Canacancer

My life become a mess in just one night

Jam 11 malam waktu setempat, whiskey yang entah sudah gelas keberapa, juga Minghao yang kesadarannya sudah gak lebih dari 50%. Awalnya aku pikir segala rencana kabur sementara ini, cuma akan berujung dengan aku yang memandangi Minghao menangisi cinta bertepuk sebelah tangannya. Nyatanya aku ada di atas kasur Minghao, dikungkung tubuh tingginya. Milik Minghao jelas-jelas sudah tertanam di dalam lubangku, keringat kami sama-sama bercucuran demi mengejar nikmat.

Aaah, Soo... Jisoo Lalu ada nama Jisoo disela lenguhan rendah Minghao, yang aku yakin juga ada wajah indah Jisoo dibayangan Minghao; memancing tubuhnya bergerak lebih cepat.

Setelahnya ada bunyi kondom yang diikat dan dilempar, menyadarkan aku dari mimpi burukku sekarang. Badan Minghao terkapar, kelelahan setelah mengejar nikmat bersama 'Jisoo'. Meninggalkan aku yang merasa kosong, merasa seperti ada lubang hitam yang tiba-tiba mengkonsumsi seluruh tubuhku.

Jatuh cinta tahi kucing.

Si bodoh Yoon Jeonghan ini, dengan polosnya berpikir akhirnya dunia akan memihak padanya. I thought love was enough, turns out it wasn't enough to get him out of your mind, huh? Kapan akan ada Yoon Jeonghan di otak kamu, Minghao?


I was never ready

Dunia rasanya tiba-tiba berhenti, cuma ada bunyi nafasku dan satu kalimat singkat yang Seokmin kirim malam ini. He loved me, no, he loves me. Rasanya kayak setiap pasokan udaraku tiba-tiba diambil, memaksa aku untuk tetap membuka mata bahkan ketika nafasku tercekat.

Dunia ini paling jago memain-mainkan manusianya, ya?

Dan seakan belum cukup, lagi-lagi aku harus dihadapkan dengan pernyataan Seokmin yang berencana mengundurkan diri dari kantor. All that mess happened because of me.

Ini yang brengsek aku atau cara kerja semesta, sih?

Dalam sekali kedip aku dibuat jadi si antagonis, pemeran utama dari semua kekacauan yang terjadi.

Kacau. Kakiku gemetar gak karuan, nafasku sudah satu-satu waktu Mingyu datang. Jadi satu-satunya tempat aku berlindung hari itu, Mingyu memeluk tubuh gemetaranku, membiarkan mesin mobil mendengkur pelan tanpa ada niatan melaju.

Sesampainya di apartemen pun, Mingyu gak ada mengeluarkan suara apapun. Dengan telaten dia melepaskan kemejaku, lalu celana, lalu kaus kaki, lalu celana dalam, lalu kacamata; lalu tangannya bergerak ikut melucuti dirinya sendiri, membawaku berendam di bathtub. Menarik bahuku pelan untuk bersandar ke dada bidangnya, membiarkan sisa-sisa gemetarku tadi hilang bersama air hangat di sekitar kami.

Malam itu aku di pelukan Mingyu, menjadi kecil di dalam rengkuhannya. Masih belum ada yang angkat bicara, karena gak ada yang perlu dibicarakan juga; at least untuk sekarang. Satu-satunya yang kulihat terakhir malam itu adalah figur Mingyu yang mengecupi seluruh wajahku, dan berakhir di kening. Lalu semuanya gelap.


Why can't we have all the nice things before we go?

Setidaknya gue perlu dua gelas bir, untuk bisa meng-iya-kan segala ajakan Seungcheol malam ini. Manusia itu terlalu gila hanya untuk memuaskan egonya, tapi gue juga sama gilanya ketika jari-jari gue mengetik kata demi kata menyetujui perbuatan si gila itu. Jari gue sudah hampir menyentuh tombol kirim, sewaktu gelas bir gue tiba-tiba dirampas sama orang gak dikenal di sebelah gue. Matanya sudah setengah terbuka, bau nafasnya 100% persen aroma alkohol pekat yang entah udah berapa botol atau gelas dia tenggak. Yet he chugged himself on my drink. Gue terpaksa harus memesan satu gelas lagi, another additional glass i need to pay.

Orang ini meminum bir gue, seakan dia minum air putih es disiang bolong. Mukanya gak ada menunjukkan perubahan apapun, despite the strong amounts of beer he drank. Kepalanya menunduk, kayak berusaha menutupi dirinya sendiri.

Lalu gak berapa lama ada suara-suara gak jelas keluar dari mulut dia, kalimat acak yang berputar di “cinta mati gue, kenapa dia pacar orang, kenapa gue telat ngomongnya, kenapa gue ini si Seokmin-or Sukimin?-si pengecutand the list goes on. Gue merasa kasihan sih, keliatan banget dia lagi patah hati. But hey, gue juga datang kesini bukan buat senang-senang. Gue juga punya masalah yang harus gue pikirin sendiri, tanpa perlu melibatkan diri ke masalah orang lain.

And i ended up dropped him at the nearest church i could find. Menyeret tubuh beratnya keluar dari taksi menuju teras gereja, takut tiba-tiba hujan. Lalu lari lagi kembali ke taksi dan pulang masih dengan rasa kasihan ke si Sukimin-Sukimin itu. At least i did the best thing i could, sebelum akhirnya sampai ke rumah dan tidur bernyanyikan suara tangis gue sendiri membayangkan skenario bagaimana yang akan gue hadapi ketika putus dengan Seungcheol nanti.

