erryoun

Lampu kamar sudah mati, mereka berdua sudah pakai piyama dan siap-siap untuk tidur. Waktu Woo mau narik selimut untuk nutupin badannya, Yon tiba-tiba nahan sebelah tangannya. Itu bikin dia kaget berlebihan.

“Bang, mau aku pijitin dulu gak?”

“T-tidur aja, Yon. Kamu 'kan capek.”

“Nggak,” Yon bergerak makin mendekat, punggung tangan Woo dielus-elusnya lembut. “Kemarin aku janji mau pijitin Bang Woo tiap malem.”

“Gak usah,” Woo nunduk dalem banget. Dia berusaha narik tangannya dari genggaman Yon. Semakin dia berusaha menjauh, Yon bergerak makin deket. Hidung mereka sampe bersentuhan.

“Bang Woo kenapa kupingnya merah?” bisik Yon sambil main-mainin sebelah telinga Woo.

Woo diem, masih berusaha ngejauh dari Yon meskipun dia udah mentok di ujung kepala ranjang. Yon mulai iseng. Tangannya menelusup ke dalam celana pendek Bang Woo, lalu pahanya diremes-remes. Itu bikin Woo langsung lemes, dia cuma bisa gigit bibir sambil nahan diri supaya nggak bunyi.

Yon diem. Bang Woo ini beneran disentuh doang sama dia langsung lemes badannya. Gemes banget.

“Bang,” Yon berbisik sensual. “Aku cium ya?”

Woo diem. Lumayan lama. Tapi dia menggeleng kecil kemudian.

“Masa sih, nggak mau?” Yon makin menghimpit Woo ke dinding.

“Nggak,” Woo dorong bahu Yon pelan.

Yon diem, ngeliatin wajah Woo yang separuhnya ketutup poni panjang itu lamat-lamat. Yon tahu, Woo juga punya perasaan yang sama. Dia juga suka sama Yon, tapi ekspresi wajahnya juga ngeliatin hal lain. Dia masih ragu. Yon udah pernah kecewain dia dan itu bisa aja terjadi lagi.

Yon bisa aja memanfaatkan kelemahan Woo sekarang, tapi dia gak memilih untuk bertindak gegabah. Dia bakal buktiin bahwa sekarang cuma Woo yang mengisi hatinya dan dia gak akan mengulangi kesalahan yang sama. Dia bakal hilangin sepenuhnya keraguan di kepala Woo.

Chu.

Woo kaget banget. Yon baru aja mencium puncak kepalanya. Woo angkat kepalanya, lalu tatapan mereka bertemu.

“Ayo tidur Bang, besok kerja dari pagi.”

Yon senyum. Ganteng banget.

Yon ngejauh, lalu narik selimut untuk mulai tidur.

Woo? Udah jelas basah, hatinya ambyar, dan wajahnya kerasa panas banget.

“Oh, tidak ... tidak ... ini tidak bagus ...”

Hangyul berjalan ke sana-ke mari dengan panik, tapi tidak satupun masalah tertanganinya dengan benar. Di samping mesin blender yang memuntahkan sirup buahnya ke mana-mana karena Hangyul lupa menutupnya sebelum dinyalakan, ada juga daging beef yang gosong dan mengepulkan asap hitam di atas panggangan. Ketika membuka panci masak pun, Hangyul harus menelan air ludahnya lebih keras karena oden yang direbusnya menjadi lembek dan terlihat tidak bisa dimakan. Dan, jangan lupakan sisa-sisa potongan sayuran dan cipratan saus tomat yang membuat penampilan dapur itu semakin tidak berbentuk.

Hangyul pikir kemampuan memasaknya tidak seburuk itu. Teman-teman selalu memuji ramyun buatannya padahal.

Hangyul menutup wajahnya, frustasi. “Apa yang harus aku lakukan ...” Dia menggigit bibirnya, gugup.

Di tengah-tengah kebingungan itu, tiba-tiba saja pintu apartemennya terdengar dibuka dari luar, bersamaan dengan suara seseorang yang melangkah masuk. Hangyul tiba-tiba merasakan kedua kakinya melemas. Ini tidak bagus. Ini benar-benar tidak bagus. Seharusnya Hangyul tidak perlu berinisiatif untuk membuat makan siang sejak awal, seharusnya dia diam saja dan menunggu Wooseok pulang seperti biasa—

“Hangyul- ... ah.”

—Wooseok berdiri di ambang pintu dapur dengan membawa beberapa kantung belanja, sapaannya terhenti di tengah jalan karena Wooseok benar-benar terkejut dengan penampilan dapur apartemen mereka yang ... sudah sulit dijelaskan.

Hangyul membatu selama beberapa detik, dia takut Wooseok akan marah padanya. Wooseok biasanya tidak pernah membiarkan Hangyul memasak, bahkan menyentuh pisau dapur pun dia tidak mengizinkan. Wooseok lebih suka membiarkan ruangan dapur mereka jadi pajangan saja dan memesan makanan melalui layanan pesan antar pada akhirnya karena mereka berdua sama-sama tidak biasa memasak. Mungkin Wooseok tahu hal seperti ini akan terjadi, seharusnya Hangyul menjadi anak baik dan mendengarkannya.

Hangyul menunduk, lalu membungkuk dalam-dalam, dia tidak sanggup menatap mata Wooseok. “Kak, j-jangan marah ... aku akan membereskan semuanya dengan cepat, aku janji.”

Wooseok tidak menjawab dan selama keheningan itu pula Hangyul merasa semakin gugup. Biasanya suaminya itu sangat cuek, tapi Wooseok bisa jadi sangat menakutkan saat sedang marah. Hangyul juga tidak mau pergi tidur tanpa peluk hangatnya malam nanti.

Wooseok kemudian berjalan mendekat, meletakkan kantung belanjanya di atas meja makan, lalu berdiri tepat di hadapan Hangyul. Wooseok tidak juga mengatakan apapun, dia justru meraih kedua tangan Hangyul, lalu menggenggamnya di depan dada.

Hangyul mengangkat kepalanya perlahan-lahan.

“Inilah kenapa aku tidak mau kau menggunakan pisau dapur,” Wooseok akhirnya membuka suara, seraya mengelus pelan jari-jari Hangyul yang penuh luka irisan. “Tapi, terima kasih sudah mencoba memasak untukku, Hangyullie.” Wooseok mengecup punggung tangan Hangyul beberapa kali, lembut dan hangat. Bersamaan dengan itu, Hangyul merasakan wajahnya memanas. Dia tidak menyangka dari pada kondisi dapur yang berantakkan, Wooseok lebih mementingan luka-luka irisan kecil Hangyul.

“Kak, sudah hentikan, i-itu memalukan.”

Wooseok tertawa, lalu mengacak-acak rambut laki-laki yang lebih muda darinya itu. “Lucu,” katanya singkat. “Ngomong-ngomong, kenapa tiba-tiba kau mau memasak? Kau bahkan tidak pernah memasak di hari ulang tahunku, atau di hari jadi kita.”

Pertanyaan itu Hangyul merasa malu untuk beberapa alasan. Dia mengembungkan pipinya. “Kak Jinhyuk bilang mantan pacarmu adalah perempuan cantik yang pandai memasak. Dulu waktu kuliah sering dibuatkan bekal makan siang, katanya.”

“Kau ingin menang darinya?” balas Wooseok dengan nada meremehkan.

Hangyul mengembungkan pipinya, “Ish, iya! Aku memang tidak ada manis-manisnya dan tidak bisa memasak!”

Wooseok tertawa renyah, “Bercanda,” katanya. “Aku tidak peduli soal itu. Kalau aku ingin seseorang yang bisa memasak, untuk apa aku menikahimu, Hangyul? Aku menyukaimu, aku menyukaimu yang seperti ini, yang tidak bisa memasak. Bahkan tanpa kau harus berusaha, kau sudah menang darinya,” katanya. “Dan siapa yang berani bilang kamu tidak ada manis-manisnya? Huh?” katanya sambil mencubit pipi Hangyul gemas.

Hangyul tertawa kecil, telinganya memerah dengan kentara tatkala Wooseok mencium bibirnya sekilas.

Wooseok tersenyum tipis. “Sekarang kita obati lukamu, lalu kita makan di luar saja.”

“Uh ... biar aku bereskan semua kekacauan ini dulu, Kak. Dapur jadi berantakkan karena aku.”

“Nanti saja, kau sudah lapar, ‘kan? Hari ini kau yang memilih menunya. Kita beli makanan favoritmu.”

Mendengarnya, wajah Hangyul berubah berbinar-binar. “Serius? Yess!! Ayo kita pergi sekarang, Kak!”

“Hei, tunggu! Kita obati du—!”

Seruan Wooseok terpotong ketika Hangyul bergerak mendekat dan mencium pipinya. “Kak Wooseok, aku sayaaaang padamu,” katanya, seraya melenggang pergi menuju kamar tidur mereka untuk mengganti pakaian dan bersiap-siap.

Wooseok membatu selama beberapa detik, lalu tersenyum dengan rona merah tipis di pipinya. “Tidak ada manis-manisnya, katanya?” desisnya pelan.

Di antara napas memburu dan nyeri memerih di sekitar wajah, Lee Hangyul berdiri tegap, begitu gagah berani di antara tubuh-tubuh yang tidak sadarkan diri di bawah kakinya. Angin malam itu bertiup cukup kencang, Hangyul harus mengernyit beberapa kali karena udara dingin membuat lukanya terasa sedikit lebih menyakitkan dari biasanya. Tapi, seperti biasa, dia akan pulang dalam keadaan seperti ini. Mungkin akan disambut dengan tanda tanya ibu panti, atau adik-adik kecilnya yang merengek khawatir. Meskipun tahu dia akan menghadapi sesuatu seperti itu setiap kali terlibat perkelahian di jalanan, Hangyul tetap selalu melakukannya. Dia tidak bisa menahan diri.

Atau, tidak. Belum seperempat jalan menuju panti asuhan tempatnya tinggal, langkahnya terinterupsi ketika sebuah motor besar berhenti tepat di pinggir trotoar tempatnya berjalan. Hangyul mengangkat wajahnya. Lalu kedua mata besarnya yang bengkak sebelah karena luka lebam itu bertemu dengan kedua mata tajam Seungyoun yang meneduhkan dalam berbagai cara. Laki-laki itu tertawa, seperti sudah maklum melihat Hangyul berjalan pulang dengan keadaan penuh luka. Lantas disodorkannya helm dan sebuah kantung belanja pada Hangyul tanpa mengatakan apa-apa.

Hangyul memakai helmnya dengan ragu. Lalu kantong belanja itu diintipnya sekilas. “Apa ini?”

“Obat luka, plester, dan camilan.”

Hangyul tertawa. “Susu pisangnya banyak sekali.”

“Kesukaanmu,” Seungyoun ikut tertawa kecil. “Ayo naik.”

Hangyul segera naik ke atas motor Seungyoun, menatap punggung laki-laki yang lebih tua darinya itu lamat-lamat. Dia terpana. Tentang Seungyoun yang bisa mengerti banyak hal tentang dirinya tanpa perlu banyak-banyak diberi tahu, tanpa perlu mereka berdua mengatakannya. Seperti sekarang, Seungyoun membeli obat luka karena tahu dia pasti akan menemukan Hangyul dalam keadaan babak belur, dia juga membeli banyak camilan kesukaan Hangyul karena tahu dia akan merasa haus dan lapar setelah menguras banyak tenaga karena berkelahi.

Hangyul melunturkan lamunannya sendiri ketika Seungyoun menyalakan mesin. Seungyoun melajukan motornya pelan-pelan, seperti membiarkan suasana tetap tenang dan hening, menikmati setiap detik ketika angin malam menerpa wajah dan bagaimana Hangyul mencengkram ujung jaketnya supaya dia tidak jatuh.

“Maaf ya,” Seungyoun berujar pada akhirnya, lembut tapi Hangyul masih bisa mendengarnya. Saat itu Hangyul menyadari Seungyoun tidak melajukan motornya melalui jalan untuk pulang ke panti asuhan, tapi Hangyul tidak menanyakan apapun soal itu. Bersama Seungyoun, bahkan diajak masuk ke hutan belantara pun Hangyul akan tetap merasa aman.

“Kenapa minta maaf?”

“Aku baru bisa menemuimu malam-malam begini.”

Hangyul mengerutkan alisnya. Dia menatap punggung Seungyoun sekali lagi, lalu menyadari bahwa Seungyoun memakai seragam di balik jaket motornya. “Seharusnya Kakak istirahat saja. Baru pulang pelatihan karyawan, 'kan?”

