moon and universe

all written by Sel

XII. Hijau

Gun berjengit bangkit dari duduk, ia mengabaikan tatapan penuh tanya dari Kit dan New lantas melangkah cepat menuju balkon kamar Kit. Laki-laki mungil itu mengusap kasar jejak air mata di pipi, lantas mengusap layar ponsel untuk kemudian ditempelkan di samping telinga.

”..halo?” Gun meringis saat ia mendengar suaranya sendiri,

“Loh? Adek nangis?” tanya laki-laki di seberang telepon.

Gun berdehem canggung, “kenapa telepon, Om Juu?” tanya Gun mengalihkan pembicaraan.

“Oh,” ada jeda sebentar dengan suara grasak-grusuk menjadi latar, “maksudnya warna hijau itu apa ya, Adek?” tanya Off, Gun tersenyum membayangkan wajah kebingungan yang biasanya ditampilkan Off. Pasti laki-laki jangkung itu tengah mengerutkan dahinya sambil menggaruk belakang kepala yang tidak gatal.

“Maksudnya, Adek keterima!! Adek lulus di jurusan sastra Kampus Bumi Siliwangi!!” Jawab Gun seraya terkekeh, meski ekspresi kontras tengah ditunjukkan dengan air mata berjatuhan di atas pipi gembilnya.

“Wah! selamat Adek! Kampus Bumi Siliwangi itu di daerah atas ya?”

“Huum, gak terlalu jauh dari rumah juga, sengaja Adek pilih Kampus Bumi Siliwangi biar gak usah pindah lagi, hehe,” jawab Gun lantas menarik ingus yang turun, sisa dari tangisnya tadi.

Ada jeda sebentar sebelum Off kembali bertanya, “adek kenapa nangis? Terlalu senang, ya?” tanya yang lebih tua. Entah hanya perasaan Gun saja atau memang Off sedikit melembutkan tuturnya.

“Iya..” cicit Gun, “tapi juga sedih..”

“Mau cerita?”

“itu.. Kit sama New gak keterima. Adek jadi sedih soalnya di antara kita bertiga cuma Adek yang keterima, Adek ngerasa gak enak aja...”

“Tapi mereka tahu kalau kamu keterima?”

Gun menganggukkan kepalanya, lantas sadar kalau Off tidak bisa melihat gesture yang ia lakukan, “udah, tadi kita nyebutin warna bareng-bareng pas buka hasilnya, cuma Gun yang teriak hijau.” Si mungil cemberut, lantas menyesal karena bercerita lewat telepon. Kalau langsung, mungkin Off sudah mengusak puncak kepalanya, atau mencubit sebelah pipi supaya ia tidak cemberut lagi.

“Terus kalian nangis? Bertiga?”

“Iya..” jawab Gun, sedetik kemudian terkekeh, baru sadar kalau tingkah mereka cukup konyol.

“Jadi, Adek sedih karena mereka nggak keterima sampai nangis bareng?”

“Ih Om Ju jangan ngeledekin Adek duluuu,” rengek Gun tidak terima, menebak kalau saat ini Off tengah mengulas senyum jahil.

“Enggak, Adek, dengarin saya dulu,” tutur Off pelan, “kamu ikut sedih karena mereka gak keterima, gak menutup kemungkinan mereka juga senang karena kamu udah keterima. Mereka sahabat kamu lho dek, kamu gak perlu berkecil hati atau merasa jadi pengkhianat karena keterima duluan,

Toh semuanya punya jalan masing-masing, ya kan?” Ujar yang lebih tua di seberang sana.

Gun menarik napas dalam-dalam, seratus persen mengerti dengan apa yang baru saja dituturkan Off. “Hmm, okay!” seru Gun.

“Nah gitu dong senyum,”

“Sok tahu banget, memangnya Om Ju bisa lihat Adek?” Ledek Gun membuat laki-laki jangkung itu tertawa. Gun meleleh, rasanya lama sekali tidak mendengar suara tawa yang sudah menjadi melodi indah bagi rungunya. Si mungil ingat, laki-laki jangkung itu akan memundurkan kepalanya sedikit, lalu matanya akan menyipit lucu ditambah dengan kerutan di sekitaran kelopak yang terpejam saat ia tertawa. Wajah Off akan berkali lipat lebih cerah dan Gun menyukainya. Gun suka melihat ekspresi saat Off tertawa.

Perasaan rindu tiba-tiba menghinggapi relung hati membuat Gun tak ayal mendesah kecewa, “kangen Om Ju..” lirihnya tanpa sadar, sepenuhnya lupa mereka tengah tersambung oleh telepon.

Tawa Off behenti, menjadi tanda bagi Gun kalau ia sudah mengucapkan hal yang seharusnya ia simpan dalam kepala. Gun menahan napas gugup, seperti baru saja ketahuan melewati garis tidak kasat mata di antara mereka.

Setelah jeda yang cukup panjang, akhirnya Off mengangkat suara, “I miss you too, Adek. Ketemu besok ya?” tawar Off.

Gun bergumam panjang, ia menggigit bagian dalam pipi untuk menahan teriak yang sudah di ujung tenggorokan, “bye-bye, Om Ju.” Balas si mungil lantas menutup sambungan telepon. Gun menghela napas pelan, lantas mengerjapkan matanya banyak-banyak.

Om Ju kangen Gun!! Om Ju bilang kalau dia kangen sama Gun juga!!

ㅡ🌙

Tersandung Pelik

Gun menggenggam ponselnya erat-erat. Kedua netranya tidak berpindah dari televisi yang tengah menyiarkan infotainment terkini berisi gossip mengenai kehidupan para selebriti yang diragukan kebenarannya. Bahkan laki-laki mungil itu tidak mengedipkan matanya, raut wajah yang mulai mengeras karena alih-alih selebriti papan atas yang tengah diberitakan malah kekasihnyaㅡyang merupakan pebisnis, bukan selebriti. Laki-laki jangkung bernama Off Jumpol tengah diberitakan di tayangan infotainment akibat foto blur dirinya bersandingan dengan satu perempuan cantik yang beredar di laman internet sejak dua hari lalu.

Layar televisi tiba-tiba berubah menjadi gelap, memperlihatkan pantulan refleksi dirinya dengan wajah marah yang kentara.

“Mata lo udah mau keluar, sumpah,” seru Chimon dari belakang.

“Chiiiiii” rengek Gun, memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah Chimon yang santai memakan tempe goreng sambil berdiri tepat di belakang sofa.

“Ngapain sih nonton begituan, sumpah, adanya lo makin kesal Kak” Chimon memutar bola matanya kemudian berlalu ke arah meja makan untuk kembali mengambil tempe.

“Tadinya kan mau nonton netflix tapi pas dinyalain malah berita sampah itu,”

Chimon menjatuhkan bokongnya di atas sofa, tepat di samping kakaknya seraya bergumam, “padahal udah capek-capek gak lihat twitter, eh nyalain televisi malah ketemu juga,” ledek Chimon yang disambut dengan pukulan bar-bar tepat di lengan dan bahu.

“Ish! Gak tahu ah! Sebal!”

“Ya marahnya jangan ke gue dong? sana ke pacar lo!” ujar sang adik seraya beringsut menjauh.

“Gak dibalas,” jawab Gun cemberut, “udah tiga hari chat gue gak dibalas sama dia, Chimooooon!” Gun menghentakkan kakinya lalu memukul lengan sofa dengan penuh kekuatan, seolah ia tengah memukul kekasihnya sendiri yang terpaut berkilo-kilometer jauhnya.

“Dah lah, emang beneran pacaran kali,”

“Anjing lo,” Gun melempar bantal sofa pada Chimon, “terus gue apa kalo dia pacarnya?”

“Em... selingkuhan?”

“Bangsat! Bangsat! Chimon bangsaaaatt!!!” Gun mengambil satu lagi bantal sofa kemudian memukuli adiknya bertubi-tubi.

“Aduh! Kak, stop,” Chimon menahan tahan mungil sang kakak, “lo jelek banget kalau lagi uring-uringan gini asli,”

“Gue tuh kesal!” Seru Gun setengah berteriak, “lo malah nambah bikin kesal,”

Chimon menghela napasnya, “gue tahu ya, lo gak chat dia lagi kan setelah berita ini ke up?”

Gun mencebik, benci pada fakta bahwa sang adik begitu tahu tentangnya. Ia seperti buku yang terbuka, mudah dibaca begitu saja.

“Telepon gih,”

“Siapa?”

“Bang Purim,” jawab Chimon asal, “ya Kak Off lah!” Sungutnya kesal.

“Gak mau. Gue lagi marah.”

Chimon mengusap wajahnya, “ampun deh,”

Gun bangkit meninggalkan Chimon yang masih mengunyah tempe goreng, melangkahkan kakinya lebar-lebar tanda kalau sang tuan tengah dilanda amarah. Lalu menutup pintu kamarnya keras-keras. Chimon bergidik, kalau sudah begini akan sulit bagi calon kakak iparnya untuk mengambil kembali hati kakaknya, kecuali Off tiba-tiba muncul depan rumah malam ini juga.

Dua puluh menit berlalu, Chimon yang masih betah menghabiskan tempe goreng dalam mangkuk yang akhirnya ia bawa dari atas meja makan ke ruang tengah mengerutkan dahinya bingung melihat figur sang kakak mondar-mandir tidak berhenti.

“Lo duduk bisa gak? Pusing gue lama-lama lihatnya,” gertak Chimon jengah.

Gun berhenti, memegang charger ponsel yang baru saja ia cabut dari multitap di samping televisi. “gue mau ke Pontianak.” ujar sang kakak menatapnya mantap.

Chimon hampir menjatuhkan sisa tempe goreng di tangannya, sang adik menatap Gun dengan tatapan horror, “lo serius?”

Gun menganggukkan kepalanya mantap, “tadi Mike telepon, dia udah pesanin gue tiket, berangkat jam tujuh.” jawab laki-laki mungil itu lantas duduk di samping adiknya. “Chi, antarin gue ke bandara, ya?”

