Aircraft.
“Kamu pulang hari apa?”
“Masih lusa. Kamu pegang jadwal aku kan?”
“Enggak bisa lebih cepet?”
“Kamu bukan yang punya maskapai, Mingyu.”
“Anaknya udah kangen lagi ini.”
“Anaknya aja atau papanya juga?”
“Jiaah, pake nanya.”
“Kamu pulang hari apa?”
“Masih lusa. Kamu pegang jadwal aku kan?”
“Enggak bisa lebih cepet?”
“Kamu bukan yang punya maskapai, Mingyu.”
“Anaknya udah kangen lagi ini.”
“Anaknya aja atau papanya juga?”
“Jiaah, pake nanya.”
“So?”
“So...?”
“Pergi Yule Ball sama aku?”
Wonwoo masih mengerjap, berusaha mengembalikan kewarasannya ke tempat ia berpijak sekarang.
“Is this some sort of prank?”
“Enggak, aku serius.”
“Kenapa aku?” Tanya Wonwoo setelahnya, rasa penasaran mengusiknya.
Tapi chaser kebanggaan Gryffindor itu terlihat yakin, meski ia bisa menangkap semburat kegugupan di dalam matanya.
“Karena aku mau kamu, kali?”
Tahun 2016 saat Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir berhasil mendapat medali emas di Olimpiade Rio. Terkuaknya skandal Panama Papers yang memuat berbagai nama konglomerat. Terjadinya Brexit, di mana Inggris menyatakan keluar dari Uni Eropa. Terpilihnya Trump menjadi Presiden Amerika Serikat. Bom di Sarinah yang membuat panik warga ibu kota. Tahun yang sama dengan kali pertama Mingyu melabuhkan pandangannya kepada orang yang pada satu setengah tahun kemudian ia lamar untuk menghabiskan sisa hidup bersama.
Ada satu waktu ketika Mingyu diberi kepercayaan oleh semesta untuk menjalani hari baik. Dimulai dari Wonwoonya yang mengiriminya pesan untuk meminta tolong dijemput, kemudian muncul dari balik pintu dengan dua plastik putih di kedua tangannya.
“Mau minta tolong bawain.”
“Lah, tumben?”
“Lagi pengen minta tolong aja.”
Mingyu jelas enggak protes, menyambutnya dengan senyuman lima jari. Kalau Wonwoonya udah menurunkan gengsinya yang sekeras baja itu, enggak ada alasan baginya untuk tidak berperan bak pahlawan untuk pacarnya sendiri.
Kemudian orang tuanya yang secara mengejutkan mengirimkan uang tambahan di tengah bulan, entah apa alasannya. Kemudian bagaimana acara puncak ospek fakultas yang tahun ini angkatannya (dan Wonwoo) pegang berjalan lancar. Wonwoo yang bertugas menjadi mentor itu enggak ditemukan sampai pukul tujuh, muncul dengan dua plastik yang sudah hilang dari genggamannya.
“Udah selesai sama maba mabanya nih?”
Wonwoo langsung senyum.
“Udah, kamu masih ngurusin perlap ya?”
“Hooh. Mau nunggu eval di mana, Won? Apa mau balik dulu?”
Namun ia menggeleng, memilih untuk ikut membantu apa saja yang bisa dibantu. Ikut mengangkat kursi-kursi yang berakhir diambil alih oleh Mingyu secara terus menerus, katanya enggak usah, Wonwoo duduk aja. Membersihkan segala dekorasi yang ada. Merangkap menjadi anak kebersihan yang memunguti sampah untuk dibuang ke tempat yang tepat.
Evaluasi baru berakhir tengah malam dengan teman-temannya yang tau-tau sudah membawa minuman keras ke hadapan mereka. Tapi hari itu, Mingyu enggak jadi salah satu yang langsung mengambil, melainkan langsung berdiri, pamit dengan siapapun yang tertangkap matanya.
“Lah, belom bangun anaknya.”
Wonwoo yang masih bingung langsung berdiri, berjalan beriringan dengan Mingyu menuju tempat laki-laki itu memarkirkan motornya.
“Pake nih,” kata Mingyu, menyodorkan jaket denim yang awalnya ia pakai ke arah Wonwoo.
“Enggak usah kok, Gyu”
“Emangnya enggak dingin apa? Udah sih, pake aja.”
Because it feels really nice and that’s not good for me, Mingyu.
“Ini... serius aku yang jadi MC?”
“Siapa lagi abisnya, lagi pada gabisa.”
“Dan kalian malah cari pengganti orang yang gabisa hadir dengan ngerekrut orang yang gabisa nge-MC.”
Wonwoo menghela napas setelahnya.
Ini pasti emang sengaja buat bahan olok-olokan yang lain.
“Pasti bisa lah. Waktu itu kan kamu pernah, kali ini sama aku lagi. Bisa lah pasti, entar aku back up.”
Justru karena sama kamu, Gyu.
Wonwoo menghela napas, bolak-balik membaca que cards yang diberikan untuk dibaca ulang. Memutar otak untuk mencari kalimat yang perlu ia improvisasi, menghafal slogan acara, pengetahuan tentang apa saja yang bisa menarik perhatian satu fakultas.
“Wonwoo,”
yang dipanggil langsung mendongak.
“Ayo, udah disuruh siap-siap ke panggung.”
