moon and universe

all written by Sel

Udah

Gun mengerjapkan matanya berkali-kali, masih menyesuaikan pandangan atas ruang yang kini diisi terang. Ia mengedarkan pandangan mencari laki-laki pemilik unit tapi urung ketemu. Gun menyingkap selimut abu yang bergelung di antara tungkainya, ia keluar dari area ruang tidur dan mendapati Off tengah duduk di atas sofa dengan mata yang tidak lepas dari ponsel di tangannya.

“Udah bangun Cil? Aku baru mau pesen makan, kamu mau apa?”

Gun menggigit bibir bawahnya, “ngikut aja deh.”

“Oke aku pesen kodok goreng.” Sahut Off membuat Gun mengangkat kedua alisnya heran, “yang bener aja Kak?!” Tanya Gun lantas dibalas dengan gelak tawa dari lawan bicaranya.

“Bercanda laah, ini aku mau pesen nasi kuning, kamu suka? Atau pesen lontong kari aja ya..” Off menggaruk bagian belakang kepalanya membuat Gun tanpa sadar menarik sudut bibirnya ke atas.

“Kak, kamu punya sikat gigi lebih gak? mau pinjem.” Tanya Gun.

“Ada di kamar mandi udah aku siapin, kamu cuci muka dulu aja. Eh atau mau mandi juga? Di bawah ada mini market sih kalo kamu mau beli daleman.” Cerocos Off masih tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel.

Ada semburat merah yang muncul di pipi laki-laki mungil mendengar tutur dari lawan bicaranya, “aku ke kamar mandi dulu.” Kata Gun seraya membawa tungkainya ingkah.

Setelah makan yang terlampau siang untuk disebut sarapan itu selesai, Gun mengambil piring milik mereka berdua, berinisiatif untuk mencucinya. Sepuluh menit berlalu, Gun kembali dan mendapati Off tengah menunggunya.

“Cil, mau ngomongin yang kemarin?” Tanya Off hati-hati.

Gun mengangguk pelan, lantas ikut duduk di samping si tuan rumah. Ia bergumam pelan sampai akhirnya berkata, “kemarin, makasih udah nyamperin aku, udah nenangin aku juga, terus maaf udah ngerepotin.”

“Nggak repot, tahu.”

“Aku tahu kamu semalem tidur di atas sofa ya,” sahut Gun lalu ia menghela napas, “maaf.” Lanjut laki-laki mungil itu.

“Gak masalah,” jawab Off, “yang jadi masalah itu, perasaan kamu gimana?”

Gun mengerutkan dahinya, bingung harus menjawab apa, “khawatir dan takut, kayaknya aku gak mau ke kampus dulu deh.”

Off menggelengkan kepalanya, “gak perlu,” ia melihat kerutan dahi Gun semakin dalam lantas ditekan dahi laki-laki mungil itu dengan telunjuknya, “kalau kamu ilang lagi, mereka malah seneng karna itu artinya mereka yang menang,”

“Lagipula kan ada aku,”

Gun membawa kedua telapak tangan menutupi wajahnya yang memerah, “stop, aku malu.” Ujar laki-laki mungil itu membuat lawan bicaranya tergelak.

“Gemesin banget sih, Cil.” Off lantas mengusak surai hitam milik Gun, mengacaknya sampai si mungil menepis. Ia berniat untuk mendorong lengan Off kuat-kuat tapi malah limbung dan tubuhnya kehilangan keseimbangan. Off heboh mengulurkan kedua tangannya untuk menahan pinggang si mungil, namun alih-alih mendudukan di tempat semula, Off malah menarik Gun lebih dekat dan mendudukkan laki-laki mungil itu di pangkuannya.

“Kak ih?!”

“Kak??”

“O-off?”

Keduanya tergelak menyadari percakapan omong kosong mereka, melupakan posisi canggung yang kini menjadi nyaman.

“Sekarang aku mau nanya serius, nih.” Tanya Off menyudahi tawanya.

Gun mengangkat alisnya, meminta melanjutkan tanpa kata-kata, “kamu udah suka sama aku belum sih, Cil?”

“Soalnya aku udah, banget.” Lanjut Off. Alih-alih menjawab, Gun malah menyembunyikan wajahnya di perpotongan leher milik Off.

“Udah juga.”

