moon and universe

all written by Sel

Nomor 23 (dan 24)

Gun pikir, mereka berdua sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan semua secara baik-baik. Toh selama ini, kalau ada masalah atau ada hal-hal kecil yang mengganggu pikiran, keduanya selalu mencari momen yang tepat untuk saling terbuka membicarakannya demi menggapai solusi terbaik.

Entah karena pengaruh tekanan konstan yang sudah ia alami di minggu-minggu terakhir. Kali ini Gun dapat merasakan kepalanya mendidih saat ia mendapati Off lupa mencuci piring, atau lebih buruk lagi, meninggalkan piring kotor bekas sarapan mereka kemarin pagi.

Gun menaruh tas yang ia bawa di atas lantai. Dingin. Unit apartemen mereka menguarkan hawa dingin ditambah tidak adanya tanda-tanda kehidupan membuat Gun semakin ingin berteriak marah.

Laki-laki mungil itu menuju sink, langsung membersihkan wadah kotor yang tidak seberapa banyak. Menaruhnya di atas rak lantas ingkah ke kamar tidur tapi tidak mendapati siapapun. Suara pintu ditutup menjadi tanda bahwa ada yang masuk ke dalam unit. Gun buru-buru keluar kamar.

Melihat Gun sudah pulang dari perjalanan bisnisnya, Off sumringah menghampiri. Laki-laki jangkung itu berusaha memeluk tapi tangan yang sudah menggantung ditepis kasar.

“Kok kasar?” tanya Off sedikit tersinggung.

Mata Gun menatapnya nyalang, tapi belum sempat mengeluarkan argumen, netra si mungil menangkap corak kemerahan di ujung kerah Off. Gun mundur selangkah.

“kamu abis ngapain?” Ia menatap Off horror. “Oh, right, sori, lupain, kita nikah bukan berarti kita bisa saling jatuh cinta. My bad.” tukas Gun cepat-cepat, ia mengibaskan sebelah tangannya acuh.

“Tunggu, hei, kamu kenapa?” tanya Off mulai khawatir.

It's fine, kamu mau main perempuan juga. Siapa aku bisa larang-larang kamu? Suami? Oh, itu cuma titel.” Gun berbalik, enggan menanggapi laki-laki yang lebih tua. Tapi Off adalah orang yang presisten, ia menarik tangan Gun dan membuatnya diam di tempat.

“Siapa yang bilang aku main perempuan?” tanya Off penuh penekanan.

“Aku,” jawab Gun masih dengan tatapan nyalang,

“Selain penuh drama, kamu juga suka asal tuduh sembarangan?”

“IYA! AKU DRAMA!” Teriak Gun tepat di wajah Off, “bukan asal tuduh kalau memang ada buktinya, kan?” retoris, Gun menunjuk kerah kemeja yang Off kenakan.

Gun mendengus tidak percaya, ia melihat perubahan ekspresi Off yang kebingungan seperti tertangkap basah mencuri.

“Kalau kamu mau aku pergi, Off, kamu tinggal bilang. Gak perlu main kotor kayak gini.” Ujar si mungil, “bilang dan aku bakal pergi sekarang juga.” Cecarnya.

Off bergeming.

“Cepat bilang, Off.” tuntut Gun, tanpa sadar ada yang bergumul di pelupuk mata siap jatuh bebas.

“Nggak.” tukas Off, “aku mau kamu tinggal.” Tambahnya dengan tegas.

“Kamu nggak mau aku pergi?” cicit Gun, sudah tidak ada amarah lagi dalam dirinya.

Off menarik tubuh Gun pelan, “tetap sama aku. Jangan kemana-mana.” ujarnya mendekap si mungil erat-erat.

“Maaf, Gun, maaf, maaf, maafin aku,” bisik Off, memohon ampun atas asumsi-asumsi buruk di kepala Gun. Ia bisa menjelaskan seluruhnya nanti, yang penting laki-laki mungil itu tetap tinggal sehingga dapat mendengar ceritanya.

ㅡ🌙

Nomor 20

Gun menahan napas, lebih tepatnya lupa bagaimana cara bernapas ketika ia merasakan sebelah tangan Off berada di pinggang sebelah kiri. Di sisi kanan, telapak kedua insan tersebut bertaut menggantung di udara. Setelah menerima uluran tangan off malu-malu, mereka berdua berhasil berdiri di tengah kerumunan tamu undangan. Gun kembali merapalkan gerakan, memutar ulang langkah demi langkah yang sudah ia pelajari sebelumnya.

Relax, Gun,” Ujar Off tepat di samping telinganya, “try to enjoy every step, okay?

