Canacancer

Hari ini 15 Juni, tepat bertambahnya satu level angka di umur mas Soonyoung. Dan kebetulan kali ini gue ikut berpartisipasi di dalamnya, ikut merayakan hari lahir orang baik itu. Bermodalkan pengetahuan cetek gue tentang masak memasak, gue berhasil bikin pasta aglio olio tanpa bikin rumah kesayangan mas Young-kita panggil mas Young aja biar gak kepanjangan-kebakaran. Gue menemukan sebotol wine yang masih belum dibuka sewaktu merogoh isi kulkas mas Young, jadilah gue memasukkan wine untuk ikut andil di acara makan malam hari ini. Gerakan gue melepas apron putih mas Young terhenti, waktu tiba-tiba ada tangan yang melingkar di perut gue. Sebenarnya gue udah denger langkah kaki mas Young, tapi gue gak menduga dia bakalan memeluk gue buat pertama kalinya sepanjang 2 minggu ini. Kepalanya ditaruh di bahu gue, menyandarkan sedikit beban dia hari ini. Inisiatif, gue elus tangannya di perut gue, menyalurkan hangat dan sedikit rasa aman.

Mungkin waktu udah berlalu sekitar 5 menit sewaktu gue menegur pelan mas Soonyoung, “mas, mandi dulu yuk abis itu makan”. Yang diajak bicara masih diem, tapi badannya menyeret gue buat ikut langkah dia ke kamarnya. Kalau boleh jujur. Sebenarnya gue udah kelabakan, jantung gue tiba-tiba kayak balapan. Belum lagi keringat dingin yang tiba-tiba banjir di kening gue, hasil dari rasa gugup karena kelakuan aneh mas Young.

“Mas?” sekali, “mas Soonyoung?” dua kali, “mas kamu kenapa?” tiga kali. Baru akhirnya pertanyaan gue dia jawab, “kangen. Belum peluk kamu dari berminggu-minggu lalu. Maaf ya Jihoon, saya berat ya?” gue gak bisa gak terkekeh denger pertanyaan mas Young. Gue membalik badan, menangkup wajahnya yang kelihatan lebih kurus dari terakhir kali kita ketemu. Pipinya yang tertekan tangan gue, bibirnya yang ikut mengerucut, mukanya yang lelah, semuanya jadi satu malam ini. “Gak berat masss, cuma heran ini kamu kenapa? Sakit kah? Mau mandi air anget aja?” yang ditanyain menggeleng, kali ini kening dia ditempelkan ke kening gue, matanya merem begitu dahi kita bertemu. Gak ada rasa panas yang gak normal dari badan mas Young, tandanya dia memang lagi capek aja. Mata dia masih terpejam waktu hidung dia menyentuh hidung gue, lalu sekarang bibir dia yang bergerak maju, dan gue serta merta ikut memejamkan mata.

Kalau boleh gue deskripsikan secara detail, bibir mas Soonyoung itu kayak permukaan croissant; wangi, manis, dan sedikit kering. But it feels better once i pushed my lips onto him, gue kayak mencium marshmallow. Lembut, empuk, manis, dan nyaman. His lips are everything i ever dreamed of, my wildest dreams packed in a single kiss; and i just can’t get enough. Pelan, setiap gerakan bibir mas Soonyoung terasa pelan. Menyapu bibir gue selembut kapas, memberikan perasaan berkupu-kupu di perut gue. Yes, all those butterflies. Sedekat ini dengan mas Soonyoung, gue bisa menghirup dalam-dalam wangi dia. Sekelebat aroma parfum yang beberapa waktu lalu gue berikan ke dia lewat di hidung gue, bergantian dengan wangi kopi dari sabun dia. Rasanya nyaman banget, meresapi seluruh dari mas Young sebanyak yang gue bisa. Ketika ciuman kami udah sama-sama mengendur, gue kecup bibirnya sekali lagi, menyalurkan afeksi yang selalu gue sembunyikan selama ini. Mas Young tersenyum sewaktu gue berbisik, “selamat ulang tahun, love” memancing gue untuk ikut tersenyum.

Oh God, I think I'm in love.

Satu malam terlewati lagi, dengan lampu yang dimatikan, serta pintu yang ditutup rapat. Lalu ketika semua sunyi senyap, rasa kosong itu merangkak naik. Kamu yang aku nantikan setiap aku membuka mata tak lagi di hadapanku, bersembunyi sebentar dari hingar bingar.

Di studio itu gelap, layar-layar menghitam, satu persatu dimatikan. Lalu kamu yang melangkah pergi, menjadi penghias terakhir dari laraku malam ini. Satu-satu, sepuluh-sepuluh, seribu-seribu, semuanya membentak lirih pada sang bumantara; menyorakkan kepergianmu. Andai aku menyayanginya lebih awal, andai aku menyentuhnya lebih lama, andai aku mendengarkannya lebih seksama, dan ribuan andai yang tak sempat tersampai. Semuanya untuk kamu, semuanya karena kamu.

Lalu Yang Agung bertanya, siapa kamu? mengapa duniaku hancur melepasmu pergi?

Lalu aku ikut bertanya pada diriku sendiri, kamu siapa? mengapa aku dicekik lara menatap langkahmu yang menjauh?

GUE MAU NGAMUK! Gak sih, sebenarnya gue udah ngamuk. Yang pertama ngamuk sama mami, karena tiba-tiba ada direktur kampus gue-yang kemarin senin nabrak gue dan manggil gue buat gantiin minuman gue-di depan lobi apartemen dan bilang kalo dia disuruh mami buat jemput gue. Lo bayangin deh jadi gue, selama seminggu ini gue muterin lapangan buat ke kantin cuma supaya gue gak lewat rektorat karena gue masih malu. DAN TIBA-TIBA GUE DIJEMPUT SAMA SI OKNUM PENYEBAB RASA MALU GUE?! Udah gila, beneran deh asli.

Selama perjalanan ke Bandung gue dan si bapak direktur diem-dieman aja, bayangin selama itu cuma diem. Cuma ada lagu-lagu tahun 90-2010 an yang ngisi keheningan, sisanya diem semua. Gue sampe bisa denger bunyi nafas gue sendiri, canggung parah gue sampe pusing.

