erryoun

kita, angin malam.


Waktu mungkin sudah menunjukkan lebih tengah malam, tapi jalanan kota di luar sana masih betul-betul ramai. Di dalam sebuah toko dua puluh empat jam yang lumayan besar, Cho Seungyoun berdiri sendirian dengan memeluk beberapa camilan berukuran besar. Sesekali dirinya menumpukan sebelah tangan pada meja tempat mereka memajang buah-buahan, dengan napas menderu kencang dan wajah yang memerah begitu kentara.

Kedua kakinya gemetaran, bibir bawahnya digigit kuat-kuat, sesekali matanya terpejam, seperti berusaha menahan sesuatu. Perhatiannya sendikit teralih tatkala seseorang tiba-tiba menepuk pelan bahunya dari belakang.

“Hei, kau tidak apa-apa?”

Seorang pria asing yang mendekat, Seungyoun tidak pernah melihatnya sama sekali. Laki-laki itu mengubah eskpresinya ketika melihat wajah Seungyoun yang memerah sayu, juga tentang pakaiannya yang tipis menerawang: sebuah kaos kebesaran yang menunjukkan putih mulus leher sampai bahunya, lalu tato yang mengintip di punggungnya, dan juga celana super pendek yang nyaris tenggelam di dalam kaosnya. “Ah, a-aku tidak apa-apa,” balas Seungyoun dengan suara kecil, dia menyatukan kedua pahanya secara refleks.

Laki-laki itu menyadarinya, lalu perhatiannya sontak teralih pada dua belah paha Seungyoun, dua-tiga bercak memerah masih kelihatan meskipun Seungyoun berusaha menyembunyikannya.

Laki-laki itu bergerak maju, menyudutkan Seungyoun di antara rak tempat memajang barang. Senyumannya mengembang penuh arti, lantas dagu Seungyoun diangkatnya sehingga tatapan mereka bertemu. “Kamu tidak baik-baik saja, bagaimana kalau aku mengantarmu pulang?” katanya.

Seungyoun membuang wajahnya ke arah lain, bungkusan camilan di depan dada dipeluknya lebih erat. Laki-laki itu mulai menyentuh pinggangnya, meraba-raba tubuhnya sedikit. Seungyoun merasa risih, tapi tiba-tiba getaran benda kecil yang dipasang di dalam tubuhnya mengencang dan itu membuat sekujur tubuhnya semakin melemas, tidak bisa melawan.

Tepat sebelum orang asing itu menelusupkan telapak tangannya ke dalam kaos Seungyoun, lengannya ditepis seseorang seketika. Orang itu menarik pinggang Seungyoun supaya menempel padanya, lantas dengan senyuman supermanis dia berujar,

“Dia bersamaku, tidak perlu khawatir.”

Han Seungwoo tersenyum begitu lebar seolah menyombongkan bahwa laki-laki seindah, secantik Seungyoun ada di dalam kuasanya dan orang lain hanya bisa mengagumi Seungyoun tanpa memilikinya. Seungwoo menaikkan tensi getaran vibrator yang ada di dalam tubuh Seungyoun dengan remot pengontrol kecil yang disembunyikan di dalam saku celananya. Itu membuat Seungyoun semakin melemas, tidak bisa melakukan apapun kecuali menjatuhkan diri semakin dalam ke dada Seungwoo.

“Mmmh ... hmm.”

Seungyoun menggigit bibirnya semakin keras ketika tangan Seungwoo bergerak turun, meremas-remas bokongnya kuat-kuat tepat di hadapan laki-laki asing itu.

Laki-laki itu kelihatan jengkel karena Seungwoo sudah meludah di atas harga dirinya. Lantas dia pergi dari sana begitu saja sambil menggumamkan sesuatu seperti kenapa dia tidak bilang kalau sudah punya pacar.

Seungwoo tersenyum bangga melihatnya. Maka direngkuhnya Seungyoun setelah meletakkan keranjang belanja yang sejak tadi dibawanya ke atas lantai. Seungyoun jadi menjatuhkan bungkusan camilan yang sejak tadi dipeluknya erat-erat. Mereka bercumbu, tatkala sudut toko sedang sangat sepi karena malam sudah terlalu larut. Seungwoo tidak berhenti meremas-remas bokong Seungyoun ketika memasukkan lidahnya ke dalam mulut si yang lebih muda. Itu membuat Seungyoun kehilangan akalnya.

Setelah melepas cumbu, Seungwoo bergerak turun menciumi leher Seungyoun, menghisap, menggigit permukaan lehernya hingga memerah. Seungyoun memejamkan matanya erat-erat, berusaha menahan dirinya supaya tidak berteriak.

Seungwoo meninggalkan dua-tiga tanda di leher Seungyoun, merahnya itu kelihatan jelas sekali karena kulit putihnya.

“Kak, i-ini tidak bisa disembunyikanㅡa-ah.”

Seungyoun membuka suaranya kecil. Dia menarik-narik kaosnya ke bawah, berusaha menutupi merah-merah di pahanya, tapi dengan itu tanda di lehernya menjadi semakin kelihatan jelas. Seungwoo tersenyum, lalu kembali merengkuhnya, ditatapnya dalam-dalam kedua mata Seungyoun yang menyayu basah.

“Tidak apa-apa, perlihatkan saja pada orang-orang bahwa kau adalah milikku dan hanya aku yang bisa membuatmu jadi seperti ini.”

Seungyoun tidak tahu apakah itu tentang senyuman Seungwoo, atau kata-katanya, atau tubuhnya yang kelihatan seksi, tapi Seungyoun merasa semakin melemas di dalam pelukannya, tidak bisa melakukan apapun kecuali meremas-remas bahu Seungwoo karena menahan nikmat sentuhannya.

Seungwoo melepaskannya setelah memberi Seungyoun cumbu ke-dua yang terbilang singkat. Lantas dibawanya kembali keranjang belanja yang sempat diabaikannya, lalu Seungyoun ditariknya pergi dari sana untuk membayar semua makanan di meja kasir.

Seungwoo membayar dengan cepat, tidak menghiraukan tatapan penjaga kasir yang memutar bola matanya melihat ekspresi Seungyoun yang seperti orang sakit dan kenyataan bahwa Seungwoo membeli lubrikan dan pengaman seks juga di dalam kantung belanjanya.

Lalu setelah menerima semua belanjaan dalam kantung dan uang kembalian, Seungwoo pergi dari toko itu dengan cepat. Digandengnya sebelah tangan Seungyoun erat-erat. Seungyoun mengikuti langkahnya dengan susah payah karena getaran benda kecil di dalam tubuhnya masih membuatnya tidak bisa berjalan normal. Bahunya semakin gemetaran karena pakaian tipis yang dikenakannya tidak bisa menghalau angin malam.

Mereka masuk ke dalam mobil Seungwoo yang diparkir tidak jauh dari toko. Seungwoo menyalakan mesin mobil, lalu merogoh kantung belanja, mengeluarkan sebotol lubrikan dari dalam sana, lalu ditaruhnya kantong besar itu di kursi belakang.

Seungyoun mencondongkan tubuhnya ketika Seungwoo mengisyaratkannya untuk mendekat. Lalu mereka bercumbu lagi. Seungwoo menaikkan getaran vibrator sampai maksimal, Seungyoun merintih kuat di antara ciuman mereka yang dalam, diremas-remasnya jok kursi penumpang karena tidak kuat menahan nikmat, pun satu tetes air matanya turun pelan-pelan.

Seungwoo meneluspkan tangannya ke dalam kaos Seungyoun, meraba-raba permukaan kulitnya yang dingin terkena angin malam. Lalu telapak tangannya bergerak turun, menyelip ke dalam celana pendeknya, langsung menemu permukaan kulit Seungyoun karena dia tidak memakai pakaian dalam. Ditariknya celana itu ke bawah, membebaskan kelamin Seungyoun yang sudah begitu mengeras.

Seungwoo membuka botol lubrikan, menuangkannya ke atas telapak tangan. Seungyoun menyatukan kedua pahanya erat-erat, menahan sensasi luar biasa nikmat ketika Seungwoo menyentuh ereksinya, menaik-turunkan tangannya cepat. Kejantanannya semakin mengeras karena itu.

Seungwoo mencengkram paha Seungyoun, membuatnya membuka tungkai lebar-lebar, memperlihatkan lubangnya yang disumpal mainan seks kecil yang tidak berhenti gemetar. Seungwoo menyelipkan dua jarinya yang licin ke dalam lubang Seungyoun, membuatnya terbuka lebih lebar.

“Ah! Aah! Mmh ...”

Seungwoo menekan-nekan titik lemah Seungyoun dari dalam, seraya bergerak keluar-masuk kadang-kadang. Itu membuat kedua kaki Seungyoun bergetar semakin hebat.

Seungyoun sudah hampir di ambang batasnya ketika Seungwoo justru mencabut jarinya dari lubang Seungyoun, lalu menarik rem tangan untuk segera menjalankan mobilnya. Seungyoun ingin protes, tapi getaran kuat di dalam tubuhnya membuatnya tidak bisa melakukan apapun kecuali terkulai lemah menahan klimaksnya yang sudah di ujung tanduk.

Seungwoo biasanya adalah pengemudi yang santai, tapi kali ini dia menginjak gas lumayan dalam, membelah jalanan kota yang tidak terlalu ramai. Ketika mobilnya harus berhenti sejenak karena lampu merah, sebelah tangan Seungwoo bergerak menyentuh paha dalam Seungyoun, mengisyaratkannya untuk membuka lagi kedua kakinya. Seungyoun menurutinya begitu saja. Dia mendesah kecil ketika Seungwoo mencabut paksa mainan seks dari dalam lubangnya.

Seungwoo membuka sleting celananya, sedikit menurunkan jeans panjang yang dipakainya, mengeluarkan ereksinya yang sejak tadi menyesak. Dia menarik dagu Seungyoun supaya mendekat, lalu diciumnya lagi bibir lembut Seungyoun sebelum akhirnya mengisyaratkan kekasihnya itu untuk duduk di atas pangkuannya.

“K-kamu gila, kita sedang di jalan,” gumam Seungyoun tipis, tapi dia tetap menurut. Tubuhnya melemas ketika Seungwoo mencengkram pinggangnya, lalu mengarahkan kemaluannya supaya bisa masuk ke dalam lubang Seungyoun.

“Kau membuatku gila,” bisik Seungwoo seraya mulai menciumi leher Seungyoun, lalu menghisap dan meninggalkan lebih banyak tanda di atasnya.

Seungyoun bergerak turun, perlahan memasukkan kemaluan Seungwoo seutuhnya. Dia mencengkram bahu Seungwoo lebih erat ketika ujung kemaluan Seungwoo menyentuh titik terdalamnya.

Seungwoo mencium bibir Seungyoun sesaat sebelum melepas rem karena lampu hijau sudah kembali menyala. Maka ditariknya kepala Seungyoun supaya bersandar di bahunya, sementara sebelah tangan lainnya digunakannya untuk memegang setir.

Seungwoo melajukan mobilnya cepat. Jalan-jalan di sekitar sana sudah sangat sepi karena mereka sudah masuk pinggiran kota.

Seungyoun menggerakkan pinggangnya naik-turun, mencari nikmat. Gerakkan yang awalnya pelan dan malu-malu itu semakin lama semakin cepat. Seungyoun masih menenggelamkan wajahnya di bahu Seungwoo, sesekali dia menggigit bahu pria itu karena menahan sensasi panas di bawah tubuhnya. Kedua matanya semakin membasah, begitu pula memerah wajahnya.

Seungwoo mencengkram setir mobil kuat-kuat karena lubang Seungyoun yang memanjakan kemaluannya membuat pikirannya melayang-layang.

“A-ah, ah... Kak, aku m-mauㅡ”

Kata-kata Seungyoun terputus ketika Seungwoo tiba-tiba menepikan mobilnya, lalu mematikan mesin.

“Pindah ke belakang.”

Seungwoo berujar singkat, Seungyoun menurutinya. Seungyoun bahkan tidak sempat bertanya-tanya, Seungwoo langsung menyetubuhinya lagi begitu mereka berdua pindah ke kursi penumpang di belakang. Seungwoo mendesaknya lumayan kasar, itu membuat Seungyoun merintih lebih kencang.

“Ah! Ahhn ...”

Seungyoun klimaks begitu saja karena sudah menahannya sejak tadi. Cairan itu mengalir pelan-pelan, mengotori jok mobil Seungwoo. Dia keluar semakin banyak ketika Seungwoo mempercepat tempo, mendorong lebih kuat.

Perlu waktu sedikit lebih lama sampai Seungwoo klimaks juga. Dia mengeluarkan sperma di dalam tubuh Seungyoun, memenuhi lubangnya dengan cairan kental.

Mereka saling melepaskan diri sejenak. Seungwoo memerhatikan Seungyoun lekat-lekat sambil berusaha menormalkan napasnya sendiri. Itu membuat kepalanya panas: sekujur tubuh Seungyoun diwarnai bekas memerah dan biru, kedua matanya berkaca-kaca, dan satu-dua tetes lelehan sperma keluar dari lubangnya yang setengah terbuka.

Semua itu, semuanya adalah perbuatan Seungwoo.

Lamunan singkatnya terputus ketika Seungyoun bergeser mendekat lagi, lalu menyandarkan kepala di bahunya. Kedua matanya terkatup-katup lucu, seperti kucing yang sedang mengantuk.

“Kak, lautnya masih jauh?”

Seungwoo mengubah posisi duduknya, membiarkan Seungyoun menyamankan diri bersandar padanya. Lalu dielus-elus pelan punggung si yang lebih muda sambil membalas, “Lumayan, semoga kita bisa sampai sebelum matahari terbit.”

“Tidur dulu di sini sebentar, ya?” Seungyoun bergumam, sudah tidak lagi terdengar terlalu jelas.

Seungwoo tertawa. “Ya sudah, tidur saja,” katanya sambil mengambil tisu dan membersihkan tubuh Seungyoun dari sisa-sisa sperma.

Tidak lama, Seungyoun benar-benar tertidur di pelukan Seungwoo. Seungwoo menyingkirkan poni panjang laki-laki itu, lalu mencium dahinya beberapa kali. Seungwoo selalu menikmati permainan seks gila yang kadang-kadang mereka lakukan, tapi apa yang paling membuat hatinya hangat adalah saat-saat setelahnya, ketika Seungyoun merasa lelah dan tertidur seperti bayi di pangkuannya.

Senja itu, Seungwoo termenung.


Adalah waktu sore hari, tatkala Seungwoo tidak punya apapun lagi untuk dilakukan kecuali menyesap teh lemon sambil membolak-balik buku novel kecil yang sudah dibacanya ratusan kali. Meskipun sudah menikah untuk ke-dua kali, Seungwoo tetap saja selalu menghabiskan waktu hampir sepanjang harinya sendirian. Pekerjaan lepasnya membuat Seungwoo bisa bekerja di rumah, itu bagus, tapi kadang-kadang dia merasa luar biasa bosan, juga kesepian, seperti sekarang.

Seungwoo melirik arloji dinding yang digantung di atas pintu dapur untuk kemudian menghembuskan napas panjang. Dongpyo seharusnya sudah pulang, tapi anak itu belakangan sangat sibuk karena kegiatan ekstrakulikuler sehingga acap kali harus pulang ketika matahari sudah mau terbenam. Begitu juga Seungyoun, belakangan ini suaminya itu banyak lembur sehingga baru sampai ke rumah ketika malam sudah larut sekali.

Ngomong-ngomong soal Seungyoun, Seungwoo selalu mengenalnya sebagai laki-laki yang hidupnya santai. Sebelum mereka saling mengikat diri masing-masing dalam tali pernikahan kira-kira satu bulan lalu, Seungyoun suka mengajak Seungwoo untuk keluar hampir setiap malam, jalan-jalan saja atau makan malam, dengan membawa Dongpyo atau tidak. Kalau mereka tidak sedang bersama pun, Seungwoo tahu Seungyoun suka menghabiskan waktu dengan teman-temannya, pergi ke klub untuk minum dan berdansa. Jiwanya itu sangat bebas, bisa dibilang berbanding terbalik dengan Seungwoo. Tapi, itulah justru yang membuat Seungwoo jatuh cinta padanya, selain soal wajahnya tentu saja.

Seungwoo merasa bersalah. Sejak mereka menikah, Seungyoun yang biasanya santai soal urusan pekerjaan jadi sangat berambisi. Dia tahu itu karena beban Seungyoun sekarang bukan hanya dirinya sendiri saja, tapi juga Seungwoo, ditambah Dongpyo. Seungwoo punya pekerjaan sendiri dan dia sanggup menghidupi Dongpyo, sebenarnya, tapi Seungyoun bersikeras mau menghidupi mereka berdua. Seungyoun padahal masih sangat muda, tapi tiba-tiba dia harus dibebankan seorang anak sebesar Dongpyo, Seungwoo merasa bersalah tentang itu, meskipun Seungyoun berulang kali berkata bahwa dia sayang pada Dongpyo seperti halnya Seungwoo.

Lamunan panjang Seungwoo terpotong tatkala didengarnya pintu depan rumah dibuka dari luar. Lalu tidak lama Seungyoun muncul dari pintu, dengan kemeja kerja yang sedikit acak-acakan, lengan bajunya dilipat sampai siku, dan tas kerja yang ditentengnya sedikit asal. Peluh tampak jelas menghiasi sekitar pelipis wajahnya, karena itu rambutnya menjadi sedikit berantakkan.

Seungwoo harus berusaha menahan diri supaya wajahnya tidak memanas. Suaminya ini ... benar-benar tampan.

