moon and universe

all written by Sel

IV. 50 Proof High

Off menarik napas dalam-dalam, seketika tahu kalo ia sedang tidak berada dalam unit kamarnya. Ada pukulan yang konstan di kepala, padahal ia sudah berusaha dengan amat sangat untuk tidak teler tapi ia lupa kalau Tay selalu punya cara untuk membuat laki-laki jangkung itu kembali meneguk gelas demi gelas.

Sayup-sayup telinganya mendengar suara seseorang, suara yang agak familiar tapi memorinya belum bisa mendefinisikan siapakah sang pemilik.

'nggak tahu nyuwiii, kan gue bilang kalo dia tahu-tahu ambruk depan pintu kamar gue, langsung tidur gitu aja,'

Ada nada frustasi dalam tuturnya, juga suara tarikan ingus seperti tengah menangis.

'gue gak suka bau alkohol... Hiks. Harusnya gue telantarin aja di luar ya tuh om-om'

Tiba-tiba laki-laki itu tergelak di antara isaknya, 'ngaco banget, masa digigit tikus sih.'

Jeda panjang merupakan waktu yang cukup untuk Off akhirnya sadar siapa pemilik suara yang tengah ia dengar. Juga aroma khas dari seprai dan bantal yang tengah ia tiduri, Off seratus persen yakin kalau ia tengah berada di unit tetangganya lagi. Padahal seingatnya, ia sudah berhasil naik sampai ke lantai lima dan sedang mencoba untuk membuka pintu kamarnya sendiri. Lantas ingatannya berhenti sampai situ. Kepalanya masih belum mampu bekerja dengan baik akibat pengaruh alkohol dalam tubuh. Juga gelombang kantuk yang kembali menarik kesadaran pelan-pelan membawa Off terbuai kembali ke alam bawah sadarnya.

'ayah gue dulu minum, tiap hari bahkan.. seolah minuman itu yang udah ngubah ayah yang selama ini gue kenal... Gue gak suka...'

Adalah kalimat tidak utuh yang sampai ke dalam pendengaran Off untuk terakhir kalinya sebelum laki-laki jangkung itu kembali terlelap.

ㅡ🌙

III. Anak Kecil

Gun baru keluar dari kamar mandi saat rungunya mendengar bunyi aneh yang berasal dari pintu unit kamar. Keningnya mengerut, tahu kalau suara yang didengar adalah bunyi handel yang tengah coba dibuka oleh seseorang dari luar. Gun sedang tidak menunggu siapa-siapa, terlebih ini sudah lewat tengah malam sehingga tidak mungkin seseorang datang untuk bertamu. Pelan-pelan, kaki si mungil mendekat ke pintu. Ada pergolakan batin yang mendera, sepertinya seseorang di balik pintu ini masih bersikukuh untuk membuka meski percuma karena Gun sudah mengunci rapat-rapat serta kuncinya masih menggantung dengan sabar.

Duk

Gun terkesiap, handel pintunya seketika berhenti bergerak. Membuat keberanian si mungil yang sempat bersembunyi dibalik rasa takut kini ikut maju ke depan bersamaan dengan langkah kaki kecilnya. Sebelah tangan Gun mengambil payung yang berada di atas rak sepatu, sementara yang lain membuka kunci pintu dalam sekali hentak dan membuka daunnya. Semua bergerak terlalu cepat dan tahu-tahu ada tubuh jangkung yang jatuh tepat menimpa tubuh mungilnya, yang kalau ia tidak sigap menahan, mereka berdua akan sukses terjungkal ke belakang. Tapi Gun berhasil menemukan keseimbangannya, berhasil mengangkap tubuh jangkung yang menguarkan aroma khas terlampau kuat sehingga ia harus mengerutkan hidung. Kepala Off sukses mendarat di bahu Gun dan tangan si mungil memeluk pinggang yang lebih tua.

“Om Jumpol?” Panggil Gun.

Yang dipanggil sedikit berjengit, lalu menarik kepalanya untuk melihat wajah Gun dalam jarak beberapa senti, “loh? Adek kok ada di kamar saya?” Ujar Off dengan mata setengah terpejam, jelas sekali sudah teler.

“Ini kamarku, Om, kamar Om ada di sebelah-” Gun menghentikan tutur saat ia merasa tubuh jangkung itu bertumpu pada miliknya secara menyeluruh. Off jatuh tertidur di pelukan Gun.

Mau tak mau, si mungil lagi-lagi menarik tetangganya masuk dan membaringkan tubuh jangkung itu di atas tempat tidurnya. Ia merengut tidak suka, terutama pada aroma alkohol yang kelewat familiar untuknya. Gun melepas jas hitam yang dikenakan Off, juga sepatu pantofel dan kaus kaki berwarna senada. Berharap aroma alkohol itu hilang dari tubuh yang lebih tua. Gun menghilang ke arah dapur dan kembali membawa baskom berisi air hangat dan handuk kecil untuk membersihkan wajah Off, juga leher dan sebagian lengan, masih dengan ekspresi wajah yang ditekuk.

'nyebelin, kenapa harus bau alkohol. Dasar nyusahin, kalo mau tidur di sini gak boleh bau alkohol tahu. Om-om nyebelin.'

Sudah bersih. Gun menaruh semua barang-barang Off di ruang tengah dekat pintu. Tidak mau seluruh unitnya terpapar aroma yang paling ia benci. Lantas kembali ke ruang tidur karena ingat kalau ia belum menyampirkan selimut, malah mendapati Off tengah meringkuk. Gun setengah meringis, dua hari yang lalu ia juga melihat tetangganya tidur dengan posisi yang sama. Ia kira itu karena demam yang didera, tapi sekarang Gun menangkap hal yang berbeda.