What can i do? I'm a certified masochist.

dunia itu tempat yang paling brengsek.

kenapa aku harus mengenal kamu kalau pada akhirnya dipisahkan kembali?

kenapa aku menggenggam tanganmu ketika

Jae as Reza/Eja YoungK as Brian Seori as Sarah

Love is a bittersweet process you can never trust.

Xaverius Areza Wijaya Nama gue ada disana, di kertas pembagian dosen pembimbing. Sedikit berbahagia karena gue dapat dosen yang baik hati, setidaknya beban hidup gue berkurang 30%. Gak perlu nunggu yang lain, gue langsung pergi ke ruangan dospem-dosen pembimbing-gue buat konfirmasi nama dan ketemu sama temen satu dospem gue.

Gak banyak yang gue bicarakan sama dospem gue, sebagian besar tentang tugas akhir gue, sisanya ngebahas temen satu dospem gue yang ternyata cuma satu orang. Sarah apalah itu namanya tadi, gue juga gak terlalu ingat. Tadi sempat perkenalan diri sih, tapi apalah daya gue dan ingatan ikan mas gue. Intinya ini orang cantik, tapi sumpah! Mulutnya anyep banget. Ngobrolnya nyicil, dikit-dikit kayak lagi sariawan, terus senyumnya juga iriiiiiit banget. Gue curiga, si Sarah-Sarah ini kayaknya salah satu anggota mafia di Indonesia deh. Bayangin aja, muka ketekuk mulu, ngomong jarang, bajunya hitam-hitam, apalagi kalau bukan mafia? Jangan sampai deh gue pacaran kayak orang sejenis si Sarah-Sarah ini, bisa gila gue.


GUE MENYERAH! Baru seminggu gue nge-lab bareng Sarah, gue udah gak sanggup sama kelakuan dia. Padahal dia gak banyak tingkah, tapi gue gerah sendiri lihatnya. Kalo ngomong selalu pake SPOK lengkap, terus irit juga, jiwa bacot gue rasanya meronta minta tolong. Tapi anehnya, makin dilihat si Sarah-Sarah ini malah makin menarik. Kayak magnet, bikin gue pengen ngelihat dia mulu. Apalagi kalau dia tiba-tiba senyum, gila, gue kayak ngerasa kupu-kupu terbang di perut gue. Kayaknya mandangin dia seharian pun gue bis-

“Reza, boleh minta tolong ambilin erlenmeyer¹ gak?” Aduh, sebentar, tolong, gue jadi lupa tabung erlenmeyer yang mana. Setelah mungkin kurang lebih 30 detik, baru otak gue bisa memroses. Gue ambil tabung berbentuk unik di depan gue, lalu ngulurin tangan gue ke Sarah.

“Makasih” Gila, bisa gila gue. Cewek di depan gue ini senyum waktu nerima tabung erlenmeyer, bikin perut gue lagi-lagi ngerasain kupu-kupu terbang. Gila, gue kenapa sih? Bayangin, dari berjuta-juta milyar manusia di muka bumi, kenapa harus sama si Sarah gue ngerasain kupu-kupu di perut? Iya, Sarah yang sifatnya jauh bertolak belakang sama gue, Sarah yang irit banget ngomong udah kayak Limbad, Sarah yang itulah pokoknya.

“Sarah, besok kosong gak?” NEKAT BANGET LO EJA! Seluruh isi otak gue lagi berargumen, sebagian besar karena ceplosan asal gue ke Sarah sore ini. Yang sebenarnya gak bisa disebut asal juga sih, gue udah mikirin ini kurang lebih seminggu. Ngumpulin nyali, buat sekedar ngajak Sarah makan McD atau mungkin pecel lele. Keringat dingin ngalir di sekujur tubuh gue, waktu gak ada satupun jawaban keluar dari bibir Sarah. Si dia ini cuma natap gue, mungkin mikir keras kenapa gue tiba-tiba nanyain agenda dia atau lagi mikir buat nolak gue.

Aduh tolong cepetan jawabnya, gue udah mandi keringat ini nungguin lo.

“Kayaknya kosong, kenapa?”

“Mau jalan sama gue gak?” THERE I SAID IT. Gila, gue hampir kentut gara-gara nahan nafas. Terlalu gugup buat ngajakin cewek di depan gue ini jalan, padahal orang yang gue ajakin juga gak keliatan harmful, tapi tetap aja gue takut. I mean, dia gak beneran mafia kan?

Sebenarnya kalau dipikir-pikir, kenapa juga gue ngajakin Sarah nge-date? Padahal kalau dilihat dia ini yang paling gak masuk dari kriteria gue. Jarang ngomong, jarang senyum, pokoknya everything i avoided since long ago. Tapi nih ya, kenapa sama Sarah gue malah ngerasa pengen dekat terus? Kayak beneran punya magnet, bikin gue selalu ketarik ke dia. Bikin gue pengen selalu sama dia. Aneh sih, banget malah. Tapi bikin gue jadi keinget sama omongan Brian dulu, kata dia; “jatuh cinta itu jorok, Ja. Bisa lo pungut dari manapun, dari apapun, jorok lah pokoknya.” Jujur waktu itu gue gak paham maksud Brian apa, tapi akhir-akhir ini gue paham, akhir-akhir ini gue tau maksudnya, akhir-akhir ini gue ngalamin sendiri.

