crackiss

I write anything that come to my head

Satu alasan
pandang mata

tw // insecurities , bullying


Ah, Hinata benci. Pada pandang mata yang mencari salah dalam diri. Pada pandang mata yang terus melirik, mencari titik kurang yang sebesar lubang hitam. Ah, ia benci bagaimana tatap mata itu menelan dirinya bulat-bulat tanpa ingat untuk dimuntahkan.

“Kamu nyari apa sih? Duitmu jatuh?” Suara serak itu masuk dalam pendengaran, membuatnya menoleh dengan senyuman. Tangan besar di bahunya membuat ia merasa lebih aman. “Gak usah dicari lah, nih aku kasih aja.”

Tangannya diraih, digenggam dengan sebatang permen yang ditinggal. “Permen aja tapi, duitku belum turun.”

Tawa kecil terdengar dari bibir Hinata. Tangannya masuk ke dalam saku untuk menyimpan permen stroberi favoritnya. Si rambut cokelat tersenyum, senang melihat kekasihnya sudah tak menunduk. “Jadi 'kan kita ke dofun?”

“Eh? Jadi? Emang mau kapan?”

Oikawa Tooru menarik ujung bibirnya. “Kapan aja kamu mau. Atau mau ke Dunia Laut aja? Kamu bilang mau ke sana 'kan?”

“Hm, tapi Kak Omi gak suka ke sana. Katanya bau laut.” Decakan terdengar, sempat-sempatnya khawatir ke Sakusa Kiyoomi di saat begini.

“Shoy,” panggilan sambil menyandarkan kepalanya di milik Hinata. “Jangan pikirin yang lain dulu. Aku mau tau kamu maunya gimana? Maunya ke mana? Gak usah pikirin orang lain dulu karena aku nanyanya kamu.”

Keduanya berhenti di sisi kelas Hinata. Si rambut oranye mendongak dengan mata berkilat, “Kak, kita 'kan jalannya bareng-bareng mana bisa cuma mikirin soal aku?”

Oikawa hanya bisa menghela. Ingin menyela, namun tahu akan kalah. Hinata dan keras kepalanya. Selama ini selalu begitu. Kadang, Oikawa ingin agar kekasihnya egois. Untuk meminta lebih banyak dibandingkan menerima apa adanya. Tangannya bersandar di bahu, dengan napas terhela panjang. “Sho, kalau ada apa-apa,” ujarnya sambil mengusap pipi Hinata dengan ibu jari. “Bilang ya? Ngomong ke aku, atau ke si Atsumu sama Omi juga gak apa. Plis, cerita ya? Jangan pendem sendiri.”

Inginnya Oikawa bertanya perihal tweet semalam. Namun, ia tak bisa. Mulutnya memilih tertutup, diam sebab takut. Takut jika salah kata akan menyakiti lebih dalam. Takut menghadapi kenyataan jika Hinatanya tahu perihal kebencian yang diarahkan. Oikawa takut, tak ingin melukai.

Hinata menarik dua ujung bibirnya, “iya Kak. Aku kelas dulu ya. Ketemu nanti.”

Oikawa mengangguk. Menatap Hinata sampai duduk di bangkunya kemudian baru kembali ke fakultasnya. Di tempatnya, Hinata kembali menunduk, membenamkan wajahnya dalam lekuk tangan hingga dosen masuk dan kelas di mulai.

Pandang mata dengan bisik tak mengenakan masih terdengar. Terlalu berisik, hingga ia sulit fokus. Hinata menggeleng pelan, memilih fokus pada penjelasan dosen. Ia tak ingin terpengaruh lebih jauh, sebab satu yang ia yakini adalah mencintai bukan kehendaknya pun tak pernah menjadi kesalahannya. Meski berkali meragu, namun tak pernah ia ingin untuk berhenti. Sebab, melepaskan tiga kekasihnya terlalu berat. Ia terlalu menyayangi hingga membiarkan dirinya terluka.


Demi Shoyo

Rating: Teen Tag: Comedy, fluff, romance, collage AU, harsh words, local AU, Hinata Harem.

COMMISIONED FIC

Ruang tengah terasa seperti medan pertempuran saat ini. Ryunosuke dan Shimizu Tanaka menatapnya ke arah putranya datar. Meski sudah hampir musim panas, namun udara di ruang tengah malah terasa dingin mencekam. Tangan Ryunosuke bersedekap di depan dada, menatap ke arahnya datar. “Ayah dengar kamu tiap hari dianterin cowok? Siapa? Kata tetangga tiap hari dianterin sama orang yang beda? Kok gak cerita?”

Tanaka Shoyo menunduk. Takut menatap orang tuanya. Shimizu di samping Ryunosuke menghela napas, menyentuh pundak suaminya kemudian berdeham. “Shoyo, gak ada yang salah kok kalau salah satu dari mereka itu pacar kamu. Kami cuma mau nanya mereka siapa? Ada hubungan apa sama anak kesayangan Bunda.”

Mendengar ucapan Shimizu yang lembut membuat putranya perlahan menaikkan kepalanya, memberanikan diri menatap kedua orangtuanya. “Shoyo jawab, tapi janji dulu, Ayah sama Bunda gak akan marah.”

Matanya menatap penuh permohonan. Shimizu menahan tangan suaminya saat ingin memotong, terlebih saat menyadari putranya tersentak penuh ketakutan. “Iya, janji gak akan marah.”

Shoyo kembali mendongak, kali ini menatap Ryunosuke. “Ayah?” Lirihnya pelan.

Mendengar itu membuat Ryunosuke menghela napas dan menurunkan tangannya di atas paha. Ia menghela napas, kalau sudah diminta dengan tatapan penuh permohonan seperti itu mana bisa ia menolak. “Iya, janji Ayah gak marah.”

Perlahan Shoyo menegakkan punggungnya. Matanya menatap lurus pada orang tuanya. “Mereka pacar Shoyo.”

“Mereka?” Ulang keduanya kemudian saling menatap heran. Shimizu berdeham, kembali menatap putranya. “Kata jamak? Semuanya?”

Shoyo mengangguk. Rambut oranyenya bergerak naik turun, “iya. Semua. Kak Tooru, Kak Omi, sama Kak Tsumu! Pacar Shoyo semua!”

Ryunosuke secara refleks langsung menyandarkan tubuhnya di sofa sambil memegang lehernya. Tiba-tiba ia sakit kepala. Shimizu yang pusing. Ryunosuke tentu kaget dengan kenyataannya putranya punya tiga orang kekasih, lebih-lebih mereka juga lelaki. Tidak. Abaikan gendernya, ini tentang jumlahnya. “Kamu ya—”

Mulut Ryunosuke ditutup dengan tangan istrinya yang menatap tajam. Istrinya menggeleng, membuat Ryunosuke kalah. Ia tahu jika tak mengikuti permintaan istrinya hanya akan berakhir dengan perang dingin dengan putranya.

“Sudah berapa lama, Sho?”

Shoyo diam, jarinya bergerak mulai menghitung. “Kalau sama Kak Tooru udah mau setahun. Kalau sama Kak Omi sama Kak Tsumu masing-masing tujuh bulan. Mereka gak mau kalah soalnya.”

Kepala Ryunosuke makin sakit. “Terus Tooru-Tooru ngebolehin kamu?”

Sekali lagi putranya mengangguk dengan semangat. “Iya! Kata Kak Tooru asal aku senang gak masalah. Meskipun sering berantem sih mereka.”

“Hah.” Ryunosuke merasa ini tak masuk akal. Pinggangnya dicubit oleh Shimizu, memperingati untuk tak bicara sembarangan. “Ok. Kalau gitu bawa mereka ke sini. Ayah mau ketemu. Kalau mereka gak berani ketemu Ayah, putusin.”

Seakan ada suara palu dipukul, ucapan Ryunosuke adalah absolut. Ayahnya pergi setelah mengucapkan titah itu. Tak bisa dibantah, meski Shoyo menatap ke arah Bunda dengan tatapan memohon.

Shimizu hanya menghela napas sambil berdiri. “Ikutin aja dulu Sho. Nanti baru kita cari cara ya?”

Hanya helaan napas Shoyo yang tersisa dalam ruang keluarga itu.


Kebiasaan si rambut oranye ketika gusar adalah mengigiti ujung ibu jarinya. Berulang hingga memerah. “Jangan digigitin.” Sakusa Kiyoomi menghampiri sambil menyentuh jari Shoyo. Hari ini ia menggunakan kemeja biru muda dengan rambut ikalnya yang turun sebatas alis. Jemarinya masih menyentuh milik Shoyo, menatap goresan di sana. Dengan santai ia mengeluarkan tisu, membersihkan luka, dan menutupnya dengan plester luka. “Sampai berdarah.” Gumam Sakusa tak suka. Jarinya mengusap plester dan membawa ibu jari Tanaka untuk dikecup. “Kamu lagi kenapa? Ada masalah?”

Shoyo diam sejenak, menimang dalam beberapa waktu sebelum bercerita. Jemarinya masih digenggam oleh Kiyoomi—yang ia tatap untuk beberapa saat—tak lama kepalanya terjatuh di pundak kekasihnya. “Kak, kemarin aku berantem sama Ayah sama Bunda.”

Kiyoomi tak memotong, juga tak bertanya. Ia masih menunggu sampai Shoyo melanjutkan. Jemari Shoyo berputar di telapak tangan Kiyoomi. “Ada tetangga yang nanya ke Ayah siapa yang sering nganterin aku, terus kenapa orangnya ganti-ganti juga.” Shoyo diam, mendongak untuk menatap mata kekasihnya. Tak lama, ia kembali menunduk dan memutar telunjuknya di telapak tangan Kiyoomi. “Terus kemarin akhirnya aku jujur. Kalau yang nganterin aku tuh pacar aku. Jadi, Ayah tahu kalau pacar aku ada tiga.” Putaran di telapak tangan Kiyoomi berhenti. Jemari Shoyo diletakkan di atas telapak Kiyoomi, yang tak lama digenggam erat.

“Terus apa yang bikin kamu sedih?” Perlahan Kiyoomi bertanya, jemarin Shoyo dalam genggamannya diusap lembut.

Shoyo tak langsung menjawab, malah menenggelamkan wajahnya di bahu Kiyoomi. Wajah Ayah yang kemarin terlihat marah dan datar kembali dalam ingatannya. Shoyo masih takut, terlebih dengan ancaman Ayah. Kiyoomi yang paham hanya mengusap punggung Shoyo, menenangkan hingga kekasihnya siap bercerita. “Kak, aku takut.” Lirih Shoyo pelan. Jemarinya meremas telapak tangan Kiyoomi, ia melanjutkan sambil menunduk. “Ayah bilang buat bawa pacar aku ke rumah. Artinya Kakak, Kak Tooru, sama Kak Tsumu harus ketemu Ayah. Terus kata Ayah kalau gak berani ketemu disuruh putusin.”

Mata Shoyo merah, menahan tangis. Pipinya langsung ditangkup dengan jemari Kiyoomi. Dihapusnya air mata yang baru turun dengan lembut, “Ssh, jangan nangis. Jangan khawatir, kalau itu yang Ayah mau, aku siap kok ketemu. Lagian, kenapa sedih? Kalau yang lain gak mau ya udah, kamu berarti sama aku aja.”

“Kak Omi!” Rengek Shoyo sebal. Kiyoomi malah tertawa dan memeluk kekasihnya erat, “jangan khawatirin hal yang belum terjadi, Sho. Lagian rasa sayang kami pasti bakal menang kok. Jangan khawatir.”

Dalam pelukannya, Shoyo mengangguk pelan. “Bantuin aku ngomong ya ke Kak Tooru sama Kak Tsumu?”

Matanya berbinar, penuh permohonan. Mau tak mau Kiyoomi mengangguk, sekali lagi air mata Shoyo diseka. “Iya, aku bantuin.” Ujarnya manis sambil menghapus ujung mata kekasihnya. Setelah itu rambut oranye Shoyo disentuh, dirapikan dengan jari. Kiyoomi berdiri dengan tangan terulur, “yuk, aku anter kamu kelas dulu.”

Shoyo mengangguk, meraih jemari Kiyoomi. Keduanya melangkah bersama, beriringan dengan ringan. Sampai di depan pintu kelas Shoyo, Kiyoomi kembali merapikan rambut dan pakaian yang lebih kecil. Pipi Shoyo pun kembali ia usap, “jangan terlalu dipikirin, abis ini aku ngomong sama Tooru sama Miya juga. Abis kelas kita ketemu di tempat biasa, ok?”

Anggukan kecil diberikan. “Oke, tunggu aku ya.”

Sudut bibir Kiyoomi terangkat, “iya. Sana kelas dulu.”

“See you, Kak.”

“Fokus belajarnya.”

“Siap!” Shoyo dengan senyum lebar memberikan hormat pada Kiyoomi. “Dadah!” Pamitnya sambil masuk ke kelas. Kiyoomi masih berdiri di depan pintu hingga Shoyo melambaikan tangan dari tempat duduknya. Setelah itu barulah ia memutar tubuh dan melangkah keluar gedung Ilmu Politik.

Langkahnya mengalun pelan dengan ponsel di tangan. Nama Atsumu ada di sana, sedang terhubung dalam panggilan yang dijawab tak lama kemudian. “Miya, di mana?”

Kantin, kenapa? Tumben ba—

“Telfon Tooru, ketemu di tempat biasa.” Kiyoomi memotong tanpa alasan panjang.

Atsumu di tempatnya mendengus, sebal. “Telfon sendiri don—

“Telfon, ini soal Shoyo. Gue tunggu di tempat biasa pokoknya. Jangan lama-lama.”

Klik.

Panggilan ia tutup sepihak dengan Atsumu yang memaki kesal di tempatnya. Meski demikian, Atsumu tetap melakukan hal yang disuruh. Hanya butuh sepuluh menit untuk tiga pacar Shoyo berada di meja yang sama. Kiyoomi memimpin pembicaraan dengan earl grey tea di cangkir putih. Ia menatap Tooru dan Atsumu yang menatapnya sebal.

“Ngapain sih nyuruh ketemu? Mana gak ada Shoyo.” Celoteh Tooru sebal. Ia menatap Kiyoomi tak sabaran, “Cepat, Kiyoomi Kiyoomi, gue males liat lo lama-lama.”

“Ye, lo pikir gue demen lama-lama sama lo? Gue juga mager lama-lama satu ruangan sama kalian.” Atsumu menambah dengan ketus tanpa melihat wajah keduanya.

Cangkir putihnya ditaruh di atas meja, menatap keduanya bergantian. “Ayah Shoyo minta ketemu.”

Seakan ada angin dingin yang menerpa kedua lelaki di depannya langsung tutup mulut. Secara tiba-tiba mereka langsung duduk dengan formal. Punggung tegak, tangan dilipat di atas meja. “Ayah Shoyo?” Ujar keduanya bersamaan.

Atsumu langsung menoleh ke Tooru yang juga menatap ke arahnya. Sudah jadi rahasia umum jika Ayah dari Tanaka Shoyo adalah pejabat tinggi di tingkat salah satu angkatan militer. Pangkatnya Jenderal kalau mereka tak salah mengingat. Itu juga yang jadi alasan Shoyo selalu meminta diturunkan di depan gang, bukan depan rumah. Shoyo masih belum berani membawa mereka ke rumah, menjadikan hubungan ketiganya bersembunyi dalam bayangan.

Kiyoomi paham saat melihat wajah keduanya. Ia menyatukan kedua tangannya dan ditaruh di atas lututnya. “Ayah Shoyo bilang, kalau gak berani langsung putusin aja. Gue gak masalah sih kalau kalian mau mundur, ‘kan jadinya Shoyo jadi milik gue seutuhnya. Gak perlu deh gue harus berantem sama lo berdua. Gak perlu juga—”

“Diem ya, Sakusa Kiyoomi.” Potong Tooru tajam. “Gue gak bilang gak mau. Gue mau kok. Enak aja gue nyerah sama Shoyo karena gak berani ketemu calon mertua.” Ada kepercayaan diri dan rasa tak mau kalah dalam suara Tooru.

Kiyoomi hanya mengangguk, tak tertarik. Matanya beralih menatap si rambut pirang di hadapannya. “Lo gimana? Kalau gak mau ketemu mending cabut sekarang biar gak ketemu Shoyo.”

Decakan terdengar dari bibir Atsumu. “Kata siapa gue gak mau ketemu? Enak aja. Gue mending ketemu Ayahnya Shoyo dibanding harus nyerah sama hubungan ini.”

Kiyoomi mengangguk singkat, paham dengan keputusan keduanya. “Oke. Gue gak tau apa yang bakal terjadi, tapi gue rasa di antara kita gak ada yang mau ngalah. Makanya kita harus bisa ngebuktiin ke Ayah Shoyo kalau kita sayang sama anaknya.”

Anggukan kecil diberikan dari Atsumu dan Tooru. Getaran di ponsel ketiganya membuat mereka terdiam. Nama Shoyo ada di sana, mengabari bahwa ia akan tiba sebentar lagi. “Atur muka lo, jangan bikin Shoyo khawatir.” Kiyoomi memperingatkan dengan ekspresi datar, penuh ketidaksukaan. “Shoyo udah susah karena masalah ini sampai tadi dia nangis. Jadi jangan bikin dia makin susah.”

“Tsk, iya paham.” Balas Atsumu sementara Tooru tak membalas, hanya diam.

Tak lama pintu kafe terbuka dan ketiga menoleh bersamaan. Ada Tanaka Shoyo yang tersenyum lebar dan melambai ke arah mereka. Tanpa perlu Kiyoomi beritahu, sebenarnya mereka sudah bisa melihat bekas merah di sudut matanya. Jantung Tooru dan Atsumu terasa diremat pelan, membuat keduanya langsung memeluk Shoyo juga mengusap puncak kepalanya.

