cosmicmount

Soori di tinggal sendirian di rumah karena Mama nya tiba-tiba ada panggilan ke rumah sakit dan pembantu rumahnya pergi ke rumahnya yang gak jauh dari rumahnya. Dia kini berada di ruang tengah, menggonta-ganti series Netflix karena dirinya sudah bosan. Tapi gak lama bel rumahnya bunyi. Dengan malas, Soori melangkahkan kakinya untuk membuka pintu.

Soori agak kaget melihat siapa yang datang bertamu. “Lho, Gi, udah pulang sekolah? Bukannya belum jam pulang ya?”

Orang itu mengangguk. “Tadi kelas kita pulang duluan. Gue mau dateng nengokin.” Mingi memberikan apa yang dia bawa untuk Soori. Mangga.

“Ayo masuk-masuk.” Soori mempersilahkan Mingi masuk dengan menggeser tubuhnya supaya Mingi bisa lewat. Karena Mingi terbilang cukup sering berkunjung ke rumahnya, maka Soori mengajak Mingi untuk ke dapur, duduk di salah satu bangku tinggi yang ada disana. Tempat biasa mereka tiap Mingi main ke rumah Soori.

Soori menyodorkan segelas jus jeruk untuk Mingi. “Hari ini ada tugas apa aja?”

“Hmm... itu kayaknya gak ada deh...”

“Lo bolos lagi ya?”

Mingi nyengir kaku lalu menggaruk kepalanya. Soori menggelengkan kepalanya. Posisinya sekarang dirinya di depan Mingi dan Mingi dapat melihat raut wajah Soori yang masih pucat. Rambutnya yang berantakan seperti terlalu banyak tiduran dan jangan lupa fever plast yang merekat erat di dahi Soori.

Mingi langsung sadar apa yang dia lakukan kemarin ternyata berefek segitunya ke Soori dan membuatnya langsung merasa bersalah. Harusnya perasaannya tidak menakuti Soori sampai seperti ini atau membebani Soori. Mingi sadar kalau dirinya menjadi jahat karena perasaannya ke Soori.

“Sur, gue minta maaf ya. Buat apapun yang pernah gue lakuin ke lo.”

“Eh? Lo kenapa, Gi?”

“Gapapa. Gue merasa jahat aja sama lo.”

Soori makin bingung. Baru mau menyahuti perkataan Mingi, Soori mendengar Sunwoo datang dan memanggilnya.

“Kakak!”

“Di dapur!”

Gak lama Sunwoo muncul sama Ryujin. Sunwoo langsung menarik Mingi menjauh dan Ryujin mendekati Soori.

Sunwoo mencengkram kerah baju Mingi. “Lo jangan deket-deket kakak gue!”

“Kak Soori gapapa kan?” Ryujin mengecek kondisi Soori.

“Aku gapapa. Sunwoo apa-apaan sih! Ngapain lo dateng-dateng narik Mingi kayak gitu?!”

Gak lama gerombolan Yunho, Yihyun, Arin, San, Wooyoung, dan Jungeun dateng. Yang cowok langsung misahin Sunwoo sama Mingi karena takut Sunwoo gak bisa mengkontrol emosinya dan memukul Mingi.

“Ini ada apaan?! Kok ada Jungeun?!” Pekik Soori yang clueless sama apa yang terjadi.

Keadaan jadi gak kondusif karena Sunwoo yang mencoba melepaskan diri untuk mendekati Mingi. Akhirnya Ryujin menarik Sunwoo duduk di salah satu kursi meja makan. “Lo diem atau lo yang gue gampar.”

Sunwoo menatap Ryujin dan akhirnya dia mengalah dan terdiam duduk. Ryujin menyuruh yang lainnya juga buat duduk supaya mereka bisa ngobrolinnya dengan lebih tenang.

“Nah gini kan enak. Silahkan kakak-kakak sekalian di omongin gimana dan ada apa.” Ujar Ryujin. Sunwoo mendengus kesal saat mendengar Ryujin berbicara tapi langsung meringis saat Ryujin mencubit pahanya. Gak taunya Ryujin denger.

Arin menyuruh Jungeun buat ceritain semuanya. Soori kaget begitu tau kebenarannya dan Mingi menunduk karena merasa bersalah dan malu. Pantas aja Mingi tiba-tiba out of nowhere minta maaf ke dia karena ternyata stalker yang selama ini menakutinya adalah Mingi.

“Semuanya balik lagi ke Soori mau gimana karena korbannya disini Soori tapi gue denger katanya Yunho sama Sunwoo udah lapor ke kepsek karena kejadian kemarin itu kejadiannya di sekolah.” Ujar Arin.

Semunya menunggu Soori berbicara. Lidah Soori mendadak kelu karena dirinya gak tau harus berkata apa. Dia menarik nafas lalu menghembuskannya sebelum berbicara. “Jujur gue lost words pas tau kebenarannya tapi ulah Mingi selama 2 bulan belakangan ini bikin gue ketakutan setengah mati jadi mau gak mau dia harus dapet balesan setimpal. Mungkin Mingi sama Jungeun bakalan di panggil ke BK karena Yunho dan Sunwoo udah ngelaporin ke kepsek yang mana pasti akan diusut kesiswaan.”

Suara Soori mendadak tercekat. Entah kenapa dia bisa melanjutkan perkataannya. Yunho yang memperhatikan Soori sedari tadi pun segera menggenggam tangan Soori dan mengusapnya, memberikan afirmasi pada Soori. Soori pun tersenyum karena Yunho menenangkannya.

“Dan buat Mingi... sorry banget tapi gue boleh minta buat lo gak deket-deket gue? Kejadian kemarin bikin gue trauma dan pas tau ternyata orangnya adalah lo bikin gue jadi takut tiap liat lo.”

Mingi senyum maklum. “Gue paham, Sur. Sekali lagi gue minta maaf.”

Abis itu Mingi bangun dan pergi dari rumah Soori. Jungeun pun mendekati Soori. Dia juga meminta maaf buat semua perlakuannya ke Soori. Soori mungkin memaafkan Jungeun dan Mingi tapi dia gak akan lupa sama apa yang mereka lakukan ke dia.

“Lulusan terbaik tahun ini diraih oleh Kim Soori 12 IPS 2.”

Seluruh audience berdiri dan bertepuk tangan. Soori berdiri dan menundukkan badannya kepada orang-orang disekitarnya. Dia melangkahkan kakinya dengan percaya diri menuju podium dengan tersenyum.

Yunho memandangi Soori yang senyuman yang tidak luntur bahkan setelah dirinya menerima piagam penghargaan. Yunho memang bukan saksi bagaimana strugglenya Soori untuk sampai di titik yang diraih sekarang. Yunho tau kalo Soori berhak untuk mendapatkan semuanya.

Acara wisuda pun selesai. Semua peserta wisuda keluar dari auditorium dan berkumpul dengan keluarga dan teman-teman mereka.

Banyak orang yang menyelamati Soori atas prestasi yang dia raih. Dan gak sedikit juga yang memberi dia buket membuat dirinya dipenuhi buket sampai Soori ketemu sama Sunwoo dan Hongjoong.

Lalu gak lama Arin, Wooyoung dan San datang menghampiri Soori.

“SOORI AAAAA CONGRATS!!!” Pekik Arin lalu melompat memeluk Soori. “Lo super duper mega kece! I’m so proud of you!”

Soori ketawa karena Arin yang heboh sendiri. San dan Wooyoung juga memberikan selamat ke Soori. Abis itu Arin ngajakin ketiga temannya itu untuk foto bersama.

Saat keempat sahabat itu bercengkrama dengan keluarga Soori, Yunho datang menghampiri dengan keluarganya karena udah jelas orangtuanya Yunho pasti bakalan nyamperin orangtuanya Soori.

Setelah ngobrol-ngobrol, Yunho dan Soori seperti diberi waktu untuk ngobrol berdua oleh orang-orang sekitarnya.

Congratulation.” Ujar Yunho.

Thanks. You too. Congratulations for NTU.

Well, college life will start soon. Are you ready for new journey?

Never been this ready because i’m going to ride that journey with my friends.” Balas Soori dengan senyum.

Good to hear that. Aku yakin kamu bisa ngejalaninnya.”

I know. Kamu jaga diri disana ya.”

Will do.