“Hm,” Seungyoun berujar tidak jelas. “Kamu seharian melakukan apa saja?” tanyanya, seperti tiba-tiba mengalihkan topik.

“Seperti biasa,” balas Hangyul sekenanya. “Pergi sekolah, pulang sebentar, lalu ... ya, tadi aku bertemu orang-orang menyebalkan di jalan. Itu bukan salahku bahwa mereka membuat takut siswi SMA yang lewat.”

Seungyoun tertawa. “Aku tahu. Itu bukan salahmu,” katanya. Lantas dia menghembuskan napas, begitu berat seperti ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. “Tidak ada yang ingat,” katanya tidak jelas. “Kamu sendiri bahkan tidak ingat.”

“Apa maksudmu?”

“Selamat ulang tahun, Hangyul.”

Hangyul terdiam, terkejut sendiri. Sungguh, dia benar-benar tidak ingat.

“Aku seharusnya mengatakannya lebih awal. Seharusnya aku mengajakmu jalan-jalan dan makan enak, tapi tidak bisa. Besok pun harus pergi pagi-pagi.”

“Kakak,” Hangyul berujar cepat. “Tidak perlu melakukan itu. Terima kasih sudah mengingat hari ulang tahunku,” katanya. Hangyul mencengkram ujung jaket Seungyoun lebih erat tanpa sadar. Tidak seperti anak lain, Hangyul tidak pernah punya sebuah hari spesial setiap tahun. Dia tinggal di panti asuhan, itu wajar sekali bahwa ibu panti tidak akan mengingat hari ulang tahun setiap anak. Hangyul bisa memaklumi itu. Bertahun-tahun dia melewati setiap hari ulang tahunnya tanpa menganggap hari itu spesial sama sekali. Sampai dia bertemu Seungyoun, anak orang kaya yang tinggal tidak jauh dari rumah panti. Seungyoun tidak pernah melupakan hari ulang tahun Hangyul sejak pertama kali dirinya bertanya kapan hari ulang tahun anak itu.

“Hangyul, kamu berhak bahagia.”

Hangyul mengangkat wajahnya, membalas dengan nada bingung, “Aku bahagia.”

“Maksudku, kamu berhak mendapatkan kebahagiaan yang sepadan,” katanya. “Kamu anak yang baik. Kamu berkelahi untuk memberi pelajaran pada orang jahat, kamu bekerja sambilan dan menabung untuk adik-adikmu di panti asuhan,” Seungyoun menghela napasnya. “Kamu tahu, kamu berhak untuk memikirkan dirimu sendiri sekali-kali. Mungkin kamu tidak mau bekerja, mungkin kamu ingin bermalas-malasan saja di kamarmu, mungkin kamu ingin menghabiskan seluruh tabunganmu untuk hal-hal yang kelihatan tidak penting. Itu tidak salah sama sekali. Itu wajar saja kamu punya keinginan-keinginan seperti itu.”

Hangyul membuka mulutnya seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi ditelannya kembali kata-kata itu. Dia tahu, setiap orang bisa memiliki banyak keinginan. Tapi Hangyul menahan dirinya sendiri nyaris tanpa sadar. Karena dia tahu dia tidak berhak, dia hanya seorang anak yang tumbuh dari panti asuhan. Dia tidak punya orang tua untuk meminta, untuk merengek. Dia harus menjadi pribadi yang mandiri untuk kelangsungan hidupnya sendiri.

“Aku tahu apa yang kau pikirkan.”

Hangyul mengangkat wajahnya lagi. “H-hah?”

Seungyoun tertawa kecil. “Bersikap egois satu hari saja tidak apa-apa. Ini hari ulang tahunmu.”

“Kenapa kau peduli?”

“Karena kamu membuatku bahagia,” jawab Seungyoun pelan. “Mungkin ini akan terdengar menggelikan, tapi dari pada uang Ayah, dari pada semua baju mahal di dalam lemari pakaianku, satu-satunya hal yang bisa membuatku sangat bahagia adalah melihat Hangyul tersenyum.”

Hangyul terdiam. Wajahnya memanas pelan-pelan. Hatinya terasa hangat sekali untuk beberapa alasan.

“Aku tidak mau hanya aku sendiri yang merasa bahagia. Aku mau Hangyul juga merasa bahagia.”

“Aku mau ...” Hangyul menghela napasnya, jaket Seungyoun dicengkramnya semakin erat. “Aku mau Kak Seungyoun mengingat hari ulang tahunku, aku ingin Kak Seungyoun menjemputku pakai motor malam-malam, aku ingin Kak Seungyoun membelikanku susu pisang yang banyak.”

Seungyoun tertawa mendengarnya. “Kalau itu, kamu sudah mendapatkannya, 'kan?”

“Iya,” Hangyul berujar tipis. Dia mendekatkan tubuhnya pada punggung Seungyoun, lalu memeluknya lembut dari belakang. Hangyul menyembunyikan wajahnya yang terasa hangat itu dalam-dalam. “Terima kasih, Kak.”

“Aku kira kamu akan meminta sesuatu yang mahal seperti ponsel baru misalnya.”

“Tapi sama sepertimu, bahagiaku juga adalah Kak Seungyoun.” Karena hanya Seungyoun yang mengingat hari ulang tahunnya, hanya Seungyoun yang rela menjemputnya malam-malam meskipun dalam keadaan superlelah setelah ikut pelatihan seharian, hanya Seungyoun yang pernah bertanya apa Hangyul baik-baik saja, apa Hangyul bahagia dengan keadaannya sekarang.

Mendengarnya, Seungyoun ikut merasakan wajahnya memanas. Bahkan angin malam yang begitu menusuk kulit tidak mampu mendinginkan kepalanya. Lantas tidak lama motornya ditepikan di pinggir jalan, lalu Seungyoun turun dari motor sambil melepas helm. Tanpa mengindahkan ekspresi heran Hangyul, dia melepas helm Hangyul, lalu memeluk laki-laki yang lebih muda darinya itu erat-erat.

Hangyul balas memeluknya tidak kalah erat, membiarkan situasi hening mendera cukup lama. Mereka berdua menikmati itu, tanpa kata, tanpa suara. Hanya ada mereka berdua di bawah gelapnya malam dan samar-samar lampu jalanan yang temaram.

“Kak, sayang sekali langitnya tidak berbintang malam ini,” Hangyul bergumam nyaris tanpa sadar.

Seungyoun menjauhkan tubuhnya sejenak, tertawa begitu manis sambil menjawab, “Begitu? Ini aku lihat bintang paling bersinar yang pernah ada,” katanya sambil menangkup wajah Hangyul dengan kedua tangannya.

“Kak Seungyoun jijik, ih,” balas Hangyul sambil menepis tangan Seungyoun tidak acuh. “Wajah babak belur begini ...”

“Justru kamu kelihatan keren sekali kalau habis berkelahi,” katanya “Kamu 'kan jagoan.” Seungyoun mengangkat sebelah tangannya, mengelus helaian rambut Hangyul pelan-pelan. “Tapi sebenarnya aku khawatir. Orang di jalanan itu berbahaya. Kamu sering lupa memerhatikan keselamatanmu sendiri, itu tidak baik,” Seungyoun tersenyum jenaka sedetik kemudian. “Kalau kamu kenapa-napa, nanti aku menikah sama siapa?”

Hangyul tidak bisa berkata-kata wajahnya memerah sekali sampai ke telinga. Perut Seungyoun hampir secara refleks dipukulnya karena merasa begitu malu. Untungnya Seungyoun sempat menghindar sambil tertawa-tawa. “Ja-jangan dipukul dong, aku bakal langsung remuk kalau dipukul jagoan sepertimu.”

“Ha-habisnya Kakak ini bicara aneh!”

“Bicara aneh apanya?” Seungyoun tidak berhenti tertawa selama beberapa detik. Hangyul semakin cemberut dibuatnya. Merasa bersalah karena terlalu banyak tertawa, Seungyoun mengacak-acak rambut laki-laki yang lebih muda darinya itu kemudian. Seraya tersenyum manis dia berujar, “Maaf deh,” katanya. “Maaf juga sudah menculik kamu supaya bisa main motor-motoran sebentar. Kamu pasti lelah. Mau pulang?”

Sambil meraih ujung jaket Seungyoun, menarik-nariknya kecil, Hangyul menggeleng. “Tidak mau pulang,” katanya.

“Tidak mau pulang?”

“Hm,” Hangyul melempar tatapannya ke arah lain. “Mau diam di sini dulu, minum susu pisang dengan Kak Seungyoun.”

Seungyoun melebarkan senyum manisnya. “Kalau begitu sama, aku juga tidak mau pulang dulu,” katanya sambil mengambil kantung belanja dari pangkuan Hangyul. “Ayo dimakan camilannya.” Dia mengambil satu botol susu, lalu ditusukkan sedotannya sebelum diberikan minuman itu pada Hangyul.

Hangyul mengangguk kecil sambil menerima minuman itu. Seungyoun mengambil satu botol juga, lalu duduk di atas jok motor tepat di sebelah Hangyul. Sambil memandangi bening air sungai yang memantulkan warna hitam gelapnya malam di hadapan mereka, Seungyoun meraih sebelah tangan Hangyul, mengelus-elusnya pelan, saling berbagi kehangatan.

Mereka bilang, seorang Alpha Cho seharusnya bisa mendapatkan apapun yang dia inginkan.

Cho Seungyoun lahir dengan wajah yang tampan, bukan punya mata yang besar dan hidung terlalu mancung, tapi mata rubah dan hidung kecil yang menawan. Orang tuanya kaya, dia bisa kuliah di mana pun dia mau dan sekaligus menjalani hobinya di bidang cipta karya musik. Di kampus, dia terkenal sebagai seorang Alpha yang punya tubuh tinggi semapai, bahu lebar, dan selera berpakaian yang mengagumkan. Berganti-ganti pasangan hampir setiap bulan bahkan minggu bukanlah hal yang aneh lagi baginya.

Mendapatkan pacar Omega cantik adalah hal yang mudah. Tapi mendapatkan kasih sayang penuh seperti apa yang Seungyoun butuhkan, itu adalah urusan lain.

Seungyoun tidak pernah merasa penuh oleh luapan emosi, seperti kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutnya sampai dia bertemu si manis dua tahun lebih muda; sabuk hitam dari perguruan taekwondo milik kakeknya.

Namanya Lee Hangyul dan dia kelihatan seperti monster di atas arena tarung.

Tapi setiap kali Seungyoun mengajaknya bicara, mengajaknya makan siang, senyuman manisnya itu merekah. Hangyul jauh lebih polos dari yang Seungyoun duga. Dia bisa tertawa renyah untuk setiap kata yang keluar dari mulut Seungyoun dan itu benar-benar menggemaskan. Dia bahkan tidak pernah pacaran, tidak pernah pergi ke tempat hiburan malam. Mereka begitu berbeda, tapi Seungyoun justru belajar banyak dari keluguan Hangyul. Tentang rasa syukur, tentang kesederhanaan. Lalu tanpa sadar, Seungyoun sudah menjadi pribadi yang lebih baik sejak mereka berdua memulai hubungan.

Tapi, mungkin begitu sayangnya Seungyoun pada Hangyul saja tidak cukup.

Hangyul pergi begitu saja, tanpa jejak dan tanpa salam perpisahan. Seungyoun tidak tahu apa yang salah tentang mereka. Mungkin karena Seungyoun yang belum bisa berhenti merokok meskipun Hangyul sudah sering memarahinya soal itu, mungkin karena beberapa Omega di kampus masih sering menghubungi Seungyoun dengan iseng meskipun tahu Seungyoun sekarang sudah punya pasangan. Mungkin karena ... Hangyul bukan seorang Omega dan dia merasa tidak sepantasnya mereka bersama karena itu.

Tidak, sebenarnya Seungyoun tidak tahu apa gender ke-dua Hangyul. Setelah berpikir banyak-banyak tentang apa yang salah sambil menangis ditemani dua botol anggur merah, Seungyoun akhirnya sadar Hangyul tidak pernah memberitahu identitasnya sendiri. Dia terlalu tenggelam di dalam imajinasi, bahwa binar bahagia di kedua mata Hangyul sebenarnya bukan cinta sama sekali, mungkin dia hanya suka pada pribadi Seungyoun yang mudah mencairkan suasana, mungkin dia menganggap Seungyoun sekadar sebagai pelipur lara.