ㅡ🌙

Lima

T/W: Describing a person having panic attack

Sengaja ia memilih toilet lantai 4 yang amat jarang dikunjungi mahasiswa akibat rumor tidak baik. Gun membuka pintu toilet dalam sekali dorongan, netranya langsung bertemu dengan refleksi dirinya pada cermin besar yang memang terpasang pada tiap toilet.

Ia sedikit terkejut melihat wajahnya sendiri, matanya berkaca-kaca dan hidung yang sedikit memerah. Gun merasakan bahwa napasnya sudah mulai memburu tapi alih-alih menenangkan diri, kepalanya malah memutar kembali perkataan yang ia baca di laman sosial media kampus.

Gun membawa sebelah tangannya ke atas dada sebelah kiri, sadar kalau jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Lantas, kepalanya berputar tiba-tiba membuat sang tuan sengaja menjatuhkan diri karena tidak mampu lagi berdiri dengan kondisinya.

Deru napasnya pendek-pendek akibat sesak yang muncul di dada, sementara rasa sakit di kepala tidak kunjung usai. Gun mengedarkan pandangan untuk mencari benda apapun untuk difokuskan tapi sebelum itu, pintu toilet berhasil dibuka oleh seseorang dari luar.

“Cil? Gun? Bisa denger suara gue?”

“Gun, napasnya sambil dihitung ya, ikutin gue ayo,”

Off menarik napas dalam-dalam berharap Gun mengikuti, “satu,”

“Saa-tuu...”

“Duu-aaa...”

“Tii-gaa...”

“Em-pat...”

“Lima...”

Gun berhasil mengambil kontrol atas dirinya sendiri lagi. Ia menatap laki-laki jangkung yang ikut duduk di hadapannya kini tengah menunjukkan ekspresi lega. Tanpa aba-aba, Gun mengalungkan kedua lengannya diantara leher Off dan memeluk laki-laki jangkung itu dengan erat. Sedetik kemudian, ada isak yang lolos di antara hangat yang mereka bagi.

Gun menangis sejadi-jadinya.

ㅡ🌙

Berlebihan

Selepas acara sarapan bersama yang terlalu mendadak, Mama menyuruh Gun untuk membawa Off duduk di ruang tamu. Paham kalau anak laki-lakinya perlu berbicara dengan tamu yang datang ke rumah sepagi ini. Gun menerima nampan berisi dua gelas teh hangat dan menyusul Off yang sudah berjalan ke ruang tamu terlebih dahulu.

Netranya menangkap sosok laki-laki familiar tengah duduk di atas sofa. Laki-laki jangkung yang semalaman berlarian di kepala, kini mendongak membuat dua pasang mata saling menyapa. Off menyunggingkan senyum simpul melihat Gun mendekat ke arahnya.

“Kok kesini pagi-pagi?” Tanya Gun membuka pembicaraan setelah menaruh nampan di atas meja tamu, lantas duduk di samping Off menyisakan jarak di antara mereka.

“Mau ketemu lo,” jawab Off yang ikut bersandar di punggung sofa tanpa mengalihkan pandangan dari Gun.

“Kan bisa hari senin,” sahut Gun yang dibalas dengan gelengan kepala lawan bicaranya, “kelamaan, gue mau mastiin langsung kalo lo baik-baik aja.” Jawab Off lugas.

Dalam kurun sepersekian detik, Gun merasakan jantungnya berhenti berdetak lantas kembali normal. Jangan manis-manis dong, Off, teriak Gun dalam hati. Meski kenyataannya ia hanya bisa tersenyum kikuk dan berujar, “berlebihan, gue gak kenapa-napa padahal.”

Off mengangkat kedua bahunya, “lo nggak kelihatan baik-baik aja,”

Gun memajukan bibirnya, percuma mengelak karna matanya jelas masih terlihat bengkak dan berwarna kemerahan sisa menangis semalam, “gue khawatir lo marah karena kemarin gue tinggal gitu aja.”

Tanpa diduga-duga, Off malah tergelak mendengar tutur dari laki-laki mungil itu, “kan udah gue bilang kalau gue gak marah, gue cuma perlu dikabarin.”

“Maaf.” Cicit Gun yang kini menunduk, jemarinya memainkan ujung piyama yang dikenakan.