Malam ini Sarah cantik, padahal cuma pake skinny jeans dan kemeja biru langit. Tapi dia cantik, bikin gue jadi gak pengen bawa dia ke tempat rame, gak mau orang lain liat Sarah lagi cantik-cantiknya malam ini. Ya walaupun gak beneran kejadian sih, karena seperti yang udah diduga, gue beneran ngajak Sarah makan pecel lele.

Gak ada yang ngobrol selama kita berdua makan, bahkan ketika kami harus singgah ke salah satu toko yang tutup karena hujan tiba-tiba turun di tengah perjalanan. Satu-satunya percakapan yang terjadi adalah waktu gue ketemu sama Sarah di stasiun tempat janjian kami, setelahnya cuma sunyi dan sepi. Sebagian besar sih karena guenya aja terlalu canggung buat mulai ngobrol duluan, karena ya... Sarahnya kayak gak tertarik sama kegiatan kita malam ini. Tapi gue gak bisa terus-terusan kayak begini, gak seharusnya gue bikin pengalaman kencan pertama gue sama Sarah kayak begini.

“Hujan-hujan gini enaknya terobos aja gak sih?” Awalnya hening, mungkin Sarah ragu gue ngajak dia ngobrol beneran apa dianya halu doang.

“Lo suka mandi hujan?”

“Emangnya ada yang gak suka?” Pertama kalinya selama hampir satu bulan gue rutin ketemu sama Sarah, baru kali ini gue liat dia terkekeh. Cantik banget, bikin satu dunia iri sama cantiknya dia.

“Mau?” Jam 9 malam, hujan lebat, taman yang sepi, serta gue dan Sarah yang asik ketawa di bawah hujan. Kita lari-larian, pasrah sama gerak kaki yang ngebawa kita berdua entah kemana.

Brian was right, jatuh cinta itu jorok.


Akhirnya,

Tugas Akhir gue selesai dengan lancar, setelah berbulan-bulan penuh perjuangan. Tentu aja dengan bantuan Sarah, yang entah kenapa jadi bikin ringan kerjaan gue bahkan ketika dia cuma ngelakuin bare minimum. Gak banyak yang berubah diantara gue sama Sarah, kita berdua masih temen nge-lab. Tapi sekarang gue udah bisa dengan bangga mendeklarasikan, kalau gue dan Sarah udah lebih akrab. Ngobrol berdua udah bukan jadi hal yang aneh, walaupun tetap gue duluan yang mulai pembicaraan. Bahkan saking akrabnya, candaan receh gue juga ditanggapin sama dia. Gokil gak?

“Sar, makan pecel lele yuk?”

“Terus kehujanan dan mandi hujan lagi, gitu?”

“Ide bagus, mau gak nih?”

Cie, nungguin jawaban Sarah ya?

Ya udah jelaslah dia jawab iya, kalau enggak, gak mungkin sekarang itu anak duduk di hadapan gue sambil makanin kemangi. Sebenarnya bukan tanpa alasan gue ngajak Sarah makan pecel lele malam ini. Rencananya, gue mau nge-upgrade hubungan pertemanan gue sama Sarah. Gila aja gue udah suka sama dia berbulan-bulan, cuma buat jadi temen biasa. Ini aja mikirnya lama banget, banyak kontemplasinya takut apa yang gak gue harapkan malah kejadian; tapi siapalah Eja kalau gak nekat sampai ke sum-sum tulang?

Harus gue akui dunia kali ini lagi baik hati sama gue. Gue dan Sarah bener-bener ngulang semua kejadian malam itu, hujan-hujanan bareng, ketawa bareng, lari-larian menuju stasiun MRT sambil tangan nutupin kepala. Gue nyempetin natap Sarah setiap kali telinga gue nangkep suara ketawa dia, ngeliat gimana tawa dia lepas banget padahal yang kita lakuin cuma hujan-hujanan. Sampai di depan stasiun MRT pun, dia masih ketawa, keliatan banget dia lagi bahagia. Oke, mungkin ini saat yang tepat. Mungkin ini waktunya, ayo Eja lo pasti bisa. Aduh, sebentar, gue harus ngerapihin rambut gue dulu. Tiba-tiba jantung gue gak karuan rasanya, mata gue gemeter mau natap Sarah di depan gue. Aduh, gue gugup banget. Bismillah.

“Sarah, gu-gue suka sama lo... lo.. mau gak jadi pacar gue?”

fin

Erlenmeyer¹ : Labu Erlenmeyer adalah salah satu glassware yang paling banyak digunakan pada analisa di laboratorium.

—training wheels

Arisan keluarga gue kali ini Alhamdulillah sedikit lebih cerah dari biasanya. Berkat Jeon Wonwoo dan status barunya, keluarga besar gue yang mulutnya suka nanyain pertanyaan-pertanyaan offset akhirnya mereda dikit. TAPI, gue harus nambah puyeng lagi karena okasi selanjutnya pasti yang ditanyain adalah, kapan bakal lamaran, kapan rencana nikah, dan tetek bengek pertanyaan diluar nalar lainnya. Tapi gak apa, kita simpen itu buat lain kali aja.

Yang sekarang jadi concern gue adalah, keajaiban seorang Jeon Wonwoo yang paling anti nginap ditempat orang lain sekarang malah lagi asik mandi di kamar mandi gue. Nyokap gue bahkan gak perlu minta lebih dari 3 kali, buat Wonwoo nginap dan diiyain sebegitu cepetnya. Ajaib emang nyokap gue.

“Gyu, baju lo kegedean anjir” Susu coklat kesukaan Wonwoo baru aja gue taruh di meja, waktu anak itu keluar dari kamar mandi. Cowok yang lebih muda 3 tahun dari gue ini mengerucutkan bibirnya, kaus hitam jaman gue masih intern dulu keliatan gombrong di badan kecil dia.