Atau, mungkin dia merasa kesepian. Seminggu penuh sebelumnya, Seungyoun sibuk sekali sampai hampir tidak bisa menjawab telepon Hangyul. Senin depannya, Seungyoun akhirnya bisa terbebas. Pesan dari Hangyul tetap tidak dibalasnya karena mau membuat kejutan di hari besar si terkasih. Di antara kursi penonton arena besar tempat turnamen taekwondo diadakan, Seungyoun duduk dengan kemeja super rapi dan satu buah buket bunga yang besar.

Tapi, coba tebak apa yang terjadi selanjutnya.

Bahkan ketika nama Hangyul di panggil untuk naik ke atas arena, laki-laki itu tidak kunjung muncul.

Seungyoun mencarinya seperti orang kesetanan saat itu. Ke sekeliling gedung, ke setiap sudut yang bisa ditemuinya. Dia bahkan langsung melesat ke apartemen Hangyul, untuk kemudian mendapati kosong, tidak ada satupun tanda-tanda keberadaan Hangyul.

Dua-tiga hari berikutnya, Seungyoun tidak berhenti mencoba menghubungi nomor Hangyul, meskipun akhirnya nomor itu tidak diaktifkan lagi oleh pemiliknya. Setiap pulang kuliah, Seungyoun selalu menyempatkan diri untuk pergi ke apartemen Hangyul, menunggu di depan pintu sampai malam menjemput meskipun akhirnya selalu harus pulang tanpa membawa sedikitpun petunjuk.

Seungyoun sudah memikirkan skenario terburuk seperti penculikan atau semacamnya. Tapi saat dia mendatangi panti asuhan tempat orang tua asuh Hangyul bekerja dan mengutarakan maksudnya untuk melapor ke polisi soal Hangyul yang tiba-tiba menghilang, ibunya justru bilang bahwa Hangyul baik-baik saja. Dia sudah menemukan pasangan, lalu memutuskan untuk pindah rumah dan berhenti taekwondo.

Saat itu, dunia Seungyoun terasa runtuh.

Kenyataan bahwa Hangyul bisa meninggalkannya begitu saja, kenyataan bahwa setiap kecupan dan pelukan yang mereka bagi bersama tidak ada artinya sama sekali bagi Hangyul, Seungyoun tidak pernah mengalami perpisahan semenyakitkan itu seumur hidupnya.

Apakah ini hukuman dari Tuhan?

Karena Seungyoun itu terlalu sombong, karena dia sudah menyakiti banyak Omega, berganti-ganti pasangan seperti sebuah papan permainan.

Kalau memang itu hanyalah sebuah hukuman, Seungyoun seharusnya bisa melupakan cintanya pada Hangyul satu-dua minggu setelahnya.

Tapi, nyatanya tidak.

Seperti takdir sedang memberitahunya bahwa Hangyul memang adalah orangnya, Seungyoun terus mengingatnya, bahkan setelah mulai mengencani orang lain lagi dia tetap mengingat Hangyul dan senyumannya yang polos.

Menyedihkan sekali.

Kalau teman-temannya tahu betapa Seungyoun tidak bisa melupakan mantan kekasih yang bahkan tidak jelas status gendernya, mungkin mereka semua akan menertawakannya.

Setiap bangun pagi dan membuat sarapan, Seungyoun selalu ingat telur dadar keju yang suka Hangyul buat untuknya. Setiap berkumpul dengan teman-teman, Seungyoun selalu ingat lelucon kecil yang selalu Hangyul lontarkan setiap mereka bersama. Setiap gelap malam menjemput, Seungyoun selalu ingat hangatnya Hangyul di dalam pelukannya, tidur dengan menyembunyikan wajah di dadanya.

Seperti saat ini pula, melihat sebuah keranjang besar penuh dengan buah apel dipajang di dalam swalayan, Seungyoun jadi mengingat Hangyul lagi.

Nyaris tanpa sadar, Seungyoun jadi mengambil plastik dan memasukkan banyak sekali buah apel ke dalam keranjang belanjanya.

Dulu, Hangyul suka membeli banyak sekali buah untuk Seungyoun supaya dia lebih banyak mengemil buah dari pada merokok.

Seungyoun merasakan kedua tangannya sedikit gemetaran. Ah, sial. Dia tidak boleh menangis di tempat umum seperti ini.

Untungnya, seseorang tiba-tiba menyenggol keranjang belanjaan Seungyoun. Itu membuat seluruh perhatiannya teralih. Lantas dia berbalik. Laki-laki yang menabraknya itu membungkuk sedikit untuk meminta maafㅡ

“Ma-maafkan aku.”

ㅡuntuk kemudian melebarkan tatapan matanya ketika bertemu pandang dengan Seungyoun.

Seungyoun merasakan jantungnya berdegup begitu kencang. Mereka sama-sama menjatuhkan keranjang belanja begitu saja ke atas lantai. Detik-detik itu terasa dilalui begitu cepat, Seungyoun tidak sempat memikirkan apapun kecuali kebahagiaannya yang sempat hilang beberapa minggu ini kini ada di hadapannya, dia berbalik pergi dan Seungyoun mengikuti larinya tidak kalah cepat.

“Hangyul!”

Seungyoun berteriak, mencoba membuatnya mungkin luluh dan memperlambat langkah. Tapi tidak, Hangyul berusaha menghindarinya seperti Seungyoun adalah ketakutan terbesar dalam hidupnya. Sampai akhirnya Hangyul kelelahan dan berakhir di sebuah gang sempit antara dua bangunan tinggi, Seungyoun menyudutkannya ke tembok, membuatnya tidak bisa lari lagi.

Hangyul mengatur napasnya sambil memegangi perut. Waktu itu Seungyoun baru sadar bahwa mantan kekasihnya ini ... sedang hamil.

“Pulanglah,” Hangyul berujar dingin. “Aku sudah bahagia bersama orang lain. Sebentar lagi aku akan melahirkan anak pertama kami.”

Itu menyakitkan. Meskipun Seungyoun sudah mendengar cerita dari ibu asuh Hangyul, itu terasa jauh lebih menyakitkan mendengarnya langsung dari mulut Hangyul.

“Aku tidak pernah tahu kamu seorang Omega.”

“Aku hanya main-main denganmu, Seungyoun. Aku rasa tidak perlu memberi tahu hal seperti itu.”

Sesaat sebelum Hangyul mengambil langkah menjauh, Seungyoun menahan bahunya, mencengkramnya sedikit terlalu kasar.

“Kamu pergi tanpa mengatakan apapun padaku.”

“Kamu tidak sepenting itu,” Hangyul menepis tangan Seungyoun yang menghalangi langkahnya.

“Di mana pacarmu yang baru itu?” Seungyoun mengikuti langkah Hangyul.

“Dia terlalu sibuk untuk meladeni mahasiswa tukang mabuk seperti kau!” Hangyul mempercepat langkahnya, tapi Seungyoun tetap mengikutinya.

“Begitu sibuknya sampai kau yang sedang hamil harus keluar untuk berbelanja?”

“Berbelanja bukan pekerjaan yang berat. Berhenti mengikutiku, Seungyoun!”

“Kenapa? Kenapa aku harus berhenti? Kenapa kau menghindariku?!”

Hangyul tidak menjawab, tapi dia mempercepat langkah. Mulai berlari. Seungyoun ikut mempercepat langkahnya melewati gang sempit yang mengeluarkan bau busuk di mana-mana itu.

“Berhenti berlari! Kau sedang hamil, apakah kau tidak sayang pada bayiㅡ”

Tepat ketika Seungyoun menyusul, menarik bahu Hangyul, dan membuatnya berbalik, Seungyoun merasakan hatinya hancur berkeping-keping seketika.

Seungyoun mengangkat kedua tangan, menangkup wajah Hangyul, mengusap air mata yang turun dengan deras di kedua mata Hangyul dengan ibu jarinya. Perlakuan kecil itu membuat air mata Hangyul turun lebih deras. Itu membuatnya mengingat semua kenangannya dengan Seungyoun, tentang sikap lembutnya, tentang peluk hangatnya.

Saat itu, Seungyoun tahu ada yang salah, ada sesuatu yang Hangyul sembunyikan darinya. Kedua mata Hangyul sejak dulu tidak pernah bohong. Binar cerah dari kedua matanya setiap kali bicara dengan Seungyoun adalah memang cinta, perlakuan manis Hangyul selama ini padanya memang karena sayang. Dan, air matanya saat ini adalah karena bukan kepalang rindu. Sama seperti Seungyoun, Hangyul juga benar-benar merindukannya.

“Hangyul,” Seungyoun berujar tipis, tatapannya melembut. “Aku pernah bilang, kau boleh menangis, kau boleh memelukku, kau boleh bercerita apapun padaku. Semua itu masih berlaku sampai sekarang.”

“Be-berhenti,” Hangyul bergerak mundur. “A-aku tidak pantas menerima perhatianmu.”

“Apa maksudmu?”

Hangyul tidak menjawab, hanya menggeleng kuat.

“Hangyul, jangan menghindar, aku mohon.”

“Kamu seorang Cho.”

“Lalu?”

“Keluargamu terpandang. Kau harus bersanding dengan Omega yang terhormat.”

“Kamu, kamu adalah Omega paling hebat yang pernah aku temui,” Seungyoun meraih sebelah tangan Hangyul. “Orang tuaku akan merasa bangga kalau tahu aku memacari seorang Omega pemegang mendali emas taekwondo.”

“Ya, apa gunanya satu lemari penuh piala dan mendali kalau aku sudah tidak lagi terhormat, Seungyoun?!” Nada suara Hangyul meninggi. “A-aku tidak tahu bayi ini ... siapa ayahnya,” air matanya turun menderas. “A-apa kau tidak memerhatikan bagian belakang leherku?” Hangyul berbalik sejenak. Waktu itu Seungyoun melebarkan tatapan matanya, tidak percaya dengan banyak sekali bekas gigitan di belakang leher Hangyul. “Orang tuamu akan langsung mengusirku begitu melihat banyaknya bekas gigitan yang bahkan bukan kau yang melakukannya. Omega nakal di klub saja tidak ada yang punya bekas gigitan sebanyak ini.”

“Pasti berat.”

Hangyul mengangkat wajahnya, bertemu pandang dengan kedua tatapan Seungyoun yang lembut.

Seungyoun tidak langsung melanjutkan, dia maju untuk membawa Hangyul ke dalam pelukannya, mengusap-usap kepalanya, tanpa sadar sudah membuat Hangyul menangis lebih banyak di bahunya. “Aku tahu kamu orang baik-baik, kamu bahkan tidak pernah ke tempat hiburan malam seperti aku. Aku percaya ini semua bukan salahmu.”

“I-ini salahku. Salahku yang bersikeras mau jadi atlit taekwondo meskipun tahu seorang Omega seharusnya tidak pantas.”

“Apa maksudmu? Semua orang berhak meraih cita-cita.”

“Seorang Omega seharusnya diam di rumah dan menjadi pelayan nafsu saja.”

“Hangyul, aku tidak suka kamu bicara seperti itu.”

“I-itu yang mereka bilang,” tangisan Hangyul semakin menderas. “Itu yang mereka bilang waktu mengikat tanganku dan menyetubuhiku bergantian.”

Seungyoun merasakan dadanya seperti dihimpit, Hangyul mengalami sesuatu semenakutkan itu dan dia tidak pernah tahu. Seharusnya Seungyoun bisa melindunginya, tapi nyatanya tidak.

“Mereka teman seperguruan yang baik sampai identitas bahwa aku seorang Omega bocor dan orang-orang tahu. Mereka mulai memandangiku dengan cara yang berbeda,” katanya.

“Mereka iri padamu, dikalahkan di setiap turnamen oleh kamu yang seorang Omega,” balas Seungyoun lembut. “Bukannya berlatih lebih keras, mereka malah melakukan hal seperti itu padamu. Orang-orang seperti itu seharusnya malu mengakui diri mereka sebagai seorang Alpha,” katanya.

Seungyoun mengangkat dagu Hangyul, mengecup bibirnya lembut. Lalu dipeluknya lagi Hangyul, begitu erat dan hangat.

“Hangyul, kamu bilang tidak tahu bayi itu anak siapa, itu anakku. Kalau tetangga bertanya siapa ayah dari bayi itu, katakanlah Cho Seungyoun ayahnya. Dan bekas gigitan itu, semuanya aku yang buat. Itu adalah tanda cinta dariku.”

“Ka-kau tidak boleh bertanggung jawab atas apa yang bahkan tidak sama sekali kau lakukanㅡ”

“Aku harus bertanggung jawab karena sudah gagal melindungimu.”

