cosmicmount


Diandra terlambat. Sekarang udah jam 1 lewat 10 menit dan dia baru mau berangkat. Menurut info dari Yeosang, Pak Hongjoong tuh gak bisa menolerir orang yang telat. Dia sangat on time.

Dia lari setelah mengunci kamarnya. Wooyoung melihat temannya yang lari-lari itu ketawa-ketawa tanpa mau repot-repot menolongnya. Salah sendiri keasikan ngobrol sama di kamar Chaeyoung dan lupa kalo hari ini ada bimbingan.

“SUNWOO TOLONG TAHAN PINTUNYA!!!”

Sunwoo yang kagetan, langsung refleks membuka pintu masuk kostan lebar-lebar. Penghuni kostan lain yang lagi makan di meja makan juga kaget mendengar teriakan Diandra tapi gak heran dengarnya karena mereka tuh udah biasa dengarin Diandra—si penghuni lantai 2—teriak-teriakan. Mereka malah ketawa pas lihat Sunwoo yang kaget.

“Anjir, Kak, kaget gue.” Sahut Sunwok saat Diandra melewatinya.

Sorry,Nu, gue buru-buru mau bimbingan. Btw, thanks ya!”

Sunwoo mengangguk. Diandra langsung melipir nyamperin abang ojek online yang udah nunggu di depan kostan.

Kampusnya emang deket dari kostannya cuma butuh 10 menit berkendara. Tapi karena dia udah telat makanya panik.

Setelah nyuruh abang ojek onlinenya ngebut tadi, akhirnya dia sampe di fakultasnya. Dia langsung lari menuju ruangan dosen.

Dia melihat Hwiyoung—teman satu jurusannya—didepan ruangan dosen. “Hwi, lo mau bimbingan?”

“Abis marathon lo?” Tanya Hwiyoung yang melihat Diandra ngos-ngosan.

“Iya anjir. Gue telat mau bimbingan sama Pak Hongjoong.”

“Lo sama Pak Hongjoong juga? Gue juga. Ini gue nungguin dari tadi taunya Pak Hongjoong nya belom balik dari makan siang.”

Diandra melotot. “Demi apa sih?! Cuk, gue udah lari-larian sampe diketawain anak kostan taunya dia belom dateng.”

Hwiyoung terkekeh melihat Diandra ngomel-ngomel. “Lo gak masuk grup bimbingan dia ya? Tadi dia bilang di grup kalo dia masih di luar gitu.”

“Gue bahkan gak tau kalo ada grupnya. Itu dia yang bikin?”

“Enggak. Si Haknyeon yang bikin tapi itu disuruh juga sama Pak Hongjoong.”

Percakapan Diandra dan Hwiyoung terpotong karena Pak Hongjoong datang. Ia meminta satu per satu masuk ke ruangannya untuk bimbingan. Hwiyoung lebih dulu bimbingan setelahnya baru Diandra. Diandra ngasih kode buat Hwiyoung nungguin dia saat Hwiyoung selesai bimbingan. Hwiyoung mengangguk dan menunggu di luar ruangan.

Diandra memberikan TOR yang sudah di revisinya. “Ini, Pak.”

“Kasih softcopynya aja. Sama mau lihat dari softcopynya.”

Diandra menghela nafas lalu memberikan flashdisknya. Dia kesel karena tau gitu ngapain dia repot-repot ngeprint.

Pak Hongjoong langsung mencolokkan flashdisk milik Diandra. Dia langsung mencari file TOR milik Diandra. Setelah dia melihat dan membacanya, segera dia memberikan pengarahan untuk revisian milik Diandra.

“Perbanyak lagi referensinya. Jangan cuma cari dari jurnal kalo bisa kamu baca dari buku. Rumusan masalahnya harus konsisten sama judulnya. Tujuan juga harus mengacu pada rumusan masalahnya. Bab 3 kamu revisi total.” Jelas Pak Hongjoong panjang lebar.

“Baik, Pak.”

“Revisi paling lambat saya tunggu Jumat pekan depan.”

Diandra terkesiap. “Apa gak kecepetan ya, Pak?”

“Kamu mau cepet seminar proposal gak?”

“Eh iya-iya, Pak.”

“Yasudah saya tunggu Jumat pekan depan. Sana kamu boleh keluar.”

“Terimakasih, Pak.”

Pak Hongjoong cuma merespon dengan anggukan. Diandra langsung buru-buru meninggalkan ruangan dosen pembimbingnya itu dengan dongkol.

“Demi apapun tuh dosen nyusahin banget!”

“Diapain lo?”

“Gue disuruh revisian tapi udah harus selesai Jumat depan.”

Hwiyoung terkekeh. “Gercep banget sih. Gue aja disuruh bimbingan dua minggu lagi.”

“Enak banget anjir! Asal lo tau ya, ini sebelumnya udah revisi dan itu cuma dikasih waktu 3 hari!”

“Minggu kemarin lo ngechat dia?”

Diandra menggangguk. “Iya gue nanya buat bimbingan kan. Terus gue disuruh ngirim TOR ke email dia dan Jumat udah direvisi sama dia.”

“Aneh banget padahal anak-anak yang lain ngechat baru pada dibales hari Sabtu terus grup itu juga dibikin kemarin.”

“Hah serius?”

Hwiyoung mengangguk. “Serius. Ini aja yang bimbingan langsung sama dia baru gue doang. Dia bilang digrup hari ini cuma 1 doang yang bisa bimbingan terus yaudah gue ngajuin diri buat bimbingan duluan eh taunya sama lo juga.”

Diandra mengerutkan dahinya. Dia bingung banget sama penjelasan Hwiyoung. Ini Pak Hongjoong nyuruh dia bimbingan terus sedangkan temannya baru sekali bimbingan.

“Tapi enak sih gak harus bimbingan terus. Gue pusing dengerin Pak Hongjong ngomong.” Sambung Hwiyoung.

“Yeu si bloon!”

“Udah sono balik lo. Kerjain tuh revisian biar gak kena sama Pak Hwiyoung.”

“Anterin dong. Gue tadi naik ojol.”

“Nyusahin lu. Tapi yaudah kemon.”

Abis itu Diandra pulang ke kostan sama Hwiyoung.

Kehadiran dia bener-bener mendistraksi seluruh atensi gue. Entah karena emang pesonanya atau entahlah. Gue pun bingung menjelaskan aspek dia yang bisa membuat gue ke distraksi.

Gue mencoba kembali fokus tapi sialnya gak bisa sama sekali sejak dia duduk persis di hadapan gue.

Mata gue yang harusnya fokus sama buku bacaan gue, kini malah nakal dan gak berhenti menatap dia. AC perpustakaan naik turun seolah mengejek gue yang kepanasan karena ada dia. Atau lebih tepatnya mengejek gue yang lemah banget karena gak bisa fokus cuma gara-gara dia ada di depan gue.

Dia akhirnya gak sengaja menangkap mata gue yang sedang memandanginya. Alisnya terangkat. Sejurus diapun bertanya, “ada apa?”

“Ah! G-gak ada apa-apa, Kak.” Gugup. Bodoh banget gue kenapa malah gugup cuma karena 2 kata tanya itu.

Dia tersenyum. Tipis tapi amat manis menurut gue karena lesung pipinya muncul.

Halah bucin lo! pikir gue.

“Okey kalo gak ada apa-apa.” Dan dia pun kembali fokus sama laptop yang sedari tadi menyala di hadapannya.

Gih minta nomor telponnya. Mumpung ketemu hari ini! Kata setan di dalam pikiran gue.

Kesempatan gak datang dua kali, woy! Lagi-lagi setan di dalam pikiran gue bersua.

Gue pun menimbang-nimbang. Apakah harus gue minta? Tapi itu bakalan keliatan aneh atau menggangu dia gak sih? Eh tapi dia kan udah kenal sama gue secara kita kan satu himpunan. Pernah satu kepanitian bareng.

Setelah mantap dan memutuskan buat meminta nomor telponnya seperti yang dikatakan setan-setan dipikiran gue, kesempatan kayak gini gak dateng dua kali.

Atau gak sama sekali. Karena pas mau membuka suara, ada seorang perempuan menghampiri dia membuat gue menelan perkataan gue.

“San!”

“Jangan berisik Jiwoo. Ini perpustakaan.”

Dan perempuan itu cengengesan. Lalu dia sadar sama kehadiran gue dan menyapa gue. “Hai, Gian!”

“H-hai Kak Jiwoo.”

Dia—Choi San, kakak tingkat gue—memberesi barang bawaannya dan mengajak Kak Jiwoo pergi.

“Ayo kita ngerjain tugas tapi jangan disini. Di ruang baca aja.”

Kak Jiwoo pun melangkahkan kakinya duluan tapi sebelumnya dia sempat melambaikan tangannya ke gue.

“Ini. Gue tau kamu dari tadi mau minta ini kan?” Secarik kertas kini ada di hadapan gue. Dan isinya adalah deretan angka yang gue tebak itu pasti nomor telpon.

Gue kaget. Dari mana dia bisa tau? Oh dan ada lagi yang membuat gue lebih kaget.

“Gue bisa baca pikiran omong-omong.” Ujarnya lalu meninggalkan gue yang melongo karena baru aja tau fakta tersebut.

Why am I jealous of what you have Holding tight onto things I’ll never manage How much better do I want to be I know you’re the same, maybe I’m just being selfish

Lagi-lagi iri menguasai diriku.

Harusnya aku patut senang dengan pencapaiannya. Harusnya aku ikut berbahagia dengan apa yang diraihnya. Tapi karena ketidakpuasanku ini membuatku tidak bisa turut andil akan kebahagiannya. Dan dia yang kini berdiri didepan kami, tau. Kalau aku sedang berusaha menyembunyikan perasaanku dan berpura-pura bahagia dengannya.

Jeong Yunho, lagi-lagi pencapaianmu membuatku iri.


Aku dan Yunho bertemu untuk pertama kalinya saat Desember di tahun keduaku di kantor ini. Aku dan dia berada di tim yang sama dan kubik yang bersebelahan.

Yunho masuk untuk menggantikan Kak Minkyung, penghuni kubik sebelahku itu, berhenti karena harus melahirkan. Padahal Kak Minkyung bisa aja ambil cuti melahirkan tanpa perlu resign. Tapi suaminya—Pak Younghoon—yang merupakan salah satu Bos besar di kantor ini menyuruhnya untuk resign, jadinya Kak Minkyung mau gak mau harus resign.