“Aku tidak tahu kau akan pulang cepat,” Seungwoo berujar ketika Seungyoun masuk ke dalam dan menaruh tas kerjanya asal.

“Kamu tidak suka aku pulang cepat?”

“Bukan,” Seungwoo memberi jeda sejenak ketika Seungyoun menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa, mengambil tempat di sebelahnya. “Belum ada makanan apa-apa.”

Seungyoun tersenyum. “Tidak apa-apa, makannya nanti saja saat jam makan malam,” katanya.

Seungwoo tidak melanjutkan percakapan itu. Pikirannya kembali melayang-layang tentang apa yang dia lamunkan beberapa saat yang lalu. Hal-hal itu mengganggunya kembali sampai hampir secara tidak sadar dia membuka suara, “Youn ...”

“Hm?”

“Kamu kapan terakhir kali main sama teman-teman?”

Seungyoun mengambil cukup lama waktu untuk menjawab, “Tidak ingat,” katanya. “Pokoknya sebelum kita menikah. Memangnya kenapa?”

“Tidak kangen?”

“Ya, kangen, sih. Tapi aku 'kan sudah menikah, masa' main ke tempat tidak benar. Memangnya Kakak mau-mau saja aku mabuk-mabukan sambil dansa sama perempuan klub?”

Seungwoo tidak menjawab, lumayan lama. Seungyoun jadi mengalihkan wajahnya pada suaminya itu. Dia tertawa secara refleks, lumayan keras.

“Kenapa tertawa?!”

“Kakak kok cemberut? Lucu banget.”

“Ka-kamu kenapa bilang mau dansa sama perempuan?!”

“Habisnya 'kan Kakak yang mulai,” Seungyoun mencondongkan tubuhnya, mengecup dahi Seungwoo lembut sebelum akhirnya menambahkan, “Tentu saja tidak akan, itu aku hanya asal bicara saja.”

“T-tapi,” Seungwoo menyatukan alisnya. “Youn, kalau mau main sama teman-teman, main saja. Kakak tidak akan melarang.”

“Kenapa tiba-tiba membicarakan ini?” Seungyoun menjawab sambil tidak henti memerhatikan ekspresi Seungwoo lekat-lekat, sebenarnya itu membuat Seungwoo merasa malu untuk beberapa alasan.

“Kamu 'kan suka main, aku takut kamu tidak bahagia setelah menikah denganku,” jawab Seungwoo tanpa membalas tatapan intens Seungyoun.

Tatapan Seungyoun melembut, lalu dirinya tersenyum. Dia merasa beruntung sudah menikahi orang selembut Seungwoo, sepengertian Seungwoo. Diraihnya pergelangan tangan Seungwoo, lalu dimain-mainkannya jari-jari sang suami yang panjang-panjang itu. Dikecupnya punggung tangan Seungwoo satu-dua kali sebelum membalas, “Kak, dulu aku main-main untuk cari kesenangan,” katanya. “Sekarang aku tidak cari kesenangan lagi, karena kebahagiaanku sudah ada di hadapanku saat ini.”

Seungwoo melotot. Lalu ditariknya tangannya dari genggaman Seungyoun, untuk kemudian ditutup wajahnya sendiri dengan kedua tangan, merasa malu sekali. Itu tidak adil bahwa Seungyoun lebih muda darinya, tapi bisa membuat Seungwoo merasa lemah dengan gombalan murahan yang keluar dari mulutnya. “Kamu jangan tiba-tiba bicara aneh!”

Seungyoun tertawa. “Bicara aneh apa? Aku jujur, kok,” katanya sambil merengkuh tubuh Seungwoo masuk ke dalam pelukannya. “Dongpyo juga sumber kebahagiaanku. Katanya anak itu mau jalan-jalan ke luar negeri, makanya aku mengejar promosi di kantor belakangan ini.”

Seungwoo mengangkat wajahnya, menatap lurus pada Seungyoun. “Jangan memaksakan diri, anak itu suka asal bicara.”

“Tidak apa-apa. Memangnya Kakak tidak mau jalan-jalan keluarga ke luar negeri?”

“M-mau, sih.”

Seungyoun tersenyum. “Makanya, aku usahakan.”

Seungwoo mengalihkan pandangannya. Seungyoun kelihatan keren sekali saat bicara demikian. Kenyataan bahwa mereka masih dalam posisi berpelukan membuat kepalanya semakin terasa pusing saja.

Makanya, tanpa sadar Seungwoo sudah membuka mulutnya,

“Youn.”

“Hm?”

“Mau cium.”

Seungyoun tertawa kecil, tapi tanpa banyak basa-basi dia mencium bibir Seungwoo dengan lembut sekali. Seungyoun selalu seperti ini, dia adalah pria yang romantis. Dia tahu bagaimana memerlakukan seseorang supaya merasa spesial di sampingnya. Itulah yang membuat Seungwoo jatuh begitu saja ke dalam pelukan Seungyoun meskipun pernah gagal membina rumah tangga satu kali sebelumnya.

Ciuman itu lama-lama berkembang menjadi cumbu yang dalam. Seungyoun memasukkan lidahnya, menyapa hangat dan manis Seungwoo dalam-dalam.

Seungyoun sudah hampir saja membuka kancing baju Seungwoo kalau saja kegiatannya itu tidak diinterupsi oleh bantal sofa terbang yang tiba-tiba telak mengenai kepalanya.

Saat sedang sibuk mengaduh, terdengar rengekan anak SMP yang ternyata sudah berdiri di ambang pintu,

“Om ngapain Papih aku?!!”

Dongpyo berlari, lalu memeluk Seungwoo posesif. “Papih cuma punya aku! Om jauh-jauh sana!!” teriaknya pada Seungyoun.

Seungyoun memasang wajah cemberut yang dibuat-buat. “Kamu kok jadi panggil Om lagi, sih. Kemarin sudah mau panggil Papa.”

“Tidak mau! Om sudah macam-macam sama Papih!”

“Itu bukan macam-macam, sayang. Itu namanya bikin adik buat kamu.”

“Cho Seungyoun!!” Seungwoo melotot marah, tapi pipinya memerah padam saat itu.

“Apa sayangku, Cho Seungwoo?” balasnya santai, seolah tidak terpengaruh dengan rengekan Dongpyo yang semakin keras karena tidak mau punya adik.

• ryeonseung. part 4.

.

Bohong jika dikatakan bahwa Seungyoun sedang santai-santai saja belakangan ini.

Menjadi seorang kepala bagian akuntansi di usia muda adalah prestasi yang membanggakan, tapi ada beban berat yang harus dia pikul karena menerima posisi ini. Soal banyaknya pekerjaan, soal besarnya tanggung jawab, Seungyoun tidak bisa terlalu banyak mengeluh, terutama di hadapan anak-anak buahnya sendiri.

Sebenarnya, beban pekerjaan yang cukup berat mungkin adalah alasan utama kenapa Seungyoun mulai ketagihan melucuti pakaiannya sendiri di depan kamera. Dipandang dengan hormat itu memang kelihatannya hebat, tapi kadang-kadang Seungyoun lelah mempertahankan wibawa. Ini sedikit terdengar memalukan, tapi Seungyoun menikmati menuruti setiap perintah para penonton videonya. Seungyoun senang setiap kali membaca komentar-komentar mereka yang penuh cinta, itu membuatnya merasa seperti diberi pelukan besar yang penuh sayang. Itu adalah obat yang benar-benar mujarab kalau-kalau Seungyoun sedang merasa superlelah.

Meskipun, ya, mungkin sudah hampir satu minggu sejak terakhir kali Seungyoun melakukan live. Dia benar-benar sibuk dan banyaknya pekerjaan membuat Seungyoun biasanya langsung tergeletak di atas tempat tidur setiap kali pulang ke apartemen.

Ngomong-ngomong, sebenarnya tawaran Han Seungwoo untuk berangkat dan pulang bersama dari kantor sekitar sepekan lalu itu banyak membantu Seungyoun. Itu membuatnya tidak perlu menyetir dan bisa curi-curi waktu tidur di dalam mobil. Seungwoo juga tidak keberatan meskipun Seungyoun lebih banyak tidur di dalam mobil dari pada mengajaknya mengobrol.

Seungwoo itu ... pria yang sangat manis. Dia jauh lebih perhatian dari yang Seungyoun kira. Waktu pertama kali Seungwoo memergokinya sebagai Woodz, Seungyoun kira laki-laki itu akan menggunakan rahasia kecil itu sebagai ancaman untuk membuat Seungyoun tunduk padanya dan akan menuruti kata-katanya. Kenyataannya, Seungwoo tidak pernah memaksanya melakukan apapun lagi kecuali ajakan untuk pergi dan pulang bersama tempo lalu itu.

Beberapa waktu lalu Seungyoun hanya melihat Seungwoo sebagai salah satu dari beberapa staf yang lebih tua darinya. Tapi belakangan ini dia bisa melihat sisi seorang Han Seungwoo yang lain, yang memesona, yang sangat hangat. Seungwoo itu bahunya tegap segali, jari-jarinya panjang menggoda, garis wajahnya tegas. Seungyoun tidak pernah mengakuinya, tapi berada di pelukan laki-laki itu membuatnya merasa aman dan nyaman.

Tapi, ternyata sisi manisnya hanya bertahan sampai audit di kantor mereka selesai dilaksanakan.

Seungyoun kira dia bisa bernapas lega ketika akhirnya kesibukan gila-gilaannya akan segera berakhir.

Ternyata, Seungwoo berpikir bahwa itu adalah saat yang tepat untuk mulai bermain-main dengan atasannya yang menggemaskan itu.

Maka, tepat ketika semua staf yang mengisi ruangan itu sudah pulang ke rumah masing-masing hari itu, Seungwoo langsung menyudutkan Seungyoun di sudut ruangan dengan senyuman penuh arti di muka wajahnya. Padahal itu masih Seungwoo yang sama seperti biasa, yang senyumnya manis, yang perhatian, tapi Seungyoun merasa kecil untuk beberapa alasan.

“Hadiah dariku kau pakai hari ini, 'kan?”

Seungyoun menelan ludahnya sendiri, lalu menggigit bibirnya. Kedua pahanya digesekkan tidak nyaman karena mengingat apa yang sejak tadi pagi dipakainya di dalam celana kerja sehingga membuat area selangkangannya terasa tidak nyaman. Lantas dia mengangguk kecil.

Seungwoo tersenyum melebar. Dia mundur menjauh sedikit, lalu menarik kursi untuk duduk dekat sana. Tanpa sama sekali mengalihkan perhatian dari wajah Seungyoun yang memerah kentara, dia berujar, “Kalau begitu tunjukkan padaku.”

“Kau mau aku membuka celanaku di sini?” protes Seungyoun, sedikit tidak percaya.

“Semuanya, buka semuanya.”

“I-ini masih di kantor.”

“Aku tidak bertanya apakah kau mau atau tidak, ini adalah perintah,” Seungwoo berujar santai sambil menopang wajahnya dengan sebelah tangan.

Dengan begitu, Seungyoun hanya menggigit bibirnya lebih keras sebagai jawaban. Lalu detik berikutnya ditariknya dasi yang dipakainya pelan-pelan. Seungyoun menurunkan sleting celananya kemudian, menurunkan pelan-pelan celana kerjanya sampai jatuh ke atas lantai, membuat sepasang paha mulusnya tampak di bawah cahaya ruangan kerja yang sangat terang.

Dengan sedikit malu-malu, Seungyoun mengangkat kemeja kerjanya sampai pusar, menunjukkan pakaian dalam wanita berenda-renda yang dipakainya ke hadapan Seungwoo. Kedua paha Seungyoun saling ditutupnya rapat-rapat karena dingin yang bertiup dari jendela kantor yang terbuka, lalu kejantannya yang merah muda kelihatan mengintip-intip di balik kain tipis celana dalam itu.

Senyuman Seungwoo mengembang ketika kejantanan Seungyoun bergerak pelan-pelan, menegang sendiri padahal mereka sama sekali tidak saling bersentuhan. “Serius? Kamu menegang sendiri hanya karena ditatap olehku?”

Kedua alis Seungyoun menyatu, sedikit kesal. “K-kau pikir aku pernah pergi ke kantor dengan pakaian dalam seperti ini?!”

Seungwoo menghembuskan napas panjang sambil berusaha menahan senyumannya supaya tidak terlalu lebar. “Sial,” katanya. “Kamu kelihatan jauh lebih cantik dari yang aku duga.”

Seungyoun meruntuki dirinya sendiri karena dengan pujian murah seperti itu saja dia merasa meleleh sendiri dari dalam.

“Kau belum selesai,” ujar Seungwoo kemudian. “Aku menyuruhmu membuka semuanya.”

“T-tapiㅡ”

“Sayang, aku sudah merasa cukup mendengarmu membantah.”

Seungyoun menelan kembali kata-katanya, dia mengembungkan pipinya lucu.

Lalu, pada akhirnya dia membuka kemeja kerjanya juga, menjatuhkannya ke atas lantai begitu saja. Sekarang dia telanjang bulat, kecuali dengan celana dalam wanita yang sedikit menutupi bagian intimnya. Sekuruh tato di atas permukaan kulitnya terekspos dengan indah, Seungyoun kelihatan seksi sekali saat itu.

Seungwoo menarik sebelah sudut bibirnya, lalu merentangkan kedua tangannya. “Manis sekali, kalau begitu biar aku memberimu hadiah, Seungyouni,” katanya.

Seungyoun seharusnya tidak menyukai bagaimana anak buahnya sendiri ini memerintahnya, memanggil namanya dengan seenaknya, tapi entah karena sihir apa dirinya ikut terbawa-bawa. Seungyoun melangkah, duduk di atas pangkuan Seungwoo, lalu menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan laki-laki itu. Seungwoo memeluk pinggang lelaki yang lebih muda, meremas-remas bokongnya sesekali. Seungyoun menangkup wajah Seungwoo dengan kedua tangannya, mengagumi pahatan Tuhan yang sangat indah itu dari dekat.

Lalu mereka bercumbu, dalam sekali, basah sekali, menemu lidah masing-masing. Di antara napasnya yang memburu, Seungyoun merintih kecil karena Seungwoo menelusupkan tangannya ke dalam pakaian dalamnya, lalu menggoda dengan menusuk-nusukkan ujung jarinya ke dalam lubang Seungyoun.

Mereka saling melepas cumbu beberapa lama kemudian. Seungwoo mengisyaratkan Seungyoun untuk turun dari pangkuannya, saat itulah Seungyoun sadar bahwa ereksi lawannya ini sudah lumayan menyiksa di bawah celana kerjanya. Seungwoo menurunkan sleting celananya, mengeluarkan kejantannya yang sudah setengah menegak.

Melihatnya, Seungyoun jadi menelan air ludahnya sendiri nyaris tanpa sadar.

Dia bahkan tidak pernah bermain dengan dildo seukuran itu sebelumnya.

“Suka yang kau lihat?”

“A-ah ...” Seungyoun hanya bergumam tidak jelas. Wajahnya memerah dengan kentara.

“Kemari,” Seungwoo menarik pinggang Seungyoun supaya mendekat lagi. “Make it bigger, Sweetie. Suck it.”

Kedua kaki Seungyoun terasa seketika melemas. Dia berlutut perlahan di antara kedua kaki Seungwoo. Ternyata melakukan ini di depan kamera dengan di depan orang asli betul-betul terasa berbeda. Seungyoun bukan tidak pernah melakukan seks dengan orang lain sebelumnya, dia hanya tidak pernah melakukannya dengan orang seseksi Seungwoo.

Seungyoun memulai dengan jilatan kucing yang malu-malu. Seungwoo menunggu dengan sabar karena dia kelihatan menggemaskan. Lama-lama Seungyoun membuka mulutnya, mengemut, menghisap ujung kemaluan Seungwoo seperti bayi.

Itu terasa sangat nikmat, tapi apa yang membuat kepala Seungwoo terasa panas adalah Seungyoun sendiri, yang wajahnya begitu cantik setengah tertutup oleng poninya yang panjang, juga sekujur tubuhnya yang indah, yang gemetaran setiap kali kemaluan Seungwoo masuk terlalu dalam, menyentuh ujung tenggorokannya.

Ereksi Seungwoo menegak sempurna pada akhirnya. Seungyoun merasakan jantungnya berdegup begitu kencang melihat kemaluan lawannya itu berdiri tepat di depan wajahnya.

Seungyoun tersentak kaget ketika Seungwoo berdiri, lalu menarik rambutnya ke belakang. Itu menyakitkan, tapi tenggorokannya terasa sangat perih ketika laki-laki yang lebih tua memasukkan kemaluannya dengan paksa ke dalam mulut Seungyoun, lalu dimasuk-keluarkannya berkali-kali dengan sedikit kasar.

“A-ah ... hah.”

Seungyoun merintih kecil setiap kali Seungwoo memberinya kesempatan untuk bernapas. Tapi tidak lama dia akan melanjutkan lagi, mendesak mulut Seungyoun yang basah dan hangat. Salivanya sudah menetes banyak melalui ujung bibir, tidak kuasa menahan terlalu banyak desakkan yang Seungwoo berikan.

Lantas pada akhirnya Seungwoo klimaks, di dalam mulut Seungyoun. Cairan putih kental itu setengah tertelan olehnya, sebagian lagi mengalir keluar bersama basah bibirnya. Seungwoo masih keluar banyak saat itu, dibiarkannya sisa cairan itu mengalir ke atas permukaan kulit Seungyoun, mengotori leher dan dada laki-laki itu.

Seungwoo meraih dagu Seungyoun, menyejajarkan kepala mereka, mengecup bibirnya dua-tiga kali, lalu menyeka sedikit air matanya yang turun. Seungyoun menggigit bibirnya keras-keras saat itu, berusaha menahan gemetar.

