moon and universe

all written by Sel

Jemput

Bukan Chimon yang ia temukan saat keluar dari ruang konsul. Selesai konsul, biasanya ia akan menemukan adiknya tengah duduk di salah satu bangku usang, diam memainkan game di ponsel, terkadang mengenakan earphone sebagai tanda bahwa ia enggan berinteraksi dengan siapapun. Tapi kali ini kosong.

Ada jeda beberapa detik sebelum ia kembali sadar dari lamunannya. Mencoba berpikir positif, Gun melangkahkan kakinya keluar dari poli jiwa, menyusuri lorong gedung lama menuju apotek yang terletak di gedung baru sayap kanan rumah sakit. Lagi-lagi Dokter Sani menuliskan resep meski kini dosisnya berkurang, tapi tidak dipungkiri kalau ia sudah jenuh. Lelah harus mengkonsumsi obat-obatan yang katanya membantu.

Sedikit lagi sampai di apotek, langkahnya terhenti saat netra melihat sosok terlampau familiar tengah berdiri beberapa langkah di hadapannya. Gun membulatkan mata sempurna sementara sang tuan di hadapannya memberikan senyum simpul seraya melambaikan sebelah tangan ke arahnya.

Tidak langsung menghampiri seperti biasa, Gun malah berdiri di tempat yang sama menatap Off terlampau tidak percaya. Sehingga yang dilakukan Off yaitu menghampiri sang kekasih lebih dulu. Ia membawa si mungil masuk ke dalam dekapannya lantas terkekeh geli, “kaget ya Cil?” Tanyanya membuat yang berada dalam dekapan menganggukan kepala pelan.

Mereka bertahan dalam posisi tersebut dalam kurun waktu yang cukup lama. Mengabaikan beberapa tatapan dari orang yang berlalu lalang di sekitar mereka. Sampai akhirnya Gun memutuskan untuk melepaskan diri dan bertanya, “kok kamu gak bilang mau kesini?”

“Biar surprise,” jawab Off jahil, menimbulkan ekspresi malas di wajah Gun.

“Chimon mana?” Tanya Gun lagi.

“Udah pulang duluan tadi, makanya aku yang jemput kamu.” Jawab Off lantas menarik tangan Gun untuk beranjak, kembali membuat Gun ingat kalau ia harus ke apotek sebelum pulang.

“Ke sini dulu,” ujar Gun berbelok masuk ke sebuah ruang yang lebih dingin dari ruangan lainnya.

“Kamu ngapain jemput kan aku biasa ditungguin sama Chimon, ih.” Protes Gun pada Off setelah memberikan resep dokter ke apoteker yang bertugas.

“Kangen,” jawab Off.

“Kan besok bisa ketemu,” jelas Gun, yang omong-omong memang sudah ada rencana untuk berkunjung ke apartemen Off esok hari.

“Kangennya sekarang, Cil.” Tandas Off lagi-lagi membuat Gun memutar bola matanya.

ㅡ🌙

Off

Ada beberapa hal yang ingin Off hilangkan dari kepalanya. Akhir-akhir ini, mimpi buruk yang kerap datang, yang omong-omong selalu sama tiap malamnya. Kehadiran Gun bagi Off cukup membantu membuatnya lupa sejenak atas apa-apa yang biasanya singgah di kepala. Ia pikir, semuanya berubah menjadi lebih baik, setidaknya perlahan-lahan. Namun ternyata semua yang sebelumnya berenang di kepala hanya ia pisahkan dan tersimpan rapi di belakang kepalanya, yang sewaktu-waktu bisa terbuka tanpa aba-aba seperti saat ini.

Sejujurnya, ini sudah menjadi rutinitas tiap tahun. Semuanya selalu diawali dengan puluhan mimpi buruk yang membuatnya terjaga tiap malam, pun membuatnya enggan untuk beranjak tidur. Lantas seluruh pikirannya akan tersita oleh kaset usang berisi memori lama yang terputar ulang. Lagi dan lagi. Kiranya, dengan menghabiskan waktu bersama sang kekasih akan membuat peringatan mimpi terburuk Off menjadi berbeda. Mungkin iya, sedikit.

