bumwoozle

pendaftaran_utbk.webp

Mingyu dan segala caranya itu enggak pernah absen membuat Wonwoo mengerutkan dahi, terbukti dari bagaimana ia menggunakan VPN yang enggak terpikir olehnya untuk masuk ke server pendaftaran. Beberapa menit kemudian, sudah ada tempat untuk tesnya nanti, beberapa minggu lagi.

“Terus sekarang kita ngapain?”

“Pacaran lah, gak kangen apa?”

Ketika layar laptopnya ditutup, ada begitu banyak ide yang bisa dilakukan untuk mengisi hari.

“Kamu punya karet kecil-kecil gini dari mana?”

“Tadinya buat kucirin maltese.”

Tangannya masih sibuk mengikat rambut Wonwoo. Menjadikannya kucir dua.

“Wontese!”

Wonwoo cuma bisa menghela napas, mengintip ke cermin di samping kamar, lalu mengulang helaan napasnya. He looks like a fool, tapi senyum yang mengembang di wajah Mingyu membuatnya pasrah. Lucy di tangannya hanya melihatnya beberapa saat sebelum kembali menggigiti mainannya. Daniel yang justru berusaha untuk bangkit dan meraih kucirnya dengan kaki depannya, hampir menggigit rambut Wonwoo kalau aja Mingyu enggak menahannya.

“Aku foto ya, Won?”

“No!” Sergah Wonwoo secepat kilat. Kerutan di dahinya itu munkin mengindikasikan marah, namun itu tetap lucu, Mingyu ingin menarik pipinya kalau saja ia boleh.

“Lucu kamunya, buat kenang kenangan.”

“Nanti kamu masukin ke Instagram, males....”

“Enggak sumpah, janji!”

“Mingyu!”

Detik ketika Wonwoo menoleh ke arah Mingyu dengan wajahnya yang merajuk adalah saat di mana Mingyu memencet shutter kamera analognya. Begitu kontras muka masamnya dengan senyum yang setelahnya diiringi oleh gelak tawa Mingyu.

“Mingyu, kamu jahat banget.”

“Lah, kan gabisa dimasukin ke Instagram ini?”

“Ya, nanti kan bisa! Emangnya enggak bakal kamu cuci?”

Mingyu caresses Wonwoo’s cheek, mengundang ronanya. Tidak ada buku apapun hari ini, Mingyu mengklaim bahwa hari ini adalah cheat day dan Wonwoo tidak boleh memikirkan apapun tentang pelajaran, apapun yang berhubungan dengan sekolah. Itu urusan minggu depan, hari Rabu saat mereka mulai menempuh Ujian Sekolah hari pertama.

Hari ini cuma tentang mereka, kucing dan anjing yang menyusup masuk ke dalam kamar Mingyu, segala yang mereka suka sebagai komplementer hari ini.

Segala yang bersifat komplementer itu contohnya bisa apa saja. Bisa berbentuk pilihan makanan di aplikasi yang tidak kunjung mereka sepakati. Bisa berbentuk paksaan dari Mingyu agar Wonwoo hanya memakai pakaian rumah, bukan celana jeans atau celana bahan lainnya. Bisa juga berbentuk jarak yang semakin lama semakin terkikis hinga hanya beberapa centimeter, entah siapa yang memulai.

Lalu Wonwoo yang menjauhkan diri dengan mata yang melebar, Mingyu yang melepas sentuhan di pipinya.

“Mingy— aku mau ngucirin kamu juga!”

Ia ambil karet jepang yang berserakan di lantai, mulai mengambil rambut Mingyu untuk dia ikat persis sepertinya. Tidak ada penolakan, hanya kekehan yang enggan berhenti, hanya ngeong dan gonggong yang bersautan.

“Kamu tuh mau apa?”

“Kucir.”

“Masih tetep lucuan kamu lah, Won.”

“Biarinn.”

Wonwoo yang kemudian berlutut untuk mempermudah akses kucir-mengucirnya itu dipegangi pinggangnya oleh Mingyu yang hanya sesekali mengintip untuk menatap wajahnya. Mungkin ekspresinya terlampau serius sekarang, Wonwoo tidak tau.

Ia tidak langsung melepaskan diri saat mahakarya kecilnya sebagai penata rambut amatiran itu selesai, justru mengalungkan tangannya di leher Mingyu. Ia menatapnya dari atas dan sebagaimana teori gravitasi yang telah ia pelajari sejak sekolah dasar, segala yang di atas akan jatuh tertarik ke bawah.

Atau ditarik.

Pelukan di pinggangnya itu menariknya untuk turun, menempelkan dahinya dengan Mingyu. Ia menunggu dan menunggu, enggan melakukan pergerakan apapun hingga Mingyu yang bergerak untuk semakin mendongak. Mencuri ciuman yang disambut dengan tangan Wonwoo yang beralih ke pipinya, menangkupnya.

They aren’t good kissers, they both know that. Tapi memangnya itu penting? Yang ada di otak mereka itu hanya emosi yang butuh untuk dikeluarkan, dicurahkan lewat tautan berantakan dari dua laki-laki yang tahun ini baru berumur delapan belas tahun.

Untuk beberapa alasan, Mingyu memundurkan tubuhnya perlahan hingga punggungnya berbenturan dengan lantai yang dilapisi karpet, sehingga ketika Wonwoo melepas ciumnya, ia mendapati dirinya tengah duduk di atas perut —pinggul Mingyu.

Tomat sedang berbuah hari ini, diproduksi langsung dari kebun di pipi Wonwoo.

“Kamu tetep cakep kalo diliat dari bawah sini ternyata.”

Wonwoo memberi satu tamparan kecil di pipi kanan sebelum mengangkat dirinya dari Mingyu, berbaring di sebelahnya, sedikit banyak berdoa agar Daniel atau Lucy enggak sedang iseng berupa buang air di dekatnya.

Enggak ada apa-apa di atas sana. Langit-langit bukan sembarang langit sebagaimana pagi dengan warna merah muda keunguan, sore dengan jingga kebiruan, dan malam dengan taburan bingang. Tapi, langit-langit kosong itu tetap memberi ketenangan, atau mungkin itu hanya karena presensi satu sama lain, tidak ada yang tau.

“Wonwoo,”

“Yep?” Wonwoo memikirkan tubuhnya, menjadikan lengannya yang dilipat sebagai bantalan. Masih ada ikatan di rambut Mingyu, begitu juga dengan dirinya.

Ketika Mingyu melakukan hal sama, Wonwoo langsung ingin tenggelam ke dalam netranya. He then realizes how much he missed him, one of the worst week of his life.

“Aku yang kemaren bilang jangan bahas sekolah, cuma aku ada pengen ngomong bahas sekolah.”

“Ngomong aja, Gu.”

Helaan napas setelahnya menjadi indikasi kurang baik, Wonwoo assumes.

“Dua minggu lagi pengumuman SNM,”

Liat kan? Indikasi buruk.

“terus?”

“Aku enggak yakin lolos sih, enggak boleh juga berharap ya? Walaupun susah, pasti tetep kepikiran.”

Sebelah tangannya mulai menggenggam tangan Wonwoo yang tidak melakukan apapun.

“Pilihan kita aja beda, jadi mau hasilnya apa juga pasti kita misah ya?”

“Inggu, jangan sedih-sedih.”

“Enggak, aku pengen ngomong ini.”

Tatapan seriusnya itu menghipnotis Wonwoo hingga fokusnya hanya ada di Mingyu.

“Mau kita lolos di jalur mana aja, universitas mana aja, jangan dilupain nih yang susah susah gendong kamu sambil turun tangga.” Ujar Mingyu, menggunakan jari telunjuk dari tangan yang tadi menggenggam Wonwoo untuk menusuk ujung hidungnya.

“Aku enggak nyuruh kamu kayak gitu.”

“Kamunya lemes banget gitu, mana tega akunya. Daripada jatoh.”

“Untung kita enggak jatoh bareng, Gu. Malu banget pasti....”

Little laugh won’t hurt anyone but themselves, menyadari ada banyak hal yang mungkin akan segera berakhir dalam hitungan minggu.

“Katanya LDR tuh susah, Won. Apalagi kita udah biasa tiap hari ketemu.”

“I know, Gu.”

“Tapi aku maunya kita bareng terus.”

“Aamiin, Inggu, aamiin!”

Genggaman tangan mereka kemudian terlepas untuk digantikan dengan sebuah rengkuhan di atas lantai yang mungkin akan membuat badan mereka sakit.

Wonwoo itu enggak kecil, enggak mau juga dianggap kecil. Tentu ada pengecualian ketika lengan pacarnya itu sudah mulai bergerak untuk menenggelamkannya di dalam sebuah pelukan. Besar rasa inginnya untuk mengecil agar dapat bersembunyi di balik Mingyu yang lengannya keras itu.

Ketika pelukannya dilepas, tatapan penuh penghakiman diarahkan kepada satu sama lain.

“Apa?”

“Hah, apa?”

Satu kecupan di dahi sebelum lengannya kembali menenggelamkan Wonwoo ke dalam Mingyu yang selalu hangat.

“Kamu tuh geli banget.”

“Aku kalo udah sayang orang mah begitu.”

Oh, ingin sekali Wonwoo memukul pelan wajah laki-laki ini lagi kalau aja pelukannya tidak mengunci pergerakannya. Kucirannya dapat dipastikan sudah mulai berantakan sekarang.

sakit

Mingyu cuma bisa mengelus pipi kesayangannya yang masih tergeletak dengan lemas di atas kasur UGD dengan telunjuknya. Senyumnya itu melengkung ke bawah, enggak biasa dengan keadaan yang dialami Wonwoo. Biasanya dia cuma mengeluh migrain kalau cuaca sedang panas-panasnya, lalu kembali sehat setelah minum obat. Enggak seperti sekarang.

“Buna masih di mana, Gu?”

“Tadi di jalan, kejebak macet di Antasari.”

Wonwoo mengangguk, lalu obrolan terputus.

Mingyu enggak bisa bohong kalau atmosfer mereka masih belum baik, masih perang dingin. Tapi dia enggak bisa begini, apalagi dengan Wonwoo yang sakit di depannya. Kata dokter, dia itu kecapekan, mungkin juga banyak pikiran. Kalau ujian dan seluruh yang berhubungan dengan kuliah sudah memeras otaknya menjadi super lelah, enggak seharusnya Mingyu menambah andil. Dia merasa jahat dan egois sekarang.

“Kamu kalau mau balik ke sekolah, enggak apa kok. Enggak usah nunggu Buna sampai sini.”

“Aku udah izin.”

“Kalau gitu, bisa pulang. Enggak ada bimbel kan hari ini?”

“Enggak pengen banget ya aku di sini?”

“Bukan gitu....”