Yunho mengulum senyumnya. Dia menatap Soori. Pada akhirnya Yunho tetap memilih ke NTU dan Soori memilih untuk rencananya yang lain.

“Ri, let’s meet again when we have catch our dreams. Let’s meet in our best version from now.

Soori tersenyum. “I can’t promise anything, Yu. But i hope we can meet again on our best version.

Yunho paham banget sama jawaban Soori karena itulah Soori.

Gak lama orangtua Soori memangil untuk pulang. Sebelum pergi, Soori menyempatkan untuk memeluk Yunho.

Goodbye, ex fiancé.

Yunho terkekeh. “Yeah, goodbye, ex fiancée.”

“Mohon kerjasama ya, Pak Satrya.”

Satrya mengangguk dan menjabat tangan kliennya. “Baik, Bu. Semoga semua persidangan nantinya dilancarkan.”

Setelah itu klien Satrya pamit pergi bersama anaknya. Sang anak sempat tersenyum padanya sebelum pergi dengan ibunya.

Kali ini, Satrya menangani kasus perceraian. Klien kasus ini sebetulnya adalah milik anak dari si Ibu tersebut. Salah seorang kolega si Ibu merekomedasikan Satrya sebagai lawyer untuk perceraian anaknya. Setelah membuat janji, akhirnya mereka bertemu. Melody, anak dari Ibu tersebut, ingin mengugat cerai suaminya. Melody bersama ibunya bertemu dengan Satrya untuk membahas hal tersebut karena masih awam dan tidak mengerti bagaimana prosedur persidangan.

Setelah Satrya setuju untuk membantu Melody, Satrya sudah menjadwalkan pertemuan selanjutnya untuk memberikan berkas-berkas untuk pengajuan gugatan cerai.

Satrya sendiri sangat menyayangkan Melody harus bercerai dengan suaminya. Menurutnya, Melody seperti capable dalam mengurus rumah tangga. Dan Melody juga terbilang masih muda untuk sebuah perceraian. Mungkin ada yang Satrya belum tau kenapa Melody memilih meninggalkan suaminya.

Pertemuan selanjutnya, Melody datang sendiri tanpa ibunya. Dia melenggang masuk cafe, mendekati meja Satrya. Satrya sedikit terpukau dengan Melody hari ini karena A-line floral dress yang dilapisi oleh jaket jeans oversized yang dipadukan dengan sepatu kets putih yang ia kenakan membuatnya terlihat lebih fresh dan cantik dari sebelumnya.

“Pak Satrya, maaf saya telat. Tadi kejebak macet.” Sapa Melody membuat lamunan Satrya buyar.

“Gapapa, Bu Melody. Saya baru aja sampe. Silahkan duduk, Bu.” Melody duduk di hadapan Satrya. Setelah memesan, Melody memberikan sebuah map pada Satrya.

“Ini berkas yang dibutuhkan, Pak.”

Satrya menerimanya dan mengeceknya. Setelah memeriksanya, Satrya memberikan semua map pada Melody. “Ini surat gugatan cerainya, Bu. Bisa di cek dulu sebelum saya serahkan ke pengadilan.”

Melody segera membaca surat gugatan tersebut. “Ini udah bener, Pak. Berkas-berkas yang dibutuhin juga udah sesuai, Pak?”

“Sudah, Bu.” Melody mengembalikan surat gugatan pada Satrya. “Kalo begitu, besok ini saya langsung serahkan ke pengadilan.”

“Kira-kira berapa lama, Pak, prosesnya?”

“Kurang lebih 3–4 bulan, Bu. Terakhir saya mengurus perceraian itu makan waktu 3 bulan.”

“Semoga aja lebih cepat ya, Pak. Saya mau cepet selesai ngelanjutin sekolah saya.”

“Kalo boleh tau, Bu Melody ini baru lulus S1 kah?”

Melody tergelak. “Saya udah 26, Pak Satrya.”

Satrya kaget. “Serius, Bu? Saya kira Ibu masih early 20s.”

“Saya seumuran sama Bapak. Kalo gak salah Bapak kelahiran tahun xx juga, kan?”

Satrya mengangguk. “Ibu keliatan awet muda ya. Saya pikir Ibu cerai karena nikah muda selain, maaf, perselingkuhan suami Ibu.”

“Saya udah menikah 5 tahun, Pak. Kita menikah pas sama-sama baru lulus kuliah.”

“Selama nikah belum ada anak ya, Bu?”

Melody tersenyum. “Iya, Pak. Panggil Melody aja gapapa, Pak. Biar lebih nyaman.”

“Kalo gitu Ibu — Melody maksudnya, bisa panggil saya Satrya aja.”

Mereka berdua akhirnya jadi cerita banyak hal. Melody ternyata lulusan dari almamater yang sama dengan Satrya. Bedanya, Melody lulusan Hubungan Internasional sedangkan Satrya lulusan Hukum. Melody lulus setahun lebih dulu dari Satrya karena pas SMP sempat akselarasi. Melody saat ini bekerja di Kementerian Luar Negeri. Setelah ngobrol selama 2 jam lamanya, Melody pamit pergi duluan karena adiknya sudah menjemput. Satrya sendiri juga ikut pergi gak lama Melody pergi.


Setelah pertemuan kedua itu, Melody sama Satrya malah jadi dekat. Intensitas chatting jadi sering dan mulai sering keluar bareng setelah hampir 2 minggu rajin chattingan. Satrya juga tau kalo Melody sudah pisah rumah dengan suaminya sejak awal tahun ini. Satrya menjemput Melody di apartemennya. Sore ini, mereka berdua mau pergi ke Jakarta Aquarium. Awalnya gak ada kepikiran mau kesana. Tapi Satrya ngide untuk bawa Melody kesana karena teringat sama percakapannya dengan Melody suatu hari.

“Aku tuh suka ikan. Pas kuliah, sering pergi ke Seaworld sendirian apalagi kalo abis ujian.”

“Yaudah kapan-kapan ke Seaworld atau Jakarta Aquarium gimana?”

“Boleh…”

Dan akhirnya rencana itu terealisasikan hari ini. Lagi-lagi, Satrya terpesona dengan Melody hari ini. Dengan tshirt putih yang dipadukan dengan blazer abu-abu dan ankle jeans membuat Melody kelihatan casual dan sangat cocok dengannya.

“Hai! Maaf ya lama turunnya. Tadi adik saya mampir terus minta dimasakkin dulu sebelum pergi.”

“Baru nyampe kok. Berangkat sekarang gapapa? Takut macet kalo kesorean.”

Mobil Satrya pun berjalan menuju tujuan mereka. Sepanjang perjalanan, mereka habiskan dengan ngobrol. Menceritakan kegiatan-kegiatan yang mereka lalui seminggu terakhir.

Sampai di tujuan, Satrya langsung mengarahkan Melody ke Jakarta Aquarium. Melody masih belum tau kalo tujuan hari ini itu Jakarta Aquarium. Dia mengiyakan ajakan Satrya tanpa bertanya mau pergi kemana. Pas sampe di Jakarta Aquarium, Melody speechless.

No way… jangan bilang kamu inget sama yang waktu itu saya ceritain?”

Satrya tersenyum. “Kan saya pernah janji mau ngajakin kesini. Ayo masuk.”

Melody melangkahkan kakinya dengan riang. Satrya menikmati kegiatannya hari ini sebagaimana Melody menikmatinya. Dia gak berhenti tersenyum saat melihat Melody yang excited melihat ikan-ikan yang ada dari satu aquarium ke aquarium lainnya. Hatinya menghangat saat melihat senyum yang terukir di wajah Melody. Ia ingin melihat senyum itu. Satrya ingin Melody terus tersenyum seperti itu.

Melihat Melody yang sudah kelelahan, Satrya mengajaknya udah pergi. Melody awalnya enggan untuk pergi tapi Satrya berhasil membujuk Melody. Dan mereka pun berakhir di salah satu restoran yang ada di mall ini.

“Saya pernah hampir menikah. Tapi batal karena mantan tunangan saya selingkuh dan hamil.” Cerita Satrya. Kali ini mereka membahas love life mereka. “Saya gak pernah berani untuk nyentuh dia lebih dari kissing, gak taunya dia malah cari pelampiasan di luar dan sampai hamil begitu. Emang gak jodoh kayaknya.” “I’m sorry to heard that.” Melody mengusap tangan Satrya. “Kamu hebat karena gak pernah nyentuh dia, Satrya. Kamu bisa dapat yang lebih baik dari dia. She just doesn’t deserve you.

