cosmicmount

tw : suicide, drug use, etc (let me know if i miss something)

wc : 1.3k


Berapa lama aku mengenal Yunho?

Jelas hampir separuh umurku. Atau lebih tepatnya 12 tahun lamanya. Dan selama 12 tahun itu, kami menghabiskan 8 tahun untuk pacaran. Dan kami sudah melewati banyak masa dan kejadian bersama. Bisa di bilang, aku dan dia tumbuh dewasa bersama.

Selama mengenalnya, Yunho mengajarkanku banyak hal. Tapi ada satu yang tidak ia ajarkan.

Cara hidup tanpanya.

Selama 12 tahun lamanya, Yunho nggak pernah mengajarkan hal tersebut. Yunho nggak mengajarkanku untuk melanjutkan hidup tanpanya disisiku. 12 tahun dengan presensi dirinya. 12 tahun dengan lelucon-leluconnya. 12 tahun dengan senyumannya yang secerah matahari.

Aku juga manusia yang selalu merasa kurang. Tuhan memberiku waktu 8 tahun untuk mencintainya dan aku merasa kurang. Kalaupun aku diberi waktu 100 tahun untuk mencintainya pun aku pasti merasa kurang.

Ketika presensinya yang mendadak hilang itu, aku juga merasa separuh jiwaku ikut hilang. Hilang bersamaan dengan dirinya yang terkubur di tanah.

Hari pertama setelah Yunho dikebumikan, aku masih bisa merasakan presensinya. Masih bisa melihat senyumnya saat aku memejamkan mataku. Semuanya bisa aku rasakan saat aku terlelap dengan obat tidur.

Hari kedua dan ketiga pun masih sama. Presensinya masih terasa dalam tidurku. Dekapan kedua tangannya masih bisa kurasakan saat aku terlelap di dalam mimpi. Lagi-lagi, semuanya berkat obat tidur.

Hari keempat sampai kelima, perlahan presensinya mulai bias akibat obat tidurku yang mulai berkurang kinerjanya. Aku mulai panik saat aku mulai lupa bagaimana hangat pelukannya. Aku mulai panik saat aku kesulitan untuk tidur dan sulit untukku melihat senyumannya yang secerah matahari itu.

Hari keenam, kurasakan obat tidurku tidak lagi membuatku terlelap dan membuatku kehilangan presensi Yunho.

Hari ketujuh, kuputuskan untuk tidur lebih lelap dan bertemu Yunho lebih lama dengan menambahkan beberapa butir obat yang tak sadar ternyata obat yang kuminum hampir separuh botol.

Akhirnya aku berhasil terlelap setelah meminum obat tidur yang jumlahnya entah berapa itu. Saat aku terlelap, aku bertemu dengan Yunho. Yunho terlihat lebih nyata dari sebelum-sebelumnya. Presensinya, hangat tubuhnya, serta wangi tubuhnya bisa kurasakan. Aku menangis dalam pelukannya dan Yunho seperti sebelum-sebelumnya saat aku menangis di dalam pelukannya, ia mengusap lembut rambutku dan sebelah tangannya mengeratkan pelukannya. Aku ingin berada di pelukan Yunho selamanya namun ada secercah cahaya yang membuat Yunho melepaskan pelukannya dan menoleh ke arah cahaya tersebut.

“Sayang, aku harus pergi sekarang. Aku boleh ya ninggalin kamu?”

Aku jelas menggelengkan kepalaku. “Aku gak mau ditinggal kamu. Aku mau ikut kamu, Yunho.”

Yunho mengulaskan senyum lembut. Senyum yang selalu ia berikan saat menenangkanku. “Belum waktu kamu buat ikut aku. Nanti kalo udah waktunya, aku jemput disini ya. Tapi sekarang aku harus pergi. Kamu jangan datang terlalu cepat ya.”

Lalu Yunho perlahan pergi menuju cahaya tersebut dan saat bersamaan aku mendengar samar suara Wooyoung yang menyerukan namaku. Tubuhku juga tiba-tiba tertarik ke belakang dengan kencang seperti aku dikembalikan ke suatu tempat dan aku tertidur sejenak. Setelah itu, aku mencoba membuka mataku dan kudapati Mama yang menangis disebelahku. Wooyoung dan Papa berdiri di belakang Mama lalu Kak Eunha yang keluar dari ruangan entah pergi kemana saat melihatku bangun.