“Sayang, katakan apa yang kau inginkan.”

Seungyoun berujar tipis, “K-kamu.”

“Katakan dengan benar.”

“A-aku mau Seungwoo.”

“Aku tidak puas dengan jawaban itu.”

Seungyoun tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Tanpa pikir panjang dia berbalik membelakangi Seungwoo, lalu menungging, mengangkat tinggi-tinggi bokongnya ke udara. Lantas diturunkannya sedikit celana dalam wanita yang dikenakannya, sehingga tampak lubangnya yang sudah berkedut-kedut meminta dimasuki. Seungyoun merintih ketika ditusuknya lubang itu dengan jarinya sendiri, lalu dibukanya lebar-lebar lubang itu dengan gerakkan menggunting sambil berkata,

“Kak Seungwoo, a-aku mohon.”

Seungwoo terkejut, kepalanya mendadak terasa panas.

Pak Bosnya ini sebelumnya enggan sekali memanggilnya 'Kakak', meskipun sebenarnya dia lebih muda dari Seungwoo.

“Manis sekali,” komentar Seungwoo seraya melangkah pelan, lalu dengan setengah berdiri dengan menumpu pada lutut, dia menaruh telapak tangannya di bokong Seungyoun, meremas-remasnya beberapa kali. Tubuh Seungyoun gemetaran begitu saja hanya karena itu.

Seungwoo membasahi jari-jarinya dengan cairan sperma, lalu dipersiapkannya lubang Seungyoun sedikit, dibasahinya, dilicinkannya sedikit.

Tidak lama, Seungwoo betul-betul memasukkan kemaluannya. Dia memulai dengan gerakan yang sangat pelan, tapi karena minim persiapan Seungyoun merintih lumayan kencang dan kedua kakinya langsung gemeteran. Itu membuatnya harus berhenti sekali-sekali, membiarkan Seungyoun terbiasa dulu dengan ukuran penisnya.

Gerakkan yang sangat pelan itu perlahan menjadi cepat. Seungyoun masih merintih sedikit-sedikit, tapi dia mulai menemukan nikmat di dalamnya. Seungwoo beberapa kali menyentuh titik lemahnya dan itu membuat sekujur tubuhnya melemas tidak berdaya.

“Ah, ah ... K-Kak Seungwoo ...”

Di antara setiap desahnya yang tipis menggoda, Seungyoun tidak berhenti memanggil-manggil nama Seungwoo dalam nikmat.

Seungwoo berhenti sejenak, dia mengajak Seungyoun berganti posisi. Dia duduk kembali di atas kursi, lalu Seungyoun diisyaratkannya untuk duduk mengangkang di atas pangkuannya. Seungwoo terlebih dahulu menarik ikatan pita di pakaian dalam Seungyoun, itu membuat helaian kain tipis itu jatuh begitu saja ke lantai, membuat Seungyoun sekarang betul-betul telanjang bulat di hadapannya.

Seungyoun lantas duduk di atas pangkuan Seungwoo, berusaha memasukkan kelamin pria itu ke dalam lubangnya pelan-pelan, sekujur tubuhnya melemas ketika seluruh bagian kemaluan Seungwoo sudah masuk seutuhnya, menyentuh titik paling dalam tubuh Seungyoun, membuatnya merasa penuh dan hangat.

Seungyoun berusaha bergerak naik-turun dengan sisa-sisa tenaga yang dia punya. Itu terasa nikmat meskipun sedikit melelahkan.

Setelah beberapa lama, akhirnya keduanya klimaks. Seungyoun yang duluan. Dia mengotori kemeja kerja Seungwoo sementara Seungwoo keluar di dalam lubang Seungyoun. Masih membiarkan kemaluannya di dalam lubang hangat Seungyoun, Seungwoo mencium bibir Seungyoun beberapa kali dengan lembut, sedikit melumatnya tapi tidak menuntut. Seungyoun menikmati itu. Dia memeluk leher Seungwoo lebih erat karenanya.

'Klak.'

Ketika mereka saling menatap dalam hening, tiba-tiba pintu ruangan itu dibuka dari luar. Seungyoun yang benar-benar terkejut tidak tahu harus melakukan apa kecuali memeluk dan menyembunyikan wajahnya di bahu Seungwoo. Seungwoo berbalik, lalu tersenyum tenang pada Yohan yang sudah melongo tidak percaya dengan apa yang dia lihat di hadapan mata.

“K-kak Se-Seungwoo ... se-sedang apa ...?”

Yohan bahkan tidak sadar ketika kata-kata itu keluar dari mulutnya begitu saja.

Jantung Seungyoun berdegup kencang sekali, tubuhnya semakin gemetaran. Seungwoo yang menyadari itu lantas mengelus-elus punggungnya lembut.

“Maaf,” ujar Seungwoo sekenanya. “Ini pacarku hanya sedang ingin ... melakukan ini,” katanya. “Jangan beri tahu Pak Seungyoun soal ini, ya.” Seungwoo menaruh jari telunjuk di bibirnya. “Nanti aku bisa terkena masalah. Ini rahasia kita berdua saja.”

“O-oh, oke,” jawab Yohan terbata.

“Mau apa ke sini ngomong-ngomong?”

“Mau mengambil barang yang tertinggal. Ta-tapi tidak penting, sih,” Yohan bergerak mundur perlahan. Wajahnya memerah sekali saat itu. “Lanjutkan saja, Kakak-kakak, maaf sudah mengganggu,” katanya sambil perlahan berlalu setelah menutup pintu.

Seungwoo dan Seungyoun sama-sama terdiam cukup lama, tapi setelah beberapa detik Seungyoun memukul-mukul bahu Seungwoo, kesal. “I-ini karena kau! Se-seharusnya kita tidak melakukan ini di dalam ruangan kerja!”

“H-hei, yang penting Yohan tidak mengenalimu tadi,” balas Seungwoo seraya berusaha menghentikan kedua tangan Seungyoun yang memukulinya.

“T-tetap saja!” serunya. “Bagaimana kalau dia melaporkanmu ke direksi?”

Seungwoo malah tertawa. “Kau mengkhawatirkan aku?”

Seungyoun merasakan wajahnya memanas. “Ti-tidak boleh aku mencemaskanmu?!”

Tertawa manis, Seungwoo mencubit pipi Seungyoun gemas. “Lucu,” gumamnya tipis. “Iya, memang salahku. Aku minta maaf,” katanya. “Sebagai gantinya, kamu biar aku gendong sampai mobil, ya.”

“Apa-apaan itu? Aku bukan anak kecil.”

“Ya sudah kalau tidak mauㅡ”

Seungyoun mengeratkan pelukannya pada Seungwoo tiba-tiba. “Si-siapa bilang tidak mau?”

Seungwoo tertawa lagi, ikut membalas pelukan itu sama eratnya, lalu mencium kepala Seungyoun penuh sayang.

Padahal Seungwoo memulai ini semua karena iseng saja, karena menarik saja mengerjai bosnya yang juga seorang camboy favoritnya. Dia tidak menyangka permainan kecil mereka membuatnya sadar tentang sisi lain Seungyoun yang lain, tentang Seungyoun yang sebenarnya, bukan tentang Pak Bos sempurna yang penuh wibawa di kantor.

Seungyoun itu manis, lebih banyak bicara dan mengeluh dari yang dia kira, dia juga sedikit manja kalau sedang merasa sangat lelah.

Beberapa dari itu kedengaran seperti kekurangan, memang.

Tapi, Seungwoo justru semakin terjerat dalam pesona.

Gelap.

Menampilkan sebuah memori sejauh yang mungkin dia ingat. Melalui hitam pekat yang memenjarakan, jerit pilu yang menyakitkan terus terngiang-ngiang memekakkan. Jarinya bergerak, lengannya terangkat, meraih sesuatu yang nihil di hadapan dada. Kaku namun pasti. Napasnya terus berderu konstan, suaranya terdengar lirih sebentar-sebentar.

Tapi satu keadaan yang tetap tidak ada ubahnya.

Gelap.

Sepi.

Dingin.

Bau memuakkan.

Sampai sebuah pelukan kejutan membuatnya menyapa kehangatan.

Hangat, melelehkan. Dada yang bertemu beradu deru menyadarkannya bahwa eksistensi hidup di sana bukanlah hanya dirinya seorang. Gemetar tubuh satunya, memeluknya, membasahi pundaknya.

Dia yang masih samar-samar dalam benak terus bergumam tanpa henti di antara isakan, “Kau akhirnya bangun—”

Napasnya sempat terhela sejenak.

“—Hangyul.”

Tatkala panggilan itu masuk melalui telinganya, banyak hal mulai memenuhi dalam kepala. Memperlihatkan sepotong memori terakhir yang semakin dan semakin jelas. Rasanya baru sejenak tadi, tapi beberapa hal yang sulit dipahami memaksanya setuju bahwa kejadian itu sudah lama sekali. Momen penting di antara kebahagiaan terencana dan kehilangan yang tanpa ekspektasi. Menyakitkan, memuakkan.

Tapi hangat yang menyapa tubuhnya telah berhasil meluluhkan segalanya.

Meskipun tetap rasanya kurang.

Karena dia bukanlah 'dia'.

Han Seungwoo memperkuat eksistensinya, mengeratkan pelukannya. Menyalurkan kasih hatinya, menghangatkan hitam di kedua matanya. Menyapa setelah terlalu lama dia menunggu dalam kesunyian.

“Kak Seungwoo—”

Suaranya serak, ragu, menyesakkan. Tapi Seungwoo bersumpah dia sangat bahagia. Karena meskipun gelap membelenggu kuat orang di hadapannya, dia tetap memanggil Seungwoo dengan benar. Lee Hangyul bisa mengenalinya.

Senyuman indah terkembang pada muka wajahnya.

“—di mana Kak Seungyoun?”

Sampai Seungwoo akhirnya sadar bahwa dia sudah berharap terlalu banyak.

.

.

.

.

.

.

.

Gelap ternyata bukan hanya sekedar halusinasinya saja.

Sampai Seungwoo menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padanya, Hangyul hanya bisa menghembuskan napas pasrah.

Di luar dugaan bahwa Hangyul bisa menerima semuanya dengan langkah ringan. Kenyataan bahwa sebelah kakinya tidak lagi bisa digerakkan dan ketidakmampuannya lagi untuk mendapati warna-warni dunia.

Bahwa kedua hitam yang mengilap menghiasi wajahnya kini redup tak hidup akibat kerusakan parah karena luka di bagian kornea.

Hangyul tidak bisa lagi pergi ke mana pun sekehendak hatinya, tidak bisa lagi melanjutkan hidupnya sebagai atlit taekwondo, tidak bisa berlarian di atas padang rumput sore hari seperti yang biasa dia lakukan.

Tapi dia tampak tenang-tenang saja meskipun terkadang dia terlihat rindu akan warna-warni dunia.

“Ini terdengar bodoh,” terkadang Hangyul berbicara jujur pada Seungwoo. “Ge-gelap di sekitarku selalu membuatku ingat pada hitamnya mata Kak Seungyoun—”

Seungwoo menyukai merah jambu tipis yang mewarnai pipi laki-laki di hadapannya.

“—aku senang.”

Tapi kenyataan yang menimpanya tidak seindah senyuman yang Hangyul tunjukkan.

Seungwoo menyukainya, menyayanginya, mencintainya untuk berbagai sebab yang tidak bisa dijelaskan, karena itu Seungwoo rela menunggu lama hingga jari-jari itu bergerak menyapa kulitnya setelah kesadaran yang hilang menidurkannya, menjadi orang pertama yang menyapa kehangatannya, membantunya dalam masa-masa sulit setelah dibeberkan kenyataannya.

Tapi satu yang tidak bisa dia lakukan.

“Di mana Kak Seungyoun?”

Satu pertanyaan yang tidak pernah lelah dilontarkan Hangyul.

Pun Seungwoo tidak pernah lelah menyangkal bahwa dia bisa menjawabnya.

Meskipun terkadang Seungwoo harus menjawab seadanya sebisa yang dia lakukan.

“Seungyoun ada di sini, 'kan?”

Disentuhnya telapak tangan Hangyul, menyatukan rangsangan pada satu tuju jelas di jari manis si yang lebih muda di mana terpasang segaris tipis cincin perak mengilap, di mana kedua nama itu terukir indah penuh makna.

'Cho Seungyoun & Lee Hangyul.'

Hangyul akan mendecih sebagai balasan, “Kakak pikir aku ini bodoh, apa?” seraya menarik sebelah tangannya dari genggaman Seungwoo, malu sepertinya. “Jangan sok romantis seperti itu, menjijikan.”

Seungwoo hanya tertawa.

Tertawa hambar karena semenjijikan apapun, seklise apapun, jika itu tentang seorang pria bernama Cho Seungyoun, Hangyul tetap akan memunculkan merah pada muka wajahnya.

Dengan kenyataan itu, semakin hari, kedua netra Seungwoo semakin sarat akan determinasi yang dijunjungnya tinggi. Karena jika dia tetap membiarkan Hangyul pada rasa penasaran yang memukul-mukul dirinya tanpa henti, suatu saat dia akan menyakiti lebih dari ini. Bukan berati Seungwoo siap menjawab pertanyaan tersebut dengan sejujur mungkin, tapi Seungwoo bertekad akan perlahan membuat Hangyul lupa.

Lupa pada bagaimana Seungyoun memanggilnya.

Lupa pada bagaimana Seungyoun menyentuhnya.

Lupa pada bagaimana Seungyoun menciumnya.

Seungwoo yakin, ada saatnya Hangyul mulai melihat padanya dan berhenti merindukan Seungyoun seperti saat ini.

Ada saat di mana cincin yang tersemat pas di jari manis Hangyul mengukirkan namanya secara pasti.

Seungwoo & Hangyul, kedengarannya manis, bukan?

Karena itu, beberapa lama setelah Hangyul dirawatnya di apartemen pribadinya, sesekali dihadiahinya kecupan kecil di dahi dan pipi.

“Itu menggelikan, Kak. Aku bukan anak kecil lagi.”

Hangyul selalu mendesis tidak suka.

Tapi Seungwoo tahu Hangyul akan perlahan merindukannya.

Tentu sulit.

Tapi keadaan telah membuka celah kesempatan untuknya.

Jika boleh memilih, Seungwoo tidak pernah berpikir untuk mau menaruh hati pada orang yang sudah bahagia duluan dengan orang lain. Namun, siapa yang bisa mengira? Padahal Seungwoo itu pendiam, sedikit banyak serius, dan dewasa sekali.

Namun, orang yang telah berhasil merebut hatinya, di luar dugaan, adalah Lee Hangyul yang sangat kekanak-kanakan.

Perbedaan adalah fokus yang bisa disingkirkan.

Tapi kenyataan bahwa Hangyul sudah bersama Seungyoun adalah hal yang tidak bisa dielakkan.

Mereka serasi. Keras dan keras. Selalu bercanda, tertawa, menghabiskan waktu bersama, berduel, bahkan—ah—bercinta.

Seungwoo mengenal Cho Seungyoun dengan sangat baik.

Dia tahu bagaimana Seungyoun juga menyukai Hangyul.

Dia bahkan tahu ketika beberapa hari sebelum ulang tahun Hangyul, Seungyoun membeli sepasang cincin perak yang indah untuk mereka berdua.

“Aku tidak peduli anak itu akan menertawakanku karena bersikap sok romantis. Tapi cincin ini adalah tanda bahwa suatu saat aku akan menikahinya.”

Sampai hari itu, Seungwoo seharusnya menyerah pada cinta pertamanya.

Tapi malamnya, pada malam penghujung tanggal dari hari bahagia mereka, Seungwoo seharusnya tidur lebih awal supaya tidak perlu mendengar kabar yang menyakitkannya lebih dari apapun.

Kabar yang menghantamnya lebih keras dari kenyataan bahwa cintanya tidak bisa dipaksakan.

Mereka kecelakaan, Hangyul mendapat kemungkinan bahwa dia tidak akan bisa melihat dan berjalan dengan normal lagi. Selama dirawat di rumah sakit, Seungwoo selalu menunggunya sadar dalam diam, selalu menggenggam tangannya memompa harapan, selalu berdoa kapan saatnya impuls dari Hangyul bisa segera menyapa dirinya.

Sedangkan Seungyoun? Tidak terdengar. Menghilang bagaikan debu tersapu angin.

Seungwoo tidak tahu di mana tempat tinggal keluarga Seungyoun dan apartemen pribadinya kosong tak berpenghuni.

Dalam masa kebingungan antara keberadaan Seungyoun yang nihil dan Hangyul yang tidak kunjung bangun dari tidur panjangnya, Seungwoo harus dihadapkan pada sebuah kenyataan lain yang menghimpitnya secara menyesakkan.

Sebuah panggilan telepon dari Seungyoun.

Setelah sekian lama dia menghilang.

Dan apa yang dia katakan justru bukan sebuah kabar yang menyenangkan.

[“Aku pindah rumah dan aku akan segera menikah. Sebenarnya keluargaku benar-benar tidak bisa menerima hubunganku dengan Hangyul. Lagi pula kudengar dia mendapat kemungkinan cacat karena luka berat. Aku tahu kau menyukainya, jadi lakukan apa yang kau mau padanya karena dia bukanlah urusanku lagi. Maaf, Kak Seungwoo. Sampaikan juga permintaan maafku pada Hangyul.”]

Seungwoo ingat, waktu itu dia membanting ponsel dengan sangat keras karena kesalnya.

Dasar pengecut.

Seungyoun pengecut.

Tidak, tidak mungkin.

Dia masih bisa berpikir positif bahwa orang yang baru saja berbicara dengannya di telepon bukanlah Cho Seungyoun yang dia kenal.