“Ini bukan salahmu, ini salah mereka. Seharusnya mereka yang menanggungnya.”

“Menanggung? Jangan menganggap bayimu sendiri sebagai malapetaka, dia adalah hadiah dari Tuhan,” Seungyoun menjauhkan dirinya sejenak, menatap lurus pada Hangyul. “Punya bayi dengan Hangyul adalah impianku,” katanya. “Hangyul memangnya tidak mau punya anak denganku?” Seungyoun berekspresi sedih dibuat-buat. Itu membuat Hangyul tertawa kecil melihatnya.

“M-mau,” katanya sambil menunduk malu. Hatinya terasa hangat sekali ketika Seungyoun mencium dahinya, bibirnya, lalu menunduk untuk mencium perut buncitnya.

Hangyul meraih sebelah tangan Seungyoun, menggenggamnya begitu erat. “Terima kasih,” katanya. Satu-dua tetes air matanya turun lagi, tapi bukan karena merasa sedih. Hangyul selama ini bertanya-tanya kenapa hatinya yang seperti batu akhirnya berlabuh pada Alpha seperti Seungyoun, Seungyoun yang suka pergi ke tempat hiburan malam, Seungyoun yang gaya hidupnya tidak sehat, Seungyoun yang suka berganti-ganti pasangan. Karena seburuk apapun Seungyoun, perasaannya pada Hangyul adalah murni dan tulus. Mereka, bersama, saling memperbaiki diri, saling menyempurnakan diri. Hangyul sejak lama sadar bahwa hanya Seungyoun yang bisa membuatnya merasa penuh, penuh oleh kasih sayang seperti ini.

Seungyoun tersenyum, lalu memeluk Hangyul lagi. “Aku yang seharusnya bilang terima kasih karena sudah memberiku kebahagiaan sebanyak ini,” katanya.

Hangyul balas memeluknya erat sekali. “Aku mencintamu.”

“Aku juga, Hangyul. Kamu semestaku.”

Kalau Han Seungwoo harus bertemu dengan sosoknya sendiri satu tahun yang lalu, mungkin dia tidak akan percaya dengan begitu banyak perubahan yang terjadi hanya dalam beberapa bulan saja. Semua itu berawal dari musim panas, dua cangkir kopi, dan seorang pria lebih muda bertato banyak. Namanya Cho Seungyoun dan dia punya senyuman paling manis yang pernah Seungwoo lihat.

Seungwoo dan Seungyoun adalah sebuah personifikasi dari dua ujung kutub magnet yang berlainan, sangat berbeda tapi saling memikat. Pertama kali datang ke studio tato milik Seungyoun, Seungwoo dibuat takjub tentang bagaimana Seungyoun mengekspresikan semua emosinya dalam karya seni dengan begitu sempurna. Seungyoun tidak seperti orang kebanyakan. Dia tidak pergi ke kantor setiap hari untuk duduk di depan komputer sampai malam. Hidupnya jauh lebih bebas dan liar dari pada itu. Bagi Seungwoo, Seungyoun adalah satu-satunya bunga yang mekar di antara padang rumput, menawan dan memikat, tumbuh dengan berani di antara orang-orang yang hidupnya jauh lebih monoton.

Seungwoo menganggap dirinya sendiri membosankan, tapi Seungyoun justru melihat kecantikan yang polos dari kedua mata Seungwoo yang menyipit ketika dia tertawa manis. Seungwoo itu seperti kanvas putih, dia kelihatan semakin dan semakin indah setiap kali ujung kuas tersapu di atas kulit pucatnya. Seperti ketika Seungyoun menciumnya, atau menggigit tengkuknya. Kulitnya memerah, di bawah desah dan getar tubuhnya. Seungyoun menyukai itu, lambat laun menemukan candu dari melukis di atas tubuh Seungwoo.

Lantas Seungwoo, yang seumur hidupnya tidak pernah berpikiran untuk memiliki tato, akhirnya punya tiga buah yang mana semuanya bisa tertutup dengan kemeja kerja sehingga orang lain tidak banyak yang tahu. Seungyoun tidak pernah memaksa, tapi Seungwoo tahu dia ingin menjadikan Seungwoo sebagai maha karya paling membanggakan untuknya. Tato pertamanya adalah di dada, Seungwoo tidak pernah berpikir itu terlalu spesial sampai tatapan Seungyoun padanya sedikit berubah. Seungyoun selalu menatapnya dengan penuh pukau seperti Seungwoo adalah karya seni paling indah di dunia. Lalu Seungyoun akan menariknya, lalu menciumnya, berbisik di setiap sela cumbu, tentang betapa indah dan cantiknya Seungwoo, memancing rona hingga hatinya terasa seperti dibakar. Lantas, ketika Seungyoun bilang dia ingin menggambar di atas kulit Seungwoo lagi, Seungwoo menanggalkan pakaiannya sendiri begitu saja.

Andai saja semesta tahu, betapa besar Seungyoun mencintai Seungwoo dan bersyukur bisa memiliki hatinya. Mungkin Seungyoun tidak seperti orang kebanyakan, mungkin Seungwoo awalnya tidak tahu apa yang bisa dibanggakan dari coretan jarum tinta di atas kulit, tapi Seungwoo memahami perbedaan di antara mereka dengan cara yang manis. Dia tahu setiap tusukkan jarum yang Seungyoun goreskan di kulitnya adalah sebuah simbol cinta. Dia mengerti bahwa cara Seungyoun mengekspresikan emosinya adalah sendikit berbeda dari orang lain. Tidak sekadar dengan bunga, tidak dengan cokelat, Seungyoun justru memandang cinta sebagai sesuatu yang jauh lebih sakral dan Seungwoo merasa seperti menjadi orang paling spesial di dunia karena itu.

Seungwoo ingin Seungyoun tahu bahwa perasaannya adalah sama besar. Makanya datang pada suatu waktu, tatkala studio tato sudah ditutup beberapa puluh menit yang lalu, Seungwoo menyerahkan dirinya ketika Seungyoun mengajaknya bercumbu berbagi peluh. Tidak butuh waktu terlalu lama sampai mereka sama-sama melucuti baju, lalu saling berbagi kenikmatan di balik pintu. Seungwoo sedang tidak bisa berpikir jernih, berusaha menahan begitu banyak nikmat ketika Seungyoun tiba-tiba menghadiahinya ciuman manis dan sepasang anting-anting emas putih yang berkilauan di bawah cahaya lampu.

Merah, merah sekali wajah Seungwoo sampai kedua belah bibirnya tidak berhenti gemetaran.

Seungyoun mencium bibir Seungwoo sekilas, lalu memeluk tubuh yang duduk di atas pangkuannya itu erat-erat. “Aku tidak memintamu memakainya, simpan saja baik-baik.”

“A-aku akan memakainya.”

Seungyoun terdiam sejenak. “Telingamu harus dilubangi kalau begitu.”

“Kau tidak bisa melakukannya?”

“Aku bisa,” jawab Seungyoun sedikit tegas. “Itu akan sakit.”

Seungwoo memejamkan matanya erat-erat, berusaha menahan desah kecil supaya tidak lolos dari mulutnya ketika Seungyoun menggerakkan pinggulnya, membuat kemaluannya menyentuh titik lemah Seungwoo beberapa kali karena itu. “Kau sudah sering membuatku merasa sakit.”

“Kau tidak suka?”

A-ahhㅡa-aku suka.”

“Kalau begitu,” Seungyoun berbisik tepat di telinga Seungwoo. “Bagaimana kalau aku menindikmu di sini saja?” katanya sambil membelai dada Seungwoo, lalu memain-mainkan puting susunya yang tidak berhenti menegang. Darah Seungwoo berdesir hebat hanya dengan membayangkan Seungyoun akan menusukkan jarum di sana, itu membuat sekujur tubuhnya gemetaran hebat.

“A-aku ti-tidak tahu ...”

“Jangan melakukannya kalau kau takut,” Seungyoun memeluknya lagi, membenamkan wajah Seungwoo di ceruk lehernya.

“A-aku akan melakukannya.”

“Kau yakin?”

“Kau pikir aku akan cocok dengan itu?”

“Tentu,” Seungyoun mengusap dan mengecup puncak kepala Seungwoo. “Tapi, kamu yang seperti ini saja sudah sangat indah.”

“A-aah,” Seungwoo mendesah kecil ketika Seungyoun menyentak bagian dalam tubuhnya lagi. “Youn, a-aku mauㅡ” katanya sambil menggerakkan pinggul, mencari kenikmatan lebih banyak dari kemaluan Seungyoun yang mengeras. Lantas Seungyoun tersenyum, lalu menyandarkan tubuhnya pada Seungwoo.

Sayang, kamu sempurna. Aku tidak mengerti bagaimana kamu bisa terus bertambah sempurna dan membuatku gila.”

Seungwoo tidak sempat memberikan reaksi apapun. Seungyoun menjulurkan tangannya melewati meja kerja, membuka dan merogoh laci peralatan untuk mengambil alat penindik, satu yang masih baru dan belum dibuka sama sekali bungkusnya. Seungwoo menelan air ludahnya sendiri gugup ketika Seungyoun membuka sepenuhnya plastik mika yang membungkus benda itu, lalu jarumnya yang lumayan besar berkilat-kilat di bawah cahaya lampu.

Seungyoun berusaha melakukannya dengan tenang. Padahal ini sama sekali bukan pengalaman pertamanya menindik orang lain, tapi Seungwoo membuat jantungnya berdegup begitu kencang seperti dadanya mau pecah saja. Ketika Seungyoun mengarahkan jarum itu tepat di puting susu kiri Seungwoo, kedua kaki Seungwoo gemetar hebat di atas pangkuan Seungyoun dan itu membuatnya merasa semakin gugup.

Seungyoun meraih sebelah tangan Seungwoo, menautkan jari-jari mereka. Seungwoo balas menggenggam tangannya sedikit terlalu erat.

Klik.

Ketika Seungyoun betul-betul menekan benda itu, membuat jarumnya menjepit dan menusuk puting susu Seungwoo sedikit perlahan, Seungwoo menggigit bibirnya keras sekali, tapi rintihannya tetap lolos begitu saja dan kedua kakinya bergerak-gerak gelisah. “Ah-aahhㅡahh, s-sakit, sakit,” katanya tanpa henti.

Seungyoun mengangkat tangannya, menangkup wajah Seungwoo supaya tatapan mereka bertemu. Lalu dibawanya Seungwoo ke dalam sebuah cumbu yang dalam, yang lembut dan membuai. Seungwoo meneteskan air matanya saat itu karena tidak kuat menahan rasa sakitnya. Tapi lidah Seungyoun yang membelai bibirnya sedikit mampu membuatnya berhenti gemetaran.

Seungyoun menatap kedua mata Seungwoo yang basah dengan begitu intens ketika cumbu itu dilepasnya. Seungwoo masih terisak kecil, masih menggigit bibir bawahnya yang sudah membengkak. Dia kelihatan sangat cantik kala itu.

Lantas dibawanya Seungwoo turun dari kursi itu, kedua tungkai Seungwoo sudah terasa lemas sekali dan dia hanya bisa menyeret kakinya tanpa protes. Seungyoun mengisyaratkan Seungwoo untuk membungkuk, menungging dengan menumpu pada meja kerja. Kejantanan Seungwoo menegak sempurna ketika Seungyoun menyetubuhinya lagi di sana. Seungyoun menahan pinggang Seungwoo kuat-kuat, membantunya supaya tidak jatuh melemas ke atas lantai.

“Ah! Aaahㅡsa-sakitㅡ”

Seungwoo merintih kencang ketika Seungyoun menarik-narik kecil anting-anting yang sudah dipasangnya entah sejak kapan. Kejantanan Seungwoo tersentak kecil setiap kali Seungyoun menarik-narik anting di puting susunya. Itu benar-benar kelihatan menggemaskan.

Lantas Seungwoo klimaks sedikit-sedikit di antara rintihan kecilnya yang indah. Seungyoun membawa tubuhnya berpindah sedikit, menumpu pada dinding yang dipasang sebuah kaca besar. Seungwoo menunduk dalam-dalam secara refleks, tapi Seungyoun memaksanya mengangkat wajah. “Sayang, lihat,” katanya. “Kamu cantik.”

Sama seperti pikirannya, Seungwoo merasa berantakkan. Tidak ada putih pucat yang tersisa dari sekujur tubuhnya yang memerah, kejantannya tidak berhenti melelehkan cairan sperma, danㅡyang paling menarik perhatianㅡadalah anting-anting pemberian Seungyoun yang sudah menancap manis di dada kirinya. Ada sedikit noda bekas darah di sekitar sana, tapi dia kelihatan sangat seksi dengan itu.