Suaranya masih terdengar lemah, wajahnya pucat. Rumah sakit juga bukan tempat yang tepat untuk berdebat, jadi Mingyu enggak menjawab lagi. Menggenggam Wonwoo di dalam tangannya, dia tidak menolak. Ditempelkan tangannya ke pipi, sampai Mingyu menyandarkan kepalanya di atas kasur, tidak melepas tatapannya.

“Jangan ngeliatin aku terus.”

“Kangen, Won.”

Tidak ada yang memedulikan perawat dan dokter yang sesekali berlalu-lalang di depan mereka. Yang ada itu hanya gelembung besar yang mengaburkan segalanya, cuma ada mereka.

“Gombal.”

“Serius ini, masa valentinean sendiri akunya.”

“Penting emangnya?”

Dia cuma mengangguk, masih dengan pipi bagian dalam yang ia gigit sedikit.

“Maaf ya buat yang waktu itu,” ujar Mingyu. “Aku nyoba jalanin aja karena konsekuensi kan udah jahatin kamu. Tapi taunya aku enggak bisa lama-lama..., gak kuat.”

“Mingyu...,”

“Sedih aja ngeliat kamu di sekolah tapi gak bisa nyamperin, gak bisa ngajak ngobrol. Daniel sama Lucy sampe ikutan galau.”

“Inggu...,”

And he finally wraps his mouth shut. There is a small pout on his lips. Jadi, tangannya bergerak untuk mengelus pipi Mingyu.

“Gapapa, udah dimaafin.”

“Jangan bercanda.”

“Why should I?”

Genggamannya pada tangan Wonwoo semakin mengerat, matanya membesar seidkit. Kalau enggak salah, ini kali pertama Wonwoo melihat Mingyu sampai sebegitunya, mengingat laki-laki itu enggak pernah juga diletakkan di situasi sepelik kemarin.

“Masa cepet banget maafinnya?”

“Pas aku marah, kamunya ngeluh sedih. Maunya gimana sih?”

“Biar akunya kayak susah dikit gitu, bisa kamunya puas.”

“Drama banget, Inggu....”

Buna datang beberapa menit kemudian dengan wajah paling khawatir yang pernah Wonwoo lihat. Masih ada name tag kantor di lehernya. Tapi yang Wonwoo beri perhatian penuh tentu wajah panik Buna dan ia merasa kembali seperti anak kecil, melupakan tangannya yang masih digenggam oleh pacarnya.

“Wonwoo, kamu gimana sekarang? Mingyu, dokternya bilang apa?”

“Bun, aku cuma kecapekan kok.”

“Buna enggak jadi nanya kamu, Buna nanya Mingyu.”

Wonwoo langsung melempar pandangan tajam dan Mingyu yang langsung mengernyit kebingungan.

“Bener kok, Bun. Kecapekan katanya, mungkin... stres juga.”

“Enggak ada ngomong apa-apa lagi?”

“Cuma disuruh tunggu sampe infusnya abis sih, Bun....”

Selanjutnya adalah Mingyu yang menyaksikan riweuhnya Buna dan berbagai pertanyaan dan elusan di dahi yang beliau berikan untuk anaknya. Jadi, Mingyu pamit untuk kembali ke mobilnya. Mencium tangan Buna dan mengacak rambut Wonwoo sebelum keluar dari UGD rumah sakit.

“Udah baikan?” Tanya Buma setelah yang ada hanya mereka berdua.

Wonwoo itu selalu masih malu setiap membahas Mingyu di depan Buna, ada semu merah di pipinya.

“Ya, gitu....”

“Bagus dong kalau udah baikan? Buna enggak usah liatin kamu cemberut terus.”

“Aku biasa aja, Bun.”

“Kamu jadi marah-marah terus bawaannya ke Buna.”

Wonwoo semakin memasang muka kesal.

Ketika infusnya habis, Wonwoo yang mengekor Buna untuk mengambil obat menemukan Mingyu lagi di kursi tunggu dengan satu bouquet bunga di tangannya. Warnanya ungu muda dengan bunga entah apa berwarna pink, biru, ungu, dan putih. Ada beberapa kotak kecil Ferrero Rocher isi tiga di dalamnya.

“Tadinya mau ngasih di sekolah, Happy Valentine’s.” Ujar Mingyu, memberikan senyumnya sambil menyerahkan bouquetnya.

Wonwoo langsung ingin menutup muka saat pandangan diarahkan ke mereka yang masih mengenakan seragam sekolah. Ada tawa yang lepas dari mulutnya, matanya yang menyipit seperti sabit.

“This is ridiculous.”

“I’m trying....”

“Kalau tadinya aku enggak maafin kamu gimana?”

“Tinggal dibuang.”

“Sayang dong? Bagus-bagus gini.” Hidungnya bergesekan dengan bunga-bunga di situ dan Mingyu seratus persen setuju saat otaknya mulai mengasosiasikan Wonwoo dengan cantiknya bunga.

“Makasih ya, Gu?”

Mingyu kemudian merangkul sayangnya, mengelus rambutnya sebelum mengajaknya untuk ke tempat pengambilan obat. Buna pasti kebingungan saat mendapati anaknya hilang begitu saja, mungkin juga akan semakin kaget saat melihat bunga di tangan anaknya.

Menunggu hingga Buna selesai, Wonwoo mati-matian menyembunyikan senyum dan pipinya yang panas. Berusaha menghentikan Mingyu yang berulang kali mencoba menautkan kelingking mereka secara diam-diam.

“Buna bawa kendaraan?”

“We don't have one, you know that.”

“Mau aku anterin pulang?”

“Enggak,” sanggah Wonwoo. “Buna juga pasti nolak.”

“Enggak ngerepotin kok. Gabut nih, paling juga ke Bloom. Mending anter pacar dong?”

“Those dogs need you.”

“Kamu enggak tau aja mereka ngerubungin aku kayak semut pas lagi sedih sedihnya ditinggal.”

“Lebay.”

Buna kembali beberapa menit setelahnya, dibombardir dengan ajakan Mingyu untuk pulang bersama yang langsung ditolak, seperti yang Wonwoo bilang. But Mingyu is unstoppable, hingga akhirnya Buna berakhir di jok belakang dan memandangi anaknya yang masih memeluk bunga di tangannya dan pacarnya itu.

“Wonwoo,”

Cuma ada pandangan kikuk dari anaknya.

“Kalau kamu mau pegangan tangan sama pacar kamu, pegangan aja.”

Bukan hanya Wonwoo yang ingin meledak di dalam mobil itu.

how does it feels to get a hug?

Detik itu, ia serasa kembali menjadi Wonwoo di umur 8 tahun yang menangis ketika mengetahui ia tidak lagi mempunyai ayah. Saat ketika ia dibawa oleh Buna ke rumah oma sebelum akhirnya pindah ke apartemen dua kamar di tengah kota yang masih mereka cicilannya baru lunas tahun kemarin. Tangannya mengepal dengan dadanya yang memberat.

Yang Wonwoo tau setelahnya adalah isakannya yang sudah tidak mampu terbendung lagi. Buna masih di sana, terduduk di atas sofa, ekspresi yang sukar dideskripsikan.

“Buna, maafin Wonwoo....”

Dia seharusnya bukan orang yang mudah menunjukkan tangisnya di depan orang tua, gengsinya itu seperti tersisa untuk keluarga seorang. Mungkin pikirannya memang sedang kacau, hidupnya sedang kacau. Seakan ada beban yang dijatuhkan tepat di atas punggung yang perlu ia pinggul sepanjang hari. Namun, tangisnya kali ini bukan lagi seperti tangis yang ia lakukan di atas buku kumpulan soal yang dapat meledakkan kepalanya atau kepada Mingyu di basement kala itu. Ini... lebih berat lagi. Ini kompilasi dari segalanya.

“Wonwoo, ke sini.”

Langkahnya bergerak hingga ia duduk sejajar dengan Buna. Ada kepala yang menunduk.

“Wonwoo, jawab Buna.” Tangannya ia arahkan untuk mengelus kepala anak semata wayangnya. “Wonwoo ngerokok?”

“Enggak....”

“Terus kenapa Buna dapet laporan kalau kamu bawa rokok ke sekolah?”

Wonwoo, just say it....

“Wonwoo, jawab Buna.”

“Itu...,” helaan napas dan jari yang bertaut.

Kenapa lo harus selalu jagain orang dan ngorbanin diri sendiri?

“Itu punya Mingyu.”

Jeda dua detik serasa seperti neraka, he claims. Wonwoo enggak siap dengan apapun yang akan keluar dari mulut perempuan di depannya, sebab itu hanya akan membuat tangisnya semakin pecah dan Wonwoo benci itu.

“Terus kenapa ada di kamu, Wonwoo?”

“Kelas dia razia, jadi dia nitip ke aku... Kita— dia mikirnya, aku bakal aman karena aku bukan anak angkatan. Tapi ternyata tas aku dicek juga....”

“Itu dia gak baik, malah mengkambinghitamkan kamu yang enggak salah.”

“Tapi dia enggak maksa—“

“Kamu jadi diskors karena dia, Wonwoo.”

She is right.

Kalau Mingyu enggak menitipkannya kepada dia....

Kalau dia tidak menerima Mingyu gitu aja....

“Kenapa kamu enggak ngomong ke BK kalau itu bukan punya kamu?”

Oh, not this one, apapun selain pertanyaan ini. Wonwoo enggak bisa menjawab pertanyaan ini dengan jawaban yang berurusan dengan hati.

“Kalau kamu ngaku, mungkin kamu enggak akan diskors.”

“Poinnya Mingyu lebih banyak.”

Stupid Wonwoo.

“Poin dia lebih banyak dari kamu, jadi kamu rela dapet poin juga demi nyelametin dia?”

Wonwoo enggak menjawab, dia enggan.

“Oh gitu. Kalau Mingyu nyebur ke sumur, kamu juga mau ikut nyebur buat nyelametin dia?”

Buna bukan ibu idaman semua orang. Buna marah sedikit lebih banyak dari yang ia harus, mengesampingkan seberapa sering beliau absen dari keseharian Wonwoo. Tapi Wonwoo selalu berpikir bahwa Buna tetap ibu terbaik untuknya. Dari bagaimana tangannya menggenggam kedua lengan Wonwoo dan berusaha untuk menatapnya.

“Wonwoo, kamu enggak harus selalu baik ke orang. Sekalipun dia baik sama kamu, apa dia baiknya sampai ngorbanin diri kayak gini?”

“Aku tau,” ujarnya. “Emang aku salah, tapi ini Mingyu....”

Lagi-lagi, masalah hati. Manusia akan selalu menjadi manusia, yang amatiran setiap kali menyinggung romansa. Mungkin Buna mengerti, Wonwoo tidak tau. Intinya tidak ada lagi kalimat yang mengintimidasi, detik-detik itu terasa tenang.

