—my tears ricochet
My life become a mess in just one night
Jam 11 malam waktu setempat, whiskey yang entah sudah gelas keberapa, juga Minghao yang kesadarannya sudah gak lebih dari 50%. Awalnya aku pikir segala rencana kabur sementara ini, cuma akan berujung dengan aku yang memandangi Minghao menangisi cinta bertepuk sebelah tangannya. Nyatanya aku ada di atas kasur Minghao, dikungkung tubuh tingginya. Milik Minghao jelas-jelas sudah tertanam di dalam lubangku, keringat kami sama-sama bercucuran demi mengejar nikmat.
Aaah, Soo... Jisoo Lalu ada nama Jisoo disela lenguhan rendah Minghao, yang aku yakin juga ada wajah indah Jisoo dibayangan Minghao; memancing tubuhnya bergerak lebih cepat.
Setelahnya ada bunyi kondom yang diikat dan dilempar, menyadarkan aku dari mimpi burukku sekarang. Badan Minghao terkapar, kelelahan setelah mengejar nikmat bersama 'Jisoo'. Meninggalkan aku yang merasa kosong, merasa seperti ada lubang hitam yang tiba-tiba mengkonsumsi seluruh tubuhku.
Jatuh cinta tahi kucing.
Si bodoh Yoon Jeonghan ini, dengan polosnya berpikir akhirnya dunia akan memihak padanya. I thought love was enough, turns out it wasn't enough to get him out of your mind, huh? Kapan akan ada Yoon Jeonghan di otak kamu, Minghao?
I was never ready
Dunia rasanya tiba-tiba berhenti, cuma ada bunyi nafasku dan satu kalimat singkat yang Seokmin kirim malam ini. He loved me, no, he loves me. Rasanya kayak setiap pasokan udaraku tiba-tiba diambil, memaksa aku untuk tetap membuka mata bahkan ketika nafasku tercekat.
Dunia ini paling jago memain-mainkan manusianya, ya?
Dan seakan belum cukup, lagi-lagi aku harus dihadapkan dengan pernyataan Seokmin yang berencana mengundurkan diri dari kantor. All that mess happened because of me.
Ini yang brengsek aku atau cara kerja semesta, sih?
Dalam sekali kedip aku dibuat jadi si antagonis, pemeran utama dari semua kekacauan yang terjadi.
Kacau. Kakiku gemetar gak karuan, nafasku sudah satu-satu waktu Mingyu datang. Jadi satu-satunya tempat aku berlindung hari itu, Mingyu memeluk tubuh gemetaranku, membiarkan mesin mobil mendengkur pelan tanpa ada niatan melaju.
Sesampainya di apartemen pun, Mingyu gak ada mengeluarkan suara apapun. Dengan telaten dia melepaskan kemejaku, lalu celana, lalu kaus kaki, lalu celana dalam, lalu kacamata; lalu tangannya bergerak ikut melucuti dirinya sendiri, membawaku berendam di bathtub. Menarik bahuku pelan untuk bersandar ke dada bidangnya, membiarkan sisa-sisa gemetarku tadi hilang bersama air hangat di sekitar kami.
Malam itu aku di pelukan Mingyu, menjadi kecil di dalam rengkuhannya. Masih belum ada yang angkat bicara, karena gak ada yang perlu dibicarakan juga; at least untuk sekarang. Satu-satunya yang kulihat terakhir malam itu adalah figur Mingyu yang mengecupi seluruh wajahku, dan berakhir di kening. Lalu semuanya gelap.
Why can't we have all the nice things before we go?
Setidaknya gue perlu dua gelas bir, untuk bisa meng-iya-kan segala ajakan Seungcheol malam ini. Manusia itu terlalu gila hanya untuk memuaskan egonya, tapi gue juga sama gilanya ketika jari-jari gue mengetik kata demi kata menyetujui perbuatan si gila itu. Jari gue sudah hampir menyentuh tombol kirim, sewaktu gelas bir gue tiba-tiba dirampas sama orang gak dikenal di sebelah gue. Matanya sudah setengah terbuka, bau nafasnya 100% persen aroma alkohol pekat yang entah udah berapa botol atau gelas dia tenggak. Yet he chugged himself on my drink. Gue terpaksa harus memesan satu gelas lagi, another additional glass i need to pay.
Orang ini meminum bir gue, seakan dia minum air putih es disiang bolong. Mukanya gak ada menunjukkan perubahan apapun, despite the strong amounts of beer he drank. Kepalanya menunduk, kayak berusaha menutupi dirinya sendiri.
Lalu gak berapa lama ada suara-suara gak jelas keluar dari mulut dia, kalimat acak yang berputar di “cinta mati gue, kenapa dia pacar orang, kenapa gue telat ngomongnya, kenapa gue ini si Seokmin-or Sukimin?-si pengecut” and the list goes on. Gue merasa kasihan sih, keliatan banget dia lagi patah hati. But hey, gue juga datang kesini bukan buat senang-senang. Gue juga punya masalah yang harus gue pikirin sendiri, tanpa perlu melibatkan diri ke masalah orang lain.
And i ended up dropped him at the nearest church i could find. Menyeret tubuh beratnya keluar dari taksi menuju teras gereja, takut tiba-tiba hujan. Lalu lari lagi kembali ke taksi dan pulang masih dengan rasa kasihan ke si Sukimin-Sukimin itu. At least i did the best thing i could, sebelum akhirnya sampai ke rumah dan tidur bernyanyikan suara tangis gue sendiri membayangkan skenario bagaimana yang akan gue hadapi ketika putus dengan Seungcheol nanti.
What can i do? I'm a certified masochist.