Terus kayak gak cukup nih bercandanya, tiba-tiba jeder rumah gue rame banget. Kayak lagi ada acara keluarga, banyak orang lalu lalang, keluar masuk rumah. Feeling gue udah gak enak nih, deep down i'm hoping apa yang gue pikirin tuh gak bener. Then there was Mami, dengan wajah sumringahnya ngebawa gue kekamar gue sendiri. Kepala gue diusap-usap, senyum beliau ngembang lebar banget. Heck gue bahkan didudukin di atas kasur, terus disuapin kue sama minuman. Makin bingung dong gue, ada apasih ini? Lalu Mami buka mulut, “Jiji sayang anak Mami, menurut kamu gimana mas Soonyoung? Baik kan tadi selama di jalan?”

Perasaan gue gak enak!

“Menurut Jiji, kalo mas Soonyoung jadi suaminya Jiji gimana? Mau kan?”

KAN BENER!

“MI?! APA-APAAN TIBA-TIBA BEGINI?!” Yak benar, gue literally ngamuk lagi buat yang kedua kalinya hari ini. Papi sampai harus masuk ke kamar gue buat nenangin keadaan, tapi jujur gue masih tetep gak bisa tenang. Sampai akhirnya Pak Kwon masuk ke kamar gue, kayaknya karena suara gue nyaring banget makanya dia masuk. Dia natap gue sebentar, lalu natap Mami sama Papi, “Jihoon, ikut saya sebentar ya?”

Gue mau gak mau harus ikut, agak khawatir nilai gue terancam kalo gue gak nurut. Kita berdua jalan di sekitar perumahan gue, ditemenin sama matahari sore yang gak terlalu panas. Awalnya cuma diem-dieman lagi, sampai gue dan dia belok ke arah taman kompleks.

“Jihoon, maaf ya kalau kamu tiba-tiba dijodohin seperti ini, sama saya lagi, hahaha. Awalnya saya juga kaget, karena Bunda saya gak pernah bilang apa-apa sebelum beliau meninggal tahun lalu. Lalu Ayah saya jatuh sakit seminggu yang lalu, beliau bilang Bunda menjodohkan saya dengan anak sahabatnya waktu muda dulu. Bunda bilang kalau beliau tidak bisa melihat saya menikah dengan anak sahabatnya, setidaknya Ayah saya harus melihat saya berjalan di Altar. Yang saya tidak tau adalah, ternyata saya dijodohkannya sama kamu,” Well fuck, that's so sad. Gue jadi sedih, kayaknya berat banget hidup pak Kwon. Gue natap dia yang lagi berdiri di hadapan gue, ngelihat gimana sorot matanya kelihatan sedih, meskipun tangannya telaten mendorong ayunan yang lagi gue naikin ini. Mulutnya ngebuka lagi, ngelanjut omongan dia karena gue gak ada komentar apa-apa. “Kamu bisa menolak kok, Jihoon. Jangan terbebani ya, nanti saya bisa bicarakan dengan Ayah saya. Saya gak mau kamu terpaksa dengan perjodohan ini, apalagi yang kita lakukan ini pernikahan. Saya tidak mau membuat nama kamu sedih di hadapan Tuhan, kalau sampai kita nikah dan ternyata kamu gak bahagia. Tenang saja Jihoon, saya gak mau memaksa kamu kok”

Gue sebenernya hampir menolak, tapi setelah dipikir-pikir gak ada salahnya gue meng-iya-kan. Tapi gue inget, ini arahnya ke pernikahan, dan gue bahkan gak kenal sama orang di hadapan gue ini. Di mata gue dia cuma direktur baru kampus, dan oh dosen kontemporer juga(kata Minghao yang gebetannya anak kontem). Gue butuh waktu, at least sampai gue tau apa yang bakal gue hadapin kalo sama dia.

“Kalau kamu setuju, kita gak langsung menikah besok kok Jihoon. We'll do it whenever you're ready, kita juga butuh waktu buat kenal satu sama lain lebih baik. Tapi kalau nanti pada akhirnya kamu tetap menolak, saya tidak akan memaksa kamu, gimana?” Please gue butuh waktu berpikir, wait gue harus ngomong jangan ngomong di kepala mulu.

“Saya boleh mikir dulu gak pak?”

“Boleh Jihoon, kamu pikirkan aja dulu supaya kamu juga nanti gak menyesali pilihan kamu”

“Baik pak, terima kasih pak” Anggukan gue terhenti waktu pak Kwon menatap gue, netra dia keliatan coklat waktu kena sinar matahari senja. I must admit he's quite... handsome. His smile were sweet, triggering all the butterflies in my stomach.

“Mas”

“Hah?”

“Panggil saya 'mas' aja, kita sudah gak di area kampus”

Then 'mas' it is.

Hari ini akhirnya gue pulang, dengan satu perjanjian sama Mami dan Papi. Gue dikasih waktu sebulan buat deket dan kenal sama Mas Soonyoung, kalo lebih dari satu bulan itu gue gak nyaman sama dia we're gonna cut things off.

Dan besok gue official sedang dalam masa pendekatan,

sama direktur sendiri.

How crazy my life is.

Matahari udah turun, waktu gue menginjak gas menuju tempat impian orang yang paling dan masih gue sayang sampai sekarang. Saat itu kalo gak salah masih tahun 2020, 5 tahun yang lalu. Ada Wonwoo di pelukan gue, kami yang sama-sama telanjang layaknya bayi menghadap jendela kamar gue yang terbuka lebar. Cahaya-cahaya gedung dan mobil berhamburan di mata kami, waktu itu gue bilang semuanya keliatan nge-blur kayak bintang-bintang di langit. Lalu Wonwoo bilang ngeliat bintang adalah cita-cita terbesar dia, ngeliat gimana semua bintang itu berhamburan di mata dia. He said he wanted to go to Griffith Observatory, watching all the stars he loves the most. Gue pernah menjanjikan dia pergi ke tempat itu, ngeliat bintang dengan kami yang berdiri sebelahan.

And here i am standing before the Griffith Observatory, seeing how the sun disappeared.

Lalu akhirnya ada dia, laki-laki yang akhirnya gue lihat lagi setelah 3 tahun lamanya. Rambutnya lebih panjang dari yang terakhir gue lihat, kacamata masih setia bertengger di hidung kecilnya. Tangannya menggenggam kamera, dan fuck senyum dia masih semanis dulu.

