Gun
Layar laptop milik Off menampilkan credit menandakan film telah sampai di penghujung akhir. Namun pikiran Gun sudah melanglang jauh dari tempatnya. Off dapat merasakan kalau kekasihnya sedang gundah, tapi ia urung bertanya. Di sisi lain, Gun sendiri masih mengalami pergolakan batin. Tiba-tiba saja rasa percaya dirinya saat berbicara pada Chimon hilang begitu saja. Kepalanya dipenuhi ragu dan takut yang amat sangat.
Tidak peduli seberapa besar rasa nyaman dan percaya Gun pada kekasihnya, menceritakan perihal masa lalu merupakan sesuatu yang sulit. Seperti membuka kembali luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Atau kalau Gun boleh menawarkan pengandaian, Ia seperti mempertontonkan film tentang dirinya dan rasa sakit yang selama ini ia coba lupakan pada orang lain.
Tapi papi bukan orang lain, batin Gun.
“Cil? Mau pulang sekarang atau nonton lagi?” Gun merasa kepalanya diusak, membuat ia kembali hadir dari absennya.
“Hm?” Gun mengerjapkan mata, ia memikirkan jawaban yang pas tapi tidak kunjung berujar.
Keduanya masih betah dalam posisi mereka, bergelung dengan selimut di atas kasur sembari menonton film yang kini telah usai. Gun tengah merebahkan kepalanya di atas dada Off, yang detak jantung milik laki-laki jangkung itu dapat ia dengar membuat si mungil kelewat nyaman. Sementara Off menaruh sebelah tangannya melingkari pinggang si mungil, pelan-pelan mengusap untuk memberikan rasa aman yang tenang.
“Kamu mikir apa sih, cil?” Tanya Off pada akhirnya, “mau cerita ke aku?”
Gun mengambil sebelah tangan Off yang bebas, lantas membuka plester yang selalu terpasang di sana. Si mungil mensejajarkan tangannya dengan milik Off, melihat bekas luka mereka berdua secara bergantian.
“Bekas luka punyaku lebih gak beraturan daripada punya kamu, Papi.” Ujar Gun sama sekali tidak menjawab pertanyaan lawan bicaranya.
“Iya, lukanya juga lebih lebar dari punyaku.” Sahut Off, ikut memperhatikan luka mereka berdua.
“Waktu itu aku setengah sadar bikinnya, pakai pecahan kaca pula.” Kata Gun. Detik itu juga Off paham kalau kekasihnya ingin mengutarakan hal-hal yang selama ini ia simpan sendiri, yang arsipnya sengaja ditaruh paling bawah dalam boks berisi kenangan buruk.
“Papi, it's been a year since I made this scar. Dulu aku pikir semuanya mimpi dan butuh waktu yang lama buat paham kalau ini realita yang menyakitkan.” Gun mulai bercerita, meninggalkan Off terdiam memperhatikan tiap tutur kata yang terucap dari kekasihnya.
“I've lost myself, Papi. Dan karena luka ini, aku ngabisin banyak waktu buat nyari diri aku yang hilang. Makanya aku cuti juga.” Suara Gun mulai bergetar, tapi ia masih belum ingin berhenti. Belum semua tersampaikan, pikirnya.
“Papi pasti sadar kalau aku ngejauhin temen-temenku, aku ngelakuin itu semata-mata karena aku takut mereka nanya perihal alasanku cuti. Aku gak bisa bilang ke mereka kalau aku cuti karena dirawat di rumah sakit akibat ngelukain diri sampai hampir mati.” Jatuh sudah air mata yang membendung di pelupuk mata si mungil. Isaknya lolos tanpa ditutupi mengingat bahwa sang kekasih adalah satu-satunya orang yang mengerti, lebih dari siapapun.
“Cil, sini lihat aku.” Panggil Off menarik wajah Gun untuk menghadap ke arahnya. Laki-laki jangkung itu mengusap air mata yang terus jatuh di atas pipi si mungil. “Pertama-tama, makasih udah mau cerita ke aku, pasti susah ya nyimpen ini semua sendirian?” Gun menganggukkan kepalanya sekali, lantas Off mencubit pipinya gemas.
“Makasih banyak udah percaya sama aku, Cil,” kata Off lagi, “emang butuh waktu yang lama buat semua balik jadi normal, takut dan khawatir yang kamu rasain itu wajar since I've been through that phase too. Jadi, Kecilku, kesayanganku, pacarnya Off, pelan-pelan yuk? Kamu punya seluruh waktu di dunia ini,
Kamu punya aku juga yang bakal nemenin kamu ngelewatin semuanya, yang juga sayang sama kamu banyak-banyak.” Ada nada jahil di antara tuturnya, tapi Off lebih dari tulus mengucapkan hal itu pada Gun.
Ucapan panjang lebar dari sang kekasih sukses membuat Gun menarik kedua sudut bibirnya. “Makasih banyak-banyak” ujar Gun seraya menaruh lengannya di antara leher Off, memeluk laki-laki di bawahnya erat-erat.
“Sayang papi juga.”
Off sedikit mendorong tubuh Gun, “apa, Cil?”
“Gun sayang Papii.” Jawab Gun tidak bisa menyembunyikan semburat merah di pipinya.
“Apa? Gak kedengaran, tuh?” Tanya Off lagi dengan senyum jahil yang terpatri di wajahnya.
“Gatau ah males,” Gun memajukan bibirnya, jelas merasa kesal dengan sikap kekanak-kanakan Off.
Alih-alih dibujuk, Gun merasa bibirnya disapu dalam sepersekian detik. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali, mencerna apa yang baru saja terjadi lantas matanya membulat sempurna saat sadar kalau ia baru saja dicium.
“Papi, ngapain?!” Gun setengah berteriak. Bukannya menjawab, Off malah memajukan kepalanya lagi, matanya menatap bibir Gun lekat lalu bergerak ke atas menemui netra sang empu, kali ini meminta izin atas lakunya. Gun dapat merasakan kedua bibir mereka hanya berjarak satu helaan napas, lantas ia menutup matanya tanda mengizinkan.
Sentuhan lembut yang teramat polos perlahan berubah menjadi pagutan penuh rasa. Seakan berlomba, mereka saling mengejar bibir satu sama lain. Merasa kalau posisinya kurang menguntungkan, Off menurunkan tangannya ke pinggang milik Gun dan mendorong si mungil seraya ia bangkit menukar agar tubuhnya berada di atas. Off menggunakan lututnya untuk menahan beban raganya agar sang kekasih tidak terhimpit.
Gun sedikit terkesiap dengan gerakan tiba-tiba dari Off, hal itu sukses membuat pagutan mereka terlepas. Ia menatap laki-laki jangkung di atasnya, paham kalau netra sang empu sudah dipenuhi rasa ingin tapi nalar masih menahan.
“You may kiss me again, Papi.” Ujar Gun memberikan konsen pada laki-lakinya. Mengambil resiko akan kemungkinan mendapatkan lebih.
ㅡ🌙