Gun mendongak, menatap laki-laki jangkung yang baru saja secara resmi berganti status dari orang asing menjadi suaminya. Pelan-pelan, ia dapat menemukan udara lagi. Perkataan Off dirasa seperti mantra yang menyembuhkan gugup dalam dada.

“Kalau aku nginjak kaki kamu, gimana?” Gun setengah cemberut. Off mengulas senyum menenangkan, “aku gak bakal jatuh, tenang aja,” balas yang lebih tua penuh percaya diri.

Alunan musik mulai terdengar, tanda kalau mereka harus mulai berdansa. Dua insan yang baru saja mengucap sumpah di hadapan Tuhan melangkahkan kaki mereka. Dalam satu irama menuju harmoni diiringi lagu yang sengaja dipilih. Dalam ketukan kesekian, Gun benar-benar menginjak kaki Off tanpa sengaja.

“Maaf!” pekik Gun hampir melepaskan genggaman mereka, tapi kalah kuat dengan Off.

“Tenang Gun, kita gak bakal jatuh. I promise.” Ujar Off, lagi-lagi meyakinkan si mungil untuk tetap melanjutkan dansa. Setidaknya sampai lagu ini berakhir.

Enam... Tujuh... Delapan...

Satu gerakan terakhir, Gun berputar menjauh lantas kembali ditarik mendekat oleh sebelah tangan Off untuk akhirnya berhenti dalam dekapan laki-laki jangkung tersebut. Gun memeluk Off, secara sukarela, tanpa embel-embel demi jalannya acara resepsi pernikahan mereka.

“Makasih, Off, makasih banyak.” Riuh tepuk tangan dari para tamu undangan memenuhi pendengaran mereka. Tapi yang tertangkap oleh Gun hanyalah debaran jantung laki-laki jangkung yang kini balik memeluknya.

“You're very welcome, my prince.”

ㅡ🌙

Nomor 17

Gun sudah masuk ke dalam selimut, dalam diam menatap Off yang masih betah mengetik sesuatu di laptopnya.

“Masih kerja?” tanya Gun, mulai jengah dengan bunyi tik konstan akibat pertemuan antara jemari Off dengan papan keyboard.

“Kamu tidur duluan aja, Gun.” Jawab Off tanpa mengalihkan pandangan dari layar.

“Masih lama banget, memangnya?”

“Kayaknya? Gak tahu deh,” jawab Off sekenanya, tidak benar-benar memerhatikan karena sibuk dengan apa yang tengah ia kerjakan.

Gun memajukan bibir, seratus persen tidak suka dengan fakta bahwa Off kini tengah mengacuhkannya.

“Off” panggil Gun.

“Off...” lagi, yang dipanggil hanya menggumam panjang.

“Off Jumpol lihat kesini dulu,” rengek Gun, setengah memukul bantal karena kesal.

“Apaaaa?” tanya Off, akhirnya menolehkan kepala. mendapati Gun tengah duduk di atas kasur dengan kaus putih kebesaran menampilkan bahu dan tulang selangka akibat kerah yang turun.

Off mengaduh dalam hati.

Spoon me,” pinta Gun sambil cemberut, sukses membuat laki-laki jangkung itu mendengus tidak percaya. Off tahu kalau Gun tengah mati-matian menurunkan gengsinya, sehingga yang dapat ia lakukan hanya bisa menyerah. Sang tuan menutup layar laptop dan langsung naik ke atas ranjang.

Arite, boss baby,” Off menepuk puncak kepala Gun sekilas, kemudian ikut rebah tepat di samping Gun yang sudah siap tidur. Laki-laki jangkung itu memeluk Gun dari belakang, “now sleep,” ujarnya.

“Lampunya belum dimatiin,” seru Gun. Off mengerang jengkel, tapi toh setengah membalikkan tubuhnya agar dapat menggapai saklar lampu nakas di samping tempat tidur. Sekali tekan menuju kegelapan, Gun menarik tangan Off untuk tetap berada di atas perutnya.

Good night anak kecil.”

Gun bergumam panjang, “good night, suami.

ㅡ🌙

Nomor 16

Off mengangkat kedua tangannya seraya meregangkan badan yang kaku sehabis tidur. Matanya masih enggan terbuka tapi tubuhnya sudah berguling mencari satu figur mungil yang tiap malam tidur di samping sebelah kanan.

Ketemu.

Tangannya dengan lihai menyusup di antara kasur dan pinggang si mungil, mendekapnya erat-serat sembari menghidu puncak kepala Gun. Yang dipeluk merengek, agaknya terbangun akibat pergerakan tiba-tiba dari Off.

“Ngantuuuuk” ujar Gun menanggapi kecupan di puncak kepala dari Off. Tahu kalau Off tidak akan berhenti sebelum ia mendapatkan apa yang dimau.

“Bangun, bangun,” balas Off, padahal ia sendiri urung membuka kelopak mata.

