Mereka bilang, seorang Alpha Cho seharusnya bisa mendapatkan apapun yang dia inginkan.
Cho Seungyoun lahir dengan wajah yang tampan, bukan punya mata yang besar dan hidung terlalu mancung, tapi mata rubah dan hidung kecil yang menawan. Orang tuanya kaya, dia bisa kuliah di mana pun dia mau dan sekaligus menjalani hobinya di bidang cipta karya musik. Di kampus, dia terkenal sebagai seorang Alpha yang punya tubuh tinggi semapai, bahu lebar, dan selera berpakaian yang mengagumkan. Berganti-ganti pasangan hampir setiap bulan bahkan minggu bukanlah hal yang aneh lagi baginya.
Mendapatkan pacar Omega cantik adalah hal yang mudah. Tapi mendapatkan kasih sayang penuh seperti apa yang Seungyoun butuhkan, itu adalah urusan lain.
Seungyoun tidak pernah merasa penuh oleh luapan emosi, seperti kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutnya sampai dia bertemu si manis dua tahun lebih muda; sabuk hitam dari perguruan taekwondo milik kakeknya.
Namanya Lee Hangyul dan dia kelihatan seperti monster di atas arena tarung.
Tapi setiap kali Seungyoun mengajaknya bicara, mengajaknya makan siang, senyuman manisnya itu merekah. Hangyul jauh lebih polos dari yang Seungyoun duga. Dia bisa tertawa renyah untuk setiap kata yang keluar dari mulut Seungyoun dan itu benar-benar menggemaskan. Dia bahkan tidak pernah pacaran, tidak pernah pergi ke tempat hiburan malam. Mereka begitu berbeda, tapi Seungyoun justru belajar banyak dari keluguan Hangyul. Tentang rasa syukur, tentang kesederhanaan. Lalu tanpa sadar, Seungyoun sudah menjadi pribadi yang lebih baik sejak mereka berdua memulai hubungan.
Tapi, mungkin begitu sayangnya Seungyoun pada Hangyul saja tidak cukup.
Hangyul pergi begitu saja, tanpa jejak dan tanpa salam perpisahan. Seungyoun tidak tahu apa yang salah tentang mereka. Mungkin karena Seungyoun yang belum bisa berhenti merokok meskipun Hangyul sudah sering memarahinya soal itu, mungkin karena beberapa Omega di kampus masih sering menghubungi Seungyoun dengan iseng meskipun tahu Seungyoun sekarang sudah punya pasangan. Mungkin karena ... Hangyul bukan seorang Omega dan dia merasa tidak sepantasnya mereka bersama karena itu.
Tidak, sebenarnya Seungyoun tidak tahu apa gender ke-dua Hangyul. Setelah berpikir banyak-banyak tentang apa yang salah sambil menangis ditemani dua botol anggur merah, Seungyoun akhirnya sadar Hangyul tidak pernah memberitahu identitasnya sendiri. Dia terlalu tenggelam di dalam imajinasi, bahwa binar bahagia di kedua mata Hangyul sebenarnya bukan cinta sama sekali, mungkin dia hanya suka pada pribadi Seungyoun yang mudah mencairkan suasana, mungkin dia menganggap Seungyoun sekadar sebagai pelipur lara.
Atau, mungkin dia merasa kesepian. Seminggu penuh sebelumnya, Seungyoun sibuk sekali sampai hampir tidak bisa menjawab telepon Hangyul. Senin depannya, Seungyoun akhirnya bisa terbebas. Pesan dari Hangyul tetap tidak dibalasnya karena mau membuat kejutan di hari besar si terkasih. Di antara kursi penonton arena besar tempat turnamen taekwondo diadakan, Seungyoun duduk dengan kemeja super rapi dan satu buah buket bunga yang besar.
Tapi, coba tebak apa yang terjadi selanjutnya.
Bahkan ketika nama Hangyul di panggil untuk naik ke atas arena, laki-laki itu tidak kunjung muncul.
Seungyoun mencarinya seperti orang kesetanan saat itu. Ke sekeliling gedung, ke setiap sudut yang bisa ditemuinya. Dia bahkan langsung melesat ke apartemen Hangyul, untuk kemudian mendapati kosong, tidak ada satupun tanda-tanda keberadaan Hangyul.
Dua-tiga hari berikutnya, Seungyoun tidak berhenti mencoba menghubungi nomor Hangyul, meskipun akhirnya nomor itu tidak diaktifkan lagi oleh pemiliknya. Setiap pulang kuliah, Seungyoun selalu menyempatkan diri untuk pergi ke apartemen Hangyul, menunggu di depan pintu sampai malam menjemput meskipun akhirnya selalu harus pulang tanpa membawa sedikitpun petunjuk.
