Tersandung Pelik
Gun menggenggam ponselnya erat-erat. Kedua netranya tidak berpindah dari televisi yang tengah menyiarkan infotainment terkini berisi gossip mengenai kehidupan para selebriti yang diragukan kebenarannya. Bahkan laki-laki mungil itu tidak mengedipkan matanya, raut wajah yang mulai mengeras karena alih-alih selebriti papan atas yang tengah diberitakan malah kekasihnyaㅡyang merupakan pebisnis, bukan selebriti. Laki-laki jangkung bernama Off Jumpol tengah diberitakan di tayangan infotainment akibat foto blur dirinya bersandingan dengan satu perempuan cantik yang beredar di laman internet sejak dua hari lalu.
Layar televisi tiba-tiba berubah menjadi gelap, memperlihatkan pantulan refleksi dirinya dengan wajah marah yang kentara.
“Mata lo udah mau keluar, sumpah,” seru Chimon dari belakang.
“Chiiiiii” rengek Gun, memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah Chimon yang santai memakan tempe goreng sambil berdiri tepat di belakang sofa.
“Ngapain sih nonton begituan, sumpah, adanya lo makin kesal Kak” Chimon memutar bola matanya kemudian berlalu ke arah meja makan untuk kembali mengambil tempe.
“Tadinya kan mau nonton netflix tapi pas dinyalain malah berita sampah itu,”
Chimon menjatuhkan bokongnya di atas sofa, tepat di samping kakaknya seraya bergumam, “padahal udah capek-capek gak lihat twitter, eh nyalain televisi malah ketemu juga,” ledek Chimon yang disambut dengan pukulan bar-bar tepat di lengan dan bahu.
“Ish! Gak tahu ah! Sebal!”
“Ya marahnya jangan ke gue dong? sana ke pacar lo!” ujar sang adik seraya beringsut menjauh.
“Gak dibalas,” jawab Gun cemberut, “udah tiga hari chat gue gak dibalas sama dia, Chimooooon!” Gun menghentakkan kakinya lalu memukul lengan sofa dengan penuh kekuatan, seolah ia tengah memukul kekasihnya sendiri yang terpaut berkilo-kilometer jauhnya.
“Dah lah, emang beneran pacaran kali,”
“Anjing lo,” Gun melempar bantal sofa pada Chimon, “terus gue apa kalo dia pacarnya?”
“Em... selingkuhan?”
“Bangsat! Bangsat! Chimon bangsaaaatt!!!” Gun mengambil satu lagi bantal sofa kemudian memukuli adiknya bertubi-tubi.
“Aduh! Kak, stop,” Chimon menahan tahan mungil sang kakak, “lo jelek banget kalau lagi uring-uringan gini asli,”
“Gue tuh kesal!” Seru Gun setengah berteriak, “lo malah nambah bikin kesal,”
Chimon menghela napasnya, “gue tahu ya, lo gak chat dia lagi kan setelah berita ini ke up?”
Gun mencebik, benci pada fakta bahwa sang adik begitu tahu tentangnya. Ia seperti buku yang terbuka, mudah dibaca begitu saja.
“Telepon gih,”
“Siapa?”
“Bang Purim,” jawab Chimon asal, “ya Kak Off lah!” Sungutnya kesal.
“Gak mau. Gue lagi marah.”
Chimon mengusap wajahnya, “ampun deh,”
Gun bangkit meninggalkan Chimon yang masih mengunyah tempe goreng, melangkahkan kakinya lebar-lebar tanda kalau sang tuan tengah dilanda amarah. Lalu menutup pintu kamarnya keras-keras. Chimon bergidik, kalau sudah begini akan sulit bagi calon kakak iparnya untuk mengambil kembali hati kakaknya, kecuali Off tiba-tiba muncul depan rumah malam ini juga.
Dua puluh menit berlalu, Chimon yang masih betah menghabiskan tempe goreng dalam mangkuk yang akhirnya ia bawa dari atas meja makan ke ruang tengah mengerutkan dahinya bingung melihat figur sang kakak mondar-mandir tidak berhenti.
“Lo duduk bisa gak? Pusing gue lama-lama lihatnya,” gertak Chimon jengah.
Gun berhenti, memegang charger ponsel yang baru saja ia cabut dari multitap di samping televisi. “gue mau ke Pontianak.” ujar sang kakak menatapnya mantap.