Eksistensi si mungil di samping tempat tidur, misalnya. Off terlampau bingung bagaimana harus menjelaskan situasi saat ini, entah kepalanya terlampau berisik atau hatinya terlanjur mencelos saat tahu kalau Gun yang menjaganya semalaman, dan ia telah melakukan hal bodoh saat kesadaran tidak bersamanya.

Gun menarik napas panjang, menandakan kalau ia sudah bangun dari tidurnya. Tangan Off menggapai surai hitam si mungil, “Cil, kamu abis nangis ya.” Bukan pertanyaan melainkan pernyataan yang diutarakan. Retorikal.

Netra Gun menangkap milik Off yang tengah menatapnya penuh dengan perasaan bersalah, “kepala kamu gak sakit?” Tanya Gun tidak merespon ucapan Off.

Pecah sudah tangisan yang selalu ia tahan. Hatinya seperti dihantam palu godam mendengar pertanyaan Gun. “Sakit ya? Aku kasar nggak semalem? Maaf.. maaf ya? Aku gak tahu, aku jahat ya, maaf banget, Cil.”

“Nggak papi,” Gun lantas memeluk laki-laki jangkung itu, menaruh kepalanya tepat di dada sang kekasih. “Bahkan kamu minta izin dulu kok,” ia mengusap punggung yang biasanya tegap, menyalurkan rasa tenang.

“Kamu gak apa-apa? Tapi kamu nangis kan semalem? Mata kamu bengkak, udah Cil jujur aja.” Ucap Off seraya melepaskan dirinya demi menatap wajah Gun.

“Aku tuh,” Gun menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan ucapannya, “nangis karena kamu ngilang, gak ngabarin aku seharian, terus tahu-tahu aku dihubungi sama Kak Tawan,” ada jeda sebentar sebelum akhirnya Gun berujar lagi, “pas aku datang ke sini, kamunya udah mabok parah. Siapa yang gak kaget?”

“Maaf,” cuma itu yang bisa Off katakan, ia tidak punya pembelaan apapun karena memang ia seratus persen merasa bersalah pada Gun.

Hening menyelimuti mereka berdua. Tanpa canggung mereka menikmati kehadiran satu sama lain dalam diam. Sampai akhirnya Off membuka suara, “kamu gak mau nanyain aku kenapa bisa sampai mabok, Cil?”

Gun menggumam tampak berpikir, “tadinya mau, tapi kupikir lagi kayaknya nggak usah. Toh kamu bakal cerita ke aku kalau kamu udah siap.”

“Bener”

“Gimana?”

“Kamu bener, Cil.” Ujar Off, ia mengambil sebelah tangan Gun untuk digenggam, sesuatu yang ia butuhkan untuknya dapat mengucapkan kata-kata selanjutnya.

“Dua hari yang lalu peringatan hari kematian mami,” Off mulai bercerita, “kemarin aku ke makam mami sama Tawan dan Arm, sengaja gak hubungin kamu karena aku gak mau kamu lihat aku lagi kayak gini.

I am supposed to be your pillar, yet I'm not strong enough for you, Cil.

“Papi, kita tuh sama-sama manusia. Gak selamanya kita kuat berdiri sendiri, ada masanya kamu jatuh dan hancur.” Gun mengusap punggung tangan Off dengan ibu jarinya. Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan,

“Dan pas kamu lagi ngerasa kayak gitu, I want to take my part as your boyfriend, yang bisa ada buat kamu. Ngerti, Papi?” Gun menatap Off serius, seutuhnya tulus dalam tiap tutur kata yang diucap. Berharap Off paham dan memperbolehkan si mungil untuk masuk lebih dalam ke hidupnya.

Okay,” Off memberikan senyum simpul membuat Gun ikut mematri ekspresi wajah yang sama, “Okay.

Kemudian ruang di antara mereka kembali diisi hening panjang, masing-masing larut dalam kepala. Lantas Gun memecahkannya dengan pertanyaan tiba-tiba, “mami... Kayak gimana orangnya?”

Off sedikit kaget dengan pertanyaan sang kekasih, tapi dalam hatinya tahu kalau si mungil murni penasaran akan sosok sang ibu yang menemaninya sejak ia lahir. “Mami itu kalau kataku dia orangnya naif, dia percaya papa masih cinta sama dia meski mereka udah pisah.”

