buddyeyo


Aruna sudah merasa lebih tenang, hampir seminggu Aruna tidak memberi kabar pada orang terdekatnya, dan seminggu itu pula Aruna tidak pulang kerumah.

Siang ini Aruna memutuskan untuk menyudahi istirahatnya. Ia akan pulang kerumah, menemui Juan dan orang-orang yang menyayanginya. Tapi sebelum pulang, Aruna memilih mampir ke makam orangtuanya, Pak Kusuma dan juga Haekal.

Kini ia ada dimakam Haekal. Menyurahkan segala perasaan rindu.

“Semoga kita bisa ketemu lagi ya, Kal. Kak Runa kangen banget sama kamu. Makasih karena pernah jadi bagian dari kehidupannya kakak. Isitrahat yang tenang anak baik,”

Aruna berdiri dengan susah payah, lalu melipat kursi yang sengaja ia bawa. Dibelakangnya ada laki-laki yang menatap Aruna dengan tatapan tidak percaya.

Tatapan rindu, tatapan sedih, juga tatapan haru bisa terlihat dimata laki-laki ini.

“Kak Runa..” panggilnya.

Aruna menoleh seketika, sangat terkejut melihat laki-laki ini lagi setelah sekian lama.

“Juna..”

***

“Kakak apa kabar?”

“Baik banget. Juna gimana? Sekarang tinggal dimana?” tanya Aruna.

Mereka berdua duduk dikursi panjang yang disediakan diluar makam.

“Juna tinggal dimansion yang dibikin sama Papa kak. Kakak sen—”

Kring Kring ponsel Aruna berbunyi. Ia mendapat panggilan dari Hendra.

“Sebentar ya Juna,”

“Halo?”

“Na, Nata kecelakaan.”


Pertengkaran Aruna dan Winata belum juga menemukan titik terang. Itu tidak membuat Aruna menyerah, sudah seminggu ini ia selalu bangun pagi untuk menyiapkan sarapan. Tentu untuk suami serta anaknya. Tapi..

Hanya Juan yang memakan masakan Aruna, Winata sama sekali tidak menyentuh makanan yang dibuatnya. Aruna lelah, ia ingin keadaan kembali seperti biasanya.

Winata bahkan tidak menyapa Aruna ketika ada Juan, setidaknya hanya didepan Juan suaminya itu akan bersikap seperti biasa.

“Bunda, Babang nemenin Ayah dulu ya,”

“Iya. Babang jangan nakal ya, Ayah lagi kerja,” ucap Aruna.

Juan menghampiri Sang Ayah di sudut ruang tamu, berkutat dengan PC-nya. Mencetak gambar kerja untuk kebutuhan kerjanya.

Aruna mengusap perutnya yang besar, sebulan lagi ia akan melahirkan. Apakah hubungannya dengan sang suami akan terus seperti ini sampai saatnya ia melahirkan? Aruna tidak ingin itu terjadi, tapi ia kehabisan cara untuk membuat Winata memaafkannya.

“Doain Bunda ya Nak, semoga waktu kamu lahir ayah kamu sudah mau bicara lagi sama Bunda,” ucapnya dalam hati.

“Babang nunggu banget kehadiran kamu lho, semoga kamu sehat terus didalam sana ya. Bunda sayang banget sama kamu,”

Aruna tersenyum tipis, merasa senang bisa mengandung lagi.

“JUAN!” teriak Winata membuat Aruna terkejut dan langsung menghampiri sang suami.

“AYAH UDAH BILANG JANGAN GANGGU AYAH!” bentak Winata pada Juan.

Juan menunduk, menahan tangis karena bentakan sang ayah. Baru kali ini Winata membentak Juan seperti itu.

“Sini sayang,” ucap Aruna.

“Gapapa, Bunda disini,” bisik Aruna sambil memeluk anaknya.

“Kamu ga perlu teriak Mas, kamu bikin Juan takut,” ucap Aruna dingin.

Aruna melirik gambar-gambar yang basah karena kopi. Juan pasti tidak sengaja menyenggol gelas kopi milik Winata.

“Kamu bisa cetak ulang gambar-gambar kamu itu. Ga perlu bentak anakku,”

“Kalo kertas dan tintanya habis atau komputernya aku bisa belikan buat kamu. Kamu pesan aja, aku yang bayar,” sindir Aruna.

“Ga usah ikut campur!” hardik Winata.

“Aku berhak ikut campur. Aku Bundanya Juan, aku yang lahirin Juan,”

“Jangan sok berkuasa,”

“Cukup Mas!” pekik Aruna.

