Jumat.
Adalah hari yang paling ditunggu oleh mahasiswa semester dua ini. Kuliah di salah satu kampus ternama di Depok, mengharuskan Samudra untuk tinggal sementara di sana atau bisa dibilang ngekos. Namun ketika Jumat menjemput, Samudra yang juga memiliki rumah di Bekasi pun selalu pulang mencari kehangatan keluarga.
Sebab, sebaiknya-baiknya tinggal sendiri. Samudra tentu perlu bersama hangat keluarganya,
dan pacarnya.
Alih-alih memutarkan setir mobilnya keluar tol Bekasi Timur, Samudra terus berjalan maju hingga kata Tambun terlihat di papan tol.
Pacarnya yang sakit, tentu membuatnya khawatir. Dapat kabar kemarin dengan foto termometer menyentuh di angka 38°C cukup membuat Samudra tak bisa fokus di kelasnya.
Namun tentu, kewajiban sebagai mahasiswanya perlu dilaksanakan. Sebab jatah absennya hanya tinggal dua, dan akhir semester masih tersisa bulan lagi.
Mengendari mobil dari Depok ke Tambun, memang tak bisa dibilang jauh, tapi letih yang Samudra rasakan benar-benar sudah diambang batasnya.
Kaos hitam yang dibaluti kemaja flannel sejak pagi masih setia bergantung di tubuhnya hingga sekarang, pukul delapan malam, menjadi saksi bisu bagaimana Samudra tak mempunyai waktu bahkan untuk sekedar mengguyur badannya.
Sebab, akhir weekdays dengan 11 sks, akibat make up class, adalah mimpi buruknya para mahasiswa, Tak terkecuali untuk Samudra.
“Dih ngapain lu ke sini?” pertanyaan yang dilontarkan Lio menjadi sapaan untuk Samudra yang baru keluar dari mobilnya.
Tipikal Samudra, Ia takkan menjawab pertanyaan yang sudah jelas jawabannya, lantas Ia kembali bertanya, “Rey di mana?”
“Di kamar, makin panas dia kayanya—Anjing” jawab Lio dengan umpatan di akhir sebab mendapat tinjuan dari Samudra di bahu kanannya
“Lu sih rawatnya ga bener.”
Lio baru saja ingin melawan kalimat kurang ajar yang dilontarkan Samudra, tapi kalah cepat dengan tubuh Samudra yang sudah dilahap oleh rumah putih tersebut.
Padahal faktanya, bukan Lio yang tidak bisa merawat, melainkan Rey yang menolak dengan mengucapkan kalimat, “Virus ditubuh gue yang KEMARIN di tubuh lu, menolak untuk ketemu lu. Gue ga mau ketemu lu yang nularin virus ini ke gue anjing lu Lio.” kira-kira kalimat seperti itu yang Rey keluarkan. Sebab Rey takkan sakit jika Lio tidak sakit.
...
Setelah mendapat izin dari si pemilik rumah, Mama, Samudra melangkahkan kakinya menuju kamar Rey yang berada di ujung lorong lantai dua.
Ia mengetuk dua kali pintu di depannya sebelum meraih gagang pintu tersebut, “Rey?”
Ruang yang gelap gulita menyapanya, tanpa menunggu respon, Ia pencet saklar lampu, dan dalam sekejap ruangan itu sudah kembali terang.
Samudra menarik napasnya dalam, alih-alih melihat tubuh pacarnya, ia malah melihat selimut yang menggembung menutupi satu kasur, iya, Rey berada di dalam sana, beserta semua bantal, guling, dan bonekanya.
“Yaudah stay gitu aja, aku mandi dulu. Kalau masih begitu, aku pulang.” ucap Samudra, entah ke siapa.
Samudra memasuki kamar mandi tanpa memberi atensi pada tubuh kecil makhluk yang masih berendam di selimut itu. Ia memasuki kamar mandi tanpa izin si pemilik.
Sebab tepat satu tahun mereka berpacaran, kamar mereka benar-benar digunakan untuk bersama.
