cappucinooh

Laravel.

If you're wondering, how's my relationship going on? I would gladly to tell you guys.

Menempuh umur hubungan di tahun ketiga tentu tidak mudah bagi gue dan Nicholas Khailil. Berawal dari satu kelas tambahan yang sama untuk Kompetisi Sains National waktu duduk di kelas sepuluh.

Indeed, He's smart fucking ass guy. Yet, I turn on with every smart guy I've ever met. While, He's in love with my face. Well i do not care with the reason because whatever it was we fell in love together, with the same starting point.

Khailil itu sangat atraktif, pintar dalam akademik dan non akademik, mempunyai keluarga yang harmonis, sayang sama adik perempuannya, semua hobby dikerjain sama dia. Mulai dari naik gunung sampai ke meja billiard.

But this one.. Khailil is Bandungness and of course he speaks sunda, it definitely makes him hotter.

“Belum mandi lu ya?”

Khailil tuh alergi air, katanya. Alibi semua orang yang malas mandi. Namun, Khailil entah bagaimana akan tetap wangi bahkan sampai keringatnya.

Khailil is a hot human being, period.

“Mandiin.”

But He's pervert. Well it's not change the fact the He is freaking hot.

I love hot people anyways.

“Ga usah deket-deket gue kalau lu belum mandi.”

Gue pergi ke kasur dan menutupi semua tubuh gue dengan selimut karena gue yakin kalau gue ga lakuin itu tubuh gue akan habis dengan bercak merah besok pagi.

“Gue cuma mau makan bareng lu bukan mau nyupang lu.”

That's sad, tbh. But yeah I know that we are still not in good mood.

Akhirnya gue memutuskan untuk duduk di lantai bersama Khailil yang udah habisin tiga tusuk taichan.

Baik gue dan Khailil ga ada yang memutuskan untuk mematikan kecanggungan ini, karena emang kita sedang berantem hebat.

Sama seperti berantem sebelumnya, semua masalah kita ga akan pernah ada solusinya. Both of us avoid to solved the problem

Karena satu-satunya cara adalah mengakhiri semuanya.

Gue tahu karena gue ga bodoh kalau hubungan ini sudah terlanjur rusaknya. Dan gue juga tahu kalau gue dan Khailil ga akan pernah bisa berpisah.

Karena kita berdua gila.

“Hari ini lu ngapain aja?”

“Kangenin lu.”

See? both of us pretend like nothing happened to us.

Setelahnya seperti yang biasa kita lakukan, tidur bersama dengan tangan Khailil yang setia berada di pinggang gue.

No one willing to apologize but fuck.

If you're wondering, how's my relationship going on? I would gladly to tell you guys.

Menempuh umur hubungan di tahun keempat tentu tidak mudah bagi gue dan Nicholas Khailil. Berawal dari satu kelas tambahan yang sama untuk Kompetisi Sains National waktu duduk di kelas sepuluh.

Indeed, He's smart fucking ass guy. Yet, I turn on with every smart guy I've ever met. While, He's in love with my face. Well i do not care with the reason because whatever it was we fell in love together, with the same starting point.

Khailil itu sangat atraktif, pintar dalam akademik dan non akademik, mempunyai keluarga yang harmonis, sayang sama adik perempuannya, semua hobby dikerjain sama dia. Mulai dari naik gunung sampai ke meja billiard.

_But this one.. Khailil is Bandungness and of course he speaks sunda, it definitely makes him hotter.

“Belum mandi lu ya?”

Khailil tuh alergi air, katanya. Alibi semua orang yang malas mandi. Namun, Khailil entah bagaimana akan tetap wangi bahkan sampai keringatnya.

Khailil is hot, period.

“Mandiin.”

But He's pervert. Well it's not change the fact the He is freaking hot.

I love hot people anyways.

“Ga usah deket-deket gue kalau lu belum mandi.”

Gue pergi ke kasur dan menutupi semua tubuh gue dengan selimut karena gue yakin kalau gue ga lakuin itu tubuh gue akan habis dengan bercak merah besok pagi.

“Gue cuma mau makan bareng lu bukan mau nyupang lu.”

That's sad, tbh. But yeah I know that we are still not in good mood.

Akhirnya gue memutuskan untuk duduk di lantai bersama Khailil yang udah habisin tiga tusuk taichan.

Baik gue dan Khailil ga ada yang memutuskan untuk mematikan kecanggungan ini, karena emang kita sedang berantem hebat.

Sama seperti berantem sebelumnya, semua masalah kita ga akan pernah ada solusinya. Both of us avoid to solved the problem

Karena satu-satunya cara adalah mengakhiri semuanya.

Gue tahu karena gue ga bodoh kalau hubungan ini sudah terlanjur rusaknya. Dan gue juga tahu kalau gue dan Khailil ga akan pernah bisa berpisah.

Karena kita berdua gila.

“Hari ini lu ngapain aja?”

“Kangenin lu.”

See? both of us pretend like nothing happened to us.

Setelahnya seperti yang biasa kita lakukan, tidur bersama dengan tangan Khailil yang setia berada di pinggang gue.

No one willing to apologize but sex.

Angka pada bar notifikasi iPad-nya sudah menunjukkan pukul satu malam, tapi untuk pertama kalinya, kekasihnya ini tak ada tanda-tanda ingin tidur.

“Udah jam segini kok lu belum tidur sih?” “Biarin aja, katanya kan Buna bakal bolehin aku begadang. Lagian Buna ga bakal cek kamar aku, karena kita masih berantem.”

Iban mendengus napasnya kasar, sungguh susah sekali membujuk pacarnya. Dirinya juga kebingungan untuk melakukan apa, karena ini pertama kalinya Aja bersikap kurang ajar seperti ini.

“Lah mau kemana?” tanya Iban sewaktu melihat kamera Aja bergerak.

“Bikin kopi. Biar aku ga tidur.” “Ja, udah jam segini.” “Aku ga mau tidur Iban, biar besok siang aku seharian tidur ga ketemu Buna sama papa.” “Lu liat jam ga? udah jam segini. Terakhir makan pas sama gue kan? lu nyari penyakit tau ga? Balik lagi ke kamar atau gue marah?”

Kamera yang sebelumnya mengarahkan ke lantai, kini sudah berbalik arah yaitu menyoroti jalan menuju kamar sang pemilik ponsel.

“Kalau besok ga mau ketemu Buna, tinggal gue ajak keluar seharian. Ga usah dongo gitu, lu bukan orang yang minum kopi. Lu mau besok berak-berak? sakit perut? muntah-muntah?”

Aja menggeleng, “Pinter. Tidur gih, besok kita jalan-jalan keliling jabodetabek.”

“Tidur duluan aja Iban, aku belum ngantuk.” “Trus lu mau ngapain? Jangan minum kopi!” “Iyaaa enggaa. Kamu tidur duluan ajaaaa.”

Iban memincingkan matanya melihat kebohongan dari Aja. Namun nihil, Ia malah mendapati wajah Aja dengan dua jari yang ia tegakkan, seperti tengah bersumpah bahwa Aja tak akan minum kopi di malam hari.

“Yaudah gue tidur duluan, jangan dimatiin. Biar gue yang matiin besok.”

...

Kringggg Kringggg

Iban terbangun secara paksa oleh sebuah suara notifikasi telepon. Ia mengeluh karena sumpah demi Tuhan, Ia tak ada menyalakan alarm sama sekali.

'Buna Aja'

Ia langsung terduduk saat membaca pemilik nomor tersebut, tanpa pikir panjang Ia pencet tombol bewarna hijau di layar ponselnya.

“Ibaan.. Aja sama kamu gaa yaa? Buna baru lihat kamar Aja, tapi Aja sama sekali ga ada, kopernya udah ga ada, lemarinya berantakan, jendelannya kebuka. Tolongin Buna, Iban....”

Bak tak dikasih waktu untuk mengumpul nyawa. Iban secara tak sadar langsung membuka history panggilannya, sesuai dugaannya, Aja sudah mematikan panggilan di jam 02.30.

'Shit Shit Shit'

Tak ada hentinya Ia mengumpat dan menjambaki rambutnya. Sungguh, Ia membenci keadaan ini, di mana tidurnya diganggu, tak ada waktu untuk mengumpulkan nyawa, dan pikirannya sedang tak jernih.

Terbukti dengan Ia terpaksa untuk mencari kunci motornya dan pergi mengejar jam berangkat bus sekolah, yang mana masih ada sisa waktu dua puluh menit.

Ia menghiraukan penampilannya yang masih memakai celana pendek dan kaos tidurnya. Tidak peduli dengan penampilannya yang benar-benar baru bangun tidur, tanpa cuci muka ataupun sarapan.

Perihal izin kepada orang tuanya bisa nanti lewat pesan suara, tapi kalau dirinya tertinggal bus, bisa hilang nyawanya.

Iban mengendarai motornya seperti orang kesetanan, sebab kurang dari sepuluh menit lagi Ia akan tertinggal. Beberapa lampu merah Ia terobos, bahkan beberapa kali mendapatkan klakson dari kendaran lain.

Dirinya hanya sibuk berdoa agar waktu menjadi lambat saat menyentuh pukul 07.00.

Sesampainya Iban di sekolah, Ia segera memarkirkan kendaraannya pada parkiran motor. Lalu, Ia lari ke tempat delapan bus berada.

Ia menghiraukan panggilam dari teman-temannya dan mendorong semuanya yang menghalangi jalannya. Dirinya hanya fokus mencari bus yang ditumpangi oleh murid dari kelas MIPA 2.

“Iban bus kelas lu di pojok kanan kocak.” “MIPA 2 di mana?” “Setelah MIPA 1 sih seharusnya, berarti pojok kiri.”

Mendengar jawaban dari temannya, Iban berlari bak orang kesetanan mencari sosok yang menjadi sebab dari segala kepusingannya malam ini.

Iban menaiki mobil besar yang menjadi bus milik MIPA 2. Kedua matanya mengedarkan pandangan mencari kekasihnya.