Tapi ketika Seungwoo kemudian mendapat sepaket kecil yang ternyata adalah cincin perak milik Seungyoun yang selama ini pasangannya masih melingkar manis di jari Hangyul, dia tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan dengan kenyataan itu.

Seungyoun melepaskan cincin itu dan memberikannya pada Seungwoo.

Apa lagi yang bisa menjelaskan itu?

Sesak. Menekan dada. Denyut kepala.

Seungwoo menanggung semuanya sendirian. Darah yang menetes ketika ditinjunya tembok kamarnya sendiri dengan sekuat tenaga, merefleksikan kemarahan yang luar biasa. Kecewa, Seungwoo benar-benar kecewa. Teriakan dia lontarkan, pada seseorang yang tidak dia ketahui keberadaannya sampai sekarang.

Tidak adil.

Kenapa harus Seungwoo yang menanggung hal seperti ini?

Apa yang bisa dia katakan pada Hangyul?

Seungwoo tidak sanggup.

Karena itu, sampai Hangyul berhenti merindukan Seungyoun, Seungwoo tidak pernah berhenti menaruh harapan kepadanya.

Sentuhan kecil.

Sapaan.

Pelukan.

Kecupan.

Sehingga akhirnya sampai pada keadaan di mana Hangyul selalu tampak senang—meskipun tidak mengaku secara gamblang—pada kehadiran Seungwoo di sisinya, dia berani meyakinkan dirinya bahwa Hangyul juga membuka diri untuknya.

Gerbang awalnya melalui sebuah ciuman dalam. Malam hari setelah Seungwoo pulang dari pekerjaannya, mereka beradu lidah bertukar saliva. Merasakan bagaimana hembusan napas masing-masing yang panas menantang menerpa wajah di hadapan. Haus dan menuntut, memecah kerinduan

Sampai sebelah tangan Seungwoo turun hendak menyentuhnya lebih dalam, desahnya lolos dengan sangat ringan.

“Ahh—K-kak Youn—”

Nama Seungyoun tetap yang pertama diucapkan.

Tipis tapi menyesakkan.

Seungwoo tetap tersenyum tipis dan dia tidak pernah melanjutkan.

Sementara kepalanya penuh dengan tekanan, Seungwoo seharusnya sadar bahwa Hangyul masih dihujani banyak tanda tanya. Tentang hal-hal yang tidak dijawabnya dengan benar, tentang hal-hal yang tidak berani dia tanyakan.

Tatkala hari-hari mereka yang semu menyenangkan berjalan seperti biasanya, Hangyul kembali bertanya tentang sesuatu yang lain.

“Kenapa kau melakukan semua ini?”

“Apa maksudmu?”

“Y-ya ... membolehkan aku tinggal di apartemenmu?”

Seungwoo tersenyum tipis, “Kau bilang kalau kau pulang ke apartemen lama, Ibu Panti bisa tahu tentang keadaanmu dan kau tidak mau dia panik.”

“Bukan itu maksudku!” Hangyul meninggikan nada suaranya. Detik berikutnya dia menunduk, menyembunyikan rona merah tipis yang muncul di pipinya. “Kenapa merawatku? Kenapa kau sangat ba-baik? Kau bisa melakukan hal lain yang lebih berarti ketimbang merawat orang tidak berguna sepertiku.”

“Tidak ada yang lebih berarti dari pada itu.”

“Ha-hah?”

“Aku mencintaimu, Hangyul.”

Hening selama beberapa detik.

“A-apa sih, bercandanya tidak lucu.”

Seungwoo berjalan pelan mendekat ke arahnya.

“Itu bukan sebuah candaan.”

Mengelus pelipisnya.

Jika saja itu sebuah lelucon, kenyataan tidak akan semenyakitkan ini bagi Seungwoo.

Mengecup bibirnya dalam.

Biarkan sentuhan itu semakin menginvasi setiap inci permukaan kulitnya.

Menekan kepalanya, melelehkan salivanya melalui sudut tipis bibir yang basah terbuka.

Panggil namanya. Masuk ke dalam pelukannya.

Dalam tarian panas yang menuju destinasi naluriah, Seungwoo merasakan hatinya menghangat.

“Kak Se-Seungwoo—”

Di sela-sela setiap desahnya, nama itu terus terlafalkan, tipis berbisik.

Meskipun, Seungwoo tahu dia tidak akan pernah sepenuhnya menggantikan seorang Cho Seungyoun di hati Hangyul.

Karena meskipun Hangyul tidak pernah lagi mencoba menanyakan keberadaan Seungyoun, cincin perak itu masih betah melingkar manis di jari sebelah tangannya.

Seungwoo tidak pernah berani bertanya mengapa.

Menepis kenyataan yang tersembunyi di belakang panggung dunia, mereka menjalani semuanya dengan damai, menikmati keadaan dan diri mereka satu sama lain, melempar tawa bahagia dan canda hangat. Manis. Ketika candaan seenak hati Hangyul yang keras bercampur padu dengan tawa tipis Seungwoo yang merdu mengalun menenangkan.

Sampai apa yang tertimbun dalam dada telah tidak sanggup lagi bertahan.

Seungwoo seharusnya tahu bahwa tanda tanya dalam kepala Hangyul tidak akan pernah hilang.

Melalui setiap gerak-geriknya, melalui sentuhannya, melalui suaranya.

Karena itu, ada saatnya di mana Seungwoo harus memilih jujur tentang rahasia terbesar yang selama ini meninju-ninju kepalanya.

Meskipun konsekuensinya adalah menyaksikan reaksi Hangyul yang menyakitkan.

“A-apa?”

Tubuhnya melemas, bergetar hebat. Menahan sebuah sensasi eksentrik yang menekan-nekan dadanya secara anomali.

Tawa hambar terdengar, sarat akan luka. “Kak Seungwoo be-bercandanya tidak lucu.”

Seungwoo berjalan mendekat, menggenggam kedua tangan Hangyul yang terus bergetar hebat, menahan tinju tanpa tuju yang mungkin saja akan meledak seketika.

Tidak mengindahkan kalimat Hangyul sebelumnya, Seungwoo melanjutkan kemudian, “Dia memberikan cincin miliknya padaku. Aku menggenggamnya sekarang. Kau bisa merasakannya, 'kan?”

Hangyul mengeratkan genggamannya pada Seungwoo, memusatkan perhatian permukaan kulit telapak tangannya pada lingkaran kecil yang selama ini pemilik aslinya dia rindukan.

Bibir bawahnya digigit sekuat tenaga, meredam rasa kecewa yang luar biasa menyedihkan.

Apa artinya kebersamaan mereka yang telah dilewati selama bertahun-tahun?

Apa artinya setiap senyuman bahagia yang dia tunjukkan?

Apa artinya setiap sentuhan yang dia berikan?

Jika akhirnya seperti ini, seharusnya Seungyoun tidak perlu repot-repot melakukannya dari awal.

Sial.

Benar-benar sialan.

Dia ingin menjerit.

Dia ingin meninju.

Dia ingin menendang.

Apapun itu. Apapun.

Kenapa harus gelap?

Kenapa hitam?

Kenapa Hangyul harus selalu mengingat manusia itu?

“Sial—”

Panas hatinya, emosi yang terpacu naik dengan cepat, pada akhirnya menjinak dalam pelukan hangat.

Seungwoo tahu semuanya akan berakhir seperti ini.

Maka belenggunya yang akan turun tangan menahan gemetar hati sang lawan. Hangyul menerimanya, bahkan secara hampir tidak sadar telah membalas pelukan Seungwoo terlalu erat, menopang goyah luar biasa dalam hatinya.

“Kak Seungwoo—”

Hangyul memanggilnya dalam isakan penuh luka. Seungwoo menjauhkan sedikit tubuhnya, mulai mendengarkannya dengan baik.

“Ternyata hitam gelap memang menyebalkanㅡ”

Gelap, gelap yang selama ini mengingatkan Hangyul pada kedua mata rubah Seungyoun yang indah.

“A-aku ingin bisa melihatmu dengan jelas.” Genggaman tangannya mengerat pada jari-jemari Seungwoo.

Dia menunduk malu.

Seungwoo tertawa ringan.

Kecupan ringan diberikan Seungwoo pada dahinya hampir secafa refleks.

“Aku akan mengusahakan itu.”

Dua senyuman cantik yang menghangatkan sontak terkembang. Meskipun tidak semudah itu Hangyul merelakan cintanya, terbukti dari sebelah tangannya yang terhias lingkaran perak cantik mengilap itu yang terus gemetar hebat mengepal kuat dan dari setitik bening yang masih bertengger di sudut matanya.

.

.

.

.

.

.

“Rasanya seminggu ke belakang aku hampir lupa bagaimana warna-warni dunia.”

Hangyul tersenyum lebar, begitu cerah senada suasana hatinya. Beberapa waktu yang lalu, Seungwoo berhasil mendapatkan donor kornea yang cocok untuknya melalui kabar dari seorang dokter kenalan. Sekarang Hangyul sudah bisa berjalan-jalan ringan meskipun masih dalam masa pemulihan.

Seungwoo duduk dengan tenang di sampingnya, hanya bergumam tidak jelas seraya membaca buku novel kecil di tangan.

Beberapa detik hening, Seungwoo menutup bukunya untuk kemudian disimpannya ke dalam saku belakang celana. “Aku senang kamu senang,” katanya sambil bergeser mendekat pada Hangyul.

Hangyul tersentak sedikit secara refleks ketika bahu mereka saling bersentuhan. Padahal selama sekian minggu ke belakang mereka selalu bersama, tapi keadaannya saat ini sedikit berbeda. Hangyul bisa melihat wajah Seungwoo, sedekat ini, seintim ini. Senyumannya itu sangat hangat melelehkan, kedua matanya itu teduh sekali, seindah suara manisnya.

“Kenapa bengong? Aku tampan ya?”

Hangyul melempar wajahnya ke arah lain, “Apa, sih. Percaya diri sekali Kakak ini,” katanya tidak acuh, tapi daun telinganya kelihatan memerah menggemaskan.

Lantas dipeluknya Hangyul begitu erat, Seungwoo membenamkan wajahnya di bahu Hangyul sambil berteriak tertahan. “Menggemaskan!!”

“Ge-gemas apanyaㅡ?” Hangyul berusaha melepaskan pelukan itu karena merasa malu. “A-aku ini keren, mantan atlit taekwondo.”

Seungwoo menjauhkan tubuhnya sebentar. Lalu ditatapnya kedua mata indah Hangyul lamat-lamat. Dikecupnya bibir Hangyul sekilas sebelum akhirnya berujar, “Iya, kamu keren, mantan atlit taekwondo,” katanya sambil tersenyum begitu manis.

Hangyul terdiam sejenak. Bahkan sebelum sempat kehilangan penglihatan, dia tidak pernah menyadari bahwa Seungwoo ternyata setampan itu, semelelehkan itu. Hangyul benci kenyataan bahwa dengan mudahnya wajahnya memanas begitu saja.

Melihat reaksi Hangyul, Seungwoo mencubit dua belah pipi si yang lebih muda gemas. “Tuh, 'kan, menggemaskan sekali kamu.”

“Sa-sakit, Kak!”

Di antara dua tawa yang konstras namun menyatu merdu membawa irama, sepasang mata memerhatikan mereka dalam geming yang intens.

Hembusan napas yang panjang frustasi terdengar kemudian.

Maka detik berikutnya orang itu beranjak dari tempatnya, melangkah pelan namun pasti tujuannya. Kedua alisnya tidak henti saling menyatu selama perjalanan. Sampai pada akhirnya langkah yang konstan itu membawanya pada sebuah bangunan tinggi yang tidak benar-benar enak dipandang.

Dia masuk tanpa ragu, dengan menenteng sebuah kantong belanja yang penuh dengan camilan khas anak-anak. Sesampainya di dalam, tidak perlu berusaha mencari pun orang yang ingin ditemuinya dapat dilihatnya dengan mudah.

Dan, orang itu juga langsung menyadari keberadaannya.

“Dohyon?”

Cho Dohyon menyandarkan punggungnya pada tembok di belakang tubuhnya yang sudah berwarna kusam. Dia menghembuskan napas panjang sebelum akhirnya membuka suara, “Aku tahu Kakak orang yang baik, tapi ini sudah kelewatan. Aku tidak mengerti—”

Pemuda yang masih mengenakan seragam SMA itu menatap lurus pada lelaki lainnya di dalam ruangan.

“—Kak Seungyoun.”

Seungyoun bergeming, tetap pada posisinya di atas ranjang. “Kau melihat Hangyul?”

Dohyon mengangguk kecil, seraya merogoh jajanan dari dalam kantong belanja yang dia bawa. “Ya. Kak Hangyul sangat ceria setelah bisa melihat lagi.”

“Aku senang—”

“Lihat dirimu, Kak Seungyoun,” Dohyon mengintrupsi, nada suaranya meninggi. Dia tidak peduli lagi apakah nada suaranya masih terdengar sopan pada orang yang lebih tua atau tidak. “Kau sudah lebih dulu kehilangan kedua kakimu, sekarang kau kehilangan penglihatanmu. Aku tidak mengerti jalan pikiranmu, Kak.”

“Ah,” Seungyoun menunduk sedikit dalam. “Hangyul tidak akan bisa benar-benar bahagia jika bersama denganku,” katanya, pelan. Seraya memegangi kedua kakinya yang teramputasi sebatas lutut.

Dohyon mengernyit. “Kakak bodoh. Aku yang masih sekolah saja tidak sebodoh Kakak.”

Seungyoun tertawa hambar dengan senyuman miring, “Mungkin suatu saat kau akan mengerti.”

Dohyon menyerah, sebenarnya dia sudah bosan terlibat perdebatan yang sama dengan Kakaknya yang keras kepala ini untuk kesekian kalinya. Maka dengan masih memasang wajah cemberut dia naik ke atas ranjang, lalu membuka bungkus makanan ringan yang dia bawa dengan tenaga berlebihan.

Sambil makan, Dohyon tidak lupa menyuapkan makanan ringan itu pada Seungyoun juga meskipun dengan sedikit ogah-ogahan. Di sela-sela itu, dia membuka suara, “Aku tidak mau selamanya menyembunyikan dan mengurus Kakak.”

Seungyoun tertawa. “Ya sudah, kalau sudah bosan nanti kirim saja aku ke Dinas Sosial atau Rumah Sakit Jiwa.”

“Kakak bicara apa!!” Dohyon berteriak kesal, mati-matian menahan diri untuk tidak memukul kepala Seungyoun saat itu juga. Di balik nada suaranya yang marah dan kesal, Dohyon ingin menangis. Atau, dia sudah menangis setiap malam, terutama sejak laki-laki itu dengan bodohnya memutuskan untuk mendonorkan matanya untuk Hangyul. Melihat keadaan Seungyoun yang sekarang ini, hatinya terasa perih sekali, menyakitkan sekali.

menghapus rindu.

.

Han Seungwoo itu adalah pria yang manis. Biasanya, apapun yang Seungyoun minta, apapun yang Seungyoun suruh, akan dikabulkannya tanpa banyak bertanya. Karena baginya, melihat senyuman Seungyoun yang merekah lucu seindah mentari adalah hal yang paling utama.

Namun, kali ini dia ingin bersikap menyebalkan sedikit. Mungkin karena Seungyoun yang merajuk, yang sok cemberut padahal ingin diperhatikan juga sama menghibur bagi Seungwoo. Padahal laki-laki yang lebih tua sudah meninggalkan rumah hampir selama lima hari karena perjalanan bisnis, tapi apa yang dia lakukan begitu sampai rumah justru adalah membersihkan diri sedikit lalu langsung melesat ke ruangan pribadinya, duduk di kursi kerja, lalu memeriksa dokumen-dokumen pekerjaan, nyaris tidak berinteraksi dengan Seungyoun sama sekali kecuali berucap “aku pulang” saat baru masuk rumah tadi.

Sekian menit, Seungyoun bisa tahan membiarkan Seungwoo berkutat dengan pekerjaannya. Tapi sampai sudah lebih tiga puluh menit dan laki-laki itu belum juga menunjukkan tanda-tanda akan keluar dari ruang kerjanya, Seungyoun berdecak sebal melihatnya.

Seungwoo tadinya sudah hampir mau menyerah dengan rencananya. Bosan juga lama-lama membolak-balik berkas lama yang sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi sambil corat-coret di atas kertas pura-pura berpikir selama lebih dari setengah jam. Tapi, niatnya itu terurung ketika mendengar suara langkah kaki masuk dengan pelan dari belakang tubuhnya, lalu tidak lama Seungyoun muncul di sisi tubuhnya, dengan memasang wajah cemberutnya yang menggemaskan.

Seungyoun menumpukkan kepalanya ke atas meja kerja Seungwoo, setengah berdiri dengan bertumpu pada lutut. Seungwoo meliriknya sekilas. Padahal itu sudah larut malam, tapi Seungyoun malah mengemil semangkuk es krim, tidak tahu untuk sebab apa. Mungkin untuk memancing amarah Seungwoo karena itu bisa membuatnya masuk angin.

Seungwoo gemas sekali ingin meladeninya, ingin membawa kekasihnya itu ke dalam pelukannya karena sebenarnya Seungwoo juga sudah bukan kepalang rindu, tapi mungkin dia harus mencoba bertahan sedikit lagi untuk membuat semuanya terasa lebih menarik.

“Kak,” Seungyoun akhirnya membuka suara karena Seungwoo tidak kunjung menaruh perhatian padanya.

“Hm?” Seungwoo hanya bergumam tidak jelas sebagai balasan.

“Masih banyak kerjaan?”

“Lumayan.”