Chimon hampir menjatuhkan sisa tempe goreng di tangannya, sang adik menatap Gun dengan tatapan horror, “lo serius?”
Gun menganggukkan kepalanya mantap, “tadi Mike telepon, dia udah pesanin gue tiket, berangkat jam tujuh.” jawab laki-laki mungil itu lantas duduk di samping adiknya. “Chi, antarin gue ke bandara, ya?”
“Bentar-bentar, ini lo marah sama Kak Off tapi lo yang nyamperin ke Pontianak? Gak salah?” Chimon mengangkat sebelah alisnya, gestur yang kalau-kalau Gun sedang tidak dilema setengah mati, akan terlihat amat menyebalkan.
“Gue mau ontrog tuh orang tua nyebelin!” jawab Gun seraya mengepalkan tangannya, dramatis. Chimon mendengus tidak percaya.
“Lo kayaknya udah stress banget deh kak,” ujar Chimon menanggapi tingkah sang kakak yang terbilang ajaib.
Gun balik cemberut seperti sebelumnya, “Chi, lo harusnya dukung gue kek, apa kek,”
Chimon mengangkat kedua bahunya, “gimana ya kak, gue bingung aja cuma ya terserah lo deh,”
“Lo bikin gue nyesel nerima tawaran Mike tahu gak,” ucap Gun mendekap tubuhnya sendiri.
“Emang Kak Mike ngomong apa deh?” Chimon mendadak tertarik dengan apa yang sekertaris calon kakak iparnya utarakan. Ia mengambil tisu di atas meja kopi serta menyeruput es teh manis yang sedari tadi sudah berada di situ.
“Awalnya gue chat Mike kan, nanya kenapa Off gak balas pesan gue, apa dia sibuk banget atau gimana,” Gun mengangkat kedua kakinya dan dilipat di atas sofa, “terus tiba-tiba gue ditelepon dong? Gue kira kan ada sesuatu yang genting, ternyata dia sendiri gak bisa jelasin dan nawarin buat ke sana. Katanya kalau mau dia bakal pesanin tiket,” buru-buru Gun merogoh kantung celana training yang tengah ia kenakan, mengeluarkan ponsel pintar dan menunjukkannya pada sang adik, “nih, tiketnya udah dibeli.”
Chimon menganga, setengah tidak percaya dengan apa yang baru saja dijelaskan kakaknya, “sekarang gue tanya serius ya,” ujarnya lantas memegang kedua bahu sang kakak, “lo beneran mau ke Pontianak?”
Gun menatap adiknya lurus-lurus, lantas kepalanya mengangguk pelan. “Gue kangen Off, gue mau ngomong langsung kalau emang dia gak mau lanjut sama gue, atau kalau ini cuma salah paham, gue mau dengar langsung dari dia.” Jelas Gun, bahunya mengendur tanda kalau ia sudah menyerah.
Chimon menghela napas, “oke gue antar lo ke bandara, mau gue bantu packing, gak?”
Gun mengulas senyum seraya bangkit menarik lengan sang adik naik ke lantai dua menuju kamarnya. “bantuin lipatin baju,”
Bandara Supadio tergolong sepi, mungkin karena Gun sampai di saat malam mulai larut. Beberapa orang berlalu lalang tapi tidak sepadat Hussein saat ia berangkat tadi. Tangannya bergerak pandai memberikan pesan pada Mike, mengabari kalau ia sudah mendarat dengan selamat. Pesannya dibaca dengan cepat dan laki-laki berkumis itu memintanya menunggu sekitar lima belas menit, berkata kalau ia sebentar lagi sampai untuk menjemput si mungil.
Gun menutup ruang obrolannya dengan Mike dan memilih untuk mengabari Chimon, sesekali membuka laman sosial media untuk membunuh waktu. Sengaja ia menunggu di depan pintu kedatangan agar Mike mudah menemukannya. Tapi saat Gun mengedarkan pandangan, alih-alih Mike, ia malah menemukan figur laki-laki jangkung kelewat familiar tengah menghampirinya dengan langkah lebar.