Kemudian, Ia menghembuskan napasnya dan langsung terduduk lemas di pintu bus hanya karena matanya menangkap sosok mungil yang tengah tertidur dengan kepala yang disenderkan di jendela.

Sungguh dirinya sudah lega.

“Gila jelek banget lu, Ban.” ucap Galuh dengan nada ejekan. “Gatau lah anjing, emang gue ga niat pergi, gue aja baru bangun tidur tai, bawa koper aja kaga gue, jangankan koper mandi aja gue kaga.” “Stress anjir.”

Iya, stress. Siapa juga yang tidak stress dihadapin dengan pasangan yang keras kepala seperti ini.

Sepuluh menit, Iban telah berbincang banyak bersama Buna perihal anaknya yang tengah merengut hebat hingga tak mau keluar kamar, bahkan untuk sekedar sarapan.

Hingga menit ke sebelas, matanya menangkap sosok mungil berbaju putih yang tengah menatap dirinya tajam. Aja menuruni langkah kakinya melalui tanggal dengan suara hentakan yang sengaja Ia keluarkan. Lalu berjalan keluar rumah tanpa memberi atensi pada adam dan hawa yang tengah duduk di ruang tengah.

“Tolongin ya Iban...”

Permintaan Buna sebelum Iban menyusul ke tempat kekasihnya.

Kalau boleh jujur, selama mendengar cerita dari Buna, tak ada hentinya Iban berucap 'dongo' mengenai hal yang dilakukan oleh pacarnya ini.

Belum makan dari pagi, mata udah bengkak, keluar tanpa ada omongan ke Buna.

Pacarnya ini memang luar biasa.

“Coba sini lihat matanya.” Iban menangkup seluruh wajah Aja dengan kedua tangannya dan Ia arahkan agar berhadapan dengannya.

“Aku lagi marah sama buna dan papa, tapi kenapa kamu ngomong sama mereka?”

“Lah kan yang marah lu, kenapa gue ga boleh ngomong sama Buna?”

Sesuai harapan, selanjutnya Iban merintih kesakitan akibat kakinya yang terinjak dengan sengaja oleh sosok yang di bawahnya, “Aw, sakit anjing.”

“APA ANJING ANJING APAA?! IYA AKU ANJING EMANG. SEMUANYA MANUSIA. AKU YANG ANJING. AKU YANG SAKIT. SEMUANYA SEHAT.”

Aja berteriak dengan iringan air mata yang terjatuh. Sungguh emosinya terasa sampai puncaknya saat Iban mengatainya 'anjing'. Entah kenapa hari ini semuanya terasa sangat membuatnya marah.

Tubuhnya tertarik hingga menabrak tubuh Iban, sedangkan Ia langsung menyembunyikan wajahnya pada leher sang pacar.

Sungguh ironi bagaimana Aja bisa menangis hanya dengan kata 'anjing', seharusnya Ia biasa aja.

“Maaf....”

Benar. Iban ga salah apa-apa. Hanya saja, hatinya hanya ingin menangis dan Iban yang menjadi korbannya.

“Gapapa nangis aja dulu di sini, sepi kok, ga ada yang lihat.”

Kalimat itu secara sopan masuk ke telinga Aja. Kalimat yang bisa membuatnya nyaman sampai di mana secara spontan Ia mulai membalas dekapan sang pacar.

“Kalau udah baikan bilang, mau gue ajak buat ngedate keluar.”

Aja sejak emosinya tumpah Ia tak bersuara, hanya menangis menerima sentuhan hangat dari kekasihnya serta menghirup aroma tubuh Iban. Kekasihnya ini benar-benar habis mandi, ditandai dengan bau badannya yang benar-benar bau sabun. Sungguh jarang Ia menghirup wangi ini di tubuh Iban, karena biasanya adalah wangi parfume yang bercampur dengan rokok.

“Kemana?” tanya Aja dengan suara serak.

“Mancing, hehe.”

...

Aktivitas memancing tak pernah ada di dalam kamus “Things to do with Iban” milik Aja. Menurutnya aktivitas ini terlalu tradisional, terlalu bapak-bapak untuk remaja berumur tujuh belas tahun.

Namun, setelah satu jam Ia memandangi empang, Ia merasa tak buruk juga untuk pergi memancing sekali-kali.

Ia benar-benar tertawa lepas saat dirinya berhasil menangkap ikan yang besar-besar sedangkan Iban hanya ikan kecil. Saat ikan-ikan yang di embernya lebih banyak dari milik Iban. Tak ada habisnya Ia meledeki Iban.

Bahagianya sungguh tercipta saat ini.

“Hahaha, Iban kamu itu ga bisa mancing kannn? masa kalah sama aku yang baru pertama kali.” Aja kembali meledek saat Jorannya kembali bergoyang, sedangkan Iban terlihat murung karena miliknya tak gerak-gerak.

“Gue juga pertama kali kocak.”

Aja memutar dan menarik tongkat itu hingga keluar Ikan yang berukuran besar, lagi. Kemudian, Ia kembali menertawai nasib Iban dan ikan-ikannya.

“Songong banget lu tuyul.”

Aja melempar kembali joran yang sudah Ia merikan umpan itu, “Biarin aja yang penting aku lebih jago daripada kamu.” ledeknya lagi yang diakhir dengan peletan lidahnya.

“Kamu ga gabut kah Iban? soalnya kamu ga jago mancing alias aku mulu yang dapat.”

“Yee dongo, lama-lama gue ceburin lu nih ke empangnya, biar temenan sama ikannya.”

Aja kembali tertawa, sungguh Ia sangat bahagia menggoda kekasihnya ini. Saking kencangnya Ia bersuara membuat Ia cegukan beberapa kali.

“Tuh kan, songong sih lu, sini duduk, minum dulu.”

Aja mengikuti kata Iban dan segera duduk tepat di samping tubuh Iban. Kepalanya Ia senderkan ke bahu tegap milik sang pacar.

Ah iya, beberapa bulan mereka pacaran, kegiatan berpelukan sudah sering mereka lakukan. Tak ada lagi canggung antara mereka dan tak ada lagi rasa malu hingga membuat kedua pipi mereka memerah.

“Ikannya enaknya kita apain, Iban?” tanya Aja.

“Di bakar lah, besok. Buna ajak gue buat pesta-pestaan di rumah. Katanya gue boleh nginep dan lu boleh begadang kata Buna. Tumben banget kan yaa?”

Buna lagi.

Aja tahu Buna sudah bilang semuanya ke Iban. Terbukti dengan Buna memperbolehkan Iban untuk bermalam bersamanya.

“Besok kan udah ke Malang, kamu ga ikut kah Iban?”

Iban menggeleng, “Kaga ah, kemahalan buat gue.”

“Tapi kan kamu orang kaya Iban!”

“Ya tetep aja mahal, enam juta anjay, mending gue nabung kan. Sedangkan Buna ngasih penawaran biar bisa pacaran sama lu satu hari full, ya mending pacaran sama lu kocak.”

“Kamu ga dipaksa Buna kan buat bujuk aku?”

Iban menghentikan gerakan tangannya yang memainkan jari jemari pacarnya, “Emang lu mau ikut ke Malang?” tanya Iban berbohong, tentu Ia tahu bahwa kekasihnya gini tengah perang dingin dengan Buna dan papanya karena keinginannya untuk ke Malang.

Aja mengangguk, “Buna sama papa ga izinin, aku sedih. Aku tuh apa-apa selalu ga di izinin sama mereka. Belum pulang di jam sepuluh udah di telpon, harus tidur sebelum jam dua belas malam, nginep di rumah teman ga boleh, trus teman nginep di rumah aku juga ga boleh. Apa-apa ga dibolehin, sedangkan teman aku yang asma juga masih dibolehin, bahkan dia ngerokok gapapa kok.”

“Oh trus lu mau ngerokok juga?”

Celetuk Iban kembali mendapatkan cubitan di pinggangnya, “Ih kamu mah ga ngerti.”

“Ngertii tapi jangan dicubit juga pea.” Iban menjeda sejenak ucapannya, “Eh gue kasih tau ya, itu ke Malang lu naik bus, itu tuh kecepatannya kenceng trus sopirnya kebanyakan pada ga bisa sabar. Jadi nanti bus nya bakal dikendarain zig-zag, percaya dah sama gue. Lu bisa ke ombang-ambing di dalam sana, eh muntah deh. Trus itu bangkunya sebilan puluh derajat sumpah dah. Bayangin lu sehari lebih di dalam bus trus duduk, ga bisa tiduran. Ya kan? Mending di sini ga sih?”

“Gapapa, setidaknya aku punya pengalaman bareng temen-temen aku.”

Jawaban Aja membuat Iban sadar bahwa perjalanannya untuk meyakinkan Aja tidaklah mudah untuknya.

Iban sangat menyukai yang namanya kerja kelompok, sebab di sana Ia bisa meminimalisir rasa pusing dia dengan materi sosial yang banyak ini.

Ia dengan senang hati menyumbangkan tenaganya, motornya, bensinya, apapun itu agar bukan Ia yang menjawab pertanyaan ketika presentasi ataupun yang mencari materi.

Namun, kalau teman kelompoknya kaya Ipay maka perlu dipikir dua kali tentang kebahagiaannya dengan kerja kelompok.

“Ayolah Pay... Kasian Ajeng itu naik apa nanti?”

Iban sudah berkali-kali membujuk temannya, Ipay, agar memboncengi cewe, satu kelompok, yang belum dapat kendaraan.

“Gamau anjir Ban, sorry ya Ajeng nanti cewe gue marah. Bukannya ga mau.”

Iban menggenggam stang motornya dengan kuat, kesal dengan alasan Ipay yang ga masuk akal.

Kelompok berlima, tiga cowo, dua cewe. Namun yang punya rumah, Rivan, sudah pulang duluan karena ingin bereskan rumahnya terlebih dahulu. Tersisa empat orang di sini, Iban, Ipay, dan dua perempuan yang lain.