Gun membalikkan tubuh dan menubruk dada Off dengan wajahnya, “shhh bobo, bobo” ujar si mungil balik memeluk Off dan menepuk-nepuk punggung laki-laki jangkung tersebut.

Off terkekeh, sebelah tungkainya berjelimat dengan milik Gun. “Malu sama burung,”

“Burung siapa?” tanya Gun tidak berpikir panjang.

“Maunya punya siapa?” Off balik bertanya, usil.

“Ish!” Gun setengah mencubit pinggang Off, mengeluarkan reaksi yang berlebihan.

“Ow, ow, masih pagi jangan cubit-cubit.” tangan Off mencari milik Gun, menggapai untuk membuat si mungil berhenti mencubit.

“Kamu iseeeng.” sahut Gun sedikit menyundulkan kepalanya.

“Loh aku nanyaaaaa?” balas Off lagi, masih terkekeh.

Tahu-tahu Gun bangkit, terduduk di atas kasur sementara Off akhirnya membuka mata. sang tuan melihat si mungil sudah cemberut kemudian berujar, “Iya, iya aku iseng,” Off mengalah, tahu kalau Gun tidak akan kembali rebah sebelum ia mengalah.

“Telat, aku keburu bangun.” sahut Gun menepis tangan Off di pinggang, paham kalau sang tuan belum mau berhenti memeluknya.

“Gak boleh pergi sebelum cium,” ujar Off mengunci pergerakan si mungil.

Gun memutar bola matanya, tapi toh ia menangkup pipi Off sebelum akhirnya membubuhkan kecup di atas bibir yang lebih tua.

bye-bye!” ujar Gun seraya melesat ke kamar mandi.

“Kuraaaaaang!” teriak Off tidak terima.

“Bikinin aku sarapan!” balas Gun ditutupi suara gemericik air.

ㅡ🌙

Nomor 13

Off mengetuk-ngetukkan tungkai sebelah kanan, melirik antrean yang masih panjang. Terlihat sekali merasa bosan setengah mati, berbanding terbalik dengan laki-laki mungil yang berdiri tepat di sampingnya. Kelingking mereka bertaut, terlalu panas untuk sepenuhnya berpegangan tangan tapi juga ingin meledek kaum jomblo yang ikut mengantre. (berharap mereka jengah dengan pemandangan yang disuguhkan lantas pergi sehingga antrean bisa sedikit berkurang)

“Kamu gak ikhlas ya temanin aku?” Gun memandang wajah Off yang tertekuk setelah sang empu menguap untuk yang kesekian kalinya.

“Aku gak tahu kalau antreannya panjang banget,” balas Off acuh.

“Maaf, kan aku udah bilang ini kedai gelato yang baru buka, lagi diskon jadi pasti banyak yang datang,” Gun mengayunkan tautan lengan mereka.

Off hanya mengusak pucak kepala si mungil, “satu antrean lagi, kamu udah tahu mau pilih rasa apa?”

“Bubble gum! Off mau rasa apa?”

“Apa ya, aku bagi punya kamu aja deh,”

“Maleeees, aku gak mau kasih pokoknya!”

Pertikaian keduanya terpaksa berhenti saat pelanggan di depan mereka ingkah, tanda kalau sudah giliran mereka memesan. Sepuluh menit menyebutkan pesanan dan bertransaksi, akhirnya Gun dapat menggenggam es krim rasa bubble gum yang sudah diidam-idamkan sejak semalam.

“Enak?” tanya Off, memerhatikan bibir Gun yang sibuk menyesap gumpalan warna biru di atas cone.

Gun hanya bergumam sambil menganggukkan kepalanya, “Off mau coba?”

Yang ditanya malah mengangkat dagu milik Gun menimbulkan tatapan penuh tanya dari sang empu. Off dengan lantang mencuri kecup dan menyesap sebentar, mengambil sisa bubble gum dari bibir si mungil lantas memundurkan kepala dan bertingkah kalau ia tidak baru saja mencium Gun di hadapan antrean penuh orang-orang yang ingin membeli es krim.

“Manis.” Gumam Off manggut-manggut.

(Setengah antrean tersebut bubar karena muak melihat dua insan menguarkan bau budak cinta)

ㅡ🌙

Nomor 12

Gun membiarkan tangannya ditarik oleh Off sampai mereka berdua masuk ke dalam bilik toilet. Pintu belum sepenuhnya tertutup tapi bibir dua insan sudah bertemu untuk kesekian kalinya malam ini. Gun menyandarkan punggungnya dibalik pintu selebar enam puluh senti sementara sebelah tangan Off bergerak mencari-cari handle untuk mengunci pintu tanpa repot melepaskan pagutan.