“Kakak, udah denger dari Kak Omi?” Ucap Shoyo sambil menatap Atsumu dan Tooru bergantian. Jarinya bertemu, ujung kuku menekan ujung jari telunjuknya. “Maaf ya, Shoyo nyusahin.”

Atsumu buru-buru menggeleng sementara Tooru meraih jemari kekasihnya, menghentikan kebiasaan buruk kekasihnya. “Tangan kamu nanti luka,” ujar Tooru sambil menggenggam jemari Shoyo.

“Kamu gak nyusahin,” tambah Atsumu. “Lagipula, memang udah waktunya ketemu Ayah. Maaf kami terlambat ketemu Ayah.”

Tooru mengangguk, memberikan tatapan lembut. “Gak apa, kita bisa ketemu Ayah juga bisa ngobrol pelan-pelan. Kami gak akan pergi.”

Mendengar itu membuat Shoyo meraih lengan Atsumu dan Tooru dalam satu waktu. “Makasih ya, Kak Atsumu, Kak Tooru juga.” Ia melirik kedua, bergantian.

Ponsel di saku Shoyo tiba-tiba berdering, membuatnya buru-buru mengeluarkan ponsel. Nama kontak di atas layar membuatnya menatap tiga kekasihnya bergantian. “Ayah,” lirihnya sebelum menekan ikon hijau.

“Halo Ayah,” sapa Shoyo pelan. Ketiga kekasihnya saling menatap, tiba-tiba merasa dingin di punggung. Punggung menegak, tangan ditaruh di atas lutut sambil menatap Shoyo kikuk. Rasanya seakan mereka tak boleh menatap sang kekasih sendiri terlalu lama. “Hah? Ayah, aku masih mau ngo— iya. Iya, Shoyo pulang. Iya, ini jalan ke parkiran. Ya udah, Shoyo tutup.”

Panggilan terputus dan ia menatap tiga kekasihnya, sekali lagi bergantian. “Kak, Ayah di parkiran, mau jemput aku.”

Glek.

Ludah ditelan secara paksa. Rasanya kering dan tak nyaman. “Aku duluan kalau begitu.” Pamitnya.

Tooru yang pertama kali bangkit, “A—aku temenin Sho.” Ujarnya sambil mengulurkan tangan.

Dua sudut bibir Shoyo terangkat, senang. “Asik!”

Senyuman Shoyo seakan mengundang Atsumu dan Kiyoomi untuk ikut berdiri. “Aku anterin juga.” Ujar keduanya bersamaan, membuat senyum Shoyo semakin lebar.

Ah, cantik sekali. Sangat menyilaukan. Kalau seperti ini, bagaimana bisa mereka menyerah? Bahkan meski seseorang itu adalah pejabat tinggi di kemeliteran sekalipun. Pasti akan mereka cari jalannya.

Ketiganya mengikuti Shoyo sampai di parkiran, tepatnya di depan mobil jeep hitam dengan pintu terbuka. Di tempatnya ada Ryunosuke dengan kacamata hitam. Ia turun dari mobil saat melihat putranya. Jarak mereka hanya setengah meter dan secara refleks, tiga pacar Shoyo langsung melakukan posisi istirahat di tempat. “Sore Om,” sapa ketiganya bersamaan.

“Siapa kalian?” Jutek Ryunosuke sambil menarik putranya mendekat.

Shoyo tersenyum simpul, “Yah, ini pa—”

“Kamu masuk ke mobil, Sho.” Ujar Ryunosuke datar, “Mereka bisa mengenalkan diri sendiri.”

Shoyo diam, pipinya mengembung kesal. “Ayah!”

“Shoyo. Masuk ke mobil.” Ulang Ryunosuke tajam. Shoyo menoleh pada tiga kekasihnya yang hanya mengangguk, seolah mengatakan semua akan baik-baik saja.

“Gak apa Sho,” Tooru akhirnya berujar pelan yang diangguki Atsumu dan Kiyoomi.

“Tanaka Shoyo. Masuk ke mobil. Sekarang.” Sekali lagi Ryunosuke mengulang ucapan, kali ini dengan penuh penekanan. Berakhir dengan Shoyo yang melangkah dengan kaki menghentak ke tanah kencang-kencang.

Setelah terdengar suara pintu yang ditutup luar biasa kencang, Ryunosuke menatap tiga laki-laki di depannya bergantian. “Saya tadi udah nanya kalian siapa kok gak ada yang jawab?”

“Oikawa Tooru, Om.” Tooru berujar dengan suara cukup kencang.

Ryunosuke menutup telinga, “kamu mau bikin orang-orang sakit telinga?”

“Maaf Om,” Tooru mau tak mau menunduk, penuh rasa bersalah.

Ryunosuke kemudian menunjuk ke arah Kiyoomi dengan dagunya. Menbuat si rambut keriting menghembuskan napas sebelum menjawab. “Sakusa Kiyoomi, Om.” Suaranya tenang dan datar.

“Kamu yang rambutnya kaya partai. Siapa?”

“Uh, Miya Atsumu Om.” Balas Atsumu dengan suara bergetar, jelas ia agak takut sebab diplototi Ryunosuke. Setelahnya ia malah langsung menunduk.

Ryunosuke maju, menatap ketiganya bergantian. Jarak antara mereka hanya satu langkah. “Kalau saya bisa, saya maunya nembak kepala kalian dan membuangnya di hutan. Tapi, Shoyo akan sedih, jadi besok pukul tujuh di kolam renang kota. Saya tunggu. Jangan bilang Shoyo.”

Glek.

Ludah sekali lagi ditelan dengan susah payah. Ryunosuke berbalik, sebelum melangkah ia menoleh sedikit. “Kalau gak datang, jangan pernah deketin anak saya lagi.”

Anggukan robot diberikan dan sampai jeep hitam keluar dari parkiran, ketiganya masih dalam posisi yang sama—posisi istirahat di tempat. “Kaki gue lemes,” Tooru langsung berlutut, benar-benar lemas.

“Menurut lo, besok kita bakal ditenggelamkan atau dikubur?” Racauan Atsumu mulai aneh-aneh.

Kiyoomi menggeleng, “gak tau. Dateng aja dulu.”

“Matinya belakangan.” Lanjutan dari Tooru tak dibantah.

Glek.

Sekali lagi ludah ditelan.

Hari esok, biar diserahkan pada semesta. Semoga setelahnya mereka masih hidup.


“Kok gue mual ya?” Atsumu menutup mulutnya dengan wajah pucat. Di sampingnya Kiyoomi menatap ke arahnya dengan tatapan jijik. “Sumpah perut gue mules banget.”

“Gak usah lebay deh Tsum.” Decakan kesal terdengar dari Tooru. Lelaki berambut cokelat itu berkata demikian dengan kaki tangan yang bergetar. Hanya Kiyoomi yang wajahnya terlihat begitu tenang, meski jantungnya berdegup kencang.

Ketiganya berdiri dengan kerisauan masing-masing di parkiran kolam renang. Mereka masih menunggu untuk Ryunosuke sampai. Pukul 6:55 mobil jeep hitam tiba dan berhenti di depan mereka.

Glek.

Ditelan ludah mereka bersamaan dengan susah payah. Tak lama setelahnya orang yang mereka tunggu turun. Kacamata hitam, topi hitam, dan kaus hitam. Sekali lagi ludah ditelan dengan susah payah, rasanya gugup sekali melihat Ryunosuke di depan wajah mereka. Kacamata dilepas, menatap ketiganya dari atas sampai bawah. “Biasanya berapa lama kalian olahraga?” Sebelum dijawab, ia menunjuk Tooru. “Kamu gak perlu jawab, saya tahu kamu gak olahraga.”

Mulut pemuda Oikawa itu membuka dan menutup dengan tangan yang terhenti di udara. Tidak salah, tetapi tetap melukai harga dirinya. Berakhir dengan Tooru yang menutup rapat mulutnya.

Atsumu mengusap lehernya, entah kenapa kalau ia melebih-lebihkan sama saja seperti ia menggali kuburnya sendiri. “Saya biasanya setiap hari lari lima kilo, Om.”

“Hm, kamu keriting.” Lanjut Ryunosuke.

“Saya biasanya jogging sama push up selama dua jam Om.”

Ryunosuke mengangguk, mendengar itu Tooru mengangkat tangan. Ia tak mau kalah, “Om! Saya tiap Jumat ikut poco-poco bareng dosen Om!”

Di tempatnya, Atsumu dan Kiyoomi menahan tawa. Sementara Tooru masih dengan dada yang terbusung tinggi penuh rasa bangga. Ryunosuka tak membalas, malah berbalik dan melangkah menuju pintu masuk. Atsumu melepas tawanya dan menatap Tooru meledek, “Harusnya lo diem aja.”

“Gue sebenernya males setuju sama Atsumu, tapi karena kali ini tumben dia bener, jadi gue setuju.” Punggung Tooru ditepuk pelan oleh Kiyoomi sementara ia melangkah melewati si rambut cokelat yang menahan kesal. Tetapi, ya mau bagaimana lagi? Kenyataannya memang seperti itu, makanya ia tak bisa marah. Berakhir dengan ia yang melangkah dengan penuh amarah, melampiaskan pada tiap langkah yang diambil. Hingga mereka masuk ke dalam kolam renang dan ternyata hanya ada mereka. Setelah mereka masuk, gerbang ditutup dan dikunci.

Glek.

“Anjir, ini kalo kita kenapa-napa gak ada yang tau,” bisik Atsumu pada Tooru yang mengangguk. Hanya Kiyoomi yang melangkah santai sampai mereka berada di depan ruang ganti dan Ryunosuke berhenti.

“Kalian ganti baju, saya tunggu di sini. Jangan lama-lama.” Kata Ryunosuke sambil menatap sinis.

Ketiganya mengangguk dan buru-buru berganti pakaian. “Mi, gue liat-liat lo santai banget?” Atsumu menoleh, niatnya ingin memuji langsung terhenti saat melihat Kiyoomi berjongkok di lantai.

“Mi? Lo gapapa?” Tooru ikut panik. Dibantunya Kiyoomi berdiri, “buset sampe tremor gini lo.”

Kiyoomi hanya mengangguk lemas, “Gue deg-degan banget. Takut tapi gue gak mau kalah sama hal ini. Paham ‘kan kalian? Gue gak mau kalah dan berakhir harus ninggalin Shoyo.”

Dua lelaki di hadapannya saling melirik kemudian mengangguk. “Lo bener.” Setuju keduanya sambil mengangguk. Tooru menghela napas, tangannya bergerak mengusap tengkuknya. “Gue gak mau ninggalin Shoyo atau nyerah karena hal ini. Itu sebabnya gue gak masalah kalian berdua masuk ke kehidupan kami. Dan gue lebih gak pengen harus nyerah karena hal ini. We’ve been through a lot together, jadi untuk Shoyo gue gak masalah harus sekali lagi berjuang. Well, gue sedikit bersyukur ada lo berdua di sini.” Sejak tadi ia tak menatap Atsumu atau pun Kiyoomi. Tooru diam untuk beberapa lama, baru menatap keduanya. “Let show him that our love will win.

“Anjing, merinding.” Atsumu geli sendiri mendengarnya. Tooru, masih dengan langkah percaya diri mengabaikan ucapan Atsumu. “Ih, gila.”

Sementara itu Kiyoomi hanya diam, menatap keduanya yang melangkah lebih dulu. Ya, Tooru benar, setidaknya saat ini ia tak sendirian. Setidaknya saat ini ia memiliki dua orang yang menemaninya. Di tempatnya, Atsumu tersenyum, senang bahwa ia memiliki dua orang di sampingnya. Kalau sendirian, pastilah ia sudah akan menjadi bubur. Tak berbentuk karena takut.

Ryunosuke di depan mereka, menatap sekilas kemudian berbalik menuju sisi kolam renang. Di sana terdapat taman dengan lapangan kecil, tempat yang biasa digunakan untuk pemanasan. Ryunosuke berdiri di tengah, tangan menyilang di belakang punggung. “Pemanasan. Lakukan gerakan perenggangan 4 set kemudian lari mengelilingi kolam renang 10 kali lalu pendinginan 10 menit baru kalian masuk kolam renang. Kamu Keriting pimpin.”

Kiyoomi mengangguk paham. Ia melakukan yang diperintahkan dengan tatapan datar. Sementara selama prosesnya Tooru yang paling tersiksa. Ia tak biasa berolahraga dan dengan seluruh rangkaian yang mereka lakukan ia merasa tak sanggup masuk ke dalam kolam. Di sampingnya, Atsumu berbisik. Hanya satu kalimat, namun mampu membuatnya kembali bersemangat. “Demi Shoyo.” Hanya itu dan Tooru akhirnya masuk ke dalam kolam renang.

“Pertama tahan napas selama yang kalian bisa. Kalau gak bisa, keluar.”

Ketiganya mengangguk. Kali ini di tangan Ryunosuke sudah ada tambahan alat baru, stopwatch. Peluit diangkat, didekatkan ke bibir, mata menatap tiga lelaki berusia awal 20-an dengan tak minat dari balik kacamat. “Siap,” napas ditarik. Peluit di bibir, “mulai.”

Prit.

Tiganya masuk ke air bersamaan.

10, 15, 30, 45, 58 detik, Kiyoomi keluar lebih dulu. Ryunosuke menatap datar dan menyuruhnya minggir dengan dagu. Ia menurut, menatap dua temannya yang masih berada di dalam air. 1 menit 34 detik, Atsumu keluar dengan napas tersenggal. Buru-buru ia menarik oksigen dengan mulutnya, seakan ia tak pernah menghirup udara sebelumnya. Oleh Kiyoomi, si pemuda berambut pirang itu ditarik ke pinggir. Keduanya menatap Tooru dengan kagum. 2 menit lewat. Ryunosuke menatap lurus, sedikit tertarik. Tiga menit 11 detik, Tooru keluar dengan wajah merah.

“Woah, kuping gue sakit.” Komentarnya sementara Atsumu dan Kiyoomi tanpa sadar memberikan tepuk tangan. Keduanya menghampiri Tooru, memberi tepukan di punggung, “good job.” Pujian yang membuat Tooru tersenyum dengan bangga. Ia mendongak, mengharap respon dari Ryunosuke, namun tak mendapatkan apapun. Ia tak bisa melihat mata Ryunosuke karena tertutup kacamata dan saat ini terlalu silau unutk melihat ekspresi wajahnya.

“Sekarang berenang. Cukup dua putaran, gak boleh pakai gaya kupu-kupu.”

Sekali lagi ketiganya hanya mengikuti. Sebelum peluit ditiup, Ryunosuke menambahi. “Lebih cepat lebih baik.”

Prit. Peluit ditiup dan Atsumu memimpin. Ia berenang dengan cepat dan tanpa kesulitan kembali ke titik awal dalam tiga menit. Di tempat kedua ada Kiyoomi dan Tooru tempat ketiga. Sekali lagi Ryunosuke hanya memberikan anggukan.

Matahari sudah mulai tinggi dan air kolam renang mulai terasa hangat. “Kali ini berenang sebanyak yang kalian bisa. Akan lebih baik kalau kalian bisa melewati sepuluh putaran.” Ujarnya setelah mereka beristirahat selama lima menit untuk minum.

Tiga pemuda itu mengangguk. Sekali lagi tak melakukan perlawanan dan hanya mengikuti. Di putaran ke dua belas Atsumu keram sehingga ia berhenti dan naik ke kolam renang. Di putaran ke empat belas, Tooru berhenti karena tangannya sudah tak sanggup mengayuh air. Hanya Kiyoomi yang bertahan, disaksikan dua temannya yang berharap setidaknya, Kiyoomi bisa melewati dua puluh putaran. Di putaran ke dua puluh satu, Kiyoomi berhenti. Napasnya sudah satu-satu dan otot tubuhnya sudah tak menyanggupi.

Atsumu dan Tooru bahkan harus mengangkat temannya yang paling tinggi itu untuk berdiri. Ryunosuke tak mengatakan apapun soal mereka. Ia hanya berdiri dari jauh dan menatap lurus, ekspresinya tak terbaca saat ia melihat jam di tangan dan mendongak. “Kalian ke sini naik mobil ‘kan? Masih ada waktu untuk makan siang, jadi cepat bersihkan tubuh kalian. Saya tunggu di rumah.”

Setelahnya Ryunosuke melangkah, meninggalkan kedua pemuda yang saling menatap tak paham. Tak lama mereka tersenyum dan tawa mengikuti setelahnya. “Wow! Di rumah katanya!” Ujar mereka bersamaan.

“Artinya kita dapet lampu hijau?” Ujar Tooru dengan tangan naik ke udara, “YOHOOO! SHOYO! Aku berhasil!”

“Kami.” Sinis Atsumu dan Kiyoomi bersamaan. Tooru mendelik, sebal. “Iya. Kami. Puas lo?”

“Nah gitu baru bener.” Balas Atsumu senang. Tangannya menepuk punggung dua temannya, terlalu bersemangat hingga membuat keduanya mengaduh.

“Pelan-pelan buset, badan gue masih sakit!” Tooru mendelik, tajam. Sementara oleh Kiyoomi, jambang Atsumu diangkat.

“Ampun, Mi.”

Sedang asik saling meledek, terdengar pengumuman dari loud speaker. “Kalau kalian gak bersiap sekarang dan terlambat, pintu gak akan saya buka.”