“Wonwoo seneng sama Mingyu?”

“Dia baik ke aku.”

“Buna tanya, kamu seneng enggak sama dia?”

It doesn’t take a long time sampai ia menangguk.

“Iya. Aku enggak pernah ngerasa sendirian kalau inget Mingyu, sama Mingyu.”

Yang ada setelahnya hanya rengkuhan. Dahi yang diistirahatkan di dalam ceruk leher Buna seperti ketika ia kecil. Ketika masalahnya hanya seputar bagaimana cara mengikat sepatu dan memegang gunting, bukan mengenai masa depan yang berisi ketakutan.

“Insya Allah enggak ngaruh apa-apa. Kamu tetep belajar yang bener, jangan bolos bimbel lagi.”

“Iya, Bun.”

“Udah ah, jangan nangis lagi.”

Sekalipun dia tidak mau menangis lagi, Wonwoo enggan mengubah posisinya. Wonwoo mau memutar waktu ke saat di mana dia bisa bebas melakukan ini, untuk tetap menjadi anak-anak.

Oh, how he wishes that he could turn back time and didn’t growing up. Mungkin tidak akan ada hati yang patah. Mungkin segalanya akan jauh lebih baik.

the storm.

Hanya ada suara halus dari mesin selama perjalanan. Mingyu enggak mengerti juga alasan kenapa dia memilih bangun pagi untuk membawa mobil hari ini, meninggalkan Yuvin yang kemudian menggerutu di room chat mereka. Kalau itu maksudnya untuk memberi ruang dengan cara paling menyedihkan, maka hal itu sedang ia jalankan. Wonwoo yang hanya memandang jalanan dari jendela di sebelahnya, enggak bergeming sejak Mingyu memaksa untuk mengantarnya pulang.

Jalanan belum begitu macet, sekadar ramai. Itu membantu mereka untuk segera sampai ke tujuan, ke apartemen Wonwoo.

“Turun di lobby aja.”

“Enggak, aku turun kayak biasa.”

Wonwoo tidak membantah. Mungkin berdebat hanya akan menghabiskan tenaganya yang sudah tak bersisa. Enggak ada yang tau, begitu pun Wonwoo.

Kalau di hari biasa, lift itu akan menjadi tempat bagi mereka untuk berbicara tentang apa saja. Mirror selfie di dindingnya yang seperti cermin itu, saling bersandar, mencubit pinggang satu sama lain karena ada orang lain di dalam sana, segalanya. Tapi hari ini, cuma ada bungkam. Atmosfer yang canggung.

“Enggak langsung ke kamar?”

Tidak ada jawaban, lagi. Hanya saja, Mingyu menerima, toh bagaimana pun juga ini salahnya.

Pintu terbuka dan Mingyu mengekor. Hingga mereka berada di taman atas, lantai 16 dari apartemen ini. Enggak ada siapa-siapa, cuma ada mereka dan tanaman di sekeliling. Meja dan kursi yang pernah mereka duduki ketika suatu hari Mingyu bermain ke apartemennya di malam hari.

Bersandar di pembatasnya, angin berembus kencang.

Kalau aja guru-guru mereka tidak langsung melakukan razia secara mendadak, semuanya enggak akan berakhir begini, kan? Kalau aja dia enggak bawa rokok itu hari ini. Kalau aja dia meninggalkannya di mobil atau di toilet. Kalau aja dia enggak memberikannya ke Wonwoo.

Kalau aja.

Kalau aja.

Kalau aja.

“Won....”

“Aku enggak ngerti kenapa tadi aku terima-terima aja.”

Aku juga gatau kenapa malah ngasih kamu.

“Aku... minta maaf.”

“Terus aku enggak tau harus gimana. Aku kena skors, sehari. Terus tadi Buna ditelepon, katanya bakal dipanggil. Aku... gak tau.”

Lagi-lagi, Mingyu kehilangan keberaniannya. Semua itu seharusnya dia yang lewati.

“Skorsnya besok?”

Wonwoo mengangguk, “terus besok, denger-denger bakal ada ambil nilai sejarah. Berarti aku enggak bisa ikut.”

“Tapi rapot semester enam udah enggak diitung lagi kan buat daftar kuliah?”

“Kamu tuh gak ngerti, Gyu!” Ada serak di dalam suaranya, dadanya naik dan turun. “Kamu ranking, kamu punya peluang yang gede buat masuk univ yang kamu pengen! Not to mention kamu bisa masuk swasta kalau kamu mau. Enggak pernah kan kamu kebayang gak bisa kuliah hanya karena biaya swasta terlalu mahal buat keluarga? Terus dengan aku yang bego ini, aku harus berharap dapet beasiswa?”

“Kenapa kamu jadi bahas ini?”

“Kamu tuh enggak ngerti takutnya aku, gimana aku mau keliatan baik depan guru biar aku masih ada plusnya, Mingyu.... Aku enggak bisa ngandelin nilai aku, gak bisa andelin otak aku. Aku cuma bisa jadi pasif dan....”

Kalau ia diminta mendeskripsikan perasaannya, maka ini yang disebut sesak.

“...dan gara-gara kamu, aku jadi ngerasa gak punya hal baik di diri aku.”

“Wonwoo, aku enggak maksud bikin kamu jadi kayak gini!”

“Satu BK liatin aku, Mingyu! Ada kesiswaan juga, aku ditanyain apa yang aku enggak ngerti. Aku enggak pernah bawa rokok ke sekolah, aku bahkan enggak pernah nyoba.”

“Ya, terus kenapa kamu enggak ngaku aja kalau itu punya aku? Kenapa kamu enggak bela diri?”

Helaan napas lainnya. Wonwoo suka olahraga sekalipun kondisi kakinya yang pernah patah itu membuatnya tidak begitu memungkinkan untuk masuk ke ekskul manapun. Dia tau bagaimana perasaan lelah, ngos-ngosan, jantung yang bedegup kencang seperti ingin lepas dari tempatnya. Namun, enggak ada satupun perasaan itu yang bisa mendeskripsikan detik ini. Ia menatap nanar netra di hadapannya, tangannya mengepal dengan mata yang sedikit panas.

“Enggak tau, aku... pas itu aku enggak mau kamu gantiin posisi aku karena aku mikir kalau posisi kamu lebih riskan lagi.”

Dahi Mingyu langsung mengernyit.

“Aku nyesel nerima rokok itu dari kamu, aku benci banget sama kamu sekarang. Tapi... i dont know, aku enggak bisa kalau kamu kena masalah lagi.“

Sewaktu dirinya masih di SMP, Mingyu pernah melakukan outing dengan teman-teman sekelasnya. Ada agenda paintball yang sudah ia tunggu-tunggu semenjak mereka diberitahu oleh orang tuanya mengenai outing kali ini. Mingyu pikir, rasanya akan menyenangkan. Akan ada banyak bola warna-warni yang beterbangan dan menghujam dirinya. Tetapi ternyata, itu menusuknya dengan keras. Tubuhnya seperti dihantam meski sudah berbalut pakaian khusus.

Kalau boleh membandingkan, rasanya seperti itu lagi. Seperti dihajar oleh sesuatu yang tidak ia sangka-sangka. Wonwoonya itu enggak bodoh, tetapi hanya terlalu baik. Mingyu enggak sampai hati untuk membiarkan orang baik seperti dia harus menanggung kesalahannya. Terlebih ini adalah Wonwoo, kesayangannya, yang selalu ingin ia jaga.

“Kamu enggak perlu kayak gitu, Won. Aku enggak pernah sebaik itu sama kamu. Belom tentu bisa balas budi juga.”

“Aku ngelakuinnya bukan karena ngeharepin apa-apa dari kamu. I just want to, okay?”

“Ya, tapi kamu seharusnya enggak usah, Wonwoo.”

“Tapi aku terlanjur ngelakuin itu, Mingyu! Aku justru ngelindungin kamu dan kamu sekarang malah nyalahin aku. Buna bakal dipanggil, aku enggak tau harus gimana. Buat nunggu Buna pulang aja aku takut....”

Mingyu lalu merengkuhnya, membawanya ke dalam pelukan, dan langsung menerima tarikan yang sangat erat. Lalu isakan yang ikut mematahkan hatinya. Wonwoonya enggak perlu seperti itu. Yang memang salahnya, harus tetap menjadi salahnya. Dia yang harusnya bertanggung jawab, bukan Wonwoo yang bahkan enggak tau apa-apa.

“Wonwoo, aku minta maaf.”

“Aku takut dimarahin Buna....”

“Atau aku aja yang ngomong,” Mingyu langsung melepas pelukannya. “Aku aja yang ngomong ke Buna. Aku yang jelasin kalau ini salah aku, biar aku bisa minta maaf personally juga. Ya, Wonwoo?”

Tapi Wonwoo menggeleng, masih dengan bibir yang dia gigit kencang.

“Buna cuma mau berurusan sama aku, Mingyu. Yang disalahin pasti cuma aku, kenapa aku mau nerima rokok kamu. Karena yang anaknya tuh aku. Aku enggak berani kalau kamu ikut ditanya-tanya juga, aku takut.”

“Kenapa takut? Aku enggak akan jawab aneh-aneh juga.”

“Aku takut Buna malah nyuruh kita putus, Gyu!”

Mingyu dibuat bungkam. Cuma ada helaan napas yang keluar dari mulutnya, tangan yang mengacak rambutnya asal. Dari atas sini, dia bisa melihat matahari yang hampir terbenam. Cantik sekali, kalau aja enggak ada masalah ini di hadapan mereka.

“Tapi emang aku udah ngerugiin kamu kan?”

“Kamu bilang apa?”

“Aku udah ngerugiin kamu, wajar kalo Buna jadi enggak suka sama aku.”

“Kamu emang pengen kita putus ya, Gyu?”

Mingyu langsung mengernyit.

“Aku enggak ngomong gitu. Sebelah mana aku bilang, aku pengen putus?”

“Kamu jadi kayak nantangin, terus pasrah aja kalau Buna minta kita putus?”

“Won, aku tau kamu pusing dan marah. Tapi kalo jadi belom bisa mikir bener, enggak usah ngomong apa-apa dulu daripada ngelantur.”

Tembok serasa langsung dijatuhkan di atas bahunya saat itu juga. Wonwoo benci dibentak, segala jenis teriakan orang marah dengan nada yang tinggi. Mingyu tau itu, enggak terhitung berapa kali dia bercerita. Tapi laki-laki itu melakukannya, berbicara dengan nada tinggi yang enggak bisa ia terima. Dia tau maksudnya baik, tapi Mingyu enggak perlu berbicara dengan keras untuk membuatnya paham. Wonwoo langsung merasa kecil, perasaan yang selalu dia benci.

“Wonw—“

“Mingyu, kamu tuh... bohong ya kalau bilang sayang sama aku?”