Si mungil menaruh kedua lengan di belakang leher Off dan menarik kepala laki-laki jangkung itu pelan, memperdalam kecap yang mereka bagi seolah masih ada jarak di antara keduanya. Sesekali, yang lebih tua menggigiti bibir bagian bawah Gun, membuat si mungil tak ayal berdengking. Sang tuan setengah membuka bibirnya sebagai jalan untuk Off menelasak, mulai mengikutsertakan lidah dalam permainan mereka.

“Hngg...”

Entah suara siapa, Gun tidak begitu peduli. Fokusnya sekarang terbagi antara pagutan mereka serta tangan Off yang mulai menggerayang di balik kaus kebesaran yang ia kenakan. Gun meremat belakang surai Off saat ia merasakan telunjuk yang lebih tua sampai ke permukaan raba bagian depan tubuhnya.

Suara ketukan pintu menghentikan aktivitas mereka berdua. Off memundurkan kepalanya untuk melihat netra si mungil dengan tatapan sedikit horror.

“Ap-”

“Sshh!” Gun buru-buru membekap setengah wajah Off.

Ketukan tersebut semakin kencang dan kali ini disertai gertakan, “hei! Dilarang bercumbu di dalam toilet! Tidak bisa baca, ya?”

Gun melirik salah satu dinding dan benar saja, ada kertas yang tertempel bertuliskan 'no making out!'. Berbanding terbalik dengan Gun, Off malah acuh dan balik menciumi ranum laki-laki mungil itu. Gun mengerang frustasi saat ketukan di pintu kembali hadir. Sang tuan mendorong dada Off menjauh, “kita pulang aja,”

Off bergumam, “lanjut di rumah?”

Gun cemberut, “kamu pasti mau minta lebih, huh, aku tahu!” seru Gun membuka pintu dalam sekali hentak, yang langsung di hadapkan pegawai bar dengan wajah ditekuk. Keduanya tersenyum canggung sembari ingkah menuju pintu keluar. Meninggalkan teman-teman mereka yang masih betah menenggak alkohol, yang gelak tawanya terdengar sampai parkiran.

ㅡ🌙

Nomor 6

Off duduk di atas sofa tua dengan bercak coklat entah bekas wine yang tumpah lantas lupa dibersihkan atau memang krim coklat dari kue tart anniversary pernikahan mereka bulan lalu yang tidak sengaja jatuh. Ia mengunyah roti tawar yang sudah dipanggang dalam diam tanpa melepaskan pandangan dari Gun yang masih betah mondar-mandir mencari sesuatu.

“Lihat kalung aku gak? Aku lupa taruh dimana.” jelas Gun masih berusaha mencari di antara tumpukan rak aksesoris.

“Kalung kamu banyak,” cetus Off santai,

“Ih, yang kemarin aku pakai lho, yang ada huruf G nya,”

Lantas Off mengangkat kedua alisnya, kini ada bayangan jelas dalam kepala karena ia ingat sesuatu. Gun berhenti mencari, berkacak pinggang menatap off lurus-lurus seperti tahu kalau Off adalah pelakunya.

“Kayaknya semalem kelempar pas aku lepasin kaos kamu.” tutur Off pelan.

Gun membulatkan matanya, “astaga bar-bar banget sih jadi orang,”

“Kan mau cepet-cepet, lagian, kamu juga gak sadar?”

“Gimana mau ngeh kalau kita lagi sibuk-” Gun sengaja menghentikan ucapannya lantas menghela napas, berusaha tidak membiarkan pipinya memanas. Si mungil menghampiri Off dan menariknya untuk berdiri, “ayo bantu cariin.”

Mau tak mau, Off ikut bangkit seraya mengerang tidak rela tapi juga tidak bisa protes karena tahu kalau ia ikut andil dalam misteri hilangnya kalung Gun. Belum sampai ke kamar, Off terpaku melihat kemeja warna-warni yang tengah dipakai si mungil.

“Kamu pakai kemeja aku, gak sih?” tanya Off sangsi.

Gun menampilkan barisan gigi putih pada yang lebih tua, “gemes gak?”

“Gemesan kamu waktu gak pakai baju,” sahut Off sukses dibalas dengan pukulan.

“Off joroooookk!” seru Gun setengah berlari masuk kamar, “cepet bantu cariin, aku udah ditungguin Newwie!” teriak si mungil.

ㅡ🌙

Nomor 5

Gun merengek, ia menggelengkan kepalanya cepat-cepat, “Off!” peringat Gun menatap yang lebih tua sembari memajukan bibirnya.

Yang dipanggil malah tersenyum jahil, tahu kalau si mungil tidak bisa menolak tapi juga kelewat malu untuk meminta berhenti. Lagi-lagi, bibir yang tengah cemberut itu kembali dibubuhi kecup oleh Off. Berkali-kali, tapi sudah itu saja. Hanya berupa kecupan ringan tanpa maksud apa-apa.