Tenpa menunggu reaksi apapun dari Seungwoo, Seungyoun mulai menyetubuhinya lagi, kali ini sedikit kasar. Seungwoo berkali-kali nyaris jatuh melemas ke lantai, tapi Seungyoun memeluk tubuhnya erat-erat, menciumi ceruk lehernya banyak-banyak. Seungyoun berkali-kali mencoba mengangkat wajah Seungwoo supaya melihat ke kaca cermin, itu membuat Seungwoo malu setengah mati melihat dirinya sendiri melemas tidak berdaya di dalam pelukan Seungyoun.

Tidak lama, Seungyoun menemu pelepasannya, dia keluar lumayan banyak menenuhi lubang Seungwoo. Seungwoo mendesah kecil ketika merasakan basah dan hangat memenuhi tubuhnya dari bawah sana, itu menggelitik perutnya dalam berbagai cara. Dia jatuh melemas, terduduk di lantai pada akhirnya, Seungyoun ikut melakukannya, masih menahan tubuh bagian atas Seungwoo supaya tetap tegak. Maka dipeluknya Seungwoo kemudian, membiarkan lelaki yang lebih tua dua tahun darinya itu melepas lelah, bersandar padanya.

Seungyoun mengelus kepala Seungwoo sejenak, lalu dikecup satu per satu semua tatonya. Dibelainya dada Seungwoo pelan-pelan, Seungyoun mengecup juga anting-anting yang baru saja dipasangnya. Seungwoo mengernyit kecil karena luka itu masih terasa menyakitkan. Lalu, di antara seribu kecupan itu Seungyoun tidak berhenti berbisik,

“Han Seungwoo, kamu indah, kamu sempurna. Aku mencintaimu.”

Mereka bilang, jika saat kau berjalan-jalan di hutan kau melihat seseorang bertelinga runcing sedang melihat ke arahmu, maka kejarlah dia. Para peri itu ada dan mereka menunjukkan dirinya untuk mengantarkanmu pada belahan jiwamu.


Cuaca cerah sedikit berawan dan tidak ada angin yang terlalu kencang, hari itu adalah salah satu dari beberapa hari dalam sebulan di mana keadaan sangat bagus untuk memulai perburuan. Han Seungwoo menyiapkan semua peralatan, memasang dua-tiga jebakan di beberapa tempat yang sering dilalui rusa, lalu menutup tempat itu dengan dedaunan supaya tidak terlihat terlalu jelas seperti jebakan.

Sejak pergi dari rumah orang tuanya beberapa tahun yang lalu, Seungwoo melakukan rutinitas ini hampir setiap hari di sepanjang musim panas dan musim semi. Tidak ada bekal lain yang dibawanya dari rumah kecuali kemampuan berburu hewan hutan yang diajarkan sang ayah. Pada akhirnya, Seungwoo mau tidak mau melakukan ini terus-menerus selama sisa hidupnya untuk bertahan hidup.

Seungwoo pikir hari itu akan berjalan seperti biasa. Dia akan memasang jebakan, istirahat di dekat sungai sambil menunggu mangsa ada yang terjerat, lalu pulang di sore hari dengan membawa satu atauㅡjika dia beruntungㅡdua ekor rusa untuk dijual ke desa. Namun, kali ini agaknya berbeda. Biasanya Seungwoo akan langsung tertidur di atas rerumputan pinggiran sungai karena bosan, tapi matanya mendadak tidak merasa mengantuk ketika melihat seseorang berjalan pelan melewati sela-sela pepohonan.

Atau tidak, bukan seseorang.

Seungwoo pernah mendengar beberapa cerita tentang para peri. Mereka bilang, setiap orang akan melihat elf setidaknya satu kali dalam seumur hidup. Dulu, ibunya pernah bercerita bahwa dia dipertemukan dengan ayahnya karena mengejar elf yang berlari masuk ke hutan. Apakah sekarang adalah waktu Seungwoo? Apakah peri itu sengaja menunjukkan dirinya di hadapan Seungwoo untuk menuntun Seungwoo pada orang yang ditakdirkan untuknya?

Seungwoo pernah berandai-andai bahwa jika saatnya tiba dia melihat elf tepat di hadapan matanya, mungkin dia akan diam saja dan tidak mau mengejar elf itu. Dia tidak terlalu tertarik dengan hubungan percintaan dan dia belum terpikir sama sekali untuk menikah. Hidup sendirian tidak terlalu buruk, setidaknya untuk saat ini.

Namun, ketika saatnya tiba, saat di mana Seungwoo benar-benar melihat peri yang asli di hadapan matanya, Seungwoo bahkan tidak bisa sama sekali mengalihkan pandangannya.

Peri itu mengintip dari balik salah satu pohon, tapi Seungwoo bisa melihatnya dengan sangat jelas. Tidak ada ciri fisik apapun yang berbeda dari mereka jika dibandingkan dengan manusia, kecuali kedua telinganya runcing dan warna rambutnya putih seperti salju yang berkilauan.

Seungwoo pikir para peri itu bisa terbang, tapi ternyata tidak. Mereka tidak punya sayap. Seungwoo juga pernah berpikir mereka kecil, seukuran bunga tulip. Tapi tidak, peri yang berdiri di hadapannya ini tubuhnya tinggi, mungkin sama tinggi seperti Seungwoo.

Seungwoo tidak tahu kenapa, tapi ketika peri itu berlari masuk kembali ke dalam hutan, Seungwoo jadi mengikutinya hampir tanpa sadar. Seperti sudah tersihir, Seungwoo ikut melajukan larinya ketika peri itu berlari semakin cepat melewati ranting-ranting pohon yang lebat.

Satu-dua kali peri itu berbalik, menunjukkan tatapan matanya yang tajam namun berkilauan. Sepertinya kedua matanya berwarna berbeda dan itu adalah sepasang iris mata terindah yang pernah Seungwoo lihat.

Peri itu menuntunnya ke sebuah mata air, Seungwoo tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi tiba-tiba saja peri itu tidak lagi terlihat di manapun. Ketika melihat air yang mengalir keluar jernih di antara bebatuan, Seungwoo terpana dan hampir secara tidak sadar berjalan mendekat.

Dia tahu takdir sedang memainkan perannya karena ketika Seungwoo berjalan mendekati mata air, di balik pohon besar itu dia melihat punggung seorang gadis bergaun cantik yang sedang memanen jamur di sekitar sana.

Ini adalah saatnya? Apakah wanita itu adalah calon istrinya kelak?

Ketika kenyataan memukul kepalanya dan lamunannya luntur dalam sekian detik, Seungwoo berjalan mundur menjauh.

Ini bukan apa yang dia inginkan.

Dia berbalik, lalu berjalan setengah berlari untuk kembali masuk ke dalam hutan.

Baru dua langkah kembali masuk di antara pepohonan, Seungwoo menemukan peri yang tadi menuntunnya ke tempat ini. Dia sedang mengintipnya di balik pohon. Peri itu tampak sangat terkejut ketika Seungwoo memergokinya. Dengan panik dia berlari kabur, menjatuhkan sesuatu seperti busur panah berukuran kecil.

Seungwoo mengambil busur panah itu, lalu berlari tidak kalah cepat mengejar peri itu masuk kembali ke dalam hutan.

Kali ini terasa jelas bahwa peri itu memang berniat kabur, kecepatan berlarinya itu terasa bukan main. Seungwoo sudah sulit sekali bernapas, tapi tidak sama sekali jarak di antara mereka berkurang. Beberapa lama kemudian, Seungwoo sudah benar-benar merasa lelah, perlahan-lahan kecepatan larinya terus berkurang, maka peri itupun lolos dari pandangannya, hilang di antara pepohonan.

Seungwoo tidak tahu kenapa, tapi dia benar-benar menyesal sudah kehilangan jejak. Seungwoo benar-benar penasaran pada peri itu, rasa penasarannya itu jauh lebih besar dari pada rasa penasaran Seungwoo pada sosok calon istrinya di masa yang akan datang.

Tatapan mata Seungwoo teralih pada busur panah berukuran kecil yang sejak tadi digenggamnya. Peri itu yang menjatuhkannya. Busur panah itu kelihatan seperti busur untuk berburu biasa, kecuali sesuatu yang aneh adalah Seungwoo sama sekali tidak melihat peri itu membawa anak panah.

“Aaaah!”

Lamunan Seungwoo luntur seketika tatkala suara teriakkan seseorang yang cukup kencang itu terdengar samar-samar di antara dedaunan. Dengan penasaran Seungwoo mencoba berjalan sambil menerka-nerka dari mana arah suara itu berasal.

Seungwoo mulai kenal tempat di mana dia berjalan sekarang, bahkan suara air dari sungai yang biasa tempatnya tidur siang itu sudah terdengar. Seungwoo mulai merasa tidak enak ketika mendengar samar-samar rintihan sakit seseorang.

Ketika menyibak semak belukar yang menghalangi jalannya, Seungwoo seketika terkejut tatkala melihat perangkap berburunya menangkap sesuatu, tapi hal yang membuatnya sangat terkejut adalah perangkap itu tidak sama sekali menangkap rusa liar, karena makhluk yang sedang merintih kesakitan dengan kaki berlumuran darah di hadapannya adalah peri berambut putih yang tadi.

Dengan panik, Seungwoo mencoba membuka perangkap yang melukai kaki peri itu. Peri itu tampak sangat terkejut ketika melihat Seungwoo di hadapannya, dia mundur menjauh secara refleks, tapi kakinya yang terluka parah membuatnya mau tidak mau tetap diam di tempat.

Perangkap itu akhirnya terbuka, tapi elf itu tidak bisa berhenti merintih dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Tentu saja, meskipun sepertinya lukanya tidak terlalu dalam, kulitnya sepertinya robek sampai darah tidak juga berhenti keluar dari dalam sana.

Seungwoo menggendong peri itu, lalu membawanya ke tepi sungai. Seungwoo mendudukannya di atas batu besar, lalu membantunya mengalirkan air bersih ke luka tersebut. Setelahnya, Seungwoo menutup luka itu dengan kain yang dipotong dari lengan bajunya sendiri, mengikatnya kuat-kuat supaya tidak lagi darah keluar dari sana.

Luka itu sudah beres ditangani, tapi sepertinya itu sangat menyakitkan karena elf itu mulai menangis kecil. Seungwoo merasa tidak enak bahwa dia berpikir wajah menangisnya itu terlihat menggemaskan.

“Hei,” Seungwoo membuka suara pelan-pelan.

Dia tidak menjawab, malah menunduk dalam-dalam seolah tidak mau Seungwoo memerhatikan wajahnya terlalu lama.

“Hei, di mana rumahmu?”

Dia tetap tidak menjawab.

“Kau tidak bisa pulang sendiri dengan luka ini. Aku akan mengantarmu.”

Peri itu tetap menunduk. Seungwoo jadi sedikit kesal, maka dia menangkup wajah peri itu, mengangkat dagunya supaya tatapan mereka bertemu.

Dari dekat, iris matanya yang berkaca-kaca itu ternyata memang sangat indah dan berbeda warna. Kedua matanya berwarna cokelat seperti karamel, dengan mata kiri berwarna coklat yang lebih terang.

“Ti-tidak boleh,” peri itu akhirnya membuka suara. “Ti-tidak boleh ma-manusia ke perkampungan pe-peri.”

“Oh,” Seungwoo mengangguk kecil. Mungkin mereka memang sengaja merahasiakan banyak hal dari manusia. Meskipun Seungwoo sangat penasaran kenapa para peri mengembunyikan keberadaan mereka dan bagaimana rupa perkampungan peri itu, Seungwoo harus bisa menghargai peraturan mereka. “Lalu bagaimana?”

Peri itu menunduk. “Pergi saja,” katanya, sedikit terkesan mengusir Seungwoo. “Aku akan baik-baik saja.”

Seungwoo menyatukan alisnya. “Kau bisa memanggil teman-temanmu dari jarak jauh?”

Dia menggigit bibir, lantas dengan ragu menggeleng. “Ta-tapi tidak apa-apa. Aku akan segera pulang kalau sudah tidak terlalu sakit.”

“Jangan bercanda. Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian dengan keadaan seperti ini,” balas Seungwoo dengan sedikit penekanan. “Aku akan membawamu ke rumah.”