Sebenarnya Iban tak apa jika memboncengi perempuan, tapi Ipay sangat menolak sedari tadi. Dari parkiran penuh hingga kosong. Mereka tak jadi pergi sebab debatnya yang tak kunjung usai.

“Tolol lu, cewe lu ga liat anjir? kan cewe lu dah pulang duluan.” “Ga bisa anjing lu Ban.” “Trus Ajeng naik apa tolol? Gue udah boncengin Wana, masa boti anjing.” “Lu bareng gue aja deh Ban, Wana atau Ajeng ada yang bisa bawa motornya Iban ga?” “Yee si tolol mending lu naik motor gue.” “Ga mau anjir, motor gue susah dibawanya.” “Yaudah sama kocak”

Iban mengacak rambutnya kasar. Sumpah demi Tuhan Ia rasanya ingin menyumpahi motor Ipay itu rusak secara tiba-tiba, karena tak ada gunanya jika sedang dibutuhkan.

“Gini aja deh, Ajeng lu mau naik ojol aja gaa? Gue bayarin deh ongkosnya.”

Iban tak ada henti-hentinya berucap tolol mendengar saran dari Ipay. Bagaimana bisa Ia menyuruh Ajeng untuk naik ojol? Sumpah untuk kesekian kalinya Ibann bersyukur bahwa Ia tak punya pacar sama sekali. Kalau punya.. wah sudah separah apa hidupnya takut untuk melakukan ini itu.


Iban merapihkan rajutan bunga matahari itu di meja sebrang kasurnya. Ia memilih spot ini karena menurutnya ini adalah spot paling tepat sebab begitu Ia bangun tidur, Ia akan melihat rajutan itu.

Ia tersenyum senang. Hatinya masih bergejolak padahal sudah lebih dari satu jam sejak Ia bertemu dengan Aja.

“Dah... cakep.” monolognya sembari memperhatikan rajutan itu.

Ah, Ia sangat menyukai.

Ia bersiap untuk membersihkan badannya, karena sudah hampir tengah malam tapi Ia belum telponan dengan bayinya.

“Iban, temanmu di bawah itu.” suara Bunda terdengar dari bawah.

Orang gila mana yang datang ke rumah temannya di jam setengah dua belas malam? Iya, Ipay orangnya.

“Bannn, gue mau nginep, berantem anjir sama cewe gue.”

Iban langsung mengeluarkan segala emosinya dalam menghajar Ipay. Ia tak peduli Ipay berantem atau putus sama pacarnya, sebab besoknya pasti sudah gandengan tangan lagi. Makanya kadang Iban malas menasehati orang yang keras kepala seperti Ipay.

“Ah anjing lu, ganggu aja.” Iban mengumpat setelah Ia mengabari Aja untuk tidak menunggunya.

“Ban... kayanya besok gue putus deh.”

Nyenyenye

Iban sudah mendengar itu sejak bulan ketiga mereka pacaran dan mereka sekarang sudah menyentuh hubungan yang ke dua tahun.

Orang gila mana yang ngomong besok putus tapi besoknya malah bermesraan? Iya, Ipay lagi.

“Lu mau ngerokok ga Ban?” tawar Ipay sembari menyerahkan kotak rokok yanh sudah terbuka. Iban dengan senang hati mengambil kotak tersebut dan mengeluarkan satu batang rokok.

'Kalau kamu lebih ngerokok lebih dari tiga nanti aku tahu loh dari bunga mahatarinya.'

Gerakan Iban terhenti, Ia memutar balik memorinya satu hari ini. Di pagi hari sekali... Pulang sekolah tiga kali... Iya, dia sudah merokok empat kali.

Ah, satu lagi gapapa kan? Iya, kan Ia juga dapat bunganya barusan.

Iya kan gapapa?

Iban melirik rajutan bunga matahari yang berdiri tegap karena diganjel itu, Ia tatap bunga itu dalam.

“Gapapa kan? Aja ga akan tau kan?” ucapnya dalam hati. Pikirannya berantem akibat rajutan bunga matahari itu.

“AH BUNGA MAHATARI SIALANNNNNN” teriaknya putus asa sembari melempar rokok yang berada dipegangan.

Ipay tergelonjak mendengar ucapan Iban secara tiba-tiba, “Anjir lu ngapa bego?”

“Kaga dah gue kaga ngerokok, lu kalau mau ngerokok sendiri aja dah gue mau mandi.”

Ah, Ia kalah telak dari bunga matahari itu.

“Dih tumben? HAHAHAHA” “Aja nyuruh gue ngerokok tiga kali doang.” “Trus lu nurut? Aja ga ada di sini, udah temenin gue ngerokok sih, temen lu galau nih.” “Jangan sampai palalu gue putusin ya Ipay babi.”

Iban meninggalkan Ipay yang sedang tergelak di kamarnya. Ia merutuki dirinya kenapa Ia bisa kalah pada rajutan benda matahari itu? Ah, sudah pasti Ia akan diejek nanti.

“IBAAN GUE GA TAU LU SELAY INI KALAU JATUH CINTAAAAA HAHAHA FUCKK KOCAK BANGET.”

kan emang semuanya kurang ajar di dunia ini.

Aja mengigit bibirnya pun memainkan kukunya. Bunyi dari perutnya tak kunjung berhenti. Akibat bangun telat, Ia belum memasukan satu pun nutrisi ke dalam perutnya, sampai sekarang, pukul delapan pagi.

Hari selasa ini seperti biasa Aja memilik waktu bebas karena tidak ikut berolahraga. Jadi, Ia sangat memohon kepada perutnya ini untuk bisa menahan setidaknya sembilan puluh menit lagi, menunggu Eyan selesai berolahraga.

Seharusnya Aja bisa ke kantin sendirian, karena biasanya seperti itu. Namun naas, Ia harus melewati kelas Iban, yang sedang freeclass, untuk mencapai tangga dan turun ke kantin.

Ia bergindik ngeri melihat para siswa IPS dengan gaya songongnya duduk dengan satu kaki dinaikan di bangku panjang depan kelas mereka. Sesekali mereka berteriak dan mengeluarkan bahasa kasar yang tidak mencerminkan siswa sekolah menengah atas.

Maaf, tapi kelasnya tak relate dengan kelas Iban itu.

kruck-kruck

Bunyinya kembali terdengar.

“Ih perut sabar dulu perut, nanti kita makan okee? sabar dulu aaaaa aku takut ketemu Iban.” monolognya sambil menghentakkan kakinyaaa.

Sudah tiga minggu sejak kejadian di Warung Teteh, tentu membuat berada di dekat Iban akan sangat canggung. Apalagi digabung dengan kenangan terakhir mereka sewaktu Iban mengatarnya pulang.

Aja rasanya mau punya kekuatan pingsan di tempat.

“Jaa... Gue ga akan suka sama Bila. Lu mau berusaha apapun buat coba bikin gue sama Bila. Ya lu ga akan bisa, Ajaaa.”

“Biarin gue yang ngejar lu aja kalau gitu. Lu diam aja di tempat. Biar mereka tau kalau lu engga nikung teman lu.”

Semuanya berantak. Hatinya semakin jatuh.

Malam itu, Aja kembali nangis, karena menyadari bahwa Ia menjahati banyak orang.

Namun, tetap aja Ia belum siap. Ia masih takut untuk kembali menjatuhkan hati pada Iban sedangkan Ia melukai temannya.

krung

“Ih iyaa iyaa, berisik sekali! Ayo kita makan!” Aja mengintip dengan satu mata keadaan kelas IPS 2. Lantas Ia membuang napasnya lega saat tak ada lagi satu pun makhluk di depan sana. Mungkin semuanya sudah masuk kelas, pikirnya.

Sebelum dirinya sampai di kantin, perasaan buang air kecil mulai menyerambat, “Ih nyusahin aja, mau makan apa mau pipis sih?!” Ia meggerutu, Aja tak ingin lama-lama di luar kelas ini, apalagi fakta bahwa kelas Iban kini sedang tidak ada guru.

Kembali lagi, Aja takut bertemu Iban.

Aja membelokan kakinya ke toilet, Ia berjalan cepat agar tidak bertemu Iban.

“Lu ngerokok di sini gue tonjok ya.” “Ya elah ban satu aja satu.” “Boleh satu, tapi lu telen sama batang dan asapnya, deal ga?” “Yah ban udah kebakar...” “Anjing lu.”

Aja tak berani masuk. Mendengar percakapan itu dari luar toilet cukup membuatnya mematung. Ia tak tahu mau ngapain, untuk kabur juga terlalu susah.

Kakinya menolak untuk bergerak. Matanya bergerumuh. Hatinya berdetak tak karuan.

“Aku suka punya Ka Aja yang berani ini, aku ngerasa dilindungin lagi. Sekarang tuh banyak banget tau yang ngerokok, tapi kan kita ga bisa yaa... deket deket aja kita ga bisa. Jadi aku mau bilang makasi karena udah mau berani Ka Aja, makasi karena udah mau lindungin aku.”

Ia kembali teringat ucapan Rafa minggu lalu. Ia tak pernah menyangka bahwa sekarang Ia ada di posisi Rafa. Dilindungi oleh seseorang yang berani.

Aja bergerak memasuki toilet, Ia menangkap Iban yang tengah menutup mulut dan hidung temannya dan temannya yang kini sedang memberontak.

“Lu telen dah tuh asapnya, ngerugiin orang yang ga bisa deket asap aja lu.”

Aja melihat semuanya, bagaimana urat Iban terlihat karena menutup saluran pernapasan temannya, serta temannya yang sedang menepuk-nepuk tubuh Iban.

“Aku ga suka kalau kamu jadi pembunuhan Iban.”

Kegiatan mereka terlepas, temannya Iban dengan sigap langsung menginjak batang rokok dan memasukannya ke dalam tempat sampah, “Ajaa tolong jangan laporin yaa ke BK, sumpah itu impulsive doang, diajakin Iban. Oke okee? terima kasih Ajaa.” ucapnya dengan buru-buru sembari kabur meninggalkan kedua adam yang tengah beradu tatap.