“Kok bahasannya jadi kemana-mana sih?”

“No, listen!” Suaranya bergetar dan tatapannya mengabur. Kepalanya terasa berat sekarang.

“Dulu kamu cuek, baru berani juga karena saran Jeonghan. Kamu enggak pernah lagi ngajak aku buat ikut jalan cabut sekolah. Kamu bahkan enggak pernah chat aku duluan. Selalu aku yang mulai, kamu tinggal ngelanjutin.”

“Pentingnya apa bahas itu?”

“Ya, menurut aku penting, Mingyu! Aku tuh jadi enggak ngerti kamu beneran apa bohongan kalau sama aku.”

“Terus tujuannya bahas ini tuh apa? Buat buktiin kalau aku nih bohong apa beneran sayang sama kamunya? Gila kali ya. Aku selama ini kayak gimana ke kamu, kamu gak bisa liat?”

Wonwoo menarik napasnya, membuangnya kasar. Cuma ada dirinya dan kedua tangan yang mengepal erat.

“Kalau kamunya juga gitu, kita putus aja.”

Ledakan lainnya hanya dalam hitungan menit. Mingyu cuma bisa membeku, segalanya langsung mati rasa. Ada dengung di telinganya.

“Tadi kamu yang enggak mau kita putus.”

“Denger itu nada bicara kamu sendiri? Serasa dari tadi emang kamu nungguin aku buat bilang putus, atau emang kenyataannya gitu? Aku bakal nurut kamu, aku selalu nurutin kamu kan?”

“Wonwoo, enggak pernah sekalipun aku kepikiran minta putus! Kamunya jangan mikir cetek kayak gini.”

“DAN STOP NGEHINA AKU!”

“Aku enggak ngehina kamu, Won!”

“Mingyu, please!” Teriaknya. “Kita break, kasih kita waktu buat mikir.”

Sepanjang hidupnya, ada beberapa kenangan yang Mingyu ingat betul membuatnya menahan napas saking kagetnya. Waktu kecil dulu, Yuvin pernah jatuh dari tangga dan Mingyu cuma bisa mematung, memproses yang terjadi di hadapannya. Lalu saat anjing milik saudaranya melahirkan dan Mingyu dibuat menganga hanya karena proses kelahiran anjing kecil yang lucu. Lalu saat ini, dengan konotasi buruk, menghantam belakang kepalanya hingga rasanya begitu berat dan dingin.

“Wonwoo?”

“Makasih udah mau coba ngerti.”

Wonwoo langsung berlalu, meninggalkannya di ruang terbuka apartemen dengan matahari terbenam sebagai latarnya.

drowning

“Dia bilang ke saya semalam.”

Mingyu tidak bergeming, menggigit pipi bagian dalam sambil mengangguk. Tatapannya mengarah ke sembarang arah.

“So... kita selesai atau saya masih dikasih kesempatan untuk usaha?”

Mingyu itu sudah terbiasa untuk mengusahakan apa yang ia inginkan hingga tercapai setepat-tepatnya. Kemampuan negosiasinya tinggi, mungkin karena sejak kecil sudah terlatih. Tapi hari ini, yang ada hanya hilang asa. Hatinya itu tidak sampai untuk sekadar memaksakan kehendak kepada manusia kecil yang begitu lembut dan jujur hatinya.

“Sekalipun kamu mau usaha, saya enggak yakin bakal mudah. Kamu harus ubah mindset dia, itu enggak gampang.”

Ia mengangguk, sebelum mendongak, lalu tersenyum. Getir, seperti obat yang pernah mamanya berikan kepada dia saat kecil dulu. Harapannya terlanjur tinggi, begitu tinggi hingga ia tidak lagi mampu untuk kembali ke bumi. Sering kali ia berpikir bahwa umurnya itu sudah tidak pantas. Mingyu punya Baron yang lebih berhak untuk diberi perhatian penuh, darah dagingnya sendiri. Mungkin ini skenario semesta agar dirinya mulai fokus dengan pekerjaan, tidak ada waktu tersisa untuk sekadar memberi afeksi kepada orang baru. Tidak pula Wonwoo, tidak juga Shaka.

“Oke, saya ngerti.”

“Saya minta maaf. Mungkin saya belum sebaik itu dalam jelasin ke dia kalau enggak ada yang salah dengan... punya dua ayah.”

“Tapi mungkin aja karena dia terbiasa dengan itu, Wonwoo.” Ujar Mingyu, menyisip minuman di tengah ucapannya. “Sekalipun Shaka paham, dengan keadaan dia dekat sekali dengan ibunya dulu, mungkin susah juga buat dia ngebayangin sosok baru di hidupnya justru... sama aja kayak ayahnya.”

“Saya bisa pastiin anak saya ngehargain semua orang, semua seksualitas, semua—“

“Wonwoo.”

Suaranya dalam, Wonwoo langsung mendongak. Tangannya mengepal di bawah meja. Tidak ada makanan yang terjamah dengan habis hari ini, nafsunya hilang.

“Ini cuma saya, kamu boleh khawatirnya kalau dia begitu ke orang lain. Coba kasih waktu.”

“Shaka enggak pernah—“

“Hei,” Mingyu meminta tangannya hingga Wonwoo memberikan. Ada elusan yang ia berikan, lembut sekali, hingga napas Wonwoo ikut stabil.

“tenang ya?”

Besar inginnya untuk menangis saat ini juga. Mendiang istrinya itu tidak akan pernah terganti, sampai kapanpun, tersimpan dengan cantik di salah satu sudut paling apik di dalam hati dan pikirannya.

“Kalau misalnya aku udah enggak ada, kamu bakal nyari pengganti aku ya?”

“Ngomongnya jangan sembarangan.”

“Carinya yang sayang sama kamu dan Shaka. Yang bisa nyaingin aku dalam hal sayang sama kalian.”

Wonwoo selalu menemukan Mingyu di tengah ingatannya tentang konversasi itu. Ada bayangan tentang Mingyu menggendong Shaka yang tengah tidur. Mingyu yang menemaninya menghabiskan waktu yang membosankan dengan jurnal-jurnalnya. Baron yang tidak pernah melupakan anaknya dalam berbagai kesempatan, menggenggam tangannya erat setiap kali mereka bermain di sekolah.

Perjalanan pulangnya akan jadi yang paling menyedihkan. Warna merah yang terpancar dari setiap belakang mobil di depannya, itu membuatnya harus menutup matanya, memberi izin bagi setiap sel otak untuk melancarkan aksi dan berlari di dalam kegelapan.

Genggaman yang mengerat, namun hati yang mengerut. Sesak sekali dadanya itu.

“I don’t want it to be our last.”

Ucapan itu yang menjadikan Wonwoo untuk lebih berani, menggenggam tangan Mingyu untuk menariknya masuk ke dalam apartemen. Shaka sudah tidur, kata nanny-nya lewat chat saat di perjalanan tadi. Jam telah menunjukkan pukul sebelas, ruangan ini tinggal sepinya.

Aksi nekat, pikirnya, saat kedua tangannya itu mengurung Mingyu di dalamnya. Jantungnya masih berdegup cepat dan dadanya begitu sesak.

“Saya juga enggak mau. Saya...,”

Kalimatnya ia sambung dengan sebuah jinjit kecil dan sentuhan dengan bibirnya. Menyalurkan emosi sebisa yang ia mampu, hingga tangannya berakhir dengan mencengkram kerah jas dan tengkuk Mingyu untuk memperdalam segalanya. Melakukan apa yang selalu ingin ia lakukan, Wonwoo langsung ingin menangis.

Mingyu tidak bisa tinggal diam. Memeluk pinggang laki-laki di depannya, kakinya melangkah hingga Wonwoo perlu berjalan mundur untuk sampai di sofa. Masih dengan lumatan paling emosional yang pernah ia lakukan.

Ketika ciumnya terlepas, yang tertinggal hanya napas yang tersengal-sengal.

“Saya mau kamu usaha, jangan nyerah dulu.”

Tangannya menyentuh rahang Mingyu, menebak-nebak kapan terakhir kali laki-laki ini bercukur. Lalu Mingyu mengikuti, mengeluskan ibu jarinya pada pipi Wonwoo.

“Kalau emang enggak bisa diusahain, kita mau gimana, Wonwoo?”

Otaknya yang kalut itu tak lagi mampu untuk berpikir.

“Kita berhenti aja ya, sayang? Kamu enggak apa kan?”

“Saya bakal selalu ikut Shaka, Mingyu.” Ujarnya. “Kalau Shaka memang enggak mau, saya bakal usaha buat lepas kamu. Tapi saya masih mau coba untuk egois, saya mau—“

Tubuhnya direngkuh ke dalam pelukan.

“Saya mau kamu.”

“Kasih saya dan Shaka waktu ya?”

Wonwoo mengangguk keras di dalam pelukannya. Hingga dadanya yang sesak itu semakin melunak dan ia merasa tenang.

Wonwoo merasa bahwa dia telah menemukan rumahnya lagi.

progres

“So?”

“Hm?”

“Serius banget ngerjainnya, bosen.”

Gue cuma nengok sebentar sebelum balik nulis kalimat penjelasan di buku folio bergaris ini. Wonwoo udah selesai gunting-guntingin sekaligus nempelin, sisa kerjaan gue aja.

Udah ketebak sih, anak ini pasti langsung ngambek gara-gara gadipeduliin. Terus cemberut, terus sok-sok main HP, afal gue mah. Terus kalo udah gue pencet itu pipi, kayak yang lagi gue lakuin sekarang, dia langsung garang. Ngomong ketus, “Mingyu, apaan sih?” sambil sok menghindar.

“Bentar lagi bel. Kalo kamu masih ngambek sampe entar, pulang sendiri ya?”

“Biarin aja, aku bisa.”

“Terus gak jadi liat Lucy.”

“Inggu, gak gitu mainnya.”

Nah, kalo udah pake Inggu, berarti udah jinak lagi.

Inggu tuh nama panggilan gue di rumah. Sebenernya sah-sah aja kalo semua orang manggil Inggu juga, cuma kayaknya terlalu lucu aja gak sih? Makanya yang manggil paling Wonwoo Wonwoo juga, kebiasaan juga karena kalo ngobrol sama mama, nyebutnya Inggu. Terus kalo udah gitu, biasanya gue beneran berasa jadi anak umur enam tahun yang dibangga-banggain keluarga karena udah bisa baca tulis, sambil ngelus-ngelus anjing gue, si Daniel.

“Foto buku tahunan kemaren katanya mau dikirim ke kita, tapi gak boleh disebarin.” Kata gue.

“Terus what is the point dikasih ke kita tapi enggak boleh disebar?”

“Buat milih.”

“Aku yakin foto aku jelek semua, Gu.”

