anaheim
Kang Yeosang itu anak baik. Scale kebaikannya itu 1000 dari 10. Kalau ada nominasi anak baik sedunia, Kang Yeosang pantas memenangkannya.
Dia selalu ada untukku walaupun dia nggak pernah jadi prioritasku. Dia si paling gerak cepat setiap aku menelponnya ketika aku membutuhkanku. Dia rela memberikan kulit ayamnya setiap kali kami makan siang bersama di halaman depan gedung kantor kami. Dan masih banyak kebaikan-kebaikan yang ia berikan padaku.
Kang Yeosang sangat baik. Terlampau baik untukku yang nggak pernah merespon balik perasaannya.
Aku nggak buta. Aku juga nggak bodoh. Aku peka kalau Yeosang menaruh perhatian dan perasaan lebih untukku. Aku tahu Yeosang menyukaiku.
Aku dan Yeosang seumuran dan seangkatan ini langsung menjadi partner kerja yang baik dalam waktu seminggu. Kami saling tolong menolong dalam mengerjakan pekerjaan kamu sampai kami sama-sama diangkat menjadi karyawan tetap di waktu yang bersamaan. Hal itu membuat bonding antara aku dan Yeosang menjadi kuat. Tapi bonding tersebut membuat perasaannya padaku semakin dalam.
Aku mengacuhkan perasaan dan perhatian Yeosang karena aku masih menganggap Yeosang sebagai partner kerja sekaligus teman baikku.
Cowokersku yang lain juga merasakan hal itu karena Yeosang memberikan perhatian lebih padaku menurut mereka. Lebih-lebih Yeosang merupakan salah satu cowok yang banyak dibicarakan oleh cowokers lainnya membuat perhatian-perhatiannya padaku itu menjadi pusat perhatian. Beberapa kali mereka menyampaikan pendapat mereka itu padaku dan aku hanya tersenyum menanggapinya.
Sekali lagi aku tegaskan kalau aku tahu Yeosang menyukaiku. Tapi aku nggak bisa membalas perasaan Yeosang itu. Jujur, aku pun ingin membalasnya tapi aku nggak bisa. Karena hatiku belum siap untuk disinggahi oleh seseorang lagi.
“Tunggu ya. Gue sedikit lagi selesai nih.” Ujar Yeosang saat aku melonggokkan kepalaku di kubikelnya. Aku mengangguk dan kembali duduk di kursiku.
15 menit kemudian, Yeosang selesai. Kami pun bergegas pergi dari kantor. Hari ini kami berencana untuk nongkrong di lapangan softball GBK. Biasanya kami sambil makan malam saat nongkrong dan menonton pertandingan softball disana.
Lalu sampailah kami di tujuan. Yeosang lalu membawakan tasku dan membukakan pintu mobil untuk. Yeosang memang selalu membawakan tasku setiap kali kami pergi berdua. Katanya, biar aku nggak kerepotan dan sekalian dia menitip dompetnya didalam tasku.
See? Dia memang sebaik itu sampai-sampai aku bingung apa yang pernah kuperbuat di kehidupan sebelumnya sampai di pertemukan oleh seseorang sebaik Yeosang. Aku nggak bisa terus-terusan menikmati perhatian dan kebaikan Yeosang karena hal itu hanya merugikan Yeosang.
Tiap kali aku mengobrol dengan Yeosang, aku selalu enjoy. Aku selalu menyukai caranya meresponku dan caranya mendengarkanku. Terkadang aku bertanya-tanya pada diriku, mengapa aku tidak bisa jatuh hati pada sosok yang berada dihadapanku in. Aku berulang kali berusaha mencoba untuk jatuh hati padanya. Dan aku pun akhirnya menemukan jawabannya beberapa hari lalu.
