buddyeyo


Aruna menatap Hendra yang tertunduk lesu dihadapannya.

“Gue capek banget Na,”

Aruna hanya bisa menjadi pendengar bagi Hendra saat ini.

“Gue mau susul Jingga. Tapi anak-anak gue bakal sendirian,”

Aruna menggeleng pelan, raut wajahnya berubah serius karena tak menyukai maksud ucapan Hendra.

“Jingga pasti punya alasan kenapa pilih untuk mengorbankan dirinya sendiri Hen,”

“Tapi dia ninggalin gue Na. Selamanya,”

Jingga meninggal saat melahirkan anak kembarnya. Awalnya, Jingga akan melakukan operasi caesar untuk melahirkan bayinya. Tapi dokter baru menemukan bahwa ternyata Jingga mempunyai emboli cairan ketuban. Kondisi dimana masuknya cairan ketuban, sel bayi, atau bahan lain dari rahim menuju ke sirkulasi darah ibu hamil saat melahirkan.

Hendra bercerita, bahwa sebelum ditemukan masalah tersebut, dokter mengatakan bahwa detak jantung bayi mereka melemah dan mengancam nyawa bayi mereka.

Akhirnya dokter memberikan dua pilihan. Menyelamatkan nyawa Jingga dan mengorbankan bayinya, atau Jingga yang mengorbankan nyawanya demi kehidupan bayi kembarnya. Dan Jingga memilih pilihan kedua.

“Kalo seandainya Jingga—”

“Hen. Liat Biru sama Nila disana,” potong Aruna. Hendra menurut.

“Mereka berdua anugerah yang Tuhan kasih buat lo, lewat Jingga. Jingga mau lo relain kepergiannya dan rawat anak kalian dengan baik. Jingga percaya dan sayang sama lo, Hendra,” ucap Aruna.

“Mereka ngga pernah tanya dimana keberadaan Jingga sama gue, Na. Mereka takut gue sedih. Juan yang bilang sama gue,”

“Anak umur tujuh tahun kayak mereka ngerti perasaan gue, Na. Ga becus banget gue jadi ayah,”

“Lo harus janji ya Na, kalo umur gue ngga panjang, lo mau kan rawat Biru sama Nila?” sambung Hendra.

“Lo bakal liat mereka tumbuh dewasa bahkan menikah Hen. Jadi lo harus selalu sehat dan sayang sama mereka. Syukuri kehadiran mereka yang menemani lo selama beberapa tahun ini. Jadi lebih dekat lagi sama mereka, karena mereka cuma punya lo,”

Dalam tunduknya, Hendra mengangguk paham. Ucapan Juan beberapa saat lalu membuat Hendra tersadar dan merasa bersalah kepada anak-anaknya.

“Makasih udah selalu ada buat gue, Na. Gue tau kalo ada Nata pasti gue digeplak, tapi kali ini gue boleh peluk lo ngga?”

Aruna mengangguk mengizinkan.

“Selalu kuat dan sehat ya Hen. Demi Biru sama Nila. Dan juga Jingga.”


Aruna memutuskan untuk langsung pulang menjemput Juan, dan sedikit berbincang dengan Hendra nantinya. Aruna yakin Hendra sedang membutuhkan tempat bercerita saat ini.

Aruna menata kertas-kertas dimejanya yang sedikit berantakan, lalu menumpuknya dengan berkas yang lain.

“Beress, besok tinggal family time,” ucap Aruna.

“Pulang Run?” tanya salah satu rekan kerjanya.

“Iya, duluan ya,” pamit Aruna.

Ketika Aruna hendak membuka pintu, ia dikejutkan dengan kehadiran Jia dikantor ini.

“Halo Tante!” sapa Jia ceria.

“Halo cantik. Kamu kesini sama siapa?”

“Sama Papa, Tante. Itu Papa,” tunjuk Jia kepada laki-laki yang berjalan mendekati mereka berdua.

Semakin dekat lelaki itu, Aruna melotot sempurna. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Lelaki itu Tara. Tara yang ia kenal.

Dilihat dari raut wajahnya, Tara juga sama terkejutnya dengan Aruna. Mereka tidak menyangka bahwa akan dipertemukan kembali.