Terus gue langsung naro pulpen, ngeliatin dia yang cuma natap gue dengan mata yang membesar.

“Won, kemaren kita fotonya bareng. Seangkatan di situ semua.”

“Right?”

“Kamu bagus-bagus aja.”

“Tuhkan, kamu aja ngomongnya kayak enggak ikhlas.”

Buset dah, laki....

Gue langsung ngehela napas, garuk-garuk belakang kepala yang sebenernya boro-boro gatel.

“Kan kamu yang bilang sekolah bukan tempat pacaran?”

Yang gak disangka-sangka tuh gimana tiba-tiba, ini anak langsung meluk lengan gue terus jedotin jidatnya ke bahu gue. Gue mah gapapa, seneng, kelas dia juga enggak rame-rame amat ini.

“Gu, kayaknya aku merem deh di fotonya.”

“Fotonya kan gak sekali, pasti ada yang bagus.”

“Satu angkatan—“

Terus tangan gue langsung ngambil HP di atas meja, buka passcode buat nunjukin homescreen yang baru gue ganti semalem. Bucin banget kalo diliat-liat, gabakal gue minjemin hp ke siapa-siapa.

“Liat nih,”

Wonwoonya gue itu langsung nengok, terus udah gitu langsung jedotin jidatnya lagi. Bingung gasih?

“Kenapa dipajang?”

“Pencapaian ini seangkatan banyak yang milih kita jadi best couple.”

“Kok enggak Jeonghan sama Kapten deh? Mereka lebih lucu kayaknya, ya enggak sih? Kapten ketua OSIS, Jeonghan ya siapa enggak kenal Han?”

“Berarti ini sekolah demennya yang menye-menye.”

“Ih, Gu, kita enggak menye?!”

“Kamu ngomong juga udah menye.”

Terus dia ngambek lagi.

Wonwoo tuh... suaranya berat, tapi kalo ngomong jadi beneran lucu, gue enggak ngerti kenapa. Tonenya kayak apaan si? Polos enggak, centil enggak, judes yaa dikit lah, excited juga B aja. Tapi nagih banget kalo ni anak udah ngomong, ngerengek, apalagi kalo udah ngeracau gara-gara lagi seneng. Udah ikutan seneng banget gua kalo udah begitu. Dia gak tau sih kalo gue suka mikir gini, gausah tau juga.

Terus bicara soal best couple, benar sekali gue sama dia menang angket yang udah disebar dari tahun lalu (hell yea, selamat datang 2019). Kata yang megang form sih emang ada tiga pasangan yang poinnya beda dikit doang. Nomor tiga tuh si Kapten sama Jeonghan, dikira berantem mulu kali yak? Terus nomor dua si Jaehyun sama ceweknya Rose, cakep tuh dua-duanya beneran awet dari utas sampe sekarang. Terus yang menang malah gua sama Wonwoo, beda satu poin doang sama Jaehyun Rose. Kalo lo heran, gua lebih heran. Soalnya emang bener sih kata Wonwoo kalo kita juga gak ngapa-ngapain. Mungkin emang ini sekolah aja demennya sama yang kinyis-kinyis.

Mau gue ceritain lagi?

Pas kemaren foto buku tahunan, udah tau kan ya adat sekolah gue kalo foto BTS tuh gak pake tema macem-macem kayak di sekolah lain, tapi make seragam. Nah, itu pertama kalinya gue liat Wonwoo pake seragam putih hampir ngepress badan dengan kaos item jadi daleman. Terus celana abu-abunya beneran dikecilin. Dia kan tinggi ya, jadi beneran cocok cocok aja. Terus rambutnya itu, men! Pacar gue itu hampir selalu gak neko-neko kalo urusan rambut, kesayangan kesiswaan yang demen jaga gerbang pas masuk sekolah buat razia rambut, celana, baju, kaos kaki, sampe sepatu. Cuma pas itu, rambutnya diapain ya itu namanya? Setengah dinaikin, setengah diturunin? Gue gak pernah sedeg-degan itu liat dia selain pas dulu nembak. Katanya pake pomade, terus gue gangerti ni dunia mau ada apaan sampe laki gue ini make pomade.

Pas foto angket highschool sweetheart alias best couple itu, satu studio yang isinya ratusan siswa langsung cie-ciein kita. Gue tau dia gak nyaman, dia di sini aja sebenernya gak nyaman karena rame banget. Tapi, gue rangkul dia, berharap bisa bikin dia fokusnya sama gue dan fotografer di depan aja. Terus minta fotoin temen pake HP gue, jadinya 3 foto dan salah satunya ya yang di homescreen gue ini. Kita yang nempelin kepala, kita yang senyum sumringah. Ada juga yang kitanya senyum biasa tapi less bahagia, makanya gue milih yang ini aja buat dipajang.

Dangdut banget gak tuh? Tapi kalo boleh ngejijik, gue pengen buat seneng-seneng terus sama kesayangan gue ini.

“Gu, udah bel. Jihoon udah balik.”

Gue langsung dongak dan nemuin Jihoon yang udah diri di sebelah meja sambil ngelipet tangannya. Auranya si Lucy mirip nih sama dia, kecil-kecil galak, bisa buat menindas anjing gede tapi payah kayak Daniel. Padahal sebenernya dia B aja, gue aja yang mindsetnya terlanjur begitu.

“Sini dulu.” Kata gue sambil ngambil buku folio dan narik tangan Wonwoo buat keluar kelas. Masih rame, rame banget. Masih pada duduk sambil lari-larian juga. Guru-guru di bawah juga gak ada yang lagi jalan ke tangga.

Terus kayak pasangan PDA, gue narik-narik rambut Wonwoo. Iya, kita masih di koridor mepet kursi yang gak tau kenapa ada di koridor lantai dua, tapi jangan protes ke gue.

“Naikin lagi dong rambut kamu. Gak ada aturannya ini.”

“Waktunya yang gak ada, Gu. Rusak juga kalo naik motor.”

“Yaudah bilang aja mau kapan, entar aku bawa mobil terus dijemput.”

“Iya, Inggu, nanti.”

Terus suara guru PKN mulai kedengeran dan bikin anak-anak pada masuk kelas. Gue yang bucin tolol ini sok-sok drama, masih megang tangannya sambil jalan mundur.

“Nanti pulang bareng.”

Wonwoo cuma ngangguk sambil senyum.

Pas pegangannya kelepas, gue cuma bisa lambain tangan sambil senyum, terus jalan cepet ke arah kelas tempat gue bakal tidur siang ini. Seni budaya cuy, apa yang mau lo harepin? Paling juga ngasih tugas, kumpulin mingdep.

Bagian paling goblok adalah gue yang tiba-tiba deg-degan karena keinget tadi. Ngeliat camera roll sambil senyum-senyum sendiri.

Mungkin abis ini gua bakal mimpi indah.

“Coba rekap kita bakal ngapain aja.”

Wonwoo cuma mendengus ketika Mingyu, masih dengan pipinya yang penuh, memintanya untuk menyebutkan agenda yang perlu mereka lakukan selama beberapa bulan ke depan. Udah enggak ada lagi kemeja pramuka di badan laki-laki itu, cuma ada kaos hitam yang pas dengan tubuhnya.

“Pokoknya 20-an ini bakal tuker jabatan BPH kan, udah enggak jadi OSIS MPK lagi kita, Gu. Terus Desember tuh UAS sama... futsal kapan sih turun jabatan?“


“Desember juga kayaknya, abis UAS.”

“Sama berarti sama Vocal Groupnya Jihoon. Terus apa lagi ya? Oh! Foto buku tahunan! Itu Januari. Daftar SNM juga denger-denger Januari.”

Cuma ada helaan napas yang keluar dari mulutnya. Sekalipun semua orang mewanti-wantinya untuk tidak berharap dengan yang namanya undangan, rasanya agak naif untuk benar-benar menganggapnya angin lalu.

“Udah tau mau masuk mana, Wonwoo?”

Giliran Wonwoo yang menghela napasnya.

Dia itu sebenarnya masih belum tau harus masuk mana, terlepas dari buku-buku yang sering ia buka meski hanya dikerjakan dua sampai tiga soal sampai pagi menjelang. Agak mengkhawatirkan, pikirnya, apalagi kalau sudah membandingkan diri dengan Minghao misal, dia sudah tau tujuannya. Sebagian besar isi kelasnya juga begitu, mungkin cuma dia yang masih entah harus mencoba berlabuh ke mana.

“Aku mau coba Unpad deh, Gu.”

“Oh, mau jadi anak Nangor....” Ujarnya, masih dengan tatapan yang mengarah ke mangkuk di atas meja. Tempat jualan bakso ini sebenarnya hanya punya kursi, tapi sering memanfaatkan meja dari restoran yang sudah tidak beroperasi.

“Udah nemu jurusan?”

Lantas Wonwoo menggeleng. Pertanyaan susah, jadi ia memilih untuk pass.

“Kamu fix UGM, Gu?”

“Maunya sih, gatau dah nembus apa enggak.”

“Jadi hukum ngikut papa?”

Giliran Mingyu yang menggeleng, ada senyum di bibirnya.

“Aku mau kedokteran hewan.”

Kali ini, dibanding merasa semakin terdesak, Wonwoo lebih seperti merasa lega. Mungkin karena ini Mingyu dan tau bahwa dia punya tujuan untuk dicapai menenangkannya. Setidaknya dia bisa sepenuhnya ikut senang kalau Mingyu berhasil, ya kan?

“Keren deh, nanti yang punya Bloom emang certified untuk ngurus hewan-hewan.”

“Masih nanti, Won... doain aja keterima yaa?”

“Will do!”

Sisa menit-menit setelahnya hanya dihabiskan untuk membahas segala yang muncul di pikiran. Tentang ujian praktik agama yang sangat mereka khawatirkan. Tentang nasi goreng seberang jalan yang juga menjual kwetiau. Tentang Wonwoo yang baru tau kalau Seokmin membuka pre-order ayam geprek lagi dan memaksa Mingyu untuk memberi tau Seokmin kalau ia juga ingin. Tentang konsep buku tahunan sekolah mereka yang tidak lain tidak bukan hanya berfoto dengan seragam, tidak ada konsep unik seperti sekolah lainnya.

“Kecilin itu seragam sama celananya, keren pasti.”

“Sayang tau, Gu, bajunya jadi enggak bisa dipakai lagi.”

“Yaelah, Won, udah mau lulus juga. Mau minjem aku?”

“Y-ya enggak gitu juga!” Pekik Wonwoo, lalu jari Mingyu yang hanya menusuk pipinya.

Mereka sama-sama tau kalau Mingyu, yang bimbelnya mulai lebih cepat itu, sudah hampir telat masuk ke dalam kelasnya. Mungkin dia tidak boleh masuk di jam kedua ini, entah. Tapi mereka masih di situ, di pinggir jalan dekat bimbel Wonwoo dengan penjaganya yang mulai menyuruh anak-anak untuk masuk karena kelas sudah hampir dimulai.