Peri itu tampak terkejut, dia menggeleng kuat. “Tidak, tidak perlu,” katanya.

Seungwoo mulai mengerti kenapa peri itu ingin mengusirnya. Mungkin memang ada peraturannya di kalangan para peri bahwa mereka tidak boleh terlalu lama berinteraksi dengan manusia. Ya, beberapa manusia itu menakutkan, mungkin mereka khawatir manusia akan merusak rumah para peri.

Seungwoo meraih kedua tangan peri itu, lalu mengusap-ngusapkan jempolnya supaya dia merasa hangat. “Dengar, aku tidak berniat jahat. Aku ingin bertanggung jawab karena lukamu itu karena perangkap yang aku pasang,” katanya. “Kalau memang ada hal-hal tentang para peri yang tidak boleh aku tahu, kau tidak perlu mengatakannya. Aku hanya ingin kau pulang denganku sekarang dan biarkan aku merawat lukamu.”

“Tapiㅡ”

“Aku juga tinggal sendirian. Rumahku ada di luar desa dan jarang sekali manusia lewat di sana.”

Elf berambut putih itu diam sejenak, seperti memikirkan matang-matang beberapa hal sambil menunduk dalam-dalam. Meskipun tampak sedikit ragu, pada akhirnya dia mengangkat wajah dan mengangguk kecil kemudian.

[tbc.]

Kang Minhee berjalan setengah berlari dengan raut wajah yang begitu berbinar-binar, semangat sekali dirinya menyusuri trotoar pinggir sekolah. Kakinya yang panjang membuatnya bisa mencapai jarak jauh dalam waktu singkat. Peluh sedikit mengotori seragam sekolahnya, tapi tidak ada sedikit pun dia memedulikan hal itu.

Sekian menit, Minhee berhenti berlari di dekat sebuah halte bis. Dia membungkuk lelah selama beberapa detik. Ketika mengangkat wajah dan mempertemukan tatapannya dengan senyum semanis madu dan seteduh pohon rindang, Minhee pikir semua rasa lelahnya menguap begitu saja bersama angin senja.

Dia berjalan mendekat, lalu berdiri begitu saia di hadapan Han Seungwoo dengan cengiran khasnya yang lucu dan menggemaskan. Mereka saling menautkan tangan, Minhee mengelus jari-jari tangan Seungwoo yang panjang dengan lembut dan hati-hati seolah Seungwoo adalah boneka kaca yang mudah pecah. Lantas senyuman di wajah Seungwoo melebar, kedua matanya menyipit. Dia kelihatan semakin indah saat itu.

Tidak lama, Minhee mengambil tempat di sebelahnya. Dia melepas tas punggung untuk ditaruh di atas pangkuan. Kedua kaki panjangnya bergoyang-goyang, Minhee besenandung kecil sebelum akhirnya membuka suara, “Kenapa Kakak minta tempat ketemunya lumayan jauh? Padahal dekat sekolah juga ada halte bus.”

Seungwoo menggigit bibirnya secara refleks. Dia menjawab dengan suara kecil kemudian, “Supaya kamu tidak malu.”

Minhee menoleh cepat, dia menyatukan alis. “Apa maksudnya?”

Seungwoo terdiam, sebenarnya dia sudah memikirkan ini sejak lama, bahkan sejak mereka baru memulai hubungan. Kalau orang tidak tahu, mereka kelihatan seperti kakak-adik terpaut usia jauh atau paman dan keponakan. Tidak akan ada yang mengira mereka sebenarnya betul-betul pacaran. Dan, perasaannya pada Minhee itu terasa polos tapi lembut sekali seperti kain putih sutra. Kadang-kadang Seungwoo berharap bahwa batas tak kasat mata bernama usia itu tidak usah ada, supaya dia bisa setiap hari menemu senyum Minhee yang cerah tanpa perlu banyak mengkhawatirkan hal lainnya.

“Minhee,” Seungwoo membuka suara pada akhirnya. Dia menunduk. “Tidak usah bohong sama Kakak, kamu malu 'kan ketahuan pacaran sama orang yang jauh lebih tua?”

“Malu?” Nada suara Minhee meninggi. “Kenapa harus malu?”

“Kamu masih muda. Teman sekelasmu mungkin ada yang jauh lebih menarik dari pada Kakak. Kamu jangan memaksakan diri kalau sebenarnya tidak mau bertahan.”

“Kak Woo kenapa bicara begitu?” Minhee meraih bahu Seungwoo, dia tidak sadar sudah mencengkramnya terlalu keras. “Tidak ada yang membuat aku lebih merasa nyaman kecuali Kakak.”

Seungwoo terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Kemarinan Minhee susah diajak ketemu,” katanya. “Aku pikir pasti karena sebelumnya aku jemput di depan sekolah lalu teman-temanmu akhirnya tahu kamu pacaran sama Kakak.”

“Iya sih, teman-temanku jadi tahu, tapi aku malah bangga-bangga punya pacar ganteng ke teman-teman,” Minhee membalas sambil tertawa. Seungwoo selalu menyukai suara tawanya, itu membuat suasana hatinya membaik dalam berbagai cara. “Sebenarnya, mereka bilang enak ya, punya pacar lebih tua pasti suka dijajanin. Aku jadi sadar, mungkin aku banyak kurangnya dari mantan-mantan pacar Kakak yang sudah punya penghasilan.”

Seungwoo membalas cepat, “Kamu beda, Minhee. Kamu tidak bisa dibandingkan sama mantan pacar Kakak.”

“Tuh, aku bukan bandingan mereka.”

“Bukan begitu,” Seungwoo memotong cepat, nada suaranya sedikit meninggi. “Gaya pacaran Kakak dulu nakal-nakal,” katanya. “Sebenarnya dengan Minhee, Kakak belajar banyak hal. Pacaran gaya anak SMA itu menyenangkan, hanya teleponan, ketemu sekali-sekali, lalu bergandengan tangan. Kakak sudah hampir lupa kalau hal-hal seperti itu justru jauh lebih bikin deg-degan,” Seungwoo menduduk, menyembunyikan wajahnya yang merona tipis.

Minhee juga merasakan wajahnya memanas sekali dengar kata-kata Seungwoo. Dia menggenggam tangan Seungwoo lebih erat, menautkan jari-jari mereka. Dia merasa sangat beruntung punya pasangan seperti Seungwoo yang begitu mengerti keadaannya, bisa mencintainya meskipun saat ini Minhee belum bisa memberi banyak kecuali janji ini-itu, meskipun Minhee belum bisa memberi bentuk kasih sayang kecuali tidur siang berdua sambil berpelukan, atau kecupan singkat yang malu-malu. Lantas dia melepas tangan Seungwoo sejenak, itu menarik perhatian Seungwoo ketika Minhee membuka sleting tas sekolahnya yang menggembung besar.

“Sebenarnya kemarinan tidak bisa ketemu Kakak karena aku sedang menabung,” katanya. Lalu dikeluarkannya sebuah boneka empuk berukuran sedang dari tas sekolah. “Aku tahu Kakak ngeliatin boneka Snoopy yang paling besar, tapi untuk sekarang aku baru bisa membelikan yang ini.”

Seungwoo terkejut bukan main. Dia tidak menyangka Minhee sadar bahwa dia menginginkan boneka yang mereka lihat-lihat bersama waktu kencan sebelumnya. Seungwoo menerima boneka itu. Dia menggigit bibir keras-keras, wajahnya memerah sekali, tidak pernah dia menyangka akan merasa begitu bahagia hanya karena sebuah boneka.

Tidak kunjung dapat reaksi berarti dari Seungwoo, Minhee menggaruk bagian belakang kepalanya kikuk. “Konyol ya, padahal Kakak bisa beli yang seperti ini dengan mudah. Hadiah ini tidak ada spesialnya.”

“Kenapa bicara begitu?” Seungwoo tidak sadar sudah meninggikan nada bicaranya. “Aku suka sekali. Suka sekali sampai tidak bisa berkata-kata,” katanya. “Padahal Minhee tidak perlu menabung untuk ini, tabungan Minhee untuk Minhee saja.”

Minhee menggeleng “Selama ini kalau kita main, Kakak terus yang mengeluarkan uang, hari ini kita mau pergi ke mana pun biar Minhee yang bayar ya, Kak.”

“Tidak perlu, itu tabungan kamu.”

“Kak, orang-orangㅡdan mungkin Kak Woo sendiriㅡpasti berpikir bahwa Minhee bercanda saja main sama Kakak, tapi sebenarnya tidak. Meskipun Minhee masih tujuh belas, Minhee serius sama Kak Seungwoo. Minhee mau terus-terusan sama Kak Woo sampai tua,” katanya. “Selama ini Minhee cuma bisa janji-janji: suatu saat akan membelikan Kak Woo ini, suatu saat akan mengajak Kak Woo itu. Jadi sekarang, meskipun hanya sedikit, Minhee mau membuktikan bahwa Minhee serius sayang banget sama Kak Seungwoo.”

Minhee tidak sempat bicara lebih banyak, tiba-tiba Seungwoo menjatuhkan kepalanya, lalu menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Minhee dalam-dalam. Dia merengek kecil tidak jelas. Sebelah tangan Minhee digenggamnya erat-erat. Seungwoo berusaha menahan wajahnya yang memerah begitu kentara. Dia tidak pernah menyangka pacar kecilnya yang delapan tahun lebih muda bisa kelihatan sekeren itu dengan hanya bicara saja.

Minhee tertawa manis, lantas dipeluknya Seungwoo erat-erat. “Kak Woo jangan tiba-tiba jadi gemes banget begini, dong,” katanya. “Jadi mau peluk Kakak terus sampai pagi.”

Ditengah rengek kecilnya, Seungwoo bergumam, “Ya sudah, menginap saja,” Dia menenggelamkan wajahnya semakin dalam di bahu Minhee, merasa malu sendiri dengan apa yang sudah dia katakan.

“Boleh?” Minhee melebarkan tatapan matanya, bersemangat.

“Ke-kenapa tidak boleh?”

Minhee berseru riang, lalu tubuh besar Seungwoo direngkuhnya semakin erat. Mereka mempertahankan posisi itu lumayan lama. Di bawah langit jingga dan angin yang bertiup pelan-pelan, Seungwoo pikir biarkan saja dia bersikap egois sejenak, biarkan saja dia mengais afeksi banyak-banyak. Persetan dulu tentang orang-orang yang lihat dengan pandangan aneh, persetan dengan perbedaan usia yang sedikit terkesan tidak wajar. Saat ini, di kepala Seungwoo hanya ada dirinya, Kang Minhee, dan cinta yang mereka bagi berdua.

Seungwoo punya tetangga yang sangat berisik dan suka mengganggu, namanya Cho Seungyoun dan dia masih kelas satu sekolah dasar, dua tahun lebih muda dari Seungwoo. Setiap Seungwoo pulang dari sekolah, Seungyoun selau berlari riang mengejarnya, memaksanya main rumah-rumahan meskipun Seungwoo tidak suka.

Seungyoun tetap selalu menemui Seungwoo setiap hari meskipun Seungwoo sudah menunjukkan betapa dia merasa terganggu. Seungwoo senang bermain dengan anak lain, tapi tidak dengan Seungyoun. Seungyoun itu cerewet dan suka seenaknya sendiri. Setiap mereka main rumah-rumahan, Seungyoun selalu ingin jadi ayah dan memaksa Seungwoo menjadi ibu. Meskipun Seungwoo sudah sangat bosan menjadi ibu, Seungyoun tetap selalu memaksanya.

Suatu saat, Seungwoo mengajak anak lain untuk bermain; gadis kecil bernama Seulgi. Karena Seulgi seumuran dengan Seungwoo, Seungwoo mengusulkan agar Seulgi menjadi ibu dan Seungyoun akan menjadi anak mereka saja. Tapi, Seungyoun tetap tidak mau dan dia terus merengek agar Seungwoo mau menjadi pasangannya.

Suatu saat, Seungwoo bertanya kenapa Seungyoun tidak mau membiarkan anak lain menjadi pasangannya saat bermain rumah-rumahan.

Seungyoun menjawab, “Karena aku ingin menikahi Kak Seungwoo suatu saat nanti.”

Seungwoo jelas tidak mau menikah dengan Seungyoun yang cerewet itu. Dengan nada kesal dia membalas, “Aku tidak mau menikah dengan olang bodoh sepelti Seungyouni!”