Gun terdiam. Ia meremat ujung jas yang dikenakan laki-laki jangkung di hadapannya. Berusaha memproses apa-apa yang baru saja terjadi. Sang tuan mengabaikan lantunan A Thousand Years dari Christina Perri dan lebih fokus pada gemuruh dalam dada.

“Aduh, salting ya? Kamu kayak baru pertama kali aku cium aja,” seru Off menguyal pipi gembil Gun.

Gun menepis pelan tangannya, “diem ih, kamu gak malu apa!” seru Gun, tapi ia malah merapatkan tubuhnya pada yang lebih tua.

“Enggak ada yang lihatin,” Ujar Off sembari menatap tepat pada netra si mungil, lagi-lagi membawanya terperangkap dalam gelapnya pupil seolah Gun adalah benda luar angkasa yang mudah terhisap dalam lubang hitam milik Off.

Gun tahu kalau ia pasti sudah merona, tahu karena laki-laki yang sudah menangkup kedua pipinya kini menyeringai puas. Seperti bersorak riang karena lagi-lagi berhasil membuat Gun luluh.

Kemudian, yang Gun tahu di detik selanjutnya adalah kedua ranum mereka bertukar sapa. Off menyelam dalam-dalam, sukses membuat Gun lupa kalau mereka tengah berada di antara tamu undangan. Si mungil berjinjit, ikut membalas pagutan yang lebih tua seolah mereka adalah pasangan yang baru saja menikah, yang kini tengah mengadakan acara resepsi.

(Dari arah pelaminan, Krist dan Singto terkekeh, sama sekali tidak terkejut melihat dua sejoli tengah berciuman tidak tahu tempat.)

ㅡ🌙

Nomor 1

Gun menatap sebelah tangan Off yang menggantung di sisi tubuhnya. Sang tuan menggigit bibir bagian bawah tanpa sadar, lantas berpikir.

Haruskah? Eh, tapi kalau dia tidak mau, bagaimana?

Laki-laki mungil itu sudah terlalu lama menatap sebelah tangan Off sampai-sampai ia tidak sadar kalau sang empu tengah menatapnya dengan tatapan setengah jengkel.

Gun mengerjap bingung, “apa?” langkah si mungil terhenti bersamaan dengan Off yang menunda jalannya.

Yang ditanya mendengus pelan, “kamu dengarin aku ngomong gak sih?”

“Err, toko kelontong?” tanya Gun, mengucapkan kata terakhir yang sempat masuk ke rungunya.

Off menghela napas, “kita sudah lewatin toko kelontong, sekarang waktunya ke toko kue, kamu bilang kamu mau bikin brownies.”

“Oh, iya, iya,” Gun menganggukkan kepala berkali-kali, lalu kembali melangkah seperti memberi tahu seluruh pengunjung pasar pagi ini kalau ia tidak memikirkan untuk berpegangan tangan dengan Off. Sama sekali tidak.

Tapi sepertinya usaha si mungil untuk kembali fokus berbelanja pagi ini gagal karena lagi-lagi ia mendapati dirinya memerhatikan tangan yang lebih tua lamat-lamat. Sebenarnya, ia bisa saja meminta Off untuk mengamit tangannya mengingat ia selalu melakukan hal tersebut. Atau sesekali, ia yang duluan membawa telapak Off dalam genggaman, tapi untuk sekarang ia sedang gengsi. (bukan karena pertengkaran mereka tadi malam, sungguh, bukan)

“Gun, sebelah sini.” ujar Off menyadarkan lamunan Gun. Ternyata si mungil hampir melewati toko kue yang baru disebutkan.

Perihal berpegangan tangan sempat terlupakan, Gun terlalu bersemangat memilah bahan-bahan kue. Ia menimbang-nimbang kreasi apa yang akan ia lakukan pada browniesnya kali ini. Off tidak banyak berbicara, membiarkan Gun mengambil apapun yang ada dalam pikirannya dan hanya menerima bahan-bahan tersebut dengan lapang dada. Sampai di kasir, si mungil membiarkan Off melakukan transaksi sementara ia buru-buru mengambil kantung belanjaannya. Gun keluar dari toko kue terlebih dahulu, matanya memicing akibat silau dari bias mentari yang mulai naik. Baru ia akan menoleh, mencari keberadaan Off sampai tiba-tiba ia merasa ada telapak tangan yang lebih besar mengamit miliknya kuat-kuat.

“Kamu kecil, kalau hilang nanti susah nyarinya,” gumam Off seraya menarik si mungil untuk melanjutkan agenda berbelanja mereka.