Seungyoun sudah memikirkan skenario terburuk seperti penculikan atau semacamnya. Tapi saat dia mendatangi panti asuhan tempat orang tua asuh Hangyul bekerja dan mengutarakan maksudnya untuk melapor ke polisi soal Hangyul yang tiba-tiba menghilang, ibunya justru bilang bahwa Hangyul baik-baik saja. Dia sudah menemukan pasangan, lalu memutuskan untuk pindah rumah dan berhenti taekwondo.
Saat itu, dunia Seungyoun terasa runtuh.
Kenyataan bahwa Hangyul bisa meninggalkannya begitu saja, kenyataan bahwa setiap kecupan dan pelukan yang mereka bagi bersama tidak ada artinya sama sekali bagi Hangyul, Seungyoun tidak pernah mengalami perpisahan semenyakitkan itu seumur hidupnya.
Apakah ini hukuman dari Tuhan?
Karena Seungyoun itu terlalu sombong, karena dia sudah menyakiti banyak Omega, berganti-ganti pasangan seperti sebuah papan permainan.
Kalau memang itu hanyalah sebuah hukuman, Seungyoun seharusnya bisa melupakan cintanya pada Hangyul satu-dua minggu setelahnya.
Tapi, nyatanya tidak.
Seperti takdir sedang memberitahunya bahwa Hangyul memang adalah orangnya, Seungyoun terus mengingatnya, bahkan setelah mulai mengencani orang lain lagi dia tetap mengingat Hangyul dan senyumannya yang polos.
Menyedihkan sekali.
Kalau teman-temannya tahu betapa Seungyoun tidak bisa melupakan mantan kekasih yang bahkan tidak jelas status gendernya, mungkin mereka semua akan menertawakannya.
Setiap bangun pagi dan membuat sarapan, Seungyoun selalu ingat telur dadar keju yang suka Hangyul buat untuknya. Setiap berkumpul dengan teman-teman, Seungyoun selalu ingat lelucon kecil yang selalu Hangyul lontarkan setiap mereka bersama. Setiap gelap malam menjemput, Seungyoun selalu ingat hangatnya Hangyul di dalam pelukannya, tidur dengan menyembunyikan wajah di dadanya.
Seperti saat ini pula, melihat sebuah keranjang besar penuh dengan buah apel dipajang di dalam swalayan, Seungyoun jadi mengingat Hangyul lagi.
Nyaris tanpa sadar, Seungyoun jadi mengambil plastik dan memasukkan banyak sekali buah apel ke dalam keranjang belanjanya.
Dulu, Hangyul suka membeli banyak sekali buah untuk Seungyoun supaya dia lebih banyak mengemil buah dari pada merokok.
Seungyoun merasakan kedua tangannya sedikit gemetaran. Ah, sial. Dia tidak boleh menangis di tempat umum seperti ini.
Untungnya, seseorang tiba-tiba menyenggol keranjang belanjaan Seungyoun. Itu membuat seluruh perhatiannya teralih. Lantas dia berbalik. Laki-laki yang menabraknya itu membungkuk sedikit untuk meminta maafㅡ
“Ma-maafkan aku.”
ㅡuntuk kemudian melebarkan tatapan matanya ketika bertemu pandang dengan Seungyoun.
Seungyoun merasakan jantungnya berdegup begitu kencang. Mereka sama-sama menjatuhkan keranjang belanja begitu saja ke atas lantai. Detik-detik itu terasa dilalui begitu cepat, Seungyoun tidak sempat memikirkan apapun kecuali kebahagiaannya yang sempat hilang beberapa minggu ini kini ada di hadapannya, dia berbalik pergi dan Seungyoun mengikuti larinya tidak kalah cepat.
“Hangyul!”
Seungyoun berteriak, mencoba membuatnya mungkin luluh dan memperlambat langkah. Tapi tidak, Hangyul berusaha menghindarinya seperti Seungyoun adalah ketakutan terbesar dalam hidupnya. Sampai akhirnya Hangyul kelelahan dan berakhir di sebuah gang sempit antara dua bangunan tinggi, Seungyoun menyudutkannya ke tembok, membuatnya tidak bisa lari lagi.
Hangyul mengatur napasnya sambil memegangi perut. Waktu itu Seungyoun baru sadar bahwa mantan kekasihnya ini ... sedang hamil.