Mendengar itu, ketiganya langsung berdiri, dan masuk ke ruang ganti dengan terburu. Masih dengan senyum lebar, mereka segera bergegas. Tak sampai setengah jam, mereka sudah rapi. “Kulit gue kebakar.” Komentar Tooru saat mereka selesai mandi dan berpakaian. Ketiganya melangkah menuju mobil Kiyoomi dengan kesibukan sendiri.

Ting!

Notifikasi ponsel terdengar, pesan dari Shoyo.

KAK TOORU!
KAK OMI!
KAK TSUMU!
DIUNDANG AYAH MAKAN SIANG!
AAAAA!
MAAF MENDADAK!
TAPI JANGAN PLIS TERLAMBAT YA!!
AYAH BENCI ORANG TERLAMBAT
AAAAA!
AKU TUNGGU!!! :D

Ketiganya menjawab dengan tawa kosong, Shoyo jelas tak tahu mereka sudah bertemu Ryunosuke lebih dulu. Sudah jelas juga jika mereka membuka mulut soal ini, Ryunosuke tak akan membiarkan mereka mengantar Shoyo lagi. “Sekarang tinggal mencari restu Ibu mertua.”

Atsumu merasa bebannya lebih ringan. Rasanya sudah tak perlu lagi ada yang dirisaukan. Sampai ia melihat Shimizu memegang golok saat mereka tiba di depan rumah. Atsumu bahkan sampai melangkah mundur dengan tawa kering, “Ha-halo tante. Saya Atsumu Miya, pacar Shoyo.”

Tooru ikut merasakan gugup. Dengan tangan basah oleh keringat, ia menunduk patuh. “Siang, Tante saya Oikawa Tooru, pacar Shoyo.”

“Maaf mengganggu Tante, saya Sakusa Kiyoomi. Pacar Shoyo.”

Senyuman memang diberikan, namun dengan golok di tangan tentu bukan sambutan yang nyaman. Ketiganya menelan ludah dengan susah payah. Pintu dibuka oleh Shimizu, “Shoyo cerita banyak, silakan masuk.”

Di ruang tengah, Ryunosuke sudah berganti pakaian. Kali ini dengan kaus polo berwarna cokelat dan celana pendek berwarna hitam. “Siang Om.” Kata ketiganya bersamaan yang hanya dijawab dengan anggukan pendek.

Setelah saling melirik, Tooru memberanikan diri untuk duduk di sopa, diikuti Atsumu dan Kiyoomi. Tak lama, Shoyo keluar. Kaus berwarna biru langit dan celana hijau army membalut lelaki kecil yang tersenyum lebar. “Kakak-kakak!” Sapanya dengan tangan menyambut lebar.

Mendapatkan senyum lebar dari Shoyo seakan membuat mereka ditimpa air pegunungan yang sejuk. Atsumu sampai berkaca karena rasanya hari ini berat sekali. Mereka mendapatkan pelukan dan dapat menghirup aroma citrus yang manis. “Sho, kamu gak akan tahu apa yang terjadi ha—”

“Ehem.” Tooru langsung menutup mulut ketika mendengar dehaman dari Ryunosuke.

“Aku gugup tapi seneng liat kamu.” Lanjut Tooru dengan senyuman, membuat Shoyo tertawa manis.

“Aku juga seneng liat Kak Tooru! Kak Atsumu sama Kak Omi juga!” Lanjutnya dengan senyum senang. Pelukan diberikan pada masing-masing kekasih yang setelahnya merasa tenaga mereka telah terisi penuh.

“Makanannya sudah jadi.” Shimizu memberitahu dan Shoyo langsung menarik tiga kekasihnya untuk berdiri. “Ayo, makan! Masakan Bunda yang paling enak lho Kak, terus hari ini aku juga bantu. Walau sedikit.”

“Bantu bikin heboh iya.” Ledek Ryunosuke sambil mengacak rambut putranya.

Shimizu ikut tertawa, “Iya, goreng tahu aja heboh. Bantuin bikin orang panik namanya, Sho.”

Ah, sehangat Shoyo, keluarga Tanaka ternyata memang hangat. Tak heran. Meskipun orang tuanya memperlakukan mereka dengan dingin, tentu mereka paham alasannnya. Tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya disakiti. Terlebih memiliki hubungan di mana terdapat tiga kekasih, tentu itu bukan sesuatu yang mudah diterima. Tentu wajar jika ada pemikiran mereka akan menyakiti atau bahkan hanya main-main. Namun, sejak awal Tooru begitu menyayangi Shoyo hingga ia rela berbagi sebab tak ingin melepaskan juga ia memahami bahwa meskipun mereka terlibat dalam hubungan yang sulit, Shoyo akan tetap menyayanginya. Sebab porsi mereka sama di hati Shoyo dengan cara yang berbeda untuk mendapatkan tempat itu.

Atsumu pun paham bahwa Shoyo menyayanginya dengan cara berbeda, namun porsi yang sama. Sebab ia begitu lemah saat dulu pernah menyuruh Shoyo untuk memilih. Ia tak bisa melihat sepasang amber itu berkaca sebab bingung dan tak dapat memilih. Sama seperti Kiyoomi yang memilih berdamai dengan Atsumu dan meraih tangan Shoyo beberapa bulan lalu. Seperti Kiyoomi yang mengatakan tak perlu memilih sebab masing-masing akan sadar posisi dan perasaan mereka akan selalu menang. Mereka hanya begitu menyayangi hingga berbagi tak terasa sulit. Bahkan kini, rasanya mereka bersyukur karena dapat mengisi kurang dari masing-masing untuk menyayangi Shoyo dengan berlebih.

Makan siang berakhir lebih santai dibanding yang mereka kira. Cukup banyak gelak tawa di sana. Meskipun di akhir rasanya Ryunosuke masih mendendam dengan secangkir besar jus yang entah apa namanya. Warnanya hijau pekat dan aromanya sangat sehat.

“Ayo minum, saya lihat kalian hari ini lemas. Minum itu biar kalian lebih sehat.” Tatapan matanya menyuruh mereka cepat-cepat menghabiskan. Tatapan yang menantang.

Shoyo sedang membantu Shimizu di dapur. Mereka ingin memberikan kudapan setelah makan sehingga ini waktu yang pas untuk Ryunosuke. Ketiganya saling menatap dan meraih gelas tersebut. Napas ditahan dan isinya dihabiskan dalam beberapa tegukan. Tubuh Tooru merinding karena rasa pahit, namun ia tahan. Di sampingnya, Atsumu memejamkan mata, berusaha mengatakan bahwa yang ia minum adalah milkshake. Sementara Kiyoomi memilih diam dan bernapas dengan teratur. Ryunosuke di tempatnya terlihat puas menyiksa ketiganya.

“Kak, kok pada diem?” Tanya Shoyo heran.

Nampan berisi cendol ia taruh di depan ketiganya yang menatapnya dengan rasa syukur. “Minum Kak.”

Ryunosuke sudah menghilangkan jejak gelas yang ia berikan pada tiga pemuda itu. Ia melangkah ke wastafel, di mana istrinya menatap dengan mata menyipit. “Kamu abis ngasih apaan?”

“Senjata rahasia.” Balas Ryunosuke dan Shimizu hanya menggeleng tak percaya. “Menurutmu mereka gimana?”

Shimizu diam, melirik sekilas pada tiga pemuda asing yang hanya menatap ke arah putra mereka penuh sayang. Siapa pun bisa melihat bahwa hanya ada Shoyo di mata mereka. Siapa pun bisa melihat bahwa Shoyo begitu berharga bagi ketiganya. “Mereka baik, juga sayang sama Shoyo. Selama mereka bikin Shoyo senang, aku gak masalah. Kalau pun mereka melukai, aku gak bisa melakukan apa-apa. Ini hidup Shoyo, aku gak bisa terlalu banyak menuntutnya, hanya bisa menuntun sebentar. Ryu, paham maksudku ‘kan?”

Ryunosuke mengangguk kemudian memeluk istrinya erat. “Paham.”

Sebab pada akhirnya sebagai orang tua, mereka hanya bisa menemani kala putranya membutuhkan. Bukan menuntut banyak hal dan berakhir melukai. Ketiganya pulang pukul delapan, setelah menghabiskan makan malam dan diisi dengan banyak obrolan.

Di depan pagar, setelah Shoyo masuk ke rumah, Ryunosuke keluar dengan alasan ingin mengunci pagar. “Saya percaya kalian akan berusaha untuk tidak menyakiti anak saya, jadi jangan kecewakan saya.”

“Baik, Om.” Ketiganya menjawab, bersamaan dengan mata penuh keseriusan. Setelah itu Ryunosuke mengangguk dan menutup pagar.

Dalam perjalanan pulang yang lebih banyak diisi dengan diam, Kiyoomi berkata, “Gue bersyukur ada kalian hari ini.”

“Gue juga, bro.” Sahut Atsumu dan Tooru.

“Tadi kayanya kita udah ngobrol ini deh?” Kata Tooru setelahnya.

Atsumu tertawa, “ya ‘kan elo yang ngomong tadi pagi.”

“Oh iya.”

Tawa lagi dan mereka benar-benar bersyukur mereka tidak sendirian untuk mencuri izin dari Ryunosuke.

Ting!

Notifikasi ponsel mereka terdengar. Atsumu secara suka rela membacakan pesan tersebut. “Dari Shoyo, katanya Kakak hari ini udah bekerja keras. Makasih ya, maaf kalau awalnya Ayah jutek. Kata Ayah, setelah ini kalau abis nganter sampai depan rumah aja, Ayah gapapa malah mau diajak ngejus. Kak, makasih, aku sayang kalian sama banyak.”

Ketiganya diam, senyum tercipta di bibir masing-masing sambil mereka menatap keluar jendela. “Aku juga sayang kamu, Sho.” Ketiganya saling menggumam.

Sementara Atsumu masih membaca pesan tersebut lagi, “Sob, kita diajak ngejus. Artinya apa ya?”

Hening. Kemudian minuman berwarna hijau pekat kembali dalam ingatan. Mulut tertutup, menatap keluar jendela. Indera perasa mereka langsung merespon dengan wajah tak enak. “Demi Shoyo,” Atsumu berujar tiba-tiba.

Kiyoomi dan Tooru mengangguk kecil, menyetujui, “Demi Shoyo.”


Recipes Five
A sweet gummy funny bear

Tadi, saat ditanya oleh Osamu pulang dengan siapa harusnya Hinata bilang naik ojek saja. Atau, naik kereta atau bahkan berbohong dijemput Tsukishima. Namun, ia di sini sekarang. Duduk di samping Osamu sambil memainkan jari. Gugup sekali rasanya. Ia sejak tadi hanya sibuk berdeham meski sudah mencari cara untuk mengobrol saat berkendara.

Pria di sampingnya melirik, tersenyum saat melihat Hinata yang gugup luar biasa. Satu tangannya bersandar di jendela sambil menutup mulutnya—menyembunyikan senyum. Aih, lucu sekali. “Omong-omong, kelas selanjutnya ada yang mau kamu buat gak, Sho?”

Hinata langsung menoleh, matanya berbinar karena akhirnya ada bahan pembicaraan setelah ia sibuk dengan pikirannya sendiri. “Oh! Eun, apa ya? Aku masak sup dan yang kuah udah oke berkat saran dari Che—Kak Samu.” Hinata buru-buru membenarkan sebelum dipotong Osamu. Membuat tawa halus terdengar. Pipinya merona, suara tawa Osamu benar-benar menggoda. “Bumbu jimbarannya juga udah berhasil. Aku eh! Saya dari kemarin nyoba pakai ayam, daging, ikan, sampai sosis enak semua!”

Mata Hinata berbinar saat bercerita. Osamu sedikit merasa tak suka saat Hinata bicara dengan formal. Tangannya mengetuk stir mobil, “Sho, kalau lagi gak kelas, kamu ngomongnya santai aja. Gak masalah.” Ia menoleh, memberikan senyuman yang membuat lutut Hinata lemas.

Untung saja ia sedang duduk. Kalau tidak, ia sudah langsung berlutut. Sebentar, kok Hinata Shoyo jadi selemah ini dengan senyuman? Terutama ini dari Osamu Miya pula. Iya sih, Hinata merasa Osamu itu tampan dan tentu saja tipenya karena bisa memasak. Namun, ia tak mengira akan berulang kali membuatnya berdebar dan efek sebesar ini.

“Sho?” Panggilan yang membuat dadanya berdebar. “Jadi mau masak apa?”

“Masak cint— Cina! Masakan Cina! Sambosa!” Lewat tawa Osamu, Hinata hanya menambah panjang daftar memalukannya.

Daripada menjelaskan, ia memilih bersandar pada dinding. Ingin menyembunyikan wajah, namun tak bisa. Osamu menghapus sisa air matanya, terlihat senang sekali. “Astaga, lucu banget Sho.”

Gue gak lagi ngelawak, Kak, teriak Hinata dalam hati. Keningnya ia ketukkan ke dinding berulang. Mengutuk diri sendiri dan kebodohannya. Malu. Hinata malu sekali.

Sampai di gedung apartemen, Hinata turun dengan kepala tertunduk. Sementara Osamu masih tertawa pelan. “Kasih tau saya nanti di chat ya kamu masak apa buat kelas selanjutnya.”

Hinata mengangguk, masih muram. Sudut bibir Osamu naik, “I have fun everytime we talk. Saya harap kamu juga merasa demikian.”

Perlahan wajah Hinata naik, untungnya sudah malam dan cahaya di sekitar mereka tak terlalu terang. “Sama! Saya juga.”

“Kalau gitu, lain kali ngomong santai ya di luar kelas.”

Kepala oranye di hadapannya bergerak naik-turun. Dua bibir terangkat puas. “Oke! Hati-hati Kak!”

“Selamat tidur, Shoyo.”

Dan Hinata merasa bahwa namanya begitu spesial. Manis sekali rasanya setelah namanya diucapkan oleh bibir Osamu. Langkahnya terasa ringan dan ia yakin malam ini akan mimpi indah. Ah, indahnya jatuh cinta.

Hah?

Hinata berhenti. Menyadari ucapannya dalam hati.

Jatuh cinta? Yang benar saja. Hinata menggeleng. Tunggu, tidak mungkin 'kan?

Kalau tidak mungkin, harusnya sih jantungnya tidak berdetak kencang. Kalau tidak mungkin, harusnya sih Hinata tak begitu peduli dengan daftar panjang momen memalukan. Kalau tidak mungkin, wajah Hinata tak akan semerah ini.

Hinata berhenti di depan pintu, kepala bersandar di sana. “Damn it.”

Wajahnya menjawab semuanya meski bibir enggan mengakui.


Recipes Four
Red as tomato

Pintu terbuka kasar dengan Osamu Miya yang masuk sambil menenteng plastik putih. “Suna Rintarou, bajingan! Maksud lo mesen mie ayam sama ayam geprek ke restoran gue apa ha—”

Di hadapannya bukan Suna Rintarou, melainkan Hinata Shoyo. Keduanya saling menatap, canggung. Mulut Hinata yang sedang terbuka lebar tertutup pelan, bakpao di tangannya ia turunkan kemudian dikembalikan ke atas piring. Ia meneguk ludahnya sendiri, malu dan takut karena teriakan Osamu tadi. “Eh, eum maaf Kak. Itu, tadi laper makanya makan bakpao dulu sambil nunggu mie ayam sama ayam gepreknya.” Suaranya makin lama makin mengecil.

Dalam hati Hinata menangis. Bakpaonya tak jadi ia cicip dan makanan pesanannya malah membuat Osamu marah tak terkendali. Hinata rasanya mau bersembunyi saja. Tak mau bertemu dengan si Chef tampan ini. Sudah begitu, orang yang bilang hanya keluar sebentar tak kunjung kembali. Keduanya diam di tempat masing-masing. Saling memunggungi dan memilih sibuk dengan ponsel. Dalan hati memanggil Suna Rintarou, satu penuh serapah dan yang lain dengan penuh harap.

Osamu menatap tangannya kemudian melangkah mendekat ke Hinata. “Ini, makan. Kata Suna buat kamu.”

Plastik putih diterima sambil Hinata memejamkan mata rapat-rapat. Ia malu. Kalau tahu ada Osamu tentu ia akan memilih makanan di restoran ini meskipun harus membayar dengan pemasukan hari ini. “Uhm, makasih Chef.”

Kerutan muncul di kening Osamu saat mendengar panggilan tersebut. “Osamu.” Ujarnya membuat Hinata mendongak. Wajahnya sekarang terlihat seperti kucing yang baru keluar dari bak mandi. Osamu ingin tertawa karena gemas, tetapi ia kasihan juga melihat Hinata yang mau menangis begini. Ia berdeham, menggaruk tengkuknya gugup. “Kenapa gak makan yang ada di sini?”

“Aku— saya kira itu cuma pajangan terus tadi tanya ke Yachi ternyata boleh dimakan.” Hinata menunjuk ke arah bakpao yang hanya sempat disentuh tanpa sempat ia cicip.

Osamu mengangguk, ia menarik satu bangku untuk Hinata duduk. “Makan di sini.” Ia menunjukkan bangku yang telah dipindahkan ke meja pojok ruangan. “Jangan berdiri.”

Hinata mengangguk, hanya bisa menurut sekarang. Ia membuka plastik isi mie ayam dan mengeluarkan sumpitnya. Baru saja ingin disuap sudah diambil lagi oleh Osamu. “Mienya terlalu megar. Ini gak layak kamu makan, biar saya bikinin yang baru.”

“Gak usa—”

“Ini juga ayamnya terlalu berminyak, gak sehat. Nanti saya kasih buatin yang baru.” Dengan begitu, menu makan siang yang sudah Hinata tunggu hampir satu jam diambil oleh Osamu.