“Nanti kalo udah selesai, chat aja. Aku nunggunya di Inten.”

“Biasanya juga gitu.”

“Ngingetin, Wonwoo....” Begitu ujarnya sambil menarik pipi laki-lakinya.

“Kamu beneran jadi aneh banget gara-gara Jeonghan.”

“Tapi seneng gak akunya jadi lebih vokal?”

Wonwoo langsung meletakkan tangannya di dagu, tatapan mengarah ke atas.

“Sebenernya agak males sih soalnya kamu kayak ngalus.”

“Bener ya males?”

“Iya, gombal mulu jadinya.”

“Liat aja, entar juga demen.”

There is a giggle slipped from Wonwoo’s mouth, sebelum mereka sama-sama melambaikan tanda berpisah, tanda selamat belajar, tanda nanti kita bertemu lagi dalam satu setengah jam.

closing

I know Mingyu ever since kita sama-sama masih utas. Dia enggak kenal gue sih, tapi itu bukan masalah besar. Pokoknya, gue menghabiskan hampir tiga tahun sekolah dengan tau akan presensi dia, baik sebagai temen angkatan aja atau kayak sekarang, jadi pacar. Tapi enggak usah deh bahas masa-masa sebelum saling kenal, karena kalau dihitung-hitung, gue dan Mingyu itu udah setahunan kenal, pendekatan, sampai akhirnya dia nembak gue di bulan Juni lalu, di hari terakhir UAS.

Jadi maksudnya tuh, gue ngerasa kalau pengetahuan tentang laki-laki di sebelah gue ini sebenernya enggak payah payah banget. Kecuali kalau dia selama ini pura-pura terus selama di depan gue. Tapi enggak ah? Inggu selalu kayak gini.

“Kamu mau bawa aku kemana sih, Gu?”

Sekarang masih jam sepuluh pagi, baju yang kita pakai juga udah kaos warna biru khusus panitia. Oh, kayaknya gue belum cerita ya kalau gue sebenernya juga panitia? Tapi dana internal. Kalau Inggu bagian dana eksternalnya, hubungan sama sponsor gitu-gitu yang gue juga sebenernya enggak ngerti.

Mingyunya cuma senyum-senyum, sok-sokan sibuk nyetir, padahal gue tau kalau dia lagi iseng aja.

“Katanya ngikut aja?”

“Tapi tetep kasih tau dong kemananya. Masa ke Jogja beneran sih?”

Terus sekarang dia malah beneran belok ke gerbang tol, gue udah enggak ngerti lagi isi otaknya apa.

“Kamu mau makan siang apa, Won?”

“Apa aja kok, ke mana dulu ini?”

“Wonwoo, nanya terus, ini lama-lama aku culik beneran ya?”

“Kamu aja yang nentuin deh, Gu. Tapi jangan yang berat-berat deh kayaknya? Aku lagi enggak kepengen makan berat.”

Mingyu langsung ngeliatin gue sebentar, “nanti lemes, cepet laper lagi.”

“Tinggal beli makan lagi.”

Ada senyum yang kebentuk di muka dia, abis itu tangannya yang ngacak-ngacak rambut gue.

Kalau lagi begini, gue jadi inget dulu gimana gue dan Mingyu suka banget jalan-jalan berdua. Kadang naik motornya, kadang naik mobil ini, tergantung hari apa. Terus kita cuma mengandalkan maps, Zomato, dan ingatan yang sebenernya enggak bagus-bagus banget. Pacar gue itu suka gue jadiin model dadakan untuk foto-foto yang akan gue pajang di Snapgram, pakai location sebagai penanda kalau gue udah pernah ke mana aja sama dia.

Tuh kan, kalau lagi berdua gini, langsung lupa sama perasaan jeleknya!

Langit masih biru terang, cahaya mataharinya juga enggak panas-panas banget. Gue suka banget sama yang namanya suasana tenang, like those times give me some spaces to think, untuk ngerti kondisi sekitar, konsentrasi sama yang mau gue fokusin. Seperti suasana kelas setiap lagi ujian, suasana bioskop setiap speaker udah mengeluarkan suara “all around you.” Dan walaupun dari tadi gue dan dia karaokean terus, gue ngerasain ketenangan itu saat ini, cuma dengan ngelihatin mas-mas sopir sambil bersandar di dashboard depan.

“Ngeliatin apa?”

“Kamu.”

“Ada apaan emang di muka aku?”

Enggak tau, Inggu. Pengen cium lagi mungkin?

Duh, pipi gue langsung anget lagi sekarang.

Kita ternyata sampai di Kota Bogor sebelum jam dua belas dan mobilnya berhenti di sebuah toko lucu yang gue yakin adalah kafe. Mingyu yang kayak Santa, dia bisa ngabulin keinginan yang gue mau. Seperti yang gue bilang tadi, gue cuma pesen pancake, sementara Mingyu pesen the whole burger and french fries. Katanya, nanti juga laper lagi, enggak perlu makan sedikit untuk cepet laper.

“Sekarang lagi ngapain ya, Gu, di sekolah?”

“Masih ishoma paling, belom seru jam segini mah.”

Then we’re lucky karena bisa kabur dari tempat itu.

Udah agak lama sejak terakhir kali gue liburan sama buna, mungkin udah setahun lebih? Buna yang paling sibuk itu perlu gue pahami keadaannya, jadi gue hanya bisa nurut setiap beliau mengaku enggak bisa. Mungkin tepatnya, gue harus ngerti. I have all the time in this world untuk pergi ke mana aja, enggak kayak buna. Ngertiin beliau mungkin jadi satu-satunya hal yang bisa gue lakukan saat ini.

“Kamu mau balik kapan?”

Gue langsung menarik pandangan dari pancake di atas meja, ngeliatin Mingyu yang sekarang lagi nyendokin es krimnya, enggak tau kapan pesennya.

“Males balik deh.”

“Mau buka kamar?”

“Kamu asal banget ngomongnya.”

Mingyu langsung ketawa, menyendokkan es krim lagi, kemudian nyuapin gue. Rasa vanila, ada choco chipnya juga.

Jadi kita bener-bener cuma keliling Bogor, pergi dari kafe satu ke kafe lain. Berhenti sebentar di pinggir jalan untuk beli telor gulung, lalu muter playlist 8 di mobilnya. Nama itu atas saran dia juga, katanya artinya infinity, selamanya. Walaupun kata selamanya itu suka bikin gue takut, saat itu gue cuma bisa senyum.

Apa karena itu ya gue jadi cepet bosen?

Oh, Wonwoo, berhenti sebut perasaan itu dengan kata bosen lagi.

“Abis ini mau balik aja?” Tanya dia di bawah langit yang udah bercampur antara warna biru dan jingga. Kami kabur selama itu, nutup telinga dan mata dari pertanyaan temen-temen, dari Snapgram yang isinya membahas closing semua.

“Sure.”

Berbanding terbalik dengan saat berangkat, gue dan Mingyu lebih tenang. Enggak ada gue yang sibuk mengarahkan kamera handphone ke dia. Enggak ada lagi lagu dari speakernya. Cuma tangan dia yang menggenggam sebelah tangan gue, juga gue yang bersandar di lengan dia.

“Inggu,”

Sebagai jawaban, dia cuma mengelus tangan gue dengan ibu jarinya, sama hidungnya yang ditempelkan si atas kepala gue.

“Makasih.”

“Makasih apa?”

“Udah mau ngehabisin hari ini sama aku, sampai enggak ikut closing.”

Di suasana hening seperti sekarang, gue merasa paling nyaman.

“Udah enggak mikir yang aneh-aneh?”

“Belom,” jawab gue spontan sambil menggeleng.

Jam nunjukkin pukul setengah delapan dan mobilnya masuk ke basement apartemen. Jakarta super macet, mungkin karena tiba-tiba hujan dan memang sekarang malam minggu. Mingyu baru ngelepas seatbelt pas gue tiba-tiba menggenggam tangannya lebih kuat lagi.

Pernah ngerasain gimana emosi mendadak kalut dan semuanya serasa shutting down?

Mingyu yang ngeliatin gue bingung dan gue yang entah harus apa. Basement dan sensasi terperangkap di dalam mobil enggak buat gue sesek, tapi dada gue serasa keiket tiba-tiba.

“Iya, enggak usah langsung naik.”

Dia ngerti dan membawa gue lagi ke dalam pelukannya. Terus dada gue yang berat itu semakin menekan sampai akhirnya gue nangis.

Dulu, sebelum ayah ninggalin gue dan buna, gue masih ada ingatan samar tentang gue yang jatuh di jalanan ketika belajar naik sepeda dulu. Ayah cuma bialng, anak laki-laki enggak boleh nangis. Gue waktu itu, kalau enggak salah, masih TK, langsung mencoba buat berhenti nangis. Cuma itu bikin gue jadi takut sama sepeda, ada ingatan kalau jatuhnya bikin gue sakit dan gue harus menahan perihnya.

Gue enggak mau nangis, tapi gue juga enggak mau ngerasa kayak gitu lagi.

“Capek ya?”

Gue mengangguk, sekencang yang gue bisa sampai kepala gue sakit. Mungkin enggak bakal berhenti kalau Mingyu enggak megangin belakang kepala gue, mengelus punggung gue sampai nangisnya berhenti.

“Kalau udah sampe apart, kamu keinget harus belajar?”

“Iya. Capek. Aku enggak bisa-bisa. Takut.”

Terus Mingyu maksa gue buat ngedongak dengan tangannya walaupun gue enggak mau banget. Gue ngerasa jelek abis nangis, Mingyu enggak boleh liat. Tapi dia maksa sampai gue enggak bisa mengelak juga.

Ketika gue pikir usahanya cuma sampai situ, ternyata Inggu gue ini enggak main-main. Mungkin dia bisa begini dengan anjing-anjing yang dia rawat, tapi gue bukan anjing. Gue manusia yang kebetulan pacarnya dan gue bisa meledak kapan aja. Masih pakai dua tangannya yang nangkup muka gue, dia cium bibir gue cepet, terus cium jidat gue.

“Sedih tau liat kamu nangis gini.”

Gue boro-boro deh bisa jawab. Bisa lihat Mingyu pasang ekspresi sedih kayak sekarang aja udah kayak mimpi.

Pacar gue yang suka cuek ini tiba-tiba cemberut, huhu. Ampun, Inggu....

“Semangat dulu, kita bareng-bareng kok.”

Malam itu, setelah gue lumayan stabil, dia seperti biasanya anter gue sampai di depan pintu apartemen. Sebelum gue menutup pintu, kami menghabiskan waktu untuk sekadar saling pandang di daun pintu. Gue yang meremas gagang pintu dan dia yang tangannya dimasukkan ke dalam kantong celana jeans.