“Hai,” sapa Tara lebih dulu.

“Halo Mas,”

“Maaf kita harus ketemu lagi, saya ngga tau kalo kamu istrinya Winata,”

“Gapapa. Mau bicarain soal gugatan'kan Mas?”

“Iya,”

Aruna mengajak Tara dan juga Jia ke taman kecil yang ada disamping kantor.

“Tante, Jia boleh lihat bunga-bunganya?'

“Boleh,” jawab Aruna.

Aruna mengalihkan fokusnya pada Tara, menjelaskan langkah-langkah mengajukan gugatan perceraian.

“Mas Tara mau ngajuin permohonan hak asuh anak?”

“Ngga perlu, Na. Ibunya Jia dengan senang hati akan biarin Jia tinggal sama saya. Dia ngga mau repot-repot ngurus Jia,”

Aruna mengangguk paham. Sepertinya masalah rumah tangga Tara sangat rumit.

Aruna dan Tara sama-sama terdiam, mereka memperhatikan gerak-gerik Jia yang asyik melihat-lihat bunga.

“Gimana kabar mereka?” tanya Aruna membuka suara.

Sudah 7 tahun berlalu, Aruna tidak pernah mendapat kabar tentang Keluarga Agung. Terakhir kali ketika ia mendapat kabar bahwa Tara akan menikah.

“Sejak menikah saya pindah rumah. Saya pindah kesini baru-baru ini. Saya cuma tau mereka semua sudah lulus kuliah dan bekerja,” jawab Tara jujur.

Aruna sedikit kecewa, wanita ini benar-benar ingin tau kabar adik-adiknya. Aruna bukannya sengaja tidak ingin mencari tau, ia hanya takut jika mereka semua marah dan tidak ingin bertemu dengannya.

“Kandungan kamu sudah berapa bulan?”

“Lima bulan,”

“Semoga kamu selalu sehat sampai nanti melahirkan,”

“Aamiin. Makasih mas,”

“Kalo gitu saya pamit dulu. Saya harus siapkan berkas yang kamu minta,”

“Iya, hati-hati.”


Winata baru saja kembali setelah mengantarkan Jia pulang kerumahnya.

“Bun??” panggil Winata.

“Sayang???” ulangnya lagi.

“Iyaaaaa,” sahut Aruna dari arah dapur. Winata menghampirinya, dan melihat Aruna sedang mencuci piring.

“Kok kamu cuci piring? Biar ak—”

“Cuma sedikitttt,” ucap Aruna gemas. Suaminya ini selalu melarang Aruna mengerjakan pekerjaan rumah sejak awal ia hamil.

“Yaudah. Juan kemana? Tidur?”

“Iyaa, dia mau nunggu kamu. Tapi kamu lama katanya,”

Aruna berjalan ke ruang tamu dan duduk disofa sembari mengelus perutnya yang mulai terlihat buncit karena usia kandungannya sudah menginjak 5 bulan.

Kemudian Winata juga ikut duduk disamping sang istri, membiarkan wanita yang dicintainya bersandar dibahunya.

“Tadi aku ketemu ayahnya Jia, aku nyampe dia juga baru nyampe,”

“Terus gimana? Jia seneng?”

“Happy banget dia, tapi Yang..”

Winata mengjeda ucapannya, lalu kembali mengingat apa yang dia dengar dari ayah Jia.

“Kenapa?” tanya Aruna, ia mendongkakan kepalanya menatap Winata.

“Mereka mau cerai. Rumah tangganya ngga bisa diselametin lagi. Tiga harian itu ayahnya Jia nyoba buat nenangin dirinya sendiri. Tapi tiba-tiba ada surat cerai yang dateng ke universitas tempat dia ngajar, makanya tadi dia pulang mau minta penjelasan sama istrinya,”

“Tapi istrinya ngga ada dirumah,” sambung Tara.

“Kasian Jia,” ucap Aruna pelan.

“Surat cerainya dirobek sih sama ayah Jia, aku liat robekan kertasnya. Tapi ngeliat istrinya yang ternyata ngga pulang dan ninggalin Jia sama asisten rumah tangga, bikin dia mutusin buat nyerah dan mau pisah,”

“Terus kamu bilang apa mas?”