Hinata melirik pada bakpao yang dingin dan meraihnya. “Hiks, ujung-ujungnya makan bakpao.”

Padahal aroma mie ayamnya sangat menggoda. Dan si ayam geprek tidak sehat terlihat mengiurkan. Sekarang Hinata hanya bisa membayangkan rasanya sambil mengunyah bakpao isi daging.


Recipes Two
Sweet as salt

“Sore, Yachi.” Sapa Hinata saat masuk ke restoran Miya. Ia sudah tak canggung kedatangan pertama. Langkahnya ringan saat mendekat ke meja kasir yang disambut dengan senyuman ramah Yachi. “Chef udah di ruangan belum?”

“Belum, Hin. Masih ada urusan di dapur. Kata Chef kamu duluan aja.” Yachi ikut berdiri, namun langaung dihentikan oleh Hinata.

“Yachi gak usah, aku udah hapal ruangannya kok.” Hinata tersenyum, matanya berbinar penuh keyakinan. “Semangat kerjanya, Yachi!”

“Semangat juga Hinata kelasnya!” Dijawab dengan anggukan oleh Hinata. Kakinya melangkah pelan, menelusuri sisi kiri restoran. Di dinding terdapat banyak plakat juga segala prestasi Osamu Miya. Mulut Hinata tak berhenti terbuka dengan kagum melihat semua pencapaian Osamu.

“Udah ganteng, jago masak pula.” Gumamnya pelan saat matanya menangkap foto Osamu bersama Presiden. “Too perfect to be true.”

“Siapa?”

“Aaa!” Hinata mundur hingga menabrak dinding. Buru-buru ia menoleh, takut ada yang jatuh ternyata tidak. Untungnya tidak. Jantungnya masih berdebar karena kaget. Matanya membola, menatap pria asing di hadapannya. “Siapa?”

Dua sudut bibir lelaki asing terangkat. “Suna Rintarou. Fotografer.” Tangan yang terulur disambut. “Nama kamu?”

“Eh? Oh, Hinata Shoyo.” Hinata menunduk, menatap tangannya yang tak juga dilepaskan. Ia berdeham, “tangannya Kak.”

Malah disambut tawa pelan, “Sori, nyaman.”

Hinata itu seperti buku yang terbuka, mudah terbaca melalui ekspresi wajahnya. “Bercanda,” tambah Suna.

“Sho, kok di depan pintu?” Suara itu membuat keduanya menoleh. Osamu muncul dengan masih menggunakan apron, senyum di wajahnya luruh saat melihat Suna menyapanya. “Ngapain lo?”

“Ouch,” ujar Suna pura-pura terluka. “Galak lo. Gue ke sini buat liat-liat sambil foto kelas lo. Inget, harus ada publikasi.”

Osamu menghela, melirik Hinata. “Sho, gak apa ya direcokin sebentar?”

Anggukan diberikan, membuat rambut oranyenya bergerak naik-turun. “Gak apa-apa Chef!”

Chef lagi, bisik Osamu dalam hati. Nanti saja ia urus masalah ini karena kalau di depan Suna bisa panjang urusannya. Ia masuk, diikuti Hinata dan satu pengganggu.

“Hari ini kita akan masak apa Chef?” Tanya Hinata setelah menaruh tasnya.

Osamu tersenyum, senang melihat semangat murid satu-satunya. “Puding regal.”

“Hah? Regal 'kan biskuit kok jadi puding Chef? Nanti jadi lembek? Aneh dong?” Lewat pertanyaannya, Osamu bisa melihat level memasak Hinata.

“Ya agak lembek, sedikit. Tapi nanti saya ajarin biar masih crunchy.” Osamu mengedipkan satu matanya, membuat Hinata menunduk—menutupi merah di wajahnya. Di tempatnya, Suna sudah mulai membidik kameranya.

Sama seperti sebelumnya, ia mengikuti pergerakan Osamu. Memasukkan bahan dengan waktu yang sama. Suna pun ikut mengitari keduanya, mengambil gambar di waktu yang tepat.

Keduanya menyelesaikan di waktu yang sama dengan bibir Hinata yang menyunggingkan senyum. “Oke, waktunya mencicipi.”

“Oke!” Hinata mengangkat sendok di tangannya. Ini bagian yang paling ia suka. Mereka mulai dari milik Osamu sebagai standar rasa. “Enak banget, Chef. Manis, sedikit guring, terus masih crunchy juga! Enak!”

Jempolnya diberikan membuat tawa pelan tercipta di bibir Osamu. “Nah, sekarang punya kamu.”

Hinata menatap Osamu penuh harap. Sesendok penuh dimasukan dan di detik selanjutnya wajah Osamu berubah tak senang. “Kok asin? Kamu masukin apa?”

“Ngikutin Chef kok. Masa asin?” Balas Hinata tak percaya. Ia ikut mencicipi, namun segera menelannya tanpa dikunyah. “Kok asin?” tanyanya heran sambil menatap Suna dan Osamu bergantian.

“Sumpah Chef, aku— saya ngikutin Chef 'kan dari tadi. Waa, kok punya saya asin?” Matanya berkaca, terlihat sedih sekali bikin Osamu tak tega.

Emosi Osamu surut, ia malah menatap meja Hinata, mencoba mencari letak kesalahan. Botol di sisi kanan ia ambil kemudian dibuka, “Shoyo, ini kamu ngambil garem bukan gula.”

Dan daftar panjang momen memalukan Hinata bertambah.


Recipes One
Pertemuan pertama

Hinata Shoyo melangkah masuk ke dalam restoran Miya. Ia mendekat ke meja kasir, menggaruk pipinya karena bingung. Ini pertama kali Hinata datang ke kelas memasak. Jadi, ia tak begitu paham dengan peraturan dan hal yang harus dilakukan sekarang

“Permisi,” panggilnya sambil mengetuk meja kasir. Di baliknya ada seorang perempuan yang mungkin seumuran dengannya.

Perempuan berambut pirang itu menoleh, tersenyum lembut padanya. “Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?”

Hinata mengangguk pelan. “Hm, saya ke sini untuk mengikuti kelas memasak. Tapi saya bingung lokasinya di mana ya?”

Mata perempuan di hadapannya langsung bersinar, terlihat gembira sekaligus lega. “Ah, akhirnya ada yang datang. Mari, saya antar.” Ia berdiri sambil menepuk pundak rekannya.

Hinata rasa ia sedang pamit karena rekannya itu mengangguk setelah si perempuan berambut pirang melewatinya. “Mari,” ajaknya ramah. Hinata mengikuti dari belakang. “Saya kira hari ini kelasnya dibatalkan padahal kami sudah menyiapkan ruangannya sejak pagi. Bahan-bahan juga sudah di sana, tapi baru kamu yang datang.”

Nadanya naik-turun bersamaan dengan gerak tubuhnya. Hinata bisa menebak bahwa perempuan di sampingnya ini mengekspresikan dirinya dengan gerak tubuh. Keduanya berhenti di ujung lorong, Hinata menoleh ke kanan-kiri. Di sini sepi sekali. Ruangan di hadapannya memiliki pintu berwarna putih dengan jendela oval di tengahnya. “Ini ruangannya, tunggu di sini dulu ya. Chef sebentar lagi sampai kok. Oh, saya Hitoka Yachi.”

“Ah, iya. Terima kasih Yachi, saya Hinata.” Anggukan diberikan dan Yachi pamit.

Mata Hinata kembali menelusuri ruangan di sekitarnya. Agak menakutkan sebenarnya karena hanya ia sendiri di sini. Pintu perlahan ia dorong dan langsung ia tutup lagi. Hinata sampai harus mengambil langkah mundur dan menatap sekitar. Yachi tak mungkin membohonginya 'kan ya?

Matanya bergerak liar, kembali membuka pintu, dan melongo ke dalam. Tak ada bedanya, jadi kembali ia tutup. Tangannya mengeluarkan ponsel, melampiaskan bingungnya di sosial media. Setelahnya ia kembali membuka pintu dan mengintip, barangkali ada yang terlewat. Sama saja ternyata hanya ada dirinya. Sekali lagi pintu ia tutup dan melangkah mundur. Niatnya ingin bertanya pada Yachi luntur karena merasakan tubuh seseorang di baliknya. Ia mendongak, mendapati sosok asing tengah menunduk. Keduanya saling menatap dengan Hinata yang langsung menjauh, kaget. “Eh, ah, maaf. Astaga, akhirnya ada teman juga. Aku kira sendirian di sini, ternyata ada temennya.”

Senyum simpul tercipta di bibir si pemuda berambut abu-abu di hadapannya. “Hm, kalau gitu ayo tunggu di dalam.” Pemuda itu membuka pintu dan Hinata masuk lebih dulu.

Woh, ganteng, pikir Hinata saat ia menaruh tasnya di atas meja. Ia memilih meja terdepan sementara pemuda asing itu ada di sampingnya. “Oh, omong-omong kita belum kenalan.” Hinata mengulurkan tangannya, “Hinata Shoyo. Kamu?”

“Osamu. Panggil itu aja.” Hinata mengangguk kecil. Namanya terasa tak asing, tapi ya sudah saja. Saat ini yang paling penting adalah wajah. Benar. Wajah adalah segalanya. Kalau tahu ada rekan setampan ini Hinata pasti akan rajin datang ke kelas.

“Omong-omong kelasnya sepi ya? Aku kira cuma sendirian di sini.” Ia mendongak, masih tersenyum. “Tapi untuk kamu dateng, jadi ada temennya.”

Dalam hati, Osamu menertawai lelaki berambut oranye di hadapannya. “Omong-omong kenapa kamu ikut les masak?” Tanyanya santai sambil bersandar di meja.

“Tsuki,” Hinata menggeleng. “Roommate-ku yang menyuruh karena kalau masak kami bisa lebih hemat. Sebenarnya Tsuki bisa masak sih, cuma dia sibuk. Biasalah, anak kedokteran. Nah, karena aku ini gak sibuk dan cuma bayar 30% jadi sebagai gantinya harus bisa masak. Beres-beres juga.”

Mata Osamu melebar, tak menyangka jika akan diberikan informasi sebanyak ini. Ia tertawa pelan sambil memakai apron. “Gimana kalau kita mulai sekarang?”

“Eh, tapi gak ada Chef?”

“Ada.”

“Di mana?”

“Ini, di sini.”

Wajah Hinata langsung memerah. “Eh? Hah? Oh. Halo. Ah!” Ia salah tingkah sendiri dan langsung membungkuk tak enak. “Maaf, maaf. Saya gak sopan. Saya kira kamu- eh, Anda di sini karena murid juga. Eh.”

Sumpah, Hinata malu. Matanya melirik pada kuali besar, berpikir kemungkinan ia bisa masuk ke sana dan bersembunyi. Mata Osamu mengikuti, kemudian tertawa pelan. “Gak muat, Shoyo. Daripada masuk kuali, mending saya ajari masak sup. Biar kamu pulang nanti bisa pamer ke teman sekamarmu.”

Hinata hanya bisa iya-iya dan mengikuti, meski wajahnya malu luar biasa.


Kisah Cinta Empat Babak cw // angst , nsfw , harsh words


Satu Kisah Falling in L(ie)ove Pada suatu waktu di saat mereka jatuh cinta

Ushijima Wakatoshi ingat saat pertama ia jatuh cinta. Begitu hangat, mendebarkan juga terasa baru. Rasanya aneh ketika menyadari seseorang yang awalnya ingin ia kalahkan malah memenangkan hatinya. Tanpa salam, tanpa aba-aba. Begitu saja mengambil hatinya.

Si pencuri itu bernama Hinata Shoyo. Rambutnya oranye, sewarna matahari terbenam. Bibirnya mungil dan matanya penuh godaan. Dari Tendou, Ushijima tahu bahwa mata cokelat terang itu memang sukanya menggoda. Kata Tendou, Ushijima perlu hati-hati. Kata dirinya sendiri, tak perlu. Tahu kenapa? Karena Ushijima yang jatuh cinta sudah tanggal pula rasionalitasnya.

Ushijima Wakatoshi menutup mata akan segala hal yang di mata orang tabu. Ia malah dengan senang hati mengulurkan tangan. Hari itu adalah hari kelulusannya dan ia memberanikan diri datang ke sekolah Hinata.

Hari itu, Ushijima menyerahkan kancing seragamnya. “Aku suka kamu.” Katanya lurus dan tulus.

Oleh Hinata diterima, “Aku juga.”

Oh, bibir Ushijima keburu naik ke atas. Senang duluan karena si pujaan hati ternyata juga memiliki rasa yang sama. Kancing dalam genggamannya dimainkan, dilempar pelan. “Untuk saat ini begitu, mungkin lain waktu tidak. Untuk saat ini bersamamu, mungkin esok lusa dengan musuhmu.”

“Maksudnya?”

Ushijima Wakatoshi tak paham. Sedangkan Hinata tersenyum, meraih tangan Ushijima, dan mengembangkan kancing putih di sana. “Aku tidak suka ikatan. Itu merepotkan bukan? Apalagi kalau aku bisa bersenang-senang dengan yang lain. Aku cukup menyukaimu, makanya aku beritahu di awal. Kamu bisa pergi dan melupakanku, jangan menyesal di lain waktu.”

Tepukan diberikan di bahu Ushijima dengan langkah Hinata yang mengalun, meninggalkan si pria yang termenung. Dalam bimbang, kelut, juga emosi yang datang tanpa bisa ia cegah. Ia mendongak dan Hinata Shoyo hampir tak dapat ia kejar. Langkahnya mengalun, meraih si pencuri dengan napas tersengal. “Oke, gak masalah. Kamu bisa pergi ke mana pun yang kamu mau. Selama apapun, sejauh apapun, asal kamu kembali ke aku. Asal aku jadi pemberhentian dan tempatmu berpulang.”

Ada getar dalam mata di hadapannya, juga desahan napas tak paham. “Kamu gak salah jatuh cinta? Sama aku? Sampai segininya?”

Dan anggukan penuh keyakinan dari Ushijima malah membawa tawa tak terduga. “Gila,” lirihnya tak percaya. Tangannya naik, menyisir rambut oranyenya pelan. “Oke, asal kamu gak memilih berhenti dan meninggalkan, gak masalah.”

“Aku gak akan berhenti. Juga gak akan pernah meninggalkan kamu.”

Janji manis di bawah pohon sakura yang berterbangan pelan. Janji manis yang terseret kenyataan menyakitkan.


Kalau dihitung sudah lima tahun Ushijima dan Hinata bersama. Dua tahun ditinggal Hinata ke belahan dunia dan akhirnya bisa tinggal bersama. Ushijima Wakatoshi ada ketika mengantar kekasihnya pergi mencari kebebasan yang dicarinya. Bahkan meski Hinata hanya memberi beberapa pertanda untuk pulang, di hari kedatangan Ushijima datang. Melebarkan tangan dan memeluk si rambut oranye erat.

“Selamat datang, Shoyo.” Sambutannya lembut dengan kecupan hangat di pipi. Setelah dua tahun, Ushijima tak menyangka sentuhan kecilnya akan membawa respon di tubuh si mungil. Ada kaget juga semburat merah di sana. “Ayo, kita pulang.”

“Ke mana?” Tanya Hinata.

“Rumah kita.” Ushijima tersenyum, membukakan pintu mobil. Ia menunggu hingga Hinata duduk dan memakaikan sabuk pengaman. Setelahnya ia berpindah untuk duduk di belakang kemudi.

“Rumah kita?” Ulang Hinata.

Ushijima mengangguk, wajahnya datar seperti biasa. “Dua tahun lalu, sebelum berangkat kamu udah setuju untuk tinggal bareng saat kembali. Makanya aku beli apartemen yang cukup untuk kita.”

Kata cukup bagi Ushijima Wakatoshi adalah sebuah penthouse di lantai tertinggi apartemen pusat kota. Unit yang mereka tempati memiliki dua lantai dan beberapa kamar. Mata Hinata melotot melihat segala furnitur juga warna yang dipilih. Semua adalah tipe impian rumah masa depan Hinata. Sofa panjang di depan televisi besar, karpet beludru tebal dan boneka besar di sudut sebagai sandaran, juga dinding yang penuh foto kenangan. Tempat yang hangat. Tempat yang diimpikan olehnya, kini ada dalam genggamannya.

“Suka?” Tanya Ushijima dan anggukan dari Hinata menciptakan senyum di bibirnya. Hinatanya kini memiliki warna kulit yang lebih cokelat, namun bibir itu masih menggoda untuk dicecap, pun dengan tubuhnya yang berteriak untuk disentuh. Ushijima menggeleng, ia berdeham, berharap pemikiran kotornya berlalu.

Hinata melirik, tawa kecil kemudian tercipta. Ia paham gerak-gerik Ushijima. Tangannya terulur, melingkar pada leher kekasihnya dengan kaki yang berjingkat naik. “Show me the bed room.” Suaranya rendah menggoda. “Kamu rindu aku 'kan?” Sudut bibir terangkat dengan lututnya yang naik menyentuh gundukan di balik celana Ushijima.

Ushijima mendesis, meraih wajah Hinata. “Kamu masih capek.”

Try me.”

Hinata Shoyo harusnya ingat, menantang Ushijima adalah hal terakhir yang harus ia lakukan. “Aku emang nantangin, tapi Toshi, is it necessary for making me collapse in the middle of doing it and can't even walking the next morning?”

Ushijima hanya bisa menunduk sambil berdeham. “Aku kebawa suasana.”

“Gezzz.”