“Mau peluk.. peluk buat Ju mana..”

Gun berhenti menarik selimut dan menatap laki-laki yang lebih tua. Dalam diam si mungil memperhatikan Off, setengah tidak percaya bahwa laki-laki jangkung itu menggumam dalam tidur pasca mabuk. Ada kerutan di dahi Off, membuat Gun semakin tidak tega. Tahu-tahu, Gun menyampirkan lengannya di antara tubuh Off, lantas menepuk kepala yang lebih tua seolah memberi tahu bahwa ia tengah mendapatkan peluk yang diinginkan.

Off sedikit menggeliat, ia semakin menenggelamkan kepala dalam dada Gun seperti pertama kali mereka berpelukan dua hari lalu, mencari nyaman lantas berhenti untuk semakin jatuh ke dalam lelap.

ㅡ🌙

II. Orang tua dan anak kecil

Ada jeda dua menit setengah setelah Gun mendengar bunyi debam keras di luar. Ia sedikit takut tapi akhirnya memutuskan untuk mengecek keluar. Pelan-pelan Gun membuka kunci pintu dan menarik daunnya, sedikit mengintip dari jarak yang ia buat sekecil mungkin. Detik dimana netranya melihat dengan jelas apa yang terjadi, Gun langsung membuka daun pintu dalam sekali hentak. Kaki mungilnya ia bawa mendekat cepat-cepat.

“Om? Om Jumpol?” Gun menepuk-nepuk lengan laki-laki yang tengah terjembab di atas lantai koridor. Gun melirik pintu kamar tetangganya yang belum tertutup sempurna, lantas paham kalau sang tuan tengah mencoba keluar. Gun membawa sebelah telapak ke atas dahi yang lebih tua lalu meringis saat tahu kalau suhu badan Off di atas rata-rata.

“Om Jumpol? Bisa dengar suara saya gak?” Gun mencoba lagi, ia kembali menepuk-nepuk kali ini pipi sebelah kiri Off. Laki-laki jangkung itu mengerang, tapi urung membuka kelopak matanya. Gun menghela napas lega, cepat-cepat ia bangkit dan menutup pintu kamar Off.

“Om jumpol, saya bawa ke kamar saya ya? Bisa bangun gak?” Tanya Gun setelah ia kembali fokus pada laki-laki jangkung itu. Tangan Off mencari-cari sesuatu untuk digenggam, untuk dijadikan tumpuan dan Gun dengan sigap memberi sebelah tangannya. Mereka berdua tertatih-tatih berjalan masuk ke kamar Gun dengan Off sepenuhnya bertumpu pada tubuh si mungil.

Gun sedikit kewalahan membawa tubuh jangkung Off, bagaimanapun, tubuh kecilnya tidak sepadan untuk membawa beban keduanya sekuat apapun tenaga si mungil. Hampir sampai ke kasur, kaki kecil Gun kehilangan keseimbangan menyebabkan keduanya jatuh di atas tempat tidur.

Off mengerang kesakitan sementara Gun panik mengucap, “maaf, maaf, sakit, ya? Sebelah sini, kakinya juga naik Om.” Ujar Gun setengah bangkit seraya tangannya menarik selimut untuk menutupi tubuh yang lebih tua.

Pergerakannya terhenti ketika Gun merasa sebelah lengan menyampir pada pinggang dan menarik tubuh mungilnya mendekat.

Huh?

Off menenggelamkan wajahnya pada dada Gun, mencari nyaman lantas jatuh tertidur setelahnya. Mata Gun membulat, hampir berteriak kalau-kalau ia tidak segera sadar bahwa yang memeluknya tengah demam tinggi.

Tangan Gun bergerak mengambil guling di belakang, lantas ia melepaskan diri dan menaruh guling di antara lengan Off sebagai pengganti. Hati-hati, ia bergerak turun dari atas ranjang kemudian menghilang ke arah dapur. Si mungil mengambil paracetamol dari kotak obat di atas lemari gantung juga segelas air putih.

“Om Jumpol? Bangun dulu om, minum obat.” Iya mengguncang tubuh Off, lantas menarik untuk setengah bangkit tanpa sabar. Ia menelesakan pil putih pada mulut laki-laki yang lebih tua lantas dibawanya gelas berisi air putih pada bibirnya.

“Pelan-pelan, nah, udah, sekarang tidur lagi,” ucap Gun kembali membantu Off untuk mencari nyaman yang sempat diambil paksa.

Gun kembali menghilang, kali ini mencari plester kompres yang ditemukan dalam rak samping meja belajar di ruang tengah. Setengah berlari kembali menuju ruang tidur takut-takut Off sudah berubah posisi tidur. Remaja itu terpaku saat melihat laki-laki yang baru saja menjulukinya anak kecil tepat di depan wajah kini tengah meringkuk akibat demam yang dirasa. Gun mendekat perlahan, duduk di samping ranjang dan membuka bungkus plester untuk kemudian ditempel pada dahi Off. Si mungil menghela napas, rasa-rasanya ia seperti baru saja menyelesaikan lari marathon. Semuanya terlampau mengejutkan dan ia selalu tanpa sadar bergerak sigap dalam situasi seperti ini. Gun mengulas senyum seraya menatap Off yang sudah jauh terlelap, kemudian berpikir siapa sebenarnya yang merupakan anak kecil di antara mereka berdua.