Ah seperti temannya Iban takut padanya.

“Jaa...itu temen gue udah gue omelin kok, ga usah dilaporin yaa? biar gue aja ya–” ucapan Iban terhenti. Jantungnya berdetak cepat selagi Aja melingkari lengannya di pinggang Iban.

Aja memeluknya.

Pelukan pertama mereka.

Aja mencari posisi ternyaman di bahu Iban, sedangkan si pemilik bahu terlalu kaku untuk bergerak.

Aja mendekapnya sangat erat, sedangkan Ia masih berusaha mencerna.

“Aku suka kamu, Iban.”

Tatapan Iban kosong jatuh ke tembok di hadapannya. Ia tak tahu harus apa, sebab bersama dengan Aja, tiba-tiba Ia lah yang menjadi dongo itu.

Ini terlalu memalukan, tiba-tiba Aja memeluknya, tiba-tiba Aja mengatakan rasanya, dan di toilet....

Mengapa harus di toilet...


Iban menjatuhkan atensinya pada si kecil yang tengah makan sembari menyerocos hal yang tidak penting.

“Aku kesel kenapa kamu bohongin ulang tahun kamu? Kamu itu ulang tahun enam Juni, kenapa jadi agustus? Hahhhh!” ucapnya dengan makanan di kedua tangannya.

Iban tak merespon, Ia masih mencerna semuanya. Kejadian di toilet tadi sungguh membuat otaknya bercabang.

Apakah ini tandanya Aja sudah benar-benar suka padanya? Apakah Aja memilihnya daripada Bila?

“Tunggu-tunggu, yang di toilet... maksud lu apa?”

Aja menaruh makanan yang ada di dua tangannya, disambung dengan meneguk air putih sebelum Ia menjawab pertanyaan Iban.

“Masa gitu aja ga tau sihhh?.” “Yaa ga tau? lu tiba-tiba peluk gue gitu, tiba tiba ngomong suka gue” “Kamu ga suka ya aku peluk?” “Bukan ga sukaa dongooo, tapi gue kaget.” “Yaudah kalau gitu kamu biasain, soalnya aku akan peluk kamu setiap hari.”

Ni anak.... sungguh berhasil membuat jantung Iban tak karuan seperti ini.

Ini sudah tidak sehat, kedua pipinya sudah memerah, pasti Aja melihat bagaimana keadaan mukanya sekarang. Terbukti dengan senyumam manis Aja yang terpapang jelas di wajahnya.

Ah, Iban merindukan ini.

“Iban aku minta maaf...”

Ah apakah ini akhirnya? terakhir Aja meminta maaf adalah sewaktu ingin meninggalkannya. Ia tak menyukai permintaan maaf dari Aja.

“Kalau aku rebut kamu dari Bila boleh?”

“Apa yang perlu direbut dari Bila, Ja? dari awal gue pengen jadi punya lu.”

Mereka saling merindu, terbukti dengan senyum manis yang saling beradu serta tatapan yang tak kunjung putus.

Ujung sepatu mereka bersentuhan mengantarkan getaran aneh di keduanya.

Aja menyukai bagaimana Iban mengambil tangannya untuk digenggam di atas meja. Ia menyukai rasa berpegangan tangan. Rasanya hangat dan nyaman.

“Aku kayanya udah cinta kamu Iban.”

Sesuai dugaannya, benar sekali bahwa warung teteh kini tengah di dominasi oleh banyak senior yang tentu sedang merasa superior sekarang. Terbukti dengan beberapa junior di sini tengah suruh untuk melakukan ini-itu. Sebagai junior juga tidak memungkinkan untuk melawan, sebab katanya restu kaka kelas adalah hal yang utama.

Berjarak 100 meter dari sekolah, tempat ini selalu menjadi tujuan para siswa SMA 7 tanpa melihat gender. Selama Aja bersekolah di sini, baru tiga kali Ia mengunjungi tempat ini. Berbeda dengan Iban yang pasti setiap hari, sehabis pulang sekolah.

Tentu alasan utamanya kembali kepada rokok dan asap. Tempat yang menjadi base camp untuk merokok, tentu menjadi halangannya.

Bila, teman kelasnya, merekomendasikan warung teteh sebagai tempat mereka melanjutkan tugas mereka. Tentu yang disetujui oleh Awa dan Galuh, tapi ditentang sangat berat oleh Eyan.

Bila, Awa, dan Galuh adalah perokok yang mana jika di warung teteh mereka akan bisa merokok sebebasnya dengan teman-temannga yang lain. Mereka juga cukup terkenal di kalangan satu angkatan.

Berbeda dengan Eyan, Ia juga punya banyak teman seperti tiga orang tadi. Namun, teman-temannya bukan lah yang sering melakukan tindakan buruk seperti ini. Eyan hanya berteman dengan pertemanan yang positif.

Teruntuk Aja, Ia sangat menyukai kata 'pertemanan', Aja selalu ingin punya banyak sekali teman seperti yang lainnya. Namun naas, apa karena dirinya yang terlalu kaku atau polos, teman dekatnya hanya Eyan dan Galuh, sisanya hanya teman sekelas.

“Jaa, mau pulang ajaa gaa? Jam habis pulang sekolah itu Warung Teteh ramai banget”

Eyan itu selalu protektif menyangkut dirinya. Aja menyukai itu. Namun, kadang Eyan terlalu berlebihan, contohnya sekarang.

“Gapapa, Eyaan. Kan kemarin juga aku udah coba kerja kelompok di Warung Teteh, bisa kan akuu?”

Eyan sempat memarahi Galuh karena Galuh ikut menaruh suara untuk Warung Teteh yang mana Galuh sendiri juga tahu Aja tidak bisa di tempat seperti itu.

“Gue mah netral aja, Yan. Lagian gue udah minta temen gue untuk tempatin lagi meja paling luar.”

Semuanya susah untuk dibilangin dan semua akar masalahnya dari Bila, yang menyarankan Warung Teteh.

Seperti dugaannya, Bila menyarakan ini tentu punya alasan lain, yaitu merokok. Bagaimana Ia sudah membakar putung itu tepat di depan Aja.

“Bil, jauhan bisa ga? tau kan kalau Aja ga bisa deket sama yang ngerokok?”

Kalau saja Galuh tidak memberhentikannya, bisa habis Bila di jambak Eyan.

“Oke, sekarang kita mau bikin kerangka DNA kan yaa? Bahan-bahannya lu bawa ga, Eyan?” Ucap Awa, si ketua, setelah Bila menjauh dari mereka ber-tiga.

Aja mengedarkan pandangannya pada setiap sisi Warung Teteh. Tempat ini mempunyai area yang cukup luas dengan area outdoor dan indoornya. Walaupun pembatasnya hanya susunan bambu, tempat ini tetap bisa membuat nyaman. Pantas, semuanya seperti lupa waktu jika sudah di sini, terutama Iban.

Kan.

Buktinya Aja menangkap sosok Iban yang berada di area indoor tengah menghirup rokoknya. Ia dapat melihat Iban dengan jelas melalui sekat antara bambu. Jarak antara mereka tak bisa dibilang dekat tapi tak bisa dibilang jauh.

Aja masih dapat menikmati wajah tampan, calon pacarnya itu.

Walaupun dirinya tidak menyukai perokok, tapi Ia tak menufik bagaimana Iban terlihat sangat keren dengan putung rokoknya.

Ia melepaskan senyumnya saat mata Iban bertemu dengannya. Iban ikut tersenyum dengan manis. Cukup lama mereka saling tatap tanpa ada yang niat untuk memutuskan, hingga Aja dicubit oleh orang di sampingnya, Galuh.

“Bisa nanti aja ga kasmarannya?”


Sudah dua jam mereka berkelahi dengan plastisin, Aja memutuskan untuk membeli makan terlebih dahulu, perutnya berontak meminta nutrisi di saat terakhir makannya di jam 12 siang tadi.

Namun bencananya, counter service tempat ini ada di indoor tepat di samping tempat duduk Iban, yang artinya, Ia harus melewati lautan manusia yang sudah bau rokok serta asap rokok.

“Kamu mau aku aja yang pesenin, Ja?”

Aja menolak tawaran Eyan dengan alasan “Gapapa, aku ajaa. Di sana kan juga ada Iban, jadi aku mau ketemu dia dulu, gapapa kan?”

Eyan mengangguk yang menandakan Aja sudah mulai jalan mendekati rumah tua itu. Aja menarik napasnya saat banyak sekali tatapan yang tertuju padanya. Bukan tatapan menggoda, tapi tatapan tak suka.

Berita Aja adalah pencepu sudah menyebar kemana-mana, apalagi karena kasus Garren waktu itu.

Dadanya sesak serta badannya kikuk, tak nyaman dilihat seperti ini.

Mereka seolah berkata bahwa Aja tak pernah diterima di sini. Sebab Aja sudah menjadi musuh mereka.

“Ngapain?”

Ia berhenti saat kepalanya menubruk tubuh kokok sosok di depannya, “Makanya jalan pakai mata dongo.”

Aja mendongakkan kepalanya lalu tersenyum senang, “Hehe, aku mau beli makan.”

“Jangan masuk, di sana panas. Gue aja yang pesen deh, lu mau makan apa?” “Yang enak apa Iban?”

Iban tak langsung menjawab, ada jeda beberapa detik sebelum kembali bersuara, “Kan lu suka manis yaa, Nasi Gila mau gaa? itu kaya ayam, sosis, telur, dijadiin satu, pakai kuas kecap dan saos gitu.”

“Oke Iban gapapa, aku mau deh, aku percaya kamu”

Iban terkekeh, “Yaudah balik lagi gih, gue yang pesenin nanti gue anter ke sana”

“Ih tapi Iban aku mau makan sama kamu. Aku masuk aja deh yaa? duduk sama kamu sama Ipay di dalam, aku kan sudah temanan sama Ipay.”