Dua Kisah L(ie)ove Pada satu kisah kebohongan tentang rasa

Kalau Hinata boleh jujur, ia tak terbiasa dengan segala perhatian yang diberikan Ushijima Wakatoshi. Ya, dirinya mencari cinta pada banyak tempat, namun ketika diberikan cinta di satu tempat takut itu muncul. Hinata Shoyo takut, juga marah pada dirinya. Takut pada tiap kenyataan bahwa ia tak pantas dengan segala kebaikan yang diberikan Ushijima.

Cinta tanpa syarat nyatanya malah membuat melarat. Membuatnya sesak tiap kali kebaikan itu datang mendekat hingga ia memilih kabur sejauh yang ia bisa. Kala ia mengira cukup waktu untuk Ushijima pergi menjauh, lelaki itu malah datang. Menyambutnya pulang ke rumah mereka.

Pada sebuah rumah yang selalu ia cerita di tiap kesempatan. Sebuah rumah yang tak ia kira akan didapatkan melalui orang lain. Ushijima Wakatoshi terlalu baik. Untuk seseorang sepertinya.

“Aku kadang bingung, kenapa Wakatoshi milih kamu.” Suara itu datang dari seseorang yang tak asing. Sakusa Kiyoomi, sahabat Ushijima juga seseorang yang membencinya. Bukan tanpa alasan, sebab dengan mata tertutup pun Hinata bisa menebak pemilik hati Sakusa. “You don't deserve him.”

Hah, lucu bagaimana Sakusa mengatakannya penuh dengan kebencian. Lucu bagaimana tanpa Sakusa beritahu, Hinata sering memikirkan. “Lalu siapa yang pantas? Kamu? Pft.” Sengaja Hinata menutup mulutnya, tertawa terpingkal melihat wajah Sakusa. “Kamu yang bahkan gak pernah dianggap lebih dari teman bukan ancaman berarti untukku. Kamu bahkan gak pernah jadi ancaman.”

“Meski aku tahu lebih banyak tentangnya?”

“Dan apakah berarti saat ia tahu lebih sedikit tentangmu?”

“Meski aku selalu ada saat ia membutuhkan?”

“Lucu bagaimana ia tak lagi membutuhkanmu saat aku kembali, bukan?”

“Brengsek.”

Hinata hanya tersenyum manis, “Aku tahu.”

Tak perlu diingatkan.

Sakusa menutup wajahnya, “Ah, mungkin satu-satunya yang bisa kau lakukan memang hanya dengan tubuhmu. Mungkin itu juga yang membuat Wakatoshi bertahan. Hei, kenapa tak sekalian menjual tubuhmu saja? Atau mungkin sudah kau lakukan di luar negeri.”

“Jaga ucapanmu.”

Sakusa Kiyoomi tahu apa? Ia hanya mendengar banyak omongan dari orang asing. Ia hanya dengar betapa Hinata sering bermain dengan banyak laki-laki. Meski pada kenyataannya, setelah bersama Ushijima ia berhenti melakukannya. Bahkan ketika ia berpikir untuk melakukannya, ia menahan diri dan berakhir dengan sebatas make out.

“Kamu gak tahu apa-apa.” Geram Hinata.

“Oh, aku tahu. Tentang kamu yang melebarkan kaki pada siapapun yang datang menghampiri.” Balas Sakusa, dingin penuh sindiran.

Jemari Hinata naik, menyisir rambutnya. “Kalau sedikit saja keberanian yang kamu tunjukkan padaku diputar untuk menyatakan perasaanmu mungkin ceritanya akan berubah. Kamu yang bahkan gak memiliki keberanian untuk melakukan itu, lebih baik diam dan tutup mulut.” Tangannya mendorong Sakusa mundur.

“Shoyo.” Panggilan yang membuatnya berhenti. Ia menoleh, ah ini dia tokoh utamanya. Datang seperti ksatria dalam novel. Hah, memuakkan. “Oh, Kiyoomi di sini juga?”

Lihat, mata Sakusa yang kini mengerling. “Hai, Wakatoshi. Mau dengar cerita seru? Tadi Shoyomu baru saja bercerita tentang kisah menarik di Eropa. Tahu tidak katanya di sana mereka sering melakukan seks di tempat asing bahkan terbuka. Shoyo kau belum cerita bagian serunya, jadi kau pernah melakukannya atau tidak?”

Hinata tak menjawab, malah menatap Ushijima. Melihat reaksinya. Ah, tentu saja kecewa. “Kenapa? Kau mau mencobanya? Di sini? Denganku? Atau kita lakukan bertiga?”

“Shoyo! Jangan keterlaluan.”

“Katakan pada temanmu kalau begitu.” Balas Hinata dingin. “Oh, atau pernah tidak kau Sakusa mencoba melakukan seks dengan sahabatmu? Kata orang itu rasanya luar biasa. Bagaimana, mau mencobanya? Dengan Ushijima Wakatoshi mungkin.”

“Hah, kau pasti bicara dari pengalaman ya? Kudengar kau sering melakukannya saat di sekolah dulu? Dengan sahabatmu pula.” Hinata membeku. Itu kisah yang tak mau ia buka kembali.

“Bukan urusanmu.” Balasnya.

Sakusa tertawa, “Oh? Apakah itu rahasia? Rahasia umum? Rahasia satu kota?”

“Sakusa Kiyoomi, cukup.” Potong Ushijima. Sakusa diam, namun tak lama.

“Apa? Aku hanya mengatakan kenyataan.”

“Itu tetap bukan urusanmu.”

“Oh, aku hanya ingin tahu sebab Hinata menyarankan untuk tidur dengan sahabatku bukan? Jadi, bagaimana rasanya?”

“Rasanya? Memuakkan!” Kemudian ia berbalik, meninggalkan Sakusa dan Ushijima di belakang.

“Sudah kukatakan kau harusnya berhenti.” Ushijima berujar sebelum mengejar kekasihnya.

Berbagai ingatan memuakkan muncul, memori hitamnya yang sengaja ia kubur malah muncul ke permukaan. Hinata muak, hingga ia mual, dan berakhir mengeluarkan seluruh isi perutnya di jalanan.

“Shoyo.” Dan Ushijima Wakatoshi, kembali datang. Ksatria sialan. “Ayo, pulang.”

Sejak awal, itu bukan rumahnya. Sejak awal, itu bukan miliknya dan ucapan Sakusa kembali terngiang. Hinata tak pantas untuk Ushijima.

Di pagi selanjutnya, Hinata Shoyo meninggalkan tempat yang selama ini ia impikan, bersama seseorang yang mencintainya tanpa syarat.


One day, surely you finally mine — KageHina. Commisioned from annonymous who love KageHina

Tag: canon divergence , nsfw , manga spoiler

All the characters belong to Furudate Haruichi


Setter Jepang, Kageyama Tobio akan memulai servis. Sebelumnya ia telah mencetak lima poin melawan Prancis.” Si rambut oranye yang duduk di atas sepeda melengos, tak melihat hasil servis yang dilakukan oleh teman semasa sekolahnya dulu. Tak lagi melanjutkan menonton dari televisi yang ia lewati dan memilih melanjutkan pekerjaannya.

Belum waktunya. Belum saatnya. Nanti.

Tiga kalimat yang ia ucapkan berkali bagai mantra sambil menggoes sepeda. Hari ini, ia akan bekerja lebih keras. Hinata Shoyo akan mengalah Kageyama Tobio. Kali ini pun ia akan berjuang lagi. Sekali lagi. Sampai akhirnya mereka berdiri dengan net sebagai batasnya. Akan tetapi, hari ini tak mendukungnya. Tak sebaik harapannya. Hari yang buruk. Pelanggannya marah karena ia mengantar pesanan terlalu lama dan dompetnya hilang. Ah, benar-benar buruk. Untuk beberapa waktu ia hanya berdiri di pantai, menatap dua tim yang sedang bertanding. “Heh? Chibi-chan?”

Ia menoleh, air matanya tertahan. Entah terharu atau menahan lelah seharian. “Grand King?” Serunya tak percaya dan tawa Oikawa Tooru terdengar.

“Sialan, jauh-jauh aku pergi dari Jepang, ternyata malah bertemu Chibi-chan.” Mulut Oikawa tak dapat menahan senyum.

Sementara Hinata tak dapat menahan lega yang ia rasakan. “Wah, tak kusangka bisa bertemu dengan Grand King di sini. Apa yang kau lakukan di sini?”

Oikawa menunjuk dua temannya yang melangkah menuju bar. “Aku bermain di liga Argentina. Kau sendiri? Bermain di liga Brazil?” Hinata menggeleng, “bukan. Aku bermain voli pantai.”

“Hah?” Kemudian tawa terdengar dengan Oikawa yang menggelengkan kepala. “Masih sama gilanya dengan masa lalu.”

“Bagaimana kalau bermain denganku, Oikawa-san?” Tawaran yang tentunya tak ditolak oleh Oikawa. Keduanya bermain. Dua musuh semasa SMA kini malah bermain di satu lapangan. Saling mendukung dan memberikan pelajaran untuk masing-masing. Meski kalah, tetapi tak menyedihkan.

“Sejujurnya hari ini adalah hari yang buruk untukku.” Ujar Hinata sambil melangkah bersisian menuju restoran. “Kageyama muncul di televisi, kemudian aku dimarahi pelanggan, dan aku kehilangan dompet juga! Benar-benar sial.”

Oikawa malah tertawa. “Ya, kadang memang begitu. Tak apa, hari ini biar aku yang traktir.”

“Oikawa-senpai!” Seruan Hinata dibalas dengan acakan rambut. “Kalau begitu belikan aku daging.”

“Tolong tahu diri.”

Dan tawa terdengar dari keduanya. Restoran yang Hinata tunjukkan adalah sebuah tempat makan rumahan yang dimiliki suami-istri. Makanannya enak, sehat, dan yang paling penting adalah murah. “Wah, enak!”

“Benar ‘kan. Lain kali, ajak teman setimmu ke sini, Oikawa-san.”

“Akan kulakukan.”

Televisi di sudut restoran menampilkan cuplikan pertandingan voli hari ini. Tanpa bisa mereka cegah, Kageyama Tobio muncul. “Cih.” Decak Oikawa tanpa bisa menahan sebal.

“Dia masih sama menyebalkan.” Sindiran yang Hinata setujui. “Omong-omong kau tidak bertemu dengannya?”

“Hah? Tidak. Belum waktunya.” Balas Hinata sambil menunduk. Raut wajahnya berubah. Ia tak boleh bertemu dengan Kageyama sekarang.

“Nanti, saat berhadapan di pertandingan. Baru aku akan menemuinya.”

“Oho, idealis sekali.”

“Oikawa-san sendiri apa menonton pertandingan Kageyama?”

“Tidak. Sama sekali tidak.” Jawaban cepat Oikawa membuat Hinata tertawa.

“Mirip sekali dengan Kageyama.” Balasan Hinata membawanya pada ingatan ketika mereka SMA.

Kageyama kau menonton pertandingan Grand King lagi?” Pertanyaan itu keluar setelah melihat lingkaran hitam di mata Kageyama.

Setter Karasuno itu langsung menggeleng dengan sinis. “Enggak. Aku menonton pertandingan dengan Shiratorizawa. Bukan Oikawa-san.

“Ya, ya. Terserah.” Jawaban yang dibalas dengan acakan rambut oranye miliknya dan tawanya yang keluar dari bibirnya. “Aaa! Monsteryama ingin membunuhku. Noya-senpai tolonggg!”

“Kageyama jangan menggoda Hinata terus!” Suara Sugawara yang meneriaki mereka dari ruang penyimpanan terdengar.

“Nah, dengar itu Kageyama.” Balas Hinata sambil menjulurkan lidahnya.

“Tsk, menyebalkan.”

Kalau dipikir-pikir ternyata kekanakan sekali. Akan tetapi, ternyata itu kenangan yang ia rindukan. “Memikirkan Kageyama ya?”

“Geh, tidak.” Elaknya cepat. “Omong-omong Oikawa-san menginap di hotel mana?”

“Dekat sini. Kalau mau kau boleh mampir lho.”

Secara refleks Hinata menyilangkan tangan di depan dada. “Oikawa-san, menyeramkan.”

“Sialan, maksudku tidak begitu.” Sanggahnya sebal. Gelas yang ia pegang ditaruh dan menatap Hinata lurus, “Kau tahu, Chibi-chan, tak masalah jika kau bertemu dengan Kageyama saat ini. Bukan sebagai rival, tetapi teman lama yang saling merindukan.”

Hinata tak menjawab, hanya diam memikirkan hal tersebut. Oikawa melirik sekilah, “ya terserah saja itu hubungan kalian. Aku duluan. Sampai jumpa, lain kali aku pasti akan menang.” Ia berbalik, “Shoyo.”

Senyum Hinata tercipta, lebar. “Akan kupastikan itu sesuatu yang sulit kau lakukan, Oikawa-san.”

Tawa Oikawa menjadi tanda perpisahan mereka. Ah, Hinata tak sadar untuk pulang dan berbaring di ranjang. Ia lelah setelah seharian beraktivitas. Ponselnya berdering, membuat langkahnya terhenti. “Halo, di sini Shoyo.”

Shoyo, ada pesanan mendadak. Harus dikirim sekarang.” Singkat, padat, tanpa penolakan.

Mau tak mau Hinata mengiyakan. Lumayan untuk menambah uangnya yang hilang. Jarang juga mereka mendapatkan pesanan tengah malambegini. Hinata membawa sepedanya menuju lokasi yang dimaksud. Sebuah hotel dan saat tiba, ia menghubungi nomor yang tertera. Nomor yang tak asing, membuatnya tersentak saat nama Kageyama muncul.

Heh? Setelah seminggu aku di sini kau baru menghubungi?” Itu sapaan yang diberikan oleh Kageyama. Membuat Hinata berdecak sebal, “Halo, kami dari restoran Bon Apetit ingin telah tiba di lokasi pesanan Anda.”

“Ah, begitu rupanya. Tunggu di sana. Aku akan keluar sebentar lagi.” Hinata menarik topinya turun, menutupi wajah. Menolak bertemu tatap dengan Kageyama. “Oi, Hinata.”

Geh, dasar lelaki menyebalkan. Kageyama tak langsung mengambil makanan yang Hinata berikan malah mengintip ke bawah topinya. Kemudian tertawa, “wajahmu makin jelek makanya tak mau kau perlihatkan?”

“Geh! Ambil saja pesananmu dan pergi sana.” Hinata mendorong Kageyama, namun malah ditarik mendekat bersamaan dengan topinya yang diangkat dan pindah ke kepala si rambut hitam. “Temani aku makan.”

“Aku ingin pulang dan tidur.”

“Kau bisa tidur di sini.”

“Aku menolak.”

“Kita tidak sedang melakukan tawar-menawar.”

Kageyama Tobio brengsek menyebalkan!

Berakhir dengan Hinata yang duduk berhadapan dengan Kageyama. Rambutnya kini lebih pendek, tubuhnya lebih berisi, dan agak lebih tinggi. Namun, tentu bukan hanya Kageyama yang berubah. Sebab Kageyama agak terkejut ketika melihat Hinata muncul di hadapan. Tubuhnya jauh lebih berisi dan kulitnya terbakar matahari. Kalau boleh jujur, Kageyama bahkan tak tahu bahwa ia akan merasa gugup di samping temannya ini. Hinata terlihat menakjubkan.

“Kau tahu, sangat tidak sopan untuk tak mengabari teman lama saat berada di tempat yang sama.” Komentar Kageyama sambil membuka bungkus makanan. Ia kemudian meletakkan makanan di atas meja, “kau sudah makan?”

“Sudah. Bersama Oikawa-san.”

“Hah?” Hinata tersentak mundur, kaget melihat wajah kesal Kageyama. Keningnya berkerut dalam terlihat sekali sangat marah. “Kenapa Oikawa-san ada di sini?”

“Uh, ya, dia di Argentina dan sedang ada pertandingan jadi begitu.” Entah kenapa Hinata jadi terbata begini.

“Tsk.” Hinata bahkan tak tahu alasan Kageyama sekesal ini. Ia bersandar di bangku, menatap Kageyama yang makan dengan kerutan di kening.

Tangannya terulur, menekan titik kening Kageyama. Membuat pemiliknya berhenti bergerak dan mata keduanya bertemu. “Kalau makan jangan sambil merengut marah. Makanan enak harus dimakan dengan senyum dong.”

“Aku dari dulu memang begini kok.” Balas Kageyama. Tangannya meraih telunjuk Hinata dan menggenggamnya. “Kalau kamu menemani makan juga mungkin akan beda cerita.”

“Banyak mau.” Balasnya, namun tetap menarik satu sumpit sekali pakai. Si rambut hitam di hadapannya tanpa sadar menahan senyum. Kembali menunduk dan makan tanpa banyak ucap. Juga tanpa melepaskan telunjuk Hinata dalam genggamannya. Entah tak ada yang sadar atau memang sengaja tak ingin melepaskan, tak ada yang tahu.

“Besok kau sibuk?”

“Ya. Cari uang di sini susah.”

“Heh. Aku bisa meminjamkan beberapa. Aku punya banyak.”

Hinata mendengus mendengarnya, “ya, ya Kageyama-senshu. Keren sekali. Berikan aku kartu debitmu kalau begitu.”

“Asal besok kau menemaniku tentu saja boleh.” Tawarnya dengan senyum congkak. “Bagaimana?”

“Geh. Sombong.”

“Aku berusaha.”

“Berusaha pamer?” Cibir Hinata. Ia menghela, “baiklah, kebetulan besok aku akan bertanding dengan Heitor. Jadi, besok temui aku di pantai.”

“Pantai mana?”

“Copacabana.” Jawab Hinata sambi menyeka mulutnya. Tangan kirinya terangkat dan matanya menatap jarinya yang masih digenggam Kageyama. “Oi, lepaskan.”