Tak lama, Kak Eunha datang dengan dokter dan perawat. Mereka segera memeriksaku. Setelah kondisiku dikatakan lebih baik dari sebelumnya, dokter dan perawat tersebut keluar.

Wooyoung langsung bertanya padaku saat dokter dan perawat tadi keluar. “Lo kenapa minum obat tidur sebanyak itu?! Kalo aja gue gak dobrak kamar lo, lo bisa mati karena overdosis!”

“Maaf, Yo. Gue gak sadar minum sebanyak itu karena gue pikir dengan menambah jumlah obat tidur, gue bisa tidur lebih tenang dan bisa ketemu Yunho lebih cepat. It’s too painful for me. He’s left me without any words. Dan tiap malam, gue minum obat tidur karena dengan tidur, gue bisa ketemu dia dan gak ngerasa sakit ataupun kehilangan.”

Jawabanku ternyata membuat semua orang yang di ruangan ini menangis. Kak Eunha dan Mama langsung memelukku.

“Adek, kamu bisa berbagi rasa sakit itu sama Wooyoung, sama Mama Papa, atau sama Kak Eunha.” Ujar Mama.

“Rasanya beda, Ma. Aku sakit karena Yunho gak ngajarin aku hidup tanpa dia. Terus tiba-tiba dia pergi dan aku gak bisa melihat atau ketemu dia lagi. Aku harus apa, Ma, kalo gak ada Yunho?”

Lalu pertanyaan itu tak terjawab oleh semua keluargaku sampai aku keluar dari rumah sakit.

Sampai dua hari setelah aku keluar dari rumah sakit, Mama mengajakku ke suatu tempat. Dan saat sampai di tujuan, Mama baru memberitahu kalau aku dibawa ke psikolog. Mama bilang kalau disana nanti aku bisa mendapatkan jawaban dari pertanyaanku waktu itu.

Aku bertemu dengan Dokter Joshua sendirian karena Mama membiarkanku untuk berkonsultasi sendirian agar aku bisa lebih leluasa.

Dokter Joshua seperti tahu kondisiku yang ditinggal oleh Yunho sehingga beliau menanyakan kembali soal pertanyaanku.

“Dokter dengar dari Mama, kamu pernah bertanya apa yang harus kamu lakukan setelah dia gak ada?” Aku mengangguk. “Kamu tau gak kalo ada banyak hal yang bisa kamu lakuin meski dia udah gak ada? Contohnya, kamu kulik hobi kamu atau kamu cari kesenangan baru dan lain sebagainya.”

“Tapi aku ngerasa kalo gak ada dia, hidupku berhenti, Dok.”

“Dia masih ada di sekitarmu tapi cuma tempatnya yang beda aja. Dia gak kemana-mana, jadi jangan merasa hidup kamu berhenti ya. Dia ada dan dia mau kamu tetap jalani hidup kamu. Nggak usah jalan terburu. Pelan tapi pasti karena dia gak kemana-mana dan dia ada disana, di hati kamu.”

Lalu Dokter Joshua memberikan beberapa saran yang bisa kugunakan saat aku mulai teringat padanya. Dan sesi konsultasi pertama kali berakhir dengan baik.

Aku kembali konsultasi seminggu setelah konsultasi pertama. Saran yang diberikan oleh Dokter Joshua dari sesi konsultasi kemarin membuatku sedikit lebih baik.

Dan di sesi konsultasi kali ini, aku menceritakan soal tempat yang menjadi tujuanku dan Yunho suatu hari. Dokter Joshua mendengarkan ceritaku dengan seksama.

“Aku sama dia punya rencana buat tinggal di Swiss suatu hari nanti, Dok. Terus, kita nonton Coldplay di London karena itu salah satu keinginan kita buat nonton Coldplay langsung di Etihad Stadium.”