ㅡ🌙

I. Gelut

Tahu-tahu Gun sudah sampai di pelataran komplek apartemennya. Ia menyerahkan helm berwarna hijau dengan corak khas pada pengemudi ojol yang ditumpangi, mengucap terimakasih tulus lantas setengah berlari masuk ke dalam gedung unitnya. Laki-laki mungil itu merengut saat melihat satu-satunya lift sudah bergerak naik sehingga ia memilih naik lewat tangga samping. Kakinya melompat-lompat, satu persatu menapaki anak tangga, terkadang dua sekaligus. Rasa-rasanya ia terlalu bersemangat untuk cepat sampai ke unit kamarnya, mungkin karena tubuh yang merindu kasur, atau alasan lain yang mengikutsertakan satu orang tertentu. Satu langkah terakhir dan akhirnya Gun sampai di lantai lima. Laki-laki mungil itu diam sebentar, terengah-engah kehabisan napas seraya bersandar pada railing. Sementara rungunya menangkap suara lain, bunyi gemericik kunci yang menarik perhatian sehingga Gun mendongak dan mendapati perawakan familiar laki-laki jangkung yang tinggal di sebelah unit kamarnya.

“Om!” Seru Gun, suaranya lolos begitu saja dan terdengar lebih kencang dari intensinya. Membuat kedua insan yang berada dalam lantai tersebut sama-sama berjengit.

Off menoleh, ekspresi bingung yang kentara serta rasa kaget bercampur jadi satu, “ya?” Hanya itu tanggapan dari yang lebih tua.

Gun menarik napas dalam-dalam, ia berpikir sejenak tentang kalimat yang akan dilontarkan. Kata melabrak bukan hal yang tepat, kalau Gun boleh jujur, ia bukan remaja tak tahu sopan santun. Laki-laki mungil itu hanya ingin meminta afirmasi perihal lagu instrumen yang kerap didengar, juga ditambah satu permintaan kecil tentang volume yang digunakan sang tetangga sebelah kamar. Alih-alih menjawab, Gun menggunakan jeda itu untuk mengambil langkah lebar-lebar mendekati Off.

“Om Jumpol, tiap malem dengari instrumen ya?” Tanya Gun hati-hati, tapi juga ada penekanan dalam tiap ucap.

“Instrumen?” Off mengangkat sebelah alisnya, gestur yang terlihat sangat menyebalkan di mata Gun, “oh, saxophone maksud kamu?”

“Ya, apapun lah,” ujar anak SMA tersebut tidak ambil pusing, “benar?” Desaknya.

“Iya, saya gak bisa tidur kalau gak dengari itu.”

Gun mengerutkan dahinya, ada amarah yang tersulut saat lawan bicaranya memberikan alasan, “tapi saya jadi ketiduran kalau dengar yang kayak gitu!” Seru Gun, masih menahan rasa kesal lantas memajukan bibirnya.

“E-eh? Gimana?” Off menatap Gun sepenuhnya bingung, setahunya dinding pemisah unit kamar mereka cukup tebal mengingat ia tidak pernah mendengar suara apapun dari unit kamar Gun. Atau jangan-jangan, anak kecil di hadapannya ini memang tidak pernah mengeluarkan suara?

“Gara-gara om, saya jadi telat masuk sekolah tiga hari berturut-turut!” Gun menghentakan sebelah kakinya, sebuah refleks yang menunjukkan kalau ia tengah marah, sedetik kemudian sadar lalu berdehem, “udalah, pokoknya saya minta volumenya dikecilin, atau om gak usah dengarin instrumen itu sama sekali, lebih baik.”

Off memijat pelipisnya pelan, sesungguhnya laki-laki jangkung itu sedikit pusing akibat tiga hari lembur berturut-turut, ditambah insomnia yang selalu menyerang padahal ia sudah mencoba beberapa cara untuk dapat terlelap. Suara lawan bicaranya tidak sekencang itu, bahkan kepalanya tahu kalau Gun tengah menahan amarah yang dirasa agar tidak meledak-ledak. Tapi bagaimanapun, Off terlanjur merasa kesal.

“Dengar ya adik kecil,” Off menghela napas kasar, “kalau telat datang ke sekolah tuh, jangan nyalahin orang tapi introspeksi,”

Gun membulatkan matanya, kini ada kilat lain yang menatap Off nyalang, “mohon maaf ya om, saya udah coba ganti jadwal belajar jadi sore biar bisa tidur sebelum jam sembilan tapi tetap terlambat. Jadi saran anda sebagai orang tua gak relevan.” Balas Gun kini mengepalkan kedua tangannya di samping, “lagipula, saya udah delapan belas tahun! Saya udah legal dan nggak kecil!” Tambahnya dengan suara meninggi.

Off menganga, orang tua, katanya? Apa anak kecil ini tidak diajari sopan santun?

Laki-laki yang lebih tua itu membawa tangan sebelah kanan ke pinggang, menatap lawan bicaranya penuh dengan penghakiman. “Kayaknya saya perlu bicara sama orang tua kamu, ada pelajaran etika yang terlewat,” sahut Off, “lagipula, memangnya kenapa kalau kamu sudah legal?” Kini matanya bergerak melihat Gun dari atas sampai ke bawah lalu balik menatap netra si mungil, “tetap kecil, kan?”

Sekilas Off melihat raut pilu di wajah anak sekolahan tersebut, tapi kemudian menghilang diganti dengan ekspresi mengeras. Gun mengatupkan bibirnya rapat-rapat, seperti menahan amukan yang tengah berlangsung di kepala, “om gak akan pernah ketemu sama orang tua saya,” tutur Gun dengan nada rendah,

“Saya cuma minta volumenya dikecilin, demi kenyamanan bersama, terimakasih atas waktunya.” Lagi, Gun menatap Off untuk terakhir kalinya, masih dengan tatapan nyalang, lalu ingkah sebelum yang lebih tua sempat membalas tuturnya.