Kageyama melirik, tak tertarik. “Lepaskan, aku harus pulang.” Ulang Hinata membuat Kageyama kemudian berdecak saat melepaskan jarinya.

Hinata sendiri hanya menggeleng, merapikan sampah mereka dan mengikatnya di dalam plastik besar. “Aku pulang dulu.”

“Besok-“

“Jam 5 sore di Copacabana.” Lanjut Hinata sebelum membuka pintu.

“Artinya kau akan makan malam denganku?”

“Jika kau yang membayar.”

“Tentu.” Kageyama bersandar di sisi pintu. Matanya menatap si rambut oranye. Tanpa ditahan tangannya menekan rambut Hinata. “Hati-hati.”

Tak lama tangannya ditepis dengan decakan sebal. “Aku bukan anak kecil.”

Sudut bibir Kageyama terangkat, “iya, tapi masih lebih kecil dariku.”

Mata laut biru di hadapannya membuat Hinata tanpa sadar mengambil satu langkah mundur. “Terserah. Sudah ah, aku harus pulang dan tidur.” Tangannya mendorong wajah Kageyama menjauh yang malah ditahan oleh si rambut hitam. Telapak tangannya dapat merasakan napas Kageyama juga bibirnya yang menekan di sana. “Kageyama.” Ujarnya sebal, baru kemudian dilepaskan.

Menyebalkan. “Aku pulang.”

“Hn, sampai jumpa besok.”

Hinata tak menoleh dan Kageyama masih bersandar di dinding, menatap si rambut oranye yang menderap menjauh. Kalau ia mengulurkan tangannya mungkin Hinata dapat ia raih, tetapi pasti lelaki itu malah menjauh pergi. Kageyama harus sabar. Sedikit lagi. Ia hanya perlu menunggu sedikit lagi.


Kalau ditanya perihal perasaan Hinata pada Kageyama dan sebaliknya, rasanya harus mundur ke belakang. Di saat keduanya berada duduk di bangku SMA juga saat keduanya berada di tim yang sama. Situasi jatuh cinta mereka mungkin cocok dengan ungkapan jatuh cinta karena terbiasa. Jatuh cinta karena setiap hari bertemu, saling bersaing untuk kemudian makin memahami. Ada kalanya mereka tak terpisah untuk kemudian saling membenci karena keputusan masa depan.

Hinata ingat ketika berbicara dengan mengenai kekecewaannya saat Kageyama tak berbicara akan melanjutkan ke tingkat profesional. Ingat juga tanggapan Yachi saat itu adalah pertanyaan yang membuat suaranya tertahan di tenggorokan. “Kenapa marah? Kamu sendiri gak menceritakan rencana ke Brazil? Kenapa Kageyama harus cerita? Hinata, kamu suka Kageyama?”

Pertanyaan yang tak bisa Hinata jawab dengan pasti. “Ah, sudahlah. Pokoknya aku tak akan bicara padanya! Lihat saja!”

Dibuktikan dengan si Duo Aneh yang tak saling menyapa. Sudah biasa jika Kageyama tak berbicara banyak, namun Hinata yang tak menyapa Kageyama adalah hal baru. Sampai adik kelas mereka kebingungan sendiri.

“Kageyama, kau dan Hinata bertengkar?” Yamaguchi akhirnya turun tangan bertanya pada setter-nya.

Kageyama mendongak, bingung. “Hah? Tidak. Kenapa memangnya?” Ah, sudah di akhir pengurusan pun ia masih harus memusingkan dua anak ini. Ia menghela, menepuk pundak Kageyama kemudian melirik Hinata. “Ajak Hinata bicara. Aku tak mau di akhir kalian malah perang dingin.”

Meski sejujurnya Kageyama Tobio tak paham maksud Yamaguchi, ia tetap melangkah mendekati Hinata. “Oi,” sapaan itu membuat si rambut oranye tersentak. Gerakan passing atasnya terhenti paksa, membuat bola di tangannya terjatuh ke wajah.

Tawa Kageyama terdengar. Membuat Hinata merengut kesal. “Nyebelin.” Katanya sambil melemparkan bola yang langsung ditangkap Kageyama. Hinata tak menoleh untuk melihat keadaan Kageyama memilih melangkah keluar gim.

Di tempatnya, Yamaguchi hanya bisa menghela napas. “Hah, Tuhan, aku hanya ingin lengser dengan tenang.”

Yachi terkekeh mendengar harapan Yamaguchi. Tangannya menepuk punggung Yamaguchi. “Kapten, semangat! Setelah ini mereka pasti berbaikan.”

“Semoga begitu. Kepalaku sakit.”

Yachi masih tersenyum, menatap pintu yang memperlihatkan Kageyama keluar. Ya, mereka pasti berbaikan karena tak akan ada yang tahan untuk tak berbicara.

Langkah Kageyama pelan, menelusuri jalan setapak menuju taman sisi lapangan. Tempat di mana Kageyama dan Hinata berlatih bersama untuk pertama kali. Si rambut oranye ada di sana. Duduk bersandar di pohon sambil memeluk lututnya. “Oi, kau marah?”

“Tidak.” Balas Hinata sinis.

Kageyama tak menjawab, memilih duduk di samping Hinata. Kakinya melipat, mata lurus menatap ke depan. “Setelah pertandingan nasional selesai, Suzaku-san mendatangiku.”

“Suzaku-san?” Ulang Hinata.

Anggukan diberikan, “ya. Banjo Suzaku-san. Pelatih Adlers. Dia memberikan tawaran untuk try out di sana.” Kageyama diam sebentar, meluruskan kakinya dan menyanggah tubuhnya dengan kedua tangan. “Kau tahu aku tak memiliki motivasi untuk kuliah atau semacamnya. Dan Adlers adalah tim terbaik saat ini. Jadi, kau, harus cepat mengejarku.”

Ia menoleh, keduanya saling menatap. Lurus, tajam, tanpa jeda. “Tsk, dengar ya, lain kali pasti aku akan menang.”

Tawa keluar dari bibir Kageyama. “Hm, caranya?”

Hinata berdiri, menatap Kageyama di bawahnya. Dengan tangan menyilang di depan dada, ia berujar, “Aku akan ke Brazil! Belajar melakukan semuanya untuk menjadi seseorang yang terakhir berdiri di lapangan. Artinya, kau akan kalah saat itu.”

Menjawab tantangan itu, Kageyama berdiri. “Hm, akan kutunggu. Kalau terlalu lama nanti kau keburu tua dan botak.”

“Geh! Kau duluan yang akan tua dan botak! Botakageyama!” Balas Hinata dan amarah yang dirasakan menguap.

Hinata Shoyo tak pernah berhenti membuat Kageyama tertarik. Tak pernah berhenti membuatnya menunggu. Tangannya terulur, menutup kedua bola mata Hinata dan mencium telapak tangannya. Detik berikan ia menyentil kening Hinata, membuat yang lebih kecil tersentak kaget. “Hei! Tadi itu untuk apa?”

“Kalau kau berhenti menjadi bodoh akan kuberi tahu.” Balas Kageyama tanpa menoleh.

Perasaannya tak boleh diketahui saat ini. Belum saatnya. Masih belum waktunya.


Pukul delapan waktu Rio, ponsel Kageyama bergetar. Pemiliknya baru keluar dari kamar mandi saat itu. Angka 10 ada di sana, pengganti nama kontak Hinata. “Sebegitu tak sabarnya bertemu denganku hingga menelfon di pagi hari ya?”

Geh! Jangan berharap!” Jawaban di seberang membawa tawa untuk Kageyama. Ia duduk di kursi, mengisi gelas dengan jus jeruk. Warnanya membuat Kageyama teringat pemilik suara di seberang sana. “Aku hanya ingin bilang bawah hari ini aku libur. Jadi, kalau kau mau kita bisa bertemu lebih cepat.

Gelas di tangannya ditaruh. “Manis,” bisiknya pelan saat menyicip isinya. “Hm, bukan karena kau ingin bertemu denganku lebih lama ‘kan? Sebenarnya itu alasanmu saja ‘kan? Jangan bilang kau sengaja meminta li-“

Kalau tidak mau ya sudah.

“Heh? Kata siapa aku menolak?” Kageyama menggoda. “Tentu saja kita harus bertemu. Kita ‘kan teman lama.”

Hm, kalau begitu bertemu di Copacabana. ” Hinata berhenti sebentar. “ Pukul sembilan di Copacabana.

“Oke, kalau begitu aku akan bersiap sekarang. Sampai jumpa, Shoyo.” Ada jeda lama di sana sebelum Hinata akhirnya menjawab, “ya, sampai jumpa Tobio.”

Dua sudut bibirnya terangkat bahkan ketika panggilan terputus. Hanya butuh waktu singkat untuknya bersiap. Copacabana tidak terlalu jauh dari hotelnya, hanya sekitar lima belas menit dengan berjalan kaki. Hari ini Kageyama memakai kacamata hitam, hadiah dari Yachi beberapa bulan lalu. Brazil jauh lebih ramai dibandingkan Tokyo. Seruan terdengar di sana-sini meski masih pagi. Pantai sudah ramai dengan orang yang berjemur, bermain voli pantai atau hanya bersantai.

Hinata berdiri di tempat yang mudah ditemukan. Dengan kaus tanpa lengan garis biru dan celana selutut. Pundaknya memakai tas selempang. Rambut oranyenya bersembunyi di bawah topi putih. Dari sini, Hinata terlihat sangat mengo- menawan. Ya, menawan. Kewarasan Kageyama memperbaiki dengan cepat.

“Oi,” panggilnya pada Hinata yang langsung menoleh.

“Kage-“

“Tobio.”

“Tobio. Lama.” Ada rona yang tertutup bayangan, namun masih dapat ia lihat. Sudut bibir terangkat, lucu. Hinata sangat lucu. Senyuman puasnya tercipta, “jadi, hari ini kita mau ke mana?”

“Melancong seperti turis biasa.” Jawabnya sambil melangkah. “Aku harus kembali ke sini pukul empat. Ayo cepat kita pindah tempat!” Ajaknya sambil menarik tangan Kageyama. Tentunya tidak dikomentari oleh si rambut hitam.

Keduanya menaiki bus, berdesakan di antara orang sambil tertawa sebab jadi berhadapan terlalu dekat. Menaiki trem menuju Corcovado untuk melihat Christ the Redeemer. Berfoto di depan patung besar Jesus Christ setelahnya. Perjalanan singkat itu ditutup dengan makan roti lapis yang dibuat Hinata. Kemudian keduanya menuju Arpoador, pantai dengan keindahan batuannya.

“Hari ini aku akan bertanding di Copacabana” Jelasnya, ah pantas saja hari ini lebih ramai. Keduanya melangkah menuju Copacabana.

Ninja Syoyo!”

Ola, Syoyo!”

“Syoyo, olaaaa!”

Teriakan terdengar dan Hinata tersenyum lebar. Sisi Hinata yang tak bisa ia temui di Jepang. Suara teriakan asing yang anehnya terlihat cocok dengan Hinata. “Kau terkenal.” Kageyama berujar dan Hinata tertawa.

“Mungkin.”

Mungkin apanya, dengus Kageyama. Selama mereka melangkah, panggilan untuknya tak pernah berhenti. “Oh, Nice! Pedro! Apa kalian bisa menemani Kageyama?”

“Oho! Setter? Kageyama!” Hanya itu yang bisa Kageyama pahami dan ia mengangguk. “Osu.” Sapanya.

Nice menepuk pundaknya memberikan jempol sementara Pedro menepuk tempat kosong di sampingnya. “Tobio, tunggu di sini aku harus bersiap-siap untuk bertanding.”

Kageyama mengangguk dan duduk di samping Pedro. Rasanya begitu asing dan kikuk, namun anehnya nyaman. Mungkin karena dua orang ini adalah kenalan Hinata.

“Syoyo is the best here.” Perempuan tinggi di sampingnya berujar, kembali memberikan jempolnya. “So does my soon to be husband. Heitor.” Katanya sambil menunjuk pria tinggi di samping Hinata. “My husband.” Tambah Nice sambil menunjukkan cincin di jarinya.

Kageyama mengangguk paham. Ah, suami. Kemudian larut dalam pertandingan. Hinata yang berada di atas pantai adalah sosok yang berbeda. Sekali lagi ia belajar sisi lain Hinata. Teriakan Ninja Syoyo terdengar nyaring dan hangat. Keduanya kalah, namun malah membuat Nice berdiri. Melangkah dengan percaya diri dan menghampiri Heitor, “My husband.

Kageyama sekali lagi mengangguk. “Syoyo, ajak pacarmu ke pesta pernikahan kami.”

“Ah? Oh. Akan aku undang nanti.”

“Yeah, Syoyo get him.” Pedro ikut mendukung.

Kageyama menoleh, tak paham. Sama seperti Heitor yang bingung. “Dia siapa?”

Hinata langsung menarik Kageyama. “Heitor, ini Kageyama. Kageyama, ini Heitor.”

Kageyama masih kagum dengan kecepatan Hinata berganti bahasa. Tak lama ia tersentak dengan tangan Heitor di bahunya. “Kageyama! Syoyo sering berbicara tentangmu!”

Heitor bicara dengan bahasa Inggris yang bisa Kageyama pahami. Yang kemudian memberikan panik di wajah Hinata. “Heitor! Berhenti!”

Tawa terdengar. Bersama dengan Pedro yang menepuk pundaknya. “Anak ini tiap malam selalu meneriakkan namamu.”

Kageyama sekali lagi terkejut dengan Pedro yang fasih bahasa Jepang. “Pedro!”

Tawanya tercipta, melihat Hinata diledek. Hangat. Di sisi Hinata selalu terasa hangat.

“Jadi, kau akan mengajakku ke pernikahan Heitor dan Nice atau tidak?” Tanya Kageyama ketika Hinata mengantarnya ke hotel. “Kalau tidak tak masalah sih, Nice sudah mengajakku jadi aku bisa tetap datang. Tapi apa yang akan Nice katakan nanti? Dia pasti sedih.”

Satu yang Hinata sadari adalah Kageyama jadi semakin menyebalkan. Semakin berisik juga. “Tsk, akan kuajak! Besok. Datang ke tempat yang sama. Pukul tujuh malam.” Ujarnya ketika mereka sampai di depan hotel tempat Kageyama menginap.

“Sampai jumpa, Shoyo.”

“Ya, Tobio.”

Hinata melangkah tanpa pamit, menjauh tanpa menoleh. Sedikit lagi. Hinata bisa ia raih. Kageyama Tobio hanya perlu bersabar untuk sebentar lagi.

Pesta pernikahan Nice dan Heitor berada di pinggir pantai. Dengan semilir angin, suara ombak disertai musik kencang. Orang-orang berdansa, tanpa peduli kenal atau tidak. Sama seperti Hinata yang entah sudah berapa kali berganti pasangan sementara Kageyama memilih berdiri sambil memegang gelas wine di tangan.

Hinata hari ini berbeda. Rambutnya naik ke atas, kemeja putih dipadu dengan dasi kupu-kupu dan celana panjang. Tampan. Sementara Kageyama memakai tuxedo yang dibawa untuk ke pesta penutupan Olimpiade. Gelasnya ia taruh di atas meja dan kakinya melangkah ringan mendekati Hinata. Si rambut oranye baru selesai berdansa dengan Nice, membuatnya kini berhadapan dengan Kageyama. “Dansa denganku?” Tawarnya.

Hinata diam untuk beberapa detik, kemudian uluran tangan Kageyama diterima. Menari mengikuti alunan lagu, tanpa memutus tatapan mata. Seakan keduanya saling bicara dengan mulut terkatup. Tatapan mata keduanya saling menyiratkan banyak hal dan dipaksa terputus dengan musik yang berhenti.

Musik berganti, kali ini lebih lembut dan pasangan pengantin mulai berdansa. Heitor menatap Nice dengan lembut, tatapan yang Hinata tahu artinya. “Heitor sangat beruntung.”

Kageyama tak bertanya, hanya menoleh sekilas untuk membiarkan Hinata melanjutkan ucapannya. “Sangat beruntung karena bisa memiliki dua hal yang ia sukai dalam satu genggaman. Saat ini, Heitor pasti adalah laki-laki paling bahagia yang pernah kukenal. Dia mencintai voli dan mencintai Nice juga. Tanpa perlu melepaskan salah satunya, ia berdiri di sini.”

“Kau iri?” Akhirnya Kageyama berani bertanya.

Hinata menoleh, “Mungkin. Tapi karena alasan yang berbeda.” Ada suara tawa yang pedih keluar dari mulutnya. Matanya kembali terarah pada Heitor dan Nice. “Karena seseorang yang aku suka tak menatapku dengan cara yang sama.”

“Bagaimana kau bisa seyakin itu?” Geraman Kageyama tak bisa ditahan.

Hinata menoleh, kedua keningnya terangkai menjadi garis sendu. “Karena kami begitu mirip? Begitu mencintai voli dan tak mau mengalah. Karena aku tak merasa pantas untuk-“

Ucapan Hinata diputus dengan ciuman yang diberikan Kageyama. Tangannya menekan tengkuk Hinata, memperdalam ciuman mereka. Bibir Kageyama bergerak, mengulum bibir Hinata, dan membuka mulut si rambut oranye. Lidahnya masuk, menyusup pelan untuk berkenalan dengan panas mulut Hinata.

Dadanya berkali dipukul pelan, namun Kageyama tidak berhenti. Dua bola hitam matanya menatap tajam Hinata. Dorongan diberikan, cukup untuk membuat ciuman mereka terpaksa berhenti. Napas tersengal dengan wajah memerah—kehabisan napas juga sebab jantung yang berpacu cepat. Kageyama maju, menangkup wajah Hinata lembut. “Shoyo, aku gak bisa lagi menunggu.”