“Pulanglah,” Hangyul berujar dingin. “Aku sudah bahagia bersama orang lain. Sebentar lagi aku akan melahirkan anak pertama kami.”
Itu menyakitkan. Meskipun Seungyoun sudah mendengar cerita dari ibu asuh Hangyul, itu terasa jauh lebih menyakitkan mendengarnya langsung dari mulut Hangyul.
“Aku tidak pernah tahu kamu seorang Omega.”
“Aku hanya main-main denganmu, Seungyoun. Aku rasa tidak perlu memberi tahu hal seperti itu.”
Sesaat sebelum Hangyul mengambil langkah menjauh, Seungyoun menahan bahunya, mencengkramnya sedikit terlalu kasar.
“Kamu pergi tanpa mengatakan apapun padaku.”
“Kamu tidak sepenting itu,” Hangyul menepis tangan Seungyoun yang menghalangi langkahnya.
“Di mana pacarmu yang baru itu?” Seungyoun mengikuti langkah Hangyul.
“Dia terlalu sibuk untuk meladeni mahasiswa tukang mabuk seperti kau!” Hangyul mempercepat langkahnya, tapi Seungyoun tetap mengikutinya.
“Begitu sibuknya sampai kau yang sedang hamil harus keluar untuk berbelanja?”
“Berbelanja bukan pekerjaan yang berat. Berhenti mengikutiku, Seungyoun!”
“Kenapa? Kenapa aku harus berhenti? Kenapa kau menghindariku?!”
Hangyul tidak menjawab, tapi dia mempercepat langkah. Mulai berlari. Seungyoun ikut mempercepat langkahnya melewati gang sempit yang mengeluarkan bau busuk di mana-mana itu.
“Berhenti berlari! Kau sedang hamil, apakah kau tidak sayang pada bayiㅡ”
Tepat ketika Seungyoun menyusul, menarik bahu Hangyul, dan membuatnya berbalik, Seungyoun merasakan hatinya hancur berkeping-keping seketika.
Seungyoun mengangkat kedua tangan, menangkup wajah Hangyul, mengusap air mata yang turun dengan deras di kedua mata Hangyul dengan ibu jarinya. Perlakuan kecil itu membuat air mata Hangyul turun lebih deras. Itu membuatnya mengingat semua kenangannya dengan Seungyoun, tentang sikap lembutnya, tentang peluk hangatnya.
Saat itu, Seungyoun tahu ada yang salah, ada sesuatu yang Hangyul sembunyikan darinya. Kedua mata Hangyul sejak dulu tidak pernah bohong. Binar cerah dari kedua matanya setiap kali bicara dengan Seungyoun adalah memang cinta, perlakuan manis Hangyul selama ini padanya memang karena sayang. Dan, air matanya saat ini adalah karena bukan kepalang rindu. Sama seperti Seungyoun, Hangyul juga benar-benar merindukannya.
“Hangyul,” Seungyoun berujar tipis, tatapannya melembut. “Aku pernah bilang, kau boleh menangis, kau boleh memelukku, kau boleh bercerita apapun padaku. Semua itu masih berlaku sampai sekarang.”
“Be-berhenti,” Hangyul bergerak mundur. “A-aku tidak pantas menerima perhatianmu.”
“Apa maksudmu?”
Hangyul tidak menjawab, hanya menggeleng kuat.
“Hangyul, jangan menghindar, aku mohon.”
“Kamu seorang Cho.”
“Lalu?”
“Keluargamu terpandang. Kau harus bersanding dengan Omega yang terhormat.”
“Kamu, kamu adalah Omega paling hebat yang pernah aku temui,” Seungyoun meraih sebelah tangan Hangyul. “Orang tuaku akan merasa bangga kalau tahu aku memacari seorang Omega pemegang mendali emas taekwondo.”
“Ya, apa gunanya satu lemari penuh piala dan mendali kalau aku sudah tidak lagi terhormat, Seungyoun?!” Nada suara Hangyul meninggi. “A-aku tidak tahu bayi ini ... siapa ayahnya,” air matanya turun menderas. “A-apa kau tidak memerhatikan bagian belakang leherku?” Hangyul berbalik sejenak. Waktu itu Seungyoun melebarkan tatapan matanya, tidak percaya dengan banyak sekali bekas gigitan di belakang leher Hangyul. “Orang tuamu akan langsung mengusirku begitu melihat banyaknya bekas gigitan yang bahkan bukan kau yang melakukannya. Omega nakal di klub saja tidak ada yang punya bekas gigitan sebanyak ini.”