Seungwoo tidak menyadari bahwa Seungyoun sangat terluka dengan kata-kata itu. Sejak saat itu, setiap Seungwoo pulang dari sekolah, tidak ada lagi yang tiba-tiba muncul dari belakang dan mengejarnya. Seungyoun bahkan tidak lagi datang ke rumahnya setiap sore hari untuk bermain dan makan camilan. Seungwoo akhirnya sadar bahwa dia tidak terlalu banyak punya teman dan teman-teman lain tidak sering mengajaknya bicara seperti Seungyoun.

Seungwoo kemudian menyadari bahwa bermain tanpa Seungyoun itu tidak seru. Seungwoo pun menangis pada ibunya sambil bertanya-tanya ke mana Seungyoun, tapi ibunya juga tidak bisa berbuat banyak karena memang belakangan ini Seungyoun tidak mau keluar rumah.

Berhari-hari kemudian, bel pintu keluarga Han terdengar berbunyi pada suatu siang, Seungwoo berlari kecil ke pintu dan berjinjit untuk menggapai gagang pintu yang tinggi itu. Ketika pintu itu terbuka, Seungwoo sangat terkejut karena itu adalah Seungyoun. Dan, dia tidak tersenyum bodoh seperti biasa, Seungyoun menatap Seungwoo dengan ekspresi yang seserius mungkin.

“Seungyouni ...”

“Kak Seungwoo, aku sudah belajar giat seminggu ini.” Seungyoun mengeluarkan secarik kertas dari dalam tas sekolahnya. “Lihat, nilai matematikaku A. Aku tidak bodoh, 'kan?” katanya. “Kalau sudah begini, Kak Seungwoo mau menikah denganku, 'kan? Kau mau, 'kan?”

Seungwoo sangat terkejut, dia tidak menyangka Seungyoun yang kerjaannya main saja terus itu ternyata menghilang berhari-hari hanya untuk belajar agar Seungwoo tidak lagi menganggapnya bodoh. Seungwoo merasa senang dan kesal di saat yang bersamaan. Dia memeluk Seungyoun dengan kedua tangannya yang mungil, sambil menangis tersedu-sedu. Seungwoo memarahi Seungyoun karena berhari-hari tidak mengajaknya bermain, tapi Seungyoun senang mendengarnya karena itu berarti Seungwoo kecil sebenarnya sayang sekali padanya.


Begitulah, satu potong memori yang Seungwoo ingat sampai bertahun-tahun berikutnya. Seungwoo terus menyimpan kertas ulangan matematika anak SD itu hingga dia dewasa. Sampai Seungyoun benar-benar melamarnya dengan cincin emas putih yang indah, Seungwoo kemudian menunjukkan kertas ulangan itu sebagai jawaban ya.

Di bawah pekatnya malam, sirine mobil polisi terdengar menggema membengkakkan telinga. Suasana malam yang panas berubah kacau ketika beberapa aparat berseragam masuk tiba-tiba ke dalam ruangan dansa hingga musik terpaksa dihentikan. Beberapa terdiam takut, terkejut, sebagian lainnya tidak peduli dan tetap melanjutkan kegiatan panasnya masing-masing.

Agaknya semua orang di ruangan itu tidak tahu, penyebab kekacauan di dalam klub sebenarnya sudah berjalan santai ke parkiran mobil dengan hanya menggunakan kaos putih kebesaran yang menutup setengah paha, lalu sepatu wanita bertumit tinggi berwarna merah darah yang membuat tubuh tingginya semakin kelihatan menjulang. Tapi, dia kelihatan menakjubkan. Cairan sperma yang mengalir menuruni paha polosnya membuat dia kelihatan semakin menggoda.

Cho Seungyoun berjalan dengan langkah besar-besar menuju sebuah mobil mewah berwarna hitam metalik yang kuncinya sudah berhasil dia curi dari pria tua menjijikan yang tertarik pada pesonanya. Seungyoun tersenyum menyeringai ketika melihat dua rekannya sudah menunggu di dekat sana. Mereka tidak langsung menyadari kehadiran Seungyoun karena sedang sibuk menemu kenikmatan. Seungyoun tidak tahu Hangyul minum berapa seloki lagi malam ini sampai dia terus menangis minta disetubuhi oleh Seungwoo di atas kap mobil seperti itu.

“Masuk,” Seungyoun berujar seraya menepuk bahu Seungwoo. Dia menyalakan rokok sebelum akhirnya menekan tombol untuk membuka kunci mobil. “Kita harus segera pergi sebelum mereka menghalau jalan keluar parkiran.”

Seungwoo mengangguk, lalu dengan itu menggendong tubuh Hangyul seperti koala. Seungwoo segera duduk di kursi penumpang bersama Hangyul di pangkuannya yang masih menaik-turunkan pinggangnya seperti haus akan sentuhan.

Seungyoun duduk di kursi pengemudi, menyalakan mesin mobil sambil menghisap rokoknya dalam-dalam. Tanpa menunggu terlalu lama, dia menginjak gas untuk segera pergi dari klub malam itu.

Seungyoun memacu mobil curiannya itu dengan kecepatan gila-gilaan, membelah jalanan kota yang masih lumayan ramai karena distrik itu memang pusatnya hiburan malam. Seungwoo dan Hangyul sibuk bercumbu selama beberapa menit pertama, tapi laki-laki yang paling muda menjatuhkan kepala pada akhirnya ke bahu Seungwoo karena tidak kuasa menahan pusing di kepala, dia memang terlalu banyak minum malam itu.

Seungwoo membuka suara ketika sirine polisi sudah tidak lagi terdengar dan mobil itu sudah dibawa lumayan jauh dari keramaian, “Aku tidak pernah berpikir kamu kelihatan seksi pakai sepatu wanita.”

“Kapan aku tidak kelihatan seksi,” balas Seungyoun bangga sambil membuka kaca mobilnya sedikit untuk membuang abu rokoknya. “Kalian harus berterima kasih padaku. Aku sudah hampir muntah karena bapak-bapak pemilik mobil ini selera seksnya aneh sekali.”

“Kamu 'kan suka yang aneh-aneh.”

“Ya, tapi bapak tadi kelaminnya kecil sekali. Aku bosan,” katanya. “Dia memaksaku memanggilnya oppa, padahal sudah bapak-bapak begitu.”

Seungwoo tertawa. Itu membuat Hangyul sadar dari tidurnya, laki-laki itu menggerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali sebelum akhirnya berujar setengah sadar, “Sudah sepi?”

“Dari tadi yang membuat ribut kan suara berisikmu,” balas Seungyoun tidak acuh sambil masih menfokuskan diri ke jalanan.

“Maksudku sirine polisi,” balas Hangyul. “Mau gantian, Kak?”

Mendengar itu, Seungyoun mematikan rokoknya, lalu menepikan mobilnya sejenak. “Begitu dari tadi,” katanya sambil membuka pintu mobil. “Seungwoo, pindah ke belakang,” perintahnya.

“Hangyul tidak punya SIM dan dia masih mabuk,” balas Seungwoo khawatir.

“Jadi kamu tidak mau dimanjakan olehku?” ujar Seungyoun yang sudah pindah ke bangku belakang.

“M-mau,” balas Seungwoo pelan, wajahnya memerah sekali saat itu. Setelahnya, dia betul-betul pindah ke belakang. Seungyoun langsung membuka seluruh kancing baju Seungwoo, membuatnya telanjang bulat dalam waktu singkat.

Mobil itu melaju lagi setelah Hangyul pindah ke bangku kemudi dan menyalakan mesin. Dia menginjak gas dalam-dalam, tapi suara mesin mobil tetap tidak berhasil menutupi desah panjang Seungwoo yang indah setiap kali Seungyoun menyetubuhinya terlalu keras.

Seringai di wajah Seungyoun melebar ketika dia sadar Seungwoo ikut menggerakkan pinggulnya, mencari kenikmatan dari kejantanan Seungyoun yang mengeras di dalam lubangnya. Sekujur tubuhnya itu memerah dan kedua matanya berkaca-kaca. Seungwoo kelihatan sangat menawan.

“Lucu.” Seungyoun bergumam.

“A-ahㅡa-apanya?”

“Waktu kita pertama ketemu Kakak, 'kan Kakak lurus sekali sampai kelihatan jijik setiap kali aku berbuat sama Hangyul,” katanya. “Sekarang keenakan.”

“K-kamu enak, Youn,” ujarnya tipis.

“Aku tidak enak, Kak?” gerutu Hangyul dari kursi depan, tidak ketinggalan percakapan mereka.

“Hangyul j-jugaㅡa-ah, le-lebih cepat, Youn.”

“Iya, sayang,” Seungyoun menyetubuhi laki-laki yang lebih tua darinya itu lebih cepat, sesekali dia mendekat untuk mengecup dahi Seungwoo lembut.

“M-mau dipanggil Oppa, tidak?”

Seungyoun tertawa meremehkan. “Jijik,” katanya. Kata-kata itu membuat Seungyoun mengingat bapak yang tadi dan itu membuatnya ingin muntah. “Panggil Noona coba.”

Noonaㅡa-ah l-lagi ...”

“Gila,” Seungyoun semakin mengeras di dalam lubang Seungwoo. “Han Seungwoo, gila,” katanya dengan napas yang menderu kencang.

Seungwoo ingin membalas, bagaimanapun Seungyoun itu jauh lebih gila dari pada dia. Tapi, mungkin pernyataan itu ada benarnya. Seungwoo tidak pernah menyangka dia akan mengalami jungkir balik hidup dalam hanya beberapa hari saja. Sebelumnya dia pikir hidup itu tentang menjadi orang baik, mencari uang dengan pekerjaan baik. Tapi kemudian, Seungwoo ditipu rekan bisnis dan jadi bertanggung jawab atas utang triliunan hingga membuatnya dikejar-kejar orang menakutkan dan diusir dari tempat tinggalnya. Itu membuatnya bertemu pasangan aneh Seungyoun dan Hangyul yang juga jadi incaran polisi karena kasus pembunuhan. Hidupnya dan caranya memandang hidup tidak lagi sama sejak saat itu.

Mereka bertiga berkeliling bersama, menghindari sirine polisi sambil berpindah dari klub ke klub, mencari kesenangan, merampok uang, menipu orang kaya. Seungwoo tidak pernah merasa begitu hidup sebelumnya, begitu menikmati adrenalin yang mebara setiap detiknya. Seks bergantian dengan Hangyul dan Seungyoun juga adalah bonus manisnya.

Seungyoun klimaks beberapa saat kemudian, memenuhi lubang Seungwoo karena mereka tidak memakai pengaman. Seungwoo menyusul setelahnya. Mereka berdua terdiam sampai Hangyul menginjak rem secara mendadak dan membuat keduanya terkejut bukan main. Seungyoun nyaris membenturkan kepalanya ke atas sandaran kursi karena itu.

“Aku juga mau main!” protes Hangyul sambil memasang ekspresi kesal. Dia memang paling muda di antara mereka bertiga, tapi kelakuannya bisa semakin seperti bayi kalau baru saja mabuk seperti sekarang.

Seungyoun menghembuskan napas panjang. “Gantian, Kak Woo,” katanya sambil mengeluarkan kelaminnya dari lubang Seungwoo. “Lagi pula Hangyul bawa mobilnya tidak mulus, dari tadi sudah berapa kali injak rem mendadak?”

“Aku memang tidak punya SIM mobil,” protes Hangyul lagi.

“Kamu 'kan punya SIM truk.”

“Aku tidak suka mengendarai yang kecil-kecil, aku mau yang besar.”

“Makanya kamu betah denganku ya, Gyul.”

“So-sombong!” protes Hangyul mendengar nada penuh percaya diri Seungyoun.

“Iya, iya, bayi besar. Kamu juga besar kok. Sini, bantu aku membersihkan sperma bapak tadi, jijik rasanya lengket sekali di bawah sini.”

“Aku tidak bisa bantu bersihkan, Kak. Kalau bantu makin mengotori sih bisa.”

“Ya sudah terserah kamu, lah.”

Hangyul berseru riang. Dia pindah ke belakang setelah Seungwoo keluar melalui pintu untuk pindah ke kursi depan. Seungwoo berjalan santai ke pintu depan dengan hanya menggunakan kemeja kepanjangan. Desah penuh nikmat Seungyoun sudah terdengar ketika dia memutar kunci untuk menyalakan mesin.

“Biasanya kalau habis mabuk kamu sukanya disetubuhi, Gyul.”

“Lubang aku sakit gara-gara Kak Seungwoo,” katanya sambil merengek.

“Kamu yang minta terus,” protes Seungwoo di kursi depan. “Kalau tidak dituruti kamu langsung gigit.”