“Gak jadi ketemu di Amsterdam nih?”

This should be enough, apa kabar Wonwoo?”

Trigger warning : —mentioning of broken home, depressions, and self harm

Jakarta sore hari gak pernah sesepi ini, suatu hal yang ajaib dan mungkin akan Wonwoo syukuri nantinya. Seluruh semesta kayak ikut berbahagia, menyambut Wonwoo yang akhirnya ketemu lagi sama Mingyu, setelah berbulan-bulan lamanya. Wonwoo mengetuk-ngetuk jarinya ke roda stir, mengikuti ketukan dari lagu yang dia putar. Suasana hatinya bagus banget, despite the thumping in his heart out of nervousness.

Kenangan familiar gak bisa lepas, waktu Wonwoo akhirnya ngelihat pintu unit apartemen Mingyu. Tangannya mengangkat, lalu turun, lalu naik lagi, lalu turun lagi, ragu-ragu harus mengetuk sekarang atau sampai dia siap. Tapi pintu tiba-tiba kebuka, nampakin Mingyu yang menjulang di hadapan Wonwoo. Mata Wonwoo meneliti setiap inchi badan Mingyu, melihat banyak banget perubahan yang terjadi selama mereka gak ketemu.

Rambut Mingyu agak lebih panjang sekarang, pipinya lebih tirus, senyumnya lebih teduh, dan badannya jadi lebih tinggi dari yang terakhir Wonwoo ingat. But nonetheless, he's still Mingyu that Wonwoo knows.

Ruang tengah apartemen Mingyu masih sama, ada sofa abu-abu lebar yang menghadap tv, lalu meja kopi pilihan Wonwoo waktu mereka belanja perabotan apartemen Mingyu 5 tahun lalu. Semuanya masih sama, bahkan sampai ke wangi citrus musk khas Mingyu. Gak ada yang berubah ditempat ini, kecuali dua orang manusia yang berdiri bersisian ini. Wonwoo jadi makin kecil di hadapan Mingyu, tapi rasanya jadi aman. Seakan Mingyu bisa kapan aja ngelindungin dia, dan Wonwoo ngerasa aman.

“Wonwoo, boleh peluk gak?” Kesadaran Wonwoo ditarik lagi sama Mingyu, waktu dia ngerasa bisikan pelan di telinga kanannya. Yang ditanya cuma ngangguk, sebelum akhirnya badan dia diputar dan direngkuh sedemikian erat. Wonwoo tenggelam di dada Mingyu, menghirup dalam-dalam aroma yang pasti bakal dia rindukan nanti.

“Mingyu mau ngomong” Satu kalimat aja, tapi badan Mingyu dan Wonwoo kayak punya auto pilotnya sendiri. Langsung gerak ke arah sofa kayak mereka biasanya. Mingyu ngambil posisi nyamannya sebelum Wonwoo ikut rebahan di lengan dia, kebiasaan yang sering mereka lakuin setiap mereka bareng, tapi terlalu capek buat nge-seks dan cuma butuh temen cerita. Tangan Mingyu menumpuk diatas tangan Wonwoo, nafasnya kerasa dari potongan leher Wonwoo, dan jantung Wonwoo gak bisa berhenti bergemuruh karenanya. Wonwoo menarik nafas dalam banget, sebelum akhirnya ngebuka mulut dia,

“Waktu itu umur gue masih 8 tahun, setiap hari ngeliat Ayah sama Bunda berantem gak ada habisnya. Terus pagi-pagi gue bakalan ngeliat sudut bibir Bunda yang berdarah, dan piring-piring yang pecah berhamburan di ruang tengah. Setelah itu Bunda bilang dia sama Ayah bakalan cerai, lalu gue diajarin segala hal yang biasanya Ayah lakuin.” Nafas Wonwoo berat, tapi dia tetep harus ngelanjutin cerita dia ke Mingyu. Dipejamkannya sebentar mata kecil dia, sebelum badannya kali ini berbalik menghadap Mingyu.

“Kata Bunda, gue harus bisa mandiri. Gue pikir karena Ayah bakalan pisah sama Bunda, makanya gue harus bisa gantiin Ayah buat Bunda. Lalu yang gak gue duga adalah, sewaktu gue bangun disuatu pagi tiba-tiba gue udah ada di teras panti asuhan. Gue masih inget jelas malam itu gue tidur di kamar Bunda, katanya... kata Bunda...” Ada tangan Mingyu di punggung Wonwoo, mengusap pelan Wonwoo yang sekarang udah banjir sama air mata.

“Gak usah dilanjut, Wonwoo” Wonwoo menggeleng keras, tapi tetep terisak karena harus mengulang memori paling sakit seumur hidupnya.

“Akhirnya hari itu gue resmi jadi salah satu dari puluhan anak panti. Setiap hari gue selalu nangis, selalu nyari-nyari Bunda yang padahal udah gak peduli lagi sama gue. Seminggu gue disitu, gak pernah absen yang namanya nangisin Bunda di taman belakang. Sampai akhirnya ada anak kecil bermata sipit nyamperin gue, mukanya keliatan cerah banget. Namanya Seungyoun, lo pasti udah ketemu sama dia. Dia anak donatur terbesar panti yang gue tinggalin, katanya dia seminggu sekali ikut papinya ke panti buat main sama anak-anak lain. Seungyoun jadi temen pertama gue hari itu, dan tetep jadi temen gue sampai kita berdua sama-sama SMA. Waktu itu kelas 2 SMA, gue pertama kalinya ciuman sama orang. Cuma bibir diatas bibir, tapi rasanya gugup banget. Apalagi orang yang gue cium itu Seungyoun, sahabat gue dari kecil. Akhirnya kami jadian setelahnya, sampai gue dapet beasiswa buat kuliah, sementara Seungyoun pergi ke Singapur buat kuliah juga. Gue inget banget, hari itu hari Sabtu, di depan gedung perpisahan SMA. Gue yang duluan minta putus sama Seungyoun, karena dia tiba-tiba ngajak gue nikah. God, i hate him so much that day. Alasan dia ngajak gue nikah karena dia gak mau pisah dari gue, and that makes me hate him more. Menikah jadi musuh terbesar gue, semenjak Bunda ninggalin gue di panti asuhan hari itu. Ibarat wishlist, kata nikah tuh udah gue coret, gue buang, gue bakar sampai gak bersisa. Gue benci banget sama pernikahan, sampai ke poin dimana ngeliat undangan pernikahan orang aja gue langsung anxious dan muntah-muntah. Crazy isn't it? Gue benci banget sama diri gue waktu itu Nggu, rasanya sesek banget tiap gue ngeliat pasangan suami istri ketawa bareng. Gue selalu ngerasa takut Nggu, takut tiba-tiba Youn dateng dan ngajak gue nikah lagi kayak sebelumnya. Gue gak bisa tidur kalo dibawah bantal gue gaada cutter, setiap malem tangan gue selalu berdarah sampe darahnya kering karena gue sayat-sayat. Gue... hampir mati waktu itu. Andai waktu temen kos gue gak ke kamar gue, mungkin kita gak pernah ketemu Nggu. Hahahah, serem banget gak sih gue?” Mingyu lagi-lagi ngeratin pelukannya ke Wonwoo, ngasih reassurance buat Wonwoo. Mingyu hangat banget, Wonwoo rasanya gak mau lepas dari pelukan Mingyu.