“Aku mau pulang! Ayo Nak ikut Bunda!” ajak Aruna, ia menggandeng tangan Juan. Tapi langkahnya tertahan karena Winata menarik tangan Juan yang lain.

“Juan tinggal sama aku,” ucap Winata tajam.

“Aku gak mau anakku dibentak-bentak kayak tadi! Aku udah capek sama sikap kamu dari kemarin. Kamu ngga pernah hargain usaha aku untuk bikin hubungan kita membaik. Kamu yang ngga mau kita damai Win,” ucap Aruna menahan tangisnya. Juan sudah menangis karena Winata mencengkram tangan anak itu cukup kuat.

“Juan tinggal sama aku,” ulang Winata.

Aruna mengusap kasar wajahnya, memeluk Juan sebentar. Juan membalas pelukan Bundanya meski Bundanya tidak bisa berjongkok.

“Babang takut Bunda,” ucap Juan pelan, satu tangannya masih digenggam oleh Winata.

“Bunda pergi dulu ya. Nanti Bunda jemput Juan, kita piknik berdua,” bisik Aruna pelan. Juan menggeleng kuat, ia tidak ingin ditinggal oleh Bundanya.

“Bunda janji. Juan sama ayah dulu ya. Setelah itu Bunda jemput Juan dan piknik bareng. Bunda janji,” bisik Aruna lagi.

Akhirnya Juan mengangguk dengan berat hati.

“Bunda pergi dulu ya.”

Malam itu Aruna mengemas keperluannya untuk beberapa hari kedepan. Wanita itu ingin menenangkan hati dan pikirannya, ia juga harus memikirkan kandungannya. Malam itu, dengan berat hati Aruna meninggalkan rumah. Aruna mengendarai mobilnya menuju rumah sederhana yang dulu ia beli sebelum menikah dengan Winata. Rumah yang tidak diketahui oleh siapapun.


Siang ini rumah Aruna sangat ramai.

Ada Juan, Biru, Nila, Hendra dan juga Raffa. Bahkan Raffa membawa seorang anak laki-laki yang tidak asing bagi Aruna.

“Kayak pernah liat, siapa sih Fa?”

“Kelvin kak, anaknya Mbak Wanda,”

Ahh Aruna ingat, anak kecil yang dulu pernah ia temui dirumah sakit. Anak yang dulu ia sangka adalah anak Tara.

“Kelas berapa sekarang?”

“Kelas enam Tante,”

“Wah udah lama banget ngga ketemu ya. Gih main bareng sama yang lain,”

Aruna mengajak Raffa masuk kerumah, didalam sudah ada Hendra yang baru selesai menata makan siang.

“Wih ada tamu jauh nih,” ucap Raffa ketika melihat Hendra.

“Lo kali yang jauh!” timpal Hendra.

“Ayo makan, belum makan kan?” ajak Hendra.

“Buset gue baru nyampe ini Bang. Kalem napa, ngaso dulu capek,”

“Lemah,” cibir Hendra.

“Biarin aja!”

Aruna memilih memperhatikan saja obrolan dua laki-laki didepannya ini.

“Lo udah punya bini?”

“Belom. Duh ini baru ketemu lagi Bang setelah sekian lama, apa kek gitu yang ditanyain. Kabar gimana, karirnya gimana,” cerocos Raffa.

“Lo sehat,” ungkap Hendra.

“Tau dari mane?”

“Lo banyak bacot kayak dulu,”

Raffa memaksakan senyumnya, baginya Hendra sama sekali tidak berubah. Masih sama seperti dulu mereka bertemu.

“Btw kembaran lo yang ganteng itu kemana?” tanya Hendra.

“Gue juga ganteng!”

“Dibawah dia dikit,”

“Mana ada!”

“Iya-iya dah. Cepet jawab!” suruh Hendra.

“Tidur dirumah. Dapet libur seminggu,”

”...”

”...”

“Na, lo bohong ya sama gue?”


Sudah berhari-hari Aruna sarapan hanya sendirian. Winata menghindarinya, Aruna juga tidak berani mendekat karena ia sadar kesalahan yang ia buat cukup fatal.

Terkadang Aruna melewatkan makan siang dan makan malamnya. Memikirkan cara agar hubungannya dengan sang suami membaik membuat ia melupakan segalanya.

Saat ini Aruna datang kerumah sakit, ia sadar bahwa kondisi kesehatannya menurun.

“Jangan banyak pikiran kak. Inget kata dokternya,”

“Iya Raffa,”

“Kakak bawa satu nyawa yang belum menghirup polusi udara kak, jangan lupa,”

Aruna terkekeh pelan mendengarnya, cukup terhibur.