Kamu, Wonwoo. And Sorry, aku gak punya baju lain. Pakai yang ada aja ya?” Gue sengaja menekankan suara gue waktu mengoreksi Wonwoo, gimanapun juga kamar gue adalah jenis kamar yang dirancang orang tua buat punya hidup tanpa privasi ala anak Asia. Akan menimbulkan banyak pertanyaan banget, kalau misalnya nyokap ataupun bokap gue denger gimana gue dan Wonwoo manggil satu sama lain agak berbeda dengan yang siang tadi kami praktekkan.

“Gede banget, Mingyu. Aku jadi kayak gak pake celana” Shoot, that's right. Gue baru sadar, paha putih Wonwoo keliatan jelas di depan muka gue sekarang. Kontras sama kaus hitam yang menjulur ke pertengahan paha dia. Tangan gue menarik pinggul Wonwoo mendekat, jari gue menyingkap ujung kaus yang melekat di badan Wonwoo, cuma buat nemuin anak ini gak pake celana apapun dibaliknya.

“Jeon Wonwoo” Kucing nakal gue satu ini cuma cengengesan, sengaja banget mancing gue yang gak bisa digodain dikit. Makin gue singkap kausnya Wonwoo, ngecupin perut rata dia yang sejajar sama mata gue. Di sela-sela rambut gue, udah ada jemari Wonwoo nyelip buat narik pelan rambut-rambut gue, reaksi default Wonwoo kalau udah keenakan. Beberapa saat tangannya lepas dari rambut gue, akibat dari gue yang berusaha ngelepasin kaus dia yang masih ngalangin aksi gue. Tangan gue terpaksa lari ke bibir Wonwoo, waktu lirihan pelan dia mulai kedengaran agak nyaring dari seharusnya. Badan dia gue bawa keatas ranjang, gue tengkurapin supaya bibir kecilnya itu gak ngeluarin suara-suara surga lagi.

As much as i loved to hear his beautiful moan, i still have shame towards my parents

Ketika badan kecil dia udah pasrah di atas ranjang, gue ciumin bahunya, punggungnya, seluruh sisi Jeon Wonwoo yang bisa gue cium. Indah, selalu indah Jeon Wonwoo yang kayak gini. All pliant and soft, only for me to taste. Gue kecup sekali lagi bahu dia waktu desahan dia cukup kencang, akibat dari jari gue yang mengulur ke bagian bawah dia.

Be quiet ya, Kitten

And of course, the show goes on.

—first encounter

“Kamar 507” Mata gue mengedar ke sekitar, mencari kamar yang sudah dipesan Deon tadi siang. Jujur gue beneran random aja, gak ngeduga Deon serius sama omongan dia tempo lalu. Bodohnya gue, ngeiya-in aja tanpa mikir panjang. Dan berujunglah gue disini, di salah satu hotel paling terkenal seantero ibu kota buat mulai kegiatan pertama gue sebagai “tutor” Deon.

Hell, even nge-seks aja sampai punya guru privat.

Gue menurunkan sedikit ujung gaun hitam gue, pakaian yang setidaknya keliatan gak malu-maluin buat dipake ke hotel megah kayak sekarang. Tangan gue mengetuk pintu yang bertanda kamar nomor 507, tiba-tiba aja ngerasa ada keringat dingin ngalir di punggung gue saking gugupnya.

Di depan gue ada Deon.

Gue ulangi, di depan gue ada Deon yang pacarnya satu angkatan BAHKAN, satu jurusan sama gue. Fuck, i regretted myself for being this stupid. Mau mundur juga gak bisa, emang cuma Allenia yang begonya gak ketaker.

“Udah lama nunggu?”

“Gak, gue baru nyampe jam 8-an? I guess, lupa”

“Oke...” Suara gue mencicit, ngerasa aneh aja sama atmosfer di sekitar gue.

Deon malam ini pakai kaus hitam, rambutnya dia sisir pake jari-jari dia ke belakang, dan parfumnya—hell, pake parfum apa ini anak? Wangi banget, gue bisa nangkep sekilas wangi chamomile tapi ada earthy musk yang bikin dia seductively handsome. Gila, Deon, gue jadi ragu ini orang bilang gak berpengalaman sama dunia sex. Not when he looked and smells THIS sexily gorgeous.

“Allen, ini... kapan mulainya?” Oke kayaknya gue salah, dia kedengeran beneran gak bisa ngapa-ngapain.

“Sekarang? Lepas baju lo deh, baju aja ya. Oh iya, no kis—” Damn, waktu gue balik badan yang pertama kali gue lihat adalah beberapa bentuk persegi yang indah banget nempel di perut Deon. It looked like God's been sculpted those by himself. Besar banget keinginan gue buat meraba, mencium, menjil—

No apa Len?”

“Oh, iya sorry. No kissing ya Yon” Cowok di depan gue ini cuma ngangguk, badannya kaku banget berdiri di hadapan gue. Sebagai guru yang baik, gue tarik pelan tubuh besarnya ke depan kasur. Bahunya gue dorong kebawah, mengerti maksud gue, dia ngeposisi-in dirinya sendiri buat duduk. Anjir, awkward banget. Biar gue jelasin posisinya, sekarang Deon duduk di atas ranjang dengan gue yang berdiri di depan dia (literally). Badan gue ada di tengah-tengah kaki dia, posisi strategis buat Deon kapan aja ngurung gue pake kaki dia.