Jangan bilang-bilang Off kalau di belakangnya, Gun tidak bisa berhenti tersenyum melihat tautan tangan mereka.

ㅡ🌙

XIII. His Ocean

Gun menggigit kuku ibu jarinya, padahal kebiasaan ini sudah mulai hilang tapi tiba-tiba muncul lagi akibat gugup yang dirasa. Off melirik si mungil yang masih betah diam, sebelah tangan kirinya ia ulurkan untuk mengamit tangan kanan Gun yang sedang digigiti.

Gun mengerjapkan matanya, lantas menoleh ke arah Off meminta penjelasan, “Om Juu?”

“Kamu daritadi gigitin kuku, kotor tahu.” Sahut yang lebih tua tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan di depan.

“Adek nervous tahuuu,” rengek Gun mencoba melepaskan tangannya, tapi percuma karena Off malah semakin mengeratkan genggaman.

“Kan adek udah pernah ketemu sama semuanya,”

“Huum, Om Tay sama Om Arm, terus? Siapa lagi?”

“Alice, udah, cuma mereka bertiga doang kok.”

Gun bergumam panjang, “okay,” pelan-pelan, ia menghembuskan napas lega. mengambil tenang di antara gemuruh rasa khawatir dalam dada.

Off menyempatkan diri untuk menatap wajah si mungil lantas tersenyum, “okay.”

Genggaman keduanya tidak lepas setelahnya. Sampai hampir tiga puluh menit berlalu dan mobil Off sukses parkir di halaman rumah Tay, Off baru melepaskan tangan mereka.

“Tunggu, adek mau ambil kotak makan di belakang,” Ujar Gun seraya turun dari kursi penumpang. Laki-laki mungil itu kembali membuka pintu belakang mobil untuk mengambil kotak makan lantas menutupnya kembali.

“Udah?” tanya Off memastikan, Gun hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban kemudian setengah berlari menghampiri Off masuk ke area teras rumah.

Gun mengamit lengan Off, dalam diam memainkan lengan kaus yang dikenakan sang empu demi mengurangi rasa gugup. Memang si mungil sudah pernah bertemu dengan teman-teman Off, tapi itu hanya berupa perkenalan singkat bukan pertemuan seperti ini. Ditambah, ia merupakan satu-satunya bocah di antara manusia-manusia dewasa. Jelas ada bagian dari dirinya yang merasa kecil.

Agak sedikit heran ketika Off langsung membuka pintu rumah alih-alih mengetuknya. Off terlihat sekasual itu memasuki rumah Tay, seolah tempat itu merupakan miliknya sendiri.

“Peeeeeeeeeeng,” Gun sedikit berjengit dan merapatkan tubuhnya pada Off ketika ia mendengar suara menggelegar dari ruang tengah.

“Oit, santai dong, anak orang kaget nih,” balas Off kemudian berjalan menuju sumber suara.

Gun dapat melihat Tay bangkit dari posisi rebah di atas sofa, lantas setengah berlari menyambut kehadiran Off dan dirinya, “eh ada Adek, haloo,” sapa Tay setelah memeluk Off, kemudian ia menawari kepalan tangan pada Gun.

“Hai,” balas Gun seraya memukul kepalan tangan milik Tay, “Gun bawain ini buat Om Tay, eh buat semuanya juga sih,” tambah si mungil sambil menyerahkan kotak makan berwarna merah maroon pada Tay.

“Waduh, repot-repot banget nih?” seru Tay sembari menerima kotak tersebut sementara Gun hanya bisa memberikan cengiran.

Belum sempat Gun membalas, suara perempuan mengiterupsi dari belakang punggung Tay, “Guuuuuuunn!!” seru Alice heboh. Yang dipanggil menoleh penasaran, mendapati sang puan langsung memeluk tubuh mungilnya, “akhirnya kita ketemu lagi,” ujar Alice girang, sukses membuat si mungil terkekeh. Jauh di belakang sana, netra Gun mendapati Arm yang masih betah duduk ikut melempar senyum padanya seraya melambaikan tangan.

Gun pelan-pelan menghela napas lega, rasa gugupnya seolah menguap entah kemana. Off yang melihat adegan tersebut hanya bisa mengulas senyum, ikut senang meski tahu kehadiran si mungil benar-benar diinginkan dalam pertemuan ini.