Off langsung menarik tubuh Gun dalam dekapan saat sang tuan sampai di hadapan laki-laki mungil itu, “Cil, kamu kok gak bilang mau kesini? Aku panik banget pas Mike bilang kamu udah di bandara tahu nggak,”
Aroma tubuh Off adalah satu-satunya hal yang membuat Gun sadar kalau ia punya rindu yang menumpuk. Bahwa campuran musk dan bedak bayi yang sudah tinggal sepuluh persen mampu membuat laki-laki mungil itu merasa semakin kecil dalam rengkuhan kekasihnya. Tiba-tiba saja, Gun merasa sedih. Gulungan ombak perasaan yang datang tak ayal membuat sang tuan berkaca-kaca. Gun balik mendekap laki-laki jangkung itu lantas menangis sejadi-jadinya.
“Gun? Kecil? Sayang? kok nangis sih? Aduh...” Off mendorong pelan bahu Gun demi dapat menatap wajah si mungil yang sudah penuh dengan air mata bak air terjun.
“Marah... sama... Papii!” jawab Gun disela isaknya. Kesal, sedih, dan rindu bercampur jadi satu. Gun sendiri bingung perasaan mana yang harus ia tunjukkan pertama kali. Mungkin seharusnya yang pertama.
Off mengusap air mata yang tak kunjung berhenti, ralat, sulit berhenti jika ia sudah jatuh dari netra milik Gun. “Iya.. maaf ya akunya sibuk terus, kamu masih mau marah?” tanya Off mengalah, tahu kalau ia sudah terlalu lama mengabaikan kekasihnya, salahkan proyek besar dan Mike yang memaksanya untuk fokus. Juga perjanjian bertatap muka dua minggu sekali yang lagi-lagi ia ingkari. Entah sudah berapa banyak dosa yang ia buat pada laki-laki mungil ini, Off Jumpol hanya bisa berharap kalau ia masih bisa tetap tinggal.
Gun menganggukkan kepalanya, ia tidak mau berbicara lagi. Tahu kalau hanya akan mengeluarkan rentetan kalimat tidak penuh. “Kita pulang ke rumah sekarang, oke?” Tawar Off yang langsung diamini oleh si mungil.
Perjalanan pulang ke rumah dipenuhi oleh isakkan Gun yang tidak kunjung berhenti. Off sesekali melirik kekasihnya, khawatir sekaligus bingung bagaimana harus membuat Gun berhenti menangis. Biasanya ia punya sejuta cara dan kalimat yang mampu membuat si mungil lupa perihal rasa sedihnya lantas berhenti meski hanya sebentar. Tapi kepala Off sudah penuh dengan hal-hal yang lebih kompleks. Mangkuk miliknya terlanjur tumpah ruah sehingga ia kesulitan mencari celah agar dapat kosong dan menampung air mata Gun.
Maka keduanya sama-sama diam hingga mobil Off sukses masuk ke garasi rumah. Gun menghapus jejak air mata di pipi dengan kasar lantas menarik napas dalam-dalam, “Papa udah tidur belum?”
Off melirik jam di pergelangan tangan, “biasanya sih udah masuk kamar, gak tahu kalau-kalau beliau nungguin kamu sampai,” jawab Off sepenuhnya yakin kalau Mike juga memberi tahu sang ayah perihal kedatangan Gun.
Gun mengangguk lantas turun dari mobil, mengambil ranselnya di kursi penumpang dan menunggu Off menurunkan koper kecilnya. Laki-laki mungil itu membiarkan tuan rumah berjalan lebih dahulu. Seperti yang sudah bisa ia tebak, rumah besar itu terlampau kosong. Ini memang bukan kunjungan pertama, tapi Gun selalu berjengit tiap kakinya menyentuh lantai keramik kelewat dingin akibat sepinya penghuni.
“Papa!” Gun mengulas senyum saat netranya menangkap laki-laki paruh baya yang masih setia duduk di atas sofa dengan televisi yang menyala.
Ayah Off balas tersenyum lantas bangkit untuk menyambut Gun, “senang akhirnya kamu ke sini lagi,”
Gun melepaskan pelukan mereka, “maaf ya, Gun baru sempat kesini lagi,” ujarnya menatap Ayah Off dengan pandangan bersalah.
“Gun pasti capek, mending langsung istirahat ya?” Ujar Ayah Off yang dibalas dengan anggukkan oleh Gun, “kamu jangan gangguin Gun dulu, Ko,” ujarnya lagi kali ini menatap anak semata wayangnya dengan sengit.
“Aku lagi yang kena,” keluh Off sukses membuat Gun terkekeh.