Kepalanya mendongak menghadap gue, menunggu aksi gue selanjutnya. I gulped all my fear and worries down, now or never Len.

“Oke, jadi yang pertama...”

—Upstairs

Bibir di atas bibir, tangan yang bergerak acak, semuanya jadi satu dibalik pintu nomor 24. Kemeja hitam tertumpuk oleh kemeja yang juga sama hitamnya, celana yang tumpah tindih, serta rambut yang sudah carut marut. Kain hitam masih lekat melilit leher indah Jihoon, bahkan ketika seluruh dari dirinya tidak tertutup sehelai benangpun. Kepalanya mengadah, memberikan akses kepada tuan tak bernama di hadapannya ini, untuk segera mengambil hak miliknya malam ini.

Surai merah si tuan terasa pas dikerutan jemari Jihoon, seakan jari-jari Jihoon memang seharusnya berada di situ. Menggenggam, menarik pelan, mengusap.

Bibir si tuan tak bernama menjelajah turun, mengigiti tulang selangka Jihoon lalu semakin mendekati noktah coklat di dada Jihoon. Tak banyak yang dilakukan tuan ini, lidahnya mengelilingi lingkaran dada Jihoon namun enggan menyentuh puncaknya yang sudah menyembul. Matanya melirik nakal, menggoda Jihoon yang lemah.

Those slanted eyes, and teeth on everything but his nipples

Sebuah kesalahan bagi Jihoon, ketika otak indahnya menginisiasi untuk menggunakan collar hitam kesayangannya malam ini. Dengan mudahnya tuan tak bernama, yang sudah direservasi khusus oleh teman-teman sialannya itu menarik lembut ujung collar Jihoon. Aliran darahnya bergerak cepat menuju tubuh bagian bawahnya, ketika asupan udara Jihoon tercekat akibat si tuan tak bernama.

Lalu layaknya tabrakan beruntun, semua hal terjadi dalam satu waktu. Tangan yang mengusap kerasnya dari luar bagian celana dalam, puting yang akhirnya diberi perhatian, serta nafas yang semakin tercekat. Jihoon tidak akan bertahan lama, tidak ketika seluruh nikmatnya berkumpul.

Co-coming...” Bercak basah menghiasi celana dalam Jihoon, menghasilkan senyum puas dari si tuan tak bernama. Bibirnya kembali naik, menyapu belah bibir Jihoon yang masih terengah. Dilepasnya penghalang terakhir milik Jihoon, membiarkan kepunyaan Jihoon yang lemas bergantung pasrah. Digendongnya lembut pria yang lebih kecil darinya ini, membiarkan tubuhnya leleh di atas ranjang lembut.

Mata Jihoon mengikuti gerak demi gerak yang dibuat tuan tak bernama, mengawasi setiap tindakannya. Bibir pria itu sejajar dengan milik Jihoon, mengecupi kedua bola Jihoon. Yang dikecupi bergetar hebat, masih terlalu sensitif namun terlalu sayang untuk melewatkan nikmat tiada tara dari sang lawan.

“Jihoon, ayo kabur, kemanapun, kapanpun, sejauh apapun.” Jihoon setahun yang lalu mungkin akan menganggap seorang Soonyoung gila ketika mengatakan hal tersebut. Tapi malam ini tidak, otaknya yang penuh kontemplasi berlawanan arah dengan bibirnya yang ingin segera mengucap 'iya'. Air matanya berkumpul, terlampau siap untuk mengalir sedetik saja matanya mengedip. Tangan Soonyoung terulur di depannya, menunggu jawaban Jihoon.

Jihoon, jadi pacar gue ya?” Hujan malam minggu serta roti bakar yang masih panas, jadi saksi mata Soonyoung dan Jihoon malam ini. Senyum mereka lebar mengembang, hati terlampau bahagia walau ucap manis dan rayuan kecil hanya bisa terlempar dengan sedikit bisikan. Keduanya dikelilingi berpasang-pasang manusia lawan jenis yang menggenggam erat masing-masing jemari, sedikit iri melihat tautan jari mereka bisa dengan bebas terpampang di hadapan publik. Tapi tak juga mengurangi bahagia mereka malam ini, keduanya masih bisa bergenggaman tangan nanti di mobil.

Jihoon, boleh aku kecup keningnya?” Jalanan luar biasa sepi, hanya ada lampu jalanan yang menemani. Malam ini dua insan penuh cinta itu bebas, jemari mereka tak henti bertaut, rona merah tak mau pudar dari pipi keduanya. Sedari tadi Soonyoung terus-terusan mengecupi punggung tangan Jihoon, menikmati waktunya memuja sang kekasih dalam gelap. Bahkan kini bibirnya sudah mendarat di kening indah Jihoon, meresapi sedalam mungkin, mencintai sebanyak-banyaknya. Jalanan malam ini menjadi surga untuk Soonyoung maupun Jihoon, keduanya seakan menjadi pemilik dunia bahkan ketika dunia membenci mereka.

Jihoon kalau sakit bilang yaBibir yang bertaut, lampu tidur yang tak sepenuhnya terang, serta dua insan yang menggapai surga mereka. Ada jari Soonyoung di antara pangkal kaki Jihoon, membuka Jihoon perlahan. Dikecupinya kening Jihoon, menenangkan yang dicinta ketika dua jarinya berhasil masuk. Malam ini dunia milik mereka berdua, tak ada yang perlu mereka sembunyikan. Dunia tidak akan bisa melihat mereka, mereka bebas mencintai malam ini. Sebebasnya, selepasnya.