Iban menggeser posisinya agar Aja bisa lihat bagaimana konsidi dalam ruangan yang ingin Ia masuki, “Lihat kan yang dalam lebih parah?”

Ya. Aja mengakui. Sebab matanya sudah menangkap lebih dari sepuluh orang di dalam yang sedang bercumbu dengan putung rokoknya.

Lantas Ia buang napasnya, “Meja juga ga ada yang kosong yaa? Huh Iban terus bagaimana? Mereka tidak mau pulang yaa?”

Duh, di saat seperti ini terkadang Iban merutiki dirinya karena tangannya sangat bau rokok sekarang, kalau engga rasanya Ia ingin sekali meraup segala isi muka sosok mungil di depannya sekarang.

“Haha, yaudah kerjain dulu itu bikin karyanya, biar cepet selesai, nanti kita ke alun-alun.”

Kedua obsidian Aja kembali berbinar, “Benar yaa Iban?” Iban mengangguk, “Janji?” lanjutnya dengan acungan jari kelingking.

“Janji.” jawab Iban dengan penyatuan kelingking mereka.


Aja melangkahkan kakinya kembali menuju teman kelasnya dengan raganya sudah melemas. Di pukul enam sore ini, seharusnya Aja sudah memakai baju tidurnya dan menghabiskan waktunya dengan Buna. Bukan duduk di Warung Teteh yang masih setia dengan seragamnya seperti orang tidak benar.

Plak.

Aja mematung.

Tak tahu harus bereaksi apa saat. Kepalanya sontak memiring dengan rasa sakit yang sangat hebat. Dirinya terlalu linglung di saat teman-temannya sudah mendekatinya. Samar-samar Ia mendengar pertanyaan dari Eyan yang menanyakan keadaanya.

“LO GILA YAA BILA?”

Semuanya terlalu tiba-tiba untuk Aja yang sudah melemas memikirkan makanannya yang kemungkinan masih dimasak.

Aja tidak sadar kapan Bila mendekat atensinya hanya jatuh pada perutnya yang sangat keroncongan.

“Siapa yang gila? Gue atau ni cowo?”

Suara Bila menggelegar masuk ke pendengarannya. Rasanya Aja ingin menangis tapi di sini ramai, semua mata jatuh pada dirinya. Semuanya berbisik membicarakannya.

“Lu bisa seanjing ini ya Jaa? Gue tau lu emang tukang cepu ke BK tapi ga percaya lu bisa giniin gue. Gue teman lu Jaa, teman sendiri.”

Pandangannya masih tertuju pada ujung sepatunya. Tak berani menatap lawan bicara karena merasa tak pantas menunjukan muka tak tahu malunya.

“Lu nusuk gue tau gaa? Lu bilang lu ga suka Iban, trus tadi apa? Galuh juga bilang kalian emang lagi deket? Gue cerita ke lu kalau gue suka Iban biar lu bantuin gue, bukan lu tikung gini tai.”

Benar. Semuanya salahnya.

Kenapa Iban harus menaruh rasa padanya? Kenapa Ia setuju untuk mencoba bersama Iban? Kenapa harus Iban, di saat temannya menyukai Iban?

“Jaa, banyak orang yang ga mau jadiin lu temen kelompoknya, tapi tetep gue angkut. Kalau ga sama gue lu pikir coba lu mau sama siapa?”

Galuh mencoba menghentikan Bila yang emosi sudah tak terkontrol. Bila punya hak untuk marah, Aja tahu itu. Oleh karena itu, Ia hanya menunduk, tak tahu ingin memberi pembelaan seperti apa.

Bila sudah menaruh percaya, tapi Ia patahkan begitu saja.

Aja pantas dipermalukan lebih lebih dari ini.

“Bila......Ini sama sekali bukan seperti yang kamu pikirin.”

Namun, Aja harus memberi penjelasan, bukan? Walaupun semua yang diucapkan Bila benar adanya.

“Bilaa... sakit bilaa.. jangan dijambak.” Aja mengeluh dan memohon ampun, jambakan dari Bila bukan main sakitnya.

Rintihan dan mohon ampun yang diucapkan Aja tak sama sekali direspon oleh Bila.

Sakit... Malu...

Aja tak suka dipermalukan seperti ini. Di hina di depan banyak orang tanpa ada yang membelanya.

“AWWWW” teriakan dari Bila menjadi atensinya sekarang. Perlahan tarikan di rambutnya kian mengendor, “Anjing, siapa yang jambak gue?”

“Lepasin tangan lu dari rambut cowo gue.”

Aja menangkap tubuh Iban yang kini tengah menjambak rambut Bila, yang tengah menjambak rambutnya.

“Iban...” rintih Aja.

Aja tersenyum, Ia punya pembela.

Tarikan di rambutnya kian melemas, Aja bisa bergerak bebas sekarang. Ia menatap adam dan hawa yang kini saling menatap di hadapannya.

“Iban? kenapa lu sukanya sama Aja?” Bila mengeluh, Aja dapat melihat bagaimana kedua mata Bila sudah memerah sekarang.

Bila akan menangis.

“Dih, lu siapa anjir? gue aja ga–”

“Bila aku ga pacaran sama Iban, aku juga ga suka Iban, Bila percaya sama aku ya?”

Hening.

Aja tak dapat mendengar respon dari siapapun di sini. Ia mengutuk dirinya atas ucapan spontan yang Ia keluarkan.

Dengan berani Ia menatap mata Iban yang kini juga menatapnya. Kecewa. Itu yang tergambar di wajah Iban.

Aja mengecewakan semuanya, Bila, dirinya, dan Iban.

Aja ingin menangis, tapi tangannya ditarik menjauh oleh Iban.

Aja membenci hari ini. Aja benci jadi jahat.

Merasa bosan menunggu dengan suara jangkrik yang kini mendominasi, pria kecil itu mulai bernyanyi pelan, lebih tepatnya bergumam dengan nada.

Sepuluh menit setelah mendapat kabar bahwa Iban akan otw, Aja bergegas langsung menyiapkan semua, membungkus hadiahnya, merapihkan dirinya.... secantik mungkin.

Orang bodoh mana yang memakai palutan liptint merah di pukul sepuluh malam? Aja orangnya.

Because Eyan said so.

Namun masalahnya, apa Iban akan memujinya?

Sudah Dua minggu sejak hari pertama pendekatannya, Tak pernah sekalipun Aja mendengar pujian dari Iban.

Satu kalipun....

Tak ada kata cantik yang keluar dari sosok lelaki yang tengah ditunggunya. Melainkan dongo, dongo, tuyul.

Ah meme tuyul, itu saja pujian dari Iban yang pernah Ia dapat.

Memang. Aja tidak apa-apa. Dirinya sudah mulai jatuh pada Iban, tanpa omongan manisnya, tanpa pengkuan cintanya, dan tanpa sentuhannya.

Aja falls that easily, because Aja never been in anyone's target, and no one knows how happy he was when he knew that finally someone is having a crush on him.

And this is, one of his effort. To thank Iban, for giving the feeling of being sooo loved.

Kotak persegi panjang kini sudah sangat terlihat cantik. Dengan pita bewarna dan beberapa sticker yang membuat siapapun akan senang ketika mendapatkannya.

Indeed, he wished Iban can be happy as he is.

Lampu sorot kini mengenai matanya, membuat Aja tersenyum manis. Kotak cantik itu, Ia sembunyi di belakang tubuhnya, berusaha menaikkan perhatian Iban.

Satu hal yang Aja tahu, Iban ganti baju. Masih dengan sepatunya dan tas sekolahnya. Namun tak lagi dengan seragam putihnya.

“Kamu ganti baju dulu ya? Pantesan lama, huh.”

Iban menatap pemuda di sampingnya dengan tatapan tak terima, “Punya temen gue, baju gue baru rokok.”

Aja mengangguk, “Cepet mama hadiahnya.” lanjut Iban tanpa memberi kesempatan untuk Aja berbicara.

“Kamu sabaran dikit bisa ga sih, aku sabar tuh nungguin kamu yang lama.”

“Bukan gue yang lama ya anj, temen gue yang punya bajunya yang lama.”

Aja mengangguk tak peduli, yang Ia pikirkan bagaimana caranya Ia dapat pujian dari Iban malam ini. Sebab pikirannya dipenuhi oleh ucapan Eyan.

He's guided by Eyan, and that's the fact that Iban hate the most.

“Lama banget buset dah, ni gue harus liat muka lu dulu lima jam apa gimana?”

Aja menatap Iban, tanpa berniat bersuara. Mulutnya seakan terkunci sebab kedua mata Iban yang jatuh tepat di mukanya. Menatap dalam seakan Aja adalah segalanya.

He falls for the stares.

“Gue sih gapapa natap orang cakep lima jam. Tapi lu nyaman ga berdiri kaya orang bego gitu?”

This.

Aja always falls for this.

He didn't make it cringe like all of the relationships Aja has seen.

And this is the weird thing of him.

Aja tertawa, berusaha menghilangkan rasa salah tingkahnya, yang mana pipinya sudah merah seperti tomat.

“Emang aku cakep, Iban?”

Iban turun dari motornya, merapihkan rambutnya yang sudah berantakan sebab menggunakan helm full facenya, “Pake nanya lagi.”

Setelah mengucapkan tiga kata yang menurutnya tidak begitu mengeluarkan banyak effort, Iban tertawa tanpa dosa. Sosok adam di depannya, begitu menggemaskan dengan pipi merahnya serta kedua bibirnya yang menghilang, “Salting aja ga papa.”

“Iban kamu jangan bikin aku malu, terus ih.”

Tawa kencangnya kembali terdengar, bedanya tawa kali ini dibarengi dengan anggukan, “Iya-iyaa, mana hadiahnyaa? Ga mau ngasih juga? Apa emang lu mau lama-lama habisin waktu sama gue?”

Sebuah kotak kini berada di tepat di depan Iban, sedetik setelah respon terakhir Iban.