Off Jumpol merasa kalah telak. Dan lawannya adalah bocah SMPㅡ tunggu sebentar, sejak kapan warna seragam anak SMP berubah?

ㅡ 🌙

Pisah

Ada suara langkah serampangan yang sampai ke rungunya, sukses membuat Gun yang sudah rapi membalikkan tubuh untuk melihat sang empu unit apartemen tengah menatapnya penuh tanya.

“Kamu ngapain di sini?” Tanya laki-laki jangkung, terdengar lebih kasar dari yang ia inginkan. Pertanyaan yang tak ayal membuat hati Gun mencelos. Memang seharusnya ia langsung ingkah begitu terbangun dari lelapnya pagi tadi, sedikit menyesal kenapa ia malah membereskan kekacauan yang bukan lagi urusannya.

Gun melihat Off mengambil langkah mendekat sementara ia sendiri bergerak mundur karena takut. Entah apa yang dipikirkan laki-laki jangkung di hadapannya, netra Off tidak berhenti menatap si mungil membuat Gun sadar kalau ia tengah memakai salah satu hoodie milik Off yang dimaksudkan untuk meminjamnya sebentar meningat ia datang tidak membawa apapun selain ponsel dengan pakaian seadanya semalam. Belum sempat Gun menjelaskan, mata Off menangkap sedikit lukisan merah di leher Gun.

“Cil, semalam aku-” Off mengulurkan tangannya yang langsung ditepis oleh Gun, “gak apa-apa.” Lagi, tutur yang diucap keluar dengan nada yang lebih kasar dari intensinya.

“Gak apa-apa gimana? Kamu kalo diapa-apain sama orang lain juga gitu jawabnya? Di perkosa sama orang kamu gak apa-apa? Gitu?!” Dalam tiap pertanyaan Off, nada yang dilontarkan semakin tinggi dan penuh penekanan. Tanda kalau ia marah dengan respon si mungil.

“Terus mau gimana lagi?! Mau kamu minta maaf juga udah terjadi, lagipula kamu gak perkosa aku!” Balas Gun tak kalah emosinya.

“Terus apa namanya kalau aku ngelakuin itu tanpa sadar, Gun?!”

“Kamu minta izin, for fucks sake. Kamu, selalu minta izin, even in your drunk state. Aku bilang gak apa-apa tuh karena kamu minta dan aku ngebolehin!”

Off menghela napas panjang lantas berujar dengan setenang mungkin, “aku bingung kenapa kamu masih di sini.” Tutur Off jujur, kepalanya masih sakit efek minuman keras yang masih mengalir dalam tubuhnya. Fakta bahwa Gun ada di unit apartemennya serta kelakuan bodohnya sukses membuat dentuman di kepala makin lama makin kencang.

“Aku memang mau pergi, kok.” Sahut Gun, membuat Off berdengus tidak percaya dengan jawaban Gun.

“Jangan bikin aku bingung gini, Kecil.” Ujar Off dengan nada memelas, lantas menatap Gun tepat di netranya yang akhirnya sadar kalau sedari tadi si mungil menahan tangis. “Bilang ke aku kalau kamu masih sayang sama aku, Cil.” Lanjut Off.

Gun menarik napas dalam-dalam dan menolehkan kepalanya, enggan mentap lawan bicaranya, “Papi, aku gak mau kamu kayak gini.”

Off mengangkat kedua alisnya mendengar panggilan dari si mungil. Panggilan yang sukses membuat hati Off kembali melambung seperti paham kalau ia punya kesempatan.

“Terus kamu mau aku kayak gimana, Cil? Kamu tiba-tiba mau putus, tahu aku gak punya siapa-siapa lagi, kamu pikir aku bisa waras ditinggalin gitu aja?”

“I want you to fly higher, Papi. Being with me can only hold you on the ground.”

“If being with you requires me to be on the ground, I don't want to fly.”

“Papi, kamu gak ngerti.”

“Kamu yang nggak ngerti, Cil. Harus pakai bahasa apa lagi biar kamu paham kalau di dunia ini aku cuma mau sama kamu?”

“Enggak, nggak boleh,” Gun menggelengkan kepalanya, frustasi dengan dirinya sendiri karena tidak bisa menyampaikan maksudnya dengan baik, “I love you too much, Papi, I can't let you stay while you have to leave.”

Off mengusap wajahnya kasar, mulai lelah dengan perdebatan dan sikap keras kepala laki-laki mungil di hadapannya, “aku gak mau pergi, Cil.”

“Kamu harus. Papa butuh kamu, kamu butuh papamu.”

“Kamu enggak?” Tanya Off sedikit membuat Gun tersentak, ia tidak bisa menjawab.

“Kamu nggak butuh aku, Cil?” Tanya Off sekali lagi, alih-alih menjawab pertanyaan lawan bicaranya Gun malah menggelengkan kepalanya berkali-kali. Tahu kalau jawaban di kepalanya hanya akan membuat Off bersikukuh untuk tinggal.

“Bener ternyata, aku cuma beban ya buat kamu.” Tutur Off seraya mengambil langkah mundur.

“Bukan gitu, Papi,” kini Gun yang mencoba meraih tapi Off dengan cepat menghindar.

“Kamu capek ya Cil, maaf kalo sayangnya aku cuma bikin kamu capek doang.”