“Kok bisa?” Tanya Gun yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Off, “gak paham, tapi di malam-malam tertentu, mami suka nangis dan bikin luka juga, di tempat yang sama kayak kamu, Cil.”

“Kayak kita,” koreksi Gun membuat Off menganggukkan kepala, “kayak kita.

“Kamu... Benci sama papa?” Tanya Gun ragu-ragu, pertanyaan yang sukses membuat Off tertegun. Ia berpikir sedikit lebih lama sebelum akhirnya menjawab, “nggak tahu.”

ㅡ🌙

Mau

Pintu apartemen Off tidak tertutup dengan benar lantas membuat Gun langsung masuk ke dalam unit tanpa pikir panjang. Di kepalanya terputar beberapa kemungkinan akan keadaan Off, juga apa yang membuat si laki-laki jangkung itu menghilang seharian. Semakin ia melangkahkan tungkainya masuk, Gun dapat mendengar suara Off memanggil namanya terus menerus dengan nada menuntut. Sementara netranya menangkap dua sahabat sang kekasih tengah mencoba menahan Off untuk tetap berada di atas kasur.

“Kak?” Ujar Gun memberitahu eksistensinya, dalam hati ia tidak tahu untuk siapa panggilan itu.

“Gun! Sori banget ya lo mesti datang malem-malem gini, gua sama Arm udah kewalahan banget soalnya.”

Gun menganggukkan kepalanya atas ucapan Tawan lantas menatap Off, “dia.. mabok?” Setelah pertanyaan itu, Off berhenti berontak membuat Tawan dan Arm melepaskan diri secara bersamaan. Ada hening yang mengisi ruangan sebelum suara Off kembali hadir menyebutkan nama Gun berulang-ulang.

Arm mendekati Gun, “biasanya dia manggil maminya, tapi kita berdua gak bisa bikin maminya dateng. Sekarang dia manggilnya nama lo, jadi yaudah,” Ujar Arm menggantungkan kalimatnya, “tolong jagain ya, Gun? Gue sama Tawan cabut dulu.” Arm mengusak kepala Gun, tanda bahwa ia percaya sahabatnya akan baik-baik saja di tangan si mungil.

“Gua udah beliin susu beruang buat pereda hangover sama obat sakit kepala kalau-kalau dia pusing besok pagi,” sahut Tawan menunjuk plastik di atas meja dapur, “titip Jumpol ya, Gun.” Lanjutnya lantas ingkah menyusul Arm yang sudah keluar dari unit. Suara pintu ditutup menggema di penjuru ruangan, mengartikan kalau kini tinggal ia dan si pemilik unit di ruangan ini.

Gun menghampiri Off yang masih meracau, menyamankan posisi di samping laki-laki jangkung yang tengah berbaring serampangan. Lantas tangannya menyentuh pundak milik Off, sedikit mengguncangnya.

“Papii?” Panggil Gun ragu-ragu, jujur ia tidak pernah mabuk dan tidak pernah mengurus orang yang tengah diambang kesadaran jadi ia tidak tahu bagaimana harus bersikap.

“Gun? Kecil? Sayang?” Sahut Off lantas mengambil tangan Gun dan menggenggamnya.

“Iya, Papi?” Jawab Gun seraya membalas genggaman tangan Off. Sementara laki-laki jangkung itu setengah menegakkan tubuhnya, menatap si mungil lekat-lekat seraya perlahan mendekat.

“Mau Gun, boleh?”

ㅡ🌙

Mengomel

“Cil Cil Cil,” seru Off meminta atensi sang kekasih yang masih sibuk dengan laptopnya. Sementara Gun hanya memberikan gumaman sebagai jawaban.

“Belum selesai tugasnya?” Tanya Off, ada sedikit nada kesal dalam pertanyaan yang ia utarakan.

“Kenapa, Papi?” Kali ini Gun menatap wajah Off, memberikan seluruh atensinya pada laki-laki jangkung itu.

“Ya kan aku kangen, mau lihat kamu bukan laptop kamu, Cil.” Sahut Off lantas membuat Gun terkekeh.

