XIII. His Ocean
Gun menggigit kuku ibu jarinya, padahal kebiasaan ini sudah mulai hilang tapi tiba-tiba muncul lagi akibat gugup yang dirasa. Off melirik si mungil yang masih betah diam, sebelah tangan kirinya ia ulurkan untuk mengamit tangan kanan Gun yang sedang digigiti.
Gun mengerjapkan matanya, lantas menoleh ke arah Off meminta penjelasan, “Om Juu?”
“Kamu daritadi gigitin kuku, kotor tahu.” Sahut yang lebih tua tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan di depan.
“Adek nervous tahuuu,” rengek Gun mencoba melepaskan tangannya, tapi percuma karena Off malah semakin mengeratkan genggaman.
“Kan adek udah pernah ketemu sama semuanya,”
“Huum, Om Tay sama Om Arm, terus? Siapa lagi?”
“Alice, udah, cuma mereka bertiga doang kok.”
Gun bergumam panjang, “okay,” pelan-pelan, ia menghembuskan napas lega. mengambil tenang di antara gemuruh rasa khawatir dalam dada.
Off menyempatkan diri untuk menatap wajah si mungil lantas tersenyum, “okay.”
Genggaman keduanya tidak lepas setelahnya. Sampai hampir tiga puluh menit berlalu dan mobil Off sukses parkir di halaman rumah Tay, Off baru melepaskan tangan mereka.
“Tunggu, adek mau ambil kotak makan di belakang,” Ujar Gun seraya turun dari kursi penumpang. Laki-laki mungil itu kembali membuka pintu belakang mobil untuk mengambil kotak makan lantas menutupnya kembali.
“Udah?” tanya Off memastikan, Gun hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban kemudian setengah berlari menghampiri Off masuk ke area teras rumah.
Gun mengamit lengan Off, dalam diam memainkan lengan kaus yang dikenakan sang empu demi mengurangi rasa gugup. Memang si mungil sudah pernah bertemu dengan teman-teman Off, tapi itu hanya berupa perkenalan singkat bukan pertemuan seperti ini. Ditambah, ia merupakan satu-satunya bocah di antara manusia-manusia dewasa. Jelas ada bagian dari dirinya yang merasa kecil.
Agak sedikit heran ketika Off langsung membuka pintu rumah alih-alih mengetuknya. Off terlihat sekasual itu memasuki rumah Tay, seolah tempat itu merupakan miliknya sendiri.
“Peeeeeeeeeeng,” Gun sedikit berjengit dan merapatkan tubuhnya pada Off ketika ia mendengar suara menggelegar dari ruang tengah.
“Oit, santai dong, anak orang kaget nih,” balas Off kemudian berjalan menuju sumber suara.
Gun dapat melihat Tay bangkit dari posisi rebah di atas sofa, lantas setengah berlari menyambut kehadiran Off dan dirinya, “eh ada Adek, haloo,” sapa Tay setelah memeluk Off, kemudian ia menawari kepalan tangan pada Gun.
“Hai,” balas Gun seraya memukul kepalan tangan milik Tay, “Gun bawain ini buat Om Tay, eh buat semuanya juga sih,” tambah si mungil sambil menyerahkan kotak makan berwarna merah maroon pada Tay.
“Waduh, repot-repot banget nih?” seru Tay sembari menerima kotak tersebut sementara Gun hanya bisa memberikan cengiran.
Belum sempat Gun membalas, suara perempuan mengiterupsi dari belakang punggung Tay, “Guuuuuuunn!!” seru Alice heboh. Yang dipanggil menoleh penasaran, mendapati sang puan langsung memeluk tubuh mungilnya, “akhirnya kita ketemu lagi,” ujar Alice girang, sukses membuat si mungil terkekeh. Jauh di belakang sana, netra Gun mendapati Arm yang masih betah duduk ikut melempar senyum padanya seraya melambaikan tangan.
Gun pelan-pelan menghela napas lega, rasa gugupnya seolah menguap entah kemana. Off yang melihat adegan tersebut hanya bisa mengulas senyum, ikut senang meski tahu kehadiran si mungil benar-benar diinginkan dalam pertemuan ini.
Dalam tiap-tiap tutur yang dilontarkan, Gun tidak bisa tidak tertawa dibuatnya. Ia merasa kalau semua teman-teman Off tengah meminta atensi darinya, mulai dari Tay yang bertanya-tanya perihal pendidikan si mungil, perihal sekolah dan pertemanan, serta rencana-rencana yang ia susun untuk masa depan. Pembicaraan mereka mengalir begitu saja karena tiap ia memberikan jawaban, pasti ada tanggapan yang membuat si mungil kembali bercerita. Ia pikir, ia akan dihadapkan pada situasi seperti pertemuan keluarga besar dengan rasa canggung yang menguar dan pertanyaan klasik berbentuk formalitas. Tapi, teman-teman Off memperlakukannya seperti teman lama yang baru kembali bertemu. Seolah ia bukanlah bocah ingusan di antara manusia-manusia dewasa.