Dalam tiap-tiap tutur yang dilontarkan, Gun tidak bisa tidak tertawa dibuatnya. Ia merasa kalau semua teman-teman Off tengah meminta atensi darinya, mulai dari Tay yang bertanya-tanya perihal pendidikan si mungil, perihal sekolah dan pertemanan, serta rencana-rencana yang ia susun untuk masa depan. Pembicaraan mereka mengalir begitu saja karena tiap ia memberikan jawaban, pasti ada tanggapan yang membuat si mungil kembali bercerita. Ia pikir, ia akan dihadapkan pada situasi seperti pertemuan keluarga besar dengan rasa canggung yang menguar dan pertanyaan klasik berbentuk formalitas. Tapi, teman-teman Off memperlakukannya seperti teman lama yang baru kembali bertemu. Seolah ia bukanlah bocah ingusan di antara manusia-manusia dewasa.

“Adek, Adek, mau tahu nggak, dulu Jumpol suka ngajak main sepeda keliling komplek tapi dia sendiri gak bisa naik sepeda?” tiba-tiba Tay berujar.

Gun mengerapkan matanya bingung, “hah? Terus gimana bisa main sepeda?”

“Ya dibonceng, entah sama Te atau sama saya,” kali ini Arm yang menimpali. Gun cekikikan sendiri, membayangkan Off kecil merajuk karena keinginannya tidak dipenuhi.

“Terus sampai sekarang Om Ju bisa naik sepeda nggak?” tanya Gun pada Off yang duduk di sampingnya. Laki-laki jangkung itu hanya menggaruk belakang kepala yang tidak gatal, suara gelak tawa dari Arm dan Tay menjadi latar.

“Dia nyentuh motor aja nggak, aduh, susah emang orang kaya,” seru Tay merasa terhibur namun tidak lama karena Off sukses melempar bantal sofa tepat di wajah sahabatnya,

“Te harusnya lo ceritain tentang pohon mangga,” usul Arm sembari mengunyah kacang atom yang baru ia ambil dari toples.

Off mengerang frustasi, “Salah anjir gue turutin permintaan lo berdua,” ujarnya mengusap wajah. Gun menatap Off dengan pandangan tertarik, “Adek mau tahu, ya? gapapa ya, Om Juu?” pintanya menarik ujung kaus Off.

Laki-laki jangkung itu menghela napas, “ceritain Te,” pinta Off setelahnya. Begitu saja, ia langsung menyerah membuat kedua sahabatnya kembali tergelak melihat tingkah ajaib Off yang belum pernah ditunjukkan sebelumnya.

“Jadi, Off waktu kecil tuh jiwa petualangnya tinggi. Di rumah dia kan ada pohon mangga gede banget, gak tahu udah berapa lama soalnya dari kita kecil udah ada.

Sebagai seorang yang penasaran, dia ngide manjat itu pohon mangga dan berhasil naik sampai atas untungnya, tapi-”

“gak bisa turun?” Sahut Gun menebak kelanjutan cerita.

“bingo!” Seru Tay girang.

“Ihh! Adek juga pernah manjat pohon gak bisa turun!” Seru Gun lantas terbahak,

“Lucunya, dia tuh diem aja di atas pohon sampe sore dan neneknya nyariin.” Sahut Arm dengan penuh semangat.

“Serius? Terus Om Ju turunnya gimana?” Gun mengangkat alisnya penasaran.

“Pas lagi dicariin, kan dipanggil tuh sama Nini berkali-kali tapi gak nyahut, eh karena kasihan lihat Nini muter-muter, dia nangis dong?”

“Om Juuu!!” seru Gun memukul paha yang lebih tua, “kenapa harus nangis coba?” Si mungil menoleh ke arah Off meminta penjelasan lebih.

“Gak tahu Adeeek, aduh,” Off menutup sebelah wajahnya, tidak ingin diinterogasi lebih lanjut. Reaksi yang malah makin mengundang tawa.

Sudah lelah membeberkan hampir semua aib milik Off, Arm mengusulkan untuk mereka menonton film bersama. Semuanya sepakat kecuali Alice yang memang ingin mengobrol lebih banyak dengan Gun. Maka, perempuan itu menarik tangan si mungil menuju dapur dengan alasan ingin mengambil buah untuk mereka semua. Gun melirik Off yang hanya memberikan anggukkan sebagai tanda kalau ia boleh pergi.

“Capek gak sih sama kelakuan mereka tuh,” ujar Alice membuka pembicaraan. Perempuan itu tengah mengambil beberapa apel dan pir dari dalam lemari pendingin dan menyerahkan pada Gun yang langsung mencucinya di sink.

Gun bergumam panjang, “tapi seru, Gun ketawa terus daritadi,”

“Mereka tuh udah rencanain ini tahu, beneran pengen banget ledekin Off di depan kamu,” sahut Alice mengambil pisau dari tempatnya.

“Oh ya?” tanya Gun memberikan buah-buah yang sudah dicuci.

Alice mulai memotong pir, “Gun, bisa tolong ambilin piring di rak sebelah sana nggak?” Pintanya yang langsung diamini oleh si mungil.