“Sini duduk di samping aku, dikit lagi selesai, jadi sementara liat muka aku dari samping aja.” Ujar Gun dengan nada jahil tapi toh dituruti oleh Off. Gun menatap Off dengan pandangan tidak percaya meski membiarkan sang kekasih mengambil tempat di sampingnya, memindahkan tas serta barang-barang milik Gun ke atas meja.

Lima belas menit kemudian Gun mematikan laptopnya dan menatap Off yang sudah jatuh tertidur dengan posisi telungkup. Kepalanya bersandar pada lengan yang dilipat dengan posisi menghadap ke arah Gun. Hal yang membuat si mungil tersenyum simpul sebab wajah Off terlihat amat damai dalam lelapnya. Gun mengulurkan tangannya untuk mengusap surai hitam laki-laki jangkung itu, membelainya perlahan dengan upaya memberi rasa nyaman, tahu-tahu malah membangunkan sang empu.

“Udah, Cil?” Tanya Off yang dijawab dengan anggukan oleh si mungil.

“Mau pulang?” Tanyanya lagi, dan Gun hanya menggelengkan kepalanya.

“Mau ngomelin kamu, kenapa mesti ngajak keluar kalau kamunya capek.” Sahut Gun tanpa aba-aba membuat lawan bicaranya terkekeh, “kangen, Cil,” tandasnya.

“Besok-besok aku aja yang ke apart, biar gak kecapekan kamunya,” kata Gun menasihati laki-lakinya berharap ia mengerti kalau kesehatannya lebih penting.

ㅡ🌙

Nanti

Gun mempercepat langkah saat netra miliknya menangkap sosok familiar laki-laki jangkung yang kini tersenyum ke arahnya. Senyuman yang juga membuat si mungil ikut mematri ekspresi yang sama di wajahnya.

“Papiii.” Seru Gun lantas memeluk Off yang disambut dengan antusias.

“Punten dilarang pacaran.” Sahut sebuah suara menginterupsi mereka berdua, membuat sang empu mendapat pukulan ringan di pundak.

Maneh iri nya Te,” sahut babeh seraya menyesap rokoknya. Tersenyum jahil menatap Tawan dan pasangan yang kini duduk manis bergantian.

“Sembarangan we si Babeh,” jawab Tawan menggelengkan kepalanya.

Buru resmikeun matak, tong lila-lila lah karunya budak batur.” Ujar Babeh masih meledek Tawan.

Geus urang deui wae,” Tawan menyahut tidak terima membuat hampir semua yang ada di Babeh menertawakan dirinya.

Gun menarik lengan jaket yang Off kenakan untuk menarik perhatiannya, “Ka Tawan belum jadian sama New?” Tanyanya saat Off menolehkan kepala.

Te, ditaros yeuh, can jadian?” Teriak Off sedikit tergelak membuat wajah yang ditanya berubah masam. Gun memberikan senyuman simpul pada Tawan, sedikit prihatin tapi situasi ini terlampau lucu.

Off kembali memberikan atensi pada kekasihnya yang kini memainkan ujung lengan jaket yang ia kenakan, “Kamu mau pulang sekarang?”

Gun mengangkat wajahnya, menatap Off langsung di mata, “ngikut Papi ajaaa.”

“Nanti aja ya? Aku besok mau nyekrip seharian jadi gak ke kampus,” kata Off seraya memainkan surai si mungil dengan jemarinya, “besok gak bisa jemput kamu, Cil, gak apa-apa ya?”

“Ya gak apa lah, aku bisa bareng Chimon.” Sahut Gun mengangkat bahunya, “eh, berarti besok gak ketemu dong?” Tanya si mungil menyadari bahwa kalau besok Off terlampau sibuk.

Off menganggukkan kepalanya lesu, “makanya pulangnya nanti aja, biar aku bisa puas-puasin lihat muka kamu.” Katanya lantas mencubit pipi si mungil.

“Apasih, males,” Gun memutar bola matanya meski sudut bibirnya tak ayal tertarik ke atas.