Satrya tersenyum. “I know. Kalo kamu ketemu sama suami kamu dimana?”

“Dia kakak kelas saya pas SMA. Kita ketemu lagi pas saya magang. Satu kantor. Terus deket 4 bulan abis itu menikah. Selama menikah pernah keguguran 2 kali.” Cerita Melody.

“Kalian nikah sama-sama cinta?”

Melody menggeleng. “Dia bilang ke saya kalo nikah gak perlu cinta yang penting punya temen untuk menghabiskan di masa tua. Tapi gak ada yang nyangka kalo dia bisa selingkuh.”

Satrya menatap Melody yang tersenyum pahit dengan matanya yang sedikit berkaca-kaca sesaat menyelesaikan ceritanya. Dari sana Satrya bisa tau kalau Melody mencintai suaminya terlepas apa yang sudah dilakukan suaminya. Tapi ia gak bisa berbuat apa-apa karena kita semua tau, gak ada yang bisa mengatur perasaan.

Mereka memutuskan untuk pulang setelah makan. Satrya menurunkan Melody di lobi. “Makasih banyak buat hari ini, Satrya.”

“Sama-sama Melody. Sampai ketemu lagi lusa.”

Melody tersenyum dan masuk ke apartemennya setelah Satrya menjalankan mobilnya.


Yang dimaksud Satrya akan bertemu lagi dengan Melody karena hari itu adalah persidangan perceraian pertama Melody. Satrya tentu saja menemani Melody sebagai kuasa hukumnya.

Satrya akhirnya bertemu dengan suami Melody. William Djanuarta, suami Melody juga datang dengan kuasa hukumnya yang Satrya kenal karena mereka berdua kakak tingkat Satrya saat kuliah.

Orangtua William sempat menyapa Melody. Satrya bisa melihat kalo Melody ini nampaknya disukai mertuanya terutama ibu mertuanya yang sepertinya tidak rela melepaskan Melody dan meminta secara tidak langsung pada Melody untuk tetap bersama anaknya. Tapi Melody teguh dengan pendiriannya kalo perceraian adalah solusi untuk pernikahannya.

Sidang pertama berjalan dengan lancar dan bisa lanjut ke prosesi selanjutnya yaitu mediasi.

Begitu persidangan selesai, kedua orangtua William menghampiri kedua orangtua Melody bersama William dan kuasa hukumnya. Kedua orangtua William bercakap-cakap — memberikan permintaan maaf dan juga salam perpisahan dengan orangtua Melody karena mau gimanapun pernikahan William dan Melody sempat menyatukan kedua keluarga itu.

Saat kedua orangtua mereka sibuk berbicara, William menyempatkan dirinya untuk mengajak Melody berbicara. Satrya hanya bisa melihat dua sosok itu melangkah keluar ruang sidang. Entah kenapa saat melihat Melody pergi bersama William seperti ada sesuatu yang mencokol dalam hatinya. ___

Selama proses mediasi, Satrya lebih banyak berhubungan dengan William dan kuasa hukumnya karena Melody tiba-tiba enggan untuk bertemu dengan William.

Entah apa yang William dan Melody bicarakan tempo hari tetapi setelah percakapannya dengan William setelah sidang pertama, Melody seolah-olah menjauhkan dirinya dari orang-orang termasuk Satrya.

Satrya tentu saja penasaran dengan percakapan mereka tersebut karena Melody juga merenggangkan jarak padanya. Chatnya hanya dibalas alakadarnya. Semuanya seperti menghilang dalam sekejap.

Sampai suatu hari atau lebih tepatnya seminggu sebelum sidang mediasi berakhir, Melody menelepon Satrya.

“Satrya, kamu bisa temanin saya?”

“Bisa. Kamu ada dimana sekarang, Melody?”

“Saya di kantor. Sebentar lagi keluar. Kalo gak keberatan, kamu bisa jemput saya?”

“Boleh. Kebetulan saya lagi di deket daerah kantor kamu. 10 menit lagi saya jemput.”

“Oke. Makasih banyak, Satrya.”

Lalu disanalah mereka berdua berakhir. Di salah satu rooftop gedung mall yang ada di Jakarta Selatan. Memandangi gemerlap lampu-lampu gedung perkantoran.

Melody dan Satrya kini duduk diatas kap mobil Satrya sembari meminum kopi yang mereka beli sebelum naik ke rooftop.

Life is weird and unpredictable, isn’t it?

“Huh?”

“Iya hidup kadang seaneh itu dan gak terduga kan. Contohnya kayak pertemuan kamu sama saya. Kalo saya gak bercerai, mungkin kita gak pernah kenal ya.”

Satrya menatap Melody yang tatapannya lurus ke depan tetapi pikirannya mengawang jauh entah kemana. Dirinya penasaran sama apa yang sedang Melody pikirkan. Di kepalanya sudah banyak pertanyaan tentang Melody tapi dia enggan menanyakannya karena semua pertanyaannya itu bukan haknya.

Tiba-tiba Melody seolah menjawab pertanyaan yang dipertanyakan Satrya. “Saya ketemu William lagi 3 hari yang lalu. Lebih tepatnya kita janjian buat ketemu pas ngobrol selesai sidang waktu itu. Dan satu hal yang saya baru tau. Orang yang selama ini saya kira selingkuhannya itu ternyata dokternya.”

“Maksudnya gimana?”

“Selama ini William mengidap sirosis hati dan saya gak tau sama sekali, Satrya.” Jawab Melody dengan suara bergetar. “Semuanya tau kecuali saya dan semuanya karena William yang nyuruh untuk gak kasih tau ke saya. Dia bilang saya udah cukup stres karena kehilangan bayi saya dan dia gak mau menambahkan beban saya. Dia bahkan menerima perceraian ini. Katanya ini yang terbaik buat saya.”

“Saya jahat ya? Harusnya saya menemani dia disaat-saat seperti ini tapi saya malah menceraikan dia.” Sambung Melody yang kini sudah menangis.

Satrya melingkarkan tangannya ke pundak Melody. Menarik Melody ke dalam pelukannya. Setelah tangisan Melody mereda, Satrya melepaskan pelukannya.

“Saya mencintai William, Satrya. Saya mau membatalkan gugatan saya. Tolong sampaikan pemintaan saya ini saat sidang mediasi nanti.”

Mendengar permintaan Melody, badan Satrya menegang. Hatinya berkata untuk menolak permintaan Melody tapi akalnya berkata lain. Setelah melihat Melody pergi dengan William waktu itu, Satrya menyadari dirinya jatuh hati dengan Melody. Waktu yang dirinya habiskan dengan Melody belakangan ini rupanya membuatnya menjatuhkan hatinya pada perempuan di sampingnya itu.

Tak ada yang bisa Satrya lakukan selain menganggukkan kepalanya, menerima permintaan Melody.

Tapi Satrya ingin menyampaikan perasaannya walaupun dirinya tau Melody gak akan membalasnya, setidaknya dirinya sudah menyampaikan perasaannya. “Sebelumnya saya mau bilang sesuatu sama kamu. Saya sayang sama kamu, Melody.”

Melody kaget. Sebelum Melody membuka suaranya, Satrya lebih dulu menyambung perkataannya. “Tapi saya gak berharap kamu membalas perasaannya saya. Saya cuma mau ngasih tau kamu kalo saya sayang sama kamu karena saya tau kalo kamu gak mungkin membalas perasaan saya.”

“Satrya maaf…”

“Gapapa, Melody. Ini risiko saya. Risiko mencintai seseorang.”

Melody menatap Satrya. “Satrya, kamu orang baik. Saya percaya kamu bisa dapat perempuan yang baik buat kamu.”


“Satrya, terimakasih banyak untuk bantuannya selama ini.” Ujar Melody seusai sidang terakhir perceraiannya.

Pengadilan sudah memutuskan bahwa Melody dan William tidak jadi bercerai. Satrya menyampaikan permintaan Melody untuk membatalkan tuntutannya di sidang sebelumnya dan membuat pengadilan memutuskan hal tersebut.