“Eh, tadi sandwich yang kamu bawa bikin sendiri, ya?” tanya Alice.

Gun bergumam sebagai afirmasi, “Gun tadi gak kepikiran bikin apa, soalnya di rumah cuma ada roti tawar, untung pas buka kulkas nemu tuna sama telur,”

“Tapi enak lho Gun, Arm aja sampai ngambil dua potong padahal dia gak gitu suka roti-rotian,”

Gun hanya mengangguk kaku, sedikit bingung bagaimana harus merespon. Meski begitu, tiba-tiba saja sebuah pertanyaan muncul di kepala si mungil. “Uhm, tapi Kak? Yang diceritain sama Om Te dan Om Arm bener kan ya?”

Alice terkekeh, “benar kok, memangnya Off gak pernah cerita?”

Gun menggelengkan kepalanya, “Gun gak berani tanya juga, takut nyinggung perasaan Om Ju,” ujar si mungil.

Perempuan itu menghentikan kegiatannya, lantas melepas pisau di tangan demi berhadapan langsung dengan Gun. “Kamu mau dengar pendapatku nggak?”

Gun mengerjapkan matanya, “apa?”

“Off bukan tipe orang yang suka cerita, dia lebih suka mendam semuanya sendiri sampai kita sendiri yang tanya ke dia. Jadi kalau bisa, kamu tanyain dia aja, gak apa-apa kok.”

Gun menggigit bibir bawahnya, “tapi Gun gak enak, bukan siapa-siapanya juga, gak sih?” tanya si mungil tidak yakin dengan kalimatnya sendiri.

Alice menyungging senyum, “udah jadi orang pertama yang dicari setelah pulang dari kantor, kamu yakin bukan siapa-siapanya Off?” ujar perempuan itu lantas menaruh empat potong apel dan pir di atas piring.

“eh, Kak, Gun ambil apel sama pirnya satu ya? Kakak gak akan ngupas itu kan?” Bukannya menjawab pertanyaan retoris lawan bicaranya, Gun malah fokus pada buah yang belum dipotong.

“Kenapa? Kamu mau kupas kulitnya?” Tebak Alice.

Gun mengangguk, “Om Ju gak bisa makan buah kalau gak dikupas, soalnya.” ujarnya polos lantas mengambil pisau yang semula digunakan Alice dan mulai mengupas apel.

Perempuan itu termenung selama beberapa detik lantas sadar, ia memberikan cengiran penuh lantas menepuk puncak kepala Gun, “jangan lama-lama ya, Adek,” ujar Alice.

Gun mendongak, “apa?”

“Nggak,” jawab Alice misterius, “aku duluan gak apa-apa?” tanya perempuan tersebut.

Si mungil menganggukkan kepalanya, “gak apa, Gun bisa sendiri kok,” ujar Gun.

Baru selesai ia mengupas kulit apel, satu figur kelewat familiar menghampiri sang tuan yang kini fokus mengupas pir. “Kirain kamu hilang,” sapa Off membuat Gun mendengus geli.

“sembarangan,” ujar Gun, ia menaruh pisau sebentar lantas mengambil sepotong apel untuk ditawarkan pada Off. Melihat hal itu, yang lebih tua buru-buru mengambil apel di tangan Gun menggunakan bibirnya.

“Om Juu, tunggu di sana aja Adek sebentar lagi selesai,” ujar Gun kembali fokus pada pir yang masih setengah terkupas.

Off berumam, “nanti aja, nungguin Adek selesai,”

“Om Ju udah nggak marah?”

Off mengangkat alisnya bingung, “kenapa marah?”

“Daritadi kan diledekin melulu dan diketawain juga, terus marah-marah,”

“Oh,” Off mengambil satu potong apel lagi, “nggak lah, mereka kan cuma bercanda.” ujar Off kemudian menyuguhkan tepat di depan bibir Gun membuat si mungil langsung melahapnya.

Sudah selesai, Gun menaruh sisa pir yang sudah dipotong ke atas piring lantas membersihakn sampah kulit serta meletakkan pisau ke tempat semula.

“Tapi, marah deh,” ujar Off tiba-tiba, membuat Gun menautkan alisnya. Alih-alih menjelaskan Off malah memberikan pipi pada si mungil. Paham maksudnya, Gun buru-buru membubuhi kecupan di atas pipi Off. Berkali-kali sampai sang empu merasa puas.

“Tuh, biar gak marah-marah lagi,” ujar Gun lantas mengulas senyum meski tahu pipi gembilnya pasti sudah dipenuhi rona kemerahan. Off mencubit pipi Gun terlampau gemas, keduanya sibuk dalam gelembung dunianya sendiri sampai tanpa sadar kalau ada orang lain yang tengah berdiri di ujung dapur.

ㅡ🌙