Percintaan sebelumku meninggalkan bekas yang cukup mendalam sehingga aku nggak siap membuka hati untuk orang lain termasuk untuk Yeosang. Aku merasa diriku belum siap untuk dicintai oleh seorang Kang Yeosang. Aku sangat ingin membalas perasaannya. Tapi sayangnya hatiku enggan dipaksakan dan aku juga nggak mau perasaan Yeosang terbalaskan karena paksaan.
Yeosang berhak untuk dicintai. Yeosang berhak untuk jatuh cinta dengan yang lain tapi tidak denganku. Yeosang hanya akan membuang-buang waktunya bila mengejarku.
Dan hari ini aku berniat untuk menyudahi semuanya. Walaupun terkesan tidak adil bagi Yeosang setelah apa yang ia berikan dan lakukan tapi menurutku ini yang terbaik untukku dan Yeosang.
“Hey, do you hear me?”
Aku terbangun dari lamunanku. “Maaf, maaf. Tadi lo ngomong apa?”
Yeosang tersenyum. “You seems lost today. Kenapa? Ada yang lagi lo pikirin ya?”
He can read me well.
“Sorry.”
“Nggak apa.” Yeosang mengusap lembut tanganku. “Mau cerita?”
Okay, this is it…
“Yeo, gue rasa kayaknya gue dan lo perlu stop.”
“Hm? Maksudnya stop apa?”
“Ya stop apa yang lagi kita lakuin sekarang. Stop pergi keluar berdua. Lo stop angkat telpon gue di tengah malem. Dan gue juga stop nyari-nyari lo.”
“Emangnya kenapa? Ini maksudnya kita udahan temenan gitu?”
“Bukan.” Jawabku dengan lirih. “Maksudnya lo stop suka sama gue.”
Yeosang terdiam. Dia menatapku sebelum akhirnya berbicara. “Lo selama ini tau gue suka sama lo ya?”
Aku mengangguk lemah dan mengalihkan pandanganku. Aku nggak sanggup menatapnya.
“Tapi kenapa lo diem aja?”
“Karena… gue nggak bisa.”
“Kenapa nggak bisa? Lo bahkan belum mencobanya.”
“Ya nggak bisa aja, Yeo.”
“Kasih gue satu alasan yang kuat kenapa lo nggak bisa. Selama ini lo welcome dengan semua perhatian gue dan membuat gue berpikir kalo lo ngasih gue kesempatan.”
“I did. I did give you chance. Tapi emang gue yang nggak bisa, Yeo, karena lo terlalu baik buat gue. Yeo,gue juga mau membalas perasaan lo. Setiap hari gue berusaha untuk jatuh cinta seperti lo jatuh cinta ke gue. But i’m way too lost, Yeo. Sadly, i’m not lost in you.”
Air wajah Yeosang berubah. Inilah yang aku takutkan. Aku menyakiti hati Yeosang. “Maaf, Yeosang. Maaf kalau gue menyakiti perasaan lo.”
Yeosang menundukkan wajahnya. Dan persekian detik ia diam, ia menatap wajahku.
“I’m sorry, Kang Yeosang. Harusnya lo gak jatuh cinta sama gue. Harusnya lo jatuh cinta sama orang yang bisa lebih menghargai perasaan lo.” Ujarku lirih penuh penyesalan karena telah menyakiti perasaannya.
“Jatuh cinta nggak bisa milih-milih orang, cantik. Hati gue maunya jatuh ke lo, bukan ke orang lain. Gue juga gak bisa maksa lo buat jatuh cinta sama gue. Itu hak lo dan kewajiban gue ya memaklumi itu.”
Yeosang mengusap lembut kepalaku. “Lo gak perlu minta maaf karena gak bisa. Itu risiko jatuh cinta. Gue yang harusnya berterimakasih karena lo udah ngasih kesempatan.”
“I’m sorry for never learn to be yours, Yeo.”
“It’s okay. You don’t have to.”
“Semoga lo bahagia ya. Kalo lo gak bisa menerima gue sekarang, semoga lo bisa ketemu orang yang lebih baik dari gue dan menerima dia. Be happy. It’s all i want.”