“Papi denger dulu!” Gun mengambil kedua tangan Off dan menariknya dalam sekali sentak untuk mengambil atensi lawan bicaranya.

“Aku sama sekali gak mikir gitu, papi. Aku sayang sama kamu.”

“Tapi kamu mau aku pergi?”

Ada jeda sebentar yang diambil oleh Gun untuk meredakan napasnya yang terburu, ia sudah meneguhkan hati untuk menjadi yang lebih waras di sini. “Papi, kamu udah ngelakuin banyak hal buat aku, sadar atau nggak. Kamu bikin aku semangat ke kampus lagi, kamu juga yang bikin aku mau buka diri aku lagi.

Tapi jangan lupa kalau aku masih sakit, Papi. Kita berdua masih punya luka yang belum sepenuhnya sembuh.”

“Aku gak peduli, aku mau kamu, Cil.” Jawab Off terlampau keras kepala.

“Gak akan berujung baik kalau luka kita sama-sama belum sembuh.”

“Kita bisa sembuh bareng-bareng, sayang.”

Gun kembali menggeleng, “tapi papa kamu minta kamu pulang, Papi. Aku tahu kamu butuh berdamai sama masa lalu kamu, pulang ke rumah papa mungkin salah satu caranya.”

Off menatap netra Gun nanar, perlahan mengerti isi kepala si mungil dan bagaimana keinginannya untuk menjadi seorang yang lebih baik dari sekarang.

“Tapi kita kan gak perlu putus, Kecil sayang.” Ujar Off masih memohon, benar-benar tidak ingin melepaskan Gun.

“LDR suck, Papi.” Sahut Gun seraya terkekeh mendengar jawabannya sendiri. Tapi toh Off ikut tertawa bersamanya. Tahu-tahu si mungil dibawa ke dalam dekapan, sedikit terkejut tapi Gun menemukan dirinya mengeratkan pelukan mereka.

“Cil,”

“Hmm?”

“Aku sayang kamu.”

ㅡ🌙

Akhir

Betapapun Gun mencoba, sepertinya usaha ia untuk menikmati waktunya berdua dengan sang kekasih tidak bisa dibilang sukses. Kepalanya tidak bisa berhenti memikirkan beberapa kemungkinan atas apa yang akan ia lakukan. Padahal Braga di sore hari beribu kali lipat indahnya dengan paparan sinar matahari kekuningan.

Sebentar, pikirnya. Biar aku menikmati setidaknya satu hari, satu hari lagi.

Gun berkali-kali larut di kepalanya sendiri, terlampau jelas kalau ada yang tengah berenang di dalamnya. Dalam hati ia berandai-andai, kalau saja ia dan Off tidak pernah bertemu, kalau saja ia tidak membiarkan Off masuk ke dalam hidupnya, kalau saja dirinya tidak jatuh terlalu dalam. Mungkin, rencana yang sudah disusun rapi di kepalanya tidak akan sesulit ini untuk direalisasikan.

Terhitung sudah dua minggu ia tidak bertemu dengan Off. Sengaja mengambil jeda sebentar dengan dalih kalau mereka berdua sama-sama sibuk dengan segala tetek bengek akademik. Meski ditentang, tapi toh Off tidak pernah bisa bilang tidak atas keinginan si mungil. Dua minggu tanpa Off dihabiskan oleh Gun untuk berpikir, sedikit tentang realita, lebih banyak tentang angan-angan masa depan yang berporos pada dirinya dan sang kekasih.

Atas segala posibilitas yang mungkin akan benar-benar terjadi, mengingat kalau ia adalah satu-satunya orang yang mengerti, Gun paham kalau keputusan yang akan ia ambil bukanlah sesuatu yang mudah. Ia bisa membayangkan kalau hari-harinya tidak akan sama lagi, bahwa ia harus membuat rutinitas baru, bahwa ia harus bisa menerima luka yang ditorehkan olehnya sendiri. Dan yang paling penting adalah fakta bahwa Gun juga akan melukai satu-satunya orang yang bisa menerima ia seutuhnya.

Padahal mereka bersatu karena ingin saling menyembuhkan, tanpa tahu bahwa kesamaan yang berlebih hanya akan membuat air bening yang mereka punya berubah menjadi keruh. Membuat belati lara perlahan menusuk, tanpa sadar sudah masuk terlalu dalam hingga tidak bisa disembuhkan lagi. Belum, tapi akan. Dan Gun berusaha untuk menghindari hal itu. Ia memutuskan untuk menjadi antagonis agar mereka berdua masih dapat melangkah meski tidak berada pada jalan yang sama. Setidaknya, kalaupun memang mereka harus berpisah, Gun ingin mengingat Off sebagai pemberi warna-warni bukan pemberi luka.

Tapi ia sendiri akan menorehkan luka. Betapa egoisnya, kalau dipikir-pikir. Berkali-kali Gun meyakinkan dirinya sendiri, ia melakukan ini semua demi kebaikan mereka berdua. Bahwa saat ini mereka terlampau sakit untuk saling menopang, bahwa dua pasang kaki yang belum mampu berdiri sendiri ini akan pelan-pelan ambruk akibat saling bertumpu.

“Cil? Kenapa?” Gun berhasil ditarik kembali dari lamunannya saat Off menepuk puncak kepalanya ringan.

Si mungil menggelengkan kepala, “gak apa-apa,” lantas menyimpulkan senyum. Seolah merasa baik-baik saja setelah mengucap bualan yang terlampau kentara.

“Pulang sekarang aja, yuk?” ajak Off, tahu kalau kekasihnya tengah memikirkan sesuatu tapi enggan bertanya lebih lanjut.