“Bulan depan saya sama William bakalan ke Korea buat pengobatan dan sekaligus operasi transplantasi William disana.”

“Syukurlah kalo begitu. Semoga William bisa segera sembuh.”

“Makasih doanya. Sekali lagi makasih banyak buat waktu dan bantuan kamu, Satrya.”

Setelahnya Melody pergi dengan William dan Satrya hanya bisa menatap keduanya yang berjalan menjauh. Dalam hatinya, Satrya berdoa agar Melody selalu bahagia walau hati kecilnya berharap dirinya dan Melody dipertemukan di waktu yang tepat sehingga dirinya dan Melody bisa bersama.



Hal pertama yang Jerome lakukan begitu sampai adalah menuju kamar Hagia. Di lihatnya Hagia yang sedang tiduran dengan menggengam iPad miliknya.

I told you to be ready within 20 minutes and look at you. Still laying with your iPad.

I’m ready but i’ve to reply these email first since i don’t be able do anything yesterday.” Hagia menoleh ke arah Jerome. “Muka lo merah banget deh. Abis minum ya? Are you sober?

Little tipsy but i can handle it. Let’s go.

Jerome mengambil tas Hagia yang berada di meja kerja lalu membantu Hagia bangun dari kasurnya.

Hagia tipikal yang jarang sakit tapi dia bisa langsung sakit kalau terkena air hujan. Terdengar aneh apalagi Hagia bisa bekerja lembur berhari-hari bahkan berminggu-minggu tanpa tumbang tapi bisa tepar seketika begitu dirinya hujan-hujanan.

Makanya Hagia gak menolak saat Jerome mengajak ke rumah sakit karena dirinya panas tinggi juga menggigil sejak kemarin dan baru mereda pagi ini.

Setelah ke rumah sakit, Jerome membawa Hagia ke Laotta karena Jerome yakin Hagia pasti belum makan sehari mengingat Hagia kalo demam tinggi gak akan beranjak dari kasurnya.

Jerome seneng banget melihat Hagia makan dengan lahap. Seenggaknya putusnya hubungan dia dengan Satrya tidak mempengaruhi nafsu makan Hagia.

Hagia menahan diri buat gak bertanya ke Jerome soal Kimberly. Setidaknya sampai mereka selesai makan.

Just spill it.” Ujar Jerome. “I know you want ask it.

“Kali ini lo harus putus beneran sama Kimberly.”

“Maksudnya?”

Hagia mengusap bibirnya dengan tisu. “Jer, Kimberly minta putus kali ini bukan putus kayak bisa yang lo lakuin sama Kimberly. She tells me that your mom is reaching her. Mama lo emang gak mengancam Kimberly tapi Kimberly sadar kalo hubungan lo sama dia itu merusak hubungan lo sama keluarga lo.”

Jerome terdiam. “Gue mencoba memahami dari sudut pandang Kimberly dan Mama lo dan emang keputusan Kimberly adalah keputusan tepat. Kimberly itu perempuan, Jer, dia paham apa yang Mama lo sampaikan karena beliau cuma gak mau kehilangan anak laki-lakinya. If i was her, i’ll do same the same thing because we’re a woman. Even i and Kimberly weren’t a mother but we know that feel.

Hagia menatap Jerome yang nampak berpikir. Dia mencoba mencerna semuanya.

Semua perkataan Hagia terdengar masuk akal di kepala Jerome. Jerome memang seharusnya gak boleh egois karena mau gimanapun he has responsibility being the oldest child.

“Dan lo gimana sama Satrya?” Tanya Jerome setelah mereka diam-diaman selama 5 menit.

“Satrya ngajak nikah dan bilang mau ikut agama gue dan gue gak mau. Dia maksa dan gue juga kekeh nolak.“

“Lho bukannya bagus ya salah satu dari kalian ngalah?”

“Jerome, menikah itu bukan cuma nyatuin gue sama Satrya. Tapi nyatuin keluarga gue dan keluarga dia. Kalo gue iyain artinya gue udah ngambil dia dari keluarga dia karena Satrya pindah agama. Terus selain ngambil dia dari keluarganya, gue juga ngambil dia dari Tuhan dia. Gue tuh cuma manusia biasa, Jer, masa egois ngambil Satrya buat gue sendiri? Secinta apapun gue sama Satrya, perasaan itu gak ada hak untuk mengklaim Satrya buat gue doang.”

Salah satu alasan kenapa Jerome selalu menganggap semua omongan Hagia itu selalu benar adalah cari berpikirannya.

“Kayaknya udah cukup deh kita ngomongin soal percintaan kita yang super rumit ini. Gue takut lo menciut karena dipake mikir berat-berat.” Ledek Jerome.

Hagia mendengus. Dan mereka membahas hal lain. Hari itu mereka habiskan untuk merayakan patah hati dan kehilangan mereka.

Setelah ngobrol panjang lebar soal program hamil, akhirnya Yunho ngalah dan menuruti kemauan Jasmine.

Sebetulnya Yunho emang udah ke pengin banget punya anak tapi dia sadar karena bukan dia yang akan mengandung dan melahirkan jadinya dia gak pernah memaksa Jasmine untuk segera punya anak. Yunho mau punya anak selama Jasmine juga menginginkannya. Yunho gak terlalu memikirkan anak karena dia gak tega membuat Jasmine tertekan dengan hal tersebut.

Yunho juga udah jelasin panjang lebar soal itu tapi Jasmine tetep kekeuh mau punya anak karena menurutnya cuma itu yang Jasmine bisa kasih ke Yunho. Padahal bagi Yunho bisa menghabiskan sisa hidupnya bersama Jasmine sudah lebih dari cukup. Tapi karena Jasmine ngotot mau punya anak, jadilah Yunho mengiyakan permintaan Jasmine.

Langkah pertama yang mereka lakukan adalah pergi ke dokter untuk periksa. Setelah berkonsultasi dan Jasmine diperiksa ternyata kondisi rahim Jasmine baik-baik saja, ada kemungkinan permasalahan mereka ada di hormon atau sel telurnya. Lalu dokter menyarankan untuk pemeriksaan lebih lanjut dengan pengambilan sample. Baik Yunho dan Jasmine sama-sama diperiksa karena ini Yunho yang mau.

Seminggu setelah pengambilan sample tersebut, Yunho dan Jasmine untuk melihat hasil pemeriksaan tersebut.

Sepanjang perjalanan, Jasmine benar-benar gelisah. Jasmine takut kalau yang bermasalah ada di dirinya.

“Yang, kalau aku yang bermasalah gimana?” Tanya Jasmine.

“Ya tinggal cari penyelesaiannya.”

“Kalau masalahnya gak ada penyelesaiannya gimana?”

Yunho menoleh ke Jasmine sebentar. Tangannya mengusap lembut Jasmine. “Gak ada masalah yang gak ada penyelesaiannya, Sayang.”

“Kalau—“

“Sayang,” potong Yunho. “Gak usah dipikirin ya. Kita lihat dulu hasilnya baru nanti kita pikiran nanti mau gimana. Yuk turun.”

Jasmine menghembuskan nafas sebelum akhirnya turun dari mobil. Yunho meraih tangan Jasmine lalu menggenggamnya seolah memberikan kekuatan pada Jasmine dan juga mengisyaratkan kalau semuanya akan baik-baik saja.

Mereka langsung bertemu dengan dokter yang menangani mereka minggu lalu, Dokter Joshua.

Dan seperti yang ditakutkan oleh Jasmine, hasil menunjukkan kalau dia yang mengalami masalah. Sel telur miliknya terlalu matang dan saat matang umur ya sudah terlalu tua akibat periode menstruasinya yang tidak teratur. Sementara Yunho, perfect. Kualitas dan kuantitas spermanya berada dalam kondisi prima, sangat bisa membuat perempuan subur mana pun hamil.

Dokter Joshua menyarankan Jasmine untuk suntik hormon agar membuat sel telur milik Jasmine matang diwaktu yang tepat. Jika tidak berhasil, masih ada cara lain untuk program hamil mereka yaitu inseminasi dan bayi tabung.

Jasmine sudah hampir menangis saat Dokter Joshua menjelaskan hasil pemeriksaan. Dia sedih karena permasalahannya ada di dirinya.