Air keran sudah berbunyi menandakan Samudra benar-benar mandi di dalam sana. Sedangkan di luar sini, Rey tengah berhadapan dengan perang dalam dirinya,
“Anjing, pacarnya lagi sakit, tapi apaa yang dia pikirin? mandiii???? mandiii anj.” monolog Rey yang sudah terduduk, “Kata gue kalau misalkan gue tidur beneran, tuh orang pat-pat gue, terus benerin posisi tidur gue. Bajingan banget jadi cowo, najissss gue jadi pacar lu,” lanjutnya sambil melempari bantal-bantal yang menghalangi geraknya.
Rey memang sakit demam, tapi sakit hatinya kini perlu diluapkan.
Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Samudra yang tengah telanjang dada, hanya dibaluti celana pendek miliknya dan handuk yang ia taruh di rambutnya.
Samudra memindai satu ruangan dengan raut wajah kebingungan, sebab sebelum Ia memasuki kamar mandi, kamar ini masih terbilang rapih. Namun, setelah Ia keluar, bantal, guling, selimut, dan boneka sudah banyak bertebaran di lantai. Tak lupa dengan lelaki kecil yang tengah duduk di tengah kasur dengan raut wajah marah.
“Ngapain lu mandi di sini? Kalau ga mau nginep kenapa mandi di sini? Kan bisa di rumah lu nanti?”
Samudra mengambil barang-barang yang berceceran di lantai yang kemudian Ia bawa kembali ke atas kasur, “Lah tidur boongan toh.”
“Ga usah bacot lu jelek, pulang aja deh, ga perlu gue ketemu sama lu.” ketus Rey sembari melempar kembali barang yang sudah dibereskan oleh Samudra.
Samudra memutuskan untuk berhenti, sebab ia tahu kegiatan sia-sia. Ia menatap Rey tanpa kedip yang dibalas oleh Rey dengan tatapan yang lebih tajam.
Lantas, Ia membuang napasnya berat, karena bagaimana pun Samudra melawan, pacarnya tak akan melembut. Karena Samudra tahu, satu-satunya yang bisa membuatnya menang adalah afeksi.
Samudra berjalan mendekati kasur, sebab ponselnya berada di meja samping kasur.
“Ga usah deket-deket.” cetus Rey karena Samudra mulai berjalan mendekat, “Mau ngambil hp, pede banget.” ucap Samudra dengan cepat berhasil mematahkan argumen Rey.
Samudra mendudukan pinggulnya pada pinggir kasur, yang mana di posisi ini, Ia bisa bermain hp nya yang tengah di charge di samping kasur, “Ga usah duduk di kasur gue!” ucap Rey sambil mendorong-dorong tubuh Samudra agar menjauh dari kasur miliknya.
Samudra berhasil menahan satu tangan Rey dengan genggamannya, sedangkan tangan satunya Ia bawa untuk menyentuh dahi pacarnya, “Udah minum obat belum?”
“Ga usah sentuh-sentuh gue!” tangan Samudra yang berada di dahinya, berhasil ditepis oleh Rey dan langsung mendapat tatapan sinis oleh Samudra, “Apa?! mau marah!”
Samudra membuang napasnya, berusaha untuk sabar, “Minum obat dulu, abis itu tidur.”
“Apasih lu nyuruh gue tidur, lu pengen banget pulang emang waktu gue tidur? Yaudah sok pulang sekarang aja. Biarin aja gue makin sakit, sampai di rawat.” Rey berucap dengan mata yang mulai berair, “MAMA AKU MAU DIRAWAT AJA!” lanjutnya dengan teriakan.
Sebab sejatinya, Rey tidak butuh tusukan jarum di tangannya melainkan sayangnya Samudra.
“Heh!” tegur Samudra yang dengan sigap menutup mulut Rey dengan tangannya.
Rey mengigit tangan Samudra dan mendengar rintihan dari si pemilik tangan, “Mampus, sukurin.”
