk pasrah. Off tidak kuasa ikut mengulas senyum melihat interaksi Gun dan sang ayah, dalam diam ia jadi teringat papinya yang kelewat keras.

Ah, laki-laki jangkung itu jadi rindu rumah.

ㅡ🌙

XVI. The Avengers

Gun rasanya mau melompat-lompat, ia tahu kalau bibirnya tengah menampilkan senyum paling lebar sampai-sampai si mungil merasa pipinya pegal. Tapi orang tua favoritnya pulang lebih awal di hari yang ia pikir merupakan hari buruk, dan itu sukses membuat mood-nya kembali normal. Rasa-rasanya, pegal di kaki setelah berlari delapan putaran tidak begitu signifikan saat pundaknya diberi tepukan, juga puncak surai yang tidak pernah absen untuk di usak oleh laki-laki jangkung di hadapannya.

“Kok pulang cepat?” tanya Gun, berhasil mengontrol ekspresi sepersekian detik namun gagal saat lawan bicaranya menjawab.

“Gak ada yang perlu di urus lagi. Nih, minum ini aja jangan makan es krim, oke?” ujar Off menyerahkan bungkus plastik berisi minumam probiotik.

Gun mengerutkan dahi, “yakult? eh yogurt juga, banyak amat nanti adek sakit perut.” Protesnya.

“Ya jangan diminum sekarang semua lah Adek, saya gak tahu kamu suka yang mana jadi beli banyak varian.” jelas Off pada si mungil.

“Om Ju mau masuk? tapi Adek belum masak apa-apa,” tanya Gun, tanpa sadar memajukan bibirnya. Off setengah berjengit, ia tidak suka ekspresi sedih yang ditunjukkan si mungil.

“Mau ke tempat saya aja gak? Nonton film, mau?” tawar Off, sebuah usaha yang sering dilakukan untuk membuat Nirin berhenti menangis ternyata berguna juga. Sukses membuat mata Gun kembali berbinar.

“Boleh?” tanya Gun kembali meminta afirmasi, Off hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. “Adek bikin popcorn dulu ya? Om Ju mau popcorn?” tanya Gun lagi, antusias dengan ide yang Off tawarkan.

Dua puluh empat menit berlalu sampai mereka benar-benar duduk di atas sofa ruang tengah unit kamar Off. Si tuan rumah memberikan remote televisi pada Gun, membiarkan yang lebih muda memilih film. Ada mangkuk besar berisi popcorn yang membatasi duduk mereka berdua, sementara sebelah tangan Gun masih betah memegang yakult sambil menyeruput minuman tersebut menggunakan sedotan.

Adegan demi adegan bergulir menyampaikan jalannya cerita. Lidah Gun sudah muak dengan rasa asin dari popcorn keju. Si mungil mengambil selembar tisu untuk mengelap sisa remahan di jari kemudian netranya menatap laki-laki jangkung yang masih fokus menonton pertarungan antara Captain America dengan Loki. Di kepalanya terbersit satu ide, tapi ada ragu yang membuat si mungil menggigit bibir bagian bawah, hanya sebentar. Sampai akhirnya Gun memutuskan untuk menyingkirkan mangkuk popcorn yang hampir habis. Tepat saat Tony Stark melesat muncul lengkap dengan kostum Iron Man, Gun menyandarkan kepalanya di bahu Off. Si mungil merasa penuh ketika Off juga menumpukkan sisi kepala di atas miliknya. Ia merasa aman dan nyaman, lantas kepalanya berujar 'begini saja cukup'.

ㅡ🌙

XV. Cukup

Kalau boleh jujur, Off juga tidak begitu paham dengan apa yang ia pikirkan. Tubuhnya bergerak begitu saja mengikuti intuisi dan suara hati. Mengabaikan pekerjaan sangat tidak terdengar seperti Off Jumpol. Off yang biasanya berdiam di ruangan dengan setumpuk berkas untuk kembali ia tinjau, yang kalau beruntung akan ia bubuhkan tanda tangan di atasnya sebagai tanda persetujuan. Off yang biasanya mengambil beberapa tumpukan kertas dan menghabiskan waktu di ruangan sampai larut, sampai Singto harus mengetuk pintu kaca yang membatasi keduanya untuk memberi tahu kalau sebentar lagi gedung akan dikunci.

Tapi tungkainya kini melenggang ringan keluar dari lobby, bahkan jarum jam belum tepat menunjuk pukul empat, dan matahari belum sepenuhnya turun. Sementara sang tuan dengan penampilan formal tersebut sudah mulai membelah jalan menuju rumah.

Hanya karena ia tahu ada laki-laki mungil yang tengah menunggu, dalam diam ingin agar ia cepat pulang. Begitu saja. Ia membiarkan dirinya bergerak sesuai dengan apa yang dirasa benar. Laki-laki jangkung itu berbelok sebentar di salah satu minimarket untuk membeli sesuatu yang mungkin membuat si mungil kembali ceria.