“Bentar-bentar, ini lo marah sama Kak Off tapi lo yang nyamperin ke Pontianak? Gak salah?” Chimon mengangkat sebelah alisnya, gestur yang kalau-kalau Gun sedang tidak dilema setengah mati, akan terlihat amat menyebalkan.

“Gue mau ontrog tuh orang tua nyebelin!” jawab Gun seraya mengepalkan tangannya, dramatis. Chimon mendengus tidak percaya.

“Lo kayaknya udah stress banget deh kak,” ujar Chimon menanggapi tingkah sang kakak yang terbilang ajaib.

Gun balik cemberut seperti sebelumnya, “Chi, lo harusnya dukung gue kek, apa kek,”

Chimon mengangkat kedua bahunya, “gimana ya kak, gue bingung aja cuma ya terserah lo deh,”

“Lo bikin gue nyesel nerima tawaran Mike tahu gak,” ucap Gun mendekap tubuhnya sendiri.

“Emang Kak Mike ngomong apa deh?” Chimon mendadak tertarik dengan apa yang sekertaris calon kakak iparnya utarakan. Ia mengambil tisu di atas meja kopi serta menyeruput es teh manis yang sedari tadi sudah berada di situ.

“Awalnya gue chat Mike kan, nanya kenapa Off gak balas pesan gue, apa dia sibuk banget atau gimana,” Gun mengangkat kedua kakinya dan dilipat di atas sofa, “terus tiba-tiba gue ditelepon dong? Gue kira kan ada sesuatu yang genting, ternyata dia sendiri gak bisa jelasin dan nawarin buat ke sana. Katanya kalau mau dia bakal pesanin tiket,” buru-buru Gun merogoh kantung celana training yang tengah ia kenakan, mengeluarkan ponsel pintar dan menunjukkannya pada sang adik, “nih, tiketnya udah dibeli.”

Chimon menganga, setengah tidak percaya dengan apa yang baru saja dijelaskan kakaknya, “sekarang gue tanya serius ya,” ujarnya lantas memegang kedua bahu sang kakak, “lo beneran mau ke Pontianak?”

Gun menatap adiknya lurus-lurus, lantas kepalanya mengangguk pelan. “Gue kangen Off, gue mau ngomong langsung kalau emang dia gak mau lanjut sama gue, atau kalau ini cuma salah paham, gue mau dengar langsung dari dia.” Jelas Gun, bahunya mengendur tanda kalau ia sudah menyerah.

Chimon menghela napas, “oke gue antar lo ke bandara, mau gue bantu packing, gak?”

Gun mengulas senyum seraya bangkit menarik lengan sang adik naik ke lantai dua menuju kamarnya. “bantuin lipatin baju,”

Bandara Supadio tergolong sepi, mungkin karena Gun sampai di saat malam mulai larut. Beberapa orang berlalu lalang tapi tidak sepadat Hussein saat ia berangkat tadi. Tangannya bergerak pandai memberikan pesan pada Mike, mengabari kalau ia sudah mendarat dengan selamat. Pesannya dibaca dengan cepat dan laki-laki berkumis itu memintanya menunggu sekitar lima belas menit, berkata kalau ia sebentar lagi sampai untuk menjemput si mungil.

Gun menutup ruang obrolannya dengan Mike dan memilih untuk mengabari Chimon, sesekali membuka laman sosial media untuk membunuh waktu. Sengaja ia menunggu di depan pintu kedatangan agar Mike mudah menemukannya. Tapi saat Gun mengedarkan pandangan, alih-alih Mike, ia malah menemukan figur laki-laki jangkung kelewat familiar tengah menghampirinya dengan langkah lebar.

Off langsung menarik tubuh Gun dalam dekapan saat sang tuan sampai di hadapan laki-laki mungil itu, “Cil, kamu kok gak bilang mau kesini? Aku panik banget pas Mike bilang kamu udah di bandara tahu nggak,”

Aroma tubuh Off adalah satu-satunya hal yang membuat Gun sadar kalau ia punya rindu yang menumpuk. Bahwa campuran musk dan bedak bayi yang sudah tinggal sepuluh persen mampu membuat laki-laki mungil itu merasa semakin kecil dalam rengkuhan kekasihnya. Tiba-tiba saja, Gun merasa sedih. Gulungan ombak perasaan yang datang tak ayal membuat sang tuan berkaca-kaca. Gun balik mendekap laki-laki jangkung itu lantas menangis sejadi-jadinya.

“Gun? Kecil? Sayang? kok nangis sih? Aduh...” Off mendorong pelan bahu Gun demi dapat menatap wajah si mungil yang sudah penuh dengan air mata bak air terjun.

“Marah... sama... Papii!” jawab Gun disela isaknya. Kesal, sedih, dan rindu bercampur jadi satu. Gun sendiri bingung perasaan mana yang harus ia tunjukkan pertama kali. Mungkin seharusnya yang pertama.

Off mengusap air mata yang tak kunjung berhenti, ralat, sulit berhenti jika ia sudah jatuh dari netra milik Gun. “Iya.. maaf ya akunya sibuk terus, kamu masih mau marah?” tanya Off mengalah, tahu kalau ia sudah terlalu lama mengabaikan kekasihnya, salahkan proyek besar dan Mike yang memaksanya untuk fokus. Juga perjanjian bertatap muka dua minggu sekali yang lagi-lagi ia ingkari. Entah sudah berapa banyak dosa yang ia buat pada laki-laki mungil ini, Off Jumpol hanya bisa berharap kalau ia masih bisa tetap tinggal.

Gun menganggukkan kepalanya, ia tidak mau berbicara lagi. Tahu kalau hanya akan mengeluarkan rentetan kalimat tidak penuh. “Kita pulang ke rumah sekarang, oke?” Tawar Off yang langsung diamini oleh si mungil.

Perjalanan pulang ke rumah dipenuhi oleh isakkan Gun yang tidak kunjung berhenti. Off sesekali melirik kekasihnya, khawatir sekaligus bingung bagaimana harus membuat Gun berhenti menangis. Biasanya ia punya sejuta cara dan kalimat yang mampu membuat si mungil lupa perihal rasa sedihnya lantas berhenti meski hanya sebentar. Tapi kepala Off sudah penuh dengan hal-hal yang lebih kompleks. Mangkuk miliknya terlanjur tumpah ruah sehingga ia kesulitan mencari celah agar dapat kosong dan menampung air mata Gun.

Maka keduanya sama-sama diam hingga mobil Off sukses masuk ke garasi rumah. Gun menghapus jejak air mata di pipi dengan kasar lantas menarik napas dalam-dalam, “Papa udah tidur belum?”

Off melirik jam di pergelangan tangan, “biasanya sih udah masuk kamar, gak tahu kalau-kalau beliau nungguin kamu sampai,” jawab Off sepenuhnya yakin kalau Mike juga memberi tahu sang ayah perihal kedatangan Gun.

Gun mengangguk lantas turun dari mobil, mengambil ranselnya di kursi penumpang dan menunggu Off menurunkan koper kecilnya. Laki-laki mungil itu membiarkan tuan rumah berjalan lebih dahulu. Seperti yang sudah bisa ia tebak, rumah besar itu terlampau kosong. Ini memang bukan kunjungan pertama, tapi Gun selalu berjengit tiap kakinya menyentuh lantai keramik kelewat dingin akibat sepinya penghuni.

“Papa!” Gun mengulas senyum saat netranya menangkap laki-laki paruh baya yang masih setia duduk di atas sofa dengan televisi yang menyala.

Ayah Off balas tersenyum lantas bangkit untuk menyambut Gun, “senang akhirnya kamu ke sini lagi,”

Gun melepaskan pelukan mereka, “maaf ya, Gun baru sempat kesini lagi,” ujarnya menatap Ayah Off dengan pandangan bersalah.

“Gun pasti capek, mending langsung istirahat ya?” Ujar Ayah Off yang dibalas dengan anggukkan oleh Gun, “kamu jangan gangguin Gun dulu, Ko,” ujarnya lagi kali ini menatap anak semata wayangnya dengan sengit.

“Aku lagi yang kena,” keluh Off sukses membuat Gun terkekeh.

Tidak mendengar titah ayahnya, Off setengah menarik tangan Gun untuk naik ke lantai dua dan langsung masuk ke kamarnya alih-alih kamar tamu. Suara pintu ditutup dari belakang punggung seolah menjadi isyarat bagi Gun kalau ia sudah bisa kembali menangis lagi. Maka air terjun yang sempat berhenti kini kembali tumpah. Off menghela napas, tahu kalau Gun masih merasa emosional.

Pelan-pelan, sang tuan membawa laki-laki mungil itu duduk di pinggir ranjang sementara ia duduk bersimpuh di atas karpet tepat di hadapan Gun.

“Cil udah dong...” Bujuk Off, “dari bandara ke sini tuh hampir empat puluh menit, masa sekarang kamu nangis lagi,”

Gun menggelengkan kepalanya kuat-kuat, ia sendiri tidak tahu kenapa susah sekali rasanya untuk berhenti. Ditambah perasaan yang sebelumnya ia simpan rapat-rapat, yang ia coba sembunyikan di bawah kolong tempat tidurnya, yang ia pindahkan secara keseluruhan ke dalam kotak pandora kini menyeruak di waktu yang bersamaan. Si mungil kewalahan, dan Off terlampau bingung dibuatnya.

“Ya ampun Cil sampai ingusan!” Off berkata dengan nada dilebih-lebihkan, “tuh kan, tuh matanya merah,”

“Berisik, Papiii!” Rengek Gun sebal, tahu kalau Off hanya meledeknya agar ia berhenti menangis. Gun menarik ingus yang turun, lantas menghapus jejak air mata yang lagi-lagi dibuat baru.