Singkat cerita dan entah bagaimana ceritanya aku dan Yunho jadi akrab. Mungkin karena kubikel kami yang bersebelah dan kami juga beberapa kali berbagi pekerjaan yang sama, mungkin itulah yang membuat kami jadi dekat. Dan tahap kedekatan kami sudah sampai di titik dimana intensitas kita pergi keluar yang terbilang sering sampai kami sama-sama tau latar belakang satu sama lain dalam waktu sebulan. Orang-orang di kantor juga udah mengira kami pacaran karena kedekatan kami.

Aku tau Yunho merupakan anak sulung dari 2 bersaudara yang kebalikan denganku si bungsu dari 3 bersaudara. Yunho tau soal keluargaku atau lebih tepatnya Papaku yang ngotot ketiga anaknya harus jadi dokter dan aku yang gak mau mengikuti keinginan Papaku itu juga tentangku yang kabur dari Surabaya ke Jakarta. Yunho juga tau segala ambisiku.

“Terus kamu jadinya masuk Akuntansi karena kabur dari keinginan Papa?” Tanyanya waktu itu. Saat itu kita kami sedang berada di salah satu warung sate taichan yang ada di Senayan.

“Iya. Aku gak kamu jadi dokter. Selain takut darah, aku gak mau bertanggung jawab atas nyawa orang. Tugas dokter terlalu berat buatku.”

“Papa ngamuk gak pas kamu kabur ke Jakarta?”

“Jelas. Papa stop ngebiayain hidupku. Untungnya ada beasiswa jadinya aku gak pusingin gimana cara bayar kuliahku. Dan Mama yang bantuin ngasih uang jajan selama aku kuliah. Tujuanku kabur ke Jakara tuh mau bukti ke Papa kalau aku bisa sukses tanpa harus jadi dokter. Aku bisa mandiri tanpa biaya dari Papa.” Jelasku malam itu. Yunho mendengarkan setiap kata yang aku ucapkan malam itu. Malam itu merupakan salah satu malam yang panjang karena kami menghabiskan waktu dengan saling berbagi cerita. Aku merasakan yang selama ini sudah lama tidak aku rasakan saat berinteraksi dengan Yunho. Aku juga merasa kalau Yunho itu yang butuhkan selama ini. Lalu selang sebulan dari malam itu, aku dan Yunho akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan alias berpacaran.

Setelah kami pacaran, barulah mulai terlihat yang sebelum-sebelumnya aku tau. Termasuk Yunho yang diam-diam termasuk pekerja yang cerdas. Aku memang sudah merasa kalau dia memang pintar cuma dia selalu menutup-nutupinnya karena dia enggan mendapatkan pujian. Karena performa kerjanya yang baik, Yunho bisa sampai berada di posisi yang sama denganku dalam waktu kurun setahun, dia mendapatkan promosi. Dan dalam jangka 2 tahun, ia sudah menjadi Senior Auditor.

Aku yang berambisi besar merasa egoku terusik karena kenaikan jenjang karir Yunho yang cukup pesat. Walaupun saat Yunho menjadi Senior Auditor, aku juga mendapatkan promosi menjadi Audit Supervisor. Tapi egoku terusik kembali setelah setahun kemudian Yunho mengikutiku mendapatkan promosi dan menjadi Audit Supervisor.

Hubungan kami menginjak tahun ketiga saat itu. Jadi baik aku dan Yunho sudah mengenal masing-masing dengan baik. Yunho tau kalau aku iri dengannya saat dia menjadi Senior Auditor dalam waktu yang terbilang cepat. Dia juga tau kalau aku selalu merasa tidak puas dengan pencapaian-pencapaianku.

Saat kami sama-sama menjadi Supervisor Auditor, hubungan kami jadi merenggang. Aku jadi gila dengan pekerjaanku. Di pikiranku adalah aku bisa bekerja sama baiknya dengan Yunho. Tidak, aku bahkan bekerja lebih baik dari Yunho.

Tapi karena kegilaanku dalam bekerja, membuatku tumbang sampai-sampai aku harus di opname. Dan untuk pertama kalinya, aku melihat Yunho semarah itu denganku.

“Kamu harus bedrest seminggu.” Ujarnya sehabis menemui dokter yang merawatku.

Dia baru saja kembali dari Surabaya saat mendengar kabar aku pingsan di kantor dan dilarikan ke rumah sakit. Dia langsung ke rumah sakit begitu sampai di bandara. Karena tidak adanya wali yang mendampingiku, jadilah Yunho yang menjadi waliku.

“Aku gak bisa bedrest lama-lama. Bentar lagi mau peak season. Banyak yang harus aku handle.”

“Kamu ngurus diri sendiri aja gak becus, gimana mau ngurus perusahaan orang?! Udahlah jangan terus-terusan kamu turutin ego dan ambisi kamu yang gak pernah puas itu. Diri kamu lebih penting. Gak usah ngeyel dan bedrest sampe kamu pulih betul.” Ultimatumnya hari itu.

Semenjak masuk rumah sakit, aku jadi tidak bekerja segila sebelumnya. Dan Yunho makin strict. Dan kami berjalan seperti sebelum-sebelumnya. Sebelum keambisiusanku mengekang.

Akhirnya keirianku makin membuncah saat Yunho di promosikan menjadi Manager. Malam yang harusnya jadi perayaannya menjadi Manager, malah kami isi dengan adu mulut.

Aku yang memancingnya sampai kami bertengkar hebat untuk pertama kalinya. Semua disebabkan aku yang iri dengan pencapaiannya. Iri dengan semua yang diraih. Dan seharusnya itu aku yang berada di posisinya karena aku bekerja lebih dulu disini. Aku dengan segala hasil kerjaku yang seharusnya berada diposisinya sekarang.

“Aku pulang aja deh.” Yunho bangun dari sofa. Memberesi semua barang-barang bawaannya. “Kamu sama aku butuh waktu untuk dinginin kepala kita. Besok aku jemput dan kita omongin lagi kalo udah sama-sama dingin.”

Aku mendekap erat bantal yang ada dipelukanku. “Kamu gak usah jemput aku. Aku gak mau ketemu dulu sama kamu.”

Tangannya yang hendak mengambil kunci mobilnya yang dia gantung tempat kunci terhenti. “Ini kita kenapa sih?” tanyanya. “Aku gak punya kuasa buat mindah-mindahin jabatan! Aku sama kayak kamu juga jadi kacung disana!” marahnya.

“Pernah aku minta buat naik jabatan ke Bos? Enggak! Aku kerja, ngikutin perintah dia. Dia mungkin ngerasa kalo kinerja aku pantes buat dapet ini, ya aku terima aja. Sekarang dimana salahnya?”

Aku diam. Keadaan akan makin buruk. Yunho gak pernah semarah ini dan kami belum pernah bertengkar sehebat ini.

“Sekarang maunya gimana?” Tipikal Yunho. Dia gak akan pergi sebelum semuanya selesai. At least sampai ada kejelasan. “Aku nolak promosi ini?” tanyanya.

“Kamu bakal ngelakuin kalo aku minta?”

“Enggak.” Jawabnya lugas.

“Yaudah kalo gitu kita putus aja.” ucapku.

Raut kaget nampak di wajahnya. “Nggak usah bercanda.”

Aku bangun dari sofa dan berjalan menuju dapur. Aku tau kalau Yunho juga mengikutiku. “Aku serius.”

“Kenapa?” tanyanya. “Karena aku atasan kamu dan kamu gak mau jadi bawahan pacar kamu?”

Aku duduk di kursi bar sembari menuang air ke gelas. “Pacaran bikin aku susah fokus.” elakku. “Aku harus fokus biar gak ketinggalan.”

Dia mendengus. “Nggak ada yang percaya alasan sebodoh itu. Termasuk kamu sendiri.” Lalu dia pergi meninggalkanku dengan kartu akses dan kunci apartemenku diatas meja makan.

Yang aku harapkan dari percakapan tadi adalah Yunho yang kembali dan memohon agar hubungan kita tidak berakhir. Kemudian aku tertawa miris. Sekali lagi aku mengenalnya dengan baik. Yunho tidak akan kembali begitu kata putus terucap diantara kita. Egonya terlalu tinggi untuk mengemis kembali padaku.

Aku duduk terdiam di meja bar. Perlahan air mataku turun. Suara bantingan pintu saat Yunho keluar masih terngiang di telingaku. Rasa sakit dan sesak tiba-tiba menyusup ke dalam dadaku. Aku yang memutuskannya kenapa aku yang harus merasakan ini. Harusnya aku baik-baik saja. Dan perasaan menyesal menyelimutiku.

Although I have a lot, I’m still not quite like you Every day I walk alone, over the painful memories I know it’ll hurt but I can’t help noticing Maybe that’s why I keep longing for you

San duduk di salah satu kursi yang ada di taman ini. Ia merapatkan jaketnya lalu mulai membakar rokok yang sudah terselip di bibirnya. Ia mulai rileks begitu nikotin memenuhi paru-parunya. Inilah yang ia butuhkan sedari tadi.

Ia juga tidak memperdulikan malam yang mulai mengelap dan taman yang sepi. Meskipun asap rokok membuatnya sesak, San tetap meneruskan kegiatannya itu. Karena sesak akibat asap rokok tidak sebanding dengan sesak di dadanya karena merindukan gadisnya.

San mengadahkan kepalanya, menatap bintang yang bertaburan di langit. Setelah itu, ia mengedarkan pandangannya ke penjuru taman dan pandangannya berhenti pada ayunan di sebrangnya. Ayunan tersebut membuat ingatannya memutar kembali sebuah kenangan.

“San, dorong yang kencang!. Pinta gadisnya pada San.

“Kamu bisa terjatuh.” Jawab San.

Gadisnya itu merengut. San tertawa melihat gadisnya. Ia meraup wajah gadisnya dan membuatnya menjerit kesal. “Choi San!!!”

Gadisnya itu turun dari ayunan dan mengejar San. San lari dari kejaran gadisnya sembari tertawa. Sore hari itu San dan gadisnya tertawa lepas.

San menggelengkan kepalanya. Mencoba menghentikan otaknya yang kini kembali mengenang sebuah kenangan bersama gadisnya. Tidak lama, ponselnya berbunyi. Ia melihat sebuah pesan yang membuatnya harus kembali. San segera bangun, menarik tudung jaketnya dan berjalan meninggalkan taman.