Off mengulurkan tangannya dan mengusak surai sang tuan rumah, “gue juga minta maaf udah bikin lo khawatir, kecil.

Lagi-lagi, hal sepele seperti inilah yang malah membuat Gun secara cuma-cuma membiarkan dirinya jatuh semakin dalam dalam tiap pertemuannya dengan Off. Dengan kata lain, Gun selalu menyukai bagaimana cara Off memperlakukannya.

ㅡ🌙

Khawatir

Gun masuk ke kamar adiknya dan melihat Chimon tengah duduk di atas kursi belajar. Tanpa mendongak pun, Chimon tahu kalau sang kakaklah yang tengah menginvasi ruang privasinya. Laki-laki mungil itu langsung mengambil tempat di atas tempat tidur adiknya sementara Chimon masih belum melepaskan pandangan dari game yang tengah dimainkan meski tahu suasana hati kakaknya tengah gundah.

“Udah dihubungi belum Kak Offnya?” Tanya chimon seraya memutar tubuhnya agar berhadapan dengan sang kakak yang sudah asyik memilin ujung selimut.

“Udah tadi, ternyata dia spam chat dan ada banyak missed call.” Jawab Gun, enggan menatap Chimon.

“Terus? Kenapa lo tiba-tiba kabur dari dia?” Chimon menuntut penjelasan, sebenarnya sang adik bukanlah tipe yang suka ikut campur urusan orang. Tapi ini menyangkut sang kakak, ia menunjukkan gelagat gusar yang jika tidak dipaksa untuk keluar malah akan menyakitinya pelan-pelan.

“Gue gak kabur,” Gun memulai ceritanya, “tadi ada New di tongkrongan. Kayaknya sih dia deket sama temennya Off. Gue kaget dan langsung ijin ke toilet sama dia. Gue tuh panik karena gue masih belum bisa ketemu New. Gue takut ditanyain macam-macam sementara gue gak bisa cerita gitu aja,” Gun memajukan bibirnya, dalam hati ia kesal dengan dirinya sendiri.

“Lo tahu sendiri kan gue sengaja ngehindarin temen seangkatan supaya gak ditanya perihal alasan gue cuti, pertanyaan sesimpel 'apa kabar?' pun gak bisa gue jawab dengan benar, apalagi nanti kalau ditanyain ngapain aja selama gue cuti.” Lanjut Gun panjang lebar. Tumpah sudah apa-apa yang sebelumnya ditahan, semua yang berenang di kepala berhasil diutarakan pada satu-satunya orang yang mau mendengarkan ia berkeluh-kesah.

Chimon tidak memberikan respon apapun, sang adik hanya menghela napas lantas menghampiri sang kakak dan membawanya ke dalam pelukan, “Gak apa-apa, ketemu New masih bisa nanti kalau lo udah siap.” Ujar Chimon yang dibalas dengan anggukkan oleh Gun.

“Tapi gue takut Off marah, gue cuma minta maaf tapi gak bisa ngasih alasan apa-apa. Gue masih gak mau kalau dia tahu.” Ada isak di antara kalimat utuh yang diucapkan oleh Gun, hal yang membuat Chimon mengusap punggung sang kakak berusaha untuk menenangkan laki-laki dalam pelukannya. Kakaknya khawatir, Chimon paham. Meski baru beberapa waktu ia mengenal sosok bernama Off, Chimon bisa melihat kalau sang kakak sedikit banyak sudah merasa bergantung pada laki-laki jangkung itu.

“Pelan-pelan Kak, gue yakin dia bakal ngerti. Ngelihat dia sebucin ini sama lo, dia gak bakal bisa marah.” Jawab Chimon yang dibalas dengan cubitan di pinggang oleh Gun.

“Ih Chimoooonn! Orang lagi serius juga.” Sahut Gun seraya mendorong tubuh adiknya menjauh.

“Gue juga serius,” balas Chimon sekenanya.

“Serius apa?” Sahut Gun tidak mau kalah.

Chimon menahan tawanya saat ia melihat wajah sang kakak, “lo jelek banget kalo lagi nangis, kak”

Kepala Chimon sukses dihadiahi pukulan yang bertubi-tubi, meski begitu ada tawa yang terdengar di antara rangkaian kata 'aduh'.