“Ga ada sih, aku ga pernah ada diposisi itu jadi bingung harus bersikap gimana dan jangan sampai juga. Aku maunya sama kamu sampai maut yang memisahkan,” jawab Winata serius.

Aruna tersenyum simpul sambil meraih tangan Winata untuk digenggamnya.

“Aku juga maunya gitu. Mau sebesar apapun masalah yang nanti datang, sebisa mungkin kita omongin baik-baik,”

“Hmm,”

Winata teringat sesuatu.

“Eh yang, ayahnya Jia milih buat pake pengacara dan aku bilang kalau istriku yang cantik ini pengacara. Jadi aku kasih kartu nama kamu ke dia,”

“Kalo ngehubungin aku kebetulan banget, aku udah lama ngga nanganin kasus perceraian. Emang nama ayahnya Jia siapa?” tanya Aruna penasaran.

“Dia ganteng banget yang. Minder aku,” curhat Winata.

“Minder kenapa? Ngga inget punya anak satu dan istrinya lagi bunting???”

“Hehehe becandaaa,” sahut Winata.

“Nama ayahnya Jia siapa?” tanya Aruna sekali lagi.

“Namanya Tara.”


Aruna masuk kedalam rumah setelah selesai memasukkan mobilnya ke garasi.

“Mas?”

“Sayang?”

“Juan?”

Karena tak kunjung menemui keberadaan suami dan anaknya, Aruna berjalan ke taman belakang rumahnya. Dan benar saja, Aruna menemukan suami serta anaknya, beserta seorang anak perempuan.

“Anak selingkuhan kamu Mas?” tanya Aruna membuat sang suami terkekeh pelan.

“Temennya Juan,” ucapnya.

Dia adalah Winata Raditya. Suami, sahabat, dan juga teman hidup Aruna. Mereka berdua menikah tidak lama setelah pernikahan Hendra dan Jingga.

Aruna dan Winata dikaruniai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Juan, dan kini Aruna tengah mengandung anak kedua.

“Kangen banget,” ucap Aruna sambil memeluk Winata.

Winata mengecup kening Aruna lembut, dikehamilan kedua, istrinya ini berubah semakin manja.

“Beneran besok libur?” tanya Aruna memastikan.

“Iya, manajer proyek bilang owner minta diistirahatin dulu selama tiga hari,”

“Dua hari dong itu namanya, besokan jumat,” protes Aruna.

“Iya sih, minggu kan emang libur. Tapi gapapa, kita bisa ajak Juan main sekalian check up kandungan kamu yang,”

“Boleh. Nanti aku siapin list tempat yang pernah Juan bikin,” jawab Aruna.

“Kamu ngga mau nanya kenapa temennya Juan mampir kesini?”

Aruna menatap anak perempuan yang sedang mengamati bunga-bunga ditamannya, lalu beralih melihat Juan yang menatap temannya malas.

“Kenapa? Juan tipe anak yang ngga mau ribet, tapi kayaknya pertemanan mereka love-hate gitu?”

“Ayo duduk dulu,” ajak Winata.

Mereka berdua duduk dikursi yang memang sengaja mereka siapkan untuk bersantai ketika sore hari.

“Juan pernah ceritakan kalo ada anak baru yang berani dikelasnya? Anak itu dia, namanya Jia. Tadi dia minta izin sama aku buat ikut kesini, dirumahnya ga ada orang. Dia cerita kalo Papanya udah tiga hari ngga pulang kerumah karena berantem sama Mamanya,” jelas Winata.

“Mas, kita ngga boleh berantem didepan Juan berarti. Anak sekecil mereka bisa ngerti dan sedih kalo orangtuanya berantem didepan mereka,”

“Emang kita pernah berantem?” tanya Winata.

“Ngga sih, tapi soon kalo lagi dikasih cobaan sampe bertengkar ya sebisa mungkin Juan ngga usah tau,” jawab Aruna, Winata mengangguk mengerti.

“Jia minta izin nginep disini,”

“Ngga mas,” sahut Aruna tegas.