Jihoon, maaf aku masih belum berani bilang ke IbuSahabat karib, panggilan yang melekat erat untuk Jihoon dimata Ibunda Soonyoung. Keduanya masih bersembunyi, tak punya nyali untuk mengaku. Wajah mereka menoreh senyum, namun hati mereka hancur terbakar. Katanya cinta bukanlah kejahatan, tapi mengapa Jihoon dan Soonyoung merasa seperti dua orang kriminal?

Jihoon, kita ketahuan Ibu. Beliau minta kita putus, Ji. Ibu sampai berlutut di kedua kakiku Ji, aku harus gimana?” Dunia kurang bajingan apalagi? Air mata Soonyoung banjir di kedua pipinya, wajahnya penuh keputus asaan. Hati Jihoon terasa seperti dicabik, dihancurkan sebegitu rupanya hingga ia lupa yang namanya bernafas. Dimana lagi ia dan Soonyoung harus bersembunyi?

“Jihoon, ayo kabur, kemanapun, kapanpun, sejauh apapun.” Jihoon hanya ingin mencintai dan dicintai, mengapa harus sebegini susahnya? Hidupnya harus selalu dalam gelap, bersembunyi dari dunia, menutup wajah seperti seorang kriminal hanya karena mencintai Soonyoung. Bahkan Tuhan saja tidak ingin membantunya, atau ia sudah tidak dianggap lagi sebagai salah satu umat-Nya? Jihoon harus lari kemana? Ia harus berbuat apa? Kakinya harus melangkah sejauh apa?

“Gak bisa, Soonyoung” Jihoon tidak bisa mengorbankan seluruh dunia mereka, hanya untuk dunia yang baru. Bagaimanapun juga ini adalah dunia mereka, meski wujudnya terpisah-pisah, tak bisa bersatu, dan berhamburan. Bagaimanapun juga ini adalah dunia mereka, yang membenci dua orang manusia hanya karena saling mencinta.

“Ayo Ji, lari sama aku. Kita bisa keluar negeri, menikah, lalu hidup bahagia. Aku siap ninggalin semuanya yang aku punya, cukup kita berdua Ji” Dunia ini terlalu jahat untuk Soonyoung, pun untuk Jihoon. Yang mereka inginkan hanya kebebasan untuk mencinta, mengapa yang mereka dapat malahan tatap penuh benci dari setiap mata? Salahkah mereka?

“Gak ada yang akan benci kita kan, Soon?”

“Gak ada, Ji. Gak akan ada” Jari mereka bertaut, mata mereka menatap satu sama lain. Jihoon menyerah pada egonya, memilih untuk memasuki dunia barunya dan Soonyoung. Hati mereka penuh, siap untuk tak lagi ditatap seperti kriminal paling keji. Senyum mereka lebar, lirikan penuh benci tak jadi masalah untuk mereka. Soonyoung punya Jihoon, pun Jihoon punya Soonyoung, mereka akan baik-baik saja.

“SOONYOUNG AWAS!!!” Decitan rem, jantung yang berpacu kencang, serta hantaman dari segala sisi. Tuhan, jika ini yang terakhir kalinya untuk Soonyoung, biarkan Jihoon hidup bahagia setelah ini. Biarkan Jihoon mencinta, tanpa perlu bersembunyi dari segalanya.

Soonyoung mencintai Jihoon hingga akhir hayatnya. Soonyoung menggenggam Jihoon hingga nafas terakhirnya. Soonyoung menatap Jihoon hingga kedip terakhirnya. Soonyoung berlari menuju Jihoon hingga langkah terakhirnya. Hanya Jihoon, cukup Jihoon saja.

Jihoon, ayo kabur, kemanapun, kapanpun, sejauh apapun. Kita cari tempat dimana gak ada yang bakal benci kita, gak ada yang bakal menghakimi kita, cuma ada aku dan kamu. Kita lari jauh, jangan lihat ke belakang. Kita punya satu sama lain, gak ada yang perlu kita takutin, Ji. Kamu bisa pegang tanganku kalau kamu capek. Lalu kita istirahat sebentar, nanti, kalau kamu udah gak kuat ada punggungku yang siap buat gendong kamu kemanapun. Yang penting cuma ada aku dan kamu, ya?” Soonyoung, tidak ada kamu di sisa-sisa hidup Jihoon. Tapi hati Jihoon penuh dengan namamu, sesak, saking penuhnya. Tapi tak apa, janji kalian untuk mencintai satu sama lain hingga akhir hayat benar-benar terwujud.

Soonyoung, aku ikut“ Kaki yang ringan, serta tubuh yang mengambang terasa seperti menjemput surga bagi Jihoon. Jihoon merasa sangat ringan, seluruh dari dirinya terbang mengikuti angin. Sebentar lagi ia akan bertemu Soonyoungnya. Ketika ia mendarat nanti, akan ada Soonyoung di bawah sana, tersenyum dan siap merengkuh Jihoon. Senyumnya ikut terkembang, Jihoon akan bertemu Soonyoungnya lagi.

Soonyoung

Jihoon

Cinta mereka suci, tetapi dunia terlalu kotor. Setidaknya untuk yang terakhir kali, dunia tidak perlu lagi membenci mereka. Biar untuk yang terakhir kali, cinta mereka terpatri di seluruh tempat di dunia ini. Karena untuk terakhir kalinya, cinta yang kembali menyatukan mereka.