“Setelah kejadian itu gue dibawa ke psikiater, ternyata gue mengidap PTSD* Nggu. Akhirnya gue terapi selama kurang lebih 3 tahun, gak pernah sekalipun gue absen sesi. Things get better, eventually. Then i met you, and i just knew you'll be my heartbreak one day. Tapi ketemu sama lo mungkin jadi salah satu hal yang gak gue sesalin. Things really get better, bahkan dokter gue bilang, gue gak perlu terapi dulu dan gue bisa berhenti konsumsi obat dulu karena gue udah baikan. I'm beyond happy that day, inget gak pertama kalinya gue pake kemeja ini lagi setelah gak pernah gue pake, karena lo bilang gue bagus pake kemeja ini? Yes, it was that day Nggu. Gue kelewat bahagia sampe akhirnya gue balik ke apart dulu, buat ganti kemeja sebelum ke apart lo. We had sex with that shirt on, gue bahagia banget Nggu waktu itu. That time I thought I had the world wrapped around my fingers, tapi tentu aja we can't always have the best things we wished for. I fall in love, harder that i ever think about. Gue pikir gue gak bakal jatuh cinta sama lo, Nggu. Tapi ternyata gue salah besar, lo tuh... gak tau deh aneh banget tiba-tiba gue sayang banget sama lo. Setiap hari gue pendem perasaan gue sendiri, apalagi ngeliat lo mesra-mesraan sama Soonyoung! Ih gedek banget gue!” Mingyu ketawa kenceng banget, waktu tangan kecil Wonwoo nyubitin perut keras Mingyu. Yang dicubitin gak bisa ngelak, cuma pasrah dan ketawa-ketawa bikin Wonwoo ikutan ketawa. Setelah tawa mereka berdua reda, baru Wonwoo berani natap mata Mingyu buat yang pertama kalinya malem ini. Matanya natap Mingyu penuh afeksi, seakan banyak banget yang pengen dia omongin tapi akhirnya hilang gara-gara udah kejebak dimata indahnya Mingyu.

“Mingyu, just so you know. It's not the person who scares me the most, it's the idea of marriage that kills me hundred times harder. Gue bahagia sama lo, banget malah. Tapi gue gak bisa ngelihat diri gue sendiri hidup di dunia pernikahan, too much things haunting me yang bikin gue gak mau menikah. Bukan salah lo kok, gak pernah salah siapa-siapa. Ini cuma gue yang battling with myself. Gue juga gak pengen disembuhin sama lo, karena yang ada malah gue ngehancurin lo pelan-pelan. Nggu, setelah malam ini, gue harap lo gak perlu nunggu gue lagi. Find your own happiness, cause you won't ever find it in me. Kita cari jalan kita masing-masing ya? Tanpa perlu nyakitin satu sama lain, mau kan?” So this is the end, hari dimana Wonwoo akhirnya bisa ngelepas Mingyu kayak yang selama ini dia berusaha lakuin. Inget Wonwoo, ini demi kebahagiaan Mingyu. Karena seberapa keraspun Wonwoo nahan Mingyu, dia gak bisa menyediakan apa yang Mingyu butuhin.

“Woo, if one day, kita ketemu lagi. Would there be a second chance?”

“Mungkin?”

—et finalé

  • = Gangguan stres pascatrauma Juga disebut: PTSD

Gangguan yang ditandai dengan kegagalan untuk pulih setelah mengalami atau menyaksikan peristiwa yang mengerikan. Kondisi ini bisa berlangsung berbulan-bulan atau bertahun-tahun, dengan pemicu yang dapat membawa kembali kenangan trauma disertai dengan reaksi emosional dan fisik yang intens.

A mess. Yang pertama Jeonghan tangkap waktu masuk ke apartemen Mingyu adalah, berbotol-botol bir kosong yang berserakan kacau. Lalu kakinya lari menuju kamar Mingyu, dan saat itu juga air mata yang berusaha Jeonghan tahan akhirnya jatuh gak beraturan. Di ujung kamar Mingyu berdiri lemas, kakinya merah, tangannya juga gak kalah merah, Mingyu bener-bener bersimbah darah. Yang punya tempat cuma diam, seakan mati rasa. Angin berhembus kencang banget, menerobos masuk lewat jendela yang pecah. Dan Mingyu disana, sehancur-hancurnya manusia. Buat sekedar bergerak pun dia gak bisa, tenaganya udah terkuras habis. Tatapan Mingyu hambar, kosong, bahkan gak ada binaran yang biasanya melekat erat.

Mingyu berubah jadi robot mati rasa, bangun setiap pagi, ketemu sama wonwoo, dan berujung hampir dilempar pakai pisau buah. Setiap hari, gak berubah sama sekali. Udah jadi rutinitas yang kelewat domestik, bahkan kalaupun ditusuk beneran pun Mingyu kayaknya gak akan bergeming. Mingyu jadi hancur, jatuh berkeping, kacau.