Setelah pulang dari rumah sakit, Jasmine langsung menyibukkan dirinya dengan berkebun di halaman belakang. Yunho membiarkan Jasmine bergelut dengan kegiatannya sampai sore hari.

“Sayang.” Panggil Yunho yang membuat Jasmine menghentikan kegiatannya. “Sunwoo nelpon nih, katanya mau ngomong sama kamu.”

Jasmine bergegas menghampiri Yunho. Dia melihat Yunho yang sedang berbicara dari hapenya saat masuk ke dalam rumah. Yunho segera memberikan hapenya pada Jasmine.

Yunho melipir ke dapur begitu Jasmine sudah berbicara denhqn Sunwoo. Yunho membiarkan Jasmine berbicara banyak dengan adik kesayangannya itu. Dia tau salah satu yang bisa menghiburnya sekarang adalah Sunwoo.

Jasmine mengembalikan hape milih Yunho setelah menghabiskan 30 menit ngobrol bersama Sunwoo. Karena udah sore, Jasmine bergegas mandi.

Jasmine mendapati Yunho yang udah berbaring diatas kasur sambil main game saat dirinya keluar dari kamar mandi. Yunho mematikan hapenya saat melihat Jasmine sudah berpakaian dan menyuruhnya duduk didekatnya.

“Aku tau kamu sedih.” Ucap Yunho. “Aku juga. Tapi kan Dokter Joshua bilang gak mustahil berarti masih bisa kita coba kan? Kita cuma perlu usaha.”

Jasmine menatap Yunho. “Kalo tetep gak bisa gimana?”

“Masih banyak cara kan?”

Jasmine menunduk. “Harusnya kita cek kesehatan dulu sebelum nikah.”

“Ini gak bikin aku nyesel nikah sama kamu. Dan kalo pun tau kamu bermasalah, aku bakalan tetep nikahin kamu.” Balas Yunho.

“Aku tuh beruntung bisa nikahin kamu. Cuma karena hal ini bukan berarti aku nyesel nikahin kamu.” Sambung Yunho. “Siap-siap yuk. Tadi diajakin Sunwoo dinner di luar sama Chaewon kan? Sekalian kita staycation. Mari kita sukseskan program hamil ini!”

Jasmine tertawa saat mendengar kalimat terakhir Yunho. Kalimat terakhirnya itu membuat sedih yang dirasakan Jasmine berkurang.

Semenjak pendarahan terakhir yang dialami sama Jasmine, kontrol bulanan kehamilannya selalu menjadi hal yang menegangkan buatnya. Karena dia takut ada sesuatu yang menimpa bayinya.

“Aku takut deh, Yang, dia gak gerak sama sekali dari malem.” Ujar Jasmine sambil mengusap perutnya.

“Tadi aku baca di internet itu dia kemungkinan lagi tidur, Yang. Kamu juga bilang kayak gitu kan tadi. Gak usah takut ya nanti nanya ke Dokter Joshua.”

Yunho menepuk-nepuk pelan punggung tangan Jasmine. Mencoba menenangkan Jasmine yang selalu gelisah tiap kontrol bulanan. Dia paham kalo Jasmine ini takut ada apa-apa. Yunho selalu berusaha menenangkan Jasmine dan mensugestinya kalo semuanya akan baik-baik aja.

Sampai di rumah sakit, Yunho yang mengurus semua administrasinya dan menyuruh Jasmine untuk duduk sampai dirinya dipanggil untuk konsultasi.

“Halo Ibu Jasmine, Pak Yunho. Gimana kabarnya?” Sapa Dokter Joshua begitu Jasmine dan Yunho duduk dihadapannya. “Kita ketemu terakhir ketemu dua minggu yang lalu ya?”

“Iya, Dok.”

“Gimana pergerakan bayinya? Baik?”

“Saya gak ngerasain dia gerak nih dari semalem, Dok. Sempet baca di internet kalo bayinya lagi bobo gitu. Itu gapapa, Dok?”

“Hmm kita coba periksa pergerakan bayinya dulu ya, Bu.”

Dokter Joshua pun mengarahkan Jasmine untuk berbaring diatas ranjang yang ada di ruangan.

Yunho menbantu Jasmine untuk berbaring lalu Dokter Joshua segera melakukan USG. Selama USG, Yunho menggenggam erat tangan Jasmine sembari menatap layar USG.

Jasmine merasa USG kali ini lebih lama dari pemeriksaan sebelumnya karena Dokter Joshua berulang kali menggerakkan tongkat USG diatas perutnya. Hampir 10 menit lamanya, akhirnya Dokter Joshua menghentikan kegiatannya. Dokter Joshua menyingkirkan alat USG dari perut Jasmine dan membersihkan gel yang ada disana. Lalu setelahnya, Dokter Joshua meminta Jasmine dan Yunho kembali duduk seperti awal datang.

“Ibu, Pak, maaf, sepertinya jantung bayi tidak berdegup.”

Seketika jantung Jasmine berdegup dengan cepat. Yunho meremas tangan Jasmine.

“Saya sudah cek berkali-kali dan saya gak menemukan degup jantung bayi.”

“Maksudnya bayi saya meninggal, Dok?” tanya Jasmine lirih.

“Iya, Bu. Sepertinya jantungnya terhenti di dalam rahim. Belum tau penyebabnya apa tapi kita baru tau begitu bayinya dikeluarkan.”

Sedetik kemudian, bahu Jasmine bergetar lalu airmatanya mengalir deras. Yunho segera memeluk Jasmine.

“Anak aku meninggal, Yu?”

“Sayang…”

“Anak aku, Yunho…”

Jasmine menangis dengan kencang. Berulang kali dirinya mengusap perutnya berharap anaknya kembali bergerak seperti sebelumnya. Sayangnya, detak jantung bayinya benar-bener sudah berhenti.

Jasmine memandangi foto pre-wedding dirinya dan Yunho yang terpajang di ruang tengah. Dia ingat foto itu dipasang saat mereka pindah ke rumah ini karena hal yang mereka lakukan pertama kali waktu pindah adalah memajang foto tersebut.

Hari ini Jasmine akan menemui Mami Yunho. Dirinya harus bertemu dengan kedua orangtua Yunho (dan juga orangtuanya) sebelum mereka ke pengadilan. Setelah insiden Ranca Upas waktu itu, Yunho tidak pernah mengajak Jasmine bicara. Yunho juga turut menjaga jarak dari Jasmine, berinteraksi seperlunya. Mereka masih tinggal serumah tetapi tidak lagi satu kamar. Yunho menempati kamar tamu semenjak pulang dari Bandung.

“Ayo.” Ajak Yunho membuyarkan lamunan Jasmine.

Sesampainya di rumah orangtua Jasmine, mereka disambut oleh Sunwoo yang membukakan gerbang. Jasmine menghampiri Sunwoo begitu dia turun dari mobil. Sunwoo memang masih tinggal bersama orangtuanya karena dia belum menikah dan dia gak dibolehin tinggal sendiri sampai menikah. Jasmine dan kakak-kakaknya pun sama. Itu udah jadi peraturan dari orangtua mereka.

“Mama sama Papa udah nungguin di ruang tengah.” Ujar Sunwoo setelah dirinya melepas pelukan kakaknya.

“Mama Papa tau kita mau kesini?”

Sunwoo mengangguk. “Bang Yunho bilang dua hari lalu katanya mau kesini sama Kakak.”

Jasmine menatap Yunho yang baru keluar dari mobil. Dia sempat beradu pandangan dengan Yunho sebelum akhirnya Yunho mengalihkan pandang dan berjalan masuk ke dalam rumah.

Jasmine mengikuti Yunho. Sunwoo sendiri memilih untuk ke depan komplek karena dirinya tau kedua kakaknya itu butuh waktu dengan orangtuanya.

Mama Kim langsung memeluk Jasmine begitu melihat anak perempuan satu-satunya itu. Beliau juga memeluk Yunho setelahnya dan menyuruh keduanya untuk duduk.

“Jadi… kalian ini kenapa?” Tanya Papa Kim.

Yunho melirik Jasmine sebelum menjawab pertanyaan Papa Kim. “Jasmine sama Yunho bermasalah.”

Jasmine menunduk. Dia merasakan tatapan Mama dan Papanya meski tidak menatapnya secara langsung.