“Raffa ngga bercanda loh kak, seriusan ini,”

“Iya Raffa. Kakak ngga akan banyak pikiran dan makan teratur mulai besok,”

“Yaudah. Ayo Raffa anter pulang, kakak ngga bawa mobil kan?”

“Kakak pul—”

“Ngga menerima penolakan. Lagian sekarang udah malem, ibu hamil ngga boleh pulang sendirian dan dianter orang ngga dikenal,” putus Raffa tegas.

Akhirnya Aruna memilih menurut, menolak berkali-kali pun tidak akan didengar sama sekali oleh Raffa.

***

“Kamu ngga dateng ke pernikahannya perawat yang cantik itu?”

“Belum kak. Pernikahannya ditunda sih denger-denger. Kayaknya nikahnya bulan depan. Kak Embun udah mulai cuti lagi,”

“Ketentuan cuti menikah di rumah sakit apa seenak itu Fa?”

“Dia mau nikah sama anaknya pemilik yayasan rumah sakit kak. Bebas lah jadinya,” jelas Raffa.

“Kakak nih yang harusnya udah ambil cuti hamil, nanti sambung cuti melahirkan. Mayan loh kak tiga bulan dirumah tapi dibayar,”

“Besok kakak udah mulai cuti kok, dari minggu kemarin udah urusin semuanya dikantor,”

“Bagus deh kalo gitu, Raffa jadi ngga khawatir,”

“Lagian ngga ada yang perlu dikhawatirin tau,”

“Ya terserah kakak deh. Sekarang ayo pulang sebelum dicari sama Bang Nata,” ajak Raffa membuat Aruna tertegun. Yah.. Pasti Winata sudah tidur bersama Juan.

***

“Kak,” panggil Raffa. Kini mereka sudah sampai didepan rumah Aruna.

“Iya?”

“Masih temenan sama temen kuliah yang waktu itu?”

“Maksud kamu Hendra? Masih,”

“Yang satunya?”

“Diluar negri, belum pulang sampe sekarang,”

“Kalo butuh bantuan dan ternyata temen kakak yang namanya Hendra itu lagi sibuk, jangan sungkan buat hubungin Raffa ya kak,” ucap Raffa, ia menyadari bahwa hubungan kakaknya dengan sang suami agak kurang baik.

“Iya. Makasih banyak, Fa.”

***

Aruna memasuki kamar Juan dengan berani. Ia merindukan Juan, anak pertamanya.

Dengan lembut ia masuk ke selimut Juan, memeluk anaknya selembut mungkin agar tidak terbangun. Tidak ada Winata disana.

“Bunda kangen kamu, Nak,”

“Nghh, Bunda?”

“Hai. Maaf ya Bunda bangunin Babang,”

“Gapapa Bunda,” jawah Juan pelan, anak itu masih mengantuk.

“Gimana tidur sama Ayah belakangan ini? Seneng?” bisik Aruna. Tapi Juan mengernyitkan alisnya bingung.

“Ayah ngga pernah tidur disini Bunda,” jawab Juan.

Hati Aruna mencelos, Winata berbohong padanya?

“Gitu ya? Yaudah Babang lanjut tidur ya. Bunda mau liat ayah diruang kerjanya.

“Bunda, tiga minggu lagi Babang ulang tahun. Bunda jangan lupa ya?”

“Iya. Bunda ngga akan lupa, nanti kita rayain bareng Ayah ya,”

“Boleh aja Papa Hendra ngga Bun? Sama Biru dan Nila juga,”

“Boleh. Nanti kita ajak mereka. Sekarang Babang tidur lagi ya,”

“Iya Bunda,”

Aruna keluar dari kamar Juan, ia tersenyum tipis. Winata tidak melupakan perjanjian mereka saat itu, janji untuk tidak memperlihatkan pertengkaran mereka didepan Juan.

Aruna berdiri didepan kamar tamu. Ia yakin Winata tidur disana. Dengan mengumpulkan keberanian, Aruna masuk ke kamar dengan sangat hati-hati.

Seperti yang sudah ia duga, Winata disana. Sedang tidur pulas.

Aruna mendekat secara perlahan, ia merindukan Winata. Biasanya setiap pagi Winata sudah bangung dan menunggu Aruna bangun.

“Gue ngga boleh nangis,”

“Maaf ya Win. Aku janji akan bikin hati kamu tenang lagi. Aku sayang kamu.”


“Bunda, adik kapan keluar dari perut Bunda?”

“Dua bulan lagi sayang. Sabar ya,”

“Nanti Babang boleh kan gendong adik?”