“Okay. Dokter punya saran lagi nih. Karena saran yang kemarin masih ada sedikit kemajuan, semoga saran ini ada kemajuan buat kamu ya. Tapi kalo gak bisa, gak usah dipaksa.” Aku mengangguk. “Supaya kamu berdamai sama keadaan kamu, kamu coba ke tempat-tempat yang mau kamu datangi sama dia. Travel to places that you and him want to go. Atau coba wujudin keinginan dia yang belum terwujud.”

Lalu setelah konsultasi kedua tersebut, aku langsung kepikiran soal saran Dokter Joshua.

Segera aku membuka laptopku saat sampai rumah dan membuka akun Google yang aku dan Yunho gunakan bersama. Aku mencari notes-notes yang pernah kita tulis bersama tentang keinginan-keinginan kami yang ingin kita capai bersama. Setelah menemukannya, aku segera membuat beberapa daftar dan rencana perjalanan. Dan aku berkutat membuat semuanya hampir tiga hari lamanya.

Begitu semua rincian dan rencana perjalananku selesai, aku memperlihatkannya pada Mama dan Papa usai makan malam.

“Aku mau solo travelling ke Europe dan US.” Aku memberikan rincian dan rencana perjalananku yang sudah kucetak pada Mama dan Papa. “Ini saran dari Dokter Joshua supaya aku segera berdamai dengan keadaan.”

Wooyoung yang duduk disebelah Mama pun melongokkan kepalanya, melihat rincian perjalananku. “Sumpah ini lo bikin sendiri?”

“Iya. Gue bikin semuanya sampai ke detail-detailnya.”

“Tapi Adek bisa pergi sendiri?” tanya Papa.

Aku mengangguk. “Bisa. Aku juga yang bakalan mengurus semuanya sendiri. Jadinya Mama sama Papa gak usah risau.”

“Gue mau ikut juga gak boleh?”

“Gak. Ini perjalanan gue dan Yunho. Jadinya gue mau sendiri karena Yunho udah gak bisa nemenin gue.”

Mama menatapku. “Mama bolehin asal Adek selalu ngasih kabar selama disana. Mama percaya sama Adek.”

“Papa juga bolehin asal bawain Papa oleh-oleh dari tiap negara ya.”

Aku tersenyum puas karena Mama dan Papa menyetujui rencana perjalananku. Dan aku segera mengurus semua visa, penerbangan, dan juga penginapan begitu mendapatkan izin. 3 minggu kemudian, aku sudah siap berangkat. Mama, Papa, Wooyoung, Kak Eunha, dan Kak Hoshi—suami Kak Eunha—mengantarku ke bandara. Mereka semua mengantarku menuju perjalanan yang aku dedikasikan untuk Yunho. This trip to heal and numb my pain.

the feeling of missing something or someone.

Mingi POV

Gue akhirnya putus sama Audri.

Yang kacau saat kami putus nggak hanya dia. Gue pun ikut kacau. Tapi gue nggak menunjukkan itu didepan semua orang apalagi depan Yunho karena he’s much more fucked than me.

But i’m fucked up too. More than i thought. Gue pikir putus dengan Audri adalah pilihan yang tepat. Nyatanya nggak. Memori-memori tentang Audri tiba-tiba menyeruak keluar begitu saja tanpa bisa dicegah. Membuat gue menyesali pilihan tersebut.

Setiap melihat sudut-sudut kampus, gue selalu bisa melihat bayangan gue, Audri dan Yunho yang sedang bercengkrama bersama menjelang mata kuliah selanjutnya.

Setiap gue ke perpustakaan, bayangan gue dan Audri yang sedang mengerjakan laporan praktikum di sudut favorit kita pun muncul.

Hal itu sangat menyesakkan apalagi saat Audri dan Yunho rebound. Gue turut bahagia untuk mereka tapi gue juga sesak saat mereka bisa bahagia tanpa gue. Di kepala gue selalu memikirkan hal ini saat mereka bisa rebound.

Ternyata mereka bisa bahagia tanpa gue.