Samudra yang terus meringis
berhasil memunculkan rasa bersalah Rey, “Lagian aku mau kamu nginep, emang ga bisa? aku pacar kamu, emang ga boleh aku minta pacar aku sendiri untuk tidur samping aku? Pacar orang mau aja kalau mereka tidur samping-sampingan. Waktu Saka sakit, Jeremy bareng dia terus seharian. Kalau kamu takut ketularan sakit yaudah jauhan aja gapapa.”
Rey berhenti berbicara, Ia menarik napasnya dalam-dalam. Sebab pusingnya kembali datang, hidungnya sudah kembali tersumbat dan tak lupa dengan batuknya yang sudah terdengar.
Air matanya tak kunjung berhenti, sebab ia tak pernah suka dengan sakit.
Rey benci sakit.
Seharusnya besok adalah hari paling bahagianya dengan Samudra. Rencananya untuk menghabiskan waktu bersama selama dua hari hilang begitu saja sebab dirinya yang demam.
Tak ada lagi kegiatan mereka merayakan anniversary-nya.
Hari yang bisa Ia lakukan, sekali dalam satu tahun, hancur begitu saja.
Namun, tepat saat ini, atmosfer keduanya, tidaklah baik. Pikiran tentang rasa sayang satu sama lain kembali menjadi pertanyaan.
“Kamu udah ga sayang aku kan? bilang aja. Kamu mau udahan sama, udahin sekarang aja. Aku tau kamu mau putus, tapi nunggu aku yang putusin kan?”
“Apaansih, ngawur banget ngomongnya” Samudra memotong.
“Buktinya kamu udah satu bulan kamu ga pulang? kamu di
Depok terus. Kamu ga kangen aku. Waktu aku pengen samperin kamu ngelarang aku. Terus sekarang waktu ketemu kamu malah begini bikin aku marah, bukannya sayang-sayangin aku.”
“Iyaaa, nanti aku sayang-sayangin, sekarang minum obat dulu yaa, Reyy?”
Rey menggeleng, “Ya Tuhan, aku masih sayang kamu, Reeeyyy. Sekarang minum obatnya yaa sayang?”
“Yaa ga mauuuu, nanti aku tidur, abis itu kamu pulang, aku ga mau kamu pulang!”
“Engga pulang, Rey, aku tidur sini. Udah bilang Mama tadi.”
Rey mengelap kedua matanya dengan senyum yang mulai bermekaran, matanya berbinar dengan pantungan cahaya
lampu yang membuatnya seperti anak anjing yang sedang bahagia, “beneran?”
Samudra mengangguk, “Iyaaa, sekarang mau yaa minum obat?”
“Okeee, tapi sebentar, aku kunci lemari dulu, biar kamu ga bisa pulang karena masih telanjang.”
Samudra terkekeh dan mulai menyiapkan obatnya.
“Mau peluk.” ucap Rey sehabis meminum obatnya dengan nada memohon dan kedua tangan yang di rentangkan.
“Buka baju kamu, Rey.”
Tangan yang tadi direntangkan, sekarang sudah menyilang di dadanya, akibat dari kalimat yang lontarkan Samudra, “h-hah? ngapain? aku cuma minta peluk, ga minta yang lain.”
“Besok jadi jalan gaa?” Rey mengangguk, “Yaudah cepatan buka bajunya.”
“Tapi kamu masih sayang sama aku kan? ga mau putusin aku?” Rey kembali melontarkan pertanyaam berulang yang sudah dijawab sebelumnya sama Samudra, “Masih sayaaang, Ya Tuhan. Aku sayang banget sama kamuu and I'm planing to do so for the next years.”
Rey tertawa gemas, “Aku cuma pastiin aja, aku takutnya habis kita berhubungan kamu mau ninggalin aku.”
Ucapan Rey yang frontal cukup membuat telinga Samudra memerah. Sunggu Samudra tak pernah berimajinasi sampai sana, memikirkan saja sungguh membuatnya seperti orang jahat, “Siapa yang mau berhubungan bocah!”
Rey tertawa renyah melihat respon Samudra sembari membuka bajunya, yang membuat keduanya sekarang bertelanjang dada.