Perjalanan menuju apartemen Off diliputi hening canggung, tidak biasanya Off bingung bagaimana harus bertutur. Ia khawatir tapi di waktu yang bersamaan Off tidak ingin merundungi si mungil. Dua puluh menit perjalanan menyiksa dari Braga sampai Pasteur, akhirnya mereka berdua sampai di depan unit milik Off.

Sang empu langsung masuk dan menaruh kunci mobil di sembarang tempat lantas berjalan menuju sink untuk mencuci tangan, kebiasaan yang telah melekat sejak lama. Netra Off melihat Gun mengikuti langkahnya masuk ke dapur, alih-alih duduk di atas sofa ruang tengah seperti biasanya.

Off menghela napas, diamnya Gun berarti nestapa baginya tapi ia juga tidak bisa memaksa si mungil untuk berbicara. Maka hal yang bisa dilakukan oleh Off adalah membawa tubuh Gun masuk ke dalam rengkuhnya. Bisa dirasakan tubuh Gun mematung sejenak, lantas kembali rileks pada detik selanjutnya.

I don't want to be an annoying boyfriend, but you seemed quiet today,” tutur Off memulai percakapan yang seharusnya mereka berdua lakukan sejak tadi, “Gun, kecilku, sayangku, kalau aku ada salah tolong kasih tahu ya?

So I can make it up to you, Cil.

Gun menggelengkan kepalanya berkali-kali, “kamu gak ada salah,” jawab Gun dengan suara parau.

then tell me what's wrong?

“Keadaan, Off,” Ujar Gun membuat Off sedikit kaget dengan panggilan yang lolos dari bibir si mungil,

I think we should break up.

ㅡ🌙

Keputusan

Lamunan Gun buyar ketika rungunya menangkap suara pintu mobil ditutup dari dalam. Ia melihat Chimon sudah kembali membawa satu totebag berisi tempat makan yang ia duga sudah kosong. Setelah sibuk menaruh totebag di belakang kursi kemudi, Chimon menatap kakaknya, “Mau langsung pulang?” Tanya Chimon memastikan.

Gun menggelengkan kepalanya, “Off mau kesini, katanya. Tunggu sebentar ya?” Pinta Gun yang dijawab dengan helaan napas oleh adiknya.

“Lagian, kenapa gak lo sendiri yang kesana sih? Dia bingung banget pas lihat gue datang sendiri dan gak berhenti nyari-nyari lo juga.” Tanya Chimon yang tidak dapat menyembunyikan keheranan atas tingkah sang kakak.

“Gak tahu,” Gun memajukan bibirnya, ia pun kesal dengan dirinya sendiri. Gun telah menjadi pecundang di hari yang salah. Ia tahu kalau seharusnya ia ikut merasa bahagia melihat sang kekasih dapat mencapai hal yang selama ini dijunjung sebagai asa. Tapi hatinya tidak bisa untuk tidak merasa sakit ketika Gun mendapati Off tengah tertawa di antara orang-orang yang selama ini tidak pernah ia lihat. Seakan-akan Off pantas berada di antara mereka dan kehadiran dirinya hanya akan merusak pigura indah yang tengah ditatap netra sang tuan.

“Lo mikir yang aneh-aneh lagi pasti,” sahut Chimon seraya menyentil dahi sang kakak yang ditutupi surai.

“Enggak,” ada jeda sebentar sebelum Gun kembali menyuarakan isi kepalanya, “kayaknya,” ia lantas mengangkat bahunya.

“Kalau lo mikir lo gak pantas, kak. Inget aja lo tuh pacarnya dia, orang yang paling pantas buat ada di sana sekarang.” Chimon berujar tepat sasaran. Bagi Chimon, sang kakak adalah buku tebal yang terbuka, mudah sekali membaca isi kepalanya.

“Bukan gitu, Chimon,” elak Gun. Tapi belum sempat ia mengutarakan alasannya, netra sang tuan menangkap figur kekasih yang ditunggu tengah berjalan menuju mobilnya. Kata yang sudah tersusun di kepala buyar, Gun lantas keluar dari mobil untuk menghampiri Off.

“Selamat!” Ujar Gun seraya menarik tubuh Off mendekat, ia berhasil memberi kecupan di leher sang kekasih.

“Makasih, sayang.” Balas Off yang malah memeluk tubuh mungil laki-laki di hadapannya. Enggan peduli dengan sekitar dan fakta bahwa mereka masih berada dalam lingkungan kampus.

“Kamu mau ikut aku pulang? Kamu bawa mobil nggak?” Tanya Gun mendongak, mencoba melihat wajah Off yang menurutnya terlampau indah saat ini.

Off menelengkan kepalanya tanda kalau ia tengah berpikir, “temen kelas pada mau ngerayain bareng-bareng, tadinya aku mau ajakin kamu. Mau ikut nggak, Cil?”

Gun menggelengkan kepalanya, “nggak ah, aku pulang aja ya? Gak apa-apa? Ya Papii?”

“Yaaah kan aku mau pamer punya pacar gemes,” sahut Off mencebik.

“Papii, kan temen kelas kamu banyak yang gak aku kenal,” sahut Gun ikut memberikan ekspresi yang sama seperti Off, membuat sang empu tak ayal gemas dan melabuhkan ranumnya di puncak kepala Gun.

“Takut ya? Kan sama aku disananya, kecilku, sayangku.” Bujuk Off, mencoba meyakinkan Gun untuk ikut dengannya. Tapi Gun tetap menggelengkan kepalanya berkali-kali, kukuh dengan jawabannya.