Jangan es krim, pikirnya.

Kembali mengitari rak berisi tumpukan produk yang dijajakan rapi. Kemudian berhenti di salah satu lemari pendingin, berpikir sebentar sebelum akhirnya memutuskan.

Butuh tiga kali ketukan dan jeda lima belas detik sampai akhirnya pintu kayu berwarna putih terbuka menampilkan sosok yang selalu berlarian dalam pikiran. Itu. Nyala matanya yang selalu hadir tiap-tiap Off melakukan sesuatu untuknya, yang secara tidak sadar menjadi tanda bagi sang tuan kalau ia melakukan hal yang benar. Sesuai dengan kemauan si mungil.

“Om Ju!” Seru Gun, tidak menyembunyikan senang yang dirasa lantas menubruk tubuh yang lebih tua ke dalam pelukan.

“Hai?” Sapa Off, tak kuasa mengulas senyum. Pada detik yang selaras, sang tuan sadar kalau ia tidak perlu mengacau dengan ego yang harus dipenuhi. Begini saja cukup.

ㅡ🌙

XIV. Pagi

Gun mengerjapkan kedua matanya, pelan-pelan menyesuaikan cahaya dalam ruangan juga penglihatan yang sebelumnya dipenuhi gelap. Sebelah tangannya terasa kaku, sedikit kesemutan dan tidak bisa ia gerakkan. Sementara sebelahnya lagi merayap pelan-pelan untuk mengusak matanya. Kebiasaan buruk tiap bangun tidur. Setelah itu, dalam pergerakannya si mungil mendapati kepalanya tengah ditempel plaster kompres.

“Hng?”

Tangannya melepas kompres tersebut dan ia sukses terbangun. Gun butuh waktu untuk mencerna bahwa kamarnya sekarang terlihat sedikit kacau. Ada baskom berisi air juga handuk kecil yang menggenang di dalamnya, Lantas beberapa tetes air berceceran di lantai juga bungkus plaster yang berserakan. Tapi semuanya kalah dengan figur laki-laki jangkung yang tengah tertidur pulas di pinggir ranjang, dengan kepala menangkup lengan yang menggenggam sebelah tangan Gun.

Sang tuan membawa tubuhnya duduk, bergerak seminimal mungkin agar tidak membangunkan sosok yang masih pulas. Dalam hati mengaduh karena pasti orang tua itu terjaga semalaman, dan kalau boleh jujur, tidur dengan posisi tersebut akan membuat badannya pegal-pegal.

Gun menyibak surai yang jatuh menutupi dahi yang lebih tua, lantas memanggilnya, “Om Ju... Om Ju bangun...” suara Gun sengau, ah, sepertinya ini bukan hanya sekedar demam. Tangannya menggapai dahi untuk mengecek suhu tubuh, sudah normal. Demamnya sudah ingkah.

“Om Ju... Bangun udah siang!” ujar Gun, lagi, kali ini ia menusuk pipi yang lebih tua. Berhasil. Laki-laki jangkung itu mengerjapkan mata sebelum akhirnya terbuka menampilkan pupil hitam yang dipenuhi linglung namun khawatir segera menyergap.

“Adek, udah sembuh? Sini coba,” buru-buru sang tuan menempelkan telapak di dahi si mungil.

“Udaaah, cuma sekarang adek suaranya jelek,” Gun menimpali dengan nada sedih.

“Enggak es krim dulu ya? Sekarang makan yang sehat-sehat dulu, tenggorokannya gak apa-apa kan tapi?”

Gun menggelengkan kepalanya sebagai jawaban, detik selanjutnya ia tersadar, “Om Ju gak kerja? Eh, sekarang jam berapa? Adek telaaat.” Gun berniat bangkit dari atas kasur tapi langsung ditahan oleh Off.

“No Adek, hari ini nggak sekolah dulu ya?” Off meminta persetujuan si mungil lantas mengambil ponselnya, “sebentar saya mau telepon,” ujar Off sukses membuat si mungil mengurungkan protes.

“Eh, kamu kelas dua belas apa?” tanya Off tiba-tiba.

Si mungil mengerutkan dahi, “dua belas ipa lima,” jawabnya meski masih merasa bingung.

“Okay, sebentar ya,” Off mengusak rambut si mungil lantas berjalan ke luar kamar, “nanti ini saya bereskan, tiduran dulu aja ya, Adek?” sahut Off melihat kondisi kamar Gun yang berantakan, lagi, sebelum benar-benar menghilang.

Gun menghembuskan napas, sedikit jengkel diperlakukan sebegininya. Padahal ia hanya demam biasa, atau mungkin gejala flu, tapi perhatian Off dirasa berlebihan. Meski begitu, jauh di dalam hati, si mungil merasa senang bahwa ada seseorang di atasnya yang benar-benar khawatir dan mau peduli.

Tidak sampai sepuluh menit, Off sudah kembali masuk ke ruang tidur dan mengucap, “saya udah telepon sekolah kamu, terus nanti ada dokter yang kesini mau periksa kamu, sekarang adek mau sarapan apa?”