“Gak usah khawatir lagi, semuanya bakal baik-baik aja.” Kalimat dari Chimon sukses membuat Gun tertegun, dalam hati ia ingin sepenuhnya percaya tapi kepalanya malah berteriak menertawakan.

ㅡ🌙

Jatuh

Braga tidak pernah tidak sepi, bahkan di hari kerja pun jalur pedestrian tetap dipenuhi pejalan kaki. Off sengaja memarkirkan mobilnya di area parkir Braga City Walk agar mereka berdua dapat lebih leluasa menikmati jalan braga dan estetikanya.

Berjalan di tengah keramaian bukanlah hal yang disukai oleh Gun. Laki-laki itu sedikit kesulitan tapi tetap mencoba menikmati apa yang disuguhkan oleh sebagian kecil dari Kota Bandung. Lampu jalan, gedung tua, musik yang saling bersahutan dari tiap kios, serta aroma kopi yang sayup-sayup menyeruak. Laki-laki mungil itu tak ayal memerhatikan pemusik jalanan yang dengan niat membawa biola dan amplifier miliknya sendiri, yang dengan senang hati memainkan musiknya tanpa menghiraukan lalu-lalang pejalan kaki.

“Cil, tangannya mana?” Gun mendengar Off berkata, kurang jelas akibat hiruk-pikuk sekitar.

“Hmm?” Laki-laki mungil itu mendekatkan tubuhnya pada Off.

“Tangan lo mana? Sini pegangan.” Off mengulurkan sebelah tangan sebagai isyarat untuk Gun yang mengerti dan langsung menerimanya. Lantas, Off mengamit tangan mungil itu, mengisi sela-sela jari si kecil dengan miliknya. Sedikit menyalurkan rasa hangat lebih banyak memberikan rasa aman.

Detik itu juga, laki-laki yang digenggam sukses jatuh bebas kendatipun dalam kenyataannya ia tengah dijaga sebaik-baiknya.

ㅡ🌙

Sedikit Lagi

Dalam benak sang tuan, ia paham kalau dua minggu kebelakang laki-laki jangkung yang tengah menyetir di sampingnya ini mencoba untuk memberi impresi yang baik. Gun memang tidak memberikan jawaban yang pasti tapi diam-diam ia juga mencoba untuk membuka dirinya. Toh dari awal, dinding yang sulit ditembus oleh kebanyakan orang telah hancur dengan mudahnya oleh sang pejuang.

Bagi Gun, dengan memperbolehkan Off untuk mengantarnya pulang atau menuruti ajakan laki-laki itu sudah menandakan bahwa sang empu setuju untuk diperjuangkan. Pelan-pelan mereka berdua belajar tentang satu sama lain, sedikit kata lebih banyak lirikan mata. Meski begitu, siapapun yang berada dalam satu ruangan dengan mereka akan mahfum kalau ada ikatan tak kasat mata yang tergulat dan menghubungkan keduanya.

Bersama dengan Off, Gun seperti berada dalam galeri pameran tertutup dan Off dengan senang hati menuntunnya berkeliling. Satu persatu pintu terbuka, sejatinya dalam tiap ruang yang ia hampiri, Gun selalu menemukan dirinya merasakan satu perasaan yang sama.

Nyaman.

Sang pemilik galeri mampu membuat satu-satunya pengunjung yang diperbolehkan masuk ini merasa nyaman dan selalu tertarik untuk dituntun ke ruangan selanjutnya.

Selebihnya, dalam ruangan yang hanya ditempati oleh mereka berdua, Gun lagi-lagi menemukan bahwa Off mampu membuat sang pengunjung hadir sebagai dirinya sendiri. Utuh, apa adanya, tanpa perlu memasang topeng pura-pura. Laki-laki mungil itu sadar bahwa kehadiran sang pejuang bernama Off mampu memberikan pengaruh sebegitunya.

Gun menolehkan kepalanya dan mendapati Off masih fokus pada jalanan di depan mereka sambil sesekali menganggukan kepala mengikuti alunan musik yang mengisi ruang di antara keheningan mereka. Sadar diperhatikan, laki-laki jangkung itu ikut menoleh sehingga dua pasang netra saling menyapa dalam kurun sepersekian detik. Gun menarik sudut bibirnya naik tanpa sadar dan Off menunjukkan ekspresi yang tidak jauh berbeda.