ㅡ🌙

*Lo iri ya Te **Cepet resmiin makanya, jangan lama-lama lah kasihan anak orang ***Gua lagi yang kena ****Te, ditanyain nih, belom jadian?

Kangen

Entah pada ketukan keberapa, akhirnya pintu apartemen milik Off terbuka juga menampilkan sang empu yang terlihat setengah sadar. Gun menarik sudut bibirnya ke atas, memberikan senyum paling manis pada pemilik apartemen.

“Cil? Kok gak bilang mau dateng?” Tanya Off sembari mengucek sebelah matanya.

Alih-alih menjawab, Gun mengalungkan lengannya di antara pinggang Off. Memeluk laki-laki jangkung sebagai bentuk sapaan. “Kangen papi.”

Dibawanya Gun masuk ke unit masih dalam posisi dipelukannya, Off menutup pintu apartemen lantas berjalan mundur. “Tumben ngaku kangen.”

“Hehehe,” Gun lantas melepaskan dirinya dari rengkuhan laki-laki jangkung itu, ia melihat rambut Off berantakan mencuat ke segala arah.

“Ini udah jam dua dan kamu baru bangun? Ckck.” Ujar Gun mencebik, ia menarik Off agar sejajar dengan dirinya lantas menggapai surai laki-laki yang lebih tua untuk dirapikan.

“Semalem abis mabar sampai pagi,” jawab Off menunjukkan cengiran khasnya.

“Mandi sana kamu, eh aku beli bahan makanan!” Sahut Gun lantas berlari menuju pintu apartemen, membukanya sedikit hanya untuk mengambil dua totebag yang sebelumnya ia taruh di lantai.

“Beli apa?” Tanya Off menyusul Gun, ia melihat dua tas yang terisi penuh.

“Bahan makanan, mandi sana Papii, aku mau masakin buat kamu.” Sahut Gun yang langsung menuju dapur untuk bersiap.

“Oke boss, aku masuk kamar mandi sekarang.” Off memberi hormat pada Gun lantas ingkah ke kamar mandi membuat senyum tercetak di bibir si mungil.

ㅡ🌙

Merajuk

Chimon mengangkat kepalanya dari ponsel yang sebelumnya ia geluti. Ia mendapati kakaknya keluar dari ruangan Dokter Sani dengan wajah yang berseri-seri. Untuk pertama kalinya dalam sesi konsul entah yang keberapa, Chimon menangkap ekspresi yang lain dari biasanya.

Biasanya, Gun akan keluar dengan bibir mencebik atau helaan napas dan kerutan di dahi. Tapi kali ini, Chimon dapat melihat sedikit senyum terpatri di wajah sang kakak.

“Ayo, Chi.” Ujar Gun saat sampai di hadapan Chimon yang langsung berdiri menuruti ajakan kakaknya.

Gedung rumah sakit yang mereka kunjungi memang selalu sepi, jarang sekali pasien berlalu lalang di area ini. Mungkin karena poli yang mereka kunjungi masih berada di bagian gedung lama, atau mungkin karena poli yang mereka kunjungi adalah poli jiwa. Siapa yang peduli dengan kesehatan mental seseorang ketika semua yang datang kesini dicap gila.

Chimon menyalakan mobilnya disusul dengan Gun masuk ke kursi penumpang dan memakai sabuk pengamannya. “Chi, gue mau ke apartemennya Off.”

“Di daerah mana sih? Gue lupa.” Sahut Chimon, mengeluarkan mobil dari area parkir, fokus menatap jalan di depannya.

“Pasteur, eh tapi berhenti dulu di griya, atau kita mampir PVJ dulu aja ya?” Tanya Gun menimbang-nimbang.

“Mau ngapain emang?” Tanya Chimon.

“Beli bahan makanan, kayaknya Off belom bangun juga deh.”

“Gue juga mau dimasakin ih, kapan coba terakhir kali lo masakin gue.” Ujar Chimon setengah merajuk, benar-benar menunjukkan ekspresi sedihnya. Gun dapat merasakan nada iri dari kalimat yang diucap sang adik.

“Kemaren kan baru gue bikinin brownies? Seloyang buat lo sendiri.” Sahut Gun, mengingat terakhir kali ia membuatkan Chimon brownies.