Malam ini bulan bersinar dengan berani. Bintang-bintang juga tidak malu menunjukkan eksistensinya. Hal ini membuat San kembali bernostalgia saat dirinya berjalan pulang ke apartemennya.

“Bintang itu aneh. Tiap kali aku hitung selalu muncul lagi muncul lagi.” Ujar gadisnya pada San.

“Bintang itu jumlahnya banyak. Wajar kalo kamu hitung dia bermunculan terus.” Terang San.

“Kamu bantu aku menghitung bintang. Malam ini aku mau nginep di tempat kamu dan kamu bantu aku menghitung bintang. Boleh ya?”

San meraih tangan gadisnya lalu tersenyum. “Iya boleh.”

Gadisnya ikut tersenyum saat San menggengam tangannya. Mereka saling bergandengan menuju apartemen San.

San melenguhkan nafas. Sesak di dadanya kian bertambah karena otaknya terus saja memutar kenangan-kenangan bersama gadisnya. San melangkahkan kakinya dengan cepat agar dirinya segera sampai apartemennya sebelum dirinya kembali memikirkan semua kenangan bersama gadisnya dan membuatnya semakin merindukan gadisnya.

“Kau dari mana?” Begitulah sambutan yang San terima saatnya masuk ke dalam apartemennya.

“Merokok di taman.” San membaringkan dirinya di sofa. “Tumben kesini. Ada apa?”

“Ibuku memintaku mengantarkan makan padamu.” Ujar Wooyoung. “Ia memasak banyak untuk acara besok dan memberikannya padamu.”

San mengubah posisinya menjadi duduk dan Wooyoung mendudukan dirinya di samping San. “Tadi kau pergi mendatangi tempatnya?”

San mengangguk. “Aku merindukannya, jadi aku mengunjunginya.”

“Besok aku dan keluargaku akan kesana. Kau ingin ikut?”

San menggeleng. “Tidak perlu. Aku sudah datang hari ini. Lagipula, itu acara keluargamu.”

“Ayolah tak perlu sungkan seperti itu, San. Kau sudah lama mengenal keluargaku. Keluargaku sudah menganggapmu seperti keluarga.”

San memandang wajah sahabatnya yang serupa dengan gadisnya itu. Wooyoung semakin membuat San merindukan gadisnya. Inilah alasan kenapa San terkadang tidak ingin menemui Wooyoung untuk waktu yang lama. San kerap merasakan sesak saat melihat Wooyoung. Sesak karena merindukan gadisnya.

“Jika tidak mau, tak apa. Kau bisa mampir ke rumah. Ibuku sangat senang kalau kau datang dan menginap. Ibu juga tidak akan sungkan mengizinkanmu bermalam di kamarnya.” Ujar Wooyoung. “Kalau begitu, aku pulang. Jangan lupa untuk datang besok. Dan pastikan kau memakan makanan yang diberikan ibuku. Kau begitu mengerikan dengan pipi tirusmu itu.”

San tergelak mendengar perkataan Wooyoung. Ia mengantar Wooyoung sampai ke depan pintu. Setelah Wooyoung pergi, ia mengambil makanan yang dibawa oleh Wooyoung. San tertegun saat melihat apa yang dibawakan oleh Wooyoung. Makan favorit gadisnya. Mata San memanas dan tangisnya pecah setelah ia tahan-tahan.

San begitu merindukan gadisnya sampai ia tidak tau harus berbuat apa karena gadisnya tidak bisa ia temui lagi.


San sudah berdiri di depan kediaman keluarga Jung. Setelah berdiri hampir 10 menit, akhirnya ia memberanikan diri untuk menekan bel. Selang 10 detik kemudian, pintu terbuka.

“Wah lihat siapa yang akhirnya datang!” Sambut Ibu Jung. “Ayo masuk, San. Yang lain ada di dalam.”

San memberikan buah persik yang dibawanya. “Ibu, aku membawakan ini untuk kalian sekeluarga.”

“Kau tidak perlu repot-repot membawa ini, San. Kau datang kemari saja sudah cukup.”

San tersenyum. Ibu gadisnya ini selalu menyambutnya dengan baik. Ia pun melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Di ruang keluarga, sudah ramai oleh kedua saudara dan teman-teman gadisnya yang San kenal baik. San bergabung dengan mereka.

Hari ini mereka merayakan ulangtahun gadisnya seperti tahun-tahun sebelumnya. Setelah 3 tahun kepergiannya, baru kali ini San datang ke rumah gadisnya untuk merayakan bersama keluarga dan teman-temannya. Mereka merayakannya dengan potong kue dan makan bersama. Setelah acara selesai dan semua teman-teman gadisnya pulang, San masih tinggal disana.

Ibu Jung menghampiri San. “San, menginaplah disini. Sudah larut dan bus terakhir pasti sudah lewat. Lagipula, sudah lama kau tidak kesini. Kau bisa tidur dikamarnya kalau mau.”

San tersenyum sungkan. “Tidak apa, Ibu. Aku bisa pulang dengan taksi.”

Ibu Jung memaksa San untuk menginap hingga akhirnya San mengalah dan memutuskan untuk menginap. Ibu Jung mengantarkan San ke kamar gadisnya. Ibu Jung juga memberikan sepasang baju dan celana tidur untuk San. San mengedarkan pandangannya ke penjuru kamar. Kamar ini tidak berubah sama sekali, pikir San. Masih banyak jejak gadisnya yang tertinggal dan rapi di kamar ini.

“Ibu selalu merapikan kamar ini agar temannya atau kau datang kesini bisa menginap.” Ujar Ibu Jung membuyarkan lamunan San. “Terkadang Ibu juga tidur disini saat merindukannya.”

Ibu Jung mendudukan dirinya di kasur. Beliau menepuk kasur disebelahnya, meminta San untuk duduk dengannya. “Wooyoung bilang kau mengunjunginya kemarin karena merindukannya. Kalau kau merindukannya, kau bisa datang kesini.”

“Tidak apa, Bu. Aku masih merasa bersalah sehingga tidak berani untuk menemui kalian setelah dia pergi.” Sahut San lirih.

“Kau tidak perlu merasa bersalah, San. Kita semua tau kalau itu kecelakaan dan Tuhan lebih menyayanginya daripada kita semua maka dari itu Tuhan mengambilnya dari kita semua.”

Nafas San memberat. Ia mencoba menahan tangisnya. Ibu Jung merangkul pundak San. “Ibu tau kaulah yang paling terpukul atas kepergiannya. Tidak perlu sungkan untuk kemari jika kau merindukannya.”

Ibu Jung menarik San ke pelukannya. Saat itu juga tangisan San pecah. “Bu, aku merindukannya.”

Ibu Jung mengusap punggung San. Wooyoung yang melewati kamar saudara kembarnya itu langsung terhenti saat mendengan suara tangisan San. Ia melihat ibunya yang sedang menenangkan San. Selama 3 tahun, baru kali ini ia melihat San menangis karena begitu merindukan saudara kembarnya. Ternyata rindu yang dirasakan San lebih dari yang Wooyoung perkirakan.


tiga tahun lalu

“Ibu, aku akan pergi ke apartemen San!”

“Hei bodoh, tidak kau lihat di luar sedang hujan angin?!” Sahut Wooyoung saat melihat saudara kembarnya yang sedang memakai sepatu di depan pintu.

“Aku akan naik taksi, bodoh!” Balasnya. “Ibu, aku pergi!”

Gadis itu meraih payung yang ada di depan pintu dan pergi menuju halte bus untuk mencari taksi. Hari ini ia akan menghampiri San tanpa memberitahu terlebih dahulu. Seharusnya hari ini mereka ada janji untuk pergi bersama tetapi harus batal karena San harus mengerjakan tugas akhirnya.

San tiba di apartemennya cukup larut, yaitu pukul 10. Ponselnya juga mati karena kehabisan daya. Ia mengisi daya ponselnya begitu ia sampai. Saat ponselnya menyala, terdapat banyaknya pesan masuk dan panggilan tidak terjawab. Sedetik kemudian, panggilan dari Wooyoung masuk dan segera San menjawabnya.

“Halo.”

“Hei, bodoh! Dari mana saja kau?! Puluhan kali aku meneleponmu!”

“Aku baru pulang dari perpustakaan, mengerjakan tugas akhirku. Ada apa?”

“Saudaraku ada di tempatmu kan? Suruh ia segera kembali. Ibuku menanyakannya terus. Kenapa juga ponselnya harus mati.”

San mengerutkan dahinya. “Ia tidak datang kesini. Apartemenku kosong saat aku datang.”

Di sebrang sana, terdengar suara Wooyoung berubah menjadi panik. “Sungguh?! Sore tadi ia izin ingin ke tempatmu, bodoh!”

“Aku tidak bercanda, Jung Wooyoung. Ia bahkan belum membalas pesanku sejak siang tadi.”

“Astaga... kemana dia pergi?”

“Kau sudah bertanya pada teman-temannya?”

“Ia pamit ke rumahmu, bodoh! Tentu saja teman-temannya tidak tau keberadaanya.”

“Jangan panik, oke? Aku akan ke rumah teman-temannya dan mengantarkannya pulang jika menemukannya.”

“Baiklah. Aku juga akan mencoba menelepon mereka dari sini.”

Setelah panggilan terputus, San segera pergi. Ia pergi ke rumah teman-teman gadisnya satu per satu tapi sayangnya dia tidak berada disana. San memutuskan untuk kembali ke apartemennya, ada sebuah pesan dari Wooyoung.

Jung Wooyoung : datanglah ke rumah sakit secepatnya. dia disini.

Secepat mungkin San menuju rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, San menghampiri Wooyoung yang matanya sembab.

“Kau kenapa?”

Bukannya menjawab San, Wooyoung malah memeluk San. “Aku tau kau sangat mencintainya. Kuharap kau kuat.”

Setelah memeluk San, Wooyoung ngajak San menuju ruang mayat. Hal ini membuat perasaan San tidak enak. Jantung San seolah berhenti. Tubuhnya mendadak lemas saat melihat gadisnya terbaring kaku.

