07. Jingga
Aruna menatap Hendra yang tertunduk lesu dihadapannya.
“Gue capek banget Na,”
Aruna hanya bisa menjadi pendengar bagi Hendra saat ini.
“Gue mau susul Jingga. Tapi anak-anak gue bakal sendirian,”
Aruna menggeleng pelan, raut wajahnya berubah serius karena tak menyukai maksud ucapan Hendra.
“Jingga pasti punya alasan kenapa pilih untuk mengorbankan dirinya sendiri Hen,”
“Tapi dia ninggalin gue Na. Selamanya,”
Jingga meninggal saat melahirkan anak kembarnya. Awalnya, Jingga akan melakukan operasi caesar untuk melahirkan bayinya. Tapi dokter baru menemukan bahwa ternyata Jingga mempunyai emboli cairan ketuban. Kondisi dimana masuknya cairan ketuban, sel bayi, atau bahan lain dari rahim menuju ke sirkulasi darah ibu hamil saat melahirkan.
Hendra bercerita, bahwa sebelum ditemukan masalah tersebut, dokter mengatakan bahwa detak jantung bayi mereka melemah dan mengancam nyawa bayi mereka.
Akhirnya dokter memberikan dua pilihan. Menyelamatkan nyawa Jingga dan mengorbankan bayinya, atau Jingga yang mengorbankan nyawanya demi kehidupan bayi kembarnya. Dan Jingga memilih pilihan kedua.
“Kalo seandainya Jingga—”
“Hen. Liat Biru sama Nila disana,” potong Aruna. Hendra menurut.
“Mereka berdua anugerah yang Tuhan kasih buat lo, lewat Jingga. Jingga mau lo relain kepergiannya dan rawat anak kalian dengan baik. Jingga percaya dan sayang sama lo, Hendra,” ucap Aruna.
“Mereka ngga pernah tanya dimana keberadaan Jingga sama gue, Na. Mereka takut gue sedih. Juan yang bilang sama gue,”
“Anak umur tujuh tahun kayak mereka ngerti perasaan gue, Na. Ga becus banget gue jadi ayah,”
“Lo harus janji ya Na, kalo umur gue ngga panjang, lo mau kan rawat Biru sama Nila?” sambung Hendra.
“Lo bakal liat mereka tumbuh dewasa bahkan menikah Hen. Jadi lo harus selalu sehat dan sayang sama mereka. Syukuri kehadiran mereka yang menemani lo selama beberapa tahun ini. Jadi lebih dekat lagi sama mereka, karena mereka cuma punya lo,”
Dalam tunduknya, Hendra mengangguk paham. Ucapan Juan beberapa saat lalu membuat Hendra tersadar dan merasa bersalah kepada anak-anaknya.
“Makasih udah selalu ada buat gue, Na. Gue tau kalo ada Nata pasti gue digeplak, tapi kali ini gue boleh peluk lo ngga?”
Aruna mengangguk mengizinkan.
“Selalu kuat dan sehat ya Hen. Demi Biru sama Nila. Dan juga Jingga.”