Yang Wonwoo ingat sebelum ia memijakkan kaki di atas tangga panggung adalah kedua lengan Mingyu yang merengkuhnya, memberikan suntikan stamina dan perasaan positif seperti biasanya. Lalu remasan di tangan dan senyuman yang delalu Wonwoo klaim sebagai senyuman paling tulus di muka bumi. Di atas sana pun, Mingyu selalu ada, menjadi yang membina segala basa-basi yang hampir membuat kepala Wonwoo pecah. Merespon segala pernyataan tidak lucunya dengan sesuatu yang membuat penonton di bawah sana tidak berpaling. Memberikan senyuman terbaiknya setiap Wonwoo terlihat gugup dalam membacakan deretan sponsor yang sebenarnya enggak seberapa.
“Minum dulu, Won.” Ujarnya sambil menyodorkan sebuah botol air mineral yang sudah berkurang sedikit.
“Dapet dari mana?”
“Itu vending machine deket.”
Wonwoo hanya mengangguk, menegak air mineral dingin tersebut sampai tinggal setengah, dan kembali memberikannya kepada Mingyu. Berusaha keras untuk tetap fokus dengan penampilan band entah siapa di atas sana dengan lighting yang menyala-nyala demi tidak mengindahkan tatapan Mingyu yang tentu akan membuatnya salah tingkah setengah mati.
“Kamu cakep banget dari sini.”
Sebelum Wonwoo sempat menoleh, lengan Mingyu sudah bergerak untuk merangkulnya, menempelkan kepalanya dengan milik Wonwoo yang beberapa centimeter di bawahnya.
“Gadeng, emang selalu cakep.”
Wonwoo menikmatinya.
Beberapa manusia terbiasa untuk tidur dengan selimut yang membalut tubuh mereka, enggak peduli seberapa panas suhu udara saat itu karena sudah mendarah daging dengan apa yang ibunya ajarkan. Seorang siswa terbiasa untuk datang ke sekolah hampir terlambat, sudah hafal dengan penjaga sekolah yang tetap membiarkannya masuk. Pasangan di beberapa cerita, film, hingga kisah nyata terbiasa untuk berbohong dengan satu sama lain, teringat bagaimana mudahnya mengelabui dengan bersembunyi tangan. Sementara Wonwoo terbiasa untuk mengedarkan pandangannya kepada laki-laki jangkung yang sudah hampir setahun mencuri hatinya, telanjur memiliki radar tersendiri yang membuatnya selalu mengikuti gerak-geriknya setiap mereka terjebak di lokasi yang sama.
Sore itu merupakan hari ketiga dari kejuaraan yang sekolahnya selenggarakan dengan sepak bola sebagai mata lomba yang kali ini dilaksanakan. Wonwoo suka olahraga, dia salah satu anggota ekskul basket sekolah ini yang kebetulan enggak punya jadwal tanding di hari ini, jadi Wonwoo bisa menghabiskan sorenya untuk tetap bolos dari bimbel dan memilih untuk mengarahkan lensa kamera kepada Mingyu yang sedang sibuk dengan bola di kakinya.
Kalau lagi ada waktu luang, Mingyu dan Wonwoo akan berubah menjadi fotografer amatiran yang berkeliling kota dengan kamera masing-masing di tangan, mencari objek foto yang mereka bisa tangkap. Kadang sambil membawa sebuah buku latihan soal jika Wonwoo sedang merasa ingin ambisius dan Mingyu hanya akan mendecak sebal, ia tau bahwa presensinya bakal kalah dengan buku yang memuat ribuan pertanyaan mengenai pelajaran geografi yang enggak Mingyu pedulikan.
Hari itu mungkin memang enggak ada Mingyu dan kameranya, enggak ada kemeja yang ia biarkan terbuka untuk memamerkan kaos di dalamnya, enggak ada tangan yang diam-diam menjalar untuk mengajaknya bertaut. Tapi, yang Wonwoo tau pasti, perasaannya saat ini enggak ada yang berbeda dengan semua momen-momen yang pernah terjadi di antara mereka.
Masih senang.
Masih berdebar.
Masih bangga.
Seperti ketika Mingyu berhasil membuat sebuah gol dan Wonwoo yang siap mengabadikan semua selebrasi yang tim sekolahnya lakukan. Seperti ketika wasit meniupkan pluit tiga kali, tanda permainan berakhir dan sekolah mereka berhasil memenangkan babak semi-final. Seperti ketika Mingyu menghampirinya dengan senyum yang terpatri di wajahnya, peluh yang menetes deras dari kepala dan tangannya yang meraih botol Pocari Sweat yang Wonwoo berikan.
Selalu senang.
Selalu berdebar.
Selalu bangga.
“Dek, jangan ngobrol. Dengerin orang yang ngomong di depan.”
“‘Kak Mingyu tuh walaupun galak, tapi galaknya yang tegas gitu, jadi aku enggak takut.’ Ya, itumah dianya aja yang berani sama kamu.”
“Enggak usah dibaca lagi, kenapa dah?”
Mereka langsung turun ke lantai bawah setelah meletakkan handuk di kamar Wonwoo. Mingyu wears his love’s clothes again like his own today, another oversized yang enggak begitu oversized di badannya. Warnanya ungu, bener-bener warna Wonwoo. Tapi Mingyu juga enggak bisa protes mengingat dia sendiri yang enggak bawa baju lebih. Atau harusnya dia pakai baju kemarin aja, walaupun meminjam baju Kak Wonwoonya jauh lebih menarik.
“Mingyu, mama sama papa aku kan berangkatnya pagi ya, jadi aku sama Bohyuk harus beli atau masak sendiri.”
“Terus kamu jadinya masak?”
“Iya, goreng nugget dan egg roll doang sih.” Wonwoo membetulkan posisi berbaringnya, menggaruk pipinya sebelum melanjutkan.