Pisah
Ada suara langkah serampangan yang sampai ke rungunya, sukses membuat Gun yang sudah rapi membalikkan tubuh untuk melihat sang empu unit apartemen tengah menatapnya penuh tanya.
“Kamu ngapain di sini?” Tanya laki-laki jangkung, terdengar lebih kasar dari yang ia inginkan. Pertanyaan yang tak ayal membuat hati Gun mencelos. Memang seharusnya ia langsung ingkah begitu terbangun dari lelapnya pagi tadi, sedikit menyesal kenapa ia malah membereskan kekacauan yang bukan lagi urusannya.
Gun melihat Off mengambil langkah mendekat sementara ia sendiri bergerak mundur karena takut. Entah apa yang dipikirkan laki-laki jangkung di hadapannya, netra Off tidak berhenti menatap si mungil membuat Gun sadar kalau ia tengah memakai salah satu hoodie milik Off yang dimaksudkan untuk meminjamnya sebentar meningat ia datang tidak membawa apapun selain ponsel dengan pakaian seadanya semalam. Belum sempat Gun menjelaskan, mata Off menangkap sedikit lukisan merah di leher Gun.
“Cil, semalam aku-” Off mengulurkan tangannya yang langsung ditepis oleh Gun, “gak apa-apa.” Lagi, tutur yang diucap keluar dengan nada yang lebih kasar dari intensinya.
“Gak apa-apa gimana? Kamu kalo diapa-apain sama orang lain juga gitu jawabnya? Di perkosa sama orang kamu gak apa-apa? Gitu?!” Dalam tiap pertanyaan Off, nada yang dilontarkan semakin tinggi dan penuh penekanan. Tanda kalau ia marah dengan respon si mungil.
“Terus mau gimana lagi?! Mau kamu minta maaf juga udah terjadi, lagipula kamu gak perkosa aku!” Balas Gun tak kalah emosinya.
“Terus apa namanya kalau aku ngelakuin itu tanpa sadar, Gun?!”
“Kamu minta izin, for fucks sake. Kamu, selalu minta izin, even in your drunk state. Aku bilang gak apa-apa tuh karena kamu minta dan aku ngebolehin!”
Off menghela napas panjang lantas berujar dengan setenang mungkin, “aku bingung kenapa kamu masih di sini.” Tutur Off jujur, kepalanya masih sakit efek minuman keras yang masih mengalir dalam tubuhnya. Fakta bahwa Gun ada di unit apartemennya serta kelakuan bodohnya sukses membuat dentuman di kepala makin lama makin kencang.
“Aku memang mau pergi, kok.” Sahut Gun, membuat Off berdengus tidak percaya dengan jawaban Gun.
“Jangan bikin aku bingung gini, Kecil.” Ujar Off dengan nada memelas, lantas menatap Gun tepat di netranya yang akhirnya sadar kalau sedari tadi si mungil menahan tangis. “Bilang ke aku kalau kamu masih sayang sama aku, Cil.” Lanjut Off.
Gun menarik napas dalam-dalam dan menolehkan kepalanya, enggan mentap lawan bicaranya, “Papi, aku gak mau kamu kayak gini.”
Off mengangkat kedua alisnya mendengar panggilan dari si mungil. Panggilan yang sukses membuat hati Off kembali melambung seperti paham kalau ia punya kesempatan.
“Terus kamu mau aku kayak gimana, Cil? Kamu tiba-tiba mau putus, tahu aku gak punya siapa-siapa lagi, kamu pikir aku bisa waras ditinggalin gitu aja?”
“I want you to fly higher, Papi. Being with me can only hold you on the ground.”
“If being with you requires me to be on the ground, I don't want to fly.”
“Papi, kamu gak ngerti.”
“Kamu yang nggak ngerti, Cil. Harus pakai bahasa apa lagi biar kamu paham kalau di dunia ini aku cuma mau sama kamu?”
“Enggak, nggak boleh,” Gun menggelengkan kepalanya, frustasi dengan dirinya sendiri karena tidak bisa menyampaikan maksudnya dengan baik, “I love you too much, Papi, I can't let you stay while you have to leave.”
Off mengusap wajahnya kasar, mulai lelah dengan perdebatan dan sikap keras kepala laki-laki mungil di hadapannya, “aku gak mau pergi, Cil.”
“Kamu harus. Papa butuh kamu, kamu butuh papamu.”
“Kamu enggak?” Tanya Off sedikit membuat Gun tersentak, ia tidak bisa menjawab.
“Kamu nggak butuh aku, Cil?” Tanya Off sekali lagi, alih-alih menjawab pertanyaan lawan bicaranya Gun malah menggelengkan kepalanya berkali-kali. Tahu kalau jawaban di kepalanya hanya akan membuat Off bersikukuh untuk tinggal.
“Bener ternyata, aku cuma beban ya buat kamu.” Tutur Off seraya mengambil langkah mundur.
“Bukan gitu, Papi,” kini Gun yang mencoba meraih tapi Off dengan cepat menghindar.
“Kamu capek ya Cil, maaf kalo sayangnya aku cuma bikin kamu capek doang.”
“Papi denger dulu!” Gun mengambil kedua tangan Off dan menariknya dalam sekali sentak untuk mengambil atensi lawan bicaranya.
“Aku sama sekali gak mikir gitu, papi. Aku sayang sama kamu.”
“Tapi kamu mau aku pergi?”
Ada jeda sebentar yang diambil oleh Gun untuk meredakan napasnya yang terburu, ia sudah meneguhkan hati untuk menjadi yang lebih waras di sini. “Papi, kamu udah ngelakuin banyak hal buat aku, sadar atau nggak. Kamu bikin aku semangat ke kampus lagi, kamu juga yang bikin aku mau buka diri aku lagi.
Tapi jangan lupa kalau aku masih sakit, Papi. Kita berdua masih punya luka yang belum sepenuhnya sembuh.”
“Aku gak peduli, aku mau kamu, Cil.” Jawab Off terlampau keras kepala.
“Gak akan berujung baik kalau luka kita sama-sama belum sembuh.”
“Kita bisa sembuh bareng-bareng, sayang.”
Gun kembali menggeleng, “tapi papa kamu minta kamu pulang, Papi. Aku tahu kamu butuh berdamai sama masa lalu kamu, pulang ke rumah papa mungkin salah satu caranya.”
Off menatap netra Gun nanar, perlahan mengerti isi kepala si mungil dan bagaimana keinginannya untuk menjadi seorang yang lebih baik dari sekarang.
“Tapi kita kan gak perlu putus, Kecil sayang.” Ujar Off masih memohon, benar-benar tidak ingin melepaskan Gun.
“LDR suck, Papi.” Sahut Gun seraya terkekeh mendengar jawabannya sendiri. Tapi toh Off ikut tertawa bersamanya. Tahu-tahu si mungil dibawa ke dalam dekapan, sedikit terkejut tapi Gun menemukan dirinya mengeratkan pelukan mereka.
“Cil,”
“Hmm?”
“Aku sayang kamu.”
ㅡ🌙