“Gyu, ikut gue sama jeonghan ya?” Kaca-kaca yang menempel di kaki Mingyu dilepas satu persatu.

“Mingyu kerumah sakit ya?” Serpihan kaca berhamburan di tangan.

“Mingyu disembuhin dulu ya tangan sama kakinya?” Pecahan kaca yang menancap di tangan dibiarkan, takut menambah kacau keadaan.

Mingyu gak melakukan apa-apa waktu Seungcheol menelepon ambulans, dia cuma diam natap Jeonghan dan Seungcheol bergantian. Bahkan waktu akhirnya Mingyu naik brankar pun, dia cuma menatap sekitar. Mingyu kayak kehilangan seluruh fungsi tubuhnya, gak punya sesuatu untuk berpegangan.

Mingyu kayak kayu yang dibakar, hancur jadi abu, lalu kemudian jadi debu.

Mingyu kayak air yang direbus berjam-jam, mendidih, lalu menguap jadi udara.

Mingyu hancur, bahkan semua perumpamaan dimuka bumi gak sepantar dengan hancurnya Mingyu.

Tapi Mingyu hancur, berkeping, lalu berserakan dan akhirnya hilang.

Trigger warning : —slight mention of death and suicide —penyebutan ringan tentang kematian dan aksi bunuh diri

Seungcheol gila sih, aku rasa malam ini dia bener-bener gila. Gak cuma ngebawa ayam dan bir kayak yang dia janjikan dichat, manusia keturunan Arab ini juga membawa beberapa botol soju, yang kayaknya dia beli di Korean Mart di seberang apartemenku. Bukan masalah sebenernya andaikan si Choi Seungcheol ini cuma membawa 5 kaleng bir dan takut kurang makanya dia beli lagi, masalahnya dia ngebawa satu karton bir. Please call police if tomorrow i don't wake up after 3pm, i might have died because of this impulsive reckless human being.

Ugh, look at that damn stupid smiles. Untung aku masih berbaik hati membukakan pintu buat Seungcheol, meskipun orang ini sepertinya punya rencana untuk membuat aku mati karena overdosis bir. Dengan santainya Seungcheol menginvasi ruang tengah apartemenku, menyusun jajaran pernak-pernik yang dia bawa tadi dengan rapi di atas meja. Bahkan dia sempat-sempatnya menyusun kaleng-kaleng bir menjadi sebuah menara. Aku mengambil posisi di samping Seungcheol, melipat lututku karena kami memutuskan untuk duduk di lantai demi kenyamanan makan dan minum malam ini. Tangan Seungcheol mengulur bir yang sudah terbuka, memintaku untuk mengambil alih kaleng itu dan melakukan tos sebelum menenggak isinya. “Cheol tolong kalo lo bosen hidup jangan ajak gue, gue masih pengen makan bubur Cikini”

And he laugh, he laughed like he never did that for his entire life. Asli, kayaknya Seungcheol beneran punya rencana bunuh diri malam ini. Tangannya menoyor kepalaku setelah tawanya habis, lagi-lagi menenggak birnya. “Gak begitu pinterrr, kalo gak habis kan bisa buat nyetok disini. Ntar gue kesini lagi kalo mau minum”

“Dih! Gila lo?!” Mataku memicing ke arah Seungcheol, ingin mengomel tentang dia yang malah menjadikan tempatku sebagai bar pribadinya. Tapi terpaksa diinterupsi karena si dia ini menyambung kalimatnya, “Kalo gue nyimpen dirumah ya Han, besoknya gue bakal ada di peti mati. Kayak gak tau aja lo temen lo punya bapak ustad”

Fair enough. Selama bertahun-tahun temenan sama Seungcheol, udah bukan hal yang ditutupi lagi kalau Seungcheol ini anak salah satu pemuka agama yang lumayan tersohor. Dulunya kupikir si Seungcheol ini will take after his father, ternyata jauh berbeda dari yang diperkirakan. Malahan, Seungcheol yang pertama kali membawa beberapa jenis minuman keras, sewaktu kami memutuskan untuk nongkrong saat kami masih jadi intern beberapa tahun lalu. This man is really are something.

Mengingat minuman keras, tanganku tau-tau sudah membuka kaleng ketigaku malam ini. Potongan-potongan ayam gak berhenti masuk mulut kami, mata terfokus dengan film berjudul Midnight di layar. But here comes the most awkward thing, when you watch movie while you eat. Tangan lo tiba-tiba nabrak satu sama lain. Tangan hangat Seungcheol nempel di tanganku yang dingin karena ac. Nyaman, tapi aku gak boleh kelewat nyaman. Buru-buru aku menarik tanganku, menyesap bir yang sebenernya udah habis tapi aku paksa-paksa ada biar gak makin awkward. Duh! Beneran deh, aku tuh paling gak suka kalo udah gini, mau nafas aja rasanya jadi canggung. Lagian kenapa tiba-tiba jadi canggung gini deh? I thought I'm too casual with him to even have this awkward moment.

Tanganku menjangkau kaleng bir, yang sialnya ada di sebelah kanan Seungcheol. Mau gak mau tanganku harus melewati wajah Seungcheol, dan tubuhku juga harus condong ke arah dia. I hate to say this out loud, but i feel shivers running down my whole body by the time Seungcheol's breath ghosted my hand.

Efek alkohol masih belum bekerja di tubuhku, tapi aku udah mabuk karena oknum Choi Seungcheol.

Sepanjang sisa film aku habiskan dengan menyekoki diriku sendiri, dengan berbagai jenis bir yang ada di hadapanku. Mungkin sekitar satu botol soju dan lima kaleng bir? I don't know, I lost count. Cegukan bahkan udah mulai muncul tanpa aku sadarin, tiba-tiba bahuku naik turun, suara-suara khas cegukan keluar dari mulutku. Mungkin karena kasian melihat aku yang terlihat menyedihkan, Seungcheol berbaik hati mengambilkan air putih untuk menetralisir cegukanku. TAPIIIIIII, bukannya hilang, cegukan kampret ini malah semakin heboh. Kami berdua udah hilang akal, bingung mencari solusi apalagi buat cegukanku.