“Adek, Adek, mau tahu nggak, dulu Jumpol suka ngajak main sepeda keliling komplek tapi dia sendiri gak bisa naik sepeda?” tiba-tiba Tay berujar.
Gun mengerapkan matanya bingung, “hah? Terus gimana bisa main sepeda?”
“Ya dibonceng, entah sama Te atau sama saya,” kali ini Arm yang menimpali. Gun cekikikan sendiri, membayangkan Off kecil merajuk karena keinginannya tidak dipenuhi.
“Terus sampai sekarang Om Ju bisa naik sepeda nggak?” tanya Gun pada Off yang duduk di sampingnya. Laki-laki jangkung itu hanya menggaruk belakang kepala yang tidak gatal, suara gelak tawa dari Arm dan Tay menjadi latar.
“Dia nyentuh motor aja nggak, aduh, susah emang orang kaya,” seru Tay merasa terhibur namun tidak lama karena Off sukses melempar bantal sofa tepat di wajah sahabatnya,
“Te harusnya lo ceritain tentang pohon mangga,” usul Arm sembari mengunyah kacang atom yang baru ia ambil dari toples.
Off mengerang frustasi, “Salah anjir gue turutin permintaan lo berdua,” ujarnya mengusap wajah. Gun menatap Off dengan pandangan tertarik, “Adek mau tahu, ya? gapapa ya, Om Juu?” pintanya menarik ujung kaus Off.
Laki-laki jangkung itu menghela napas, “ceritain Te,” pinta Off setelahnya. Begitu saja, ia langsung menyerah membuat kedua sahabatnya kembali tergelak melihat tingkah ajaib Off yang belum pernah ditunjukkan sebelumnya.
“Jadi, Off waktu kecil tuh jiwa petualangnya tinggi. Di rumah dia kan ada pohon mangga gede banget, gak tahu udah berapa lama soalnya dari kita kecil udah ada.
Sebagai seorang yang penasaran, dia ngide manjat itu pohon mangga dan berhasil naik sampai atas untungnya, tapi-”
“gak bisa turun?” Sahut Gun menebak kelanjutan cerita.
“bingo!” Seru Tay girang.
“Ihh! Adek juga pernah manjat pohon gak bisa turun!” Seru Gun lantas terbahak,
“Lucunya, dia tuh diem aja di atas pohon sampe sore dan neneknya nyariin.” Sahut Arm dengan penuh semangat.
“Serius? Terus Om Ju turunnya gimana?” Gun mengangkat alisnya penasaran.
“Pas lagi dicariin, kan dipanggil tuh sama Nini berkali-kali tapi gak nyahut, eh karena kasihan lihat Nini muter-muter, dia nangis dong?”
“Om Juuu!!” seru Gun memukul paha yang lebih tua, “kenapa harus nangis coba?” Si mungil menoleh ke arah Off meminta penjelasan lebih.
“Gak tahu Adeeek, aduh,” Off menutup sebelah wajahnya, tidak ingin diinterogasi lebih lanjut. Reaksi yang malah makin mengundang tawa.
Sudah lelah membeberkan hampir semua aib milik Off, Arm mengusulkan untuk mereka menonton film bersama. Semuanya sepakat kecuali Alice yang memang ingin mengobrol lebih banyak dengan Gun. Maka, perempuan itu menarik tangan si mungil menuju dapur dengan alasan ingin mengambil buah untuk mereka semua. Gun melirik Off yang hanya memberikan anggukkan sebagai tanda kalau ia boleh pergi.
“Capek gak sih sama kelakuan mereka tuh,” ujar Alice membuka pembicaraan. Perempuan itu tengah mengambil beberapa apel dan pir dari dalam lemari pendingin dan menyerahkan pada Gun yang langsung mencucinya di sink.
Gun bergumam panjang, “tapi seru, Gun ketawa terus daritadi,”
“Mereka tuh udah rencanain ini tahu, beneran pengen banget ledekin Off di depan kamu,” sahut Alice mengambil pisau dari tempatnya.
“Oh ya?” tanya Gun memberikan buah-buah yang sudah dicuci.
Alice mulai memotong pir, “Gun, bisa tolong ambilin piring di rak sebelah sana nggak?” Pintanya yang langsung diamini oleh si mungil.
“Eh, tadi sandwich yang kamu bawa bikin sendiri, ya?” tanya Alice.