No, Papii. Kamu rayain sama teman-teman aja ya? Sama akunya nanti aja, gimana?”

Off bergumam lama, “yaudah kalau kamu gak mau,” sengaja melengkungkan bibirnya ke bawah.

“Jangan sedih gitu,” Gun menarik pipi Off agak berhenti mengeluarkan ekspresi sedih, “I just want you to enjoy your time with your friends, Papii.” Tegas Gun.

“Iya, iyaa, aku ngerti Cil,” sahut Off membuat Gun menarik sudut bibirnya ke atas. Ada beberapa hal yang ingin diutarakan oleh Off tapi urung sebab tiba-tiba ponselnya berdering membuat rengkuhan yang sebelumnya masih kini terlepas.

Gun melirik layar ponsel milik Off yang menampilkan nama familiar, “angkat teleponnya Papii, atau kamu mau langsung pergi nyusulin aja? Kayaknya kamu udah ditungguin sama mereka.” Ujar Gun.

Off mengerutkan kening tidak setuju dengan usul lawan bicaranya, sang empu malah mematikan layar ponselnya untuk kembali memberikan atensi pada laki-laki mungil di hadapannya.

“Aku nanya serius ya, Cil,” kata Off menatap Gun tepat di netra, “aku pergi sama temen kelasku, boleh?”

Gun menganggukkan kepalanya tanpa ragu.

“Kamu beneran nggak mau ikut sama aku?”

Lagi-lagi si mungil mengangguk sebagai jawaban.

“Aku rayain hari bahagiaku tanpa kamu, gak apa-apa?”

Too much question, Papii,” Gun sedikit mendorong tubuh Off sebagai gestur agar Off cepat pergi sebelum ia berubah pikiran.

“Cil,” Off menegur tapi dipotong oleh dering ponselnya lagi.

“Kan, udah di telepon lagi, sana Papii.” Seru Gun sedikit merajuk akan tingkah laki-lakinya. Off mencuri kecupan di atas ranum Gun sebelum akhirnya menyerah. Laki-laki jangkung itu melambaikan sebelah tangannya seraya ingkah meninggalkan Gun.

Setelah memastikan punggung Off menghilang, perlahan-lahan ekspresi wajah Gun berubah mengendur. Senyum di wajahnya menghilang menyisakan kilat sedih di bola mata.

Dalam hati, Gun sudah menetapkan keputusan final akan hal yang selama ini mengganggu kepalanya, yang selama ini ia coba hindari.

ㅡ🌙

Begini

Di sepertiga malam terakhir ada dua insan yang urung lelap. Padahal mereka berdua sama-sama lelah tapi terlampau banyak hal yang berputar di kepala masing-masing. Di kamar dengan pencahayaan minim, Off dapat mendengar suara napas mereka saling bersahutan. Dari posisinya, ia merasa bahu si mungil naik turun dan tangannya tidak berhenti mengelus punggung Gun.

“Papii, belum tidur? Mikirin apa?” Tanya Gun memecahkan hening.

“Kalo aku jawab mikirin kamu, aku ditabok gak?” Off malah balik bertanya

“Nggak, paling aku cubit aja sini.” Gun menggerakkan tangannya tapi dicegah oleh Off yang langsung mengamit tangan si mungil.

“Cil kamu inget gak?”

“Nggak,”

“Belom ih,”

“Yaudah, apaaa,”

“Kalau kamu pernah nanya kalau aku benci sama papa?”

Gun menggumam panjang, “dan kamu jawab gak tahu,” sahut Gun mengiyakan

“Aku bingung, Cil.”

“Bingungnya gimana, Papi?”

“Aku benci banget sama Papa yang udah bikin Mami sedih. Kalau aja kamu ada waktu Mami nangis, kamu juga bakal benci sama Papa. Di sisi lain, aku pengen Papa datang biar Mami gak sedih lagi.” Ada jeda yang diambil oleh Off sementara Gun dengan sabar menunggu lanjutan kalimat sang kekasih, “Papa beneran dateng, Cil. Tapi semuanya udah telat, keburu Mami pergi ke tempat yang lebih baik,

Pemakaman semuanya Papa yang urus, bahkan beliau sempet tinggal sama aku dua minggu di rumah sebelum akhirnya aku pindah ke sini dan dia balik lagi ke rumahnya di Kalimantan.

He's been contacting me, every now and then like he's trying to fix things. Tapi aku masih belum bisa maafin Papa, Cil. Semuanya masih terrekam jelas gimana sedihnya Mami, sakitnya Mami. Kalau aja Papa datang lebih cepat, kayaknya Mami bakal masih ada di sini.”

Gun menarik Off ke dalam dekapannya, seolah masih ada jarak di antara mereka berdua. Ada bulir yang turun dan membuat pipi Off basah, sang empu tidak sadar kalau sedari tadi ia telah mengeluarkan air mata.

“Gak apa-apa, Papi. Kamu yang bilang sendiri kalau semuanya butuh waktu, jadi Papi, gantian aku yang bilang ke kamu, pelan-pelan yuk?

Aku punya kamu dan kamu punya aku, kamu bisa belajar maafin Papa bareng-bareng sama aku.”

Off menggelengkan kepalanya, “masalahnya, Cil. Kemarin Papa minta aku buat tinggal sama dia.” Semakin erat dekapan sang tuan setelah mengatakan hal yang tengah mengganggu pikirannya, membuat Gun mau tak mau berperan menjadi yang lebih waras menenangkan meski hatinya mencelos saat tahu Off mungkin akan pergi.