But then this weird and most stupid idea came, Seungcheol tanpa aba-aba menaruh bibir tebalnya di atas bibirku. Gak ada gerakan apa-apa, tapi ajaibnya cegukanku berhenti setelah beberapa menit. Menjadi manusia bodoh untuk kesekian kalinya, si Yoon Jeonghan ini bukannya melepas ciuman Seungcheol, tangannya malah mengalung ringan ke leher Seungcheol. Aku bisa melihat keterkejutan di mata Seungcheol, yang kubalas dengan dorongan pelan di bibir.

Things get heated eventually, ciuman yang awalnya kecupan ringan berubah jadi kecupan panas dimana lidah kami ikut andil didalamnya. Aku mendorong, membelit, menyecap Seungcheol dan sisa-sisa bir yang membekas di lidahnya. But then this why you shouldn't trust your impulsiveness. Kakiku gak perlu naik ke potongan pinggul Seungcheol, tangan Seungcheol gak perlu memegang kedua pantatku, langkah Seungcheol gak perlu pergi menuju kamarku.

But we're just nothing but a couple of human with needs, we gave up on our rationality that easy.

Aku membiarkan jari-jari Seungcheol berkelana, melucuti pakaian yang menempel longgar di tubuhku. Pun aku ikut melakukan kegiatan yang sama, melepas kancing-kancing di kemeja Seungcheol, membuka kaitan gespernya lalu menurunkan resleting celana Seungcheol. Ciuman-ciuman Seungcheol turun, menuju leher, tulang selangka, bahkan kedua noktah di dadaku juga ia kecupi.

To say that Seungcheol is good is an understatement, he's great.

Nikmat, nikmat banget. Rasa-rasanya aku bisa nangis-which I actually did-sewaktu Seungcheol mengisiku dengan penuh. Aku bener-bener bisa gila, Seungcheol dengan akurat menyentuh semua titik yang gak pernah aku duga bakalan nikmat banget. Kami bener-bener menikmati waktu kami, menikmati gerakan Seungcheol yang ringan dan pelan, menikmati keseluruhan Seungcheol yang ditutupi kondom berwangi coklat milikku. Kami berciuman lama, menghabiskan waktu dengan cara berbagi saliva. Sampai akhirnya aku menyentuh surgawi, disusul Seungcheol yang menggeram rendah di telingaku.

Kami menikmati malam dengan indah,

Sebelum akhirnya disambut dengan Seungcheol yang hilang tanpa jejak dipagi harinya.

Congratulations Yoon Jeonghan for being a dumb person one more time!

Trigger warning : —slight mention of death and suicide —penyebutan ringan tentang kematian dan aksi bunuh diri

Seungcheol gila sih, aku rasa malam ini dia bener-bener gila. Gak cuma ngebawa ayam dan bir kayak yang dia janjikan dichat, manusia keturunan Arab ini juga membawa beberapa botol soju, yang kayaknya dia beli di Korean Mart di seberang apartemenku. Bukan masalah sebenernya andaikan si Choi Seungcheol ini cuma membawa 5 kaleng bir dan takut kurang makanya dia beli lagi, masalahnya dia ngebawa satu karton bir. Please call police if tomorrow i don't wake up after 3pm, i might have died because of this impulsive reckless human being.

Ugh, look at that damn stupid smiles. Untung aku masih berbaik hati membukakan pintu buat Seungcheol, meskipun orang ini sepertinya punya rencana untuk membuat aku mati karena overdosis bir. Dengan santainya Seungcheol menginvasi ruang tengah apartemenku, menyusun jajaran pernak-pernik yang dia bawa tadi dengan rapi di atas meja. Bahkan dia sempat-sempatnya menyusun kaleng-kaleng bir menjadi sebuah menara. Aku mengambil posisi di samping Seungcheol, melipat lututku karena kami memutuskan untuk duduk di lantai demi kenyamanan makan dan minum malam ini. Tangan Seungcheol mengulur bir yang sudah terbuka, memintaku untuk mengambil alih kaleng itu dan melakukan tos sebelum menenggak isinya. “Cheol tolong kalo lo bosen hidup jangan ajak gue, gue masih pengen makan bubur Cikini”

And he laugh, he laughed like he never did that for his entire life. Asli, kayaknya Seungcheol beneran punya rencana bunuh diri malam ini. Tangannya menoyor kepalaku setelah tawanya habis, lagi-lagi menenggak birnya. “Gak begitu pinterrr, kalo gak habis kan bisa buat nyetok disini. Ntar gue kesini lagi kalo mau minum”

“Dih! Gila lo?!” Mataku memicing ke arah Seungcheol, ingin mengomel tentang dia yang malah menjadikan tempatku sebagai bar pribadinya. Tapi terpaksa diinterupsi karena si dia ini menyambung kalimatnya, “Kalo gue nyimpen dirumah ya Han, besoknya gue bakal ada di peti mati. Kayak gak tau aja lo temen lo punya bapak ustad”

Fair enough. Selama bertahun-tahun temenan sama Seungcheol, udah bukan hal yang ditutupi lagi kalau Seungcheol ini anak salah satu pemuka agama yang lumayan tersohor. Dulunya kupikir si Seungcheol ini will take after his father, ternyata jauh berbeda dari yang diperkirakan. Malahan, Seungcheol yang pertama kali membawa beberapa jenis minuman keras, sewaktu kami memutuskan untuk nongkrong saat kami masih jadi intern beberapa tahun lalu. This man is really are something.

Mengingat minuman keras, tanganku tau-tau sudah membuka kaleng ketigaku malam ini. Potongan-potongan ayam gak berhenti masuk mulut kami, mata terfokus dengan film berjudul Midnight di layar. But here comes the most awkward thing, when you watch movie while you eat. Tangan kalian tiba-tiba nabrak satu sama lain. Tangan hangat Seungcheol nempel di tanganku yang dingin karena ac. Nyaman, tapi aku gak boleh kelewat nyaman. Buru-buru aku menarik tanganku, menyesap bir yang sebenernya udah habis tapi aku paksa-paksakan ada biar gak makin awkward. Duh! Beneran deh, aku tuh paling gak suka kalo udah gini, mau nafas aja rasanya jadi canggung. Lagian kenapa tiba-tiba jadi canggung gini deh? I thought I'm too casual with him to even have this awkward moment.