“Boleh. Tapi kalau udah agak besar ya, biar adiknya nyaman,”

Juan mengangguk kecil. Belakangan ini perut ibunya yang semakin membesar sangat menarik perhatiannya.

“Bunda mau makan? Babang ambilin ya?”

“Nanti ya. Kita makan malam bareng Ayah,”

“Kalo ice cream?”

“Bunda ngga pengen es krim,”

“Yah.. Terus Bunda mau apa? Kata Ayah, Babang harus bantu ambilin ini dan itu buat Bunda,” ucap Juan sedikit murung. Aruna yang merasa tidak tega akhirnya mengalah.

“Kalo gitu Bunda minta tolong ambilin air putih ya,”

“Oke, Babang ambilin,”

Tepat saat Juan pergi, Winata baru saja pulang kerja. Sejak Raffa memberitahunya bahwa Winata tau jika ia dan Tara saling mengenal, Winata memang tidak terlalu banyak bicara pada Aruna.

“Mau mandi pakai air ha—”

“Kapan mau jujur? Aku nunggu kamu dari kemarin,” potong Winata cepat.

“Mas a—”

“Bundaaaaaa ini air putihnya,”

Juan memberikan segelas air putih kepada Aruna, lalu menghampiri sang ayah yang baru pulang bekerja.

“Yah, Babang udah ambilin minum buat Bunda,”

“Iya makasih Bang. Sekarang kamu ke kamar dulu ya sebentar. Nanti Ayah panggil buat makan malem. Ayah mau bicara dulu sama Bunda,”

“Iya.”

***

“Dari awal kamu ngga jujur sama aku Na. Kenapa? Kamu masih cinta sama dia?”

“WIN!”

“APA?!”

“Andai aku ngga tanya Jean soal ini, pasti aku kayak orang bodoh yang ga tau apa-apa!”

“Win tolong jangan gini,” pinta Aruna.

“Terus kamu mau gimana? Pisah ranjang? Mau balik sama dia?!” tuding Winata.

“WINATA!”

“Apa yang kamu takutin Na? Kamu takut aku marah? Takut aku bakal berbuat yang ngga-ngga ke dia? Takut ngga izinin kamu buat ketemu sama adik-adiknya?”

“Kamu ngga percaya sama suami kamu sendiri? Aku kenal kamu udah lama banget Na,”

“Semembekas itu kah dia dihati kamu? Yang hadir dihidup kamu, bahkan kamu ngga sampai satu tahun tinggal bareng dia, Na. Sedangkan aku, aku udah kenal kamu dari kecil. Kita nikah udah tujuh tahun Na,” lirih Winata. Pikiran buruk terus menghantuinya selama beberapa hari terakhir.

“Win, aku cuma bantu dia urus perceraiannya aja. Ngga lebih dari itu,” jawab Aruna pelan, ia berusaha untuk tidak menangis.

“Terus kenapa kamu ngga bilang kalo kalian saling kenal???” tanya Winata, nada bicaranya sedikit meninggi.

“Aku ngga tau kalo dia Tara yang aku kenal,”

“Aruna, pertanyaanku adalah kenapa kamu ngga bilang kalo kalian saling kenal? Jangan berputar-putar. Jangan bikin aku tambah punya pikiran buruk tentang kamu sama dia!”

“Maaf,”

“Aku tidur dikamar Juan.” putus Winata, ia membawa bantal dan juga selimut baru.

“Win, maaf.”

Tapi Winata mengabaikannya, suaminya itu tetap pergi membawa bantal dan selimut. Beberapa menit kemudian Winata kembali masuk, tapi bukan untuk menghampiri Aruna. Ia mengambil beberapa gambar kerja juga pakaian kerjanya untuk besok.

“Ya Tuhan, kenapa jadi begini..”


“Maaf gue ngerepotin lo sama istri lo,”

“Gapapa, sekalian kok,”

“Bentar gue amb—”

“Gue mau langsung pulang aja bro, udah malem juga,” potong Winata.

“Ga mampir dulu?”

“Next time kita nongkrong bareng bisa, gue ajak temen gue juga biar rame,”

“Boleh,”

“Kalo gitu gue pamit ya. Kasian istri gue tidur dimobil,”

“Oke. Hati-hati. Makasih udah dateng,”

“Yoii. Gue pamit yaa.”

***

“Yang...”

“Bun,”

“Sayangg,” panggil Winata agak keras.

“Liatin apa sih?” tanya Winata karena Aruna masih tidak menjawab panggilannya.

“Ternyata dunia beneran sempit banget Yang,”

“Kenapa?”