“Cil, udah... Nanti kamu sakit terus gak bisa jalan-jalan di sini,”

Gun menarik napas dalam-dalam berusaha menggapai tenang, “aku kesini tuh mau marahin kamu! Kamu nyebelin banget tahu gak? Kamu tuh punya ponsel buat apa? Pajangan doang? Kenapa gak bisa... Balas.. hiks..” lagi-lagi Gun terisak di antara kalimatnya.

Off menggenggam tangan si mungil, mengisi ruang di antara jari-jari sang tuan dengan miliknya. “Aku tuh... Kangen.. tahu gak!” Sentak Gun, terlampau kesal, “terus foto kamu sama perempuan.. hiks.. aku tuh sebenarnya apa!” Ujarnya lagi, dengan penekanan di akhir kalimat.

Off mengerutkan dahinya, “perempuan? Siapa?”

Gun menarik ingus yang turun untuk kesekian kali, lantas mengerjapkan kelopak mata berharap airnya kering. “Kamu beneran gak punya ponsel, ya?” Tanya Gun sinis.

Off mengendurkan bahu, lantas menaruh dagunya di atas paha sang kekasih. Menatap lekat-lekat netra Gun, “maafin aku, ya?” Ujarnya seperti anak kucing tengah meminta atensi majikan.

“Kamu gak mau jelasin apa-apa gitu ke aku?” Tanya Gun sepenuhnya bingung dengan tingkah Off. Kekasihnya itu sama sekali tidak melakukan pembelaan, seperti mengaku salah dan siap menerima hukuman apapun.

Off mencebik, “ya aku tahu aku salah, aku yang gak ngabarin kamu, aku juga yang gak bisa ke Bandung dua minggu kemarin, aku gak mau penjelasanku cuma jadi pembenaran atas apa yang udah aku lakuin ke kamu, karena semuanya emang salahku,” tutur Off panjang lebar.

Gun melepas genggaman tangannya, lantas beralih menangkup kedua pipi Off. “Terus, perihal foto itu, kamu yang salah juga?”

Lagi-lagi, Off mengerutkan dahinya, “foto apa sih?”

Gun membulatkan matanya, “kamu beneran gak tahu? Mike gak kasih tahu?” Tanya Gun setengah tidak percaya.

Laki-laki mungil itu buru-buru mencari ponsel yang ia simpan di kantung depan ranselnya, lantas mengetik beberapa kata sampai akhirnya ia menunjukkan layar tersebut tepat di depan wajah Off. Butuh waktu delapan detik untuk kekasihnya paham, Gun tidak melepaskan pandangannya dari wajah Off sehingga ia dapat melihat dengan jelas perubahan ekspresi yang kentara. Jelas sekali Off baru melihat berita ini.

“ANJ-” Off menelan umpatannya, ia hampir berteriak di tengah malam kalau-kalau Gun tidak segera menaruh sebelah telapak tangan di atas bibir sang tuan.

“Cil, nggak gitu..” Off mengusak surainya kasar, “serius cuma kamu, gak ada yang lain,

Astaga pantes aja kamu marah ya, gak apa-apa deh kamu marahin aku, bentak-bentak aku, tapi aku mau kamu tahu kalau gak pernah ada yang lain, cuma kamu Cil.”

Gun tidak pernah melihat Off segusar ini, laki-laki jangkung itu tengah menahan amukan dalam diri dan Gun dapat dengan jelas melihatnya. Off berang, ia bisa saja melempari wajah seseorang dengan vas bunga di atas nakas samping tempat tidur saking kesalnya. Tapi laki-laki jangkung itu meredam amarahnya, tahu kalau ada yang lebih penting.

“Perempuan itu siapa, memang?” Tanya Gun pelan, kini tidak ada nada menuntut di dalamnya.

Off menghela napas panjang, “kolega aku, kita emang ketemu di resto sekalian makan siang. Kamu tahu kan kerjaan aku ketemu orang, bahas kontrak, hal-hal yang bosanin dan selalu diiringi obrolan kaku. Dia tuh sama kayak aku, gak biasa formal gitu jadi ngajak ketemuannya di resto. Bahas kerjaan doang kok, suer deh,” Off menunjukkan sebelah tangan membentuk huruf V sebagai gestur meyakinkan lawan bicaranya.

“Padahal dia cantik, Papii,” ujar Gun sama sekali tidak ada hubungannya dengan kalimat penuh dari Off.

“Tetap cantikan kamu,”

Huwek!

Gun buru-buru menutup mulutnya, berpura-pura mual setelah mendengar tutur dari Off.

“Bener kok, kamu paling cantik sedunia,” ujar Off menaruh kedua tangannya di samping tubuh Gun, lantas pelan-pelan bangkit dari duduk bersimpuh terus maju menghampiri wajah si mungil yang sudah memerah karena malu.

Off sukses mencuri kecup atas bibir kekasihnya, “maaf ya? Kamu pasti uring-uringan,”

Gun menaruh tangannya di atas bahu Off, semula untuk menahan sang kekasih agar tidak mendekat tapi sekarang pelan-pelan bergerak mengalungi leher Off.

“Kamu paling nyebelin sedunia, tahu gak?” Gun malah balik bertanya, “lebih nyebelin lagi soalnya gara-gara kamu aku lebih milih peluk daripada marah-marah,”

Off menyeringai, tahu kalau ia telah berhasil memenangkan hati si mungil, “kalau cium? Mau gak?”

Gun bergumam, “gak dulu,”

Off mendorong tubuh mungil untuk rebah di atas ranjang, menimbulkan suara kaget dari si mungil, “Papiiiiiiiii!” Ujar Gun setengah berteriak.

“Cil serius, kamu udah gak marah kan?” Tanya Off memastikan setelah ia berhasil mencuri kecup lagi.

Gun menatap laki-laki di atasnya tepat di netra, “kalau marah udah nggak, kalau sedih masih ada sedikit, kalau rindu ada banyak.” Jelas Gun.

“Oke, yang penting udah gak marah.” Jawab Off lantas kembali membubuhi ranum si mungil dengan cium. Berkali-kali sampai berubah menjadi pagut. Dari pelan hingga terburu, juga lumat yang mengikutsertakan kecap membuat semuanya menjadi teratur yang berantakan.

Gun menepuk bahu Off, tanda ia kehabisan napas membuat sang tuan mau tak mau melepaskan pagutan. Ada untaian saliva yang sukses membuat Gun bergidik. Agaknya laki-laki mungil itu tahu kalau ia tidak akan bisa istirahat dengan cepat. Dalam hati ia bersorai, kepalanya sudah memutuskan sesuatu yang sebelumnya diliputi ragu. Kini semuanya bening seperti kristal. Gun siap menyerahkan sisa hidupnya untuk dihabiskan bersama Off.

Menuju selamanyaㅡSepertinya akan terdengar lebih bagus bila diganti menjadi,

Sekarang untuk selamanya.

ㅡ🌙

Sore

Bright menepikan mobilnya di salah satu minimarket yang masih buka. Aneh rasanya, ia seperti belum pernah menjajahi kota bagian ini. Seolah-olah, rutinnya tidak pernah mendapati sang tuan barang untuk melewati jalanan yang memang sudah ada di salah satu sudut kota. Kalau bukan karena ia harus mencari supplier minuman untuk bar-nya, mungkin Bright tidak akan pernah melewati jalan ini. Padahal, saat ia melihat maps di ponsel pintarnya, jalan ini lebih dekat dengan bar miliknya, atau lebih efektif menghubungkan bar dengan pusat kota, pun dengan jalan pulang ke rumah.

Suara pintu mobil yang ditutup terdengar sedikit lebih kencang akibat malam yang sudah larut. Mungkin, sekarang jarum jam sudah menunjuk dua belas lewat, juga lingkungan yang terbilang cukup sepi membuat laki-laki jangkung itu sedikit awas. Ia menepuk-nepuk jaket denim yang dikenakan, entah esensinya untuk apa. Tapi setelahnya, sang tuan melangkahkan kaki masuk ke dalam minimarket tersebut.

Bright hanya membuang waktu, ia tahu. Laki-laki jangkung itu mengantuk dan merasa sangat lelah akibat seharian mengitari kota. Maka saat pintu kaca tersebut dibuka, tungkainya sengaja pelan-pelan melangkah, satu persatu produk yang dijajakan dalam rak ia amati seolah memang ia tengah mencari sesuatu.

“Chi, kamu udah tata bagian ciki belum sih?” Samar-samar, sang tuan mendengar suara dari arah kasir. Ia ingat memang ada dua anak yang tengah berjaga dibalik meja, sedang menyortir entah apa.

“Udah, kok! tadi dibantu sama Kak Hnu,”

“Lho, kan itu tugasmu, kenapa Kak Hnu juga ikut ngerjain?”

“Jangan lihatin kayak gitu ih, orang Kak Hnu yang mau bantu,” ada jeda sedikit, “suer Nanon, bukan Chi yang minta.” kali ini nada yang disampaikan penuh penekanan.

Tidak sadar, Bright sedikit meringis mendengar satu nama familiar yang disebut-sebut dalam pembicaraan mereka. Satu nama merujuk pada satu laki-laki mungil yang tiba-tiba muncul seperti mimpi di siang bolong. Juga pergi layaknya musim semi yang hanya mampir sebentar memberi warna dengan mekarnya bunga-bunga, lantas ingkah digantikan dengan teriknya matahari yang terasa membara. Yang panasnya ikut membuat memori kehadiran satu figur tersebut menguap dibuatnya. Bahkan Bright setengah tidak yakin kalau laki-laki mungil itu sungguhan nyata. Entahlah, ia berusaha untuk tidak begitu memikirkan lebih lanjut. Ini sudah lewat tahun kelima atau enam, ia tidak punya ruang di kepala untuk menggali detail.

Setelah memutari rak tidak tentu arah, Bright akhirnya mengambil salah satu kopi siap minum di lemari pendingin dan berjalan ke meja kasir.