“Satu jam setelah aku meneleponmu, kepolisian menelepon rumah kami. Mereka mengatakan kalau mereka menemukannya dalam kondisi tidak bernyawa. Mereka mengatakan kalau dia menjadi korban pelecehan seksual. Supir taksi yang ia tumpangi adalah pelakunya karena ia sempat mengirimkan pesan padamu untuk menjelaskan situasi sebelum kejadian tapi sayang tidak terkirim karena sinyal terputus.” Jelas Wooyoung.

Wooyoung memberikan ponsel saudara kembarnya pada San. San dapat membaca pesan untuk tidak terkirim untuknya.

Choi San, hari ini aku ingin menghampirimu tapi sepertinya aku tidak akan sampai sana karena supir taksi yang aku tumpangi membawaku entah kemana. Aku takut dan aku tidak bisa menghubungi siapa-siapa karena hujan menghalangi sinyalku. Semoga pesanku ini terkirim padamu. Apapun yang terjadi padaku nantinya, tolong jangan menyalahkan dirimu. Choi San, aku mencintaimu.

“Pelaku sudah tertangkap tak lama polisi menghubungi kami—” Omongan Wooyoung terpotong karena suara tangis San.

“Harusnya aku tidak pergi ke perpustakaan hari ini. Harusnya aku bersamanya. Harusnya ia masih disini kalau aku menjemputnya...” San mulai menyalahkan dirinya.

Wooyoung mencoba menenangkan San dengan menarik San keluar. Ia mendudukkan San di salah satu kursi. San menangis sesegukan membuat Wooyoung makin bersedih. Ia tau sahabatnya akan sangat terpukul karena kehilangan saudaranya melebihi rasa kehilangannya. San juga berulang kali mengucapkan kata maaf pada Wooyoung karena tidak bisa menjaga saudaranya dengan baik. Wooyoung menepuk pundak San berulang kali, upayanya untuk menenangkan San.

“Berhenti menangis, Choi San. Ini bukan salahmu. Dia tidak akan suka melihatmu menyalahkan diri sendiri seperti ini.”

San mengusap airmatanya. Ia menatap Wooyoung lalu memeluk sahabatnya. Setelah itu ia berpamitan dengan Wooyoung untuk pulang dan kembali paginya untuk mengantarkan gadisnya ke tempat peristirahatannya yang terakhir.

Setelah semua prosesi pemakaman selesai, San memberikan penghormatan terakhir untuk gadisnya. San kembali menitikkan airmatanya saat memberikan penghormatan pada orangtua gadisnya. Sam membungkukkan tubuhnya sembari berkata, “Ibu, Ayah, aku minta maaf karena tidak dapat menjaga anak kalian. Aku minta maaf bila aku tidak bisa membahagiakannya seperti kalian membahagiakannya.”

Ibu Jung menarik San dan memeluknya. “Tidak apa, San. Terimakasih sudah membahagiakannya dengan caramu. Aku harap kau bisa bahagia walau tanpanya.”

San membungkukkan tubuhnya sekali lagi sebelum pamit untuk pulang. Gadisnya kini telah pergi. San tau sejak hari ini, ia tidak akan sama lagi setelah kehilangan gadisnya.

We better off this relationship end.” Ujar perempuan itu. Ia juga menyodorkan sebuah undangan pada Mingi. “I'm going married.

Mingi bergeming. Mingi menatap kaku undangan yang mencetak jelas nama perempuannya bersandingkan dengan nama yang dia kenal betul. Jeong Yunho.

It's happening…” gumam Mingi yang mampu di dengar perempuan itu.

I've no choice. I'm sorry, Mingi. I'm really sorry for breaking your heart. That the least thing i want to.

Mingi menatap perempuan di hadapannya yang kini memerah karena menahan tangis. Mingi segera mengusap airmata yang jatuh ke pipi perempuan itu. “Don't cry. It's not your fault.

I'm sorry…

It's fine. At least we've tried.” Mingi menggenggam tangan yang selama ini selalu ia genggam. “Kita berdua sama-sama tau. Cepat atau lambat hal ini akan terjadi. Bukan salahmu, oke?”

Mingi menarik perempuan itu ke dalam pelukan. Ia mencoba untuk tidak menangis tapi sayangnya ia tidak bisa. Di pelukan Mingi, ia menangis. Mingi mengusap punggung perempuan yang pernah menjadi miliknya.

Mingi melepas pelukannya. Ia mensejajarkan wajahnya dengan perempuan itu. “It's time to farewell. I'm lucky to have you for all this time. Be happy with Yunho for me, will you?

I will.”

Lalu Mingi memeluknya sekali lagi sebelum ia pergi. Mingi bertemu dengan Yunho saat hendak pergi dari cafe. Raut wajah Yunho langsung berubah saat bertemu dengan Mingi.

“Mingi.”

“Oit! Mau jemput dia?”

Yunho makin tidak enak hati saat Mingi menyebutkan nama perempuan yang selama ini menjadi milik Mingi. “Gi, sorry…”

“Apaan sih lo pake acara minta maaf segala.”

“Harusnya gue nolak perjodohan ini dan biarin lo sama dia- ”

It's okay, Yun. Gue sama dia tau ini bakalan terjadi dan kita berdua udah tau konsekuensi ini sejak awal. Jadi berhenti minta maaf, oke?”

Yunho menatap sahabatnya. Ia bisa melihat jelas kalau Mingi terluka. Tapi dia juga gak bisa berbuat apa-apa karena sejak awal perempuan itu memang untuknya.

Take care of her. Instead of apologizing to me, you should make her happy for me.

Will do.

Mingi menepuk pundak Yunho sebelum pergi. Yunho menatap kepergian Mingi begitu pula perempuan itu yang menatap kedua laki-laki itu dari dalam cafe sedari tadi. Mingi kini sudah tidak bisa mengklaim perempuan itu sebagai miliknya. Karena sejak awal, perempuan itu memang untuk milik Yunho.

Gak ada orang yang baik-baik aja pas patah hati. Begitu juga gue.

Gue dengan teh kotak dan sepiring nasi dihadapan gue. Oh, gak lupa juga semangkuk soto yang masih ngempul asapnya jadi saksi hari ini. Kali sosial media bisa jadi salah satu penyebab patah hati gue.

Fuck Instagram.” Gumam gue. Kecil dan cuma gue doang yang bisa dengerin kayaknya setelah melihat salah satu Insta Story di salah satu akun temen gue.

Gue pun segera menarik soto gue dan membiarkan handphone gue tergeletak begitu aja di atas meja.

Harusnya emang gue usah buka Instagram. Karena emang setoxic itu. Hal-hal yang gue hindari malah terpampang jelas biarpun udah kelewat 15 jam yang lalu.

Gue sering bilang ke temen-temen gue kalo yang menyakiti diri kita sendiri itu bukan orang lain. Melainkan diri kita sendiri yang membiarkan orang-orang itu menyakiti kita. So, here we go. I let those people to hurt me. Bego banget kan? Emang bego banget gue tuh.

Enggak. Gue gak nyalahin mereka yang nyakitin gue. Gue aja yang merasa tersakiti padahal mereka gak ngapa-ngapain. And once again i just want to say is i’m the only one who let people hurt me. Not those people.

“Sial!”

Gue langsung cepat-cepat menghabiskan soto dan nasi gue sebelum oknum yang gue lihat masuk kantin itu melihat gue. Tapi sayangnya gue ini ceroboh. Karena buru-buru, gue jadinya keselek. Dan hal itu bikin oknum itu melihat ke arah gue. Sekarang dia berjalan mendekati gue.

“Eh lu kenapa? Sendirian aja apa gimana?” Tanya dia. Dia gak sendirian btw. Dia sama temennya yang juga temen gue. Lingkup pertemanan kita emang kecil. Atau lingkup gue aja yang emang sekecil itu? Yaudahlah gak usah dibingungin.

“Keselek. Dan iya gue sendiri. Lo pada mau makan?” Tanya gue balik. Pura-pura oke dulu. Biar gak ketara walaupun pasti mereka bakalan tau gue gak baik-baik aja soalnya gue ini kayak buku, mudah ke baca even sama orang yang gak deket sama gue.

“Makan lo kayak kuda apa gimana sampe keselek. Eh btw gue sama Wooyoung duduk sini ya.”

Tanpa persetujuan gue, dia dan temennya—si Wooyoung—duduk di depan gue.

“Yaudah gih duduk. Gue juga mau cabut.”

“Dih cepet amat. Baru juga gue duduk. Sini dululah.” Katanya yang gue yakin sih basa-basi aja.

“Aduh, ada kelas gue.” Gue mengangkat mangkuk dan piring gue lalu ngebalikin ke warungnya. Si Wooyoung ikutan ke warung soto sama gue.

“Cabut dulu, San.” Ujar gue sembari ambil tas dan handphone gue yang menyala karena ada notifikasi.

San—orang yang gue maksud tadi—mengangkat wajahnya sebentar lalu kembali fokus sama handphonenya. “Ohiya. Tiati lo. Jangan cabut kelas mulu.”

“Hahaha iya. Duluan ya.”

San gak memperdulikan gue yang cabut dari kantin karena dia sibuk sama handphonenya. Dan sialnya gue gak sengaja liat apa kesibukan dia dengan handphonenya. Chatnya dengan salah satu teman dekat gue yang kini menjadi pacarnya. Dan hal itu bikin gue patah hati. Lagi. Setelah tadi melihat Insta Story 15 jam lalu.

San, kenapa lo harus jadian sama orang yang jadi tempat curhat gue soal lo? batin gue saat meninggalkan kantin dengan patah hati yang semakin parah.

Bel istirahat berdenting.

Guru-guru yang sedang menjelaskan materi pelajaran pun mulai berhenti menjelaskan. Anak-anak yang mendengarkannya juga mulai lega. Akhirnya mereka bisa keluar kelas.

“Kita akhir sampai disini. Jangan lupa untuk tugasnya di kumpulkan lusa.”

“Baik, Pak...”

Lalu kelas bubar begitu sang guru keluar kelas. Aku dan temen sebangku pun ikut keluar kelas.

“Mau nitip apa hari ini?” Tanya Lyla, gadis disebelahku ini.

“Air mineral aja. Hari ini aku dibawain bekal.” Kataku sembari mengangkat bekalku.

Okey, then. See you!

“Yep.”

Kami berpisah di ujung lorong. Lyla berbelok ke kanan, menuju kantin. Dan aku berjalan lurus. Menuju ruang rados—radio sekolah.