Setelah Audri dan Yunho rebound, gue pelan-pelan menata perasaan gue. Gue mencoa berdamai agar hal yang menyesakkan itu pelan-pelan teratasi. Dan gue merasa berhasil saat gue sudah mulai terbiasa dengan Audri yang kembali menjadi teman gue lagi. Gue mulai berdamai dengan perasaan gue ke Audri. Gue mulai berdamai dengan keadaan.

Walaupun kadang gue suka merasa sedih saat melewati cafe yang berada dekat kampus kini bukan lagi jadi milik gue dan Audri. Atau salon nailart yang tiap bulan selalu gue datangi bersama Audri terasa asing. Dan juga foto-foto gue bersama Audri dan juga Yunho membuat gue bernostalgia saat melihatnya dan merenungkan kalau gue nggak akan bisa kembali masa itu. Karena semuanya kini menjadi bagian masa lalu gue.

Gue pernah membaca sebuah kutipan dari seorang Filsuf bernama Heraclitus. Kutipan tersebut berbunyi, “Tidak ada manusia yang pernah melangkah di sungai yang sama dua kali, karena itu bukan sungai yang sama dan dialah bukan manusia yang sama.”

Putusnya gue dengan Audri membuat gue tau kalau yang paling jauh adalah masa lalu. Mau bagaimanapun inginnya kita kembali kesana, kita nggak akan pernah sampai. Di masa lalu, Audri Kang adalah pacar gue. Mau sebesar apapun keinginan gue untuk kembali ke masa itu, gue nggak akan pernah bisa. Hal itu membuat gue sadar dan mulai menerima keadaan setidaknya Audri Kang di masa depan tetap menjadi sahabat gue.

Salah satu usaha gue untuk berdamai dengan keadaan adalah mencoba melamar beasiswa ke MIT saat Pak Eden memberikan link pendaftaran pada gue. Walaupun gue nggak yakin bisa ke terima, tapi gue tetap mencoba. Setidaknya gue sudah berusaha dan ini juga menjadi salah satu usaha gue untuk berdamai dengan semuanya. Dan semesta pun berbaik hati atas segala usaha gue. Tepat seminggu setelah sidang skripsi, gue mendapatkan kabar kalau gue ke terima di MIT. Semesta nampaknya ingin gue dapat yang terbaik juga dengan cara mengirim gue ke salah satu kampus incaran gue itu. Gue nggak pikir dua kali dan langsung menerima offering tersebut.

Nggak semua orang tau soal MIT karena gue enggan memberitahu mereka sampai semuanya selesai. Lagipula, saat accepted letter itu gue terima, semua teman gue sedang sibuk dengan skripsi mereka. Kebetulan gue sidang 1 semester lebih dulu dari teman-teman gue jadinya saat mereka sibuk dengan skripsinya, gue sibuk mempersiapkan untuk ke MIT.

Salah satu yang tau gue akan ke MIT adalah San. Soalnya gue sempat tanya-tanya urusan visa karena kakaknya tinggal di US.

Dan selama itu, gue yang sibuk dengan mempersiapkan semuanya sampai nggak sadar waktu berjalan dengan cepat. Teman-teman gue satu per satu lulus sidang skripsi. Jadwal keberangkatan gue ke Amerika juga sudah keluar. Dan juga tanggal kita semua wisuda pun sudah ditetapkan oleh kampus.

Sayangnya, jadwal keberangkatan gue lebih dulu daripada jadwal wisuda. Sehingga gue nggak bisa mengikuti wisuda padahal gue tau semua teman gue ingin gue berada disana terutama Audri dan Yunho.

Kita bertiga punya janji yang kami ucapkan saat kami sudah berteman selama sebulan. Yang mana janji itu adalah kita harus lulus bareng-bareng dan harus foto bersama saat wisuda. Sayang sekali gue harus mengingkari janji tersebut walaupun sebetulnya gue bisa saja menepati janji itu tapi gue memilih untuk berangkat dan tidak tinggal lebih lama untuk janji tersebut.

Tetapi gue nggak akan menyesali keputusan gue. Sekali lagi, ini adalah salah satu usaha gue dalam berdamai dengan keadaan. Berdamai dengan perasaan kehilangan gue.