“Istri yang mau cerai sama ayahnya Jia...”

“Siapa?”

“Yesa.”


Sesuai rencana yang sudah dibuat, Winata mengajak Aruna untuk ikut bersamanya menjenguk rekan kerjanya yang mengalami kecelakaan kerja.

Mereka pergi hanya berdua, Juan tidak ingin ikut. Anak itu memilih tinggal bersama Hendra.

“Kamu udah tau ruangannya Yang?”

“Udah. Tadi sore aku tanya ke yang udah dateng kesini,”

Aruna mengangguk paham. Memilih mengikuti Winata yang fokus membaca nama ruangan rumah sakit ini.

“Dia sakit apa?” tanya Aruna.

“Dia liat material dari atas yang jatuh dan hampir kena aku, dia lari dorong aku. Tapi dia sendiri kesandung, dan akhirnya dia yang kena,” ucap Winata pelan, ia merasa bersalah.

“Kalo gitu aku harus bilang makasih sama temen kerjamu,”

“Kenapa?”

“Berkat dia kamu selamat dan ngga apa-apa,” jawab Aruna jujur.

“Tapi kan jadi orang lain yang celaka,”

“Kalo dia tau bakalan kesandung, mungkin dia cuma akan neriakin kamu aja dari kejauhan, Mas. Ga akan lari kayak yang kamu ceritain,” jawab Aruna.

“Iya sih,”

Tidak lama, Winata menemukan ruang rawat inap yang mereka cari. Terlihat dari kaca, ada dokter dan seorang perawat yang sedang memeriksa pasien.

Tok tok

Winata membuka pintu, lalu masuk sembari menggandeng Aruna dibelakangnya.

“Permisi. Malam, maaf ganggu dok,”

“Malam, tidak apa—”

Dokter tersebut megantung kalimatnya, ia mengenali seseorang yang berdiri dibelakang Winata.

“Kak Runa...”

Aruna yang merasa namanya dipanggil memunculkan wajahnya dibalik badan Winata.

Raffa.

Yah, Raffa yang selama ini Aruna cari kini ada didepannya.

“Kak..”

Raffa menghampiri Aruna, kakak perempuan yang juga selalu ia cari selama beberapa tahun terakhir.

“Raffa cari Kak Runa kemana-mana selama ini,”

Aruna hanya diam, ia masih mencerna baik-baik keadaan ini.

“Kak,” panggil Raffa membuat Aruna tersadar dari lamunannya.

Tanpa aba-aba, Raffa memeluk Aruna. Winata cukup terkejut, tapi ia mencoba membaca keadaan.

“Mantannya?”

“Adik sepupunya?”

“Saudara jauh?”

Winata hanya mencoba menerka-nerka.

Tapi Aruna, wanita ini tertegun melihat siapa yang berbaring diranjang rumah sakit.

“Jean,” lirih Aruna pelan, sedangkan yang ia tatap memalingkan wajah begitu saja.

Ekhem

Yah, Winata mulai merasa gerah melihat pemandangan disampingnya. Istrinya dipeluk oleh laki-laki lain yang tidak ia ketahui posisinya apa dalam kehidupan Sang Istri.

“Bisa jelasin ngga Yang? Aku kayak orang bodoh liatin istriku dipeluk berondong,” celetuk Winata.

Raffa tersadar, lalu melespaskan pelukannya. Ia menatap Winata dengan kaku.

“Raffa, Bang. Adiknya Kak Runa,” ucap Raffa memperkenalkan diri.

“Winata, suami Aruna,” balas Winata.

“Kak Embun boleh keluar aja. Nanti saya susul,” ucap Raffa kepada perawat yang hanya memperhatikan dengan bingung sedari tadi.

“Yang jelasin,” pinta Winata karena Aruna belum juga membuka suara.

“Mereka adik aku,” jelas Aruna singkat.

“Mereka? Mana lagi?”

“Jean. Kakak kembarnya Raffa. Temen kerja kamu Mas,”

“Sempit banget dunia,” celetuk Raffa.

“Adik gimana? Adik sambung? Adik tiri? Kamukan anak tunggal,”

“Duduk dulu kak,”

“Lo ganggu mulu,” cibir Winata pada Raffa.

“Biar PW Bang,”

Akhirnya Winata memilih duduk, ia ingat bahwa istrinya tengah mengandung.

“Kamu inget ngga pertama kali kita ketemu, aku pernah nanya dan nunjukin foto ke kamu? Empat orang pake baju praktek, dan kamu bilang kamu ngga kenal mereka?”