“Hari ini kamu yang closing kan Non? Chi udah dijemput sama Bang Purim soalnya.” Tuduh salah satu dari dua laki-laki di balik meja kasir, Bright melihat telunjuknya mengarah ke parkiran luar.

“Ya, ya, sana pulang. bilang ke abang hati-hati di jalan.” Jawab temannya malas.

Bright menaruh belanjaanya di atas meja kasir yang langsung diambil oleh laki-laki dengan nametag bertuliskan Nanon yang disematkan di atas rompi pegawai berwarna indigo.

“Jadi delapan ribu lima ratus, ada lagi?” tanya si penjaga kasir.

“Eh, ada rokok? dan korek nah yang itu.” ujar Bright menuduhkan barang yang dimaksud.

Laki-laki jangkung itu mengeluarkan satu lembar uang kertas dengan nominal cukup besar, menunggu kembalian lantas buru-buru ingkah meski ia sendiri tahu kalau tidak ada siapa-siapa yang menunggunya pulang di rumah.

Lagi-lagi, tangannya memutar kemudi untuk berbelok melewati jalan ini. Jalanan sama yang ia lewati tempo hari. Sejak malam aneh tersebut, agaknya Bright cenderung melewati jalan ini sedikit lebih sering dari seharusnya. Kepala sang tuan akan mengutarakan kalau jalan ini terlampau lebih sepi, sehingga ia tidak harus terjebak macet di pertigaan neraka penuh kendaraan dengan pengemudi tidak sabaran. Ia berkali-kali meyakinkan dirinya kalau waktu tempuh yang dihabiskan menjadi lebih sedikit kalau ia lewat jalan ini.

(juga menyangkal habis-habisan jika seseorang berkata ia selalu memelankan laju tiap melewati minimarket tersebut)

Alih-alih menuju jam sepuluh, kali ini Bright memilih sore untuk kembali pulang. Saat matahari sudah mulai jatuh ke ufuk barat, yang biasnya menghantarkan kuning emas pada bangunan-bangunan tua serta aspal yang ia lewati. Dari kejauhan, ia dapat melihat satu bangunan tua bercat putih lapuk lengkap dengan papan reklame bertuliskan logo minimarket khusus. Ia menarik kakinya dari pedal gas pelan-pelan, lantas dalam kembimbangan yang belum sampai konklusi, tangannya memutar kemudi untuk berbelok dan parkir tepat di depan minimarket tersebut.

“Serius, aku ngapain sih,” protesnya dalam hati. Laki-laki jangkung itu tidak kunjung turun dari mobil, malah dengan lantang menjedukkan dahinya pada setir.

“Astaga terima kenyataan, Bright, he's gone for good, for god's sake,” ujarnya pada diri sendiri, mengutarakan beberapa kata umpatan seraya mejatuhkan kepalanya secara konstan pada setir. Berharap dengan begitu isi kepala sang tuan dapat kembali tertata dengan benar.

Fuck it.

Bright menarik napas dalam-dalam lantas memutuskan bahwa ia memang butuh rokok, atau minuman dingin untuk menyegarkan kepalanya. Kali ini suara pintu mobil yang ditutup tidak terdengar lebih kencang. Ada beberapa kendaraan yang masih lewat ditambah angin sore yang ikut meredam gemanya. Bright mengedarkan pandangan, tahu kalau langit tengah menoreh indah di atas bumi yang mulai usang.

Bak adegan film yang diperlambat, netranya menangkap laki-laki mungil keluar dari minimarket lengkap dengan rompi berwarna ungu khas pegawai juga nametag yang terpasang. Laki-laki mungil itu memeluk tubuhnya sendiri dan mengusap lengan bagian atas, sedikit kaget dengan angin sore yang terasa dingin. Begitu kontras dengan ekspresi teduh yang ditunjukkan, kentara sekali menikmati jatuhnya matahari sore dan tersenyum dibuatnya. Juga surai yang biasanya jatuh, kini ikut menari-nari bersama angin yang berhembus.

“Hnu?”

Yang dipanggil menolehkan kepala, sukses membuat netra mereka beradu. Hnu membulatkan matanya, memberi tahu kalau ia memang terkejut dengan pertemuan tidak direncanakan ini. Delapan detik diam saling memandang, Hnu mengerjapkan matanya beberapa kali sampai akhirnya mengulas senyum.

Bright menyipitkan sebelah matanya, merasa silau entah karena pantulan cahaya matahari dari spion kendaraan yang lewat atau karena senyum kelewat cerah yang diberi oleh laki-laki mungil di hadapannya.

“Bright!” sapa Hnu riang, benar-benar menunjukkan bahwa ia senang kembali dipertemukan dengan laki-laki jangkung yang sukses membawakan hidup pada mangkuk berisi kehampaan padanya beberapa tahun silam.

Laki-laki jangkung itu menarik sudut bibirnya ke atas, lantas menghampiri Hnu seraya melepas jaket denim yang ia kenakan.

“Kenapa tidak pakai jaket? Anginnya dingin nanti kamu masuk angin,” ujarnya kemudian menyampirkan jaket tersebut di bahu Hnu, sama seperti pertama kali mereka bertemu di bar milik Bright, sama seperti terakhir kalinya mereka melihat keberadaan satu sama lain di malam awal nestapa untuk Bright. Dan sekarang, lagi, di hari pertemuan kembali yang diam-diam Bright panjatkan tiap malam sebelum tidur, laki-laki jangkung itu kembali memberikan jaket denim untuk Hnu pakai.

ㅡ🌙

XI. 00:03:48

Gun terperanjat dari alam bawah sadar saat telinganya mendapati ketukan konstan pada daun pintu unit apartemen. Laki-laki mungil itu mengangkat kepalanya dan sedikit mengerang akibat pegal yang dirasa. Ia jatuh tertidur di ruang tengah dengan buku bank soal sebagai alas kepala. Sang tuan meregangkan tubuh, berharap rasa pegal yang ada menghilang dan kembali terperanjat ketika ia mendengar suara ketukan lagi.

Gun berdiri menghampiri daun pintu, sebelah tangannya mengucak mata yang masih diliputi kantuk. Dua kali putaran kunci, pintu sukses terbuka menampilkan laki-laki jangkung yang seharian ini menghilang.

“Hai?”

“Om Ju!” seru si mungil membulatkan kedua matanya kaget.

“Kamu udah tidur-” Off menghentikan ucapannya ketika tubuh mungil itu menabrak miliknya. Kedua lengan Gun melingkar di pinggang Off seolah memang ini adalah gesture yang biasa mereka lakukan.

Gun menenggelamkan kepalanya pada dada bidang Off, menghirup aroma yang lebih tua lamat-lamat, takut kalau yang tengah ia peluk bukan Off sungguhan. Off tidak pengar, tubuhnya juga sama sekali tidak menguarkan bau alkohol yang ia benci, alih-alih sisa parfum yang selalu menjadi favoritnya. Maka, si mungil makin mengeratkan pelukan, juga diam-diam tersenyum karena tahu kalau yang lebih tua sudah pulang. Sudah baik-baik saja. Setidaknya.

Gun menggiring Off untuk masuk ke unitnya. Ada beberapa pertanyaan yang muncul di kepala si mungil, terlampau berisik sampai-sampai ia sendiri bingung mana yang harus pertama kali diutarakan. Tapi hatinya berkata kalau Off sedang lelah, sehingga ia hanya mengajak Off duduk di ruang tengah, di atas sofa dengan beberapa buku dan alat tulis yang berserakan sisa ia belajar tadi.

“Adek buatin teh madu ya? Om Ju capek, kan?” tawar Gun yang hanya dijawab dengan anggukkan. Gun dengan sigap menuangkan air panas pada cangkir yang sudah diisi tea-bag, lantas menuangkan madu seraya mengaduknya untuk kemudian diserahkan pada Off. “Hati-hati, masih panas,” ujar si mungil memperingatkan melihat yang lebih tua berniat langsung menyeruputnya.

“Om Ju udah makan? kalau belum, mau Adek buatin sesuatu?” Tanya Gun duduk di karpet, tempat ia sebelumnya duduk untuk mengerjakan soal latihan. Tangannya tidak bisa diam, terus merapikan buku-buku yang tercecer, menumpuknya menjadi satu dan ditaruh di sudut meja.

“Adek lagi belajar? Saya ganggu ya?”

“Nggak!” Gun terkejut dengan suaranya sendiri, “eh, maksudnya, enggak, tadi Adek ketiduran di sini, untung Om Ju datang jadi Gun kebangun, hehe,”

Wajah Off terlihat muram, Gun baru menyadarinya, baru sempat memerhatikan sebegitu lekat. Ada kantung yang bergantung di bawah mata laki-laki jangkung itu, juga surai yang sudah lama dibubuhi gel, kini banyak anak rambut yang mencuat seperti habis disugar berkali-kali dengan kasar. Sendu. Satu kata yang muncul di kepala si mungil, kali ini Off diliputi sendu.

“Om Ju?” Gun menatap yang lebih tua lekat-lekat, membuat Off mengalihkan pandangan pada si mungil dari cangkir hangat berisi teh madu.

“Ya?”

are you okay?” tanya Gun hati-hati, tahu kalau ia tengah mencoba melewati satu garis tipis yang ia buat sendiri. Tapi toh, kalau dipikir-pikir lagi, selama ini mereka berdua memang selalu berjalan di atas garis tipis yang enggan mereka berdua lewati. Keduanya terlampau takut.

Bagi Off sendiri, hanya butuh satu kalimat sederhana dari Gun untuk sang tuan kemudian sadar kalau ia tengah mencari nyaman di antara amukan badai yang tengah berlangsung dalam hati. Off menunduk, pelan-pelan menaruh cangkir teh madu yang baru sekali ia seruput, lantas menghela napas panjang.

“Adek, saya boleh minta sesuatu nggak?”