Pada titik ini, Gun mengandaikan dirinya tengah berdiri di tepian tebing tinggi yang rapuh, yang dengan sentuhan lembut pun akan runtuh.

Sedikit lagi, pikirnya.

Sedikit lagi sampai ia benar-benar jatuh.

ㅡ🌙

Sama

“Lihat city of stars-nya Bandung udah, makan juga udah, sebenarnya ada lagi yang perlu gue tunjukkin.” Off membuka percakapan setelah mereka berdua selesai menyantap makanan masing-masing. Gun menatap Off penuh tanya, bibirnya masih menyeruput milo dingin lewat sedotan sehingga ia tidak bisa memberikan jawaban.

Kini mereka berdua tengah duduk beralaskan tikar usang di atas trotoar yang sudah disulap menjadi area angkringan. Walaupun penerangan lampu jalan di sekitar mereka remang-remang, Gun masih dapat melihat ekspresi serius yang terpasang di wajah Off.

“Boleh minta tangan lo, nggak?” Lawan bicaranya meminta izin, lantas diamini oleh Gun.

“Yang ini?” Tanya si mungil seraya menjulurkan tangan sebelah kiri.

Off mengambil tangan Gun dan dengan hati-hati memegang lengannya, “dibuka, boleh?” Tanya Off membuat Gun menggigit bibir bawahnya ragu, tapi toh ia mengangguk.

Lantas lengan jaket yang menutupi tangan kiri Gun disingkap oleh Off, menampilkan bekas luka yang tercetak jelas. Bekas luka yang hanya beberapa orang tahu bagaimana cara mendapatkannya. Yang dalam hal ini, Off juga paham. Karena sedetik kemudian ia menunjukkan lengan sebelah kiri miliknya yang terdapat plester besar. Perlahan Off membuka plester yang menutupi sebagian area di lengan bagian dalam, lantas ia menyandingkan lengannya dengan milik Gun.

Mereka berdua memiliki bekas luka yang sama, di tempat yang sama, dengan bentuk yang juga hampir sama.

Gun menahan napasnya, “sama.” Ujarnya tanpa sadar. Sekarang ia paham seratus persen maksud perkataan Off kemarin.

“Kaget? Gue juga sama.” Ujar lawan bicaranya, yang langsung kembali menempelkan plester di tempat yang sama. Laki-laki itu memberikan cengiran khasnya membuat Gun merasa rileks kembali.

“Dari lima juta penduduk kota Bandung, bisa-bisanya gue ketemu orang yang ngalamin hal yang sama.” Ujar Gun ikut menutupi bekas lukanya.

“Makanya gue bilang kita jodoh juga,” sahut Off tanpa aba-aba membuat Gun tersedak dengan minumannya.

“Ngasal banget lo” jawab Gun sewot tapi malah dibalas dengan tawa penuh canda oleh lawan bicaranya.

“Serius deh,” Off kemudian berdehem menyudahi tawanya, “gue percaya takdir, dan gue rasa semesta nyuruh gue buat deketin lo.”

Gun tidak merespon perkataan Off, tapi gesturnya mendandakan kalau ia mendengar ucapan lawan bicaranya, “sekarang gue minta izin sama lo, lo keberatan nggak kalo gue deketin?

Karena kayaknya, gue lebih paham apa yang lo rasain daripada orang lain di luar sana, begitupula sebaliknya.

ㅡ🌙

Bahagia

Ada sesuatu tentang Off yang membuat Gun penasaran. Bagi Gun, Off seperti magnet dan ia adalah logam yang secara suka rela menyerahkan diri pada laki-laki jangkung itu. Dan saat Off tanpa aba-aba berkata pada Gun bahwa mereka berdua memiliki hal yang serupa, alih-alih mendengus tidak percaya, Gun mendapati dirinya menatap netra laki-laki jangkung itu seakan bola matanya adalah lubang hitam yang siap menghisap segala kerisauan yang selama ini didera oleh si mungil. Mencari-cari celah dusta yang sempat terpikir dan malah menemukan kilat penuh rasa jujur.