Lantas dalam seperkoan detik, Samudra menyesali keputusannya. Seharusnya Samudra tak mempunyai ide untuk seperti ini, seharusnya Samudra tidak...
“Aku udah telanjang anjing, lu kenapa diam?”
Samudra kembali tersadar dari pikiran dewasanya. Ia telan beberapa ludahnya untuk megurangi gugupnya.
Ia berdehem sebelum meniduri dirinya di kasur, dan menepuk-nepuk dadanya, menyuruh Rey untuk tidur di pelukannya.
Rey tersenyum senang, ia bawa dirinya masuk ke dalam dekapan sang pacar, tanpa berkomentar, “Kenapa pelukan telanjang gini, Samu?” tanyanya sambil mendongakkan kepalanya agar bisa bertatapan dengan pemilik tubuh.
“Skin to skin method, sayang. Waktu aku masih bayi, aku diginiin sama Mama.” ucap Samudra, berusaha tenang.
“Tapi aku kan bukan bayi.”
Samudra menyapu rambut-rambut pacarnya yang menganggu muka cantik Rey, “Oh yaudah lepas lagi aja pelukannyaa.”
Rey menggeleng dengan cepat dan kembali menenggelamkan kepalanya ke dada Samudra, “Enggaa mauu, aku gapapa jadi bayi kamu terus.”
Celetukan Rey membuat Samudra tertawa, sungguh lucu melihat Rey yang sudah mode bayi ini “Panas banget kamu sayang, besok ga usah pergi yaa, istirahat ajaa okee?”
Rey menggeleng, sungguh hari anniversary tidak boleh di rusak oleh sakitnya yang sepele.
“Kita reschedule ke minggu depan ajaa yaa?” Rey kembali menggeleng, “ayolah Reeyy, kamu panas banget astaga. Besok aku seharian di sini deh yaa? aku peluk terus.”
Akhirnya Rey mendongak, sedikit tertarik pada tawaran dari Samudra, “Beneran yaa? Besok kamu di sini seharian?” Samudra mengangguk, “Habis itu minggu depan kamu ke sini lagi, pulang! jangan di Depok terusss, pacar kamu di sini!”
Samudra terkekeh, “Iyaaa pacar aku one and only anak Tambun.” Rey tersenyum mendengar pengakuan dari Samudra.
Sungguh, Ia rindu berduan dengan Samudra, hanya dirinya dan Samudra.
Dengan jarak yang sangat hanya berjarak satu jengkal, Rey inisitif untuk memajukan bibirnya dan memejamkan mata, “Mau kiss boleh?”
Dengan sigap Samudra menutup mulut Rey, lagi, “Skin to skin method, bukan mouth to mouth.”
Rey mendengus, “Ih sebal. Anniversary apaan tau ga ada ciuman?”
“Ada, minggu depan.” jawab Samudra yang dihiraukan oleh Rey. Ia malah menaruh atensinya pada telapak tangan Samudra yang tadi digunakan untuk menutup mulutnya, bekas gigitannya masih ada.
Rey mengusap tangan itu, sembari berucap “Maaf.” berkali-kali, “Sakit yaa?”
“Gapapaaa sayang, udah tidur ajaa yuu, udah minum obat harus tidur.” Samudra menjauhkan tangannya dari pandangan Rey, agar Rey tidak terlalu memikirkan tangannya yang masih sakit akibat gigitannya.
Namun Rey berusaha untuk meraih tangan pacarnya lagi untuk di kecupnya, “Habis dicium nanti langsung sembuh.” ucap Rey yang langsung membawa tangan Samudra untuk berada di genggaman tangannya.
Rey mencari posisi ternyamannya dalam posisi ini, dengan kepalanya yang berada di atas dada bidang Samudra dan tangannya yang masih setia menggenggam tangan Samudra.
Mata Rey terpejam sebab efek samping dari obatnya mulai menjemput. Namun dengan terpaksa, matanya kembali berbinar, sebab sebuah kecupan terasa di dahinya,
“Habis dicium nanti cepet sembuh.”