Namun, Hinata memilih kabur. Seperti yang ia kira. Hinata memilih pamit pada Heitor dan Nice. Melangkah ke sisi pantai yang sepi. Kageyama mengikuti hingga langkah pemuda berambut oranye di depannya berhenti. “Shoyo, soal Heitor dan Nice, kamu benar. Heitor adalah orang yang beruntung karena memiliki dua hal yang ia suka dalam genggamannya. Shoyo, kau dan aku apa tidak bisa seperti Heitor?”

Tak ada jawaban. Kageyama kembali mengambil langkah mendekat. Maju tiga langkah. Kini keduanya hanya berjarak satu meter. “Shoyo, selain voli, satu-satunya yang aku suka adalah kamu. Jadi, apa tidak bisa aku seperti Heitor yang bisa menggenggam dua hal yang disukai?”

“Hei, Hinata Shoyo, lihat sini. Kau yang mengaku ingin mengalahkanku masa tak berani melihat ke arahku?” Dua langkah ia ambil. “Shoyo,” satu langkah maju. “Aku mohon, lihat ke sini.” Dua langkah hingga ia dapat menyentuh bahu Hinata.

Tubuhnya berbalik, “Tobio, itu namanya curang.” Kata Hinata, bahkan meski dengan cahaya remang wajahnya yang merah masih dapat Kageyama lihat. “Kalau seperti ini tak adil untukku.”

Pipinya merahnya diraih oleh Kageyama dan diusap lembut. Keningnya menyatu dengan milik Hinata. “Hinata Shoyo, aku menyukaimu. Tidak, aku mencintaimu. Tolong, jangan buat aku menunggu lagi. Lebih dari ini, aku tak bisa.”

Kali ini, Hinata mengalungkan tangannya di leher Kageyama. Bibirnya maju untuk memulai, dengan tatapan yang mengintip malu. Matanya kemudian terpejam dan tangan Kageyama tanpa sadar mengusup masuk ke dalam kemeja Hinata. Dua tangannya bergerak dengan arah berbeda. Satu mengusap naik, satu lagi kembali menyusup ke dalam celana. Jemarinya berakhir di dua bongkahan lembut milik Hinata. Meremas pelan bokong yang lebih pendek dengan jarinya yang menggoda berulang.

Lenguhan keluar dari bibir Hinata, membuat ciuman mereka terhenti. Tubuhnya menjadi tumpuan, membuat Kageyama menunduk untuk berbisik. “Sho, mau menginap di hotelku?”

Anggukan diberikan dan senyum kemenangan Kageyama tercipta. Penantiannya berakhir.

Keduanya tak ingat bagaimana jelasnya mereka sampai di hotel. Hanya yang mereka tahu, ketika pintu tertutup, bibir mereka kembali menyatu. Ciuman kembali diberikan masing-masing sambil saling melucuti pakaian tanpa kenal kata sabar.

Keduanya sama-sama lapar, juga menginginkan. Sama-sama lepas pada kendali penantian panjang juga pengakuan yang baru diucapkan. Tangan Kageyama menelusuri tubuh Hinata. Bergerak jarinya mengikuti batas kulit yang terbakar. “Kamu indah.” Pujinya sambil mengecup batas kulit yang terbakar di bahu Hinata bergantian dan naik menelusuri leher jenjang. “Jangan ada tanda.”

Kageyama tak mengenal penolakan, malah sengaja memberikan tanda merah di leher. Setelahnya ia menyeringai, penuh kemenangan. Lehernya diketuk dengan jari. “Kalau begitu, berikan juga untukku di sini.”

Tanpa penolakan, Hinata meraih leher Kageyama. Menggigit lehernya hingga bekas giginya tercetak di sana. Bekas yang kemudian ia jilat dan kecup. “Tanda dariku.” Ia tersenyum, puas.

Dan Kageyama tak bisa menahan diri lagi. Ia mengusak rambutnya di dada Hinata. Gemas dengan kelakuan pria di bawahnya. “Ah, sialan. Lucu sekali.” Gumamnya. Tubuh bagian bawahnya dengan sengaja menggesek milik Hinata. Sama-sama keras dan panas. “Sho,” tangannya membawa jemari Hinata untuk menyentuh milik keduanya. “Bisa kamu rasakan bukan? Ini bukti kita saling menginginkan.” Merah padam wajah Hinata membawa kekehan lembut di bibir Kageyama. “Sho, boleh aku memelukmu malam ini?”

Hinata paham arti memeluk yang Kageyama maksud dan ia mengangguk tanpa perlu menjawab lebih lanjut. Kageyama memberikan kecupan kembali di dua dada Hinata yang besar dan lembut. Menyentuhnya pelan, memberikan pijatan lembut, dan kecupan bergantian. Makin lama ia makin turun hingga pada ereksi Hinata yang basah oleh cairan miliknya. Sudut bibirnya terangkat, tanpa dapat ditahan libidonya naik. Hinata, di hadapannya saat ini terlihat berantakan, indah, dan ingin ia berikan banyak kenikmatan.

Tangannya terulur, membuka nakas dan mengeluarkan sekotak kondom juga lubrikan—yang disediakan oleh pihak Olimpiade. Jika di hari pertama ia akan bertanya kegunaan benda itu, hari ini ia bersyukur tak membuangnya. Jarinya dibalut latex ketat transparan yang kemudian dilumuri cairan putih beraroma kayu manis. Hinata menatapnya, “Tobio, kau pernah melakukan ini?”

“Ya. Ribuan kali di kepalaku bersama denganmu.” Aku Kageyama tanpa tahu apa itu malu membuat Hinata memerah.

Jemarinya mengikuti lingkaran merah di hadapannya. Menekan ditiap putaran untuk kemudian masuk dan mulai mengoda. Satu jari, bergerak melingkar, mencoba membuat Hinata familiar. “Tobio, rasanya aneh.”

“Hm, lama-lama enak.” Balas Kageyama dengan jari yamg masih bergerak melingkar. Ketika jari telunjuknya menemukan tonjolan kecil senyumnya tercipta. “Ah, akhirnya ketemu.”

Tonjolan yang kemudian ia tekan, membuat Hinata menekuk dengan pekikan tertahan. Jemarinya masih dimakan Hinata, makin erat, dan mengikat. “Shoyo, kamu harus relax. Kamu harus siap sebelum bisa menerima milikku seutuhnya.”

“Rasanya aneh, Tobio.” Tubuh Hinata gemetar membuat Kageyama mendekat dan memberikan kecupan. “Kalau kamu belum siap kita bisa berhenti-“

Namun, tangannya dicegah untuk keluar oleh Hinata. Gelengan kembali diberikan, izin kembali didapat, dan Kageyama kembali melanjutkan. Kali ini mulai dengan dua jari. Lubrikan ditambah, membuat gerakan keluar-masuk semakin mudah. Berkali, sengaja ia menyentuh titik yang kembali membuat Hinata bergetar dengan napas tertahan. Satu jari ditambah, membuat bukaan semakin lebar.

“Ah, hng, Tobio, it’s fine now. So we can do it now.” Suara Hinata terbata dengan wajah merah.

Kageyama meremang mendengar ucapan Hinata. Terlebih dengan tubuhnya yang bergetar tanpa bisa ditahan. Milik Hinata keras, basah, dan berteriak ingin melakukan pelepasan. Sama seperti dirinya. Ia menunduk, memberikan kecupan di dahi dan juga sentuhan di pipi. “Sho, I love you.

Hinata mengangguk kecil, meraih wajah Kageyama untuk memberikan lumatan di bibir. Matanya menatap Kageyama yang saat ini segelap laut malam. “Ya, Tobio, aku juga. Jadi berhenti menahan diri dan biarkan aku merasakan dirimu, di dalam diriku.”

Sudut bibir Kageyama terangkat, bibirnya kembali menyentuh puncak kepala Hinata. Berkali memberi kecupan, membuat Hinata sibuk sementara tangannya turun, memompa miliknya untuk diarahkan ke dalam lingkar milik Hinata. Mengubur miliknya sedalam yang bisa ia capai pada Hinata. “Sho, Shoyo.”

“Hng, Tobio.” Rintihan keluar tanpa bisa ditahan. Tangannya menyentuh perutnya, merasakan Kageyama di dalam dirinya. “Sekarang aku bisa merasakan kamu sepenuhnya ada di sini. Tobio, aku mau kamu.”

Kekehan pelan terdengar. “Ya, Shoyo. Aku juga.” Bibir keduanya kembali bertemu dengan Kageyama yang bergerak pelan. Mengisi penuh diri Hinata. Membagi panas bersama dan desahan yang keluar tanpa ditahan. “Tobio, hng, lebih cepat.”

Napas Kageyama tersengal, tersentak ia ketika merasakan Hinata menjepit dirinya begitu ketat. “Ah, Sho.” Rintihan keluar dari bibir Kageyama. “Jangan menjepit terlalu kencang. Aku bisa ke-“

Sialan. Kageyama tak yakin ia bisa bertahan sementara pinggang Hinata ikut bergerak, berlawanan arah, membuat miliknya terasa diserang dalam berbagai arah. Hinata masih bergerak, mencari kenikmatannya, membuat Kageyama menggeram dan kehilangan batasnya. Keduanya bergerak makin cepat, diiringi lenguhan dan desahan. “Ahn, Tobio, Tobio. Lebih cepat, isi aku lebih dalam.”

Kageyama bergerak, sesuai keinginan Hinata. Menghujam dalam dengan cepat. Hingga ia menunduk, memeluk Hinata erat. Tangannya yang lain memompa ereksi Hinata yang basah. Diberikan banyak rangsangan seperti itu membuat teriakan Hinata keluar. “Ah, Tobio!”

Bersamaan dengan gerakan Kageyama yang makin cepat dan dalam. Milik keduanya berkedut, bersamaan, mengeluarkan putih di tempat berbeda. Milik Hinata jatuh di atas perutnya sedangkan milik Kageyama tertahan pada latex transparan. “Tobio,” panggil Hinata. “Satu saja belum cukup untuk kita bukan?”

“Tentu saja tidak. Lagipula, persediaan kondomnya masih banyak. Tentu harus kita gunakan sebaik-baiknya.” Balas Kageyama, kemudian memberikan kecupan ringan. Keduanya kembali saling menyentuh, kembali mencari pelepasan yang selama bertahun tertahan. Saling memeluk hingga matahari mengintip dari jendela.

“Kau pulang hari ini?” Tanya Hinata sambil membuat gerakan melingkar di dada Kageyama.

Gelengan diberikan. Tangan Kageyama yang menjadi sandaran Hinata bergerak, mendekatkan si rambut oranye ke arahnya. “Rencananya begitu. Tapi aku rasa menambah satu dua hari tak masalah.”

“Sungguh?” Balas Hinata yang kemudian langsung mengaduh. Punggungnya sakit. Tawa kecil tercipta di bibir Kageyama. “Pelan-pelan. Kita bermain sampai pagi kalau kau lupa.”

“Geh, aku ingat!” Hinata memukul pelan dada Kageyama sambil menunduk malu. “Hm, jadi hari ini sampai lusa kita bisa, um, kau tahu, kencan?”

Ugh, Hinata lucu sekali. Ia memeluk tubuh Hinata erat, membuat yang dipeluk memukul punggungnya. “Aku tidak bisa bernapas!”

“Pacarku lucu sekali.”

Pukulan di punggungnya berhenti. Malah berubah menjadi pelukan dan wajah Hinata yang ditekan ke dada Kageyama. “Guh, kita benar-benar pacaran?”

“Memang tidak mau?” Kageyama mencoba menarik Hinata dari pelukannya, namun tak berhasil.

Hinata menggeleng, kembali mengubur wajahnya di dada Kageyama. “Mau.”

Ah, Hinata malu. Benar ‘kan, pacarnya ini lucu sekali. “Ada satu masalah.”

“Apa?” Kali ini wajah Hinata menyembul—mengintip keluar dari pelukannya—menggemaskan sekali. “Hari ini aku harus check out dan uangku kurang untuk biaya penginapan.”

“Kau bilang uangmu banyak.” Kata Hinata sambil menyandarkan kepalanya di dada Kageyama. Dua kelereng amber itu menatapnya lurus. “Kemarin kau menyombongkan uang, sekarang sudah jatuh miskin?”

Dua jarinya bergerak, menyentil Hinata pelan. “Guh! Sakit!”

Setelahnya jari Kageyama juga yang mengusap titik yang ia sentil tadi. “Daripada untuk biaya penginapan lebih baik aku gunakan untuk biaya kencan ‘kan?”

Hinata kalah. Wajahnya kembali jatuh di dada Kageyama. “Menyebalkan. Berhenti membuatku berdebar!” Tangannya kembali memukul dada Kageyama pelan. Tak lama ia kembali mendongak. “Kau tahu, um, kalau begitu, mau menginap di tempatku?”

Tawaran itu yang Kageyama nantikan. Dua sudut bibirnya terangkat. Ia bergerak, bersandar di bantal. “Tawaran yang tak bisa kutolak.”

Hinata kali ini tersenyum makin lebar. Membuat Kageyama menariknya untuk duduk di pangkuannya. “Sebelum check out ayo kita manfaatkan ruangan ini lagi.”

Sekali lagi, karena cukup masih jauh dari jangkauan keduanya. Tubuh saling berpeluk, bergerak meraih kenikmatan dengan bibir yang tak rela melepaskan. Sekali lagi, tanpa mengenal cukup.

Kageyama Tobio berakhir dengan menambah tiga hari di Brazil. Kencan di berbagai tempat dan tentu mencoba mencari kesempatan untuk saling menyentuh. Di sini, mereka tak perlu bersembunyi untuk mengecup bibir. Kebebasan singkat juga rindu yang akhirnya bisa menemukan pemiliknya.

Tangannya masih merengkuh tubuh Hinata. Di bandara sudah ramai orang dengan tujuan berbeda. Tak ada yang menatap mereka ingin tahu, hanya mungkin heran karena sudah sepuluh menit tak saling melepaskan. “Tobio, kamu akan ketinggalan pesawat.”

“Makanya kau pulang denganku.” Rujuk Kageyama sebal. Masih tak mau melepaskan.

Tawa keluar dari bibir Hinata. Kageyama-nya merajuk. Lucu sekali. “Aku akan pulang hari Senin. Kau tahu aku masih harus mengurus beberapa dokumen. Jadi, tunggu aku. Kali ini hanya sebentar.” Melihat tak ada gerakan dari Kageyama membuatnya menepuk punggung setter manja di hadapannya. “Kageyama kali ini berbeda. Aku ‘kan pacarmu, jadi kali ini menunggu tak akan terlalu sulit dilakukan.”

Helaan napas terdengar dari Kageyama. Kepalanya jatuh di bahu Hinata. “Aku tahu.” Ia kemudian menangkup wajah Hinata, memberikan kecupan di bibir berulang. “Senin.” Katanya di akhir kecupan.

“Senin.” Balas Hinata, kali ini ia yang memberikan kecupan. “Sekarang kau pulang dulu. Aku akan menyusul.”

“Hah,” helaan napas terdengar. “Baiklah. Peluk aku kalau begitu.”

Hinata kembali tertawa. Pelukan ia berikan. Keduanya bergerak dalam pelukan, kiri-kanan bergantian, dan baru berhenti saat panggilan pesawat Kageyama terdengar. “Jangan terlalu lama. Aku akan menunggumu.”

“Ya.” Senyum lebar Hinata diberikan. “Sampai jumpa, Tobio.”

“Sampai jumpa, Shoyo.”

Kageyama terus menoleh sambil memberikan lambaian tangan berulang diiringi tawa Hinata sebab berkali kekasihnya hampir menabrak. Kali ini tak akan lama. Sebab kali ini penantian keduanya berbeda.

“Geh! Aku lupa mengatakan kalau berikutnya aku yang menang!” Seruan Hinata membawa beberapa tatapan aneh ke arahnya. Ya, status mungkin berubah, namun selebihnya tak ada yang berubah. Keinginan Hinata mengalahkan Kageyama masih sama besarnya. “Lihat saja! Aku akan mengalahkanmu nanti!”

Di tempatnya, Kageyama bersin.


What IfIwaHina

Commisioned fanfiction from anonymous who love iwahina the most Characters belong to Furudate Haruichi

Contains a bit of harsh words. I hope you will enjoy this one as much as I did will write it ✧◝(⁰▿⁰)◜✧


Lucu ya, kala jatuh cinta dan mata menemukan pujaan hati di antara kerumunan. Lucu ketika mata bertemu dan terputus dengan rona merah menahan malu. Lucu juga bagaimana senyum kemudian tertahan di bibir sebab di samping pujaan hati ada orang lain. “Hai, Sho, udah lama nunggu?”

Gelengan diberikan, “enggak kok Kak. Hai, Kak Tooru!”

“Ola~ Jeruk. Ati-ati sama Hajime, dia galak.” Setelah bicara seperti itu, Oikawa Tooru mengacak rambutnya pelan. “Duluan ya, gue ada rapat di rektorat. Hajime, jagain Shoyo tar ilang.”

“Bawel. Sana deh lu jauh-jauh.” Kekehan keluar dari bibir Hinata tanpa bisa ia tahan. Melihat dua kakak tingkatnya saling meledek kemudian berpisah itu lucu. Tawanya terhenti saat melihat tatapan yang diberikan oleh Iwaizumi pada Oikawa. Ah, pedihnya kembali ia rasakan.