“Tadinya Yunho gak tau gimana harus benerin masalah itu tapi Yunho ngerti.” lanjut Yunho. “Yunho cinta sama Jasmine.”

Mama dan Papa Kim menatap kedua anaknya itu dengan bingung.

“Jasmine minta cerai tapi Yunho gak mau.”

Seketika kedua orangtua Jasmine menatap Jasmine dengan tajam.

“Yunho gak bisa ngelepasin Jasmine gitu aja. Yunho sayang banget sama Jasmine hampir seumur hidup Yunho. Karena itu Yunho harap Mama sama Papa masih kasih izin dan restu buat Yunho boleh jadi suami Jasmine seterusnya.”

Hening.

“Jasmine.” Suara Papa Kim membuat Jasmine menelan ludah. “Kamu mau cerai?”

Perlahan, Jasmine mengangguk.

“Kenapa, Sayang?” Tanya Mama Kim membuat Yunho dan Jasmine terdiam.

“Jasmine, kenapa kamu mau pisah?” Kali ini Papa Kim yang bertanya.

Jasmine kembali menunduk. “Aku gak bisa kasih Yunho anak.”

“Kamu keberatan sama itu, Yu?” Tanya Mama Kim. Dari suaranya, terdengar nada kecewa.

Dengan tenang Yunho menjawab, “Yunho emang mau punya anak, Ma, Pa. Tapi Yunho lebih pengen ngabisin hidup sama Jasmine.”

Yunho meraih tangan Jasmine lalu menggenggamnya. “Aku emang pengen banget punya anak tapi aku selalu bilang kan ke kamu kalo aku lebih pengen ngabisin hidup sama kamu. Aku mau punya anak tapi sama kamu.”

Jasmine sontak menatap Yunho.

“Aku gak pernah ngebayangin punya anak dari orang lain, Mine. Walaupun kamu minta cerai, suruh aku cari perempuan lain buat gantiin kamu, aku gak bisa.”

You know how much i love you for these years. Aku rela kehilangan semuanya asal bisa sama kamu. Aku mau anak tapi aku lebih mau kamu. Kalo pun kamu masih mau nerima aku.” Lanjut Yunho.

Jasmine dan Yunho memasukki halaman rumah San yang sudah ramai dengan tamu-tamu mereka dan halaman rumah yang disulap menjadi taman bermain. Mereka juga sempat bertemu dengan Winter dan Wooyoung saat hendak menghampiri San.

Jasmine dan Yunho menghampiri San yang sedang menjaga Junseok memanjat perosotan.

“Halo, Junseok.” Sapa Jasmine. Junseok tersenyum saat melihat Jasmine. “Selamat ulang tahun ya, ganteng!”

Yunho menyerahkan kado yang dibawanya. “Ini dari Om Yuyu sama Tante Mine ya. Mama sama Papa udah kasih adik lagi belum?”

San berdecak. “Lo tuh ya. Kesannya gue sama Karina hobi bikin anak tiap tahun aja.”

Yunho dan Jasmine tertawa. Nggak lama mereka mendengar suara yang memanggil Yunho.

“Om Yuyu!!!”

Rupanya itu Alden yang melihat Yunho langsung berlari dan meninggalkan ayahnya yang sedari tadi menemaninya.

Yunho langsung berjongkok, menyamakan tingginya dengan Alden dan mengusap lembut kepala Alden. “Halo, ganteng.”

“Padahal ada bapaknya tetep aja kalo ketemu Yunho lebih excited daripada ketemu bapaknya.” Ujar San.

Nggak lama, Mingi menyusul. “Kak, kamu jangan langsung lari gitu dong. Nanti kalo jatuh gimana?”

“Aku mau ketemu Om Yuyu, Ayah!”

“Sama Tante Mine mau ketemu juga gak?” Tanya Jasmine.

“Mau. Tapi kata Om Yuyu, Tante lagi sakit jadinya aku belum bisa ketemu dulu.”

Jasmine tersenyum. “Tante udah sembuh kok. Nanti kita jalan-jalan lagi ya sama Alec juga.”

Alden mengangguk dengan antusias. Keempat orang dewasa itu tersenyum gemas melihat Alden.

Nggak lama Karina datang menghampiri. “Hai Kak Jasmine! Yaampun udah lama gak ketemu.”

“Iya nih. Kita terakhir ketemu tahun lalu gak sih?”

Karina mengangguk. “Itu juga ketemunya di pengadilan pas aku masih kerja. Kak, kita ngobrol di dalem yuk!”

Jasmine pun mengikuti Karina ke dalam rumah. Meninggalkan Yunho yang sekarang main sama Alden.

Yunho tampak senang melihat Jasmine yang kembali bersosialisasi seperti sebelumnya. Ia bahkan bisa melihat Jasmine yang tersenyum melihat banyak anak-anak yang berlarian kesana kemari.

Jasmine yang mengobrol dengan Karina, sesekali melihat ke Yunho yanh kini sudah berada di ruang tengah bermain puzzle dengan Sua—anak pertama San.

“Kak,” Panggil Karina membuat Jasmine menghentikan kegiatannya mengamati Yunho. “Sebelumnya aku di ceritain sama Kak San soal Kakak sama Kak Yunho. Terus aku jadi inget sama temenku, Kak. Maaf ya aku sempet cerita sedikit ke dia soal Kakak. Aku mau ngenalin dia ke Kakak.”

“Siapa emangnya, Rin?”

Karina menunjuk perempuan yang duduk di teras bersama anak seumuran Alden. Winter duduk disebelahnya terlihat asyik mengobrol.

“Namanya Yeji, Kak.” Ujar Karina. “Temen kantor aku. Dia juga pernah ngalamin kayak Kakak. Dua kali.”

Jasmine kaget. “Dua kali…?”

Karina menganguk. “Kalau-kalau Kakak butuh temen sharing, yang lebih bisa ngertiin perasaan Kakak. Dia baik, kok. Enak juga buat diajak ngobrol soalnya cepet akrab sama orang.”

Jasmine menatap perempuan yang dimaksud Karina. Mungkin karena diperhatikan, perempuan itu menoleh. Jasmine melemparkan senyum canggung yang dibalasnya dengan senyuman tipis.

Saat Winter beranjak dari sisi perempuan itu, Jasmine beranjak menghampiri Yeji. Berbasa-basi lalu duduk disebelahnya.

“Jasmine.” Ujar Jasmine sambil mengulurkan tangannya.

“Yeji.”

Jasmine melirik anak laki-laki tadi, yang sekarang bersama laki-laki yang sedang mengobrol dengan Wooyoung.

“Dia Zac,” gumam Yeji. “Dikasih sama Tuhan waktu udah mau nyerah jadi ibu.”

Pandangan Jasmine mengikuti pergerakan Zac. “Sakit, ya?”

“Banget.”

“Gimana kamu ngelewatin rasa takut itu dua kali?”

“Suamiku.” Jawab Yeji. “Dia yang percaya kalo Tuhan itu Maha Baik. Kita akan dikasih di waktu yang tepat. Gak perlu nyalahin siapa-siapa atau apapun. Katanya, semua udah diatur. Dia keras kepala banget. Dan tekad kerasnya yang bantu aku bertahan.”

Jasmine jadi menoleh ke arah Yunho yang sedang membantu Sua menyusun puzzle.

“Punya pasangan kuat yang bisa jadi tumpuan kita pas lagi di titik terendah itu anugerah hidup. Gak semua pasangan bisa begitu.”

Jasmine mengangguk setuju.

Yeji mengusap lembut bahu Jasmine. “Gapapa kalo kami sedih. Malah aneh kalo kamu gak sedih. Cukup inget aja kalo kamu gak sedih sendirian.”

Jasmine mengucapkan terimakasih saat Yeji beranjak menghampiri keluarga kecilnya. Jasmine ikut masuk ke dalam rumah.

Tepat saat itu, ia melihat Yunho yang berhigh five dan tertawa bersama dengan Sua saat mereka berhasil menyelesaikan puzzle. Jasmine merasa senang dan terharu saat melihatnya.

San berdiri di samping Jasmine, ikut mengamati Yunho dan Sua. “Gue selalu tau kalo Yunho bisa jadi ayah yang hebat.”

Jasmine mengangguk. “Yes, he is.

tw : suicide, drug use, etc (let me know if i miss something)

wc : 1.3k


Berapa lama aku mengenal Yunho?