Tidak ada yang bisa menjelaskan tentang alasan mengapa Gun bisa semudah itu menyerah dan meruntuhkan dinding yang selama ini sengaja dipasang. Bahkan ia sendiri tidak mengerti kenapa dinding itu luruh tanpa malu-malu hanya untuk Off seorang. Mungkin karena Off tidak berhenti memberikan impresi. Satu waktu saat Gun tengah menunggu Chimon menjemput sehabis urusan di tempat fotokopi selesai, Off bersikukuh untuk menemani dengan percakapan satu arah dari laki-laki jangkung yang kemudian diakhiri dengan Off menunjuk tepat ke arah lengan sebelah kiri milik Gun yang tertutup rapi oleh lengan panjang kemeja oversized yang dikenakan. Ia berkata dengan lantang, “Gue juga punya, sama persis.”

Detik itu juga ia merasa yakin. Hatinya tidak pernah salah, setidaknya ia tahu tentang hal itu.

Maka ketika Gun mendapati dirinya duduk dengan nyaman di dalam mobil hitam milik laki-laki jangkung yang kini tengah menyetir, sama-sama ikut bergumam mengikuti alunan nada lagu dari radio yang diputar, Gun sama sekali tidak menyesal.

Sekali lagi dalam hidupnya, Gun merasa bahagia. He feels happy and so full of himself right now.

ㅡ🌙

Jodoh

Teriknya matahari membuat sang tuan melangkahkan kaki pendeknya lebar-lebar. Tubuh mungil menjadi sesuatu yang menguntungkan baginya sehingga ia dapat dengan mudah mempercepat jalan. Gun sampai di tempat fotokopi yang tidak begitu ramai, ia menunggu giliran sembari berulang kali melihat ponsel. Kelasnya baru saja usai, tapi materi yang diberikan berupa kertas dengan jumlah terbatas sehingga ia perlu meminjam milik adik tingkatnya untuk disalin.

Jam istirahat makan siang merupakan jam krisis dimana baik dosen maupun mahasiswa terburu-buru menyempatkan waktu untuk makan dan menyiapkan kelas selanjutnya. Hal yang membuat tiap tempat ramai baik rumah makan atau tempat fotokopi, yang mana membuat Gun rela berjalan lebih jauh agar tidak perlu berdesak-desakan dengan mahasiswa lain. Setidaknya tempat ini, tidak seramai tiga tempat fotokopi sebelumnya yang sengaja ia lewatkan.

Gun menyunggingkan senyum tipis lantas berujar pelan, “a, mau fotokopi ya, bikin dua.” Ujar laki-laki mungil tersebut seraya menyerahkan kertas berisi materi yang sedari tadi digenggam.

Ia mengetuk-ngetukkan telunjuknya di atas elatase kaca sembari menunggu si tukang fotokopi mengerjakan tugasnya. Dapat ia rasakan seseorang mencoba menyelinap untuk ikut berdiri di sampingnya. Merasa terganggu, Gun mengambil ruang sedikit menjauh.

“Gun?” Kepalanya menoleh dengan cepat seraya rungu menangkap namanya disebut.

Lagi.

Kedua matanya membulat sempurna saat tahu kalau pemilik suara yang memanggil namanya adalah laki-laki yang ingin ia hindari. Chimon brengsek, batinnya merengek tidak pikir panjang.

“Eh, iya kan ya? Ketemu lagi nih kita,” lanjut laki-laki jangkung tersebut.Gun hanya memberikan cengiran setengah hati, tidak tahu harus membalas apa.

“Jodoh kali ya?” Sambung si jangkung membuat Gun tersedak dengan ludahnya sendiri, yang berhasil ditutupi dengan batuk canggung.

“Beh, punya dia udah belom?” Gun mendengar laki-laki itu bertanya pada tukang fotokopi yang melayaninya tadi.

Otewe jum, kalem lah nuju riweuh

“Yee karunya ieu budak kepanasan Beh, tingali bengetna kuatken ka bereum.

Gun melihat Babeh menghampiri laki-laki yang berdiri disamping, lantas tersenyum jahil sebelum berkata, “kabogoh nya?

Gun melotot kaget sementara yang ditanya hanya tersenyum dan menjawab, “doain weh jadi

Sinting, seloroh Gun dalam hati.