“Itu dua minggu yang lalu tau. Gue mau sandwich yang suka lo bikinin itu loh kak.” Kata Chimon yang dijawab dengan gumaman panjang dari Gun, “yaudah nanti sekalian beli bahannya, besok pagi gue bikinin buat lo. Sekarang anterin ke Off dulu ya?” Jawab Gun seraya mencubit pipi adiknya gemas.

“Ish, jangan cubit-cubit!” Chimon menjauhkan kepalanya dari tangan sang kakak. “Janji ya besok bikinin, gue mau nugas bareng temen juga jadi masukin ke kotak bekal sekalian, ya?” Lanjut Chimon, serius dengan pertanyaannya.

“Iya, Chimooooon.” Gun menarik sudut bibirnya, merasa tenang kini adiknya tidak merajuk lagi.

ㅡ🌙

Gun

Layar laptop milik Off menampilkan credit menandakan film telah sampai di penghujung akhir. Namun pikiran Gun sudah melanglang jauh dari tempatnya. Off dapat merasakan kalau kekasihnya sedang gundah, tapi ia urung bertanya. Di sisi lain, Gun sendiri masih mengalami pergolakan batin. Tiba-tiba saja rasa percaya dirinya saat berbicara pada Chimon hilang begitu saja. Kepalanya dipenuhi ragu dan takut yang amat sangat.

Tidak peduli seberapa besar rasa nyaman dan percaya Gun pada kekasihnya, menceritakan perihal masa lalu merupakan sesuatu yang sulit. Seperti membuka kembali luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Atau kalau Gun boleh menawarkan pengandaian, Ia seperti mempertontonkan film tentang dirinya dan rasa sakit yang selama ini ia coba lupakan pada orang lain.

Tapi papi bukan orang lain, batin Gun.

“Cil? Mau pulang sekarang atau nonton lagi?” Gun merasa kepalanya diusak, membuat ia kembali hadir dari absennya.

“Hm?” Gun mengerjapkan mata, ia memikirkan jawaban yang pas tapi tidak kunjung berujar.

Keduanya masih betah dalam posisi mereka, bergelung dengan selimut di atas kasur sembari menonton film yang kini telah usai. Gun tengah merebahkan kepalanya di atas dada Off, yang detak jantung milik laki-laki jangkung itu dapat ia dengar membuat si mungil kelewat nyaman. Sementara Off menaruh sebelah tangannya melingkari pinggang si mungil, pelan-pelan mengusap untuk memberikan rasa aman yang tenang.

“Kamu mikir apa sih, cil?” Tanya Off pada akhirnya, “mau cerita ke aku?”

Gun mengambil sebelah tangan Off yang bebas, lantas membuka plester yang selalu terpasang di sana. Si mungil mensejajarkan tangannya dengan milik Off, melihat bekas luka mereka berdua secara bergantian.

“Bekas luka punyaku lebih gak beraturan daripada punya kamu, Papi.” Ujar Gun sama sekali tidak menjawab pertanyaan lawan bicaranya.

“Iya, lukanya juga lebih lebar dari punyaku.” Sahut Off, ikut memperhatikan luka mereka berdua.

“Waktu itu aku setengah sadar bikinnya, pakai pecahan kaca pula.” Kata Gun. Detik itu juga Off paham kalau kekasihnya ingin mengutarakan hal-hal yang selama ini ia simpan sendiri, yang arsipnya sengaja ditaruh paling bawah dalam boks berisi kenangan buruk.

“Papi, it's been a year since I made this scar. Dulu aku pikir semuanya mimpi dan butuh waktu yang lama buat paham kalau ini realita yang menyakitkan.” Gun mulai bercerita, meninggalkan Off terdiam memperhatikan tiap tutur kata yang terucap dari kekasihnya.

I've lost myself, Papi. Dan karena luka ini, aku ngabisin banyak waktu buat nyari diri aku yang hilang. Makanya aku cuti juga.” Suara Gun mulai bergetar, tapi ia masih belum ingin berhenti. Belum semua tersampaikan, pikirnya.