Setiap istirahat pertama di hari Senin, Rabu, dan Jumat, aku siaran di rados. Rados punya 3 program untuk mengisi waktu istirahat. Dan yang paling populer itu surat titipan.

Jadi surat titipan itu ada kotak surat yang di letakkan di depan pintu siaran rados. Siapa aja boleh ngirim surat. Boleh anonim boleh juga bernama. Nantinya akan dibacain sama penyiar rados setiap harinya akan dibaca 3 surat. Dan kebanyakan surat yang masuk itu isinya confession dari anak cowok ke anak cewek begitu juga sebaliknya. Bahkan ada yang menembak lewat surat titipan rados ini.

Selama aku menjadi penyiar rados setahun belakangan ini, sudah 4x mendapati surat yang berisi penembakan dan itu benar-benar menyenangkan. Soalnya dalam 4x kejadian itu, salah satunya adalah Lyla. Dan untuk Lyla itu paling seru pasalnya si pengirim surat yang gak lain adalah Kak Seonghwa itu bikin pernyataan ulang di tengah lapangan. Dan itu momen banget!

“Hai!” Sapaku saat memasuki ruang siaran.

Hari ini teman siaranku adalah Choi San. Anak 11 IPS-2. Aku dan dia ini couple siaran yang di nanti-nanti sama seantro sekolah karena kalo kita yang siaran seru. Katanya sih begitu, hehehe.

“Kok baru dateng sih?!”

“Maaf itu tadi Pak Seungcheol keluarnya lama. Ayo siaran!”

Aku dan San pun memulai siaran hari ini. Tapi sebelum siaran, aku mengambil 3 surat random dari kotak surat.

“Hai, hai, haaaaai~ tebak siapa yang siaran kali ini???” San membuka siaran hari ini setelah lagu dari Taylor Swift yang berjudul Safe & Sound itu selesai.

“Dari suaranya juga udah ketebak kali siapa yang siaran, Choi.”

“Ohiya lupa! Hari ini Choi and Kim yang bakalan nemenin kalian sampe jam 10.30!”

“Lho kok sampe jam segitu, Choi?”

“Iya jadi hari ini guru-guru ada rapat sebentar sampai jam 11 dan biar jam kosongnya terbengkalai dan gak gabut juga jadinya Kak Chanhee nyuruh kita buat isi rados.”

Alright, jadi sejam kedepan kalian bakalan dengerin Choi sama Kim siaran. Jangan pada bosen ya!”

San membuka akun Official Line milik radio sekolah. “Karena jam siaran kali ini lebih panjang, jadinya kita open request lagu dan open chat juga di Official Line rados.”

“Dan buat surat titipan, hari ini kita bakalan bacain 6 surat!” Sambung San.

“Eh tapi aku cuma ambil surat 3 nih.” Kataku.

“Yaaah. Kalo gitu ambil lagi dong, Kim. Dan sembari nungguin Kim ambil surat lagi, Choi bakalan muterin lagu request dari Mingi anak kelas 11 IPS-2, lah si Igi ini mah. Yaudah kalo gitu, here’s we go, The Only Exception dari Paramore...”

Begitu lagu diputar, aku langsung beranjak keluar buat ambil 3 surat lagi.

Pas banget aku buka pintu siaran, ada Kak Hongjoong yang baru mau mengetuk pintu.

“Eh Kak Hongjoong, ada apa ya?”

“Ini air mineral dari Lyla.”

Kak Hongjoong menyodorkan sebotol air mineral. Aku pun segera menerimanya.

“Ohiya... makasih ya, Kak.”

Kak Hongjoong mengangguk. “Oke. Cabut ya.”

“Iya, Kak.”

Habis itu, aku langsung mengambil surat dari kotak surat dan masuk ke dalam. Menit demi menit terlewati. Gak sadar kalo waktu siaran udah mau abis. Banyak chat yang kita bacain dan juga udah beberapa lagu diputar. Hari ini siaran paling seru pokoknya.

“Surat terakhir!” Seruku.

“Ayo-ayo surat siapa yang bakalan kita bacain yaaa? Biasanya kalo surat terakhir ini tuh seru-seru. Mari kita baca!”

San pun membuka lipatan surat terakhir ini. “Teruntuk Bian Kim, penyiar rados favoritku.” San mulai membaca awal surat. “Ih kok buat Kim sih?! Kim manipulasi surat ya?!”

“Ih enggak! Aku ambilnya random gak dipilih-pilih.”

“Eh tapi ini Kim pertama kalinya dapet titipan surat ya?”

“Iya hehehe, yaudah lanjut, Choi. Waktunya tinggal dikit lagi nih.”

“Oke. Teruntuk Bian Kim, penyiar rados favoritku. Dari aku, temannya Seonghwa. Aku tunggu kamu didepan ruang rados, sepulang sekolah.”

Dan setelah surat itu dibaca, San gak berhenti ngeledekin aku. Aku sendiri langsung tau siapa yang mengirim surat itu. Gak lain gak bukan adalah orang yang sama yang memberikanku air mineral tadi.

part satu

Siapa yang tidak mengenal Kim Hongjoong?

Gue yakin satu sekolah tau siapa gue. Bukannya narsis atau gimana, tapi nyatanya sih emang begitu. Kim Hongjoong, si ketua futsal. Kim Hongjoong, si anak futsal. Begitulah kebanyakan orang-orang disekolah memanggil gue.

Tapi ada satu orang yang mengenal dan memanggil gue dengan dua panggilan yang gue sebutin tadi. Namanya Bian Kim. Dia temennya pacar Seonghwa.

Gue masih inget gimana pertama kali dia mengenali gue. Jadi waktu itu Seonghwa sama Lyla baru aja jadian dengan cara menurut gue agak norak gitu. Dia nembak Lyla lewat surat titipan yang biasa rados bawain. Mana dia juga nembak ulang Lyla di lapangan sekolah. Gue yang waktu itu jadi salah satu oknum yang membawa tulisan will you be my girlfriend yang Seonghwa siapin, jujur aja waktu itu gue malu cuma yaudah demi temen kan.

Kembali ke cerita. Jadi waktu itu Seonghwa dan Lyla mau makan bareng di jam istirahat tapi karena mereka baru jadian dan masih malu buat berduaan jadinya Seonghwa ngajak gue dan Lyla ngajak Bian. Dan waktu itu untuk pertama kalinya gue ketemu Bian in person. Gue udah tau dia sebelumnya karena dia salah satu penyiar rados yang lumayan terkenal di sekolah tapi belum pernah ketemu secara langsung kayak gini.

“Kakak-kakak, ini temenku, Bian. Ah kalian pasti udah pada kenal.” Ujar Lyla memperkenalkan Bian pada gue dan Seonghwa.

“Kenal dong. Siapa sih yang kenal Bian.” Sahut Seonghwa yang membuat Bian tertawa. Asli, suara tawanya Bian tuh gemes banget. Sampe sekarang aja gue masih suka kebayang. “Ohiya lupa gue. Bian, ini Hongjoong temen gue. Kali aja lo belom kenal walaupun kayaknya siapa sih yang kenal sama Kim Hongjoong si ketua futsal.”

Gue memutarkan bola mata. “Apaan dah. Salam kenal ya, Bian.”

Bian menjabat tangan gue. “Salam kenal juga, Kak Hongjoong. Ohiya, Kakak yang waktu itu bikin By. Hongjoong bukan sih waktu festival tahun lalu?”

Gue kaget. Serius kaget karena jarang yang mention karya gue waktu festival sekolah tahun lalu. “Iya!!! Kok lo dah?”

“Aku nanya sama salah satu panitia ini tuh punya siapa karena aku suka banget sama jaket DIY bikinan Kakak. Sayang banget waktu itu not for sale padahal kalo di jual, pasti aku beli sih. Btw, itu bikinnya berapa lama, Kak?”

Akhirnya gue sama Bian jadi ngobrolin soal hasil-hasil karya gue yang waktu itu buat festival sekolah. Jujur aja, gue lebih suka saat orang mengingat gue karena karya gue di By. Hongjoong ketimbang mengingat gue sebagai anak futsal. Tapi gue tetep seneng sih kalo ada yang kenal gue karena futsal karena futsal hobi gue juga.

Sejak hari itu, Bian berhasil menarik perhatian gue. Gue jadi cari-cari tau soal Bian lewat Lyla. Gue tau kapan aja jadwal Bian siaran rados sampe gue tau rumahnya dimana. Dan hari ini gue memutuskan buat ngirim surat titipan pas tau dari Lyla kalo Bian hari ini siaran. Gak tau kenapa gue pengen ngirim surat titipan padahal gue aja gak tau ini apa yang gue tulis di dalam surat ini. Tapi karena gue gak mau ketauan ngirimnya, gue lagi cari cara biar Seonghwa gak tau. Soalnya kemarin pas Seonghwa ngirim, dia gue cengin dan gue takut kalo gue ngirim nanti dibales sama Seonghwa walaupun pasti dia bakalan tau juga sih kalo misalnya surat gue ke pilih.

“Eh aduh aku lupa Bian nitip air. Sebentar aku beli dulu.” Ujar Lyla.

Gue langsung mengajukan diri buat nganterin air titipan Bian ke Lyla. Sekalian ngirim surat dan Seonghwa gak akan curiga.

“La, sini gue aja yang nganterin ke rados. Gue mau sekalian ke ruang OSIS.” Kata gue pas Lyla udah balik dari beli air mineral.

“Lah lu ngapain ke OSIS?” Tanya Seonghwa.

“Ada urusan sama Juyeon terus anaknya di OSIS.”

Seonghwa manggut-manggut aja dan gue langsung mengambil air mineral untuk Bian. Ruang rados berada di sayap kiri gedung sekolah yang bersejajaran dengan ruangan-ruangan eksul lain dan ruang OSIS. Koridor didepan ruangan-ruangan ini selalu sepi kecuali hari Jumat. Gue dengan cepat melangkahkan kaki gue ke ruang rados dan meletakkan surat gue ke kotak surat titipan sebelum ada orang yang melihat.

Setelah gue meletakkan surat gue, gue langsung ke depan pintu ruang rados. Tapi baru mengetuk pintu, pintunya udah terbuka duluan dan menampilkan Bian. Gak basa-basi, gue langsung ngasih air mineral yang gue bawa ke Bian dan segera cabut. Tapi sebelum cabut, gue mengintip Bian sebentar pas dia ngambil surat di kotak surat. Gue sumringah pas melihat surat gue di ambil sama Bian.