Seungyoun terdiam sejenak. Terlihat sekali sebenarnya dia benci harus mengatakan apa yang dia inginkan secara gamblang. Seungwoo harus mati-matian menahan senyumannya mengembang. “Ti-tidak bisa berhenti sebentar?”

“Kenapa?” balas Seungwoo tanpa sama sekali mengalihkan pandangan dari berkas-berkas itu.

Seungyoun mendengus, dia tidak mau menjawab. Wajahnya semakin kelihatan cemberut saja.

Melihat reaksi itu, Seungwoo merasa sedikit luluh. Dia menoleh pada Seungyoun, lalu mencubit pipi kekasihnya itu gemas. “Jangan cemberut, apa yang kau inginkan, sayang?” tanyanya.

Saat itu, Seungwoo baru menyadari Seungyoun sejak tadi mengenakan piyama miliknya. Seungyoun sedikit lebih kurus darinya sehingga pakaian itu membuat permukaan kulit leher dan pundak Seungyoun banyak terekspos. Tentu saja, Seungyoun tahu betul bagaimana cara menggoda Seungwoo dengan hal-hal kecil seperti itu.

Alih-alih menjawab, Seungyoun justru berusaha melepaskan cubitan Seungwoo dari pipinya, lalu jari-jari Seungwoo itu diciumnya. Seungwoo sedikit tersentak ketika kekasihnya itu mulai mengeluarkan lidah, menjilati jari-jari panjangnya. Seungyoun mengulum, menghisap jari Seungwoo seperti bayi. Mulutnya itu terasa basah dan dingin karena baru saja makan es krim.

Pada akhirnya, Seungwoo menyerah dan mengikuti permainan Seungyoun. Dibelainya bibir Seungyoun yang basah karena saliva, lalu ditekan-tekan lidahnya sedikit memaksa. Seungyoun mengeluarkan desah kecil setiap kali Seungwoo menekan rahangnya terlalu keras. Melihat reaksinya yang lucu, juga tentang bibirnya yang terbuka, basah, dan memerah, Seungwoo rasa miliknya sudah mulai menegang karena pikirannya yang melayang-layang.

Maka ditariknya dagu Seungyoun mendekat. Dicumbunya laki-laki itu dalam-dalam. Benar dugaan, mulut Seungyoun sudah basah sekali karena rangsangan yang diberikan jari-jari Seungwoo sebelumnya. Itu membuat ciuman mereka terasa lebih berisik, tapi juga terasa lebih panas menggoda. Mungkin karena sudah betul-betul rindu, Seungyoun melemah dengan begitu mudah dalam ciuman itu, dia mencengkram jari-jari Seungwoo karena menahan nikmat yang memuncah dari satu cumbu itu saja.

Seungwoo melepaskan ciuman itu kemudian. Ditatapnya sang terkasih yang tatapannya penuh hasrat itu lamat-lamat.

“Kau memakai pakaianku.”

“Tidak boleh?”

“Kau tidak minta izin, sayang.”

“Tapi aku sukaㅡ”

“Lepaskan, sekarang.”

Seungwoo berujar dengan tenang, tapi nada suaranya sedikit lebih tegas dari biasanya. Seungyoun jadi menurutinya tanpa banyak bicara. Dia berdiri, lalu menanggalkan satu per satu piyama Seungwoo itu dari tubuhnya.

“Bagaimana aku bisa mengagumi indah tubuhmu kalau kau masih memakai ini?” Seungwoo berujar seraya menyelipkan jarinya di karet celana dalam Seungyoun, lalu diremasnya satu-dua kali bokong Seungyoun gemas.

Seungyoun menurunkan celana dalamnya juga kemudian, membebaskan kejantanannya yang sudah setengah mengeras sejak tadi. Seungwoo masih betah meremas-remas bokongnya kuat, itu membuat kedua kaki Seungyoun semakin melemas.

Seungwoo menarik pinggang Seungyoun supaya mendekat, lalu diisyaratkan laki-laki yang lebih muda darinya itu untuk duduk mengangkang di atas pangkuannya. Seungyoun menurutinya. Dia mendesah kecil ketika merasakan kejantanan Seungwoo yang mengeras di bawah celana kerjanya itu menggesek-gesek bokongnya.

Seungwoo meraih mangkuk es krim yang tadi ditinggalkan Seungyoun sudut kiri meja kerjanya. Di dalamnya masih tersisa lumayan banyak dan belum mencair. “Enak ya makan es krim sendiri?” gumam Seungwoo seraya menyambil satu sendok penuh es krim itu. “Aku juga mau,” katanya. Lalu ditaruhnya gumpalan es krim itu menutupi sebelah puting susu Seungyoun.

“Aaah ... ah.”

Seungyoun menggigit bibirnya, sensasi dingin itu membuat puting susunya mengeras seketika. Sekujur tubuhnya gemetaran karena itu. Gumpalan es krim itu akhirnya jatuh ke pahanya, lalu meleleh ke lantai. Seungwoo tidak terlalu suka melihatnya. Dia menampar bokong Seungyoun satu kali karenanya.

“Jangan dijatuhkan.”

“Ma-maaf.”

Kali ini Seungwoo mengambil dua sendok penuh, untuk diletakkan di kedua puting susu Seungyoun. Sekujur tubuh Seungyoun semakin gemetaran saat itu. Dia menggigit bibirnya lebih keras. Punggungnya sengaja dilengkungkan supaya gumpalan es krim itu tidak jatuh lagi.

“Aah... di-dingin.”

Seungwoo tersenyum mendengar suara Seungyoun yang tipis tertahan.

“A-ahh ...”

“Seungyoun, katakan apa yang kau inginkan.”

Seungyoun menatap Seungwoo sejenak. “Kak Se-Seungwoo, ma-makanlah aku,” katanya sambil mencondongkan dadanya ke hadapan Seungwoo.

Dengan senang hati Seungwoo menurutinya. Dia menjilati puting susu Seungyoun yang penuh es krim, lalu setelah cukup bersih dihisapnya satu per satu sampai puting susunya itu memerah. Seungyoun tidak bisa melakukan apapun kecuali meremas-remas bahu Seungwoo, menahan nikmat yang menggelitikinya itu.

Selesai dengan itu, Seungwoo memindahkan kedua tangannya yang sejak tadi di pinggang Seungyoun ke bawah, ke bongkah bokongnya yang empuk. Lalu diremasnya beberapa kali, sebelum akhirnya berpindah menyentuh, menekan-nekan lubang Seungyoun.

Seungwoo tidak terlalu terkejut ketika dia mencoba memasukkan ujung jarinya sedikit, Seungyoun ternyata sudah dalam keadaan basah dan siap dimasuki. Itu membuat senyumannya merekah lebih lebar.

“Sayang, kau main-main sediri lagi.”

Seungyoun tidak menjawab. Dia hanya bersandar pada bahu Seungwoo sambil memejamkan mata, menikmati pijatan-pijatan kecil yang jari-jari Seungwoo lakukan di dalam lubangnya.

“Kau rindu padaku?”

“Mmhh.” Seungyoun hanya bergumam tidak jelas. Seungwoo yang sedang memasukkan empat jarinya sekaligus membuat kepalanya tidak bisa berpikir dengan jernih.

Seungwoo mencium daun telinga Seungyoun sebelum akhirnya berbisik, “Tunjukkan padaku sebesar apa kau merindukan aku.”

Seungwoo menurunkan sleting celananya, mengeluarkan kejantannya yang sudah berdiri tegak. Seungyoun tidak perlu diperintah lagi untuk tahu apa yang harus dia lakukan. Dimasukkannya kelamin Seungwoo ke dalam lubangnya pelan-pelan. Posisinya yang setengah berdiri membuat lubang Seungyoun terasa sangat sempit. Seungwoo melenguh tertahan menahan nikmat dibuatnya.

Seungyoun mulai menaik-turunkan tubuhnya. Dia terlihat berusaha keras melawan kedua kakinya yang melemas dan sekujur tubuhnya yang gemetaran. Tapi dia bisa mempercepat tempo pada akhirnya. Rintihannya meninggi setiap kali milik Seungwoo menyentuh bagian tubuhnya yang paling dalam. Pinggulnya bergerak-gerak kecil, mencari kenikmatan dari kemaluan Seungwoo yang menegak. Itu menggemaskan.

Seungyoun berhenti sejenak karena sedikit lelah, saat itu Seungwoo memutuskan bahwa itu adalah waktu yang tepat untuk memberi hadiah untuk kekasih manisnya. Maka dimintanya Seungyoun untuk berdiri dari posisinya, Seungwoo ikut berdiri dari kursi kerjanya. Dia lantas mengisyaratkan Seungyoun untuk menungging, menumpu pada meja kerja.

Seungwoo suka posisi mereka jika berhadapan karena bisa melihat wajah Seungyoun, tapi Seungyoun yang menungging di hadapannya seperti ini juga tidak masalah, karena bokongnya, dengan lubangnya yang terbuka siap dimasuki, adalah pemandangan favorit Seungwoo juga.

Ide jahil Seungwoo muncul lagi ketika melihat es krim di dalam mangkuk masih tersisa banyak. Maka dicoleknya es krim itu dengan dua jari tangan kanannya, lalu dimasukkan kedua jarinya itu ke dalam lubang Seungyoun. Sensasi dingin itu membuat Seungyoun terkejut, sebelah kakinya terangkat, desahnya mengeras karena tidak kuasa dirinya menahan.

Ketika akhirnya gumpalan es krim itu habis meleleh di dalam lubang Seungyoun, Seungwoo kembali memasukkan kemaluannya. Lantas disetubuhnya Seungyoun dalam ritme cepat. Mereka berdua sudah sama-sama mengeras sekali, tidak lama lagi keluar.

“Ah! Aah ... Kak, a-aku mau ...”

“Aku juga.”

Lantas mereka klimaks di saat yang hampir bersamaan. Seungyoun mengotori lantai di bawah meja, sementara Seungwoo memenuhi lubang Seungyoun dengan cairan sperma. Biasanya Seungyoun tidak terlalu suka melakukan seks tanpa pengaman, tapi lain cerita kalau dia sedang benar-benar merindukan Seungwoo seperti saat ini. Cairan sperma Seungwoo yang memenuhinya justru membuatnya merasa hangat untuk beberapa alasan.

Seungwoo menjatuhkan tubuhnya ke atas kursi kerja, lalu ditariknya tubuh Seungyoun supaya duduk di atas pangkuannya, sama-sama mengambil waktu sejenak untuk melepas lelah.

“Sebelum tidur, kau harus mandi,” Seungyoun membuka suara setelah membiarkan situasi hening cukup lama.

“Kau harus ikut.”

“Hmm,” Seungyoun bergumam tidak jelas sebagai jawaban, tapi kemudian dia melingkarkan kedua lengan di leher Seungwoo, mengisyaratkan Seungwoo untuk menggendongnya.

Seungwoo tertawa kecil, kemudian digendongnya Seungyoun seperti pengantin. Lalu dibawa kekasihnya itu ke kamar mandi mereka untuk segera membersihkan diriㅡ

ㅡatau ronde ke-dua, mungkin.

• kamu: terindah

Yohan sudah mengenal Hangyul sejak lama sekali. Mereka lahir, tumbuh, dan dewasa di lingkungan yang sama. Mereka menghabiskan hampir seluruh waktunya bersama. Di mana ada Yohan, di situ ada Hangyul. Sudah seperti sepasang saudara kandung saja hubungan keduanya.

Maka dari itu, Yohan tidak bisa membayangkan sisa hidupnya dihabiskan dengan orang lain selain Hangyul, begitu juga sebaliknya.

Ketika Yohan datang ke rumah Hangyul dengan membawa sebuah buket bunga yang besar dan cincin emas di dalam kotak beludru biru, disambutnya sahabatnya itu dengan senyuman yang lebar dan pelukan yang hangat.

Lalu mereka menikah. Ciuman pertama mereka adalah di atas altar, begitu canggung dan malu-malu. Yohan sebenarnya sempat berpikir bahwa menikahi Hangyul adalah keputusan yang salah, tapi ketika selesai keduanya bertukar kecupan manis setelah mengucap janji suci, yang ditemuinya adalah Hangyul yang menunduk dalam-dalam, kedua matanya yang besar itu disembunyikannya di balik poni yang lumayan panjang, lalu kedua telinganya memerah menggemaskan.

Saat itu Yohan tahu, dia adalah orang paling beruntung di dunia.

Setelah upacara pernikahan yang supermelelahkan, Yohan dan Hangyul justru menghabiskan waktu duduk di atas ranjang dalam diam selama sekian belas menit, menemu situasi paling canggung yang pernah menimpa keduanya. Padahal waktu kecil keduanya sering mandi bersama, tidur bersama, tidak pernah ada diam-diaman karena Hangyul itu banyak bicara, sementara Yohan tidak pernah kehabisan topik obrolan.

Tapi sekarang situasinya terasa sangat berbeda. Tapi bukan keduanya menyesali itu, melainkan saling berusaha menormalkan deru jantung yang sejak tadi berisik sekali sulit dikontrol.

Hangyul yang duluan bergeser mendekat pada Yohan, mencari kehangatan. Keduanya masih enggan saling bertatapan, tapi diam-diam tersenyum malu ketika bahu mereka bertemu. Sinyal kecil itu yang membuat Yohan akhirnya bertindak. Dia membalikkan tubuh, menatap lurus pada Hangyul meskipun itu membuatnya tidak bisa bernapas dengan normal seketika.

Aneh sekali. Padahal sudah jutaan kali dilihatnya wajah Hangyul, ditatapnya mata Hangyul, tapi Hangyul yang sekarang terasa berbeda, kelihatan cantik sekali, indah sekali kedua matanya memantulkan cahaya temaram lampu kamar.

Maka dicumbunya laki-laki yang lebih muda sekian bulan darinya itu, lembut sekali, manis sekali seperti permen kapas. Mulutnya terbuka begitu saja Ketika Yohan menjilat bibir bawah Hangyul, lalu lidah mereka bertemu, saling membelai dan bertukar kehangatan.

Itu lucu, itu menggemaskan, Yohan rasa jantungnya berderu terlalu kencang sampai rasanya mulai sedikit terlalu menyakitkan. Hangyul itu padahal tubuhnya besar, dia juga sama-sama mantan atlit taekwondo, tapi dia meleleh, melemas bersama cumbu Yohan yang kian mendalam. Masih mempertahankan cumbu, Yohan mengangkat sebelah tangan, memain-mainkan daun telinga Hangyul yang memanas pelan-pelan.

Lalu mereka saling melepaskan diri sejenak, saling menatap. Napas keduanya hangat dan memburu, menerpa terasa menggelitik. Hangyul menatap laki-laki yang lebih tinggi darinya itu dengan kedua matanya yang bulat dan besar, yang kali ini sedikit menyayu basah. Bibirnya juga basah, memerah, dan sedikit terbuka. Itu membuat Yohan tidak bisa menahan diri untuk tidak memberinya lagi dua-tiga kecupan di atas indah bibirnya.

Yohan membuka satu per satu kancing kemeja Hangyul, sehingga terekspos tubuhnya yang sempurna. Didorongnya Hangyul supaya berbaring di bawahnya, saat itulah celananya dilepas juga, dijatuhkan begitu saja ke bawah ranjang. Yohan menelan air ludahnya sendiri karena begitu indahnya tubuh Hangyul. Merasa malu dengan tatapan terlalu intens suaminya itu, Hangyul melipat kakinya ke dada, menyembunyikan tubuhnya dari si yang lebih tua.

“Kenapa ditutup?”

“Malu.”

“Kita pernah mandi bersama waktu usia delapan.”

“Itu berbedaㅡa-ah!”

Hangyul berteriak kecil ketika Yohan membuka tungkainya lebar-lebar sedikit memaksa. Lalu dengan menggunakan botol lubrikan yang sebelumnya diambil dari atas meja kecil di sebelah ranjang, Yohan membasahi dua jarinya sendiri.

Dengan sebelah tangan lainnya, Yohan menangkup dan meremas bokong Hangyul kuat, itu membuat kulitnya memerah.

Hangyul merasa malu, malu sekali. Baginya selama ini Yohan adalah sahabat terdekat, tempat bertukar curhat, tempat melepas penat. Tapi sekarang dia telanjang, Yohan ada di atasnya, menatapnya seperti santapan yang menggoda, bermain-main dengan lubangnya yang masih sedikit saja terbuka.

Yohan memasuk-keluarkan jarinya, untuk kemudian menambah jari ketiga, memanjakan Hangyul dari bawah sana, menuntunnya menemu nikmat yang tiada tara. Hangyul merintih agak keras ketika Yohan membuka lubangnya sedikit paksa.

“Aahㅡhmmㅡ!”

Suara Hangyul yang biasanya superberat itu melengking tinggi sekilas. Itu memancing senyuman tipis muncul di muka wajah Yohan. Lalu ditekan-tekannya lagi titik lemah Hangyul berkali-kali dengan gemas.

“Ah! Ahhh! Aaah Yo-Yohanㅡ”

Kemaluan Hangyul berdiri menegak karenanya. Yohan menunduk dan mencium ujung kemaluan Hangyul lembut. Saat itu Hangyul rasa wajahnya sudah betul-betul tidak karuan karena memanas.

Yohan membuka atasan bajunya juga, lalu menurunkan celananya. Dia mencium dahi Hangyul sambil mengelus-elus pelipisnya lembut. “Aku akan mulai, katakan padaku kalau sakit,” bisiknya tepat di telinga Hangyul.

Maka disetubuhinya Hangyul kemudian. Lubang Hangyul terasa sangat sempit karena itu adalah kali pertamanya melakukan seks. Yohan memasukkan kemaluannya pelan-pelan, kadang-kadang berhenti sejenak ketika si laki-laki yang lebih muda mulai meninggi rintihannya.