Gun memajukan tubuhnya, antusias dan penasaran bercampur jadi satu, “boleh, Om mau sun? mau berapa kali?” tanya Gun langsung menebak permintaan yang lebih tua, karena biasanya permintaan Off hanya seputar itu-itu saja. Repetisi yang sudah Gun ubah menjadi rutin. Si mungil selalu mendapati wajah Off berkali lipat lebih cerah setelah ia bubuhi kecup di pipi, sehingga Gun tidak menolak ketika yang lebih tua sesekali meminta.

Off terkekeh pelan, lantas menggelengkan kepalanya, “saya mau peluk lagi, boleh?”

Tidak butuh waktu lama bagi Gun untuk bangkit dan mengitari meja kopi untuk kemudian menghamburkan tubuhnya pada Off, menarik yang lebih tua ke dalam dekapan. Off membawa lengannya naik, pelan-pelan juga merengkuh tubuh mungil Gun sampai akhirnya mereka berdua benar-benar saling merengkuh, membagi hangat untuk satu sama lain.

Gun mengusap surai belakang Off, “Om Ju is not okay,” lirih Gun tertutupi puncak kepala yang lebih tua.

Off mengangguk setuju dalam pelukan si mungil, “I'm not okay,

Adek is sending you all the okays in this world,

Adek is enough,” balas Off mengeratkan rengkuhnya pada pinggang ramping milik Gun.

Gun terpaku, ia bisa merasakan wajahnya sedikit memanas. Juga debaran di dada. 'oh, jangan, jangan sekarang'. Sang tuan membulatkan matanya, mati-matian menahan agar detak jantungnya tidak begitu riuh karena takut yang lebih tua mendengar. Si mungil menarik napas dalam-dalam, mencoba menetralkan gemuruh yang riuh.

“Om Ju mau cerita?”

Off bergumam panjang, menimbang-nimbang, “adek gak mau tidur?”

“Om Ju mau tidur? kita pindah ke kamar kalau gitu,”

“Adek!” seru Off tidak percaya.

“Om Ju!” balas Gun tidak mau kalah.

Off menjauhkan tubuhnya pelan-pelan, tidak sepenuhnya, cukup sampai ia bisa menatap wajah si mungil yang menunjukkan raut penuh bingung.

“Mau tidur atau mau cerita?” Gun memberikan pilihan.

Laki-laki jangkung itu menyerah, “okay, cerita ya, mulai dari mana?”

“Mulai dari pada suatu hari!” seru Gun mengulas senyum jahil, ia mengendurkan punggungnya, ikut duduk bersimpuh di antara kaki jenjang milik Off, tidak mengindahkan lengan Off yang juga masih betah berada di pinggangnya.

“Oke, pada suatu hari, ada yang pindah ke unit sebelah kamar Gun, laki-laki, masih muda, tapi malah dibilang kayak bapak-bapak,”

Gun terkekeh, “pasti namanya Off Jumpol!” seru si mungil bersemangat, membuat Off ikut tersenyum dibuatnya.

“Off pindah soalnya dia gak suka rumah yang dulu, terlalu ramai padahal baru ditinggal sama satu orang, orang yang paling penting buat Off, makanya dia pindah,”

Pelan-pelan, cengiran di wajah Gun luntur dan berganti menjadi tatapan serius.

“Dia kabur, ninggalin rumah, ninggalin keluarga, juga ninggalin sahabat yang udah bareng dari kecil, karena dia masih butuh waktu buat berduka, dan rumah yang dulu sama sekali gak ngasih ruang,

tadi, Off dipaksa pulang ke rumah yang dulu. Tapi dia sama sekali nggak merasa kalau itu rumah yang sama, jadi dia telpon sahabatnya yang satu lagi buat antarin dia pulang ke rumahnya, yang sekarang,”

Off menyudahi ceritanya sementara Gun masih bergeming, jelas sekali butuh waktu untuk memproses tutur yang diutarakan Off.

“Kalau sekarang, dia udah pulang? udah di rumah?”

“Udah di rumah,” jawab Off yakin seraya menganggukkan kepalanya.

“Kalau udah di rumah berarti dia bakal baik-baik aja, it's a good story Om Ju.

is it?

Gun menganggukkan kepalanya cepat-cepat, “buat Gun, rumah adalah tempat kita merasa paling nyaman, paling aman, kalau Om Ju sudah merasa di rumah, then it is a good thing for you,

“Meski saya ninggalin semuanya?”

“Om Ju nggak ninggalin siapapun, tahu. Om Ju cuma milih jalan yang beda dari keluarga Om Ju, bukan berarti Om Ju pergi dari mama papa-nya Om Ju. Kalian bisa jalan beriringan di jalur yang berbeda, ya kan?” jelas si mungil seraya sedikit menelengkan kepala, menuntut persetujuan yang lebih tua.

Mata Off membulat, seolah sadar akan sesuatu akibat kalimat penuh yang diutarakan si mungil. Sang tuan lantas mencubit ujung hidung Gun, membuat yang dicubit mengerutkan wajah dan menepis tangannya pelan, “ih! stop cubit-cubit Adek!”

“Adek ternyata udah gede ya,”

“Apa maksud Om Ju!!!! Adek gak gendut!!!”

Off tergelak mendengar tutur si mungil. Padahal bukan itu maksudnya, tapi ia masih ingin melihat kerutan di dahi serta bibir Gun yang cemberut, “oh ya? itu pipinya kok gembil?”

“Gak tahu, Adek mau marah, Om Ju pulang aja deh,”

“Yah, padahal saya mau izin tidur di sini,”

“Om Ju mau tidur di sini? benar ya? Adek ambilkan selimut dulu,” ujar Gun lantas bangkit cepat-cepat menuju kamar untuk mengambil selimut tebal juga bantal untuk tamunya.

Off bergeming, membiarkan si mungil ingkah meski pandangannya tidak. Laki-laki jangkung itu menatap punggung yang lebih muda berjalan menjauh, punggung kecil dengan bahu yang sedikit turun. Lantas di detik itu ia sadar, kalau rumahnya sudah berganti dari tumpukan batu bata yang dipasang pintu dan jendela menjadi figur laki-laki mungil yang umurnya bahkan belum sampai kepala dua.

Off Jumpol jatuh sejatuh-jatuhnya insan, pada laki-laki mungil yang belum sepenuhnya paham bagaimana dunia berputar serta peran yang disematkan untuk ia bisa berpartisipasi di dalamnya.

ㅡ🌙

X. Maaf

Gun menemukan dirinya berhenti di depan pintu unit kamar Off dengan tangan yang menggantung berniat mengetuk. Tiba-tiba saja, keberanian pergi mengumpat dibalik rasa takut yang kian mendominasi. Entah kenapa, si mungil sedikit panik harus bersikap seperti apa mengingat bahwa sepertinya Off sedang merasa tidak baik. Ia takut canggung.

Belum sampai pada konklusi, pintu di hadapannya tiba-tiba terbuka begitu saja menampilkan laki-laki jangkung dengan ekspresi bingung. “Adek? Kok gak masuk?”

Gun memberikan cengiran polos, “baru mau ketuk, hehe,” berharap yang lebih tua percaya. Melihat hal tersebut, Off ikut mengulas senyum yang otomatis membuat Gun merasa tenang.

“Adek udah laper banget gak? Saya ada cemilan kayaknya,” ujar Off sembari membuka lemari pendingin. Gun mengikuti langkah Off, mencari tahu apa memang benar ada makanan mengingat bahwa laki-laki jangkung itu pulang ke rumah hanya untuk menumpang tidur.

“Gak apa-apa Om Juu, Adek tadi makan es krim yang dikasih Om Ju kok,” sahut Gun, tidak mau membuat repot.

“Es krim? Kok belum makan udah makan es krim sih Adek?” Tanya Off dengan wajah khawatir.

Gun sedikit terperanjat, meski dapat menyembunyikan rautnya cepat-cepat, “gak apa-apa, pengen aja,” balas si mungil lantas tersenyum meyakinkan kalau ia akan baik-baik saja.

Tiga puluh menit berlalu, akhirnya mereka berdua dapat menikmati makanan yang dipesan. Satu kwetiaw siram dan satu capcay seafood. Meski tidak seenak buatan Gun, Off terlihat menikmati makanannya dalam diam. Ruang di antara mereka diliputi hening yang amat kentara. Off menunggu, menunggu Gun memulai pembicaraan, menunggu pertanyaan random dari si mungil, atau cerita-cerita konyol yang biasa ia ceritakan. Tapi si mungil terlalu fokus pada makanannya, atau sesekali Off mendapatinya tengah melamun entah memikirkan apa.

Mungkin tentang laki-laki yang baru saja mengantarnya?

Suara di kepala Off ikut menimbrung.

Gak usah mikir aneh-aneh, sahut Off pada dirinya sendiri. Tapi toh, hal tersebut berhasil membuatnya kembali merasa kesal. Suara alat makan yang ditaruh membuat Off kembali memberikan atensi pada Gun yang sudah selesai makan. Ini artinya, Gun akan kembali ke kamarnya, kan?

“Om Ju?” Gun membuka suara setelah meneguk air putih setengah gelas.

“Y-ya?” Off agak terkejut, seolah tahu kalau bayangan di kepalanya akan menjadi kenyataan.

“Maafin Adek ya,” ujar Gun seraya cemberut, ia menundukkan pandangannya tanda kalau benar-benar menyesal.

“Eh? Kok adek minta maaf?” Tanya Off, sepenuhnya bingung. Ia buru-buru menaruh alat makan dan menghampiri Gun untuk duduk di samping si mungil.

“Om Ju marah ya adek udah bohong? Tadi adek kan bilang mau pulang sama Kit tapi jadinya sama Kak Harit. Adek gak tahu kalau Kit harus pulang cepat,” jelas Gun kemudian menatap Off dengan raut sedih.

Off menghela napas, tahu kalau ini pasti karena ekspresi kesal yang selalu membuat orang lain salah paham. “Adek, saya nggak marah, okay? Adek gak perlu minta maaf karena adek nggak salah apa-apa, okay Adek?” Ujar Off sembari menarik sebelah pipi Gun. Kini sang tuan tahu apa yang sedari tadi mengganggu pikiran si mungil.