“Kamu ga usah kepedean gitu, aku juga udah ngantuk tau!”

“Yah penonton kecewa, berarti gue doang yang pengen.”

Entah apa yang terjadi hari ini, tapi Iban berusaha dengan keras menyembunyikan senyum salah tingkahnya saat mendapati sosok lucu di depannya kini kembali menjauhkan hadiah itu dari jangkauan Iban.

Bukan kepada tindakannya, tapi pada ekspresinya. Bagaimana Aja terlihat sangat sempurna dengan kedua obsidian hitam yang memantulkan cahaya lampu malam, terlihat indah meski warnanya hitam legam.

“Aku ga tau Iban maaf. Aku juga mau habisin waktu sama kamu lama-lama tapi sudah malam, buna sudah nyuruh untuk bobo.”

Tentang bagaimana, Aja terlalu takut membuatnya marah. Tentang Aja yang tidak pernah menutupi segala bentuk salah tingkahnya, tentang Aja yang membuatnya tidak ingin pulang lebih cepat.

“Sini hadiahnya gue pengen lihat.”

Iban menemukan sebuah rajutan bunga matahari, dengan satu buah notes melingkari tangkainya, setelah Ia membuka kotak berpita itu.

“Maaf kalau kamu ga suka, aku tau kamu ga suka warna kuning, tapi aku mau bikinin kamu sunflowers. Sebenarnya itu aku bikin karena kemarin kamu ngasih aku bunga, hehe. Aku ga bisa beli bunga aslinya, jadi aku rajut aja, gapapa kan Iban? kalau kamu ga suka bisa kasih aku lagi, tapi besok yaa, aku ga mau nangis malem ini.”

Tentang bagaimana Aja selalu memberikan hadiah padanya, bahkan sekedar hal bare minimum yang Ia lakukan. Tentang Aja yang berusaha menaruh rasa. Tentang Aja yang ingin bersamanya.

'Ini bunga bakal bergerak kalau kamu merokok lebih dari tiga kali dalam sehari! Jadi aku tau kapan kalau kamu ngelanggar janji kamu. Sama aku mau ngomong, terima kasih udah mau suka sama aku. Aku ga tau rasanya disukain orang bisa se-senang ini? Aku mau suka sama kamu Iban, kamu tunggu aku yaa?'

Tentang bagaimana Aja selalu bisa membuatnya kalah dalam menyembunyikan rasa salah tingkahnya.

At the end, it's all about Aja.

Pelajaran tak lagi Aja hiraukan jadi fokus utamanya saat ini, melainkan menunggu pesan balasan dari pemilik kontak yang bertuliskan 'iban 👹' sejak keterangan 'seen' mulai muncuk sekitar lima menit lalu.

Ponsel yang masih setia menyala dengan tampilan roomchat message Iban dengan sesekali Ia coba on-off koneksi internetnya, mungkin ponselnya tidak ada internet, atau mungkin Iban yang tidak mempunyai internet.

Apapun alasannya, Aja menunggu balasan. Apapun balasannya, akan Ia terima.

Sebab hatinya tak juga nyaman mengirim pesan seperti itu.

Pikiran buruk mulai menganggunya, Apa Iban marah kepadanya? Apa Ia jadi terlihat jahat di mata Iban? Atau apa benar tidak akan ada pdkt untun selanjutnya?

“Eyan...” Ia merintih memanggil teman sebangkunya yang tengah mengerjakan rangkuman dari yang dijelaskan oleh Pendidik di depan.

Eyan pun menanggapi, melihat Aja dengan raut wajah yang menggambarkan kebingungan, karena bukan diberi penjelasan. Aja malah memperlihatkan kolom pesannya dengan Iban, yang tak kunjung dapat balasan.

“Belajar dulu, Aja.” ucap teman sebangkunya, menjatuhkan ekspektasinya.

Aja selalu percaya pada Eyan, sebab Eyan selalu satu tingkat di atasnya. Di bidang pendidikan, Eyan selalu dapat peringkat satu sedangkan dia ketiga. Bahkan hingga di bidang romansa, Eyan sudah mempunyai pacar terlebih dahulu dibanding dia.

Oleh sebab itu, Aja selalu percaya pada sahabatnya.

Namun nyantanya, sesusah apapun Ia berusaha, matanya akan jatuh pada ponselnya.

Apapun balasanya.... akan Ia terima....

tapi hatinya merintih ingin Iban kontra dengan pendapat ingin menghentikan pdkt ini.


Nihil.

Hingga bel pulang sekolah berbunyi, tak ada balasan dari Iban. Tetap tertinggal tanpa balasan, Aja melangkahkan kakinya dengan berat keluar kelar, berusaha mengejar Galuh untuk memintanya pulang bersama.

Sebab, Pagi tadi, Aja meminta izin sama Buna untuk pergi dan pulang sekolah bersama temannya, Iban.

Namun sekarang, Iban entah di mana, tanpa kabar.

“Galuuuuhhh, tungguin akuu.” Aja berlari menabrak beberapa tubuh temannya, berusaha menggapai Galuh yang sudah jauh di depannya.

Aja berhenti tepat di depan Galuh yang tengah duduk di bangku panjang samping tangga, dengan satu pasang helm di sampingnya.

“Kenapa, Ja?” tanya Galuh bingung mendapati Aja yang datang dengan napas yang agak sesak.

Yang ditanya pun berusaha mengontrol napasnya sebelum Ia berbicara, “Kamu pulang sama siapa? aku bareng kamu boleh? aku kan udah izin mama akan pulang sama temanku, tapi dia ga bales chat aku, jadi aku ga ada teman pulang, boleh tidak aku sama kamu?”

Galuh memberi tatapan tanpa arti, dirinya tengah kebingungan total. Bukan, bukan karena Ia tidak bisa mengiyakan, melainkan helm yang tengah Ia jaga adalah helm yang dibicarakan oleh Aja.

“Bukannya sama Iban, Ja?” Aja mengangguk, “Ini helmya Iban bjir, dia daritadi udah nungguin lu, sekarang lagi di toilet.” lanjutnya sembari menepuk-nepuk helm hitam milik Iban, katanya.

“Helm gue, brengsek.” Suara dari orang yang tengah mereka bicarakan kini terdengar. Lantas, dengan cepat, helm yang semulanya berada di pangkuan Galuh, ditarik paksa oleh pemilik helm, “Gue nyuruh jagain, bukan ngerusakan, tolol.”

Galuh terkekeh, Ia berdiri dan menepuk-nepuk pundak Aja, “Dah yaa gue balik, baliknya sama calon pacar lu aja deh yaa.”

Aja terdiam tak mau bersuara, sedangkan makhluk adam yang lainnya menatap Galuh dengan pandangan tidak enak, Ia menendang bokong Galuh untuk menyalurkan emosinya, “Apasih lu sksd banget anjing nepuk-nepuk pundak.”

Alih-alih merintih kesakitan, Galuh malah menjauh dengan tertawa yang sengaja dikeraskan, sebab menurutnya mengganggui dua adam yang tengah lovebirds memang akan menjadi hobinya.

“Apa?” Iban mengeluarkan suaranya setelah ditinggal berdua dengan Aja, “Kenapa lu lihat gue gitu banget anjir?”

“Aku pulang sama Galuh aja.” Aja berusaha melewati jangkauan Iban agar Ia bisa mengejar Galuh yang belum terlalu jauh.

“Kan gue bilang pulang bareng gue.” “Gamau, kamu bau rokok.”

Iban mendekat sembari mencondongkan badannya, “Nih cium nih cium, mana ada bau rokok anjing.” emosinya.

Aja memundurkan langkah sebab terkejut dengan langkah Iban, “Ayo pulang anjir mumpung parkiran masih ramai.” lanjut Iban sembari menggapai tangan Aja yang segera ditautkan dengan jarinya.

Menuruni dua lantai tak membuat Aja memberontak, bahkan hingga sampai di parkiran suara Aja tak terdengar sama sekali.

Ia terlalu malas untuk membuka suara kepada orang yang bahkan tak membalas pesannya, apalagi perihal status mereka yang masih abu-abu. Kata orang diam itu berartikan iya. Pikirannya berkecambah, Apakah Iban tak membalasnyq karena setuju? apa pdkt mereka hanya akan berjalan satu hari saja?

“Biarin aja kesurupan,” Iban celetuk sembari memberikan helm pada Aja, membuat Aja tersadar dari pikirannya.

“Siapa kamu? emang kamu peduli aku?” tantang Aja, siapa juga yang takut kepada Iban kan?

Iban berencana akan membalas ucapan Aja setelah Ia memakai jaketnya. Namun kenyataannya, helm mahalnya yang bahkan tidak boleh di pukul oleh Galuh, kini jatuh bergelinding ke bawah, “Bangsat!”

Iban berbalik mencari pelaku yang mendorong helmnya. Lantas Ia mendengus, sebab prediksinya benar. Tiga orang yang berusaha Ia hindari kini sudah memblokir jalan keluarnya.

Parkiran kini tak lagi ramai pun tak sepi, masih ada beberapa motor yang pemiliknya masih ada agenda di sekolah. Namun, yang ada di parkiran saat ini, tak lebih dari sepuluh orang.

“Oh gini ban? punya cowo baru, jadinya lu yang cepu?” ucap salah satu dari tiga orang di depannya.

Iban mengakui bahwa emosinya memanh susah untuk dikontrol, hanya dengan melihat helmnya dengan visor yang sudah kebelah dua saja membuat marahnya tak terbendung.

Sebab tak ada siapapun yang bisa menyentuh helmnya, tanpa pengentahuannya. Ia selalu bawa helmnya ke dalam kelas, selalu Ia tenteng jika tak ada tempat penitipan motor. Namun, dengan sengaja, visor helmnya sudah rusak akibat ulah Garren, “Helm gue brengsek!” emosi Iban perlu ditanyakan, karena Ia sudah memberikan tendangan pada Garren, sebagai bentuk pembalasannya.

Helmnya adalah nyawa.