Tidak lama Yohan mempercepat tempo. Sekujur tubuh Hangyul gemetaran menahan terlalu banyak sensasi memabukkan. Dia mencengram seprai kuat-kuat, bersama napasnya memburu yang tidak karuan.

“Ah! Ah! Ahhㅡhmm.”

Yohan mencumbu bibir Hangyul lagi, masih dengan mempertahankan kemaluannya bersarang di dalam lubang Hangyul. Cumbu itu lebih dalam, lebih memburu, sedikit memaksa dari pada yang sebelumnya. Hangyul jadi mencengram lengan Yohan, bersama nikmat yang mengacak-acak kepalanya. Yohan menggerakkan pinggangnya sesekali, memanjakan lubang Hangyul dengan gerakkan pelan yang memancing nikmat.

Yohan melepaskannya kemudian, tersenyum tipis pada keadaan Hangyul yang semakin berantakan: terutama soal bibirnya yang semakin merah dan membengkak.

“Yo-Yohanㅡ”

“Kenapa, sayang?”

“Lagi,” katanya dengan suara kecil.

Yohan tersenyum manis. “Lagi apa?”

Hangyul membuka kedua kakinya lebih lebar, lalu membuka lubangnya lebar-lebar dengan jari. “Ma-masuki aku lagi,” katanya. “Lebih ce-cepat.”

Dimintai dengan manis seperti itu, tentu saja Yohan akan dengan senang hati menurutinya. Maka dimasukkan kembali kemaluannya dalam satu kali hentakkan, itu cukup untuk membuat Hangyul mengeluarkan desah panjang, bersamaan dengan kedua kakinya yang semakin gemetaran.

Tidak lama, Yohan mempercepat tempo.

“Ah! Ah! Aaah... Yo-Yohanㅡ”

Melihat Hangyul yang hanya bisa mendesah penuh nikmat sambil memanggil namanya, Yohan jadi semakin dan semakin mengeras di dalam lubang Hangyul.

“A-ah ... Yo-Yohan ...”

Hangyul sepertinya sudah hampir klimaks, kemaluannya yang berdiri tegak sudah memerah sempurna, setitik kecil sperma sudah keluar menyapa udara.

“Yo-Yohan ... a-ah, su-suamiku ...”

Yohan mencium dahi Hangyul lagi, masih dengan mempertahankan tempo cepat. “Sa-sayang, kamu indah,” katanya di sela-sela kegiatan itu, sedikit tidak terlalu jelas karena menahan nikmat dari himpitan lubang Hangyul yang sedikit terlalu ketat.

“Aku ma-mau keluar.”

“Aku juga.”

Tidak lama, mereka klimaks hampir secara bersama-sama. Yohan mengeluarkan spermanya begitu saja, memenuhi lubang Hangyul. Ketika laki-laki itu mengeluarkan kemaluannya, lelehan spermanya itu keluar sedikit-sedikit dari lubang Hangyul. Entah kenapa itu kelihatan menggemaskan.

Hening mendera cukup lama, tapi mereka tidak berhenti saling menatap, saling mengagumi keindahan ciptaan Tuhan yang terpampang nyata di hadapan keduanya.

Hangyul yang memecah keheningan itu pada akhirnya. Dia tertawa kecil entah karena sebab apa. Yohan menatap bingung pada awalnya, tapi dia ikut tertawa tidak lama kemudian. Mereka tertawa renyah bersama, menertawakan hal yang sangat sederhana di antara kehangatan yang dibagi berdua.

“Hangyul, terima kasih sudah mau menikah denganku,” Yohan meraih sebelah tangan Hangyul kemudian, diciumnya jari manis Hangyul yang masih tersematkan sebuah cincin emas tanda ikatan pernikahan mereka. “Kamu adalah hadiah terindah yang pernah Tuhan berikan untuk hidupku. Aku bahagia sekali saat ini.”

Hangyul menegakkan tubuhnya, lalu menghambur ke pelukan Yohan, membenamkan wajahnya di bahu suaminya itu dalam-dalam. “Aku juga,” katanya. “Aku tidak bisa membayangkan menghabiskan hidup dengan orang lain selain Yohan.”

Yohan balas memeluknya, ikut menyandarkan kepalanya di bahu si terkasih. Dia memejamkan matanya, menikmati suasana hangat sambil menyesapi aroma tubuh suaminya yang menenangkan itu dalam-dalam.

• ryeonseung. part 3.

.

Cho Seungyoun tidak pernah mengira setengah harinya akan berakhir seperti ini.

Padahal sudah beberapa menit lewat dari jam masuk kerja, tapi alih-alih sudah duduk di mejanya, Seungyoun justru terperangkap di salah satu bilik kamar mandi yang dikunci rapat-rapat bersama salah satu anak buahnya sendiri.

Dan, ngomong-ngomong seluruh kancing kemeja kerja Seungyoun sudah dibuka, celananya sudah tergantung di belakang pintu. Kesalahannya padahal hanya sesepele membiarkan Han Seungwoo melihat tato kecil di bawah lengannya, tapi itu membuatnya ada di situasi serumit ini.

Seungyoun tidak bisa ke mana-mana, menolak 'tantangan' Seungwoo yang ingin melihat apakah dia punya tato pistol atau tidak jelas malah akan membuat laki-laki itu curiga. Maka, pada akhirnya, mau tidak mau Seungyoun jatuh ke dalam perangkap bawahannya sendiri.

Kenyataan bahwa Seungwoo menemukan sebotol kecil lube di dalam saku celana Seungyoun membuat situasi itu semakin tidak menguntungkan. Maka laki-laki yang lebih tua tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengerjai atasannya sendiri itu.

“Aahh... ahㅡhm.”

Seungyoun mengatupkan mulutnya erat-erat, berusaha tidak mengeluarkan suara terlalu keras. Rasanya menjengkelkan bahwa dia sekarang hanya bisa terkulai lemah, menumpu pada pelukan Seungwoo, sambil berusaha menahan nikmat dari jari-jari panjang Seungwoo yang memain-mainkan lubangnya.

Seungwoo sendiri tidak berhenti tersenyum. Dia tidak tahu kebaikan apa yang sudah dia perbuat sampai bisa mendapatkan hadiah seindah ini. Kenyataan bahwa sekarang Woodz ada di hadapannya, menggerang kecil seperti anak kucing karena disentuh olehnya adalah satu hal, tapi melihat 'Pak Bos'-nya sendiri melemas di pelukannya seperti ini karena ulahnya sendiri adalah hal lainnya. Rasanya seperti mendapatkan dua rezeki sekaligus dan Seungwooㅡtentu sajaㅡtidak protes sama sekali soal itu.

“Ah! Ahㅡhmmㅡ”

Seungyoun tersentak, suaranya meninggi sejenak tatkala Seungwoo memasukkan jari-jarinya lebih dalam, lalu membuka paksa lubangnya lebih lebar. Sebelah kaki jenjangnya terangkat, kedua tangannya mencengkram bahu Seungwoo lebih erat, tidak kuasa menemu nikmat. Reaksinya itu, suaranya yang indah itu, yang memancing Seungwoo bermain lebih dalam, lebih memaksa sedikit. Seungyoun jadi menggigit bibirnya semakin keras.

Seperti yang sudah Seungwoo duga, Seungyoun klimaks tidak lama kemudian, bersamaan dengan rintihan meninggi yang terdengar memabukkan. Seungwoo sudah tahu Woodz bisa klimaks tanpa disentuh dari depan, tapi mengalaminya sendiri, menjadi orang yang membuat Woodz klimaks, rasanya menakjubkan sekali sampai membuatnya tidak bisa berkata-kata.

Seungyoun terkulai lemah, terduduk di atas toilet yang terbuka. Sekujur tubuhnya memerah menggoda, semua tatonya kelihatan seksi di bawah temaram cahaya, kedua kakinya dibiarkan terbuka, berlumuran cairan sperma.

Seungwoo bersumpah, celananya sudah terasa sempit sekali saat itu.

Namun, alih-alih melanjutkan kegiatan mereka ke tahap berikutnya, Seungwoo justru mengambil tisu untuk membantu membersihkan sperma dari tubuh Seungyoun, lalu membantunya memakai kembali celananya. Gerakkannya terhenti tatkala Seungyoun menahan sebelah tangannya, menatapnya dengan kedua alis yang disatukan.

“Tu-tunggu! Bagaimana denganmu?” katanya cepat. Seungyoun tahu Seungwoo juga sudah mengeras, dia tidak mengerti kenapa Seungwoo tidak 'mengurus' ereksinya juga saat itu.

Seungwoo tersenyum. Seungyoun tidak tahu kenapa dia jadi benci sekali senyuman itu. “Oh, kau belum puas kalau belum aku setubuhi, Jalang Kecil?” katanya santai sambil tetap pada kegiatannya mengancingi dan merapikah kemeja yang dipakai Seungyoun. Seungyoun mengernyit kesal mendengar panggilan seenaknya dari Seungwoo itu.

“Nanti kau akan kubiarkan mencicipi kebanggaanku, tapi tidak sekarang,” katanya sambil mencubit pipi Seungyoun gemas. “Sabar makanya.”

“Si-siapa juga?” Seungyoun mendesis tidak terima. Dia berdiri, lalu menepis tangan Seungwoo setelah selesai memakai kembali baju kerjanya.

Seungwoo hanya tertawa kecil. Dibukanya kunci pintu bilik toilet di balik tubuhnya itu, lalu dia melangkah keluar dengan santai. “Sudah jangan cemberut, ini sudah saatnya kembali bekerja, Pak Bos,” katanya dengan sedikit nada jenaka.

Seungyoun yang masih cemberut, hanya menanggapinya dengan gumaman tidak jelas. Tapi tidak lama, diikutinya langkah Seungwoo keluar dari bilik itu.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Entah sudah berapa kali Seungyoun menghembuskan napas berat, lalu menggerang frustasi sendiri karena terlalu banyak melakukan kesalahan. Padahal biasanya dia cukup teliti, pekerjaan seperti ini saja bisa diselesaikannya dalam waktu satu jam paling lama. Tapi sekarang, bahkan satu ruangan itu sudah betul-betul kosong, hanya berisi Seungyoun sendiri ditemani beberapa berkas dan komputer yang masih menyala dan belum ada setengah jalan pekerjaannya selesai.

Mungkin itu separuhnya adalah salah Han Seungwoo. Seungyoun sedikit terlalu kepikiran karena dia tidak tahu Seungwoo itu orang yang seperti apa dibalik senyum manisnya. Dia juga tidak tahu apakah Seungwoo punya dendam pribadi padanya atau tidak. Kalau iya, bisa saja berita tentang kepala akuntan yang kelihatan sempurna padahal di belakang kelakuannya seperti jalang tersebar di kemudian hari. Itu bisa membuat namanya tercoreng dan langsung kehilangan pekerjaan. Kemungkinan-kemungkinan seperti itu membuat Seungyoun tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya.

Terlalu banyak melamun, Seungyoun tidak sadar ketika seseorang masuk begitu saja ke dalam ruangan, lalu menarik kursi ke depan mejanya. Perhatiannya baru teralih ketika orang itu menaruh secangkir kopi di hadapannya, masih hangat dengan asap yang mengepul tebal.

Seungyoun mengangkat wajahnya, lalu kedua alisnya menyatu tatkala tatapannya bertemu dengan Seungwoo seketika. “Kenapa belum pulang? Aku sudah menyuruhmu pulang,” katanya.

“Kau sendiri kenapa belum pulang?” balas Seungwoo santai sambil mendekatkan cangkir kopi itu ke hadapan Seungyoun. “Ini minum dulu, kamu kelihatan gelisah sejak tadi. Kamu membuat yang lain khawatir.”

Seungyoun memutar bola matanya, memaki Seungwoo dalam hati karena bisa-bisanya bersikap setenang itu padahal yang sejak tadi membuat hatinya gelisah adalah dirinya. Lalu masih tanpa membalas tatapan Seungwoo, Seungyoun mengangkat cangkir dan menyeruput pelan-pelan kopi yang dibawakan Seungwoo.

Hangat sekali, juga manis. Itu lumayan manjur untuk menjernihkan pikirannya sedikit.

Seungyoun mengintip Seungwoo dari pinggir cangkir yang sedang menghalangi wajahnya. Sedikit lirik-lirik penasaran dengan apa yang sedang laki-laki itu lakukan. Seungwoo rupanya masih betah saja duduk di sana, sambil membuka layar ponsel dirinya bersenandung kecil menikmati dunianya sendiri.

Mungkin Seungwoo tidak seburuk yang Seungyoun duga. Seungwoo tidak akan membawakan kopi kalau dia memang punya dendam pribadi pada Seungyoun.

“Hei.” Seungyoun membuka suaranya di antara lamunan panjang, dia bahkan hanpir tidak sadar sudah berucap demikian.

Seungwoo mengangkat wajahnya. “Hm?”

Seungyoun terdiam sedikit ragu sebelum akhirnya membalas, “Soal Woodz, itu rahasia kita saja, ya.”

Seungwoo tertawa kecil. “Iya, kamu 'kan sudah menuruti kata-kataku tadi di toilet, jadi rahasiamu aman ...”

Seungyoun tersenyumㅡ

”... untuk seharian ini. Tidak tahu kalau besok.”

ㅡuntuk kemudian cemberut lagi.

Seungyoun mendecih kesal. Wajahnya memerah sekali karena emosi. Seungwoo tidak mengerti kenapa saat ini atasannya itu bisa kelihatan sangat menggemaskan di matanya.

“Kau ini benci padaku, ya?”

Seungwoo harus mati-matian menahan tawa mendengarnya. “Bagaimana, ya? Sulit dijelaskan,” katanya asal.

“Menyebalkan,” desis Seungyoun sambil kembali menata dokumen-dokumen di genggamannya.

Senyuman Seungwoo kelihatan semakin lebar saat itu. Seungyoun jadi semakin kesal melihatnya.

“Mulai besok tidak usah bawa mobil.” Seungwoo tiba-tiba berujar.

Seungyoun yang tadinya sudah siap melanjutkan pekerjaannya jadi mengalihkan perhatiannya lagi. “Kenapa?”

“Rumah kita searah. Aku bisa menjemput dan mengantar sampai apartemenmu.”

“Tahu dari mana?”

“Sepertinya semua staf wanita tahu segala hal tentangmu,” balas Seungwoo. Lalu tiba-tiba senyumannya mengembang lagi. “Tapi hanya aku yang tahu soal Woodz,” katanya, ada banyak kebanggaan yang tersirat di dalamnya.

“Siapa juga yang mau satu mobil denganmu?”

“Siapa juga yang bertanya kau mau atau tidak?” balas Seungwoo tidak kalah santai. “Ini perintah.”

“Kenapa kau jadi memerintah aku?”

“Ya sudah kalau tidak mau menurut.”

Seungyoun mengepalkan tangannya kuat. Raut wajahnya semakin mengekerut. “Oke. Aku akan pergi dan pulang denganmu,” katanya dengan nada kesal. Seungwoo benar-benar tidak bisa menahan senyam-senyum karena reaksi lucu Seungyoun.

“Begitu dong,” kata Seungwoo pelan sambil tersenyum tipis.

Percakapan mereka terputus begitu saja ketika Seungyoun mulai melanjutkan kembali pekerjaannya yang belum selesai. Seungwoo yang mulai merasa bosan karena tidak menemukan apapun yang menarik di ponsel akhirnya jadi memerhatikan wajah Seungyoun lekat-lekat.

Dia selalu tahu Seungyoun itu tampan dan tidak heran banyak wanita suka padanya, tapi baru kali ini dia benar-benar sadar betapa “tampan”-nya Seungyoun. Tentang kedua mata kecilnya yang tajam, tentang hidung kecilnya, tentang bibirnya yang merah muda, lalu jangan lupakan kulit putih susunya yang sempurna. Kenyataan bahwa Seungyoun adalah Woodz juga membuat daya tariknya di mata Seungwoo semakin tinggi saja.

Seungwoo sebenarnya sudah mempersiapkan diri kalau-kalau wajah asli Woodz sebenarnya kurang menarik (itu alasan yang wajar karena streamer lain sebenarnya tidak menutup wajah mereka seperti Woodz), tapi ternyata Woodz adalah Cho Seungyoun. Perpaduan antara wajah cantik Seungyoun dan tubuh indah Woodz, itu membuat Seungwoo gila setiap kali mengingatnya.

“Kenapa masih di sini?”

Kata-kata Seungyoun itu melunturkan lamunan Seungwoo seketika. Ada rona merah kecil di pipi Seungyoun saat itu, sepertinya karena merasa malu sudah diperhatikan terlalu lekat-lekat. Itu lucu.

“Aku akan pulang kalau kau pulang juga.”

“Pulang bersamanya 'kan mulai besok. Sekarang 'kan kita sama-sama membawa mobil.”

“Aku mau menemanimu agar tidak terlalu sendirian.”

“Kau malah mengganggu.”

“Memangnya aku melakukan apa?”

“Memerhatikanku terus,” Seungyoun tidak bisa menahan wajahnya sendiri yang memerah. “Aku risih.”

Menggemaskan. Sungguh, Seungwoo tidak tahan ingin mengelus kepala laki-laki yang lebih muda darinya itu. “Ya sudah aku berbalik,” katanya sambil memutar kursi sehingga posisinya memunggungi Seungyoun. “Cepat selesaikan pekerjaannya.”