Tanganku menjangkau kaleng bir, yang sialnya ada di sebelah kanan Seungcheol. Mau gak mau tanganku harus melewati wajah Seungcheol, dan tubuhku juga harus condong ke arah dia. I hate to say this out loud, but i feel shivers running down my whole body by the time Seungcheol's breath ghosted my hand.

Efek alkohol masih belum bekerja di tubuhku, tapi aku udah mabuk karena oknum Choi Seungcheol.

Sepanjang sisa film aku habiskan dengan menyekoki diriku sendiri, dengan berbagai jenis bir yang ada di hadapanku. Mungkin sekitar satu botol soju dan lima kaleng bir? I don't know, I lost count. Cegukan bahkan udah mulai muncul tanpa aku sadarin, tiba-tiba bahuku naik turun, suara-suara khas cegukan keluar dari mulutku. Mungkin karena kasian melihat aku yang terlihat menyedihkan, Seungcheol berbaik hati mengambilkan air putih untuk menetralisir cegukanku. TAPIIIIIII, bukannya hilang, cegukan kampret ini malah semakin heboh. Kami berdua udah hilang akal, bingung mencari solusi apalagi buat cegukanku.

But then this weird and most stupid idea came, Seungcheol tanpa aba-aba menaruh bibir tebalnya di atas bibirku. Gak ada gerakan apa-apa, tapi ajaibnya cegukanku berhenti setelah beberapa menit. Menjadi manusia bodoh untuk kesekian kalinya, si Yoon Jeonghan ini bukannya melepas ciuman Seungcheol, tangannya malah mengalung ringan ke leher Seungcheol. Aku bisa melihat keterkejutan di mata Seungcheol, yang kubalas dengan dorongan pelan di bibir.

Things get heated eventually, ciuman yang awalnya kecupan ringan berubah jadi kecupan panas dimana lidah kami ikut andil didalamnya. Aku mendorong, membelit, menyecap Seungcheol dan sisa-sisa bir yang membekas di lidahnya. But then this why you shouldn't trust your impulsiveness. Kakiku gak perlu naik ke potongan pinggul Seungcheol, tangan Seungcheol gak perlu memegang kedua pantatku, langkah Seungcheol gak perlu pergi menuju kamarku.

But we're just nothing but a couple of human with needs, we gave up on our rationality that easy.

Aku membiarkan jari-jari Seungcheol berkelana, melucuti pakaian yang menempel longgar di tubuhku. Pun aku ikut melakukan kegiatan yang sama, melepas kancing-kancing di kemeja Seungcheol, membuka kaitan gespernya lalu menurunkan resleting celana Seungcheol. Ciuman-ciuman Seungcheol turun, menuju leher, tulang selangka, bahkan kedua noktah di dadaku juga ia kecupi.

To say that Seungcheol is good is an understatement, he's great.

Nikmat, nikmat banget. Rasa-rasanya aku bisa nangis-which I actually did-sewaktu Seungcheol mengisiku dengan penuh. Aku bener-bener bisa gila, Seungcheol dengan akurat menyentuh semua titik yang gak pernah aku duga bakalan nikmat banget. Kami bener-bener menikmati waktu kami, menikmati gerakan Seungcheol yang ringan dan pelan, menikmati keseluruhan Seungcheol yang ditutupi kondom berwangi coklat milikku. Kami berciuman lama, menghabiskan waktu dengan cara berbagi saliva. Sampai akhirnya aku menyentuh surgawi, disusul Seungcheol yang menggeram rendah di telingaku.

Kami menikmati malam dengan indah,

Sebelum akhirnya disambut dengan Seungcheol yang hilang tanpa jejak dipagi harinya.

Congratulations Yoon Jeonghan for being a dumb person one more time!

Trigger warning : —description of panic attack and suicidal thoughts from the first perspective —pendeskripsian tentang serangan panik dan keinginan untuk bunuh diri dari perspektif yang mengalami

If I had to choose what's the worst night I've ever experienced in my whole life, I would gladly choose this very night. Kalau aku bisa kembali ke situasi sejam yang lalu, aku pasti gak perlu ada di samping Mingyu dengan jaket dia yang bertengger manis di bahuku. Angin yang dingin gak seharusnya bikin keadaan semakin canggung, cukup diamnya kami saja tolong.

Mingyu took his time way too long. Aku sudah cukup menggigil untuk akhirnya berdiri dan akan kembali ke dalam, kalau aja tangan besar Mingyu gak menahanku. Untuk kali ini aku enggan duduk, cuma menatap Mingyu yang wajahnya kelihatan sama lelahnya sepertiku. Kami bertatapan, sebenarnya sebentar, tapi terasa lama karena yang aku tatap sekarang adalah Kim Mingyu, si nomor satu penghenti waktu.

Si dia yang lebih tinggi dari aku ini tiba-tiba berdiri. Kepalaku mendongak, menatap presensi Mingyu yang kelewat dominan untuk seukuran manusia berumur 30 tahun. Tanpa aba-aba, dua lengan Mingyu mengukung tubuhku. Aku yang masih terkejut mau gak mau harus berhadapan dengan dada bidangnya, menikmati wangi musk bercampur kopi dari tubuh Mingyu.

Pelukan Mingyu selalu terasa hangat dan nyaman, rasanya kayak kamu pulang kerumah setelah seharian bekerja lembur. But this is where the mess began, gak seharusnya aku terbuai sama pelukan Mingyu, gak seharusnya aku terlalu nyaman dengan pelukan Mingyu, dan gak seharusnya aku menemukan rumah di pelukan Mingyu, gak ketika aku ini cuma seorang insan yang gak berhak mendapatkan rumah seindah Mingyu. Terlalu banyak hitam di diriku untuk bersanding dengan Mingyu yang putih cemerlang. I should've known better.

“Wonwoo, beneran mau berhenti?” Mampir suara lembut Mingyu ke telingaku, sedikit banyak menarik aku kembali ke dunia nyata.

“Gak mau...” Iya, itu tadi aku, sedang berusaha menjadi manusia jujur. Gimanapun juga, aku gak bener-bener pengen ngelepas Mingyu walaupun aku harus. Pelukan Mingyu mengerat, membagi kehangatan untuk aku yang terlampau dingin. “Yaudah kita jangan berhenti ya?”