Gun menepis tangan Off pelan, “tapi adek bohong?”

“Adek nggak bohong kok, kan adek gak tahu Kit nya gak bisa antar. Lagipula, saya cuma bisa khawatir, tapi toh kamu baik-baik aja dan pulang dengan selamat.” Jelas Off lalu mengusak surai si mungil. Memberikan gestur kalau ia benar-benar tidak marah, dan perihal itu bukan masalah. Meski tidak sepenuhnya seperti itu, tapi Gun tidak perlu tahu dan bisa berhenti merasa sedih.

“Benar nggak marah?” Tanya Gun mengerjapkan matanya.

Off berhenti sebentar, seperti ada yang mengambil sisa napas sehingga ia agak kesulitan, “iya, benar kok” jawabnya setelah berhasil mengambil kembali napas yang hilang. “Udah, Adek jangan sedih ya? Saya gak marah, Adek gak salah, clear?

Clear!” Gun kembali menyungingkan senyum yang sampai ke mata, yang juga ikut menampilkan ceruk di kedua pipi, yang lagi-lagi sukses membuat Off terpesona untuk kesekian kali.

Adek cantik, cantik banget.

ㅡ🌙

IX. Delapan detik

Kalau boleh jujur, Gun sudah bisa menebak siapa orang yang tengah mengetuk pintu unit kamarnya mengingat jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh lewat. Gun tahu kalau ia sedang tidak menunggu siapapun, meski begitu ia buru-buru menaruh handuk kecil yang dipakai untuk mengeringkan rambut di atas sofa dengan asal kemudian membuka daun pintu.

“Hai?” sapa laki-laki jangkung yang berdiri kikuk di depan unit kamar Gun.

Si mungil mengangkat kedua alisnya, “ada apa, Om Ju?”

Yang lebih tua menggaruk bagian belakang kepala, “ini buat adek,” ujarnya seraya menyerahkan kantung plastik. Gun mengambil kantung tersebut dari tangan Off lalu mengintip isinya, “es krim?”

Off menganggukkan kepala, “yang kemarin kan udah abis, jadi saya belikan lagi.”

Gun mengerutkan dahi, terlampau bingung dengan situasi yang ada. “Tapi, Gun gak minta?” Tutur si mungil.

“Saya inisiatif sendiri,” jawab Off membuat Gun menganggukkan kepala pelan, “Yay, makasih banyak Om Ju,” ujarnya lengkap dengan senyuman yang sampai ke mata, juga menunjukkan ceruk di pipi membuat Off mau tidak mau ikut menyunggingkan senyum.

“Om Ju baru pulang? mau masuk dulu atau langsung balik ke kamar?” tanya Gun tidak menyembunyikan senang yang dirasa.

“Langsung balik ke kamar aja deh, maaf ya ganggu, saya cuma mau ketemu kamu sebentar aja,” ujar Off lantas mengusak surai laki-laki yang lebih muda. Gun bisa merasa kedua pipinya memanas sementara Off yang tahu kalau si mungil tengah salah tingkah malah semakin gemas lalu ikut mencubit sebelah pipinya.

“ih! jangan cubit-cubit!” Seru Gun setengah menepis tangan yang lebih tua.

“Udah ya? saya balik ke kamar ya?”

Gun yang melihat laki-laki jangkung itu hendak ingkah buru-buru menarik lengan kemeja Off, sukses membuat yang lebih tua kembali menaruh atensi pada si mungil. Off mengerjapkan kedua matanya seperti paham akan intensi Gun, ia lantas menundukkan wajah. Alih-alih kecupan di pipi, Gun mengalungkan kedua lengan di balik leher Off seraya menaruh wajah di perpotonganya.

Off bisa merasakan dinginnya kotak es krim menyentuh punggung bagian atas tapi kepalanya lebih fokus pada sentuhan konstan di permukaan leher miliknya.

satu.. dua..

Off masih belum bisa mencerna apa yang tengah terjadi.

tiga.. empat..

Kedua tangan sang tuan pelan-pelan bergerak dan meraih pinggang ramping si mungil.

lima... enam...

Off berhasil merengkuh tubuh Gun dan membawanya semakin dalam ke dekapan.

tujuh... delapan...

Ada dua insan yang tengah berbicara tanpa kata, membiarkan sunyi menyampaikan diksi. Juga hangat yang mereka bagi dapat cukup menyalurkan apa-apa yang dirasa oleh keduanya. Di mata Gun, Off kini tengah memohon atas hal yang ia tidak mengerti. Tapi selagi Gun mampu, ia akan secara sukarela mengabulkan. Di sisi lain, Off mengucap sorai penuh syukur dalam hati berharap si mungil benar-benar paham meski tidak sepenuhnya.

ㅡ🌙

VIII. Dinner

“Lari-lari sampai akhirnya, bruk, dia nabrak punggung kakak kelas. Padahal udah diteriakin sama Gun dari jauh kalau di depan banyak gerombolan kakak kelas tapi dia ngeyel, akhirnya dia malu sendiri,” Gun tengah bercerita tentang New yang hampir telat mengumpulkan ulangan dan berniat untuk mengejar sang guru fisika yang sudah lebih dulu pergi dari kelas. Selain nada penuh semangat, kali ini Gun ikut mengangkat kedua tangannya sebagai peraga juga mengeluarkan latar suara sebagai pengiring cerita.

Off tidak pernah tidak bisa tersenyum tiap kali Gun membawakan cerita. Sebagian besar tentang kekonyolan yang pernah ia lewati di sekolah, atau kalau Off tengah beruntung, Gun akan bercerita tentang rumah, tentang keluarganya, tentang dirinya dan mimpi yang masih laki-laki mungil itu rancang. Gun lucu, terlampau lucu dan ia ingin seluruh dunia tahu kalau ada anak laki-laki mungil yang lucu tengah duduk dan bercerita sebegini hebohnya tepat dihadapan Off.

Maka yang selanjutnya dilakukan oleh laki-laki jangkung itu tidak lain adalah mengambil ponsel dari samping lengan sebelah kanan. Detik dimana aplikasi kamera sudah terbuka, ia segera mengarahkan lensa ponsel pada si mungil yang masih sibuk bercerita, “adek, gimana tadi nabraknya?” tanya Off usil, masih tidak bisa menyembunyikan senyum di bibir.

“Ih! Om Ju jangan rekam adek!” sahut Gun memajukan bibirnya.

“Yaudah, gak rekam tapi foto boleh, ya?”

si mungil menggumam panjang, “adek malu,” balasnya dengan suara pelan lantas menundukkan kepala enggan menatap lensa kamera ponsel milik Off.

“Nih lihat, bagus kok kayak candid.” Off memperlihatkan layar ponsel pada laki-laki di hadapannya lantas tidak melepaskan pandangan dari wajah sang tuan, benar-benar mempelajari perubahan ekspresi si mungil, takut-takut anak kecil itu marah sungguhan.

“Gaya banget Om Ju tahu candid,” sahut Gun kembali meledek yang lebih tua seraya memberikan cengiran.

Diam-diam Off menghela napas lega, tahu kalau lawan bicaranya sama sekali tidak marah. “saya masukin instagram ya?”

“Loh Om Ju main insta? kereeeen,” seru Gun setengah tidak percaya.

tangan Off terulur untuk mengusak puncak kepala si mungil, “dikira saya setua apa, hah?” ujarnya tidak berhenti mengusak surai hitam milik Gun.

“Eh?” Off menghentikan kegiatannya lantas fokus pada ponsel di genggaman. Ada ekspresi tidak suka yang kentara, yang omong-omong, baru pertama kalinya Gun lihat.

Gun mengangkat kedua alisnya, tidak ingin ikut campur dengan apapun yang Off lihat dalam ponsel. Si mungil hanya bisa berharap itu bukan kabar buruk lalu menyeruput minumannya. Lima belas detik berlalu, tiba-tiba saja ada satu laki-laki jangkung yang langsung menepuk pundak Off kelewat ramah.

Off mendengus tidak suka, tapi toh tetap meninju kepalan tangan yang laki-laki asing itu berikan.

“Halo Adek,” sapanya pada Gun juga. Sebagai anak yang tahu sopan santun, si mungil balas menganggukkan kepala sambil mengulas senyum.

“Mau ngapain sih, sana-sana,” titah Off pada laki-laki asing, jelas sekali enggan diganggu.

“Tega banget lo, gak mau kenalin apa sama sahabat lo ini.”

“Cih,”

“Halo Kak, aku Gun,” seru si mungil, berinisiatif mengenalkan diri, juga setengahnya karena ia ingin tahu siapa sebenarnya laki-laki asing yang mengganggu waktu makan mereka berdua ini.

“Arm,” laki-laki itu akhirnya menyebutkan nama seraya mengulurkan kepalan tangan yang langsung disambut oleh Gun.

“Boleh gak, saya pinjam Jumpolnya dulu? kita udah lama gak ketemu nih.” tanya Arm pada Gun.

Si mungil menatap Off yang sama-sama merasa bingung, lantas kembali menatap Arm. Seolah paham situasi, Arm kembali berujar, “Gun boleh duduk di meja itu dulu, sama Kak Alice namanya, bentar doang kok, ya?” kini Arm lebih terdengar seperti memohon tapi Gun enggan ingkah tanpa persetujuan Off.

“Gak apa-apa Adek, saya sama Arm emang perlu ngobrol. Janji cuma sebentar.” ujar Off. Satu kalimat dari yang lebih tua sukses membuat Gun permisi ingkah menuju meja yang disebutkan oleh Arm. Membiarkan dua laki-laki dewasa tersebut membicarakan apa yang perlu dibicarakan.

Hanya terpaut beberapa langkah, Gun menghampiri perempuan cantik yang mengenakan blouse biru langit, “uhm, hai Kak Alice?” sapa Gun, “boleh Gun ikut duduk di sini sebentar?”