Seungyoun menghembuskan napas panjang, lalu berdesis, “Dasar aneh,” seraya kembali memusatkan perhatian pada komputer dan dokumen. Meskipun begitu, wajahnya masih terus-terusan memerah, bahkan rasanya memalukan sekali sampai Seungyoun jadi mengangkat sebelah tangannya ke atas meja, lalu menutup separuh wajahnya yang masih terus memanas dengan kentara.

Cho Seungyoun tidak pernah mengira setengah harinya akan berakhir seperti ini.

Padahal sudah beberapa menit lewat dari jam masuk kerja, tapi alih-alih sudah duduk di mejanya, Seungyoun justru terperangkap di salah satu bilik kamar mandi yang dikunci rapat-rapat bersama salah satu anak buahnya sendiri.

Dan, ngomong-ngomong seluruh kancing kemeja kerja Seungyoun sudah dibuka, celananya sudah tergantung di belakang pintu. Kesalahannya padahal hanya sesepele membiarkan Han Seungwoo melihat tato kecil di bawah lengannya, tapi itu membuatnya ada di situasi serumit ini.

Seungyoun tidak bisa ke mana-mana, menolak 'tantangan' Seungwoo yang ingin melihat apakah dia punya tato pistol atau tidak jelas malah akan membuat laki-laki itu curiga. Maka, pada akhirnya, mau tidak mau Seungyoun jatuh ke dalam perangkap bawahannya sendiri.

Kenyataan bahwa Seungwoo menemukan sebotol kecil lube di dalam saku celana Seungyoun membuat situasi itu semakin tidak menguntungkan. Maka laki-laki yang lebih tua tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengerjai atasannya sendiri itu.

“Aahh... ahㅡhm.”

Seungyoun mengatupkan mulutnya erat-erat, berusaha tidak mengeluarkan suara terlalu keras. Rasanya menjengkelkan bahwa dia sekarang hanya bisa terkulai lemah, menumpu pada pelukan Seungwoo, sambil berusaha menahan nikmat dari jari-jari panjang Seungwoo yang memain-mainkan lubangnya.

Seungwoo sendiri tidak berhenti tersenyum. Dia tidak tahu kebaikan apa yang sudah dia perbuat sampai bisa mendapatkan hadiah seindah ini. Kenyataan bahwa sekarang Woodz ada di hadapannya, menggerang kecil seperti anak kucing karena disentuh olehnya adalah satu hal, tapi melihat 'Pak Bos'-nya sendiri melemas di pelukannya seperti ini karena ulahnya sendiri adalah hal lainnya. Rasanya seperti mendapatkan dua rezeki sekaligus dan Seungwooㅡtentu sajaㅡtidak protes sama sekali soal itu.

“Ah! Ahㅡhmmㅡ”

Seungyoun tersentak, suaranya meninggi sejenak tatkala Seungwoo memasukkan jari-jarinya lebih dalam, lalu membuka paksa lubangnya lebih lebar. Sebelah kaki jenjangnya terangkat, kedua tangannya mencengkram bahu Seungwoo lebih erat, tidak kuasa menemu nikmat. Reaksinya itu, suaranya yang indah itu, yang memancing Seungwoo bermain lebih dalam, lebih memaksa sedikit. Seungyoun jadi menggigit bibirnya semakin keras.

Seperti yang sudah Seungwoo duga, Seungyoun klimaks tidak lama kemudian, bersamaan dengan rintihan meninggi yang terdengar memabukkan. Seungwoo sudah tahu Woodz bisa klimaks tanpa disentuh dari depan, tapi mengalaminya sendiri, menjadi orang yang membuat Woodz klimaks, rasanya menakjubkan sekali sampai membuatnya tidak bisa berkata-kata.

Seungyoun terkulai lemah, terduduk di atas toilet yang terbuka. Sekujur tubuhnya memerah menggoda, semua tatonya kelihatan seksi di bawah temaram cahaya, kedua kakinya dibiarkan terbuka, berlumuran cairan sperma.

Seungwoo bersumpah, celananya sudah terasa sempit sekali saat itu.

Namun, alih-alih melanjutkan kegiatan mereka ke tahap berikutnya, Seungwoo justru mengambil tisu untuk membantu membersihkan sperma dari tubuh Seungyoun, lalu membantunya memakai kembali celananya. Gerakkannya terhenti tatkala Seungyoun menahan sebelah tangannya, menatapnya dengan kedua alis yang disatukan.

“Tu-tunggu! Bagaimana denganmu?” katanya cepat. Seungyoun tahu Seungwoo juga sudah mengeras, dia tidak mengerti kenapa Seungwoo tidak 'mengurus' ereksinya juga saat itu.

Seungwoo tersenyum. Seungyoun tidak tahu kenapa dia jadi benci sekali senyuman itu. “Oh, kau belum puas kalau belum aku setubuhi, Jalang Kecil?” katanya santai sambil tetap pada kegiatannya mengancingi dan merapikah kemeja yang dipakai Seungyoun. Seungyoun mengernyit kesal mendengar panggilan seenaknya dari Seungwoo itu.

“Nanti kau akan kubiarkan mencicipi kebanggaanku, tapi tidak sekarang,” katanya sambil mencubit pipi Seungyoun gemas. “Sabar makanya.”

“Si-siapa juga?” Seungyoun mendesis tidak terima. Dia berdiri, lalu menepis tangan Seungwoo setelah selesai memakai kembali baju kerjanya.

Seungwoo hanya tertawa kecil. Dibukanya kunci pintu bilik toilet di balik tubuhnya itu, lalu dia melangkah keluar dengan santai. “Sudah jangan cemberut, ini sudah saatnya kembali bekerja, Pak Bos,” katanya dengan sedikit nada jenaka.

Seungyoun yang masih cemberut, hanya menanggapinya dengan gumaman tidak jelas. Tapi tidak lama, diikutinya langkah Seungwoo keluar dari bilik itu.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Entah sudah berapa kali Seungyoun menghembuskan napas berat, lalu menggerang frustasi sendiri karena terlalu banyak melakukan kesalahan. Padahal biasanya dia cukup teliti, pekerjaan seperti ini saja bisa diselesaikannya dalam waktu satu jam paling lama. Tapi sekarang, bahkan satu ruangan itu sudah betul-betul kosong, hanya berisi Seungyoun sendiri ditemani beberapa berkas dan komputer yang masih menyala dan belum ada setengah jalan pekerjaannya selesai.

Mungkin itu separuhnya adalah salah Han Seungwoo. Seungyoun sedikit terlalu kepikiran karena dia tidak tahu Seungwoo itu orang yang seperti apa dibalik senyum manisnya. Dia juga tidak tahu apakah Seungwoo punya dendam pribadi padanya atau tidak. Kalau iya, bisa saja berita tentang kepala akuntan yang kelihatan sempurna padahal di belakang kelakuannya seperti jalang tersebar di kemudian hari. Itu bisa membuat namanya tercoreng dan langsung kehilangan pekerjaan. Kemungkinan-kemungkinan seperti itu membuat Seungyoun tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya.

Terlalu banyak melamun, Seungyoun tidak sadar ketika seseorang masuk begitu saja ke dalam ruangan, lalu menarik kursi ke depan mejanya. Perhatiannya baru teralih ketika orang itu menaruh secangkir kopi di hadapannya, masih hangat dengan asap yang mengepul tebal.

Seungyoun mengangkat wajahnya, lalu kedua alisnya menyatu tatkala tatapannya bertemu dengan Seungwoo seketika. “Kenapa belum pulang? Aku sudah menyuruhmu pulang,” katanya.

“Kau sendiri kenapa belum pulang?” balas Seungwoo santai sambil mendekatkan cangkir kopi itu ke hadapan Seungyoun. “Ini minum dulu, kamu kelihatan gelisah sejak tadi. Kamu membuat yang lain khawatir.”

Seungyoun memutar bola matanya, memaki Seungwoo dalam hati karena bisa-bisanya bersikap setenang itu padahal yang sejak tadi membuat hatinya gelisah adalah dirinya. Lalu masih tanpa membalas tatapan Seungwoo, Seungyoun mengangkat cangkir dan menyeruput pelan-pelan kopi yang dibawakan Seungwoo.

Hangat sekali, juga manis. Itu lumayan manjur untuk menjernihkan pikirannya sedikit.

Seungyoun mengintip Seungwoo dari pinggir cangkir yang sedang menghalangi wajahnya. Sedikit lirik-lirik penasaran dengan apa yang sedang laki-laki itu lakukan. Seungwoo rupanya masih betah saja duduk di sana, sambil membuka layar ponsel dirinya bersenandung kecil menikmati dunianya sendiri.

Mungkin Seungwoo tidak seburuk yang Seungyoun duga. Seungwoo tidak akan membawakan kopi kalau dia memang punya dendam pribadi pada Seungyoun.

“Hei.” Seungyoun membuka suaranya di antara lamunan panjang, dia bahkan hanpir tidak sadar sudah berucap demikian.

Seungwoo mengangkat wajahnya. “Hm?”

Seungyoun terdiam sedikit ragu sebelum akhirnya membalas, “Soal Woodz, itu rahasia kita saja, ya.”

Seungwoo tertawa kecil. “Iya, kamu 'kan sudah menuruti kata-kataku tadi di toilet, jadi rahasiamu aman ...”

Seungyoun tersenyumㅡ

”... untuk seharian ini. Tidak tahu kalau besok.”

ㅡuntuk kemudian cemberut lagi.

Seungyoun mendecih kesal. Wajahnya memerah sekali karena emosi. Seungwoo tidak mengerti kenapa saat ini atasannya itu bisa kelihatan sangat menggemaskan di matanya.

“Kau ini benci padaku, ya?”

Seungwoo harus mati-matian menahan tawa mendengarnya. “Bagaimana, ya? Sulit dijelaskan,” katanya asal.

“Menyebalkan,” desis Seungyoun sambil kembali menata dokumen-dokumen di genggamannya.

Senyuman Seungwoo kelihatan semakin lebar saat itu. Seungyoun jadi semakin kesal melihatnya.

“Mulai besok tidak usah bawa mobil.” Seungwoo tiba-tiba berujar.

Seungyoun yang tadinya sudah siap melanjutkan pekerjaannya jadi mengalihkan perhatiannya lagi. “Kenapa?”

“Rumah kita searah. Aku bisa menjemput dan mengantar sampai apartemenmu.”

“Tahu dari mana?”

“Sepertinya semua staf wanita tahu segala hal tentangmu,” balas Seungwoo. Lalu tiba-tiba senyumannya mengembang lagi. “Tapi hanya aku yang tahu soal Woodz,” katanya, ada banyak kebanggaan yang tersirat di dalamnya.

“Siapa juga yang mau satu mobil denganmu?”

“Siapa juga yang bertanya kau mau atau tidak?” balas Seungwoo tidak kalah santai. “Ini perintah.”

“Kenapa kau jadi memerintah aku?”

“Ya sudah kalau tidak mau menurut.”

Seungyoun mengepalkan tangannya kuat. Raut wajahnya semakin mengekerut. “Oke. Aku akan pergi dan pulang denganmu,” katanya dengan nada kesal. Seungwoo benar-benar tidak bisa menahan senyam-senyum karena reaksi lucu Seungyoun.

“Begitu dong,” kata Seungwoo pelan sambil tersenyum tipis.

Percakapan mereka terputus begitu saja ketika Seungyoun mulai melanjutkan kembali pekerjaannya yang belum selesai. Seungwoo yang mulai merasa bosan karena tidak menemukan apapun yang menarik di ponsel akhirnya jadi memerhatikan wajah Seungyoun lekat-lekat.

Dia selalu tahu Seungyoun itu tampan dan tidak heran banyak wanita suka padanya, tapi baru kali ini dia benar-benar sadar betapa “tampan”-nya Seungyoun. Tentang kedua mata kecilnya yang tajam, tentang hidung kecilnya, tentang bibirnya yang merah muda, lalu jangan lupakan kulit putih susunya yang sempurna. Kenyataan bahwa Seungyoun adalah Woodz juga membuat daya tariknya di mata Seungwoo semakin tinggi saja.

Seungwoo sebenarnya sudah mempersiapkan diri kalau-kalau wajah asli Woodz sebenarnya kurang menarik (itu alasan yang wajar karena streamer lain sebenarnya tidak menutup wajah mereka seperti Woodz), tapi ternyata Woodz adalah Cho Seungyoun. Perpaduan antara wajah cantik Seungyoun dan tubuh indah Woodz, itu membuat Seungwoo gila setiap kali mengingatnya.

“Kenapa masih di sini?”

Kata-kata Seungyoun itu melunturkan lamunan Seungwoo seketika. Ada rona merah kecil di pipi Seungyoun saat itu, sepertinya karena merasa malu sudah diperhatikan terlalu lekat-lekat. Itu lucu.

“Aku akan pulang kalau kau pulang juga.”

“Pulang bersamanya 'kan mulai besok. Sekarang 'kan kita sama-sama membawa mobil.”

“Aku mau menemanimu agar tidak terlalu sendirian.”

“Kau malah mengganggu.”

“Memangnya aku melakukan apa?”

“Memerhatikanku terus,” Seungyoun tidak bisa menahan wajahnya sendiri yang memerah. “Aku risih.”

Menggemaskan. Sungguh, Seungwoo tidak tahan ingin mengelus kepala laki-laki yang lebih muda darinya itu. “Ya sudah aku berbalik,” katanya sambil memutar kursi sehingga posisinya memunggungi Seungyoun. “Cepat selesaikan pekerjaannya.”

Seungyoun menghembuskan napas panjang, lalu berdesis, “Dasar aneh,” seraya kembali memusatkan perhatian pada komputer dan dokumen. Meskipun begitu, wajahnya masih terus-terusan memerah, bahkan rasanya memalukan sekali sampai Seungyoun jadi mengangkat sebelah tangannya ke atas meja, lalu menutup separuh wajahnya yang masih terus memanas dengan kentara.

Hangat, membuai, memabukkan.

Cho Seungyoun adalah sebuah definisi nyata dari frasa kurang ajar. Tentang senyumannya, tentang tatapan matanya yang tajam, tentang ciumannya: semuanya adalah kelemahan Hangyul. Bagi Seungyoun, itu adalah semudah membalikkan telapak tangan untuk membuat Hangyul jatuh ke dalam pelukannya, melemas, tidak melakukan hal lain kecuali menuruti kata-katanya.

Lee Hangyul itu indah. Apapun yang dia lakukan: tersenyum, tertawa, menangis dia tetap kelihatan indah di mata Seungyoun. Terutama setiap kali tubuh telanjangnya gemetar, wajahnya memerah, merintih di setiap hembusan napas, lalu apa yang keluar dari mulutnya hanyalah nama Seungyoun, seperti tidak ada lagi hal apapun di kepalanya kecuali Seungyoun.

Seungyoun selalu tahu Lee Hangyul adalah seindah itu, tapi kali ini ... dia bisa gila dibuatnya.

Seungyoun mengikat kedua tangan Hangyul ke kepala ranjang dengan ikat pinggang, lalu kedua matanya ditutup dengan dasi yang sebelumnya dipakainya pergi bekerja. Dia kelihatan seksi, sangat. Tapi Seungyoun tidak menyangka rintihan Hangyul semakin meninggi, kulitnya semakin mudah memerah meskipun Seungyoun baru menyentuhnya sedikit saja.

Seungyoun sudah memasukkan empat jari, lubang Hangyul sudah basah sekali, berkedut-kedut mencari nikmat. Seungyoun mencumbu bibirnya sebentar, lalu dikecupnya beberapa kali leher Hangyul sampai ke dada, kadang-kadang digigitnya untuk meninggalkan tanda kepemilikan.

Dikecup, dihisapnya puting susu Hangyul seperti bayi. Selagi itu dibukanya lebar-lebar lubang Hangyul dengan gerakkan menggunting. Itu membuat suara rintihan Hangyul meninggi, begitu indah seperti musik.

“A-ah ... Kak Se-Seungyoun ...”

Seungyoun berhenti sekali-kali untuk membisikkan kata cinta di telinga Hangyul. Suaranya bekerja seperti mantra, seketika membuat Hangyul merasa lebih tenang, merasa lebih hangat. Suara rengekannya berubah menjadi lenguhan manja dari pada takut. Itu menggemaskan.

Seungyoun menurunkan celananya kemudian, mengeluarkan kemaluannya yang sudah menegak. Tidak lama disetubuhinya Hangyul tanpa aba-aba. Itu membuat si yang lebih muda tersentak hebat, lalu sekujur tubuhnya gemetar terutama kedua tungkainya yang dibuka lebar-lebar.

Kondisi penglihatan Hangyul yang ditutup rapat-rapat membuat sekujur tubuhnya jauh lebih sensitif dari biasanya. Hangyul tidak tahu kapan Seungyoun akan menyentuhnya, tidak tahu kapan Seungyoun akan menciumnya. Itu membuatnya selalu merasa terkejut setiap kali Seungyoun menyentuhnya tiba-tiba sedikit saja.

Seungyoun menyetubuhinya kasar, temponya lebih cepat dari biasanya. Itu membuat Hangyul tidak lagi bisa menemukan pikirannya yang melayang-layang. Punggungnya melengkung cantik karena tidak kuasa menahan nikmat dan perih yang menyerang secara bersamaan.

Kemaluan Hangyul berdiri menegak, sudah merah sekali seperti mau klimaks. Seungyoun mencengkram pangkal kemaluan Hangyul kuat, menahannya supaya tidak keluar dulu. Itu membuat Hangyul berteriak lebih keras, lalu rintihannya terdengar semakin menyakitkan.

“Ah, ahh... Kak, sa-sakitㅡaah.”

Hangyul tidak berhenti memanggil nama Seungyoun, tapi kali ini Seungyoun tidak sama sekali membuka suara, tidak membalas kata-katanya.