Jelas hampir separuh umurku. Atau lebih tepatnya 12 tahun lamanya. Dan selama 12 tahun itu, kami menghabiskan 8 tahun untuk pacaran. Dan kami sudah melewati banyak masa dan kejadian bersama. Bisa di bilang, aku dan dia tumbuh dewasa bersama.

Selama mengenalnya, Yunho mengajarkanku banyak hal. Tapi ada satu yang tidak ia ajarkan.

Cara hidup tanpanya.

Selama 12 tahun lamanya, Yunho nggak pernah mengajarkan hal tersebut. Yunho nggak mengajarkanku untuk melanjutkan hidup tanpanya disisiku. 12 tahun dengan presensi dirinya. 12 tahun dengan lelucon-leluconnya. 12 tahun dengan senyumannya yang secerah matahari.

Aku juga manusia yang selalu merasa kurang. Tuhan memberiku waktu 8 tahun untuk mencintainya dan aku merasa kurang. Kalaupun aku diberi waktu 100 tahun untuk mencintainya pun aku pasti merasa kurang.

Ketika presensinya yang mendadak hilang itu, aku juga merasa separuh jiwaku ikut hilang. Hilang bersamaan dengan dirinya yang terkubur di tanah.

Hari pertama setelah Yunho dikebumikan, aku masih bisa merasakan presensinya. Masih bisa melihat senyumnya saat aku memejamkan mataku. Semuanya bisa aku rasakan saat aku terlelap dengan obat tidur.

Hari kedua dan ketiga pun masih sama. Presensinya masih terasa dalam tidurku. Dekapan kedua tangannya masih bisa kurasakan saat aku terlelap di dalam mimpi. Lagi-lagi, semuanya berkat obat tidur.

Hari keempat sampai kelima, perlahan presensinya mulai bias akibat obat tidurku yang mulai berkurang kinerjanya. Aku mulai panik saat aku mulai lupa bagaimana hangat pelukannya. Aku mulai panik saat aku kesulitan untuk tidur dan sulit untukku melihat senyumannya yang secerah matahari itu.

Hari keenam, kurasakan obat tidurku tidak lagi membuatku terlelap dan membuatku kehilangan presensi Yunho.

Hari ketujuh, kuputuskan untuk tidur lebih lelap dan bertemu Yunho lebih lama dengan menambahkan beberapa butir obat yang tak sadar ternyata obat yang kuminum hampir separuh botol.

Akhirnya aku berhasil terlelap setelah meminum obat tidur yang jumlahnya entah berapa itu. Saat aku terlelap, aku bertemu dengan Yunho. Yunho terlihat lebih nyata dari sebelum-sebelumnya. Presensinya, hangat tubuhnya, serta wangi tubuhnya bisa kurasakan. Aku menangis dalam pelukannya dan Yunho seperti sebelum-sebelumnya saat aku menangis di dalam pelukannya, ia mengusap lembut rambutku dan sebelah tangannya mengeratkan pelukannya. Aku ingin berada di pelukan Yunho selamanya namun ada secercah cahaya yang membuat Yunho melepaskan pelukannya dan menoleh ke arah cahaya tersebut.

“Sayang, aku harus pergi sekarang. Aku boleh ya ninggalin kamu?”

Aku jelas menggelengkan kepalaku. “Aku gak mau ditinggal kamu. Aku mau ikut kamu, Yunho.”

Yunho mengulaskan senyum lembut. Senyum yang selalu ia berikan saat menenangkanku. “Belum waktu kamu buat ikut aku. Nanti kalo udah waktunya, aku jemput disini ya. Tapi sekarang aku harus pergi. Kamu jangan datang terlalu cepat ya.”

Lalu Yunho perlahan pergi menuju cahaya tersebut dan saat bersamaan aku mendengar samar suara Wooyoung yang menyerukan namaku. Tubuhku juga tiba-tiba tertarik ke belakang dengan kencang seperti aku dikembalikan ke suatu tempat dan aku tertidur sejenak. Setelah itu, aku mencoba membuka mataku dan kudapati Mama yang menangis disebelahku. Wooyoung dan Papa berdiri di belakang Mama lalu Kak Eunha yang keluar dari ruangan entah pergi kemana saat melihatku bangun.

Tak lama, Kak Eunha datang dengan dokter dan perawat. Mereka segera memeriksaku. Setelah kondisiku dikatakan lebih baik dari sebelumnya, dokter dan perawat tersebut keluar.

Wooyoung langsung bertanya padaku saat dokter dan perawat tadi keluar. “Lo kenapa minum obat tidur sebanyak itu?! Kalo aja gue gak dobrak kamar lo, lo bisa mati karena overdosis!”

“Maaf, Yo. Gue gak sadar minum sebanyak itu karena gue pikir dengan menambah jumlah obat tidur, gue bisa tidur lebih tenang dan bisa ketemu Yunho lebih cepat. It’s too painful for me. He’s left me without any words. Dan tiap malam, gue minum obat tidur karena dengan tidur, gue bisa ketemu dia dan gak ngerasa sakit ataupun kehilangan.”

Jawabanku ternyata membuat semua orang yang di ruangan ini menangis. Kak Eunha dan Mama langsung memelukku.

“Adek, kamu bisa berbagi rasa sakit itu sama Wooyoung, sama Mama Papa, atau sama Kak Eunha.” Ujar Mama.

“Rasanya beda, Ma. Aku sakit karena Yunho gak ngajarin aku hidup tanpa dia. Terus tiba-tiba dia pergi dan aku gak bisa melihat atau ketemu dia lagi. Aku harus apa, Ma, kalo gak ada Yunho?”

Lalu pertanyaan itu tak terjawab oleh semua keluargaku sampai aku keluar dari rumah sakit.

Sampai dua hari setelah aku keluar dari rumah sakit, Mama mengajakku ke suatu tempat. Dan saat sampai di tujuan, Mama baru memberitahu kalau aku dibawa ke psikolog. Mama bilang kalau disana nanti aku bisa mendapatkan jawaban dari pertanyaanku waktu itu.

Aku bertemu dengan Dokter Joshua sendirian karena Mama membiarkanku untuk berkonsultasi sendirian agar aku bisa lebih leluasa.

Dokter Joshua seperti tahu kondisiku yang ditinggal oleh Yunho sehingga beliau menanyakan kembali soal pertanyaanku.

“Dokter dengar dari Mama, kamu pernah bertanya apa yang harus kamu lakukan setelah dia gak ada?” Aku mengangguk. “Kamu tau gak kalo ada banyak hal yang bisa kamu lakuin meski dia udah gak ada? Contohnya, kamu kulik hobi kamu atau kamu cari kesenangan baru dan lain sebagainya.”

“Tapi aku ngerasa kalo gak ada dia, hidupku berhenti, Dok.”

“Dia masih ada di sekitarmu tapi cuma tempatnya yang beda aja. Dia gak kemana-mana, jadi jangan merasa hidup kamu berhenti ya. Dia ada dan dia mau kamu tetap jalani hidup kamu. Nggak usah jalan terburu. Pelan tapi pasti karena dia gak kemana-mana dan dia ada disana, di hati kamu.”

Lalu Dokter Joshua memberikan beberapa saran yang bisa kugunakan saat aku mulai teringat padanya. Dan sesi konsultasi pertama kali berakhir dengan baik.

Aku kembali konsultasi seminggu setelah konsultasi pertama. Saran yang diberikan oleh Dokter Joshua dari sesi konsultasi kemarin membuatku sedikit lebih baik.

Dan di sesi konsultasi kali ini, aku menceritakan soal tempat yang menjadi tujuanku dan Yunho suatu hari. Dokter Joshua mendengarkan ceritaku dengan seksama.

“Aku sama dia punya rencana buat tinggal di Swiss suatu hari nanti, Dok. Terus, kita nonton Coldplay di London karena itu salah satu keinginan kita buat nonton Coldplay langsung di Etihad Stadium.”

“Okay. Dokter punya saran lagi nih. Karena saran yang kemarin masih ada sedikit kemajuan, semoga saran ini ada kemajuan buat kamu ya. Tapi kalo gak bisa, gak usah dipaksa.” Aku mengangguk. “Supaya kamu berdamai sama keadaan kamu, kamu coba ke tempat-tempat yang mau kamu datangi sama dia. Travel to places that you and him want to go. Atau coba wujudin keinginan dia yang belum terwujud.”