Tidak mendengar titah ayahnya, Off setengah menarik tangan Gun untuk naik ke lantai dua dan langsung masuk ke kamarnya alih-alih kamar tamu. Suara pintu ditutup dari belakang punggung seolah menjadi isyarat bagi Gun kalau ia sudah bisa kembali menangis lagi. Maka air terjun yang sempat berhenti kini kembali tumpah. Off menghela napas, tahu kalau Gun masih merasa emosional.
Pelan-pelan, sang tuan membawa laki-laki mungil itu duduk di pinggir ranjang sementara ia duduk bersimpuh di atas karpet tepat di hadapan Gun.
“Cil udah dong...” Bujuk Off, “dari bandara ke sini tuh hampir empat puluh menit, masa sekarang kamu nangis lagi,”
Gun menggelengkan kepalanya kuat-kuat, ia sendiri tidak tahu kenapa susah sekali rasanya untuk berhenti. Ditambah perasaan yang sebelumnya ia simpan rapat-rapat, yang ia coba sembunyikan di bawah kolong tempat tidurnya, yang ia pindahkan secara keseluruhan ke dalam kotak pandora kini menyeruak di waktu yang bersamaan. Si mungil kewalahan, dan Off terlampau bingung dibuatnya.
“Ya ampun Cil sampai ingusan!” Off berkata dengan nada dilebih-lebihkan, “tuh kan, tuh matanya merah,”
“Berisik, Papiii!” Rengek Gun sebal, tahu kalau Off hanya meledeknya agar ia berhenti menangis. Gun menarik ingus yang turun, lantas menghapus jejak air mata yang lagi-lagi dibuat baru.
“Cil, udah... Nanti kamu sakit terus gak bisa jalan-jalan di sini,”
Gun menarik napas dalam-dalam berusaha menggapai tenang, “aku kesini tuh mau marahin kamu! Kamu nyebelin banget tahu gak? Kamu tuh punya ponsel buat apa? Pajangan doang? Kenapa gak bisa... Balas.. hiks..” lagi-lagi Gun terisak di antara kalimatnya.
Off menggenggam tangan si mungil, mengisi ruang di antara jari-jari sang tuan dengan miliknya. “Aku tuh... Kangen.. tahu gak!” Sentak Gun, terlampau kesal, “terus foto kamu sama perempuan.. hiks.. aku tuh sebenarnya apa!” Ujarnya lagi, dengan penekanan di akhir kalimat.
Off mengerutkan dahinya, “perempuan? Siapa?”
Gun menarik ingus yang turun untuk kesekian kali, lantas mengerjapkan kelopak mata berharap airnya kering. “Kamu beneran gak punya ponsel, ya?” Tanya Gun sinis.
Off mengendurkan bahu, lantas menaruh dagunya di atas paha sang kekasih. Menatap lekat-lekat netra Gun, “maafin aku, ya?” Ujarnya seperti anak kucing tengah meminta atensi majikan.
“Kamu gak mau jelasin apa-apa gitu ke aku?” Tanya Gun sepenuhnya bingung dengan tingkah Off. Kekasihnya itu sama sekali tidak melakukan pembelaan, seperti mengaku salah dan siap menerima hukuman apapun.
Off mencebik, “ya aku tahu aku salah, aku yang gak ngabarin kamu, aku juga yang gak bisa ke Bandung dua minggu kemarin, aku gak mau penjelasanku cuma jadi pembenaran atas apa yang udah aku lakuin ke kamu, karena semuanya emang salahku,” tutur Off panjang lebar.
Gun melepas genggaman tangannya, lantas beralih menangkup kedua pipi Off. “Terus, perihal foto itu, kamu yang salah juga?”
Lagi-lagi, Off mengerutkan dahinya, “foto apa sih?”
Gun membulatkan matanya, “kamu beneran gak tahu? Mike gak kasih tahu?” Tanya Gun setengah tidak percaya.
Laki-laki mungil itu buru-buru mencari ponsel yang ia simpan di kantung depan ranselnya, lantas mengetik beberapa kata sampai akhirnya ia menunjukkan layar tersebut tepat di depan wajah Off. Butuh waktu delapan detik untuk kekasihnya paham, Gun tidak melepaskan pandangannya dari wajah Off sehingga ia dapat melihat dengan jelas perubahan ekspresi yang kentara. Jelas sekali Off baru melihat berita ini.