Teman-teman gue memaklumi keputusan gue tersebut dan mereka malah menyambut baik hal itu dengan antusias mengantar gue ke bandara. Terutama teman-teman Audri. Mereka (atau lebih tepatnya Jungeun) yang mengkoordinasi acara mengantar gue ini.

Dan saat di bandara, gue akhirnya benar-benar berdamai dan mengikhlaskan semuanya. Audri and I have a good farewell this time. Gue bisa pergi dengan tenang karena gue sudah berdamai dengan semuanya.

Kang Yeosang itu anak baik. Scale kebaikannya itu 1000 dari 10. Kalau ada nominasi anak baik sedunia, Kang Yeosang pantas memenangkannya.

Dia selalu ada untukku walaupun dia nggak pernah jadi prioritasku. Dia si paling gerak cepat setiap aku menelponnya ketika aku membutuhkanku. Dia rela memberikan kulit ayamnya setiap kali kami makan siang bersama di halaman depan gedung kantor kami. Dan masih banyak kebaikan-kebaikan yang ia berikan padaku.

Kang Yeosang sangat baik. Terlampau baik untukku yang nggak pernah merespon balik perasaannya.

Aku nggak buta. Aku juga nggak bodoh. Aku peka kalau Yeosang menaruh perhatian dan perasaan lebih untukku. Aku tahu Yeosang menyukaiku.

Aku dan Yeosang seumuran dan seangkatan ini langsung menjadi partner kerja yang baik dalam waktu seminggu. Kami saling tolong menolong dalam mengerjakan pekerjaan kamu sampai kami sama-sama diangkat menjadi karyawan tetap di waktu yang bersamaan. Hal itu membuat bonding antara aku dan Yeosang menjadi kuat. Tapi bonding tersebut membuat perasaannya padaku semakin dalam.

Aku mengacuhkan perasaan dan perhatian Yeosang karena aku masih menganggap Yeosang sebagai partner kerja sekaligus teman baikku.

Cowokersku yang lain juga merasakan hal itu karena Yeosang memberikan perhatian lebih padaku menurut mereka. Lebih-lebih Yeosang merupakan salah satu cowok yang banyak dibicarakan oleh cowokers lainnya membuat perhatian-perhatiannya padaku itu menjadi pusat perhatian. Beberapa kali mereka menyampaikan pendapat mereka itu padaku dan aku hanya tersenyum menanggapinya.

Sekali lagi aku tegaskan kalau aku tahu Yeosang menyukaiku. Tapi aku nggak bisa membalas perasaan Yeosang itu. Jujur, aku pun ingin membalasnya tapi aku nggak bisa. Karena hatiku belum siap untuk disinggahi oleh seseorang lagi.

“Tunggu ya. Gue sedikit lagi selesai nih.” Ujar Yeosang saat aku melonggokkan kepalaku di kubikelnya. Aku mengangguk dan kembali duduk di kursiku.

15 menit kemudian, Yeosang selesai. Kami pun bergegas pergi dari kantor. Hari ini kami berencana untuk nongkrong di lapangan softball GBK. Biasanya kami sambil makan malam saat nongkrong dan menonton pertandingan softball disana.

Lalu sampailah kami di tujuan. Yeosang lalu membawakan tasku dan membukakan pintu mobil untuk. Yeosang memang selalu membawakan tasku setiap kali kami pergi berdua. Katanya, biar aku nggak kerepotan dan sekalian dia menitip dompetnya didalam tasku. 

See? Dia memang sebaik itu sampai-sampai aku bingung apa yang pernah kuperbuat di kehidupan sebelumnya sampai di pertemukan oleh seseorang sebaik Yeosang. Aku nggak bisa terus-terusan menikmati perhatian dan kebaikan Yeosang karena hal itu hanya merugikan Yeosang.

Tiap kali aku mengobrol dengan Yeosang, aku selalu enjoy. Aku selalu menyukai caranya meresponku dan caranya mendengarkanku. Terkadang aku bertanya-tanya pada diriku, mengapa aku tidak bisa jatuh hati pada sosok yang berada dihadapanku in. Aku berulang kali berusaha mencoba untuk jatuh hati padanya. Dan aku pun akhirnya menemukan jawabannya beberapa hari lalu.