“Makasih lagi, Inggu.”

“Aku juga makasih ke kamu,” dia mencapit hidung gue dengan jarinya. “Udah mau diajak jalan-jalan.”

“Aku mah emang enggak pernah nolak kalau sama kamu.”

“Sama dong.”

Terus kita langsung ketawa.

“Aku pulang ya?”

Gue cuma ngangguk.

Saat ketika Mingyu mengangkat tangannya untuk melambaikan tangan tanda berpisah, ada perasaan impulsif yang menguasai gue lagi. Untuk kemudian melangkah dan meraih tangan itu, menyematkan jari di sela-selanya. Sedikit berjinjit untuk meraih sebuah kecupan.

Oh no, Wonwoo, lo ngapain coba? Kan tadi di mobil udah....

“Kamar kamu...,”

Ada jeda yang Wonwoo berikan untuk kalimatnya yang belum terselesaikan. Tangannya meremas bed cover lebih keras lagi.

“...enak.”

“Lebay dah, kamar kamu juga enak kali, Won.”

“Aku enggak pernah pakai bed cover.”

Mingyu langsung mendudukkan dirinya lagi. Kalau dia bisa marah, mungkin ia akan melakukannya. Wonwoo dan sisi rendah dirinya enggak pernah memiliki aura yang baik dan Mingyu enggak suka itu. Wonwoonya lebih cocok dengan kebahagiaan, bukan hal-hal sedih yang membuatnya sedih juga.

“Bed cover enggak bikin tidur jadi lebih enak, biasa aja.” Ujar Mingyu. “Inget gak Won, pas aku main ke apart kamu terus ketiduran di kamar kamu? Itu parah sih, bangun bangun udah ada buna, malu parah.”

Mingyu enggak suka kalau Wonwoonya mulai berpikiran suram, tetapi dia selalu punya cara untuk menerangkannya. Ia seakan selalu mampu mengajak Wonwoo untuk berlari jauh, menikmati angin alam, menyambangi tempat-tempat cantik yang enggak pernah Wonwoo tau sebelumnya. Mingyu seakan selalu mampu untuk mengatakan bahwa segalanya akan baik-baik saja dan Wonwoo bagai anak kecil yang belum mengenal dunia dengan baik akan menurut. It always gives him a nice feeling, like... hope, misalnya.

“Kamu beneran gapapa tidur di kasur lipet gitu? Yang punya kamar kan kamu, harusnya aku yang di bawah.” Tangannya ia ulurkan untuk mengacak rambut kesayangannya. It always feels so soft and fluffy, kecuali setelah olahraga.

“Tamu harus dilayanin lah, Wonwoo.”

“Ya udah, tapi kamunya naik dulu sini.” Ujar Wonwoo, menepuk space di sampingnya.

Mingyu akan selalu menurut. Pernah beberapa kali ia batalkan rencana bolosnya ke Puncak, katanya karena Wonwoo terlihat enggak suka. Orang-orang di luar sana mungkin akan bengecap mereka sebagai budak cinta, tapi bagi Mingyu, ia menurut karena Wonwoo punya alasan dan ia menghargai alasan-alasan tersebut. Wonwoo tau jadwal pelajarannya dan bolos di hari itu sama dengan tidak mengerjakan kuis mingguan yang dilaksanakan oleh guru kimia Mingyu. Wonwoo tau Mingyu belum mengerjakan progresnya, jadi ia menahan laki-laki itu untuk cabut dari sekolah agar punya waktu tambahan untuk mengerjakan progresnya, he will always help him anyway.

“Kamu enggak mau... tidur di sini aja?”

“Kan aku udah bilang—“

“Sama aku. Berdua di tempat tidur.”

Mingyu langsung mengenyit dan Wonwoo hanya mengerjapkan matanya. Oh God, pipinya terasa panas sekarang.

“Tempat tidur aku ukurannya single, Won. Emangnya entar gak sempit?”

“Nanti tidurnya miring aja.”

Kekehan langsung keluar dan rangkulan erat diberikan. Wonwoo menghela napasnya, bersembunyi di dada kiri Mingyu. Ia remas bahu kanannya hingga akhirnya Wonwoo mengalah dengan dirinya sendiri dan memutuskan untuk bergerak. Memeluk tubuh pacarnya sendiri agak terasa salah jika dilakukan di atas tempat tidur begini, dengan dirinya yang terduduk di atas pangkuan.

Satu tahun lalu, mereka bahkan enggak pernah mengobrol dengan satu sama lain. Mingyu, si anak angkatan, dikenal oleh semua orang. Wonwoo punya ingatan jauh tentang saat ketika ia masih berada di kelas 10, masih utas, saat Mingyu masuk ke dalam kelasnya untuk mengenalkan diri sebagai Bagong. Wonwoo adalah si anak biasa-biasa saja yang enggak berani mengambil resiko. Masa utasnya ia habiskan untuk membantu Jihoon, Soonyoung, dan Minghao untuk menuntaskan segala urusan yang agitnya minta. Siapa yang tau kalau Mingyu akan mengiriminya chat aneh hingga akhirnya ada saat ini, jarinya yang menelusuri garis wajah Mingyu.

“Dulu waktu aku baru pengen deketin kamu, gak nyangka nih kalo kamu semanja ini.”

“Nyebelin ya?”

“Seneng banget, anjir.” Tangan Mingyu terulur untuk menepuk-nepuk belakang kepala Wonwoo pelan, sesekali memilin rambutnya pelan. “Maaf ya, Wonwoo?”

“Kenapa minta maaf?”

“Enggak tau, merasa bersalah aja udah cuek akhir-akhir ini. Jadi gini-gini aja kitanya.”

“Inggu, kan enggak mau bahas ini lagi....”

Ceruk lehernya terasa geli sekarang.

“Bosennya juga mood aja kok, enggak bosen ke kamu beneran. Sekarang udah seneng lagi.”

Wonwoo selalu mencoba berpikir bahwa Mingyunya itu punya caranya sendiri untuk menunjukkan perhatian. Dia pernah membaca tentang love language orang yang berbeda-beda dan mungkin, hanya mungkin, cara mereka berbeda. Mungkin iya bagi sebagian orang, Mingyu itu cuek, tapi bagi seseorang yang kehilangan sosok ayah sejak kecil dan pekerjaan ibunya yang memaksa untuk pergi dinas ke banyak tempat, Wonwoo (biasanya) selalu merasa yang Mingyu berikan sudah lebih dari cukup.

Mungkin kemarin dia sedang terlalu lelah, enggak seharusnya dia berpikir begitu.

“Won, liat aku sini.”

“Kenapa?”

“Liat sini dulu lah.”

Yang Wonwoo dapatkan ketika melepas pelukannya adalah senyuman Mingyu, matanya yang selalu bersinar.

“Udah.”

“Mau minta izin dong.”

“Izin apa?

“Cium kamu.”

Jantungnya langsung serasa pindah ke perut. Alisnya beradu, remasan pada bahu Mingyu semakin keras.

“Kenapa tiba tiba mau... cium?”

“Kita udah berapa bulan sih? Belom pernah ciuman.”

“Emangnya harus?”

“Ya enggak lah,” Mingyu menghela napasnya, mengacak rambut Wonwoo. “Kalo gamau juga gapapa.”

But is that... okay? Untuk dirinya sendiri? Waktu SMP dulu, ada banyak rumor yang beredar tentang anak kelas lain yang dicium oleh pacarnya di dalam kelas, berita yang begitu menggemparkan like its a big deal. Memang sih karena tempatnya yang membuat segalanya menjadi kurang etis, tetapi budaya negara ini yang membuatnya terus mempertanyakan tentang afeksi yang pantas untuk orang-orang seumur dirinya, melupakan KTP di dalam dompet yang baru ia dapat benerapa bulan lalu.

But it’s just a kiss, right?

It wont hurt him, it wont lead him to anywhere.

Wonwoo tidak menutup matanya saat ia memajukan wajah untuk menempelkan bibir mereka. Mingyu lah yang terkejut, pelukan di pinggang Wonwoo terasa mengerat. Mereka kehilangan kemampuan untuk berpikir, apalagi membuat analogi. Enggak lebih, it’s merely a soft pure kiss dari sepasang remaja yang mengandalkan insting untuk merasa, pergerakan yang canggung dan sama-sama membuat mereka tersentak setelahnya berkat adrenalin masing-masing.

But one thing they know is that was sweet and soft. Mungkin karena mereka sama-sama minum air sebelum masuk ke kamar, they didn't know. Yang mereka tau adalah Mingyu yang memiringkan kepala, Wonwoo yang menebak Mingyu baru saja melumat bibirnya, hingga dia memaksa untuk melepas tautan yang dia ciptakan sendiri.

“Won—“

“Mingyu, aku ngantuk! Mau tidur... Iya, tidur. Kamu beneran gapapa kan tidur di bawah?”

Mingyu langsung memiringkan kepalanya, sebelum mengangguk pelan.

“Langsung tidur, nanti susah lagi dibangunin pas sarapan.”

Wonwoo hanya mengangguk, menarik bed covernya, dan memunggungi Mingyu.

That was foolish, he thought. Seharusnya ia enggak mencium Mingyu seperti itu! Seharusnya ia menggeleng aja, lalu membiarkan Mingyu yang memulainya duluan agar Wonwoo tidak perlu repot-repot merasa malu seperti sekarang ini.

Juga first kissnya. Mingyu mengambil first kissnya setelah tujuh belas tahun hidup, di atas kasur ini dengan orang tua Mingyu di salah satu kamar di rumah ini. Itu juga bukan sekadar bibir yang menempel, they’re... they’re connecting.... Oh, dia ingin berteriak sekarang.

Mungkin tidak seharusnya Wonwoo mempertanyakan dirinya sendiri, mempertanyakan Mingyu, segala yang terjadi di antara mereka.

Mingyu sendiri tidak langsung tidur, mengintip pergerakan seseorang di balik bed cover di atas sana. Ia berani bertaruh kalau kakinya sedang menendang-nendang dan wajahnya sedang merah padam sekarang.

Yah, enggak ada bedanya sih dengan dirinya sendiri.

Kalau sedang menonton film, Mingyu suka berandai-andai setiap adegan menampilkan adegan ciuman. Apa ciuman pertamanya akan semenyenangkan itu? Seromantis itu? Ia pernah dengar dari Seungcheol soal Seokmin yang mencium Jisoo saat makrab liburan semester lalu. Katanya, saat orang-orang sedang berkumpul di ruang tamu, mereka mengasingkan diri di halaman belakang rumah. Mingyu cuma tertawa keras saat itu, ikut mengolok-olok Seokmin yang berusaha menyudahi pembicaraan.