Let's run away Even if we don't go far away, it will be alright As long as I'm together with you, i'm fine with anything A place where your heart can be at ease Wherever that is, tell me

et finalé

—pretty thoughts

Malam ini angin cukup kencang, waktu gue mengaduk pasta di wok kesayangan gue. Jendela balkon sengaja gue buka, supaya ini apartemen sekali-sekali dapat sirkulasi udara yang baik. Tangan gue meraih parsley di lemari penyimpanan bumbu, menaburkan bahan terakhir buat jadi pemanis makanan gue dan Wonwoo malam ini. Baru tangan gue menaruh wok gue ke wastafel, bunyi kode password apartemen gue kedengaran dari pintu depan.

Here comes the main character.

Jeon Wonwoo sepulang kerja adalah the best version of him. Wangi blueberry dan musk yang memudar, bercampur keringat sehabis naik turun tangga stasiun MRT, juga wangi madu dari parfum rambutnya bener-bener bisa bikin gue menggila. Oh? Tumbenan banget hari ini dia make kemeja biru langit dia. Yang terakhir gue inget, partner gue satu ini berhenti make kemeja itu waktu gue bilang that shirt looks good on him setahun yang lalu. Maybe i should rail him with that shirt on, you know, for self satisfaction pur

Fuck,

Gue ditarik paksa dari pikiran gue waktu bibir manis Wonwoo tiba-tiba udah ada diatas bibir gue, tangan rampingnya meraih leher gue. Dan gue bisa apa selain menyambut bibir nikmat Wonwoo?

We don't start slow, we never does. Begitu Wonwoo mendorong bibirnya semakin menempel ke gue, bibir gue ikut membelah terbuka, ngebiarin lidah gue dibelit lidah Wonwoo. Sebenernya bagian terfavorit dari bibir Wonwoo adalah bibir bawahnya, tapi gue harus merelakan kesempatan menghisap bagian itu. Karena sekarang, seluruh isi mulut gue udah diakuisisi sama adik tingkat gue ini. Jari lentik Wonwoo turun menuju kemeja hitam gue, and this is my cue to stop.

“Makan dulu Woo”

“Nanti aja Gyu, tadi siang gue udah makan dua porsi”

No, Makan.” Yup gue dan Wonwoo perlu makan, karena gue gak bakalan rela stop ditengah-tengah aktivitas kami nanti, cuma karena salah satu perut meraung kelaparan. Jadi, ya... lebih baik makan daripada gue gagal klimaks nanti.

Wonwoo melangkah gontai ke kursi pantry gue, tempat permanen sekaligus singgasana dia tiap kali itu anak main ke apartemen gue. Begitu isi piring pelan-pelan pindah ke mulut Wonwoo, gue ikut menyuap pasta di piring gue sendiri.

Makan berdua dalam keadaan hening sama Wonwoo gak pernah bikin canggung. Kayak pas aja gitu, gue sama dia cuma diem-dieman sambil ngunyah makanan, padahal nanti dalam durasi kurang dari 30 menit bakal ada Mingyu dan Wonwoo yang paling vokal dalam ngeseks. Aneh sih, tapi gue dan Wonwoo juga udah biasa sama hal itu. Dan seharusnya gak jadi masalah juga, iya kan?

“Mingyu, udah”

“Ke kamar duluan aja Woo, gue cuci piring dulu” Bad kitten, i might say. Si kecil satu ini bukannya pergi ke kamar kayak apa yang gue bilang, malah membuntuti gue mencuci piring. Bibirnya ada di mana-mana kecuali di bibir gue, tangannya berkelana ke mana-mana kecuali ke bagian gue. Hampir pecah gelas di genggaman gue, ketika lidah sialannya itu malah menjilat tengkuk gue. Masih kerasa basah salivanya Wonwoo, waktu tiupan lembut lagi-lagi menerpa tengkuk gue. Sialan, sialan, sialan.

“Wonwoo, gue masih cuci piring.”

“Iya Mingyu, gue tau. Gue cuma ngasih support“ Terbangsat. Badan gue gak bisa berhenti merinding, waktu bibir Wonwoo menjelajah lebih jauh. Telinga kiri, telinga kanan, potongan leher, bahu, lalu balik lagi ke tengkuk. I swear to God, gue pastiin besok lo gak bisa kemana-mana, let alone berdiri wahai Jeon Wonwoo.

Piring terakhir selesai dan secepat refleks yang gue bisa, badan gue langsung menghadap Wonwoo. Menarik kucing nakal gue ini untuk menumpukan seluruh tubuhnya di pinggang gue, sesekali meremas bongkahan kenyal Wonwoo.

“Jangan harap lo bisa berdiri besok, Wonwoo.”

Can't wait, bapak Kim.”

Matahari sedang terik-teriknya, peluh mengalir deras seperti air keran, dan di tengah sana ada Kwon Soonyoung yang fokus mengoper bola ke teman satu timnya. Mata Jihoon gesit mengikuti gerak tubuh Soonyoung, fokus ke wajah si penyerang dibandingkan dengan permainan bolanya. Setelah itu ada teriakan yang susul-menyusul masuk ke telinga Jihoon, menandakan si primadona jurusan itu baru saja mencetak gol ketiganya. Senyumnya mengembang cerah, ikut berteriak heboh layaknya jajaran penggemar Soonyoung yang lain. Sebuah keputusan tepat menyeret Junhui dan Wonwoo ke sini, karena setidaknya Jihoon bisa berteriak sepuas yang ia mau tanpa harus merasa malu.