“Papi pasti sadar kalau aku ngejauhin temen-temenku, aku ngelakuin itu semata-mata karena aku takut mereka nanya perihal alasanku cuti. Aku gak bisa bilang ke mereka kalau aku cuti karena dirawat di rumah sakit akibat ngelukain diri sampai hampir mati.” Jatuh sudah air mata yang membendung di pelupuk mata si mungil. Isaknya lolos tanpa ditutupi mengingat bahwa sang kekasih adalah satu-satunya orang yang mengerti, lebih dari siapapun.

“Cil, sini lihat aku.” Panggil Off menarik wajah Gun untuk menghadap ke arahnya. Laki-laki jangkung itu mengusap air mata yang terus jatuh di atas pipi si mungil. “Pertama-tama, makasih udah mau cerita ke aku, pasti susah ya nyimpen ini semua sendirian?” Gun menganggukkan kepalanya sekali, lantas Off mencubit pipinya gemas.

“Makasih banyak udah percaya sama aku, Cil,” kata Off lagi, “emang butuh waktu yang lama buat semua balik jadi normal, takut dan khawatir yang kamu rasain itu wajar since I've been through that phase too. Jadi, Kecilku, kesayanganku, pacarnya Off, pelan-pelan yuk? Kamu punya seluruh waktu di dunia ini,

Kamu punya aku juga yang bakal nemenin kamu ngelewatin semuanya, yang juga sayang sama kamu banyak-banyak.” Ada nada jahil di antara tuturnya, tapi Off lebih dari tulus mengucapkan hal itu pada Gun.

Ucapan panjang lebar dari sang kekasih sukses membuat Gun menarik kedua sudut bibirnya. “Makasih banyak-banyak” ujar Gun seraya menaruh lengannya di antara leher Off, memeluk laki-laki di bawahnya erat-erat.

“Sayang papi juga.”

Off sedikit mendorong tubuh Gun, “apa, Cil?”

“Gun sayang Papii.” Jawab Gun tidak bisa menyembunyikan semburat merah di pipinya.

“Apa? Gak kedengaran, tuh?” Tanya Off lagi dengan senyum jahil yang terpatri di wajahnya.

“Gatau ah males,” Gun memajukan bibirnya, jelas merasa kesal dengan sikap kekanak-kanakan Off.

Alih-alih dibujuk, Gun merasa bibirnya disapu dalam sepersekian detik. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali, mencerna apa yang baru saja terjadi lantas matanya membulat sempurna saat sadar kalau ia baru saja dicium.

“Papi, ngapain?!” Gun setengah berteriak. Bukannya menjawab, Off malah memajukan kepalanya lagi, matanya menatap bibir Gun lekat lalu bergerak ke atas menemui netra sang empu, kali ini meminta izin atas lakunya. Gun dapat merasakan kedua bibir mereka hanya berjarak satu helaan napas, lantas ia menutup matanya tanda mengizinkan.

Sentuhan lembut yang teramat polos perlahan berubah menjadi pagutan penuh rasa. Seakan berlomba, mereka saling mengejar bibir satu sama lain. Merasa kalau posisinya kurang menguntungkan, Off menurunkan tangannya ke pinggang milik Gun dan mendorong si mungil seraya ia bangkit menukar agar tubuhnya berada di atas. Off menggunakan lututnya untuk menahan beban raganya agar sang kekasih tidak terhimpit.

Gun sedikit terkesiap dengan gerakan tiba-tiba dari Off, hal itu sukses membuat pagutan mereka terlepas. Ia menatap laki-laki jangkung di atasnya, paham kalau netra sang empu sudah dipenuhi rasa ingin tapi nalar masih menahan.

“You may kiss me again, Papi.” Ujar Gun memberikan konsen pada laki-lakinya. Mengambil resiko akan kemungkinan mendapatkan lebih.

ㅡ🌙

Baik

Padahal Babeh tengah melontarkan lelucon kelewat garing yang membuat hampir semua orang tertawa, tapi sudut mata Gun dengan cepat menangkap sosok familiar berjalan jauh di hadapannya. Punggung sang tuan serta merta menegak, ia membasahi bagian bawah bibirnya kala melihat dua orang familiar itu makin mendekat.