“Tapi kasian yang,”

“Iya, aku juga. Tapi kita ngga bisa bolehin dia nginep tanpa izin orangtuanya. Kalo ternyata hari ini papanya pulang dan nyariin Jia gimana? Kan kasian papanya, mas,” jelas Aruna.

“Yaudah nanti habis makan malem aku anterin Jia kerumahnya,”

“Emang rumahnya dimana?”

“Didekat proyek aku yang sekarang, ngga jauh dari sana.”

***

“Om, Tante. Terima kasih makanannya,” ucap Jia sopan.

“Iya sama-sama Jia. Habis ini Jia diantar pulang sama Om ya?”

Jia, gadis kecil itu mendadak membeku. Ia pikir Winata akan mengizinkannya hntuk menginap malam ini disini.

“Jia ngga boleh nginep disini ya Tante?” tanya Jia.

“Jia boleh nginep kalo udah izin sama mama dan papa,” jawab Aruna lembut.

“Kalo dirumah ada papa, Jia ngga akan nginep disini kok Tante. Jia takut sama Mama,”

Aruna menatap iba gadis kecil dihadapannya ini. Tapi Aruna benar-benar tidak bisa mengizinkan Jia menginap tanpa izin dari orangtuanya.

“Yang,” panggil Winata membuat Aruna menoleh, Winata meminta persetujuan dari Aruna agar mengizinkan Jia menginap malam ini, tapi Aruna menggeleng pelan.

“Jia pulang dulu ya. Kalo mama sama papa ngga ada, Jia boleh nginap disini,” bujuk Aruna.

Jia mengangkat kepalanya, matanya berbinar mendengar bujukan Aruna.

“Beneran Tante?”

“Iya,”

“Yaudah Jia sekarang pulang dulu diantar Om, nanti kalo papa ngga ada Jia nginap disini ya Tante?”

“Iya sayang.” jawab Aruna menyetujui. Jika memang orangtua Jia tidak ada dirumah, Aruna dengan senang hati mengizinkan gadis kecil itu untuk menginap dirumahnya. Dari pada membiarkannya sendirian dirumah, Aruna akan merasa bersalah jika terjadi sesuatu pada Jia.


Winata masih terus mempersiapkan rancangan kata demi kata diotaknya. Ini yang pertama kali untuknya, Winata gugup setengah mati.

Didalam rumah Hendra tidak begitu ramai, hanya ada beberapa orang WO yang berlalu lalang.

“Win? Bengong mulu dari tadi,” panggil Aruna gemas.

“Kenapa?”

“Makanan lo ngga dimakan?”

“Mau?” tanya Winata polos.

“Kalo gue mau tinggal ambil lagi aja, lo lagi mikirin apa? Ada masalah?” tanya Aruna.

“Beberapa bulan ini gue lagi deketin cewek. Tapi deket bangetnya baru satu bulan terakhir ini,” jelas Winata, sukses membuat Aruna terdiam kaku.

“Hendra ngasih saran buat ungkapin perasaan gue ke ceweknya hari ini,” sambung Winata.

“Y-ya ungkapin aja,”

“Gue masih mempersiapkan diri,”

“Emangnya ceweknya siapa? Yesa?” tanya Aruna pelan. Ada gemuruh kesal dihatinya saat menyebutkan nama perempuan itu.

“Lo. Gue suka sama lo, Aruna. Sejak kita masih SMP yang buat ketemu lo aja gue ngga berani sampai sekarang gue dikasih kesempatan buat bisa sedekat ini sama lo,”

“Win,” panggil Aruna singkat.

“Gapapa kalo lo nggak suka sama gu—”

“Gue nyaman ada dideket lo. Gue juga suka sama lo. Ralat, gue suka lagi sama lo,” potong Aruna.

“Lagi?”

“Lo inget waktu gue bilang sering lihat lo latihan paskib sambil nunggu pacar gue?” tanya Aruna, Winata mengangguk.

“Sejak putus sama dia, gue masih tetep nunggu. Tapi waktu itu, yang gue tunggu selesai latihannya lo. Gue pengen lihat lo, sesekali gue pengen coba deket sama lo. Tapi lo keliatannya dingin banget, jadi gue lupain perasaan itu,” jelas Aruna pelan.