“Lupa,” sahut Winata seadanya.

Aruna membuka ponselnya, mencari kembali foto yang ia maksud.

“Lo bisa duduk jauhan dikit ngga dari bini gue?” tanya Winata karena Raffa duduk disamping Aruna sambil melihat-lihat Aruna yang sibuk mencari foto diponselnya.

“Ngga bisa Bang. Rindu berat nih. Hampir delapan taun ngga ketemu,”

“Delapan taun? Sejak kita belum deket dong Yang?” Aruna mengangguk, ia masih sibuk mencari foto yang dahulu ia tunjukkan pada Winata.

“Kenapa bisa ngga ketemu?”

“Istri lo ninggalin gue sama yang lain Kak.” sahut Jeano dari tempat tidurnya.

***

Aruna meminta waktu pada Winata untuk mengizinkannya berbincang bersama Raffa diluar kamar inap Jeano.

“Semenjak Bang Tara nikah semuanya kacau Kak. Awalnya Raffa sama yang lain masih tinggal dirumah meski Bang Tara udah nikah. Tapi nggak lama setelah itu Papa minta salah satu dari kita buat nikah juga. Kita ngga ada bilang apa-apa, langsung minggat kerumah Kakek. Gila aja baru masuk kuliah udah disuruh nikah, cintanya belakangan deh, anak orang mau dikasih makan apa? Tapi diakhir Juna tiba-tiba mau karena ngerasa dia yang paling tua dan harus berkorban, sejak itu kita ngga pernah ketemu Juna lagi,” jelas Raffa.

“Sampai sekarang?”

“Iya Kak. Jean juga ngga dapet petunjuk apa-apa tentang Juna,”

“Kalo Mas Tara gimana? Kamu lost contact juga sama dia?” tanya Aruna.

“Iya. Papa seolah nutupin semua akses biar Raffa ngga bisa hubungin mereka,”

“Baru-baru ini Kakak ketemu sama Mas Tara,”

“Hah? Kok bisa?”

“Dia mau cerai sama istrinya, kakak dampingin sebagai pengacaranya,”

“Awalnya gimana Kak? Pasti ada perantara dong yang bikin kalian ketemu lagi,”

“Lewat anaknya dan suami kakak,”

“Berarti ini anak kedua?” tanya Raffa sambil menunjuk perut Aruna yang sudah mulai buncit.

“Iya, kalo kamu gimana?”

“Gimana apanya kak?”

“Udah nikah?”

Raffa tersenyum pedih, meratapi nasibnya sendiri.

“Boro-boro nikah, cewek aja ga punya,”

“Kenapa? Kamu ganteng, dokter juga,”

“Ribet ah kak. Mau yang pasti-pasti aja,”

“Langsung nikah gitu maksudnya?”

“Iya,”

“Perawat yang tadi cantik. Anggun juga keliatannya,”

Raffa menoleh, lalu tersenyum hangat. Aruna memang tidak pernah salah menilai orang.

“Iya kan? Tapi Kak Embun udah mau nikah kak. Bulan depan, kalem juga orangnya,”

“Jadi suka nih sama partner kerja sendiri?”

“Primadona tau kak dia. Waktu Raffa masih koas dia jomblo, tapikan Raffa masih belum ada penghasilan. Jadi ngga berani pdkt. Sekarang ketemu lagi udah ada pawangnya,”

“Belum jodoh itu namanya,”

“Yah ga tau deh. Tapi ga galau-galau amat sih kak. Terus kalo kakak gimana?”

“Apanya yang gimana?”

“Suami kakak tau kalo kakak sama Bang Tara orang yang saling mengenal?”


“Tante,” panggil Jia.

“Iya, kenapa?”

“Tante temenan sama Papa Jia?”

Aruna mengangguk mengiyakan. Lalu memilih menyaksikan Jia, Biru, Nila dan Juan yang saling memamerkan hasil kerajinan tangan yang mereka buat tadi.

Tidak lama Tara datang dan duduk dihadapan Aruna.

“Ini, udah benar?”

Aruna fokus memeriksa ulang kesesuaian berkas yang Tara berikan.

“Ini saya bawa ya Mas. Nanti saya kasih surat gugatannya sebelum dikasih ke pengadilan,”

“Boleh, sidangnya gimana?”

“Nanti saya kasih tau setelah jadwalnya ada,”

“Oke. Kalo gitu saya langsung pamit aja. Ada tugas mahasiswa yang harus saya periksa,”

“Jia ayo pulang.”

“Sebentar Papa,”

“Tante, Jia boleh sering main kerumah Tante nggak?”