Perempuan tersebut mengulas senyum manis, kalau Gun boleh menilai, senyum yang cukup membuat hatinya sedikit tenang meski ia masih merasa bingung dua ratus persen.

“Boleh,” jawabnya, “Gun, ya?”

“Iya, Kak,”

“Maaf ya, Arm udah lama banget gak ketemu sama Off soalnya, makanya dia agak agresif,” ujar perempuan itu tulus, sedangkan Gun hanya bisa mengulum senyum sebagai tanggapan. Si mungil membiarkan netranya melanglang, menapaki interior bistro juga pencahayaan yang bisa dibilang unik.

“Bingung, ya?” tanya Alice, membuat Gun kembali mengarahkan pandangannya pada perempuan tersebut.

“Iya, tapi ini bukan urusan Gun juga kan,” jawab si mungil seraya menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

“Kamu gak pernah tanya-tanya ke Off, memang?”

“Tentang apa?”

“Apapun, keluarga? Teman?”

“Uhm, Gun cuma tahu kalau Om Ju punya sahabat namanya Tay, terus teman kerja namanya Singto, eh,” Gun menelengkan sedikit kepalanya, “kalau soal makanan, kayaknya lebih banyak,”

“Om Ju?”

“Eh, maksudnya, Off,” Gun setengah bergidik saat menyebutkan nama Off, entah kenapa rasanya aneh, ia sedikit tidak menyukainya.

“Kalian sering makan bareng?”

Gun bergumam seraya menganggukkan kepala, “kalau Gun gak masak, palingan kita order.” jawabnya enteng, juga sedikit terkejut dengan ekspresi Alice setelah mendengar tuturnya. Takut-takut ia mengucapkan hal yang salah.

Perempuan itu membuka mulutnya berniat untuk kembali bertanya, tapi saat pandangannya bertemu dengan seseorang di belakang Gun, ia kembali tersenyum dan malah berujar, “eh, udah selesai tuh,”

Gun menoleh ke meja miliknya, lalu kembali menatap Alice untuk pamit, “Dah Kak Alice,”

“Sampai ketemu nanti, Gun.” Alice melambaikan tangannya pada Gun yang juga dibalas seraya si mungil ingkah menuju mejanya sendiri.

Setelahnya, Gun merasa aneh. Ia berkali-kali melirik Off yang masih betah menyetir pulang ke rumah dalam diam. Biasanya memang Gun yang selalu inisiatif untuk berbicara, entah bertanya tentang hal-hal random atau bercerita tentang apapun yang lewat di kepala. Agaknya, pertanyaan ringan dari Alice sedikit mengganggu kepala si mungil yang baru sadar kalau ia tidak begitu mengetahui tentang laki-laki jangkung di samping.

Tapi memangnya Gun perlu tahu? pikir si mungil.

Meski begitu, rasa tidak nyaman tetap tinggal membuat Gun memilih diam sepanjang perjalanan pulang. Sampai-sampai ia tidak sadar kalau mereka berdua sudah sampai di parkiran basement.

“Adek? Gak turun?” tanya Off melihat Gun masih tidak berkutik.

Gun mengerjapkan matanya berkali-kali, “oh iya, ini mau kok,” ujarnya lantas melepaskan seatbelt dan keluar dari mobil.

Lagi, perjalanan dari basement menuju lantai paling atas diliputi hening. Gun berniat untuk langsung masuk ke unit kamarnya, tiba-tiba ingat sesuatu lantas berbalik menghampiri Off yang sibuk mencari kunci unit kamarnya. Gun menarik-narik ujung lengan sweater milik Off untuk mendapatkan atensi. Sementara yang lebih tua sedikit bingung meski sedetik kemudian paham dan menurunkan wajah.

Cup.

Gun langsung memutar tubuhnya dan masuk ke dalam rumah tanpa menoleh lagi. Sementara Off sukses dibuat bergeming untuk kesekian kalinya.

ㅡ🌙

VII. Kenalan

“Terus, akhirnya mereka minta pulang. Capek banget gak sih? Udah dituruti juga, mana kekeh maunya Gun ikut. Padahal kan Gun udah bilang bakal capek ya,”

Laki-laki mungil itu menghentikan sebentar ceritanya untuk menyeruput kola. Lantas kembali berujar, “untungnya ada tukang gulali, jadi New gak gitu ngambek. Om tahu kan? Permen yang dari gula aren itu, yang bisa dibentuk jadi bunga, sikat gigi, atau balon.” Ujarnya bersemangat sementara Off sedari tadi menganggukkan kepalanya, lantas bergumam sebagai afirmasi.

Gun mengambil potongan ayam dan memakannya dalam satu kali suap, kali ini ia memilih fokus menghabiskan makanan yang baru setengahnya. Sementara Off masih mengunyah makanan di mulut. Ada bunyi ketukan pintu sebanyak tiga kali, tanpa repot bangkit Off malah berteriak, “masuk aja, Peng,”

Jarak sekitar lima belas detik sampai seseorang dibalik daun pintu menampakkan batang hidungnya. Tay sedikit kaget dengan pemandangan yang disuguhkan, sahabatnya tengah makan bersama adek tetangga sebelah. Terlebih, ia menggunakan alat makan yang lebih dari biasanya.

“Eh, halo,” sapa Tay pada Gun yang dibalas dengan anggukkan kepala serta seulas senyum.

“Es krimnya gua taruh kulkas ya,” sahut Tay pada Off lantas beranjak ke area dapur, sekasual itu. Gun sedikit mengangkat kedua alisnya. Dalam hati mengambil catatan bahwa pertemanan mereka lebih dari sekedar 'teman'. Mungkin, seperti dirinya dan Kit.

“Berkasnya?” Off bersuara, menatap Tay yang sudah selesai menaruh dua kotak es krim di lemari pendingin.

“Nih, gua taruh mana?” Ia menunjukkan setumpuk kertas dari dalam tas yang ia gemblok.

“Di meja situ aja, nah,” ujar Off menunjuk meja di sudut dengan dagunya.

“Malam ini kelar ya Peng, besok lo kan harus ke Mercure lagi,”

Off mengerang, “terus Singto yang bakal ambil? Emang dia gak ke Mercure?”

“Singto ke Mercure buat ambil berkas ini doang, katanya. Paling nanti lo di chat sama dia buat mastiin.”

“Oke,” Off mengacungkan ibu jari yang berlumuran minyak dari ayam goreng, “eh, Peng kenalan dulu,”

Tay mengulurkan tangan yang sudah dikepal, “Tay, kamu adek tetangga yang kemarin ngurusin Off ya?”

Gun meninju kepalan tangan Tay, “Gun,” balasnya tersenyum, “bukan ngurusin, tapi bantuin Om Ju,” sahutnya.

Tay mengangkat kedua alisnya, tidak bisa menyembunyikan rasa kaget lantas ia melirik Off yang mengendikkan bahu. Tay manggut-manggut, seolah paham sesuatu tengah terjadi. Tidak sampai semenit, laki-laki itu bangkit dan pamit pulang.

Gun yang lebih tertarik dengan tumpukan berkas dari Tay tahu-tahu bertanya, “Om Ju, habis ini mau kerja?”

“Iya, gara-gara Singto lupa ngasih berkasnya tadi siang.”

Si mungil mengerjapkan mata, sedikit canggung dengan nama baru yang disebutkan. “Uhm, kalau Gun masih mau main di sini, boleh gak? Janji gak bakal ganggu deh,” ujar Gun.

“Memangnya, kamu nggak mau belajar?”

“Gun capek, kan tadi sore udah belajar bareng. Pengen santai aja, tapi kalau di kamar sendirian bawaannya mau buka buku terus.” Aku Gun seraya memajukan bibirnya.

“Yaudah, boleh. Tapi saya sambil baca berkas, gak apa-apa?”

“Gak apa Om! Gun juga paling cuma numpang main hp sambil rebahan aja,” sahut si mungil diiringi cengiran khasnya.

ㅡ🌙

VI. Spaghetti Meatball

Gun membuka pintu unit kamarnya setelah tiga ketukan terdengar, menampilkan sosok laki-laki jangkung yang ditunggu-tunggu. Gun menarik kedua sudut bibirnya ke atas.

“Hai,” sapa Gun lantas mundur tiga langkah seraya membuka daun pintu lebih lebar sebagai gestur mempersilahkan tamunya masuk.

Off mengulas cengiran, ia memberi kantung plastik berisi kotak dengan merk bakery terkenal pada Gun. Yang diberi mengangkat kedua alisnya bingung, “kok beli cake?”

“Gak apa-apa, kan kamu udah bikin makanan. Saya gak enak kalau gak bawa apa-apa.” Jawab Off masih berdiri canggung di area foyer.

“Makasih Om Ju,” kata si mungil saat melihat isi kotak tersebut. Lalu ia menghilang ke dapur untuk menaruhnya di dalam lemari pendingin. Gun berbalik dan merasa bingung saat netranya mendapati Off tidak mengikuti langkah mungilnya.

“Om Juu? Sini masuuuuk.” Panggil Gun, ia melepas celemek berwarna biru pastel dan menaruh asal di atas meja dapur. Kedua tangannya mengambil piring berisi spaghetti dengan topping baso buatannya lantas menaruh di atas meja ruang tengah.

Off melangkah dengan ragu-ragu, merasa sedikit canggung dan bingung harus kemana. Gun yang merasa gemas, tahu-tahu menarik lengan yang lebih tua untuk membuatnya duduk di atas sofa. “Duduk di sini,” ujar Gun kemudian ingkah lagi.

“Ada yang perlu dibantu nggak?” Tanya Off, tidak melepaskan pandangan dari laki-laki mungil yang masih sibuk menyiapkan alat makan dan membawa gelas berisi air putih.