ㅡ🌙

//Trans: *Santai lah, lagi ribet **Kasihan ini anaknya kepanasan, mukanya sampai merah. ***pacar, ya? ****Doain aja jadi

Lagi

“Kak, gue mau starbak.” Ujar Chimon yang membuat Gun membulatkan matanya. Alih-alih menolak, laki-laki kecil itu malah menganggukkan kepala setuju dengan permintaan adik satu-satunya. Melupakan fakta bahwa Chimon sudah menghabiskan satu cup mcflurry coklat, mereka berdua memutuskan berjalan menyebrang dari Gramedia Merdeka ke pusat perbelanjaan di seberangnya.

“Lo pasti mau choco frappe deh, padahal tadi kan udah makan eskrim coklat.” Ujar Gun dengan suara sedikit lebih keras dari biasanya, bermaksud mengalahkan hiruk-pikuk suara kendaraan yang lewat di bawah mereka saat keduanya tengah menaiki jembatan penyeberangan.

“Gapapa sih, gue tiba-tiba pengen, nanti gue bayar sendiri deh.” Sahut Chimon yang persisten dengan keinginannya.

Chimon and his sweet tooth. Lagi-lagi Gun hanya mampu memutar bola matanya malas. Kalau sudah begini, ia tidak bisa melakukan apa-apa untuk membujuk adiknya.

“Lo mau apa kak? Latte?” Tanya Chimon saat mereka berdua sampai di depan kasir. Gun menggumam sebagai jawaban sembari matanya melihat-lihat etalase yang menjajakan beberapa macam dessert.

“Gue mau vegan cookie juga deh, kayaknya enak.” Sahut Gun, memberi tahu Chimon akan pesanan tambahannya. Lantas, Chimon kembali berbicara dengan pegawai kopi franchise kemudian membayar pesanan mereka berdua.

“Kak, gue ke toilet dulu ya, lo duduk aja. Punya kita udah gue bilang take away kok.” Chimon memberi tahu kakaknya sebelum melangkah pergi sementara Gun hanya bisa menuruti perintah Chimon, toh selama ini hanya Chimon yang bisa diandalkan sehingga pikirnya ini bukan hal yang bisa menjadi perkara.

Pikirnya.

Gun mengambil tempat duduk tepat di depan area barista agar lebih mudah dipanggil saat pesanan mereka sudah selesai. Dua puluh menit berlalu, Chimon masih belum kembali dan Gun merasa sedikit risih harus berada sendirian di tempat ramai seperti ini. Masih sibuk dengan pikiran di kepala, Gun agak tersentak ketika namanya dipanggil oleh sang barista, menandakan kalau pesanannya siap diambil.

Laki-laki kecil itu menghampiri sang barista dan hendak mengambil kedua pesanannya. Kebiasaan, Gun menarik lengan jaket yang dipakai sebelum mengambil dua gelas dan satu paperbag berisi cookie yang dipesan. Acuh dengan sekitar, Gun tidak menyadari ada sepasang mata yang tengah memerhatikan dirinya dalam diam. Sampai akhirnya pemilik sepasang mata itu membuka suara.

“Eh-” refleks, Gun mencari pemilik suara dan berhasil membuat kedua pasang netra saling menyapa. “Halo? Ketemu lagi kita.” Ujar laki-laki jangkung yang berdiri hanya terpaut tiga langkah darinya.

Gun mengerjapkan matanya, bingung bagaimana harus merespon dan rasa bingung itu terpampang jelas di wajahnya. Ia melihat dua orang lain di belakang laki-laki jangkung itu asik dengan percakapan mereka sendiri. “Sini gue bantuin, lo duduk di mana?” Tanya lawan bicaranya, ia langsung mengambil satu gelas dan mengisyaratkan Gun untuk berjalan.

“Anu, gue-”

“Kak, udah?” Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Chimon datang menghampiri mereka.

“Adek lo?” Tanya laki-laki tersebut, yang hanya mampu dijawab dengan anggukan oleh Gun. Laki-laki itu memberikan gelas yang ia pegang pada Chimon dan langsung pamit, “Kalau gitu, gue balik ke temen-temen gue. Sampai ketemu lagi.”

Chimon sedikit mengerti situasi yang ada, lantas menarik sebelah tangan kakaknya untuk berjalan kembali menuju gramedia tempat ia memarkirkan mobil. Sementara Gun tetap diam seraya mengikuti langkah Chimon yang tergesa.

ㅡ🌙