Tara cukup terkejut mendengarnya, sedangkan Aruna sudah menduga hal ini.

“Boleh, main aja,”

Jia bersorak senang.

“Bunda,” panggil Biru dan Nila bersamaan.

“Iya?”

“Kita juga mau sering main kerumah Bunda!” rengek sikembar.

Aruna gemas lalu mencubit pipi mereka.

“Kalian tanpa izinpun pasti bakal sering main kerumah,”

Anak kembar itu hanya tertawa. Aruna mengusap puncak kepala anak-anak didepannya satu persatu, matanya beralih menatap Tara yang juga sedang menatapnya dengan senyum tipis.

Tentu saja itu membuat Tara salah tingkah.

“Bodoh!” ucap Tara didalam hati, memaki dirinya sendiri.

“Kalo gitu saya pamit ya Mas. Saya ada acara,”

“Mereka berdua anak kamu Na?” tanya Tara penasaran, yah bisa dibilang Tara baru menyadari keberadaan dua anak ini.

“Bukan. Anaknya temen,”

“Ohh gitu,”

“Kalo gitu saya pamit ya Mas,”

“Juan, Biru, Nila ayo kita pulang,” sambung Aruna.

“Iya Bunda,” jawab ketiganya.

“Hati-hati Na,”

“Iya.”


Malam ini sesuai rencana, Hendra datang bersama anak-anaknya sambil membawa daging segar untuk nanti.

“Banyak banget Hen, siapa yang mau habisin? Gue beli sosis sama jagung juga buat anak-anak,”

“Yaudah gapapa, besok kita sarapan daging lagi aja kalo banyak sisa,” saran Hendra yang diangguki oleh Aruna.

“Yaudah ayo, langsung ke belakang aja,”

“Kembar, ayo ikut Bunda Runa ke kamar Juan,”

Aruna mengantarkan Biru dan Nila ke kamar Juan agar mereka bermain atau belajar bersama sambil menunggu, lalu menghampiri Winata dan Hendra yang mulai membakar daging untuk makan malam hari ini.

***

“Yang izinin aku bantuin dong, ngapain kek gitu,” rengek Aruna.

Baik Winata maupun Hendra tidak mengizinkan Aruna membantu, meski hanya menyusun piring digazebo kecil rumah mereka.

“Duduk aja. Liatin kita,”

Mau tidak mau, Aruna memilih menurut. Ia duduk tak jauh dari panggangan.

“Gue jadi inget waktu kita liburan,” celetuk Winata.

“Waktu kita pertama kali deket Yang,” sambungnya.

“Lo sama sekali ngga dapet kabar Jevan, Hen?” tanya Winata.

“Kagak, dia bilang balik tujuh taun lagi, mana anjir? Dusta aja kerjaannya. Mana pake ngilang ga ada kabar,” cerocos Hendra kesal.

Betul, sejak keberangkatan Jevan, cowok itu sama sekali tidak memberi kabar apapun kepada sahabat-sahabatnya disini.

Jevan juga sepertinya tidak tau bahwa Aruna sudah menikah dengan Winata.

“Kalo sampe batang idungnya muncul dihadapan gue, bakal gue tonjok muka gantengnya sebagai salam bertemu kembali!” ucap Hendra berapi-api.

“Jahat banget,” ceplos Aruna.

“Dialah Na yang jahat. Seolah-olah sikapnya kayak memutus tali persahabatan kita,” ucap Hendra, emosinya menggebu-gebu.

“Kalo kita yang nyari kesana gimana? Sekalian liburan,”

“Gak. Ongkosnya mahal, mending buat jajan anak gue setahun,” tolak Hendra mentah-mentah.

“Lo udah kaya,” sindir Aruna.

“Buat kuliah mereka nanti,”

“Masih jauh,”

“Itu harus disiapin dari jauh-jauh hari. Lo juga udah nyiapin' kan?”

Aruna mengangguk polos.

“Tuh kan. Udah lah biarin aja Na. Jevan kalo balik gue tonjok, kalo ngga juga yaudah. Mungkin nerusin usaha bapaknya,”

“Iya. Gue juga cuma iseng kok. Gue lagi bunting gini, nanti kalo tiba-tiba kepingin makan sambel terasi kan repot. Masa kudu balik dulu,”

“Siapa tau di e-commerce banyak Yang,”

“Ngga, rasanya beda,”

“Dah-dah, mending panggilin anak-anak deh Nat,”

“Gue aja,” ucap Aruna menawarkan diri.

“Aku aj—”

“Udah aku aja. Kamu lanjutin aja noh nanggung,” suruh Aruna.