Di balik ikatan dasi Seungyoun yang menutup kedua matanya, tatapan Hangyul sudah menyayu sangat basah, satu tetes air matanya turun tatkala sekujur tubuhnya gemetaran semakin hebat. Jantungnya bergemuruh semakin kencang setiap kali Seungyoun tidak menjawab panggilannya.

Terutama karena permainan itu terlalu memburu, terlalu kasar untuk ukuran yang biasa Seungyoun lakukan padanya. Tiba-tiba Hangyul merasa takut. Merasa sangat takut bahwa orang yang sedang menyetubuhinya bukanlah Seungyoun. Dia ingin memberontak, ingin melepaskan penutup matanya, tapi ikatan pada kedua tangannya ternyata sangatlah kuat.

Menyadari gerak-gerik Hangyul yang mulai memberontak, laki-laki yang menindih di atasnya itu mencengkam jari-jari Hangyul kuat, menyakitkan. Lalu ditamparnya bokong Hangyul keras sekali sampai memerah.

Hangyul betul-betul menangis karena dia yakin orang yang sedang bersamanya sekarang adalah bukan Seungyoun.

“Ka-kak... ah, ja-jawabㅡa-ah ...”

Setiap kali Hangyul membuka mulutnya, laki-laki itu memaksakan masuk dua jarinya bersamaan dengan kemaluannya ke dalam lubang Hangyul, itu membuat Hangyul merasa seperti dirobek, perih sekali rasanya dipaksa seperti itu.

Hangyul klimaks tidak lama kemudian karena tidak tahan lagi menahannya. Laki-laki yang menyetubuhinya sepertinya tidak senang dengan itu. Dia menampar kemaluan Hangyul dengan sesuatu, sepertinya penggaris. Air mata Hangyul turun semakin deras saat itu.

Hangyul berusaha memberontak lagi, laki-laki itu memukul kemaluannya lagi. Dia memukul Hangyul dua-tiga kali sampai Hangyul tidak punya tenaga lagi untuk memberontak karena kesakitan.

“Kak Seungyoun, Kak, jawabㅡhiks.” Kalimat Hangyul terpotong tatkala laki-laki itu mendorong masuk kemaluannya kasar sekali, membuat Hangyul tidak bisa berhenti merintih.

Dia klimaks tidak lama kemudian, memenuhi lubang Hangyul dengan cairan sperma. Saat itu, keadaan Hangyul sudah sangat berantakan dan dia tidak punya tenaga lagi untuk melawan.

Hangyul merasakan ikatan di pergelangan tangannya dibuka, lalu kesempatan itu digunakannya untuk segera membuka sendiri penutup kepalanya.

Ketika melihat siapa yang menatap lurus padanya dari atas sana, Hangyul lantas menyerbu Seungyoun dengan pelukan erat, dia menangis lagi di bahu Seungyoun.

“Kakak kenapa jahat? Kenapa tidak menjawab panggilanku? Aku takut yang tadi itu bukan Kakak,” katanya di sela-sela isak kecil.

“Maaf.” Seungyoun tidak mengira Hangyul akan menangis sebegitunya. Sepertinya dia memang sudah kelewatan. Tapi, ya, mau bagaimana lagi? Hangyul yang diikat dan ditutup matanya seperti itu benar-benar seksi, Seungyoun hampir kehilangan akal sehatnya. “Di mana yang sakit? Nanti malam aku pijat bahumu ya, sayang. Setelah ini aku siapkan air panas juga supaya tubuhmu lebih rileks.”

“Ka-kalau Kak Seungyoun menjawab panggilanku, aku tidak akan setakut itu,” katanya.

Seungyoun tersenyum tipis sambil menghembuskan napas panjang. Dia mengelus-elus punggung Hangyul penuh sayang. Hal yang paling membuat Hangyul takut bukanlah perlakuan kasarnya, tapi dia takut yang menyetubuhinya adalah bukan Seungyoun. Itu menggemaskan sekali.

Seungyoun menjauh sebentar, menatap lurus pada Hangyul dengan sebuah senyuman manis yang membuatnya kelihatan semakin tampan. Hangyul masih sesenggukan, tapi dia diam menunggu Seungyoun yang membuka suara. Laki-laki yang lebih tua lantas mengangkat punggung tangannya ke hadapan Hangyul, menunjukkan sebuah cincin emas melingkar cantik di jari manisnya.

Hangyul jelas terkejut. Dia sudah siap menampar wajah Seungyoun kalau ternyata dia sudah menikah dengan orang lain sampai Seungyoun tiba-tiba menarik sebelah tangan Hangyul seraya berujar, “Coba lihat tanganmu sendiri.”

Betapa terkejutnya Hangyul ketika menyadari sebuah cincin emas serupa sudah melingkar juga di jari manisnya. Ada nama mereka berdua terukir di atasnya, sangat menggemaskan.

“Maaf, jadi sampai harus memukulmu supaya kau tidak sadar aku sedang memasang cincin,” Seungyoun berujar tipis, melunturkan seketika seluruh lamunan Hangyul. “Itu kejutan,” katanya.

Hangyul terkejut, masih tidak bisa berkata-kata ketika Seungyoun meraih kedua tangannya, lalu mengecup jari-jarinya mesra.

“Lee Hangyul, menikahlah denganku.”

Tidak sanggup menjawab, yang ada wajahnya memerah sekali sampai telinga. Karena kesal sekali, Hangyul hanya merengek sambil membenamkan wajahnya di dada Seungyoun, lalu memukul-mukul bahu lelaki yang lebih tua darinya itu. “Tidak lucu! Bercandanya tidak lucu!! Kau membuatku setakut itu tadi!”

Seungyoun tertawa renyah melihat tingkah lucu kekasihnya. Lalu dielus-elusnya kepala Hangyul, dikecup dahinya beberapa kali. Itu berangsur-angsur membuat Hangyul tenang dan berhenti memukulinya. “Bagaimana?” tanyanya. “Mau menikah denganku, tidak?”

Alih-alih menjawab, Hangyul semakin menyembunyikan wajahnya di bahu Seungyoun, lalu memeluk laki-laki itu lebih erat, seperti tidak mau lepas. Telinganya semakin berwarna kemerahan saat itu. Melihatnya, Seungyoun tersenyum lebar, dia balas memeluk Hangyul sama eratnya, sesekali mencium daun telinganya yang memerah.

• ryeonseung. pt 2.

“Pak Seungyoun orangnya seperti apa, sih?”

Waktu itu adalah sekitar sepuluh menit setelah waktu istirahat makan siang dimulai. Seungwoo selalu menghabiskan waktu kosong itu untuk makan di restoran keluarga tepat di depan kantor dengan Choi Byungchan: temannya sejak kuliah, karyawan bagian ekspor di kantor yang sama tempatnya bekerja.

Setelah mengunyah dan menelan habis suapan yang ada di mulutnya, Seungwoo membalas, “Kenapa penasaran?”

Byungchan mengangkat bahu. “Terkenal sekali orangnya,” katanya. “Di Ekspor jarang pegawai wanita, tapi hampir semua rekan kerjaku mengagumi dia. Chaeyeon bilang hampir semua pegawai wanita bagian produksi menaruh hati padanya.”

Seungwoo terdiam cukup lama, sebenarnya bingung menjawab karena dia bukan orang yang suka mengisi waktu kosong dengan menggosipkan rekan kerja seperti kebanyakan orang lain lakukan. “Aku tidak tahu banyak,” Seungwoo bergumam tidak jelas. “Tapi aku rasa itu wajar saja kalau dia terkenal. Dia sebenarnya lebih muda dariku, tapi sudah jadi kepala akuntan.”

“Orangnya galak, tidak?”

“Lumayan, kalau sedang mau tutup buku atau ada audit dia jadi tegas sekali,” balas Seungwoo setelah memakan suapan berikutnya. “Kadang-kadang aku kesal kalau ingat dia lebih muda dariku, tapi namanya kerja, harus profesional.”

Byungchan tertawa. “Makanya waktu kuliah jangan banyak cuti, sekarang tahu rasa dipimpin oleh yang lebih muda.”

Seungwoo hanya diam, menghembuskan napas berat.

Percakapan itu terhenti begitu saja ketika mereka berdua sama-sama sadar bahwa waktu istirahat makan siang sudah semakin menipis sementara makanan di atas piring masih tersisa banyak. Lantas dihabiskannya makanan itu dengan cepat sebelum akhirnya berjalan cepat beriringan masuk kembali ke dalam gedung perusahaan bersamaan dengan beberapa karyawan lain yang makan di tempat yang sama.

Seungwoo berjalan cepat menuju ruangan kerjanya setelah berpisah dengan Byungchan di lift. Bagian Akuntansi masih lumayan kosong saat itu karena memang masih ada sedikit waktu sebelum jam kerja kembali dimulai. Seungwoo duduk di kursinya, lalu bersenandung kecil sambil memain-mainkan pena di tangan kanannya.

Perhatiannya sontak teralih ketika ponsel di saku celananya bergetar tanda ada notifikasi masuk. Seungwoo segera merogoh saku dan memeriksa layar ponselnya. Kedua matanya lantas terbuka melebar penuh arti, lalu dikatupkan separuh wajahnya karena malu kalau ada rekan kerja yang memergokinya senyam-senyum tidak jelas.

Notifikasi yang masuk adalah pengumuman kecil dari situs web yang sering sekali dikunjungi Seungwoo akhir-akhir ini. Woodz menulis pesan di jendela obrolan bahwa dia merindukan penontonnya dan akan segera siaran langsung malam ini. Streamer itu tidak lupa menambahkan tanda hati dan melampirkan foto mainan yang akan digunakannya nanti. Seungwoo hampir tidak bisa lagi menyembunyikan senyuman tidak jelas merekah di wajahnya. Itu memalukan bahwa dia bertingkah seperti laki-laki kesepian yang nasibnya sangat menyedihkan sampai harus bergantung pada video porno untuk mengisi malam.

Tapi, ya, bagaimana lagi? Seungwoo tidak pernah melihat laki-laki seindah Woodz dan dia tidak bisa melupakannya.

Sebenarnya itu lucu kalau dipikir. Seungwoo melihat duluan seluruh tubuh telanjang Woodz sebelum melihat wajahnya. Saking seringnya menonton siaran ulang Woodz belakangan ini, Seungwoo sudah hafal betul tubuhnya yang kurus, kulitnya yang putih bersih, kedua tungkainya yang panjang, bahkan kemaluannya yang selalu memerah menggemaskan setiap kali ereksi. Seungwoo bahkan sudah ingat semua tato yang dia punya, termasuk tato kecil bergambar emoji menangis dan tersenyum di lengan bawah bagian dalam yang waktu pertama kali menonton siaran ulang Seungwoo tidak menyadarinya. Seungwoo juga punya tato, tapi tidak sebanyak tato Woodz. Dan, semua tatonya itu menambah keindahan bentuk tubuh si streamer.

“Sudah ada pacar baru, Tuan Han?”

Seruan yang jenaka dari anak baru di bagian mereka, Kim Yohan, seketika menarik semua perhatian Seungwoo. Seungwoo lantas mengunci layar ponselnya sambil berusaha tetap bersikap tenang. “Begitulah,” balas Seungwoo tidak jelas.

Yohan tertawa. “Orang setampan Kak Seungwoo memang tidak mungkin melajang terlalu lama,” katanya.

Seungwoo hanya tertawa hambar. Kenyataannya sekarang dia melajang dan lebih parahnya lagi, hobinya adalah nonton video porno laki-laki homo. Tapi biar saja Yohan berasumsi demikian supaya Seungwoo tidak perlu pusing-pusing mengarang lagi kalau ada yang memergokinya senyam-senyum karena Woodz lagi.

“Kangen-kangenannya nanti di rumah saja, Kak,” ujar Yohan lagi. “Katanya mau ada pemeriksaan akuntan publik dalam waktu dekat, si Bos pasti jadi galak,” katanya. “Nanti dimarahi Pak Seungyoun kalau ketahuan buka ponsel terus.”

Seungwoo tertawa. “Ini 'kan belum mulai kerja, nanti juga aku simpan ponselnya,” katanya. “Kamu sebaiknya duduk sebelum si Bos datang, anak baru jangan banyak tingkah.”

Yohan cemberut lucu. Seungwoo jadi gemas. Dia mengelus-elus kepala Yohan hampir secara tidak sadar.

“Mau ke mana?” Yohan berujar heran ketika Seungwoo malah beranjak dari kursinya menuju pintu keluar.

Seungwoo berbalik sambil tersenyum tipis padanya. “Ke kamar kecil. Kalau Pak Bos sudah masuk ruangan, tolong katakan padanya aku keluar sebentar,” katanya sesaat sebelum betul-betul pergi meninggalkan ruangan.

.

.

.

.

.

.

Seungwoo tidak mengira dia akan bertemu si Bos yang sejak tadi dibicarakannya itu di kamar kecil, sedang membenahi penampilannya di depan kaca wastafel. Situasi itu sedikit terasa canggung. Seungwoo ragu mau menyapanya atau tidak sampai Seungyoun akhirnya menyadari kehadirannya dari pantulan dirinya atas di kaca cermin.

“Seungwoo,” panggilnya singkat sambil tersenyum tipis. “Kau seharusnya sudah ada di mejamu.”

Seungwoo berjalan ke sebelahnya, lalu ikut membetulkan kemejanya yang sedikit berantakkan. “Aku ke sini sebentar, nanti langsung kembali ke ruangan,” katanya santai. Sebenarnya di antara staf akuntansi lain, Seungwoo adalah yang paling santai kalau berhadapan dengan Seungyoun. Seungwoo tidak tahu kenapa dia tidak bisa melihat aura mengintimidasi Seungyoun seperti yang dibicarakan orang-orang. Kalau mengesampingkan fakta bahwa Seungyoun adalah atasannya di tempat kerja, bagi Seungwoo dia hanyalah laki-laki biasa yang sedikit lebih muda dan sedikit lebih pendek darinya.

Suara keran wastafel yang dinyalakan oleh Seungyoun lantas melunturkan lamunan singkat Seungwoo. Dia jadi tidak sadar sudah memerhatikan Seungyoun menarik kemeja kerjanya sampai separuh lengan, lalu mengambil sabun untuk mencuci tangan. Omong-omong, Seungyoun dibalik kemeja panjangnya ternyata jauh lebih kurus dari yang Seungwoo kira. Seungwoo juga baru menyadari dia punya sepasang tangan yang mungil untuk seukuran lelaki yang badannya setinggi itu. Seungwoo tidak mengerti kenapa dia bisa berpikir itu menggemaskan.

Ah, dan satu lagi yang Seungwoo baru sadari adalah, ternyata atasannya itu punya tato kecil di bawah lengannyaㅡ

ㅡtunggu sebentar.

Seungwoo melotot.

Tato itu tidak asing.

Ketika Seungwoo sadar di mana sebelumnya dia menemukan tato seperti itu, matanya semakin terbuka melebar, kehilangan kata-kata selama beberapa detik.

Seungyoun tidak menyadari perubahan ekspresi orang yang ada di sebelahnya. Dia segera membetulkan lengan kemeja kerjanya, lalu mengancingi keduanya supaya tetap rapi. Tepat sebelum dia betul-betul selesai, Seungwoo tiba-tiba menggenggam lalu menarik sebelah tangannya dengan paksa. Itu jelas-jelas memancing emosi Seungyoun.

“Hei! Sopanlah sedikit pada atasanmㅡ”

“Woodz?”

Tepat ketika nama itu keluar begitu saja dari mulut Seungwoo, kedua mata Seungyoun lantas melebar, sangat lebar. Dia tidak bisa menemukan kata-kata, hanya bisa membalas tatapan Seungwoo dengan ekspresi mengeras. Lama-lama wajahnya memerah sampai ke telinga.

Saat itu, senyuman Seungwoo melebar seperti sebuah seringai.

Tidak terima ditatap dengan remeh oleh anak buahnya sendiri, Seungyoun akhirnya membuka suara, “Woodz kau bilang? Apa itu? Nama klub malam yang baru dibuka atau apa?”

Seungwoo tidak menghapus sama sekali senyuman kemenangan di muka wajahnya. Seungyoun kesal karena masih sempat-sempatnya kepalanya berpikir bahwa Seungwoo kelihatan sangat tampan saat itu. “Pak Seungyoun,” Seungwoo membuka suara dengan santai. “Kau yang paling tahu siapa Woodz ini,” katanya.

“Aku tidak tahu.” Seungyoun sudah kelihatan lebih tenang sekarang.

“Begitu? Kau bukan Woodz?”

“Aku bahkan tidak tahu apa itu Woodz,” katanya. “Jam kerja sudah mulai, kita harus kembalㅡ”

“Kalau kau bukan Woodz, buktikan padaku.”

Seungyoun ingin membalas, tapi kata-katanya ditelannya lagi ketika Seungwoo maju dengan tidak gentar, itu membuat Seungyoun terhimpit ke dinding. Sebenarnya Seungwoo tidak berniat menakutinya sama sekali, lagi pula dia tersenyum semanis mungkin sejak tadi. Mungkin karena Seungwoo sedikit lebih tinggi darinya, tubuhnya lebih berisi, itu membuat Seungyoun merasa kecil dan nyalinya sedikit menciut seketika.

“A-apa maksudmuㅡ?”

“Seungyouni,” ujar Seungwoo tipis. Itu membuat harga diri Seungyoun tercoreng karena sebelumnya Seungwoo selalu memanggilnya 'Pak Seungyoun'. Detik berikutnya Seungwoo melanjutkan, “Buka pakaianmu dan buktikan padaku bahwa kau tidak punya tato bergambar pistol di perutmu.”