Gue kembali ke kelas. Kelas gak begitu rame karena penghuninya belum pada balik walaupun udah bel masuk karena guru-guru sedang rapat jadinya banyak yang masih berkeliaran di penjuru sekolah. Surat gue akhirnya dibacain sama San—teman siaran Bian. Begitu suratnya selesai dibacain, teman-teman gue datang.

“Woy Kim Hongjoong itu lo kan yang ngirim surat barusan?!” Tuduh Lino.

“Hongjoong anjing! Gue hampir dicekek Soojin disangka gue yang ngirim!!!” Omel Juyeon.

“Kalo Seonghwa gak ngasih tau kalo lo yang ngirim, udah abis kita sama pacar masing-masing.” Sahut Kino.

Belum sempat membalas semua omongan temen gue, Seonghwa udah lebih dulu bersuara. “Lu ngapain sih anjir ngirim surat ke rados? Si Lyla panik noh takut Bian kena sama fans-fans lo!!!”

Gue langsung keinget soal itu. Diantara kita berlima, gue emang paling banyak antek-antek fansnya karena cuma gue yang masih jomblo diantara kita berlima. Dan gue gak kepikiran soal itu pas ngirim surat.

“Gue yakin pasti ada aja yang nungguin di depan ruang rados pulang sekolah nanti.” Sahut Kino.

“Kata gue mending gak usah dulu lo ketemu sama Bian.” Saran Juyeon.

Temen-temen gue yang lain setuju sama saran Juyeon. Gak lama, hape gue ada chat masuk.

Bianca Kim hai kak hongjoong. makasih ya buat suratnya tadi. aku tau kok itu kakak yang ngirim. tapi maaf kak, aku gak bisa nemuin kakak pulang sekolah nanti >< lain waktu mungkin kita bisa ketemu ya. sekali lagi makasih, kak hongjoong

Surat titipan gue pun berakhir gagal.

“Gue pernah baca dimana gitu kalo kecepatan bunga sakura jatuh dari pohon itu 5 cm per detik.”

“Hah?” Mingi melongo. Dia masih suka kaget kalo Monic (atau Nonik biasa dipanggilnya) itu suka random banget kayak gini.

Monic menyodorkan hapenya. “Tuh. Kecepatan bunga sakura jatuh dari pohonnya itu 5 cm per detik.”

“Lu ngapain dah ngesearch gituan, Nik?”

“Gapapa sih. Biar tau aja dan gue ngasih tau lo biar pengetahuan lo luas, Guy!”

Monic sendiri memiliki panggilan khusus untuk Mingi yaitu Iguy (gabungan dari Igi dan santuy karena Mingi anaknya santuy banget jadinya Monic panggil dia begitu)

Mingi mencibir. “Halah. Emang dasarnya lo kaga jelas aja. Ayo dah cabut nanti keburu malem.”

Mingi membereskan tasnya dan segera berjalan menuju parkiran motor. Monic mengikuti Mingi setelah ia menggendong tasnya. Mereka baru saja selesai les.

Mingi sama Monic ini udah temenan dari zigot karena Ibunya Mingi dan Maminya Monic ini bersahabat sejak SMA. Ini gak bercanda soal mereka temenan dari zigot karena baik Ibunya Mingi sama Maminya Monic ini hamil mereka berdua dalam waktu yang bersamaan. Bedanya Mingi lahir seminggu lebih dulu dari Monic. Terus mereka selalu satu sekolah yang sama sampai mereka kelas 12. Kata Maminya Monic sih biar ada temennya.

“Mampir gak?” Tanya Monic.

“Gak dulu deh. Ini anak basket ngajakin ngumpul di McD deket sekolah.” Jawab Mingi sembari membaca chat di hapenya.

“Oh yaudah. Jangan pulang malem-malem lu. Nanti di cariin Ibu.”

Mingi menyalakan motornya. “Iya. Eh bilangin si Mami, itu tupperware nya kayaknya mau diganti aja sama Ibu soalnya gak tau tuh sama si Kakak dikemanain.”

“Iyaaa. Tiati, Iguy.”

“Dah, Nonik.”

Mingi pun menjalankan motornya meninggalkan rumah Monic. Sampai di McD, Mingi disambut temen-temennya.

“Lu mampir kemana dulu jam segini baru nonggol? Tempat les lo biasa bubaran dari jam 6.” Tanya Hangyul.

“Nganter Nonik beli jajan dulu.”

Mendengar nama Monic disebut, Sunwoo—adik kelas Mingi—langsung nimbrung. “Kak Monic udah punya pacar belom sih, Kak Mingi? Masa iya dah secakep Kak Monic gak punya pacar.”

Raut wajah Mingi jadi berubah saat mendengar pertanyaan Sunwoo. Hal itu membuat Hwiyoung menyikut pelan Sunwoo yang berada disebelahnya. “Banyak nyawa juga lu nanyain Monic ke Mingi. Gak liat tuh hawanya Mingi langsung beda.”

“Monic punyanya Mingi, Nu, kalo lo mau deketin coba lo lawan dulu tuh pawangnya.” Sahut Yunho sembari merangkul Mingi dan membuat semuanya tertawa.

Udah bukan rahasia umum lagi kalo Monic selalu dikait-kaitkan dengan Mingi karena kedekatan mereka. Dan teman-temannya Mingi juga bisa melihat dengan jelas kalo Mingi itu suka sama Monic tapi entah Monic sadar atau gak sama perasaan Mingi tapi yang jelas perasaan Mingi ke Monic sejelas itu sampai si buta warna dan orang bintitan pun bisa melihatnya.

Tapi Mingi gak pernah menyatakan perasaannya karena dia takut. Ia takut merusak jalinan yang sudah ia bangun dengan Monic jadi rusak karena dicampurin dengan perasaan. Sampai akhirnya mereka berpisah untuk pertama kalinya setelah sekian tahun bersama, Mingi tetap diam dan gak menyatakan perasaannya.

Setelah lulus, Monic pindah ke Jatinangor karena dia keterima di Unpad. Mingi sendiri yang membantu dan mengantar Monic pindahan kesana.

“Jangan sedih ya, Guy, gak ada lagi yang bisa lo ajak drive thru malem-malem kalo lo gabut.”

“Ngapain sedih. Jatinangor kaga sejauh Mekkah kali. Masih bisa gue samperin.”

Monic ketawa. Dia memeluk Mingi sebelum dirinya masuk ke dalam kostannya. “Tiati ya. Sering-sering bales chat gue.”

Dan sampai Mingi pulang ke Jakarta, dia masih gak punya keberanian buat bilang apa yang dia rasain selama ini. Kini Mingi jadi takut jarak antara ia dengan Monic bakalan makin jauh. Karena jaraknya dengan Monic kini bukan hanya sekedar sentimeter atau meter. Tapi berpuluh-puluh kilometer.


Di suatu hari saat liburan menjelang semester 3 saat Monic kembali ke Jakarta untuk liburan, Mingi akhirnya bertekad untuk menyatakan perasaannya.

Mingi pun menghampiri Monic ke rumahnya. Monic tentu saja kaget dengan pernyataan Mingi dan membuatnya meminta waktu untuk menjawabnya.

Mingi hampir putus asa karena mendekati tanggal kembalinya Monic ke Jatinangor, gadis itu belum juga memberikan jawaban.

Tapi sehari sebelum Monic berangkat, dia mengirimkan chat ke Mingi. Memintan Mingi untuk menemeninya ke rumah makan padang langganan mereka berdua sewaktu SMA.

Gak pikir panjang, Mingi langsung bergegas menuju rumah Monic. Di rumah makan padang inilah, Mingi mengeliminasi jarak antara dia dengan Monic. 5 sentimeter per detik.

“Rasanya gue mau pamer ke semua sosmed gue deh.” Celetuk Mingi.

“Gih dah sana.”

“Sini dong deketan biar aku bisa pamer akhirnya pacaran sama kamu.”

Monic ketawa tapi tetap mendekatkan dirinya ke Mingi. Hari itu Mingi memposting foto dirinya dengan Monic di Instagramnya dengan caption : Mine ❤️


“Guy, kayaknya kita harus putus. Ternyata aku gak bisa ngejalanin ini dengan kamu jauh gini.”

Mingi langsung zoned out begitu mengangkat telepon dari Monic di suatu hari setelah mereka pacaran LDR setahun. Setelah semua jarak yang Mingi kira sudah ia pangkas.

Dan dua hari setelah telepon dari Monic itu, Mingi implusif nyamperin Monic ke Jatinangor.

“Kita udah gak bisa ya?” Tanya Mingi setelah mereka muter-muter dan berakhir kembali ke kostan Monic. Keduanya masih berada didalam mobil Mingi.

Hening cukup lama sampai akhirnya Monic bersuara, “Maaf.”

Saat itulah Mingi tau kalo semuanya sudah selesai.

Monic segera pamit turun setelah Mingi diam tanpa kata selama 10 menit dan dia gak ngasih kesempatan ke Mingi buat menahannya lebih lama lagi.


“Gue di Nangor nih.” Ujar Mingi saat dirinya keluar dari tol.

”Hah ngapain lo kesini?”

“Main aja. Gue di AGL ya.”

”Yaudah tunggu situ bentar.”

Mingi nyamperin Monic pasca dua bulan putus. Mingi bersyukur Monic gak canggung setelah putus darinya. Dia nyamperin Monic karena dia mau menyelesaikan semuanya. Dia cuma gak mau nyesel karena gak menyelesaikan apa yang harus ia selesaikan.

“Iguuuuy!!!” Sapa Monic saat dia sampai.

“Nih sini duduk. Gue tadi udah pesenin buat lo.” Mingi menyodorkan piring ke Monic.

“Wih makasih, Iguy!”

“Lo abis kelas?”

“Gak tadi rapat BEM aja sih. Eh Gue sama Yunho satu departemen di BEM lho!”

Tahu-tahu ada suara yang memanggil Mingi. “Lah si Mingi. Ngapain lu disini?”

Mingi dan Monic langsung menengok, seorang cowok yang berperawakan tinggi yang lebih tinggi dari Mingi ini dan berpakaian rapi.