Aksi selanjutnya adalah; Mingyu yang menarik wajahku menghadap dia, setelah aku menggeleng ditengah pelukan hangat dia. Matanya menatap mataku, mencari dan menunggu alasan dari gelenganku, setelah beberapa saat lalu baru aja bilang bahwa aku gak pengen pisah dari dia. “Gak bisa Mingyu, gak bisa. Kamu suka aku, Gyu”

“Ya iya? Bukannya bagus? Kita bisa mulai lagi hubungan kita, Woo. Kamu, aku, kali ini kita gak pura-pura. Kita pacaran kayak orang normal-” Oh no i hate that sentence, no please don't continue your words

“Terus kalo emang cocok kita bisa nikah” Kali ini aku bener-bener lepas dari pelukan Mingyu. Amarah tiba-tiba naik ke tenggorokanku, rasanya kayak ada tangan tak kasat mata mencekik leherku.

“Gak Mingyu, apapun selain pernikahan” Kepalaku sudah sedikit pusing karena kebanyakan menggeleng, menolak keras kalimat Mingyu.

“Tapi aku juga pengen nikah, Wonwoo. Kamu gak pengen nikah sama aku?” No, Mingyu no. I don't want to marry anyone.

“Gak Mingyu, gak! Jangan nikah... please...” I finally feel it suffocating me, the word i avoided the most killing me once again.

“Lo aneh Wonwoo. Gue gak bisa terus-terusan sama lo tanpa nikah, gak bisa Woo” ...

...

...

Aku aneh... Mingyu bilang aku aneh... aku aneh...

“Mingyu... jangan...”

“Jangan apa Wonwoo? Jangan tinggalin lo? Jangan nikah sama orang lain? Jangan apa, Wonwoo? Tolong, gue juga punya batas diri gue sendiri. Maaf Woo, kayaknya emang lebih baik kita berhenti aja” Mingyu beneran mau pergi... ninggalin aku... aku sendirian lagi... aku... sendirian...

Kenapa Mingyu pergi?

Kenapa Mingyu ninggalin aku?

Am I not good enough?

Am I not worthy?

Kenapa...

Kenapa aku ditinggalkan?

Kenapa aku harus sendirian lagi?

Kenapa aku harus hidup?

Kenapa aku dilahirkan? Aku gak pantas buat siapapun, aku gak pantas buat Mingyu, aku gak cukup baik buat Mingyu, aku gak bisa jadi yang Mingyu mau, aku... gak berguna...

Mingyu... tolong... dada aku sakit... rasanya sesak...

Mingyu... mati... aku pengen mati... aku gak pantas hidup...

Mingyu tolong jangan balik badan, tolong jangan masuk, tolong jangan tinggalin aku, tolong jangan kemana-mana. Mingyu dada aku sakit, aku gak bisa nafas, aku gak bisa berdiri, fuck aku gak bisa mengetik. Mingyu tolong jangan ke dalam dulu, mataku buram Gyu, tanganku gemetar, kakiku udah gak kuat Gyu. Mingyu, Mingyu, Mingyu... tolong aku... even if it's for the last time. Mingyu...

—repeat until death

Dunia kadang bisa jadi yang paling brengsek. Entah ban bocor padahal udah jam 9 kurang, stock bir yang tiba-tiba habis, kondom yang salah ukuran, atau kepergok nyimpen foto crush lo sama dia sendiri. Bingung sih gue harus gimana balesnya, whether should i ngeles atau pasrah sama keadaan. Anaknya diem aja waktu gue jemput di lobby apartemen dia pagi ini, dompet gue juga dibalikin dengan utuh. Oh, minus satu, foto dia satu-satunya yang gue punya. Jujur, gue mau ngomong dan ngejelasin juga tiba-tiba kelu banget lidah gue, entah kenapa. Kayak ditahan aja gitu, entah sama urat malu gue, atau sama sisa-sisa kewarasan gue yang gak mau hal disekitar gue dan Wonwoo makin berantakan.

Sebenernya kalo dipikir Wonwoo juga gak bodoh-bodoh amat, dia pasti udah nebak apa yang terjadi. He already connected the dots, tapi cowok yang lebih muda 3 tahun dari gue ini, memilih buat diem. Bisa dihitung gue udah melanggar 2 peraturan yang Wonwoo buat, bahkan dalam kurun waktu kurang dari sebulan. Ya sebenernya cuma satu, tapi jari tolol dan kepanikan gue secara gak sengaja, menyelipkan nama Soonyoung yang berakibat jadi 2 perjanjian yang gue langgar.

Ngeliat keadaan kayak gini, gue gak bisa apa-apa selain pasrah. Apapun nanti penalti yang Wonwoo siapin, gue mau gak mau harus menerima. I'll take anything, including let Wonwoo go for good. After all it's all my fault right?


***


Jealousy and misunderstanding is a deadly disease. Gak ada yang lebih pengen gue lakukan saat ini selain lari, dan mengecup seluruh permukaan wajah Lee Jihoon. Pengen gue jelasin sejelas-jelasnya, semua kaset kusut yang muter di otak dia. Pengen rasanya gue duduk, dengan dia bersandar di samping gue, tangan menggenggam coklat panas, dan kepala dia di bahu gue.

Akan gue jelasin siapa Mingyu, siapa dia dan kenapa gue dan dia kelihatan kayak dua orang yang lagi melakukan pendekatan. Akan gue jelasin bahwa Mingyu itu cuma teman akrab gue, si dia yang selalu curhat tentang Wonwoo sampai telinga gue panas sewaktu mengaduk tepung, si dia yang mulutnya akan monyong-monyong kalau ingat hari itu Wonwoo gak balas chat dia, dan juga si dia yang heads over heels untuk Wonwoo.

Kenapa juga Jihoon harus salah paham? Memangnya selama ini sikap gue kurang buat nunjukin bahwa cuma dia yang gue lihat? Duh, Lee Jihoon saya ini udah kena pelet kamu, gimana ceritanya saya malah pendekatannya sama Mingyu?

God... tolong jam 6 sore dipercepat, salah satu hambamu ini sudah enggak sabar untuk meluruskan masalah percintaannya.

Tunggu ya Lee Jihoon, aku jelasin nanti, sambil kamu aku peluk, lalu kepala kamu aku ciumin. Tunggu ya.