Sementara di sana, Kwon Soonyoung menyiramkan air minumnya kewajahnya sebagai bentuk selebrasi. Jersey putihnya melekat erat di tubuh indahnya, membuat jajaran penggemarnya sekali lagi meneriakkan kalimat acak sebagai reaksi. Yang diteriaki tampak menulikan telinga, sedikit angkuh jika dilihat orang lain. Mata sipitnya menjelajah ke sepanjang tribun, menatap hampir 90% populasi wanita memenuhi tribun lapangan kampus sore ini. Lalu matanya bergerak lagi, bertemu dengan mata seorang laki-laki menggemaskan yang terhimpit dua temannya yang lain.

Kedip

Kedip

Soonyoung tak bisa tidak tersenyum melihatnya, laki-laki itu terlalu gemas untuk ukuran mahasiswa. Yang ditatap masih membeku, otaknya sedikit bertabrakan karena ditatap sang idola. Setarik senyum terlempar dari kursi tribun, sebuah balasan untuk senyum si primadona. Rambut hitam yang bermandikan matahari bersinar, menambah pesona Kwon Soonyoung si pangeran Performing Arts Major kampus mereka. Jihoon merasakan pipinya memanas, bukan, bukan karena terbakar terik, tapi karena senyum penyerang andalan jurusan mereka itu. Buru-buru tangannya mengangkat botol dingin di genggaman, menuju pipi gembilnya, meredakan panas yang tiba-tiba menyerang.

Sisa waktu pertandingan hari itu, Jihoon habiskan dengan menatap Soonyoung dalam diam. Masih terlalu malu dan takut, kalau-kalau Soonyoung tiba-tiba kembali menatapnya saat ia sedang heboh berteriak. Kaki Jihoon otomatis berdiri ketika peluit ditiupkan, menggema ke seluruh sisi lapangan. Pertandingan hari ini selesai, meninggalkan senyum yang tertempel erat di wajah Jihoon, pun di wajah Soonyoung.

Malam ini Mingyu lagi-lagi gak dirumah. Teman masa kecil Wonwoo itu pergi keluar sejak jam 7 tadi, meninggalkan Wonwoo sendirian. Hari ini Papa gak memukuli Wonwoo lagi, beliau hanya meneriaki Wonwoo sampai telinganya pengang. Tapi tak apa, Wonwoo sudah terbiasa.

Wonwoo mengobati luka Mama begitu Papa pergi, membersihkan darah yang mengering di pelipis dan ujung bibir Mama. Selalu seperti ini, kalau bukan Mama maka Wonwoo yang akan jadi samsak Papa. Dan Mingyu kadang akan jadi saksi segala perbuatan Papa, sahabat kecil Wonwoo itu tak pernah ikut campur setiap kali amarah Papa meledak.

Omong-omong Mingyu, Wonwoo dan Mingyu itu sudah berteman sejak mereka bayi. Mama dan Bunda adalah sahabat karib, maka tak heran anak-anak mereka menjadi sepasang sahabat juga. Ayah dan Bunda Mingyu meninggal 5 tahun lalu, mobil terguling waktu menuruni turunan licin. Tak ingin Mingyu tinggal sendirian, Mama akhirnya mengajak Mingyu tinggal dirumah sederhana mereka. Yah... walau sebenarnya agak disesali, karena Mingyu jadi harus menyaksikan Papa mengamuk seperti orang kesetanan.

Setelah selesai mengobati Mama, Wonwoo kembali kekamarnya. Terduduk di ujung ranjang, menatap pintu balkon yang terbuka. Diluar hujan, Wonwoo jadi bertanya-tanya apakah Mingyu sekarang sedang berteduh atau hujan-hujanan. Lampu kecil disamping saklar menjadi satu-satunya sumber cahaya Wonwoo, membiarkan kamarnya dalam keadaan remang-remang. Dilihatnya garis-garis luka baru, yang bertumpuk diatas luka-luka lamanya. Cutter tua dibawah bantal Wonwoo menjadi tokoh utama setiap luka di pergelangan tangannya, seperti kamera yang menangkap foto dan memori, cutter tua Wonwoo meninggalkan bekas dan ingatan sedih tentang segala emosinya yang berkecamuk. Tangan Wonwoo melayang keatas luka-lukanya, merasakan permukaan yang menonjol setiap kulit jarinya melewati luka yang masih baru dan belum menutup. Wonwoo selalu suka dengan sakit yang dihasilkan cutter tuanya, the right amount of pain untuk bisa mendistraksi Wonwoo dari bekas pukulan Papa.

Lalu akan ada Mingyu, setiap kali Wonwoo selesai menorehkan luka baru. Laki-laki itu akan telaten mengobati pergelangan Wonwoo, membersihkan dengan air lalu dibalut dengan plester luka. Kadang laki-laki yang Wonwoo juluki big puppy itu, akan meneteskan air matanya jika luka yang Wonwoo buat terlalu dalam. Mingyu itu malaikat Wonwoo, satu-satunya orang yang menarik Wonwoo dari tepi jembatan malam itu. Wonwoo ingat dengan jelas, waktu itu badannya sudah condong kedepan, menanti momentum dia untuk jatuh. Tapi tanpa disangka ada dua lengan yang memeluk tubuh ringkihnya, menariknya kembali ke alam sadar.

Malam itu Mingyu dengan hoodie hitamnya memeluk Wonwoo erat.

Malam itu air mata Mingyu jatuh di bahu Wonwoo.

Malam itu Mingyu membuat Wonwoo berjanji untuk tetap hidup,

Demi Wonwoo katanya, tapi Wonwoo terlalu kehilangan semangat untuk hidupnya sendiri.

Demi Mingyu katanya lagi, lalu Wonwoo setuju.

Demi Mingyu,

Wonwoo akan tetap hidup demi Mingyu.