“Weh lo barusan diomongin sama Nonik tau-tau udah nonggol disini.” Mingi bersalaman dengan Yunho.

“Ini gue nganterin bindernya Monic tadi ketinggalan.”

Monic kaget dan mengambil bindernya. “Pasti tadi gue tinggalin gitu aja.”

“Iya makanya gue bawain.”

“Makasih, Yu. Eh sini-sini mesen ayam. Laper kan lo tadi abis rapat.”

Yunho melirik Mingi. “Gak ganggu kan gue?”

“Gak lah. Santai aja…” Monic menimpali dengan santai.

Puluhan menit berikutnya, Mingi menyuap nasi dan ayamnya yang terasa hambar sambil memperhatikan Monic dan Yunho mengobrol, sesekali Monic tertawa, dan rasanya sedih karena Mingi gak ingat Monic pernah tersenyum sebahagia itu ketika bersama dirinya.

Mungkin.

Memang selamanya ia hanya bisa jadi sahabat bagi Monic.

Saat melihat Monic dengan Yunho, ia sadar kalau hidup dan jarak itu lucu. Walaupun manusia terpisahkan jarak satu sentimeter kalo hatinya udah berubah semuanya akan percuma.

Yang berat dari jarak adalah saat hatinya yang berubah. Mingi sadar kalo hati Monic yang jauh dan membuat semuanya berubah.

Sagara membuka perlahan pintu kamar Samara dan dia bisa melihat kakaknya yang duduk didepan meja belajarnya dengan sebuah frame foto di tangannya dan musik yang terlalu familiar didengar oleh Samara itu mengalun dari laptopnya. Gak lama, Samara mengembalikan frame tersebut ke tempat semula dan mulai membenamkan wajah ke lututnya lalu tubuhnya terlihat bergetar.

Sagara menutup kembali pintu kamar kakaknya. Sagara tau ini bukan sekali dua kali kalau Samara menangisi seseorang karena merindukannya. Sagara juga tau betapa hancur Samara saat kekasih Samara pergi meninggalkannya, jadi ia meninggalkan kamar Samara untuk membiarkan Samara merindukan sang kekasih.


Sagara pertama kali melihat Keenan Jeong, kekasih Samara, itu saat ia baru pulang dari sekolah. Dengan ceria dan bahagianya, Samara mengenalkan Keenan padanya.

“Adek kenalin. Ini Kak Keenan, pacar kakak.”

Sagara melihat Keenan. Cowok tinggi dengan apple cheek yang menonjol itu emang sesuai dengan tipe ideal kakaknya. Wajar Samara memperkenalkan Kernan padanya dengan bangga.

“Halo, Sagara.” Sapaan Keenan membuyarkan Sagara. “Aku Keenan. Kamu mau panggil nama juga gak apa.”

“Panggilnya abang aja! Kamu lucu tau kalo dipanggil abang.” Sahut Samara.

“Kenapa gak kamu aja yang panggil aku abang?” Goda Keenan membuat wajah Samara memerah.

Sagara terkekeh melihat Samara yang blushing karena digoda oleh pacarnya itu. “Yaudah kalo gitu Adek naik ya. Silahkan pacaran ya, Kak, sama Abang Keenan.”

Keenan ketawa saat mendengar Sagara memanggilnya abang dan Samara cemberut karena Sagara ikutan menggodanya. Awal pertemuan Sagara dengan Keenan cukup memberikan kesan yang baik.


Sagara akhirnya melihat Samara dan Keenan berantem selama mereka berpacaran setahun lamanya. Sagara tau mereka berdua berantem karena suatu malam ia di telepon oleh kakaknya untuk minta jemput di salah satu cafe yang di dekat kampusnya.

Baru aja Sagara keluar dari mobil langsung di sambut oleh suara kakaknya yang sedang beradu argumen sama Keenan.

“Ya aku disini malem-malem juga buat ngerjain tugas!”

“Terus kalo kamu ngerjain tugas sampe malem gini pulangnya sama siapa? Kalo aku sibuk ngerjain laprak pulang sama siapa? Aku tuh khawatir!”

“Kamu gak percaya aku bisa pulang sendiri?! I’m 20 years old, Keenan!!!”

Samara yang melihat Sagara datang langsung menghentikan perdebatan. “Aku ada Saga yang bisa jemput aku, jadi kamu gak perlu khawatir sampe marahin aku didepan temen-temenku!”

Abis itu Samara masuk ke dalam mobil Sagara. Keenan menghela nafas melihat pacarnya membanting pintu mobil. Dia mendekati Sagara. “Sorry ya, Ga, lo jadi keluar malem-malem gini. Harusnya tadi gue langsung anter pulang dia.”

“Gapapa, Bang. Kebetulan belom tidur juga pas si Kakak nelpon. Lagian si Kakak emang suka gitu kalo dibilangin.”

Keenan mengulum senyum. “Thank ya. Titip dia ya kayaknya dia bakalan ngambek sama gue buat beberapa hari ini dan gak bakalan gangguin gue dulu.”

“Iya santai, Bang. Kayak sama siapa aja lo.” Lalu gak lama terdengar klakson mobil Sagara. “Kalo gitu gue cabut dulu ya. Liat tuh tuan puteri udah manggil-manggil.”

Keenan ketawa dan membiarkan Sagara untuk pulang. Untuk pertama kalinya Sagara melihat Samara dan Keenan berantem dan itu jadi bahan Sagara untuk menggoda kakaknya.


“Eh kapan nih kalian berdua nikah?” Tanya salah satu tante Samara saat Samara dan Keenan menghampiri untuk bersalaman di salah satu acara keluarga Samara. “Udah mapan juga kan. Cepet nikah aja. Jangan kelamaan pacaran.”

Samara mengulum senyum. “Doain aja ya, Tan. Aku sama Keenan masih nabung nih. Tapi semoga aja secepatnya.” Abis jawab gitu, Samara menarik Keenan menjauh.

Sagara yang melihat kejadian itu barusan, langsung menghampiri kakak dan pacarnya. “Ditanyain kapan nikah lagi ya, Kak?”

“Pusing deh Kakak tiap bawa Keenan ke acara keluarga ditanyain kapan nikah mulu!” Sungut Samara. “Nanti kalo udah nikah pertanyaannya ganti jadi ‘kapan nih punya anak?’ Gitu aja terus. Capek!”

Sagara dan Keenan ketawa ngelihat Samara ngedumel. Emang bukan sekali dua kali lagi Samara dan Keenan ditanya kapan menikah dan itu cukup bikin pusing Samara karena Keenan sendiri gak menunjukkan tanda-tanda ingin ke arah sana. Samara sih gak mempermasalahkan soal itu tapi pertanyaan-pertanyaan akan hal itu sering banget didenger semenjak Samara dan Keenan sudah 6 tahun menjalin hubungan.

Tapi hari ini Keenan dan sagara sudah merencanakan sesuatu. Dan rencana mereka jalankan saat Samara sibuk mengobrol dengan Chelsea, kekasih Sagara.

Jadi tanpa sepengetahuan Samara, Keenan dan Sagara bekerja sama untuk memberikan kejutan. Samara akan berulang tahun beberapa hari lagi tapi sayangnya Keenan ada pekerjaan keluar kota saat hari H ulangtahun Samara. Makanya dia minta bantuan Sagara untuk membuat kejutan buat Samara.

Sagara masuk ke dalam villa untuk mengambil gitar, sedangkan Keenan berada dekat panggung kecil yang menjadi tempat untuk sambutan dan penampilan-penampilan lainnya, menyiapkan 2 kursi dan juga sound system. Lalu gak lama Sagara muncul dengan gitarnya, dia langsung menyetel gitarnya.

“Test, test, test… sore semuanya! Maaf banget acaranya mau diganggu sebentar sama Keenan dan Sagara.”

Samara yang mendengar suara Keenan langsung menatap ke arah panggung kecil. Dia mengerutkan dahi saat melihat Keenan dan Sagara berada disana. “Kalian mau ngapain?!”

Keenan cuma tersenyum dan mengangkat alisnya seperti berkata, ‘kamu liat aja nanti.’

“Jadi Sagara sama Keenan baru aja bikin lagu bareng dan mau nyanyiin disini. Samara, this song we’ve made for you. Selamat ulangtahun ya. Aku kasih kadonya duluan soalnya aku gak bisa ikut kasih kejutan pas hari H karena harus jadi budak kantor.” Yang lain tertawa karena kalimat terakhir Keenan. Lalu Keenan memberikan kode pada Sagara untuk mulai memetik gitarnya.

Suara Keenan terdengar sangat pas dengan petikan gitar Sagara. Manisnya lirik lagu yang dinyanyikan oleh Keena membuat semua yang mendengar terhanyut dalam suasana. Samara sendiri udah terharu saat mendengarnya terlebih pas lirik yang berbunyi,

Oh my babe, why we are

So well suited to each other

We can be forever, maybe

Oh my lady, as if there is no tomorrow

We can love each other, maybe

Semua keluarga Samara bertepuk tangan saat Keena selesai menyanyikan lagu tersebut. Samara sendiri udah sibuk mengelap ujung matanya karena takut air matanya akan merusak make upnya hari ini. Keenan segera turun dari panggung dan menghampiri Samara.

“Aku masih ada hadiah lagi buat kamu.” Keenan mengeluarkan kotak beludru dari kantongnya dan dia berlutut didepan Samara. “Kita udah lama banget pacaran dan kamu gak pernah bahas soal kita yang bisa gak lanjut ke tahap selanjutnya padahal aku tau kamu mau banget nanyain itu apalagi banyak juga yang nanyain soal itu. Tanpa sepengetahuan kamu, aku udah izin ke Ayah dan Ibu untuk meminang anak perempuan satu-satunya ini. Dan mereka bilang semuanya terserah kamu karena kamu yang bakalan ngejalanin nantinya sama aku. Sekarang didepan semua keluarga kamu, aku mau nanya sama kamu. Samara Kim, will you marry me?”

Yang muda-muda menyorakkan, “Terima! Terima! Terima.” Sedangkan para orangtua tertawa kecil mendengarkan para anak dan keponakan mereka ramai-ramai bersorak.

Semuanya bertepuk tangan dengan meriah saat Samara mengangguk. Keenan tersenyum lebar dan segera menyematkan cincin ke jari manis Samara. Samara langsung memeluk Keenan setelah Keenan menyematkan cincin.