First kissnya adalah di rumahnya sendiri dengan Wonwoo di atas pangkuannya. Oh, that was sweet, wasn’t it? Besar sekali inginnya untuk meledak sekarang juga. Berlari ke luar kamar dan memeluk Daniel yang mungkin sedang tertidur dengan damai di kasur empuknya, mungkin juga hanya di depan pintu kamar kalau ia sedang ingin. Well, kayaknya anjing-anjing di Bloom harus tahan dengan pelayanan berbasis sugar rush besok.

Tapi Mingyu enggak bisa berbohong kalau masih ada yang mengganjal di benaknya.

Wonwoo bukan pacar pertamanya dan Mingyu sudah cukup familiar dengan perasaan bosan di tengah sebuah hubungan. Apa sih memang yang mau diharapkan dari hubungan di masa sekolah ini? Kalau sudah begitu, dulu, dia akan langsung melepas. He thought that they just didn't work and it would be waste their time untuk mencoba menata segalanya dari awal.

But this Wonwoo guy....

Mingyu kadang merasa malu kalau mengingat-ingat masa-masa awalnya pendekatan, tetapi kalau ia ditanya pengalaman pendekatan mana yang paling berkesan, Mingyu akan menjawab milik Wonwoo.

Also the sparks.... He doesn't understand but it just never leave, sejauh ini. Wonwoonya itu masih sama seperti teman Soonyoung yang menarik perhatiannya. Wonwoonya itu masih sama seperti anggota MPK komisi E yang pernah menemaninya mengangkat meja untuk sebuah acara. Wonwoonya itu... masih Wonwoo yang mau dia sayang-sayang.

Mungkin memang sikapnya yang berubah, Wonwoo yang sadar.

Mungkin memang perasaan Wonwoo yang berubah, Mingyu yang tidak.

“Kok kamu jadi bolos?”

“Abis ini kamu ada tanding lagi?” Tanya Wonwoo sambil menyodorkan sebotol Pocari Sweat dingin ke pemain futsal di depannya. Enggak menjawab pertanyaan Mingyu.

Dia enggak tau apa yang setelah ini bakal terjadi, bimbelnya itu suka menelepon orang tua untuk mengonfirmasi mengenai anak mereka yang tidak masuk kelas. Wonwoo sendiri sudah susah payah berusaha memohon resepsionis Ofriends untuk kali ini saja tidak menghubungi orang tuanya, mengusahakan untuk hadir di jam kedua. Tapi setelah melihat Mingyu saat ini....

“Enggak kok, mau dianterin balik abis ini?”

“Kalau boleh, anterin ke Ofriends.”

“Lah, masih rajin aja.” Cibir Mingyu. Tangannya kemudian bergerak, mengacak rambut Wonwoo yang berantakan tertiup angin. Kepala anak itu semakin menunduk, remasan di tali ranselnya menguat.

“Kalau enggak bisa juga gapapa sih, Gyu.”

“Dibisain lah, Wonwoo.”

“Tapi kamu abis menang,” ujarnya lagi. “Emangnya enggak mau ngapain dulu gitu sama temen-temen kamu?”

“Enggak. Belom menang jugaini, masih harus tanding lagi besok.”

Tangannya kemudian memutar tutup Pocari di tangannya, meneguknya, juga Wonwoo yang langsung membuang pandangan. It feels stange, wajahnya terasa hangat sekarang.

“Kenapa deh dari tadi, Won? Nyesel ya bolos gara-gara nonton doang?”

Wonwoo langsung menggeleng, tapi lidahnya terasa kelu dan laringnya seperti tertutup. Tentu saja harga dirinya enggak akan membiarkan dirinya untuk bilang bahwa pacarnya tadi bermain dengan sangat keren dan untuk memuji jagonya Mingyu dalam bermain sama saja bohong karena Wonwoo tidak benar-benar memerhatikan hal lain selain wajahnya.

Enggak sekali dua kali Wonwoo mengekor temen sekelasnya yang ingin mengambil barang di gerbang setiap hari Selasa untuk mendapatkan kesempatan melihat Mingyu dengan peluh yang menetes dari kepala. Bajunya itu suka ia gulung lengannya, begitu juga celananya sampai betis. Rambut yang acak-acakan biasanya akan menghipnotisnya sampai di titik teman sekelasnya perlu memanggilnya beberapa kali (atau langsung dipukul kalau ia sedang bersama Jihoon, teman sebangkunya).

Oh, jantung. Come on, jangan berdebar kencang di saat-saat seperti ini!

“Terus kok diem aja? Liat aku sini.”

“Mingyu...,”

“Hm?”

“Enggak usah anterin aku ke bimbel deh.”

Mingyu mengerutkan dahinya.

“Mau nonton aja gak? Kamu waktu itu bilang pengen nonton a star is born kan?”

Dahinya semakin mengerut.

Wonwoonya itu semenjak mereka menjadi kelas 12, langsung berubah menjadi yang paling banyak aturannya sekaligus yang paling taat. Mingyu masih ingat tahun lalu, saat mereka belum punya hubungan apa-apa, Wonwoo masih mau ketika ia ajak untuk dibonceng ke daerah Senen, masih dengan seragam putih abu-abu di tubuh masing-masing.

“Emang lo mau cari apa Gyu, sampai jauh-jauh ke Senen?”

“Nyari apaan yak? Udara? Waktu sama lo kali ya?”

Sekarang anak itu mungkin bakal langsung merajuk, “Inggu! Ngapain sih jauh-jauh, di Blok M paling ada,” lengkap dengan muka sebalnya dan bibir yang mengerucut. Mingyu suka mencubit pipi atau bibirnya kalau Wonwoo sudah begitu.

Kecuali kalau di saat-saat seperti sekarang, saat ketika sisi lain dari Wonwoo sedang mendominasi sisi berisiknya. Mingyu tebak, pacarnya itu sedang kalut. Kalau aja ini bukan di sekolah, mungkin ia sudah memeluknya, menggelamkan tubuh its-actually-big-he-is-tall-but-somehow-looks-small-inside-mingyu’s-embrace itu untuk menenangkannya seperti biasa, sekalipun Mingyu enggak tau apa penyebabnya.

“Enggak apa-apa kamu bolos dua kali?”

“Enggak apa kok.” Senyumnya, senyumnya yang cantik. “Kamu mau ganti baju dulu atau gini aja?”

“Aku ganti celana dulu ya?”

Wonwoo langsung mengangguk, tertawa saat Mingyu mewanti-wantinya untuk menunggu sebelum berlari mengambil tas dan melaju ke toilet di dalam bangunan sekolah mereka.

Sekolahnya berada di tempat yang entahlah, strategis? Ada GOR, ada mal yang tinggal berjalan kaki, lalu stasiun MRT yang baru diresmikan beberapa waktu lalu. Stasiun kereta juga enggak jauh, bus pun sering lewat. Jadi untuk melepas penat dan membunuh waktu, ada banyak pilihan yang bisa mereka ambil. Mingyu dan teman-temannya mungkin akan menghabiskan waktu di area parkir GOR tadi, kadang juga cabut ke kafe mana saja yang mereka tau. Wonwoo dan Jihoon (atau mungkin Wonwoo saja) adalah mereka yang tidak punya arah, satu-satunya tujuan mereka untuk kabur sepulang sekolah hanya mal yang tadi juga disebutkan.

Jadi hari ini, Wonwoo mengajak Mingyu ke dunianya.

Wonwoo dan Jihoon seringkali ke situ hanya untuk menggigit kentang atau menjilat es krim di Burger King. Seringnya ada Soonyoung sementara Minghao bergelut dengan dunianya sendiri, lalu pasangan (yang belum juga bisa disebut pasangan) itu akan menggunakan Wonwoo sebagai tameng di setiap percekcokan mereka. Menanyakan pendapat Wonwoo soal ini itu untuk memenangkan argumen. Namun, hari ini ada Mingyu sebagai tamengnya. Mingyu yang akan berbicara lembut kepadanya, Mingyu yang akan tersenyum lembut setiap dirinya sedang berpikir.

Apa itu sebutannya? Bucin? Wonwoo merasa seperti itu sekarang.

“Tadi tuh sedih banget, Won. Ditinggal sama orang yang dia cinta banget, bayangin deh.”

“Inggu, kamu jangan nangis lagi!”

“Tadi aku enggak nangis, Wonwoo. Itu berkaca-kaca aja. Tapi gokil kali kalau gak sedih pas bagian akhir. Nyanyiin lagu yang dibikin sama suaminya, lagu terakhir yang mereka nanyanyiin bareng juga.”

Wonwoo cuma senyum, menyodorkan kentang untuk ditempel-tempelkan ke bibir Mingyu.

“Jangan sedih-sedih, kamu mah.”

“Kamu jangan gitu, Won. Jangan ninggalin aku tiba-tiba gitu.”

“Mingyu, kita masih panjang banget buat sampai kayak mereka.”

“Tetep aja tau, kan enggak ada yang tau. Aba-aba dulu lah paling enggak.” Mingyu mencebik, menyendokkan es krim untuk kemudian ia ulurkan ke mulut Wonwoo sebelum melakukan hal yang sama untuk mulutnya sendiri.

“Kalau ngasih aba-aba emangnya boleh ninggalin?”

“Ya enggak, kan biar bisa ditahan. Biar abis itu gajadi ninggalin.”

Malam itu merela habiskan di atas motor menuju Kalibata dengan berteriak kepada angin. Mingyu mengelus lututnya, Wonwoo meremas belakang jaketnya. Mingyu mencuri sebuah pelukan di dalam lift, Wonwoo mengembalikan itu dengan memberi pelukan balik. Layaknya sepasang remaja paling kasmaran di muka bumi, pemilik dari seluruh tempat yang tidak mungkin untuk didistraksi.

“Won, makasih ya udah mau nonton tanding.” Ujar Mingyu saat langkah mereka sama-sama berhenti di depan pintu.

Wonwoo hanya tersenyum, lalu mengangguk. “Makasih juga udah mau nemenin nonton film.”

“Itu kan aku juga mau nonton, jadi santai aja.”

Ada jeda sampai akhirnya Wonwoo menunjuk pintu kamarnya. Mingyu mengerti sebelum mundur satu langkah, gesture untuk memberinya kuasa.

Masih ada besok, masih ada hari-hari lainnya.

“Mingyu, tadi aku mau bilang sesuatu.”

Suara yang lebih seperi bisikan itu diikuti dengan raut wajah gugup, Mingyu tau itu. Kalau ada jenis-jenis emosi yang bisa ditransfer, mungkin emosi kali ini salah satunya.

“Bilang apa tuh?”

“Kamu... keren—“

Alisnya langsung beradu.

“Uh... cakep?”

Kembali menggelengkan kepala.

“Pokoknya you look good, today.”

Setelah itu, raganya menghilang di balik pintu.