“Ooy, Tawan, kamana wae Wa, meni lama.” Salah satu dari teman tongkrongan Off menyahut, Gun lupa namanya tapi ia sering dipanggil Boss.

“Ooy, biasa lah,” kata Tawan lantas menyalami tiap-tiap orang yang tengah duduk nyaman termasuk Gun, “Beh, damang?” Sapanya pada sang pemilik tongkrongan.

Tongkrongan bagi Off dan teman-temannya merupakan tempat fotokopi yang tergabung dengan warung grosiran, yang kemudian diberi banyak kursi untuk mahasiswa-mahasiswa yang sudah kenal dekat dengan Babeh duduk menghabiskan waktu disela-sela kelas dan sibuknya tugas masing-masing.

Saha eta, wan? Oh kadieu teh arek pamer kabogoh nya?” Gun mendengar Babeh menyebutkan tentang laki-laki yang mengekori Tawan, yang sukses membuat Gun mencari-cari lengan Off untuk digenggam.

“New, sini kenalan dulu sama si Babeh,” Tawan berseru, membuat Gun makin mengeratkan genggaman tangannya. Sementara sang tuan yang digenggam menoleh untuk menatap wajah kekasih mungilnya. Mencari-cari kalut yang dirasa tapi berhasil ditutupi oleh Gun.

Off mendekatkan wajahnya untuk berbisik pada Gun, “kamu sakit? Mau pulang?” Tanya laki-laki jangkung yang langsung dijawab dengan gelengan oleh Gun.

“Enggak, nanti aja kalau kamu mau pulang juga.” Kata Gun lantas memberikan senyum simpul, berusaha meyakinkan lawan bicaranya kalau ia tidak keberatan berada disini lebih lama.

“Eh Gun? Udah lama nggak ketemu. Apa kabar?” Tanya New yang sudah menempatkan diri di antara ramainya tongkrongan.

Ada rasa khawatir yang meluap-luap dari dalam diri Gun tapi hilang dalam sekejap ketika ia merasakan bahwa tangannya kini diusap lembut oleh laki-laki jangkung di sampingnya.

Si mungil tersenyum menatap New, “Baik kok, Lebih baik dari biasanya malah.” Sahut Gun.

ㅡ🌙

*Kemana aja lo, lama amat **Beh, apa kabar? ***Siapa itu? Oh kesini tuh mau pamer pacar ya?

Papi

Gun tengah menyandarkan kepalanya dengan nyaman di bahu Off. Dari posisinya, ia dapat melihat layar ponsel Off menunjukkan game yang tengah dimainkan oleh sang empu. Sebelah tangannya memainkan gelang yang tengah dipakai oleh laki-laki jangkung itu.

“Cil jangan ditarik-tarik tangan akunya.” Seru Off masih fokus bermain.

Gun menarik tangannya lantas menghela napas, “gak adil banget sih.”

“Apanya?” Tanya Off mengalihkan pandangannya pada si mungil, terlampau kaget dengan perkataan lawan bicaranya.

“Kamu manggil aku Kecil, kan aku juga mau manggil kamu pake nama panggilan.” Ujar Gun seraya memajukan bibirnya.

“Gemes banget sih, Cil.” Kata Off kemudian menusuk sebelah pipi Gun dengan telunjuknya. “Panggil sayang aja, gimana?”

“Idih, malesin.” Gun memutar bola matanya, paling malas kalau Off sudah jahil.

“Kamu gak sayang sama aku, emangnya?”

“Gak gitu konsepnyaaa.” Tangannya mencari pinggang Off untuk dicubit, yang langsung mendapatkan kata 'aduh' setelahnya.

“Yaudah, apa dong?” Tanya Off, mulai serius dengan pembicaraan mereka.

You always take care of me, kayak ayah, tapi bakal aneh kalau aku panggil daddy.” ujar Gun membuat lawan bicaranya tersedak.

“Kamu yang bener aja dong, Cil.” Kata Off menatap Gun sedikit memelas.

Gun tersenyum manis sekali, “papi? Yaa? Aku panggil kamu papi?” Ada nada jahil terselip di antara kalimatnya, tapi Off paham ia tidak akan bisa bilang tidak pada permintaan laki-laki mungilnya.

ㅡ🌙