“Gak boleh cium-cium ya!” Celetuk Sagara saat Keenan dan Samara melepaskan pelukan mereka. Samara melirik tajam adiknya itu dan membuat semuanya tertawa.

Abis itu dia turun dan menghampiri Samara untuk memberikan selamat pada kakaknya. Sagara lagi-lagi ada disana menjadi saksi kisah perjalanan Samara dan Keenan.


“Bang Keenan pulang kan lusa? Yaudah tungguin aja sih!”

“Gak bisa, Dek, soalnya ini udah dua kali Kakak reschedule buat ketemu vendor catering. Ayo sih anterin Kakak. Kamu juga gak ada kemana-mana ini. Kan Chelsea juga lagi ke Milan.”

“Yaudah ayo deh. Tapi pake mobil Kakak ya!”

Samara langsung sumringah. “Beres itu mah! Yaudah mandi sana.”

Sagara pun langsung masuk kamarnya untuk mandi. Barusan Snara minta diantar buat ketemu vendor catering untuk pernikahannya. H-30 menjelang pernikahannya, Samara masih direpotkan dengan vendor catering karena belum ketemu yang cocok. Pertemuan dengan vendor catering harusnya dilakukan dari dua hari lalu tapi sayangnya Keenan mendadak ada pekerjaan ke Singapore dan Samara juga ada meeting di kantornya jadinya Samara mereschedule pertemuan jadi hari ini tanpa Keenan karena gak enak udah reschedule 2 kali.

Mereka berdua akhirnya tiba di daerah Cempaka Putih, tempat vendor catering. Alasan kenapa Samara mengajak Sagara untuk ketemu vendor catering karena selera Sagara itu sama kayak Keenan. Jadinya Samara gak perlu repot-repot untuk food-tester berulang kali.

Satu jam lamanya mereka food-tester, akhirnya Samara memutuskan untuk memakai vendor catering yang ini dan segera melakukan pembayaran. Setelah selesai, mereka langsung pulang.

Saat di mobil, Samara ngecek ponselnya yang selama satu jam tadi dia taruh di dalam tas. Dia mengerutkan dahi saat melihat banyaknya misscall dari Mamanya Keenan. Baru Samara hendak menelepon balik, Mama Keenan kembali menelepon.

“Halo, Ma, maaf tadi hape aku silentsoalnya lagi food-tester. Ada apa, Ma?”

“Sayang, kamu bisa nyusul ke Singapore sekarang?”

“Lho ada apaa, Ma?”

Terdengar suara sengau dari sebrang sana. “Keenan kecelakaan saat mengunjungi lokasi proyek dan dia terjatuh dari tingkat tiga gedung yang sedang dibangun.”

Jantung Samara seolah berhenti seketika mendengar kabar tersebut. Telinganya juga berdenging membuatnya mendadak tidak bisa mendengar apa-apa. Sagara langsung menepikan mobilnya saat melihat tangan Samara yang memegang ponsel terkulai lemas dan segera mengambil alih panggilan tersebut karena Mama Keenan memanggil Samara berulang kali.

“Kak, you’re okay?

Samara bahkan gak bisa berpikir bahkan saat Sagara sudah selesai dengan Mama Keenan dan bertanya dengannya.

“Kak, fokus!” Sentak Sagara dan membuat Samara tersadar. “Sampe rumah langsung siap-siap. Adek temenin Kakak nyusul ke Singapore.”

Sagara mengendarai mobilnya dengan cepat agar segera sampai rumah. Sesampainya dirumah, Sagara langsung menggiring Samara ke dalam kamarnya. Membantu Samara untuk packing. Kesadaran Samara sudah kembali sesaat mereka sampai di rumah. Mereka berdua siap untuk berangkat 30 menit setelahnya.

Orang rumah Samara pun sudah mendengar kabar ini karena setelah telepon dari Mama Keenan, Sagara segera menelepon ibunya. Ibunya juga membantu memesankan tiket pesawat untuk Sagara dan Samara.

Sagara bingung karena kakaknya terbilang tenang walaupun sempat shock. Dia mengira Samara akan menangis tersedu-sedu saat mendengar kabar kecelakaan Keenan. Sampai mereka saat menginjakkan kaki di rumah sakit tempat Keenan di rawat, Samara masih terlihat tenang.

Saat bertemu dengan orangtua Keenan, Samara hanya diam dan mendengarkan penjelasan akan keadaan Keenan. Lalu gak lama muncul Yoseph Kang, salah satu teman SMA Keenan saat di Singapore.

“Tante, aku sudah konsultasi dengan temanku di Hopkins dan maaf sebelumnya tapi sepertinya Keenan tidak bisa terbisa bertahan lama. Luka di kepalanya cukup serius dan Keenan harusnya sulit bertahan kurang dari 12 jam tapi sudah lewat 24 jam dan dia masih bertahan. Mungkin alasan kenapa Keenan bertahan karena dia menunggu seseorang.”

Mama Keenan kembali menangis tetapi tidak sehisteris saat dia datang melihat keadaan Keenan pertama kali. Mama Keenan melihat Samara yang duduk terpaku mendengarkan penjelasan Yoseph tadi, segera menghampiri Samara.

“Sayang… sepertinya Keenan menunggu kamu. Kamu mau menemuinya?”

Cukup lama sebelum akhirnya Samara mengangguk. Yoseph pun mengajak Samara untuk mengikutinya ke dalam ruang rawat Keenan. Sebelum meninggalkan Samara, Yoseph menyampaikan sesuatu.

I’ve heard a lot about you from Keenan, Samara. You’re the only one he loves the most for his entire life. I know it’s hard for you but can you let him go? I’m sorry for asking you much but we both know that he can’t survive.

Samara tersenyum samar. “I know. And thankyou for on his side since he’s here, Yoseph. I really appreciate it.”

Yoseph mengangguk dan meninggalkan Samara. Samara menghampiri Keenan. Samara melihat banyaknya selang dan kabel yang menempel di tubuh Keenan. Dengan susah payah, Samara mengalihkan pandangannya ke arah mesin-mesin yang menunjukkan kondisi vital Keenan. Dia gak mengerti sebagian besar mesin itu tetapi matanya terpaku pada monitor yang menunjukkan detak jantung Keenan. Monitor menampilkan garis tidak teratur. Jantung Keenan masih berdetak. Keenan memang masih hidup.

Wajah Keenan tidak terlihat jelas karena perban dan masker oksigen. Mata Keenan terpejam. Dia telihat tenang dan seperti orang tertidur. Samara menggenggam tangan Keenan.

Seketika mata Samara memanas saat menatap wajah Keenan. “Keenan… ini aku… aku datang, Keen.”

Jari-jari Keenan bergerak sesaat setelah mendengar suara Samara. Hal itu membuat air mata Samara menetes dan mengenai tangan Keenan. “Keenan, kamu bisa denger aku?” Lalu jari Keenan kembali bergerak sebagai jawabannya.

Samara mulai terisak. “Keenan maaf aku dateng-dateng nangis. Padahal kamu paling gak suka liat aku nangis. Janji ini terakhir kalinya aku nangis. Aku janji.”

“Makasih Keenan udah hadir di hidup aku. Aku bersyukur pernah memiliki dan dimiliki sama kamu, Keen. Kamu pernah bilang kalo kamu paling suka kalo aku ngomong ‘aku sayang kamu’ daripada ‘i love you’.” Dengan nafas tersenggal-senggal, Samara melanjutkan ucapannya. “Aku sayang kamu, Keenan. Aku baik-baik aja kalo kamu harus pergi. Jadi, kamu bisa istirahat dengan tenang. Kamu pasti kesakitan nungguin aku. Aku baik-baik aja, kamu jangan khawatir. Banyak yang sayang sama aku kayak kamu sayang ke aku. Aku juga selalu sayang kamu.”

Begitu Samara menyelesaikan kalimatnya, terdengar bunyi panjang dan datar yang membuat bulu kuduknya meremang. Ia menatap monitor penunjuk detak jantung dan hanya ada garis lurus yang terlihat disana.

Segalanya seperti bergerak lambat. Samara menatap wajah Keenan yang masih tenang seperti sebelumnya.

Sebelum Samara sempat berpikir, pintu kamar terbuka dan orang-orang berbaju biru dan juga berjas putih menerobos masuk dan ada Yoseph diantaranya. Samara bahkan gak menyadari kalau dirinya ditarik Sagara menjauh dari ranjang. Sosok Keenan menghilang karena kerumunan orang-orang tersebut.

Sayangnya, usaha mereka sia-sia. Monitor penunjuk detak jantung Keenan tidak berubah. Para dokter dan perawat tidak dapat menyelamatkan Keenan seperti yang Yoseph perkirakan sebelumnya.

Samara merasakan tubuh adiknya gemetar. Sagara menangis. Samara juga melihat Mama Keenan yang menangis memeluk tubuh Keenan. Samara membenamkan wajahnya di dada Sagara dan menangis bersama Sagara. Dan hari itu Sagara tau kalau Samara kehilangan separuh jiwanya.


“Kak, Adek mau menikah sama Chelsea.” Ujar Sagara hati-hati. “Kakak gak masalah Adek langkahin?”

Suasana meja makan menjadi hening karena pernyataan dan pertanyaan Sagara. Sudah 3 tahun berlalu sejak kepergian Keenan dan semua orang masih berhati-hati membahas pernikahan di depan Samara.

Hal itu wajar dilakukan oleh keluarganya mengingat betapa hancurnya Samara saat kepergian Keenan saat itu.

“Akhirnya kamu nikahin Chelsea juga. Kakak gak masalah dong mau dilangkahin kamu. Kan emang udah waktunya kamu menikah. Kakak beneran gak masalah kok.”

“Kakak beneran gapapa?” Tanya Sagara memastikan.

“Iya, Adek… Kakak gak masalah. Dan kakak juga udah gak berlarut akan kehilangan dia. Ya emang masih suka kangen sampe bikin nangis sih tapi it’s totally fine! Kalo Chelsea kesini kabarin Kakak ya. Kakak mau ngucapin selamet langsung ke dia.”

Sagara langsung memeluk kakaknya. “Makasih ya, Kak. Makasih banyak. Aku doain Kakak untuk selalu bahagia.”

Dalam hatinya Samara mengamini doa tersebut. Semoga dirinya bisa bahagia seperti yang dirasakan oleh adiknya itu.