Percintaan sebelumku meninggalkan bekas yang cukup mendalam sehingga aku nggak siap membuka hati untuk orang lain termasuk untuk Yeosang. Aku merasa diriku belum siap untuk dicintai oleh seorang Kang Yeosang. Aku sangat ingin membalas perasaannya. Tapi sayangnya hatiku enggan dipaksakan dan aku juga nggak mau perasaan Yeosang terbalaskan karena paksaan.

Yeosang berhak untuk dicintai. Yeosang berhak untuk jatuh cinta dengan yang lain tapi tidak denganku. Yeosang hanya akan membuang-buang waktunya bila mengejarku.

Dan hari ini aku berniat untuk menyudahi semuanya. Walaupun terkesan tidak adil bagi Yeosang setelah apa yang ia berikan dan lakukan tapi menurutku ini yang terbaik untukku dan Yeosang.

“Hey, do you hear me?”

Aku terbangun dari lamunanku. “Maaf, maaf. Tadi lo ngomong apa?”

Yeosang tersenyum. “You seems lost today. Kenapa? Ada yang lagi lo pikirin ya?”

He can read me well.

Sorry.”

“Nggak apa.” Yeosang mengusap lembut tanganku. “Mau cerita?”

Okay, this is it…

“Yeo, gue rasa kayaknya gue dan lo perlu stop.”

“Hm? Maksudnya stop apa?”

“Ya stop apa yang lagi kita lakuin sekarang. Stop pergi keluar berdua. Lo stop angkat telpon gue di tengah malem. Dan gue juga stop nyari-nyari lo.”

“Emangnya kenapa? Ini maksudnya kita udahan temenan gitu?”

“Bukan.” Jawabku dengan lirih. “Maksudnya lo stop suka sama gue.”

Yeosang terdiam. Dia menatapku sebelum akhirnya berbicara. “Lo selama ini tau gue suka sama lo ya?”

Aku mengangguk lemah dan mengalihkan pandanganku. Aku nggak sanggup menatapnya.

“Tapi kenapa lo diem aja?”

“Karena… gue nggak bisa.”

“Kenapa nggak bisa? Lo bahkan belum mencobanya.”

“Ya nggak bisa aja, Yeo.”

“Kasih gue satu alasan yang kuat kenapa lo nggak bisa. Selama ini lo welcome dengan semua perhatian gue dan membuat gue berpikir kalo lo ngasih gue kesempatan.”

I did. I did give you chance. Tapi emang gue yang nggak bisa, Yeo, karena lo terlalu baik buat gue. Yeo,gue juga mau membalas perasaan lo.  Setiap hari gue berusaha untuk jatuh cinta seperti lo jatuh cinta ke gue. But i’m way too lost, YeoSadly, i’m not lost in you.”

Air wajah Yeosang berubah. Inilah yang aku takutkan. Aku menyakiti hati Yeosang. “Maaf, Yeosang. Maaf kalau gue menyakiti perasaan lo.”

Yeosang menundukkan wajahnya. Dan persekian detik ia diam, ia menatap wajahku.

I’m sorry, Kang Yeosang. Harusnya lo gak jatuh cinta sama gue. Harusnya lo jatuh cinta sama orang yang bisa lebih menghargai perasaan lo.” Ujarku lirih penuh penyesalan karena telah menyakiti perasaannya.

“Jatuh cinta nggak bisa milih-milih orang, cantik. Hati gue maunya jatuh ke lo, bukan ke orang lain. Gue juga gak bisa maksa lo buat jatuh cinta sama gue. Itu hak lo dan kewajiban gue ya memaklumi itu.”

Yeosang mengusap lembut kepalaku. “Lo gak perlu minta maaf karena gak bisa. Itu risiko jatuh cinta. Gue yang harusnya berterimakasih karena lo udah ngasih kesempatan.”

I’m sorry for never learn to be yours, Yeo.”

It’s okay. You don’t have to.

“Semoga lo bahagia ya. Kalo lo gak bisa menerima gue sekarang, semoga lo bisa ketemu orang yang lebih baik dari gue dan menerima dia. Be happy. It’s all i want.