Winata mengerutkan dahinya heran. Tapi tidak lama, dia ingat bahwa waktu itu mantan Aruna saat itu pernah bercerita bahwa hubungan mereka sudah kandas. Cowok itu memberitahu, mungkin ada pria lain yang sedang dekatnya di ekskul tersebut. Membuat Winata mundur dan menatap Aruna dari kejauhan.

“Kalo gitu mulai sekarang, lo mau jadi pacar gue?”

“Tentu. Dengan senang hati.”

-end-


“Win?” panggil Aruna membuat Winata tersentak.

“Lo cantik,” puji Winata jujur membuat Aruna tersipu malu.

“Ini,”

Winata menyerahkan jaketnya pada Aruna.

“Buat apa?”

“Lo pake dress, nanti kewer-kewer kena angin. Tutup pake ini,”

“Makasih.”

***

Para tamu berbisik ria saat melewati Aruna dan Winata yang berjaga dipintu masuk.

Aruna terlihat cantik dengan dress putihnya, juga Winata yang terlihat tampan dengan jas hitamnya.

“Na kayaknya kita beneran salah pake baju,” bisik Winata pelan.

“Iya, mau ganti udah terlanjur juga,” balas Aruna.

“Oyy, ayo kedalem. Kalian dicari ayah,” ajak Hendra yang datang dari kejauhan.

“Nanti yang sambut tamu siapa?” tanya Aruna.

“Gampang. Ini acara udh mau selesai juga, keluarga inti udah pada dateng. Ayo kedalem,”

Aruna dan Winata menuruti saja, masuk ke pekarangan rumah Hendra dan bertemu dengan beberapa sanak saudara Hendra maupun Jingga.

“Noh liat, mereka masih pada ngira pengantennya lo pada,” ucap Hendra sambil menunjuk orang-orang yang ia maksud.

“Udah biarin aja ah. Ayo ke ayah,” ajak Aruna yang sebenarnya merasa malu.

Kusuma tersenyum melihat Aruna dan Winata yang menghampirinya, kurang Jevan saja.

“Makasih banyak sudah bantuin ayah dan Hendra untuk hari ini dan beberapa hari kebelakang. Kalo kalian butuh sesuatu jangan ragu hubungi ayah,” ucap Kusuma.

“Sekarang kalian makan dulu kedalam, kalian butuh mengisi amunisi untuk perjalanan pulang,”

“Iya yah.” jawab Aruna dan Winata bersamaan.


“Win?” panggil Aruna membuat Winata tersentak.

“Lo cantik,” puji Winata jujur membuat Aruna tersipu malu.

“Ini,”

Winata menyerahkan jaketnya pada Aruna.

“Buat apa?”

“Lo pake dress, nanti kewer-kewer kena angin. Tutup pake ini,”

“Makasih.”

***

Para tamu berbisik ria saat melewati Aruna dan Winata yang berjaga dipintu masuk.

Aruna terlihat cantik dengan dress putihnya, juga Winata yang terlihat tampan dengan jas hitamnya.

“Na kayaknya kita beneran salah pake baju,” bisik Winata pelan.

“Iya, mau ganti udah terlanjur juga,” balas Aruna.

“Oyy, ayo kedalem. Kalian dicari ayah,” ajak Hendra yang datang dari kejauhan.

“Nanti yang sambut tamu siapa?” tanya Aruna.

“Gampang. Ini acara udh mau selesai juga, keluarga inti udah pada dateng. Ayo kedalem,”

Aruna dan Winata menuruti saja, masuk ke pekarangan rumah Hendra dan bertemu dengan beberapa sanak saudara Hendra maupun Jingga.

“Noh liat, mereka masih pada ngira pengantennya lo pada,” ucap Hendra sambil menunjuk orang-orang yang ia maksud.

“Udah biarin aja ah. Ayo ke ayah,” ajak Aruna yang sebenarnya merasa malu.

Kusuma tersenyum melihat Aruna dan Winata yang menghampirinya, kurang Jevan saja.

“Makasih banyak sudah bantuin ayah dan Hendra untuk hari ini dan beberapa hari kebelakang. Kalo kalian butuh sesuatu jangan ragu hubungi ayah,” ucap Kusuma.