Garren yang tersungkur ke bawah ingin membalas Iban, sebelum ditahan oleh kedua temannya yang lain, Vito dan Jose. Iban kenal mereka dikarenakan mereka yang menemaninya merokok di lantai atas, dulu.

“Kacang lupa kulit, bajingan.” Garren berucap, sambil meludah yang jatuh di tepat depan sepatu Iban.

Iban berjalan memutari motornya guna mengambil helmnya, “Sebelumnya udah gue remainder ya tai. Jangan ngerokok di area sekolah. Tolol lu ya ga ngerti gue ngomong apa?”

Garren terkekeh, “Sok suci, brengsek. Lu yang lebih sering daripada gue anjing. Oh apa karena di cepu ini ya?” Garren berjalan mendekati Aja, yang membuat Iban dengan sigap langsung kembali memutari motornya hingga berada di titik awal, depan Aja.

“Ga usah sok tau tolol.” Iban berucap sembari menghadang Garren yang sudah dekat dengan Aja, “Jauhan ga? badan lu bau ketek anjing, cowo gue bisa pingsan nyiumnya.”

Tak ada kekehan, yang Garren lakukan hanya tertawa sekencang mungkin, melihat drama di depannya yang sangat menjijikan, “Cowo lu itu yang bikin lu kena SP 2? Cowo lu itu yang bikin orang tua lu dipanggil? Cowo lu itu yang dulu pernah lu omongin karena lu benci banget? Cowo lu itu yang pernah lu katain penyakitan? Jelek banget lu Ban, mainnya.”

Aja yang sedari tadi hanya berdiam diri di belakang Iban pun kini sudah mulai menetralkan napasnya. Entah mengapa kejadian ini sangat berbeda dengan kejadian biasanya.

Setiap ada yang dikeluarkan dari sekolah akibat laporannya, Aja pasti akan selalu kena tindas, yang berakhiran Ia terbaring di tak berdaya dengan sisa tenaga untuk inhalernya.

Namun saat ini, Aja merasa terlindungi. Bagaimana, Iban menyelamatkannya di rooftop kala itu dan Iban yang kini berusaha membiarkan Aja bersembunyi di punggungnya dengan tangan mereka yang saling menggemggam.

Kalimat yang Iban keluarkan dengan panggilan 'Cowo gue' cukup membuat Aja berdebar saat ini. Bukan karena di depannya ada orang yang tengah adu argumen, tapi karena malu yang luar biasa.

Sungguh, Aja merasakan terlindungi.

Dan statusnya terselamatkan, Iban masih ingin melakukan pendekatan dengannya.

“Iya itu aku semua, aku yang ngelakuin itu semua ke pacar aku. Aku juga yang laporin kalian. Siapa suruh kalian merokok di sekolah, padahal ini bebas rokok. Kalau ga mau ketahuan kamu telen aja asap kamu!” suara dari belakang punggung Iban cukup membuat empat orang di depannya berdiam diri.

“Ga usah egois. Kamu tau peraturan di sekolah ini, kenapa kamu langgar? dikeluarin dari sekolah itu udah jadi sanksi yang kamu lakuin. Lagipula sekolah kan udah kasih kamu dua kesempatan, kenapa ga kamu gunain dengan baik? kenapa ga kaya pacarku yang langsung ga merokok di area sekolah?”

“Kan kalau begini emang akibat dari kegiatan kalian, stop nyalahin orang! dasar dongo.”

Iban berbalik badannya, terkejut mendengar semua yang dikeluarkan dari mulut cowonya, katanya. Kedua matanya yang melotot menandakan seberapa Iban takut untuk apa yang selanjutnya akan terjadi.

Bukan ini yang Iban harapkan, “Ayo Iban, kita pulang aja. Kalau mereka ga mau minggir, tabrak aja.”

Iban tak bisa berpikir dengan jernih untuk sekarang. Tepat saat ini, Aja yang kemarin Ia lihat dirundung di rooftop tanpa bisa apa-apa, kini dengan vokal Ia melawan. Pikirannya sendiri membuat bulu kuduknya merinding.

Sedikit Iban tahu bahwa Aja berani jika sudah dikelilingi oleh orang yang bisa penjadi pelindungnya.

Jumat.

Adalah hari yang paling ditunggu oleh mahasiswa semester dua ini. Kuliah di salah satu kampus ternama di Depok, mengharuskan Samudra untuk tinggal sementara di sana atau bisa dibilang ngekos. Namun ketika Jumat menjemput, Samudra yang juga memiliki rumah di Bekasi pun selalu pulang mencari kehangatan keluarga.

Sebab, sebaiknya-baiknya tinggal sendiri. Samudra tentu perlu bersama hangat keluarganya,

dan pacarnya.

Alih-alih memutarkan setir mobilnya keluar tol Bekasi Timur, Samudra terus berjalan maju hingga kata Tambun terlihat di papan tol.

Pacarnya yang sakit, tentu membuatnya khawatir. Dapat kabar kemarin dengan foto termometer menyentuh di angka 38°C cukup membuat Samudra tak bisa fokus di kelasnya.

Namun tentu, kewajiban sebagai mahasiswanya perlu dilaksanakan. Sebab jatah absennya hanya tinggal dua, dan akhir semester masih tersisa bulan lagi.

Mengendari mobil dari Depok ke Tambun, memang tak bisa dibilang jauh, tapi letih yang Samudra rasakan benar-benar sudah diambang batasnya.

Kaos hitam yang dibaluti kemaja flannel sejak pagi masih setia bergantung di tubuhnya hingga sekarang, pukul delapan malam, menjadi saksi bisu bagaimana Samudra tak mempunyai waktu bahkan untuk sekedar mengguyur badannya.

Sebab, akhir weekdays dengan 11 sks, akibat make up class, adalah mimpi buruknya para mahasiswa, Tak terkecuali untuk Samudra.

“Dih ngapain lu ke sini?” pertanyaan yang dilontarkan Lio menjadi sapaan untuk Samudra yang baru keluar dari mobilnya.

Tipikal Samudra, Ia takkan menjawab pertanyaan yang sudah jelas jawabannya, lantas Ia kembali bertanya, “Rey di mana?”

“Di kamar, makin panas dia kayanya—Anjing” jawab Lio dengan umpatan di akhir sebab mendapat tinjuan dari Samudra di bahu kanannya

“Lu sih rawatnya ga bener.”

Lio baru saja ingin melawan kalimat kurang ajar yang dilontarkan Samudra, tapi kalah cepat dengan tubuh Samudra yang sudah dilahap oleh rumah putih tersebut.

Padahal faktanya, bukan Lio yang tidak bisa merawat, melainkan Rey yang menolak dengan mengucapkan kalimat, “Virus ditubuh gue yang KEMARIN di tubuh lu, menolak untuk ketemu lu. Gue ga mau ketemu lu yang nularin virus ini ke gue anjing lu Lio.” kira-kira kalimat seperti itu yang Rey keluarkan. Sebab Rey takkan sakit jika Lio tidak sakit.

...

Setelah mendapat izin dari si pemilik rumah, Mama, Samudra melangkahkan kakinya menuju kamar Rey yang berada di ujung lorong lantai dua.

Ia mengetuk dua kali pintu di depannya sebelum meraih gagang pintu tersebut, “Rey?”

Ruang yang gelap gulita menyapanya, tanpa menunggu respon, Ia pencet saklar lampu, dan dalam sekejap ruangan itu sudah kembali terang.

Samudra menarik napasnya dalam, alih-alih melihat tubuh pacarnya, ia malah melihat selimut yang menggembung menutupi satu kasur, iya, Rey berada di dalam sana, beserta semua bantal, guling, dan bonekanya.

“Yaudah stay gitu aja, aku mandi dulu. Kalau masih begitu, aku pulang.” ucap Samudra, entah ke siapa.

Samudra memasuki kamar mandi tanpa memberi atensi pada tubuh kecil makhluk yang masih berendam di selimut itu. Ia memasuki kamar mandi tanpa izin si pemilik.

Sebab tepat satu tahun mereka berpacaran, kamar mereka benar-benar digunakan untuk bersama.

Air keran sudah berbunyi menandakan Samudra benar-benar mandi di dalam sana. Sedangkan di luar sini, Rey tengah berhadapan dengan perang dalam dirinya,

“Anjing, pacarnya lagi sakit, tapi apaa yang dia pikirin? mandiii???? mandiii anj.” monolog Rey yang sudah terduduk, “Kata gue kalau misalkan gue tidur beneran, tuh orang pat-pat gue, terus benerin posisi tidur gue. Bajingan banget jadi cowo, najissss gue jadi pacar lu,” lanjutnya sambil melempari bantal-bantal yang menghalangi geraknya.

Rey memang sakit demam, tapi sakit hatinya kini perlu diluapkan.

Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Samudra yang tengah telanjang dada, hanya dibaluti celana pendek miliknya dan handuk yang ia taruh di rambutnya.

Samudra memindai satu ruangan dengan raut wajah kebingungan, sebab sebelum Ia memasuki kamar mandi, kamar ini masih terbilang rapih. Namun, setelah Ia keluar, bantal, guling, selimut, dan boneka sudah banyak bertebaran di lantai. Tak lupa dengan lelaki kecil yang tengah duduk di tengah kasur dengan raut wajah marah.

“Ngapain lu mandi di sini? Kalau ga mau nginep kenapa mandi di sini? Kan bisa di rumah lu nanti?”

Samudra mengambil barang-barang yang berceceran di lantai yang kemudian Ia bawa kembali ke atas kasur, “Lah tidur boongan toh.”

“Ga usah bacot lu jelek, pulang aja deh, ga perlu gue ketemu sama lu.” ketus Rey sembari melempar kembali barang yang sudah dibereskan oleh Samudra.

Samudra memutuskan untuk berhenti, sebab ia tahu kegiatan sia-sia. Ia menatap Rey tanpa kedip yang dibalas oleh Rey dengan tatapan yang lebih tajam.