Winata menurut dan melanjutkan kegiatannya. Tidak ada percakapan selama beberapa detik, Winata dan Hendra sibuk pada kegiatannya masing-masing.

“Lo punya mantan berapa Nat?” tanya Hendra random. Pria yang memilik anak kembar ini tidak tahan keheningan.

“Ga ada,”

“Jadi Runa yang pertama?”

Winata mengangguk, senyumnya merekah karena kembali mengingat saat ia melamar Aruna dulu. Di perpustakaan kampus.

“Udah kali senyam-senyumnya. Daging udah mateng tuh,” celetuk Hendra.

Ck, dasar pengganggu!

***

Malam ini keluarga kecil Winata dan Hendra sangat bahagia. Dipenuhi canda dan tawa.

Mereka berharap seterusnya akan selalu bahagia seperti ini, tanpa ada badai yang datang menghampiri.


“Bunda, tadi Papa Hendra kenapa nangis?” tanya Juan.

Aruna tidak langsung menjawab, ia terlebih dahulu menghentikan mobilnya karena lampu lalu lintas berganti menjadi warna merah.

“Papa Hendra kangen sama Mama Jingga,” jawab Aruna jujur.

“Berarti Papa Hendra harus sering main kerumah Mama Jingga,” putus Juan.

“Sebentar ya,”

Aruna melihat lampu lalu lintas yang berganti menjadi hijau, lalu menjalankan mobilnya sebentar, mencari tempat yang pas untuk menepikan mobilnya dan memberi penjelasan kepada Juan.

“Sayang, Papa Hendra kangen sama sosoknya Mama Jingga. Orangnya, bukan hanya kenangannya,” jelas Aruna singkat, tapi sepertinya penjelasannya ini belum membuat anaknya puas.

“Gini, misalkan bunda pergi kesuatu tempat dan ngga bisa temenin Juan lagi. Juan bakal kangen bunda ngga?”

“Pergi kayak Mama Jingga?” tanya Juan penasaran, Aruna mengangguk.

“Jangan bunda. Kalo bunda pergi ajak Juan juga,”

“Kan misalnya aja sayang,”

Juan terlihat berpikir sebentar, lalu menatap Aruna serius.

“Juan akan kangen bunda. Nangis seperti Papa Hendra dan akan sering datang kerumah baru bunda,” jawab Juan.

“Jadi kamu udah paham maksud bunda?”

Juan mengangguk kecil membuat Aruna gemas hingga mencubit pipi sang anak.

“Sekarang kita pulang ya, ayah pasti udah nunggu.”

“Iya bunda.”

***

Setelah selesai makan malam, Winata mengajak Juan dan Aruna duduk bersama diteras belakang rumah mereka. Melihat bintang yang malam ini terlihat sedikit.

“Jadi tadi gimana tentang ayahnya Jia dan juga Hendra?”

Aruna menceritakan segalanya dari awal pertemuannya dengan Tara sampai ia hendak pulang dari rumah Hendra. Kecuali satu hal, tentang masa lalunya dengan Tara. Karena menurutnya, sekarang ini ia dan Tara tidak memiliki hubungan apapun. Ralat, dari dulu Aruna dan Tara memang tidak terikat dalam sebuah hubungan.

“Kalo gitu besok kita ajak aja Hendra piknik. Sama Biru dan Nila,”

“Tanya Juan dulu mas,”

Winata mengangguk paham, lalu menanyakan kepada putranya tentang idenya tersebut. Untungnya Juan menyetujui, karena menurut anak itu akan jauh lebih menyenangkan jika Biru dan Nila juga ikut.

“Bunda,” panggil Juan.

“Iya, kenapa?”

“Tadi disekolah ibu guru ajarin tentang menghormati orangtua dan perbedaan umur,”

“Bagus dong. Juan paham apa yang diajarin ibu guru?” tanya Aruna, Juan mengangguk.

“Tapi bunda,”

“Tapi apa?”

“Jia suruh Juan panggil dia kakak karena Juan lebih muda satu tahun,” jujur Juan.

“Biru suruh Juan panggil semua yang ada dikelas itu kakak padahalkan mereka ngga suka dipanggil seperti itu, dan Nila nyuruh mereka semua panggil Juan adik,” curhat Juan sedih.

“Emang kenapa Juan ngga mau?”

“Bunda, tujuh dan enamkan bedanya cuma satu,” jelas Juan.

“Terus kamu maunya gimana?” kini giliran Winata yang bertanya.

“Mulai sekarang Juan mau dipanggil abang. Biar nanti adik bayi juga panggilnya Abang Juan.”