“Udaah,” ujar Gun lalu ikut duduk bersama Off. “Ini punya Om Ju,” ia menyerahkan satu piring setelah menaruh garpu di atasnya, “cake-nya Gun simpan di kulkas dulu, abis ini kita makan bareng-bareng ya Om Ju,”

Off mengangguk paham lalu mengambil garpu dan berujar, “Selamat makan, adek,”

“Selama makan, Om Ju,” balas Gun kemudian mereka berdua mulai makan dalam diam.

Tidak butuh waktu lama untuk kedua insan tersebut menghabiskan makanannya, karena memang ini sudah lewat jam makan malam.

“Om Ju mau minum apa? Gun bikinin teh madu, mau?” Tanya Gun setelah ia menelan suapan terakhir. Off menatap si mungil hendak menjawab, tapi urung karena melihat ada sisa saus di sudut bibir Gun. Tangannya mengulur berniat untuk membersihkan dengan ibu jarinya.

“Eh?” Gun terperanjat, ia bisa merasakan wajahnya memanas.

“Maaf, ada saus di bibir kamu” jelas Off sedikit salah tingkah. Si mungil cepat-cepat mengambil tisu di atas meja, memberikan selembar pada yang lebih tua sementara satu lagi untuknya membersihkan bibir.

Gun bangkit mengambil piring kosong keduanya, lantas ingkah ke dapur karena malu. “Om mau cake-nya, nggaaak?” Teriak Gun. Off menahan tawa, lantas menghampiri si mungil.

“Mau,” jawab yang lebih tua, suara yang tiba-tiba terasa dekat sukses membuat si mungil terlonjak.

“Ih! Ngagetin Om!” Protes Gun yang disambut dengan kekehan Off. Si mungil menggeser potongan cake pada yang lebih tua.

“Tumben kamu mau masak, katanya kalau hari biasa capek?”

Gun menyerahkan sendok kecil pada Off, “hari ini Gun dapat seratus di ulangan fisika!” Seru si mungil bersemangat,

“Wow,” Off tidak menyembunyikan rasa kagumnya, “Memang materinya sulit?”

“Lumayan, tentang optik.” Balas Gun, “tapi bukan itu poinnya, ini ulangan Pak Botak, jarang banget ada yang bisa dapat seratus.”

“Loh, memangnya kenapa?” Tanya Off, penasaran sungguhan.

“Beliau suka bikin soal yang mengecoh, selama diajarin beliau, Gun baru pertama kali dapat seratus dan ini di tahun ketiga!” Seru Gun tidak percaya pada fakta yang disebutkan.

“Oh iya, kamu sekarang kelas tiga ya, sebentar lagi masuk kuliah dong?” Off melanjutkan pembicaraan.

Gun bergumam sebagai jawaban, “sebentar lagi pendaftarannya dibuka, tapi Gun belum tahu mau daftar di kampus apa dan jurusan apa.” Akunya, sedikit memajukan bibir.

“Memangnya gak ada pelajaran yang disuka?”

“Bukan gitu,” Gun menimbang-nimbang, “mungkin karena Gun dituntut sempurna dalam semua pelajaran, jadinya semuanya menarik buat Gun asal dipelajari Gun bisa cepat ngerti.”

“Tapi pasti ada yang disukain kan? Yang kalau kamu pelajari rasanya menyenangkan sesulit apapun materinya?” Off menaruh sendok, lantas menangkup kedua lengan di atas meja untuk menatap si mungil lekat-lekat.

“Hm?” Gun sedikit memiringkan kepalanya, berpikir ulang tentang beberapa mata pelajaran. “Gun gak yakin.. tapi kayaknya ada beberapa.”

Off mengulas senyum, “nah, kamu bisa mulai dari situ, pilih yang paling kamu senangi aja, Gun.” Si mungil sedikit terkejut, merasa aneh saat namanya disebutkan oleh Off. Seperti ada yang berbeda, tapi Gun tidak tahu apa.

“Okay!” Gun menampilkan cengiran khas, “makasih udah mau dengarin cerita Gun dan kasih solusi ya Om Ju,” ujar si mungil tulus.

“Ini udah selesai, Saya harus ngapain lagi?” Tanya Off setelah menghabiskan teh madu buatan Gun.

“Pulang? Atau Om Ju mau bantu cuci piring?” Tanya Gun usil.

“Yaudah, tapi ajarin saya gimana cuci piringnya ya,” jawab Off seraya bangkit menuju sink.

Gun melongo setengah tidak percaya, entah karena fakta kalau laki-laki yang lebih tua tidak bisa mencuci piring atau karena Off benar-benar menanggapi perkataan asalnya dengan serius.

ㅡ🌙

V. Berbelanja

Bunyi derit roda trolley menemani langkah kaki mereka di antara rak-rak berisi deretan produk. Gun melirik daftar belanjaan yang ia ketik cepat-cepat di ponsel dalam perjalanan menuju supermarket. Setelah tahu kalau daftar yang sebelumnya dibuat memiliki satu barang yang tidak senonoh, si mungil memutuskan membuat ulang daftar belanja di ponsel. Bisa-bisa tawaran Om yang kini tengah mendorong trolley hangus begitu saja. Tiba-tiba Gun merona, membayangkan reaksi yang lebih tua jika ia sempat membaca barang yang ditulis New. Lantas ia menggeleng kepalanya pelan,

Fokus, Gun.

“Adek, perasaan tadi udah ambil deterjen deh?”

Gun melongok ke dalam keranjang dorong, “ih Om, itu pewangi pakaian, beda lagi tahu.” Jawabnya lantas kembali mencari satu produk dengan merk tertentu, yang biasa ia gunakan.

“Apa bedanya yang bubuk dan yang cair?” Tahu-tahu, Off sudah berdiri di samping Gun, ikut mengamati apa yang Gun lihat.

“Beda bentuknya? Aku lebih suka pakai yang cair sih soalnya lebih cepet larut di air, juga lebih hemat daripada yang bubuk.”

“Ohiya? Punyaku cair juga sih, itu rekomendasi Tay.” Lantas menunjuk salah satu merk dengan telunjuk, membuat Gun sedikit meringis karena melihat harga yang tertera.

Laki-laki mungil itu mengangkat alisnya seraya menatap Off, “temen om?” Tanya si mungil lantas mengambil salah satu deterjen cair yang biasa digunakan kemudian menaruhnya ke dalam keranjang dorong.

“Iya, nanti aku kenalin deh.” Jawab Off yang hanya ditanggapi dengan gumaman oleh Gun, merasa sedikit aneh tapi enggan memikirkan lebih lanjut.

“Kesini Om,” ajak Gun menarik bagian depan trolley, menuntun Off untuk segera mengikuti langkah mungilnya. Gun mengambil beberapa jenis sabun, untuk mencuci piring, untuk menyikat kamar mandi, sampai akhirnya sabun untuk membersihkan diri.

“Adek pakai cetaphil aja, bagus loh.” Off berujar saat netranya melihat Gun tengah memilih sabun mandi.

“Uhm, nggak ada di sini, itu harus ke Watson.”

“Yaudah, nanti aja belinya kalau gitu,”

“Eh, nggak, gak apa-apa, aku beli yang biasa kupakai aja, Om.” Sahut si mungil lantas mengambil sabun cair antiseptik.

“Sekarang beli cemilan, yang banyak boleh ya om?” Tanya Gun setelah ia memastikan seluruh kebutuhan sehari-hari sudah ada dalam keranjang dorong miliknya.

“Boleh,” jawab Off ikut berbelok menuju area makanan ringan. Tetapi netranya menangkap tumpukan karung beras lalu berujar, “adek gak mau beli beras juga? Kamu kan suka masak di rumah.”

“Boleh, Om?”

“Boleh dong, sekalian bahan makanan juga boleh.”

“Bahan makanannya buat sampai besok aja deh, Gun kalau hari biasa malas masak karena keburu capek.”

Off mengerutkan dahi, tahu kalau dua hari lalu saat ia jatuh sakit, si mungil membuatkan sop ayam untuknya. Lantas perasaan tidak enak mencuat dari dalam hati. Sementara di satu sisi, Gun sudah beralih memilih beberapa sayuran yang sudah diikat.

“Om, om,” Gun menarik ujung lengan sweater yang Off kenakan, keduanya tengah berjalan menuju kasir setelah Gun selesai memilih makanan ringan yang ia inginkan.

“Kenapa? Ada yang kurang?” Tanya Off seraya menoleh pada laki-laki mungil yang masih betah menarik lengan bajunya.

“Uhm.. kalau Gun minta beliin alat sekolah juga, boleh nggak?”

“Memangnya mau beli apa?”

“Gun mau beli isi binder dan pulpen sarasa banyak, eh, maksudnya buat stock sampai nanti-nanti,” jawabnya seraya menampilkan cengiran lucu tak ayal membuat yang lebih tua ikut tersenyum.

“Oke, abis ini kita ke gramedia ya, setelahnya makan baru kita pulang,”

“Makan?”

“Iya, kamu nggak lapar, memang?”

Gun memegang perutnya dengan kedua tangan, ia sama sekali lupa kalau belum makan siang. Juga ini sudah lewat dari waktunya, laki-laki mungil itu baru sadar kalau ia tengah kelaparan.

“Lapar, om,” ujarnya lagi-lagi menunjukkan deretan gigi putihnya.

“Nah, kalau gitu, deal?” Off mengulurkan sebelah tangan yang terkepal pada Gun.

Laki-laki mungil itu lantas meninju kepalan tangan yang lebih tua, “Deal!” Serunya lantas terkekeh. Dalam hati ia mengambil catatan kalau tetangganya ini terlampau baik dan saat ia bilang mau menuruti segala keinginannya, Gun tahu kalau laki-laki jangkung itu benar-benar jujur dalam tutur yang diucap.

Aduh, untung dia gak beneran beli mobil. Pikir Gun saat ia memerhatikan laki-laki yang lebih tua tengah melakukan transaksi di kasir. Penuh adorasi, karena di matanya kini, Off terlihat keren dan menyedihkan sekaligus.

ㅡ🌙