“Bayi macan memang.”

“Sudah besar aku Kak!”

“Iya kamu besarㅡa-ah, besar, enak banget, ahhㅡ”

Seungwoo memutuskan untuk fokus ke jalanan meskipun suara Seungyoun membuat kemaluannya menegak lagi. Kecepatan mobil yang dipacu gila-gilaan sejak tadi itu membuat mereka sampai di pinggiran kota dengan cepat. Seungwoo melajukan mobilnya meskipun tidak tahu sedang berada di mana mereka sekarang.

Dia membuka suara ketika tidak sengaja melihat petunjuk jalan beberapa menit kemudian, “Katanya pantai lima belas kilometer lagi,” katanya, sedikit mengencangkan volume suara karena suara lengguhan Hangyul yang lumayan kencang.

“La-lanjut, Kak,” balas Seungyoun di sela-sela cumbunya dengan Hangyul. “Main di pantai seru, tuh.”

“Bisa memancing 'kan, di pantai?”

“Bisa, Gyul. Asal jangan dimasukan ke dalam lubang kamu saja ikannya.”

“I-ih, padahal sepertinya enak. Bergerak-gerak licin begitu.”

“Gyul, aku masih awam dengan dunia kalian,” ujar Seungwoo sambil memijat kepalanya, pening. “Jangan membuat aku tambah gila.”

“Bercanda Kak Woo, punya Kak Youn dan Kak Woo sudah enak banget, kok.”

“Aku jadi menegak lagi, Gyul.”

“Udah ah, Kakㅡlubang aku sakit.”

“Ya sudah, kamu saja yang menusuk.”

“Depan juga sakit karena Kak Youn sempit.”

“Lemah kamu Gyul,” komentar Seungyoun sambil membawa si yang lebih muda bersandar ke dadanya. Lalu ditariknya jaket bulu milik Hangyul yang sejak tadi dibiarkan begitu saja di kursi penumpang di depan. Dia menyelimuti tubuh mereka berdua dengan jaket itu. Ditepuk-tepuknya punggung si yang lebih muda sambil bersenandung kecil, membuat Hangyul yang kelelahan tertidur begitu saja di dalam pelukannya.

“Youn,” Seungwoo di kursi kemudi berujar tipis ketika mendengar nyanyiannya.

“Hm?”

“M-mau juga.”

“Kalau Kakak pindah ke sini, lalu yang bawa mobil siapa?”

Seungwoo terdiam sejenak. Dia mendengus tipis. “Nanti kalau sudah sampai pantai aku mau peluk kalian berdua, ya.”

“Iya, deh. Aku dan Hangyul untuk Kakak seutuhnya.”

Mereka bilang, Lee Hangyul itu aneh.

Mungkin karena masa lalunya yang kelam, mungkin karena kesepian hebat di masa kecilnya, tapi Hangyul, di usianya yang sudah menginjak kepala dua ini masih minum susu terlalu banyak, masih suka dibelikan mainan dari tempat makan cepat saji, masih suka membawa ember kecil untuk membangun istana pasir kalau diajak ke pantai.

Alih-alih menghindar seperti kebanyakan orang yang tidak mengerti keadaannya, Seungyoun justru mengajaknya tinggal bersama. Alasannya sederhana: supaya bisa melihat tawa polos dan mata berbinarnya itu setiap hari, setiap waktu. Supaya, Seungyoun bisa memberinya cinta, seperti apa yang masa kecil Hangyul tidak bisa berikan.

Mereka bilang, apa yang terjadi pada Hangyul itu adalah sebuah penyakit.

Hangyul memandang dunia tidak seperti sebuah masalah besar, melainkan sebuah papan permainan. Itu membuatnya nyaris tidak pernah merasa tertekan. Itu membuatnya selalu tertawa, selalu menemukan sesuatu yang menyenangkan dari hal-hal yang sangat sederhana. Dia selalu berhasil menyembuhkan Seungyoun dengan cara-cara yang unik tatkala dirinya merasa begitu kesal sampai air matanya nyaris tumpah.

Kadang-kadang ditariknya Seungyoun ke kamar untuk membaca dongeng bersama, kadang-kadang Hangyul akan menyeduhkan dua gelas susu pisang yang selalu berakhir terlalu manis karena Hangyul memasukkan terlalu banyak bubuk susu ke dalam gelas, kadang-kadang hanya dipeluknya Seungyoun, lalu bibir kecilnya berujar kakak kenapa? Jangan sedih, ayo main saja.

Pada awalnya, Seungyoun menganggap hubungannya dengan Hangyul hanya sebatas penyembuh depresi saja. Seungyoun yang begitu sensitif dan emosional jadi bisa memandang dunia secara lebih sederhana semenjak mengenal Hangyul. Dia jadi bisa bersikap lebih tidak acuh, bisa berhenti kepikiran pada masalah yang seharusnya tidak perlu banyak-banyak dipikirkannya. Itu membuat hidupnya terasa jauh lebih mudah.

Perasaannya pada Hangyul berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam secara perlahan-lahan. Seungyoun menyadarinya pertama kali ketika Hangyul sakit demam tinggi karena makan es krim terlalu banyak di pertengahan musim dingin. Melihat Hangyul yang biasanya tertawa riang dan tidak pernah habis energi kini terbaring lemah di atas ranjang karena memuntahkan semua makanan yang masuk ke dalam mulutnya, Seungyoun tidak pernah merasa hatinya seterluka itu sebelumnya.

Ketika Hangyul sembuh beberapa hari setelahnya, Seungyoun tidak berhenti berucap syukur, sambil direngkuh tubuh yang lebih muda ke dalam sebuah pelukan yang dalam, dikecup keningnya beberapa kali dengan penuh sayang.

Seungyoun mencintainya.

Dia begitu mencintai Hangyul sampai-sampai telepon sang ibu yang menyuruh Seungyoun untuk segera mencari teman kencan itu diabaikannya.

Mereka bilang, Seungyoun sudah cukup umur untuk mencari kekasih hidup.

Tapi Seungyoun tidak bisa membayangkan menghabiskan seluruh sisa hidupnya kecuali dengan Hangyul.

Mereka bilang, Seungyoun itu aneh.

Dia tampan, manis, gayanya keren, dan uangnya banyak.

Tapi dari pada pacar yang cantik, yang bisa mengurus rumah tangga, dia lebih memilih untuk tinggal dengan Hangyul yang kadang-kadang kesulitan membuka bajunya sendiri setiap mau mandi.

Seungyoun muncul dalam kehidupan Hangyul seperti seorang malaikat pelindung.

Cuma Seungyoun yang tidak memandang aneh waktu Hangyul memasukkan banyak buku dongeng anak-anak ke dalam keranjang belanja, cuma Seungyoun yang mau meladeni permainan petak umpet dengannya di dalam rumah, cuma Seungyoun yang tertawa semanis itu setiap kali Hangyul makan dengan mulut yang berantakkan.

Hangyul tidak tahu hatinya bisa terasa begitu penuh hanya dengan satu sosok saja, satu cinta saja.

Dia begitu mencintai Seungyoun sampai rasanya tidak bisa membayangkan jika suatu saat mereka harus mengambil jalan yang berbeda.

Tiga-empat hari saja ditinggal Seungyoun untuk pekerjaan di luar kota, Hangyul sudah merasa hampir mati bosan dan diam-diam dia menangis setiap malam karena merasa kesepian.

Bahkan meskipun Hangyul punya segudang papan permainan di kamarnya, meskipun ada banyak buku dongeng yang bisa dibacanya, tidak ada satupun kegiatan bisa terasa menyenangkan tanpa Seungyoun di sisinya.

Hangyul kadang-kadang bisa mengerti, kadang-kadang Lee Hangyul berusia dua puluh empat di dalam tubuhnya itu bisa memberitahunya tentang apa yang salah dengan hubungan mereka, tentang apa yang seharusnya Seungyoun lakukan di usianya yang sudah hampir tiga puluh.

Lalu tiba-tiba Hangyul menangis sendiri, tidak tahu kenapa dia ingin menangis di depan permainan ular tangga yang dimainkannya sendiri.

Lalu sambungan telepon dari ibu Seungyoun yang diterimanya beberapa jam lalu terngiang-ngiang lagi di kepalanya.

Itu membuat hatinya sakit.

Sakit sekali untuk alasan yang tidak sepenuhnya dia mengerti.

“Hangyul?”

Panggilan itu melunturkan semua lamunannya, tapi air matanya masih mengalir sendiri seperti sungai yang deras. Tatapan mereka bertemu, saat itu juga Seungyoun merasakan kedua matanya memanas.

“Apa yang terjadi?” katanya lembut sambil menyeka air mata Hangyul. Dia menggigit bibir, berusaha menahan rasa sakit yang teramat dalam melihat pecah tangis Hangyul seperti saat ini. “Apa kau kesepian? Maaf harus lembur lagi hari ini,” katanya.

Hangyul menggeleng kecil. “Tapi Mama menelepon,” jawabnya.

“Apa katanya?”

“Tidak ada,” jawab Hangyul. “Tapi sepertinya Mama benci padaku.”

“Tidak, itu tidak benar,” Seungyoun mendekat untuk mengecup dahi Hangyul. Kedua tangannya gemetaran, tapi dia masih berusaha mengelus kepala Hangyul pelan-pelan. “Bagaimana seseorang bisa benci padamu?”

“Kak, tadinya aku tidak mengerti, tapi sekarang aku mengerti.” Air matanya keluar menderas. “Aku adalah penganggu,” katanya. “Kakak seharusnya menikah, seperti Paman dan Bibi Choi tetangga kita, lalu punya anak-anak, membuat keluarga.”

“Kau mau aku menikah?”

Hangyul bergeming cukup lama. Dalam hening kedua matanya terus membasah, kedua tangannya yang gemetaran meremas kemeja kerja Seungyoun erat-erat. “Tidak mau,” katanya. “Ka-kalau kakak menikah, a-aku sendirian.”

“Aku tidak akan menikah.”

“Tapi mereka bilang Kakak harus menikah.”

Seungyoun tidak langsung menjawab, direngkuhnya Hangyul ke dalam sebuah pelukan yang dalam. Lelaki yang lebih muda jadi menangis lebih kencang di bahunya. Itu membuat Seungyoun ikut meneteskan air matanya.

Diciumnya kepala Hangyul beberapa kali. Seungyoun menutup kedua matanya seraya mengusap punggung Hangyul pelan-pelan. Dia bersyukur, tentang Hangyul yang begitu mencintainya dan juga meremat sakit di dada, tentang dunia yang tidak menjadi lebih mudah dengan hanya modal saling mencintai saja.

“Hangyul.” Seungyoun membuka suara pada akhirnya, tatkala dijauhkan sebentar tubuh Hangyul untuk mempertemukan dua pasang tatapan mereka. “Kata orang, menikah adalah tujuan hidup,” katanya, lalu dikecupnya kelopak mata Hangyul pelan. “Tapi kamu tahu, manusia itu berbeda-beda. Kadang-kadang orang sulit menerima perbedaan, tapi aku harap kamu bisa mengerti bahwa kebahagiaanku adalah kamu. Aku tidak mau menikah, aku tidak mau punya anak, aku mau menghabiskan seluruh hidupku denganmu.”

“T-tapi, Mamaㅡ”

“Untuk saat ini Mama belum mengerti, tapi suatu saat Mama pasti mengerti,” balas Seungyoun. “Mungkin suatu saat akan muncul orang-orang lain yang tidak bisa mengerti, tentang kita, tentang Hangyul. Tapi Kakak harap kamu mau percaya sama Kakak,” Seungyoun meraih kedua tangan Hangyul, lalu menautkan jari-jari mereka. “Karena cuma Hangyul sumber kekuatan Kakak untuk berjuang.”

Hangyul menggenggam tangan Seungyoun begitu erat. “Kakak tidak akan pergi?”

“Tidak,” Seungyoun tersenyum. “Janji jari kelingking,” katanya sambil melepas tangan Hangyul sejenak untuk menautkan jari kelingking mereka.

Hangyul tertawa kecil. Meskipun ada bekas-bekas air mata di kedua matanya, Seungyoun bisa merasa begitu rileks melihat kedua mata Hangyul yang menyipit indah, dan gigi kelincinya yang menggemaskan. “Aku sayang Kakak.”

“Aku juga sayang Hangyul.”

Lalu mereka berpelukan, diselingi kecupan manis yang melelehkan. Di bawah lampu temaram dan mainan di atas lantai yang bertebaran, mereka berbagi kasih, menyapu keheningan.