“Pasti berat.”
Hangyul mengangkat wajahnya, bertemu pandang dengan kedua tatapan Seungyoun yang lembut.
Seungyoun tidak langsung melanjutkan, dia maju untuk membawa Hangyul ke dalam pelukannya, mengusap-usap kepalanya, tanpa sadar sudah membuat Hangyul menangis lebih banyak di bahunya. “Aku tahu kamu orang baik-baik, kamu bahkan tidak pernah ke tempat hiburan malam seperti aku. Aku percaya ini semua bukan salahmu.”
“I-ini salahku. Salahku yang bersikeras mau jadi atlit taekwondo meskipun tahu seorang Omega seharusnya tidak pantas.”
“Apa maksudmu? Semua orang berhak meraih cita-cita.”
“Seorang Omega seharusnya diam di rumah dan menjadi pelayan nafsu saja.”
“Hangyul, aku tidak suka kamu bicara seperti itu.”
“I-itu yang mereka bilang,” tangisan Hangyul semakin menderas. “Itu yang mereka bilang waktu mengikat tanganku dan menyetubuhiku bergantian.”
Seungyoun merasakan dadanya seperti dihimpit, Hangyul mengalami sesuatu semenakutkan itu dan dia tidak pernah tahu. Seharusnya Seungyoun bisa melindunginya, tapi nyatanya tidak.
“Mereka teman seperguruan yang baik sampai identitas bahwa aku seorang Omega bocor dan orang-orang tahu. Mereka mulai memandangiku dengan cara yang berbeda,” katanya.
“Mereka iri padamu, dikalahkan di setiap turnamen oleh kamu yang seorang Omega,” balas Seungyoun lembut. “Bukannya berlatih lebih keras, mereka malah melakukan hal seperti itu padamu. Orang-orang seperti itu seharusnya malu mengakui diri mereka sebagai seorang Alpha,” katanya.
Seungyoun mengangkat dagu Hangyul, mengecup bibirnya lembut. Lalu dipeluknya lagi Hangyul, begitu erat dan hangat.
“Hangyul, kamu bilang tidak tahu bayi itu anak siapa, itu anakku. Kalau tetangga bertanya siapa ayah dari bayi itu, katakanlah Cho Seungyoun ayahnya. Dan bekas gigitan itu, semuanya aku yang buat. Itu adalah tanda cinta dariku.”
“Ka-kau tidak boleh bertanggung jawab atas apa yang bahkan tidak sama sekali kau lakukanㅡ”
“Aku harus bertanggung jawab karena sudah gagal melindungimu.”
“Ini bukan salahmu, ini salah mereka. Seharusnya mereka yang menanggungnya.”
“Menanggung? Jangan menganggap bayimu sendiri sebagai malapetaka, dia adalah hadiah dari Tuhan,” Seungyoun menjauhkan dirinya sejenak, menatap lurus pada Hangyul. “Punya bayi dengan Hangyul adalah impianku,” katanya. “Hangyul memangnya tidak mau punya anak denganku?” Seungyoun berekspresi sedih dibuat-buat. Itu membuat Hangyul tertawa kecil melihatnya.
“M-mau,” katanya sambil menunduk malu. Hatinya terasa hangat sekali ketika Seungyoun mencium dahinya, bibirnya, lalu menunduk untuk mencium perut buncitnya.
Hangyul meraih sebelah tangan Seungyoun, menggenggamnya begitu erat. “Terima kasih,” katanya. Satu-dua tetes air matanya turun lagi, tapi bukan karena merasa sedih. Hangyul selama ini bertanya-tanya kenapa hatinya yang seperti batu akhirnya berlabuh pada Alpha seperti Seungyoun, Seungyoun yang suka pergi ke tempat hiburan malam, Seungyoun yang gaya hidupnya tidak sehat, Seungyoun yang suka berganti-ganti pasangan. Karena seburuk apapun Seungyoun, perasaannya pada Hangyul adalah murni dan tulus. Mereka, bersama, saling memperbaiki diri, saling menyempurnakan diri. Hangyul sejak lama sadar bahwa hanya Seungyoun yang bisa membuatnya merasa penuh, penuh oleh kasih sayang seperti ini.
Seungyoun tersenyum, lalu memeluk Hangyul lagi. “Aku yang seharusnya bilang terima kasih karena sudah memberiku kebahagiaan sebanyak ini,” katanya.
Hangyul balas memeluknya erat sekali. “Aku mencintamu.”
“Aku juga, Hangyul. Kamu semestaku.”