Gun bergumam sebagai afirmasi, “Gun tadi gak kepikiran bikin apa, soalnya di rumah cuma ada roti tawar, untung pas buka kulkas nemu tuna sama telur,”
“Tapi enak lho Gun, Arm aja sampai ngambil dua potong padahal dia gak gitu suka roti-rotian,”
Gun hanya mengangguk kaku, sedikit bingung bagaimana harus merespon. Meski begitu, tiba-tiba saja sebuah pertanyaan muncul di kepala si mungil. “Uhm, tapi Kak? Yang diceritain sama Om Te dan Om Arm bener kan ya?”
Alice terkekeh, “benar kok, memangnya Off gak pernah cerita?”
Gun menggelengkan kepalanya, “Gun gak berani tanya juga, takut nyinggung perasaan Om Ju,” ujar si mungil.
Perempuan itu menghentikan kegiatannya, lantas melepas pisau di tangan demi berhadapan langsung dengan Gun. “Kamu mau dengar pendapatku nggak?”
Gun mengerjapkan matanya, “apa?”
“Off bukan tipe orang yang suka cerita, dia lebih suka mendam semuanya sendiri sampai kita sendiri yang tanya ke dia. Jadi kalau bisa, kamu tanyain dia aja, gak apa-apa kok.”
Gun menggigit bibir bawahnya, “tapi Gun gak enak, bukan siapa-siapanya juga, gak sih?” tanya si mungil tidak yakin dengan kalimatnya sendiri.
Alice menyungging senyum, “udah jadi orang pertama yang dicari setelah pulang dari kantor, kamu yakin bukan siapa-siapanya Off?” ujar perempuan itu lantas menaruh empat potong apel dan pir di atas piring.
“eh, Kak, Gun ambil apel sama pirnya satu ya? Kakak gak akan ngupas itu kan?” Bukannya menjawab pertanyaan retoris lawan bicaranya, Gun malah fokus pada buah yang belum dipotong.
“Kenapa? Kamu mau kupas kulitnya?” Tebak Alice.
Gun mengangguk, “Om Ju gak bisa makan buah kalau gak dikupas, soalnya.” ujarnya polos lantas mengambil pisau yang semula digunakan Alice dan mulai mengupas apel.
Perempuan itu termenung selama beberapa detik lantas sadar, ia memberikan cengiran penuh lantas menepuk puncak kepala Gun, “jangan lama-lama ya, Adek,” ujar Alice.
Gun mendongak, “apa?”
“Nggak,” jawab Alice misterius, “aku duluan gak apa-apa?” tanya perempuan tersebut.
Si mungil menganggukkan kepalanya, “gak apa, Gun bisa sendiri kok,” ujar Gun.
Baru selesai ia mengupas kulit apel, satu figur kelewat familiar menghampiri sang tuan yang kini fokus mengupas pir. “Kirain kamu hilang,” sapa Off membuat Gun mendengus geli.
“sembarangan,” ujar Gun, ia menaruh pisau sebentar lantas mengambil sepotong apel untuk ditawarkan pada Off. Melihat hal itu, yang lebih tua buru-buru mengambil apel di tangan Gun menggunakan bibirnya.
“Om Juu, tunggu di sana aja Adek sebentar lagi selesai,” ujar Gun kembali fokus pada pir yang masih setengah terkupas.
Off berumam, “nanti aja, nungguin Adek selesai,”
“Om Ju udah nggak marah?”
Off mengangkat alisnya bingung, “kenapa marah?”
“Daritadi kan diledekin melulu dan diketawain juga, terus marah-marah,”
“Oh,” Off mengambil satu potong apel lagi, “nggak lah, mereka kan cuma bercanda.” ujar Off kemudian menyuguhkan tepat di depan bibir Gun membuat si mungil langsung melahapnya.
Sudah selesai, Gun menaruh sisa pir yang sudah dipotong ke atas piring lantas membersihakn sampah kulit serta meletakkan pisau ke tempat semula.
“Tapi, marah deh,” ujar Off tiba-tiba, membuat Gun menautkan alisnya. Alih-alih menjelaskan Off malah memberikan pipi pada si mungil. Paham maksudnya, Gun buru-buru membubuhi kecupan di atas pipi Off. Berkali-kali sampai sang empu merasa puas.
“Tuh, biar gak marah-marah lagi,” ujar Gun lantas mengulas senyum meski tahu pipi gembilnya pasti sudah dipenuhi rona kemerahan. Off mencubit pipi Gun terlampau gemas, keduanya sibuk dalam gelembung dunianya sendiri sampai tanpa sadar kalau ada orang lain yang tengah berdiri di ujung dapur.
ㅡ🌙