“Ih! Kenapa telepon dokter segala, Om Juuu,” rengek Gun tidak terima.

“Saya gak ngerti kamu sakit apa, biar nanti dia jelasin dan saya paham harus gimana, gak apa-apa ya? Dokternya teman saya kok.”

“Adek udah sembuh, Om Ju, nih udah gak demam,” Gun membawa sebelah telapak Off pada dahinya lagi.

“Ya gak apa-apa periksa dulu, sekalian nanti diresepin obat dari dia, ya? Mau ya diperiksa?” Off malah mengusak surai si mungil, setengah memohon agar ia menurut.

Gun cemberut, “yaudah, tapi adek mau bubur.”

“Siap, akan saya pesankan untuk kapten,” sahut Off dengan nada kelewat serius, Gun sukses tergelak dibuatnya.

ㅡ🌙

Nomor 30

🚨: Ya apalagi ya selain adegan ngews (raw s*x). Underage shoo shoo. (Ayolah be wise ok, for the sake of yourself, darl)

Ini bukan kali pertama bagi mereka berdua. Setelah bulan-bulan awal penuh rasa canggung, juga fase mengetes riak air dalam hubungan mereka. Selalu ada sesuatu baru yang dirasa, yang asing namun familiar. Keduanya tidak pernah mempermasalahkan hal ini dan setuju untuk menanjak kaki gunung pelan-pelan. Menikmati tiap langkah dalam perkembangan hubungan mereka.

Gun menatap Off yang tengah merangkak naik setelah selesai dengan urusannya di bawah, yang omong-omong, sukses membuat Gun terbang jauh ke langit ke tujuh. Si mungil masih mengambil napas, tahu-tahu Off sudah kembali membubuh kecup di atas bibir tebalnya.

“Off, Off, kamu mau masukin sekarang aja, nggak?” Tanya Gun seraya menangkup pipi suaminya.

“Ya kali kamu belum disiapin?” Tanya Off, setengah kaget.

“Coba cek duluuuu.” Rengek Gun tidak sabar. Off tidak melepaskan pandangan dari wajah si mungil, mempelajari tiap ekspresi dan perubahan yang ditunjukkan. Tahu kalau Gun kelewat gengsi bahkan untuk memberitahu Off kalau ia tengah kesakitan.

Laki-laki mungil itu berjengit, merasakan sesuatu di bawah sana menelasak masuk ke dalam area privatnya. Menelan saliva secara sulit, kemudian bibirnya terbelah dalam upaya untuk tidak mengeluarkan suara apapun.

“Gun? Kamu udah-?” Seru Off tidak percaya.

Gun memberikan cengiran, “hehe,” jawab Gun polos, kontras sekali dengan apa yang tengah mereka lakukan, “Off, ayoooo.” Pinta Gun.

“Oke, oke, sabar ya cantik.” Sang tuan menuju nakas samping tempat tidur, berniat mencari bungkus pengaman tapi tangannya ditahan.

“Gak usah pake, ya?” Tawar Gun, menggigit bibir bawahnya.

“Kamu serius?” Off mengangkat kedua alisnya, pandangan sang tuan tidak ingkah menatap netra Gun lurus-lurus.

Gun menganggukkan kepala pelan. Satu gerakan sederhana yang mampu membuat Off bergerak menyerah mengikuti pinta si mungil. Begitu saja. Semesta mereka melebur untuk yang kesekian kalinya. Tapi gemuruh badai terasa seperti pertama kali mereka duduk di antara kencangnya angin topan. Hembusnya dapat membawa raga dua insan tersebut ikut berputar dalam pusaran nikmat yang mereka bagi.

“Gun? Hei? Kok nangis?” Off mengusap bulir yang jatuh dari netra si mungil.

“Gak tahuuu,” Gun meremat pundak Off, beberapa kuku jemarinya sedikit tertanam pada permukaan raba sang empu.

“Sakit?” Off hampir berhenti tapi Gun buru-buru menggeleng, “no, aku cuma... Hah... Kewalahan..” Gun mencoba menjelaskan di antara napasnya yang tersendat. Tapi si mungil menyerah, tidak percaya dengan suaranya sendiri, kemudian membawa Off dalam pagutan. Berharap laki-laki jangkung itu paham apa yang ia rasakan. Sedikit banyak.

Keduanya sampai. Dalam proses turun, Gun setengah berbisik pada Off yang masih betah mengukung tubuh mungilnya. “Aku kayaknya beneran sayang sama kamu, Off.”

Pengakuan Gun yang terlampau tiba-tiba sukses membuat Off bergeming. Lantas menatap netra si mungil lamat-lamat, mencari sesuatu yang menyiratkan palsu tapi ia tidak menemukan apapun selain tulus.

“Aku juga,” Off sedikit terbelit dalam tuturnya, “aku juga beneran sayang kamu, Gun.”

ㅡ🌙