Lalu setelah konsultasi kedua tersebut, aku langsung kepikiran soal saran Dokter Joshua.

Segera aku membuka laptopku saat sampai rumah dan membuka akun Google yang aku dan Yunho gunakan bersama. Aku mencari notes-notes yang pernah kita tulis bersama tentang keinginan-keinginan kami yang ingin kita capai bersama. Setelah menemukannya, aku segera membuat beberapa daftar dan rencana perjalanan. Dan aku berkutat membuat semuanya hampir tiga hari lamanya.

Begitu semua rincian dan rencana perjalananku selesai, aku memperlihatkannya pada Mama dan Papa usai makan malam.

“Aku mau solo travelling ke Europe dan US.” Aku memberikan rincian dan rencana perjalananku yang sudah kucetak pada Mama dan Papa. “Ini saran dari Dokter Joshua supaya aku segera berdamai dengan keadaan.”

Wooyoung yang duduk disebelah Mama pun melongokkan kepalanya, melihat rincian perjalananku. “Sumpah ini lo bikin sendiri?”

“Iya. Gue bikin semuanya sampai ke detail-detailnya.”

“Tapi Adek bisa pergi sendiri?” tanya Papa.

Aku mengangguk. “Bisa. Aku juga yang bakalan mengurus semuanya sendiri. Jadinya Mama sama Papa gak usah risau.”

“Gue mau ikut juga gak boleh?”

“Gak. Ini perjalanan gue dan Yunho. Jadinya gue mau sendiri karena Yunho udah gak bisa nemenin gue.”

Mama menatapku. “Mama bolehin asal Adek selalu ngasih kabar selama disana. Mama percaya sama Adek.”

“Papa juga bolehin asal bawain Papa oleh-oleh dari tiap negara ya.”

Aku tersenyum puas karena Mama dan Papa menyetujui rencana perjalananku. Dan aku segera mengurus semua visa, penerbangan, dan juga penginapan begitu mendapatkan izin. 3 minggu kemudian, aku sudah siap berangkat. Mama, Papa, Wooyoung, Kak Eunha, dan Kak Hoshi—suami Kak Eunha—mengantarku ke bandara. Mereka semua mengantarku menuju perjalanan yang aku dedikasikan untuk Yunho. This trip to heal and numb my pain.

the feeling of missing something or someone.

Mingi POV

Gue akhirnya putus sama Audri.

Yang kacau saat kami putus nggak hanya dia. Gue pun ikut kacau. Tapi gue nggak menunjukkan itu didepan semua orang apalagi depan Yunho karena he’s much more fucked than me.

But i’m fucked up too. More than i thought. Gue pikir putus dengan Audri adalah pilihan yang tepat. Nyatanya nggak. Memori-memori tentang Audri tiba-tiba menyeruak keluar begitu saja tanpa bisa dicegah. Membuat gue menyesali pilihan tersebut.

Setiap melihat sudut-sudut kampus, gue selalu bisa melihat bayangan gue, Audri dan Yunho yang sedang bercengkrama bersama menjelang mata kuliah selanjutnya.

Setiap gue ke perpustakaan, bayangan gue dan Audri yang sedang mengerjakan laporan praktikum di sudut favorit kita pun muncul.

Hal itu sangat menyesakkan apalagi saat Audri dan Yunho rebound. Gue turut bahagia untuk mereka tapi gue juga sesak saat mereka bisa bahagia tanpa gue. Di kepala gue selalu memikirkan hal ini saat mereka bisa rebound.

Ternyata mereka bisa bahagia tanpa gue.

Setelah Audri dan Yunho rebound, gue pelan-pelan menata perasaan gue. Gue mencoa berdamai agar hal yang menyesakkan itu pelan-pelan teratasi. Dan gue merasa berhasil saat gue sudah mulai terbiasa dengan Audri yang kembali menjadi teman gue lagi. Gue mulai berdamai dengan perasaan gue ke Audri. Gue mulai berdamai dengan keadaan.

Walaupun kadang gue suka merasa sedih saat melewati cafe yang berada dekat kampus kini bukan lagi jadi milik gue dan Audri. Atau salon nailart yang tiap bulan selalu gue datangi bersama Audri terasa asing. Dan juga foto-foto gue bersama Audri dan juga Yunho membuat gue bernostalgia saat melihatnya dan merenungkan kalau gue nggak akan bisa kembali masa itu. Karena semuanya kini menjadi bagian masa lalu gue.

Gue pernah membaca sebuah kutipan dari seorang Filsuf bernama Heraclitus. Kutipan tersebut berbunyi, “Tidak ada manusia yang pernah melangkah di sungai yang sama dua kali, karena itu bukan sungai yang sama dan dialah bukan manusia yang sama.”

Putusnya gue dengan Audri membuat gue tau kalau yang paling jauh adalah masa lalu. Mau bagaimanapun inginnya kita kembali kesana, kita nggak akan pernah sampai. Di masa lalu, Audri Kang adalah pacar gue. Mau sebesar apapun keinginan gue untuk kembali ke masa itu, gue nggak akan pernah bisa. Hal itu membuat gue sadar dan mulai menerima keadaan setidaknya Audri Kang di masa depan tetap menjadi sahabat gue.

Salah satu usaha gue untuk berdamai dengan keadaan adalah mencoba melamar beasiswa ke MIT saat Pak Eden memberikan link pendaftaran pada gue. Walaupun gue nggak yakin bisa ke terima, tapi gue tetap mencoba. Setidaknya gue sudah berusaha dan ini juga menjadi salah satu usaha gue untuk berdamai dengan semuanya. Dan semesta pun berbaik hati atas segala usaha gue. Tepat seminggu setelah sidang skripsi, gue mendapatkan kabar kalau gue ke terima di MIT. Semesta nampaknya ingin gue dapat yang terbaik juga dengan cara mengirim gue ke salah satu kampus incaran gue itu. Gue nggak pikir dua kali dan langsung menerima offering tersebut.

Nggak semua orang tau soal MIT karena gue enggan memberitahu mereka sampai semuanya selesai. Lagipula, saat accepted letter itu gue terima, semua teman gue sedang sibuk dengan skripsi mereka. Kebetulan gue sidang 1 semester lebih dulu dari teman-teman gue jadinya saat mereka sibuk dengan skripsinya, gue sibuk mempersiapkan untuk ke MIT.

Salah satu yang tau gue akan ke MIT adalah San. Soalnya gue sempat tanya-tanya urusan visa karena kakaknya tinggal di US.

Dan selama itu, gue yang sibuk dengan mempersiapkan semuanya sampai nggak sadar waktu berjalan dengan cepat. Teman-teman gue satu per satu lulus sidang skripsi. Jadwal keberangkatan gue ke Amerika juga sudah keluar. Dan juga tanggal kita semua wisuda pun sudah ditetapkan oleh kampus.

Sayangnya, jadwal keberangkatan gue lebih dulu daripada jadwal wisuda. Sehingga gue nggak bisa mengikuti wisuda padahal gue tau semua teman gue ingin gue berada disana terutama Audri dan Yunho.

Kita bertiga punya janji yang kami ucapkan saat kami sudah berteman selama sebulan. Yang mana janji itu adalah kita harus lulus bareng-bareng dan harus foto bersama saat wisuda. Sayang sekali gue harus mengingkari janji tersebut walaupun sebetulnya gue bisa saja menepati janji itu tapi gue memilih untuk berangkat dan tidak tinggal lebih lama untuk janji tersebut.

Tetapi gue nggak akan menyesali keputusan gue. Sekali lagi, ini adalah salah satu usaha gue dalam berdamai dengan keadaan. Berdamai dengan perasaan kehilangan gue.

Teman-teman gue memaklumi keputusan gue tersebut dan mereka malah menyambut baik hal itu dengan antusias mengantar gue ke bandara. Terutama teman-teman Audri. Mereka (atau lebih tepatnya Jungeun) yang mengkoordinasi acara mengantar gue ini.

Dan saat di bandara, gue akhirnya benar-benar berdamai dan mengikhlaskan semuanya. Audri and I have a good farewell this time. Gue bisa pergi dengan tenang karena gue sudah berdamai dengan semuanya.