“Sekarang kalian makan dulu kedalam, kalian butuh mengisi amunisi untuk perjalanan pulang,”

“Iya yah.” jawab Aruna dan Winata bersamaan.


Hendra dan Winata meninggalkan Aruna bersama Jevan. Yah, mereka semua tau ada yang harus Aruna bicarakan pada Jevan, begitupun sebaliknya.

“Beneran karena dijodohin?” tanya Aruna memulai.

“Iya,”

“Mata lo bilang ngga dan telinga lo merah,”

“Gue mau cari suasana baru dan redam perasaan gue buat lo,”

“Gue ngga dijodohin. Tapi Papa saranin gue buat cari suasana baru biar gue bisa move on,” sambung Jevan jujur. Papanya tidak sejahat itu mengorbankan Jevan demi perusahaannya.

“Om Arya marah ngga sama gue?”

“Buat apa?”

“Karena ngga bisa bikin anaknya bahagia,”

“Bahagia gue mungkin ada di lo, Na. Tapi bahagia lo ga ada di gue. Gue bersyukur pelan-pelan lo mulai relain semua masalalu lo dan nata masa depan dengan rajin,”

“Lo pasti pulangkan?” tanya Aruna memastikan.

“Gue pulang, tapi ngga dalam waktu dekat,”

“Meskipun libur semester?”

“Papa milih mindahin pusat perusahaannya ke negara lain, gue pulang ke Papa,”

Aruna menghela nafasnya, akan butuh waktu berapa lama dirinya bisa kembali bertemu Jevan? 5 tahun? 6 tahun?

“Gue aja yang pergi gimana? Lo stay disini, sama Hendra dan Winata,”

“Ngga. Gue pergi bukan karena lo, gue pergi buat nenangin diri gue sendiri, Na,”

“Jev—”

“Ini bukan salah lo. Jangan merasa bersalah, Aruna.”


Winata terus menerus merutuki insiden kecil tadi malam. Kenapa ia melakukan kesalahan ketika esoknya akan menghabiskan waktu bersama Aruna?

“Oke relax. Mutados aja,” ucap Winata menenangkan dirinya sendiri.

Winata keluar dari kamar kosnya, berniat untuk menghampiri Aruna ke atas. Tapi gadis itu sudah ada dibawah, menunggunya.

Aruna mengenakan blouse putih dipadukan dengan celana bahan berwarna baby pink, rambutnya ia biarkan terurai begitu saja. Terlihat sangat cantik dan seperti boneka berjalan.

“Hai,” sapa Aruna, Winata tersenyum simpul.

“Ngga jadi pake dress?”

“Ngga, ribet. Lo sendiri ngga pake jas?” goda Aruna.

Winata mendekat, “Nanti Jingga kesemsem sama gue, lo mau?” bisik Winata.

Aruna melotot tak percaya, kata-kata itu keluar dari mulut seorang Winata? Padahal beberapa menit yang lalu Winata takut jika Aruna marah padanya.

“Udah ah ayo berangkat!”

***

Sesampainya dikediaman Hendra, Aruna dan juga Winata langsung menghampiri Kusuma.

“Kok kamu ngga bilang bakal ajak pacarmu nak?”

“Kita ngga pacaran yah,” sahut Aruna kikuk membuat Kusuma mengangguk paham.

“Namamu siapa anak muda?” tanya Kusuma pada Winata.

“Winata om,”

“Panggil saya ayah,” titah Kusuma sambil menepuk bahu Winata.

“Iya yah,”

Kusuma menyadari ada senyum merekah dari seorang Aruna.

“Nak, kalo mau double married ayah izinkan banget lho,” bisik Kusuma.

“Ihh ayah apaan sih!”

Wajah Aruna merona dan senyumnya semakin merekah.

***

Saat dirumah Jingga tadi sempat terjadi sedikit kegaduhan karena kakek Jingga marah pada Hendra. Beruntung Kusuma dan Jevan bisa menenangkan sang kakek, bahkan membuat si kakek menyetujui rencana pernikahan cucunya dengan Hendra.

Sesuai dengan yang direncanakan diawal, dua minggu lagi Hendra dan Jingga akan menikah. Jevan tidak bisa hadir karena besok ia akan pergi ke US. Dan sekarang mereka berempat menghabiskan waktu bersama dirumah Jevan.