ㅡ🌙

Terburu

Sampai di apartemen Off, Gun dapat melihat sang empu sudah menunggu kehadirannya. Off duduk di atas sofa sambil memainkan ponsel. Dan ketika pintu apartemennya terbuka menampakkan Gun dibaliknya, ia tidak bisa menyembunyikan rasa lega dan senang saat melihat si mungil berjalan menghampiri.

Tangan Off mengulur yang langsung disambut dengan genggaman oleh Gun, “lama banget, Cil.” Ujar Off lantas menarik si mungil untuk duduk di atas pangkuannya.

Gun mengerutkan dahinya, “lama apaan, orang jalanannya lenggang coba. Biasanya satu jam, ini belom ada setengah jam udah sampe.” Si mungil menyamankan posisi, menaruh kedua tangannya di pundak Off seraya memainkan bagian belakang surai sang kekasih.

“Chimon pulang?” Tanya Off yang dijawab dengan anggukan oleh si mungil, “ada apa, sih?” Tanya Gun tahu-tahu, penasaran kenapa Off tiba-tiba menginginkan presensinya.

“Ada aku yang kangen sama kamu.” Jelas Off seraya mengklaim bibir si mungil dalam pagutan. Kedua tangan Off bergerak menyusuri pundak Gun jatuh ke selatan sampai ia singgah di bagian belakang si mungil dan meremasnya pelan. Hal yang sukses membuat Gun terkesiap.

“Hnngg..” Gun menepuk pundak Off berkali-kali, tanda kalau ia kehabisan napas. Ada lenguhan yang lolos dari Off sebelum ia melepas pagutan bibir mereka, dalam hati Gun bersorak mengira ia bisa bernapas lagi. Namun ranum milik laki-laki jangkung itu bergerak turun, memberikan jejak pada rahang, dagu, serta leher sampai akhirnya berhenti di tulang selangka milik Gun. Kecapan bibir sang tuan jauh dari kata lembut, terlampau terburu-buru seperti enggan memberi Gun kesempatan untuk bernapas sejenak.

“Pa.. Pi..” rengek Gun, bertolak belakang dengan tingkahnya yang menelengkan kepala agar Off dapat lebih leluasa memberikan lukisan kemerahan di bahunya. Tanpa tahu bahwa telapak tangan Off sudah mulai menyusup di balik kaus yang Gun kenakan, suara tarikan napas yang tertahan keluar ketika Gun merasa jari-jari dingin Off menyentuh permukaan punggungnya.

“Papi.. sebentar,” ada usaha lebih yang dikeluarkan untuk dapat mengutarakan sedikit kata ketika kepalanya sudah dipenuhi kabut penuh rasa ingin. Gun kembali menepuk pundak Off, meminta atensi sang tuan yang langsung berhenti. Off menjauh sedikit untuk melihat wajah kekasihnya yang sudah memerah dengan bibir sedikit bengkak akibat ulahnya barusan.

Ada raut kecewa yang gagal disembunyikan, “m- maaf, aku-” perkataan Off dipotong oleh Gun yang serta-merta mengecup ranum sang tuan sekejap.

“Aku cuma mau bilang kalau aku juga kangen sama kamu, papi,” Gun menjelaskan lantas ia kembali mencuri kecupan, “Ayo pindah ke kamar,” lanjut Gun yang diamini oleh laki-laki jangkung itu.

ㅡ🌙

Telepon

Mereka bertiga mampir ke toko kopi setelah selesai menonton film di teater sinema. Sama-sama enggan pulang, New menyarankan untuk bersantai sejenak setelah memesan kopi dan mencari tempat duduk.

“Eh, mau nitip tas bentar ya, gue mau ke toilet.” Ujar Gun meninggalkan barangnya di atas meja.

Lima belas menit kemudian Gun kembali duduk di antara Krist dan New yang tengah membicarakan entah apa. Melihat Gun kembali, New lantas berujar “Gun, kayaknya ada yang nelpon lo deh, daritadi tas lo geter gitu.”

Yang diajak berbicara langsung merogoh tasnya, mencari ponsel yang disebut tengah berdering. Benar saja, ada beberapa panggilan tidak terjawab serta beberapa pesan yang belum dibaca. Belum sempat ia membalas, layar ponselnya malah menggelap dan berubah menampilkan notifikasi panggilan dari Off.

“Halo?”

“Keciiiil kemana aja sih aku cariin?”

“Oh aku belom bilang ya? Aku main sama New,” Gun melirik kedua temannya yang juga tengah menatapnya penasaran. New membuka bibirnya, berujar tanpa suara, 'Off?' yang dijawab dengan anggukan oleh Gun.

“New?”

“Iya, ada Kit juga,” jawab Gun sekenanya.

“Aah, kok gak ngabarin sih? Aku panik nyariin tahu,” protes Off, jelas kesal.

“Maaf, aku lupa, kupikir aku udah bilang ke kamu,” Gun mengingat-ingat dan benar saja kalau hari ini ia belum mengabari Off.

“Yaudah kamu dimana? Ku jemput ya?” Ada nada menuntut dalam ujarnya membuat Gun sungkan untuk bilang tidak.

“Di kyotown, kamu mau jemput sekarang?” Tanya Gun

“Iya aku udah di mobil daritadi, niatnya mau keliling Bandung takut kamu ilang beneran,”

“Ngaco banget.” Gun menghela napas malas, merasa kalau kekasihnya terlampau berlebihan tapi dalam hati tahu laki-lakin jangkung itu dapat benar-benar melakukan apa yang baru saja ia utarakan.

ㅡ🌙