“ANJ-” Off menelan umpatannya, ia hampir berteriak di tengah malam kalau-kalau Gun tidak segera menaruh sebelah telapak tangan di atas bibir sang tuan.
“Cil, nggak gitu..” Off mengusak surainya kasar, “serius cuma kamu, gak ada yang lain,
Astaga pantes aja kamu marah ya, gak apa-apa deh kamu marahin aku, bentak-bentak aku, tapi aku mau kamu tahu kalau gak pernah ada yang lain, cuma kamu Cil.”
Gun tidak pernah melihat Off segusar ini, laki-laki jangkung itu tengah menahan amukan dalam diri dan Gun dapat dengan jelas melihatnya. Off berang, ia bisa saja melempari wajah seseorang dengan vas bunga di atas nakas samping tempat tidur saking kesalnya. Tapi laki-laki jangkung itu meredam amarahnya, tahu kalau ada yang lebih penting.
“Perempuan itu siapa, memang?” Tanya Gun pelan, kini tidak ada nada menuntut di dalamnya.
Off menghela napas panjang, “kolega aku, kita emang ketemu di resto sekalian makan siang. Kamu tahu kan kerjaan aku ketemu orang, bahas kontrak, hal-hal yang bosanin dan selalu diiringi obrolan kaku. Dia tuh sama kayak aku, gak biasa formal gitu jadi ngajak ketemuannya di resto. Bahas kerjaan doang kok, suer deh,” Off menunjukkan sebelah tangan membentuk huruf V sebagai gestur meyakinkan lawan bicaranya.
“Padahal dia cantik, Papii,” ujar Gun sama sekali tidak ada hubungannya dengan kalimat penuh dari Off.
“Tetap cantikan kamu,”
Huwek!
Gun buru-buru menutup mulutnya, berpura-pura mual setelah mendengar tutur dari Off.
“Bener kok, kamu paling cantik sedunia,” ujar Off menaruh kedua tangannya di samping tubuh Gun, lantas pelan-pelan bangkit dari duduk bersimpuh terus maju menghampiri wajah si mungil yang sudah memerah karena malu.
Off sukses mencuri kecup atas bibir kekasihnya, “maaf ya? Kamu pasti uring-uringan,”
Gun menaruh tangannya di atas bahu Off, semula untuk menahan sang kekasih agar tidak mendekat tapi sekarang pelan-pelan bergerak mengalungi leher Off.
“Kamu paling nyebelin sedunia, tahu gak?” Gun malah balik bertanya, “lebih nyebelin lagi soalnya gara-gara kamu aku lebih milih peluk daripada marah-marah,”
Off menyeringai, tahu kalau ia telah berhasil memenangkan hati si mungil, “kalau cium? Mau gak?”
Gun bergumam, “gak dulu,”
Off mendorong tubuh mungil untuk rebah di atas ranjang, menimbulkan suara kaget dari si mungil, “Papiiiiiiiii!” Ujar Gun setengah berteriak.
“Cil serius, kamu udah gak marah kan?” Tanya Off memastikan setelah ia berhasil mencuri kecup lagi.
Gun menatap laki-laki di atasnya tepat di netra, “kalau marah udah nggak, kalau sedih masih ada sedikit, kalau rindu ada banyak.” Jelas Gun.
“Oke, yang penting udah gak marah.” Jawab Off lantas kembali membubuhi ranum si mungil dengan cium. Berkali-kali sampai berubah menjadi pagut. Dari pelan hingga terburu, juga lumat yang mengikutsertakan kecap membuat semuanya menjadi teratur yang berantakan.
Gun menepuk bahu Off, tanda ia kehabisan napas membuat sang tuan mau tak mau melepaskan pagutan. Ada untaian saliva yang sukses membuat Gun bergidik. Agaknya laki-laki mungil itu tahu kalau ia tidak akan bisa istirahat dengan cepat. Dalam hati ia bersorai, kepalanya sudah memutuskan sesuatu yang sebelumnya diliputi ragu. Kini semuanya bening seperti kristal. Gun siap menyerahkan sisa hidupnya untuk dihabiskan bersama Off.
Menuju selamanyaㅡSepertinya akan terdengar lebih bagus bila diganti menjadi,
Sekarang untuk selamanya.
ㅡ🌙