“Besok kita anter kek,”

“Ngga usah, gue dianter Papa aja,”

“Pelit najis,”

“Gue balik lagi kesini, tenang aja,” ucap Jevan tenang.

“Kalo gitu ditunda sampe gue sama Jingga nikah bisa ngga?”

“Ngga, sorry. Tapi gue udah titip kado lewat asisten Papa,”

“YANG BUTUH KADO SIAPA?!” teriak Hendra kesal.

Jevan bersikeras tidak ingin diantar, ia tidak ingin merepotkan. Ditambah lagi besok Hendra dan yang lainnya sudah mulai mengurus hal-hal untuk acara pernikahan.

“Beneran ngga mau dianter Jev? Diluar bandara gitu?” tanya Aruna.

“Bukan ngga mau Na. Tapi lebih baik ngga usah. Gue males liat Hendra nangis,”

“Pede!” sahut Hendra.

“Gue boleh ngobrol berdua ngga sama Jevan?” ucap Aruna.


“Habis dari mana?” tanya Winata pada Jevan.

“Runa. Tapi anaknya udah ngacir duluan,”

Winata mengangguk paham. Tadi pagi ia sempat bertemu Aruna saat gadis itu sedang memanaskan motornya.

Sejujurnya, Winata merasa semakin dekat dengan Aruna. Tapi saat ini ia merasa bersalah pada Jevan, karena pria itu juga menyukai Aruna.

“Beberapa hari lagi gue ke US,”

Winata menoleh cepat, meminta pernyataan yang lebih lanjut.

“Gue pindah. Gue mau dijodohin sama bokap, gue dibolehin nolak asal ngejauh dari Aruna. Mereka tau gue masih suka sama Aruna,” jelas Jevan.

“Lo belum ngomong sama Aruna?”

Jevan menggeleng pelan, bahkan Hendra pun belum tau hal ini. Jevan menutup rapat kepergiannya, jika perlu Aruna dan Hendra tidak harus mengetahuinya.

“Gue titip Aruna sama lo,”

“Lo pasti balik kesini kan?”

“Gue lanjut kuliah disana sampe S3,”

“Liburan pasti balikan?”

“Gue pulang kalo Mama gue nyuruh,”

“Gue serius,” sahut Winata.

Winata tau, ibu Jevan sudah tiada. Kalian pasti paham apa maksudnya bukan?

“Gue mau lupain perasaan gue, entah butuh berapa tahun. Gue ngga akan pulang kalo perasaan itu belum hilang,”

Winata terdiam mendengarkan, pasti sulit menjadi Jevan.

“Apa yang bisa gue bantu?”

“Jagain Aruna, lo suka dia kan?”

Winata terpaku, apa ia terlalu menunjukkannya? Bahkan Jevan menyadarinya.

“Gapapa, perasaan ga bisa dikontrol. Gue cuma minta lo jagain dia,”

“Kenapa ngga Hendra?”

“Gue rasa dia lagi punya masalah serius, meski ngga terlalu terlihat tapi belakangan ini dia ga pernah nongkrong bareng temen kelasnya,”

“Lo ngga mau bilang Aruna sama Hendra? Bilang dari sekarang, biar kalian ada waktu buat main bareng sebelum lo berangkat,”

“Iya nanti kalo ketemu.”

***

Aruna bukannya sengaja pergi kuliah sendiri. Malam ketika Aruna akan tertidur, Jingga menghubunginya dan mengajak bertemu.

Sekarang disinilah Aruna, ditaman kampusnya yang bisa dibilang cukup ramai.

Dari jauh Aruna melihat sosok Jingga yang mendekatinya. Keadaannya cukup.. Kacau. Kantung matanya terlihat menghitam, rambutnya diikat asal membuatnya terlihat berantakan.

“Ada apa Ga?”

Sejujurnya, Aruna dan Jingga tidak begitu dekat. Selain karena kampus mereka berbeda, Jingga tidak pernah ikut jika Hendra mengajaknya bermain bersama Aruna dan Jevan. Jingga tidak ingin menganggu bestfriend time kekasihnya.

“Gue hamil Run.”