Lantas, Ia membuang napasnya berat, karena bagaimana pun Samudra melawan, pacarnya tak akan melembut. Karena Samudra tahu, satu-satunya yang bisa membuatnya menang adalah afeksi.

Samudra berjalan mendekati kasur, sebab ponselnya berada di meja samping kasur.

“Ga usah deket-deket.” cetus Rey karena Samudra mulai berjalan mendekat, “Mau ngambil hp, pede banget.” ucap Samudra dengan cepat berhasil mematahkan argumen Rey.

Samudra mendudukan pinggulnya pada pinggir kasur, yang mana di posisi ini, Ia bisa bermain hp nya yang tengah di charge di samping kasur, “Ga usah duduk di kasur gue!” ucap Rey sambil mendorong-dorong tubuh Samudra agar menjauh dari kasur miliknya.

Samudra berhasil menahan satu tangan Rey dengan genggamannya, sedangkan tangan satunya Ia bawa untuk menyentuh dahi pacarnya, “Udah minum obat belum?”

“Ga usah sentuh-sentuh gue!” tangan Samudra yang berada di dahinya, berhasil ditepis oleh Rey dan langsung mendapat tatapan sinis oleh Samudra, “Apa?! mau marah!”

Samudra membuang napasnya, berusaha untuk sabar, “Minum obat dulu, abis itu tidur.”

“Apasih lu nyuruh gue tidur, lu pengen banget pulang emang waktu gue tidur? Yaudah sok pulang sekarang aja. Biarin aja gue makin sakit, sampai di rawat.” Rey berucap dengan mata yang mulai berair, “MAMA AKU MAU DIRAWAT AJA!” lanjutnya dengan teriakan.

Sebab sejatinya, Rey tidak butuh tusukan jarum di tangannya melainkan sayangnya Samudra.

“Heh!” tegur Samudra yang dengan sigap menutup mulut Rey dengan tangannya.

Rey mengigit tangan Samudra dan mendengar rintihan dari si pemilik tangan, “Mampus, sukurin.”

Samudra yang terus meringis berhasil memunculkan rasa bersalah Rey, “Lagian aku mau kamu nginep, emang ga bisa? aku pacar kamu, emang ga boleh aku minta pacar aku sendiri untuk tidur samping aku? Pacar orang mau aja kalau mereka tidur samping-sampingan. Waktu Saka sakit, Jeremy bareng dia terus seharian. Kalau kamu takut ketularan sakit yaudah jauhan aja gapapa.”

Rey berhenti berbicara, Ia menarik napasnya dalam-dalam. Sebab pusingnya kembali datang, hidungnya sudah kembali tersumbat dan tak lupa dengan batuknya yang sudah terdengar.

Air matanya tak kunjung berhenti, sebab ia tak pernah suka dengan sakit.

Rey benci sakit.

Seharusnya besok adalah hari paling bahagianya dengan Samudra. Rencananya untuk menghabiskan waktu bersama selama dua hari hilang begitu saja sebab dirinya yang demam.

Tak ada lagi kegiatan mereka merayakan anniversary-nya.

Hari yang bisa Ia lakukan, sekali dalam satu tahun, hancur begitu saja.

Namun, tepat saat ini, atmosfer keduanya, tidaklah baik. Pikiran tentang rasa sayang satu sama lain kembali menjadi pertanyaan.

“Kamu udah ga sayang aku kan? bilang aja. Kamu mau udahan sama, udahin sekarang aja. Aku tau kamu mau putus, tapi nunggu aku yang putusin kan?”

“Apaansih, ngawur banget ngomongnya” Samudra memotong.

“Buktinya kamu udah satu bulan kamu ga pulang? kamu di Depok terus. Kamu ga kangen aku. Waktu aku pengen samperin kamu ngelarang aku. Terus sekarang waktu ketemu kamu malah begini bikin aku marah, bukannya sayang-sayangin aku.”

“Iyaaa, nanti aku sayang-sayangin, sekarang minum obat dulu yaa, Reyy?”

Rey menggeleng, “Ya Tuhan, aku masih sayang kamu, Reeeyyy. Sekarang minum obatnya yaa sayang?”

“Yaa ga mauuuu, nanti aku tidur, abis itu kamu pulang, aku ga mau kamu pulang!”

“Engga pulang, Rey, aku tidur sini. Udah bilang Mama tadi.”

Rey mengelap kedua matanya dengan senyum yang mulai bermekaran, matanya berbinar dengan pantungan cahaya lampu yang membuatnya seperti anak anjing yang sedang bahagia, “beneran?”

Samudra mengangguk, “Iyaaa, sekarang mau yaa minum obat?”

“Okeee, tapi sebentar, aku kunci lemari dulu, biar kamu ga bisa pulang karena masih telanjang.”

Samudra terkekeh dan mulai menyiapkan obatnya.

“Mau peluk.” ucap Rey sehabis meminum obatnya dengan nada memohon dan kedua tangan yang di rentangkan.

“Buka baju kamu, Rey.”

Tangan yang tadi direntangkan, sekarang sudah menyilang di dadanya, akibat dari kalimat yang lontarkan Samudra, “h-hah? ngapain? aku cuma minta peluk, ga minta yang lain.”

“Besok jadi jalan gaa?” Rey mengangguk, “Yaudah cepatan buka bajunya.”

“Tapi kamu masih sayang sama aku kan? ga mau putusin aku?” Rey kembali melontarkan pertanyaam berulang yang sudah dijawab sebelumnya sama Samudra, “Masih sayaaang, Ya Tuhan. Aku sayang banget sama kamuu and I'm planing to do so for the next years.”

Rey tertawa gemas, “Aku cuma pastiin aja, aku takutnya habis kita berhubungan kamu mau ninggalin aku.”

Ucapan Rey yang frontal cukup membuat telinga Samudra memerah. Sunggu Samudra tak pernah berimajinasi sampai sana, memikirkan saja sungguh membuatnya seperti orang jahat, “Siapa yang mau berhubungan bocah!”

Rey tertawa renyah melihat respon Samudra sembari membuka bajunya, yang membuat keduanya sekarang bertelanjang dada.

Lantas dalam seperkoan detik, Samudra menyesali keputusannya. Seharusnya Samudra tak mempunyai ide untuk seperti ini, seharusnya Samudra tidak...

“Aku udah telanjang anjing, lu kenapa diam?”

Samudra kembali tersadar dari pikiran dewasanya. Ia telan beberapa ludahnya untuk megurangi gugupnya.

Ia berdehem sebelum meniduri dirinya di kasur, dan menepuk-nepuk dadanya, menyuruh Rey untuk tidur di pelukannya.

Rey tersenyum senang, ia bawa dirinya masuk ke dalam dekapan sang pacar, tanpa berkomentar, “Kenapa pelukan telanjang gini, Samu?” tanyanya sambil mendongakkan kepalanya agar bisa bertatapan dengan pemilik tubuh.

“Skin to skin method, sayang. Waktu aku masih bayi, aku diginiin sama Mama.” ucap Samudra, berusaha tenang.

“Tapi aku kan bukan bayi.”

Samudra menyapu rambut-rambut pacarnya yang menganggu muka cantik Rey, “Oh yaudah lepas lagi aja pelukannyaa.”

Rey menggeleng dengan cepat dan kembali menenggelamkan kepalanya ke dada Samudra, “Enggaa mauu, aku gapapa jadi bayi kamu terus.”

Celetukan Rey membuat Samudra tertawa, sungguh lucu melihat Rey yang sudah mode bayi ini “Panas banget kamu sayang, besok ga usah pergi yaa, istirahat ajaa okee?”

Rey menggeleng, sungguh hari anniversary tidak boleh di rusak oleh sakitnya yang sepele.

“Kita reschedule ke minggu depan ajaa yaa?” Rey kembali menggeleng, “ayolah Reeyy, kamu panas banget astaga. Besok aku seharian di sini deh yaa? aku peluk terus.”

Akhirnya Rey mendongak, sedikit tertarik pada tawaran dari Samudra, “Beneran yaa? Besok kamu di sini seharian?” Samudra mengangguk, “Habis itu minggu depan kamu ke sini lagi, pulang! jangan di Depok terusss, pacar kamu di sini!”

Samudra terkekeh, “Iyaaa pacar aku one and only anak Tambun.” Rey tersenyum mendengar pengakuan dari Samudra.

Sungguh, Ia rindu berduan dengan Samudra, hanya dirinya dan Samudra.

Dengan jarak yang sangat hanya berjarak satu jengkal, Rey inisitif untuk memajukan bibirnya dan memejamkan mata, “Mau kiss boleh?”

Dengan sigap Samudra menutup mulut Rey, lagi, “Skin to skin method, bukan mouth to mouth.”

Rey mendengus, “Ih sebal. Anniversary apaan tau ga ada ciuman?”

“Ada, minggu depan.” jawab Samudra yang dihiraukan oleh Rey. Ia malah menaruh atensinya pada telapak tangan Samudra yang tadi digunakan untuk menutup mulutnya, bekas gigitannya masih ada.

Rey mengusap tangan itu, sembari berucap “Maaf.” berkali-kali, “Sakit yaa?”

“Gapapaaa sayang, udah tidur ajaa yuu, udah minum obat harus tidur.” Samudra menjauhkan tangannya dari pandangan Rey, agar Rey tidak terlalu memikirkan tangannya yang masih sakit akibat gigitannya.

Namun Rey berusaha untuk meraih tangan pacarnya lagi untuk di kecupnya, “Habis dicium nanti langsung sembuh.” ucap Rey yang langsung membawa tangan Samudra untuk berada di genggaman tangannya.

Rey mencari posisi ternyamannya dalam posisi ini, dengan kepalanya yang berada di atas dada bidang Samudra dan tangannya yang masih setia menggenggam tangan Samudra.

Mata Rey terpejam sebab efek samping dari obatnya mulai menjemput. Namun dengan terpaksa, matanya kembali berbinar, sebab sebuah kecupan terasa di dahinya,

“Habis dicium nanti cepet sembuh.”