Jatuh cinta sendirian itu menyakitkan. Hinata Shoyo yang paling tahu, terlebih pada seseorang yang matanya terfokus pada sahabat kecilnya. Kesempatan ya? Dalam hati Hinata tertawa sinis. Boro-boro memikirkan kesempatan, berandai-andai saja rasanya sudah salah. Sejak awal, perasaannya memang tak ada tempat untuk berlabuh, hanya bisa terombang-ambing di atas badai.

“Kamu laper gak?” Tanya si rambut hitam. Riuh di sekitar mereka seakan redam di telinga Hinata. Fokusnya hanya suara pria di sampingnya—yang saat ini dengan kurang ajarnya menyisir rambut ke belakang. Tampan sekali. Kepalanya turun, mencoba mengusir merah di pipinya.

“Lumayan sih, aku baru inget tadi gak sarapan.” Decakan selanjutnya didengar.

“Kebiasaan.” Balasan yang selalu membawa tawa di bibir Hinata. “Tuh, malah ketawa. Dasar bocil.” Tangan besar Iwaizumi naik, mengacak rambutnya pelan.

Gerakan sederhana dan kebiasaan yang tak lepas, namun tetap terus membuat jantungnya berdetak cepat. Iwaizumi dan caranya membuat jatuh cinta berulang ini berbahaya. “Yaudah, yuk makan dulu. Nanti perut kamu sakit aku yang repot.”

Iwaizumi dan omelan panjangnya. Juga perhatian yang terus diberikan. “Adik aku badan udah kecil gini kalo sakit aku yang sedih.”

Iwaizumi dan caranya membuat patah hati berulang tanpa aba-aba. Tangan Hinata mengerat di tali tasnya. Perih di dadanya kembali tanpa bisa dicegah atau diucap nanti. Sekali lagi senyum di bibirnya tercipta, menutup pedih yang menyakiti dirinya. Berulang, di tempat yang sama, dengan alasan berbeda.

Iwaizumi Hajime dan caranya menyakiti tanpa sapa juga caranya membuat jatuh cinta tanpa pamit. Siklus yang berulang. Tanpa kenal henti atau sejenak memberi istirahat.

Kalau dipikir-pikir mungkin Hinata yang terlalu naif. Berkutat dalam perasaan bertahunnya yang sama. Jika menarik ke belakang, alasannya jatuh cinta tanpa sapa rasanya begitu sederhana. Tanpa bisa ditahan, terjatuh pada pemilik nama Iwaizumi Hajime yang saat itu berusia tujuh belas.


Hinata Shoyo kesal, sepedanya tak bisa keluar karena dihadang motor yang parkir seenaknya. Sudah parkir horizontal, kunci stang pulang! Menyebalkan. Ditambah, pemilik motor ini kenapa parkir di depan tempat sepeda sih? Hinata mengomel, panjang tanpa suara. Dia masih kelas satu SMA, takutnya pemilik motor itu kakak kelas, nanti jadi masalah panjang. Hinata tak suka keributan, jadi akhirnya berjongkok frustasi di depan motor yang tak ia ketahui pemiliknya.

“Heh? Ngapain lo jongkok di sana?” Ia mendongak, sinar matahari sore membuat matanya tak dapat melihat jelas wajah pemilik suara itu. “Rantai motornya emang putus?” Berakhir dengan si orang asing berjongkok di sampingnya. “Eh, ini motor lu?”

Hinata menggeleng, tanpa sadar menunjuk sepedanya yang terhalang. “Mau ngeluarin sepeda Kak.” Katanya setelah melihat tulisan kelas di dada kiri orang asing itu.

Kulitnya cokelat, rambutnya hitam dipotong rapi. Tubuhnya bercampur dengan aroma matahari dan vanila. Kombinasi yang menarik sekaligus aneh. Vanila sangat tidak cocok dengan image si Kakak Kelas ini. Lihat, seragamnya tidak dikancing—memperlihatkan kaus putih dengan lengan baju yang digulung. Kalau ada yang bilang dia ini preman sekolah, Hinata akan percaya.

“Dih, ini pasti Si Tolol yang parkir begini.” Hinata tersentak, kaget hingga jatuh terduduk. Suara si Kakak Kelas galak sekali, rasanya seperti Hinata yang dimarahi, dan tanpa sadar ingin mengucapkan maaf.

“Maaf Kak.” Tanpa sadar ia keluarkan juga suaranya.

Mulutnya ditutup, mendongak takut-takut. Bukannya tatapan sinis, malah tawa yang diberikan. “Hahaha,” Hinata belum pernah melihat seseorang tertawa lepas hingga membungkuk dan kemudian berjongkok di sampingnya. “Ngapain lo minta maaf? Kocak.” Sudut matanya ia seka dan saat berdiri tangannya terulur. “Diri, celana lo kotor. Mana pake celana putih.”

Dibantu berdiri, dibersihkan juga celananya. “Ops, sori, kebiasaan sama adik gue jadinya gini deh.”

Hinata buru-buru menggeleng, “gapapa kok Kak.” Meski tadi ia sempat membatu karena kaget.

“Sepeda lo yang mana deh? Ini yang punya motor bakal lama baliknya.” Ujarnya sambil melirik ke deretan sepeda. “Yang putih?”

Hinata mengangguk. “Iya Kak.”

“Oke, tunggu di sini.” Kemudian yang tak Hinata sangka adalah si Kakak Kelas itu berdiri di sela antara motor dan sepedanya. Tak lama, sepeda miliknya diangkat, hingga ia melongo. “Oi, pegangin tar jatoh.”

Buru-buru Hinata meraih sepeda putihnya untuk kemudian ia letakkan di hadapannya. “Maaf ngerepotin dan makasih ya Kak?”

“Iwaizumi Hajime.” Katanya sambil menepuk kedua tangan dan celananya. “Lo?”

“Oh, Hinata Shoyo. Kelas 10-5 Kak.” Balasnya gugup.

“Oke, hati-hati di jalan ya.” Setelahnya tanpa menoleh, Iwaizumi meninggalkan Hinata. Sementara si rambut oranye masih di tempatnya dan menatap Iwaizumi yang sudah sibuk dengan bola basket.

Senyumnya tanpa bisa ia tahan tercipta. Ternyata meski tampangnya menyeramkan orangnya baik sekali. Bagi Hinata, saat itu Iwaizumi Hajime sangat keren. Ini bukan tentang cinta pada pandangan pertama, hanya diawali dengan kagum.

Setelah pertemuan itu, ia jadi sering menyapa. Sering melihat Iwaizumi yang kalau jam olahraga lengan kaus dan celananya akan digulung. Sering juga melihat banyak mata yang menatap kagum atau bahkan berita penolakan pernyataan cinta. Pada akhirnya ia juga jadi sering berbicara karena mengikuti ekskul yang sama. Ekskul Pramuka yang sebenarnya sangat ia benci, tetapi tak jadi setelah melihat sosok Iwaizumi.

Kalau ditanya sejak kapan ia jatuh cinta, Hinata tak bisa menjawab dengan pasti. Hanya saja tanpa sadar matanya mengikuti sosok kakak kelasnya. Ketika tertawa, ketika marah, ketika kesal, mencibir, sampai menatap seseorang dengan sendu. Seringnya memperhatikan Iwaizumi membuatnya sadar, oh, ada seseorang yang bisa ia tatap seperti itu. Sendu tatap mata Iwaizumi membuat dadanya nyeri. Tatapan yang hanya ditujukan pada Oikawa Tooru, teman kecilnya. Seseorang yang akan membuatnya meninggalkan hal lain tanpa pertimbangan. Seseorang yang selalu diberikan tatapan lembut meski bibirnya mengucap sinis. Seseorang yang membuat Hinata iri.

Kedekatan mereka singkat, setahun pun tak penuh. Hingga membuatnya menangis di hari kelulusan karena frustasi tak bisa lagi bertemu. “Lah, kok nangis?” Ucapan Iwaizumi memang terdengar meledek, namun tangannya tetap membawa Hinata dalam pelukan.

Di sekitar mereka, ledekan bisa didengar. Terutama dari Tsukishima Kei, teman sekelasnya dengan mulut menyebalkan. “Cengeng banget lo, Cil. Kaya ditinggal suami dinas ke luar kota.”

“Tau nih. Kok lo nangisin Hajime tapi gue enggak?” Balas Matsukawa Issei. Salah satu kakak kelas yang dekat dengannya sekaligus teman Iwaizumi.

Komentar keduanya makin membuat Hinata tak mau mengangkat wajah. Pertama malu, kedua kesal, terakhir sisi egoisnya menang. Iwaizumi tidak memiliki aroma vanila, hanya pelembut pakaian yang ia kenal.

Dalam pelukannya, Iwaizumi bergetar menahan tawa. “Gue spesial soalnya. Lo kerjaannya cuma bikin Shoyo kesal sih.”

“Idih, gue demen neraktir padahal.” Sungut Matsukawa tak terima. Dalam hati, Hinata berteriak: Kak Issei traktirnya seblak ekstra pedas cuma buat nyiksa aku!

“Udah, sana ah. Lo bikin anak orang malu tau gak.” Usir Iwaizumi, tangannya masih melingkar di punggung Hinata. Setelah keduanya pergi dengan decakan dan ledekan tanpa akhir, Iwaizumi menunduk. “Gak usah nangis lah. Depok gak jauh kok.” Katanya menenangkan.

Hinata menggeleng, menghapus air matanya, menahan diri untuk tak menangis. “Enggak nangis. Depok emang deket tapi 'kan tetep aja ketemunya susah.”

Iwaizumi tertawa, seperti biasanya. Namun, hari ini ada yang berbeda dan Hinata tahu alasannya. “Gue cuma pindah tempat belajar. Lo masih bisa kontak gue, lo masih adik gue.”

Ah, adik. Hinata bahkan belum lama menyadari ia jatuh cinta. Iwaizumi Hajime tahu bagaimana membuat seseorang berhenti di tempat. Pelukan dilepas dan Iwaizumi menghapus air mata Hinata dengan lengan bajunya. “Kejar gue.”

“Kakak pikir gampang?” Sungut Hinata sebal.

Iwaizumi malah tertawa. “Kalau gampang gak ada tantangannya dong? See you when I see you, Shoyo.”

Iwaizumi Hajime hari itu terlihat begitu bersinar. Juga terasa begitu jauh karena setelahnya, tatapan mata itu kembali terarah pada seseorang yang ia harap adalah dirinya. Seseorang yang membuat Iwaizumi patah hati di hari kelulusan. Seseorang yang sekali lagi Hinata harap adalah dirinya.


“Gimana rasanya jadi maba*¹?” Tanya Iwaizumi sambil menyedot minumannya. Lengan kemeja kotak-kotak hitam-merah miliknya dilipat hingga siku. Kebiasaan lama memakai kaus di dalam kemeja belum hilang, ditambah tidak mengancingkan kemejanya juga masih dilakukan.

Hinata menghela setelah mengunyah. “Capeekkkk.”

Iwaizumi menjawab dengan tawa. “Tapi asik 'kan? Ketemu banyak orang, ngobrol banyak hal, terus ketemu hal baru juga.”

Mau tak mau Hinata mengangguk. Soal itu tak salah sih. Di samping lelah yang dirasakan ia juga merasa senang dengan banyak kegiatan menyenangkan. “Iya, tapi aku udah mau semester tiga masih aja kena ospek*².”

“Oh, diperpanjang ya?” Mau tak mau ia mengangguk. Dikarenakan satu dan lain hal, ospek jurusannya harus diperpanjang sampai dua semester. Puncaknya nanti mereka akan mengadakan makrab*³ di akhir semester. “Bandel sih.”

“Itu oknum menyebalkan dan pemalas. Aku mah rajin ya.” Sebal Hinata. “Lagian, Kakak basa-basinya jelek banget. Masa nanya perasaan jadi maba sih.”

Iwaizumi terkekeh pelan mendengar komentar Hinata. “Terus harus nanya apa?” Balasnya dengan santai menguyah tempe goreng. “Kalau tugas kampus lebih malesin.”

“Geh, bener juga.” Hinata setuju, membayangkannya saja sudah malas. “Oh, Kakak masihi sibuk BEM*⁴? Sama Kak Tooru?”

“Iya nih. Sampai pengurusan ini selesai terus kelar deh.”

“Gak ada rencana mau nambah masa jabatan Kak?”

Iwaizumi buru-buru menggeleng. “Enggak deh. Dari jaman maba udah di BEM. Bosen. Mau nyoba yang lain. Kamu gimana? Mau masuk BEM?”

“Geh. Enggak. Aku ditarik sama Kak Issei buat ngurusin teater.” Curhatnya sambil menggigit sedotan. “Terus Kak Issei masih nyebelin dan nyuruh aku mulu.”

Iwaizumi hanya tersenyum, tangannya kemudian terulur untuk menyeka sudut bibir Hinata. “Ada saos.”

Sekali lagi, Iwaizumi Hajime tak pernah berhenti untuk membuat jantungnya berdegup kencang. “Geh, makasih.”

“Ya udah yuk. Gue anter balik.” Iwaizumi berdiri lebih dulu dan keduanya melangkah bersama. Di luar agak mendung saat mereka melangkah. Memang sejak awal mereka hanya bertemu tanpa alasan, hanya ingin saja. Sudah beberapa kali seperti ini dan seperti biasa, Hinata akan mengambil satu langkah mundur untuk menatap Iwaizumi dari tempatnya.

Iwaizumi dekat, namun tak dapat ia raih. Hingga akhirnya yang lebih tua berhenti dan menoleh. “Kamu kenapa selalu jalan di belakangku sih?”

Hinata malah tersenyum, “kebiasaan.”

Keduanya berdiri di jembatan antar fakultas. Semilir angin membuat rambut Hinata bergerak pelan dan tangan Iwaizumi tanpa sadar menyentuh rambutnya. “Sho, kenapa tiap kali kamu natap aku, seakan ada hal yang ingin kamu ucapkan tapi ditahan?”

Hinata diam. Rasanya seakan saat ini perasaannya sedang ditelanjangi. “Perasaan Kakak aja.”

“Kalau kamu mau ngomong, ngomong aja. Bakal aku dengerin.” Kata Iwaizumi.

What if I tell you I love you, would it bother you?” Ucapan itu keluar tanpa ia tahan.

Iwaizumi diam. Bingung harus membalas apa sebab pertanyaannya terlalu tiba-tiba. “It does right?” Hinata menunduk, tak berani lagi menatap Iwaizumi.

Suaranya tercekat di tenggorokan, terhenti di ujung lidah. “Lupain aja. Cuma bercanda kok.”

Kalau bercanda, matanya tak berair. “Aku duluan.” Hinata melangkah lebih dulu, melewati Iwaizumi yang membeku. Air matanya mengalir tanpa dapat ditahan. Hinata lebih takut hubungan mereka hancur dibanding perasaannya tak terbalas.

“Kalau bercanda, kamu gak akan nangis.” Tangannya ditahan dan Iwaizumi memeluknya dari belakang. “Maaf. Aku cuma kaget kamu tiba-tiba nyatain perasaanmu. Karena aku kira aku jatuh cinta sendiri.”

Kali ini Hinata menoleh, air matanya ia hapus dengan kasar. “Kak Hajime bego ya? Aku selama ini nyari alasan biar bisa deket sama Kakak. Aku nyari cara biar bisa ketemu Kakak dan nahan sakit hati karena Kakak suka sama Kak Tooru.”

“Sho,” panggil Iwaizumi pelan, tangannya menangkup wajah Hinata lembut. “I'm over him since years ago. Since you come and made me falling. I'm over him and now fall for you. Would you mind to be mine?”

Bibir Hinata terkatup dan tangannya menarik kerah baju Iwaizumi mendekat. Bibir keduanya bertemu, untuk sepersekian detik dan berakhir dengan wajah merah Hinata. “All this time I only fall for you and now you're mine.”

Yeah, I'm yours.”

Dari sekian alasan untuk jatuh cinta, juga waktu jatuh cinta, tanpa memilih atau menyapa lebih dulu, Hinata sudah jatuh untuk Iwaizumi. Pun sama seperti Iwaizumi yang tanpa sadar jatuh untuk Hinata. Pada akhirnya keduanya saling memiliki tanpa memilih.


*¹ : mahasiswa baru *² : orientasi studi dan pengenalan kampus *³ : malam keakraban *⁴ : Badan Eksekutif Mahasiswa

Redam — OiHina Tag: angst, insecurity, right people wrong time


Hinata Shoyo selalu mempertanyakan alasan dirinya dan Oikawa putus. Selalu bertanya, bagian mana pada dirinya yang kurang? Bagian mana pada dirinya yang tidak memuaskan Oikawa? Atau mungkin sejak awal memang tak ada bagian dalam dirinya yang benar-benar membuat Oikawa jatuh cinta. Ragu yang berakhir membawa keduanya memilih mundur pada hubungan mereka. Keduanya tak pernah benar-benar bicara, hanya tiba-tiba satu memilih menghindar dan secara natural tak lagi berhubungan. Satu beralasan ingin fokus ujian masuk kampus, satu memilih menenggelamkan diri pada lirik lagu. Begitu sampai hari ini, setelah dua tahun mereka akhirnya bertemu.

Satu yang Hinata sadari adalah Oikawa semakin jauh. Suaranya tak lagi hanya didengar di dalam kamarnya, tetapi pada tempat-tempat umum. Di mal saat ia menemani adiknya, di toko buku saat ia mencari komik, di kafe saat ia berdiskusi dengan teman, bahkan hingga di dalam kamar temannya. Suara Oikawa mengikuti, menjerat tanpa ia bisa coba untuk melepaskan. Bahkan meski Hinata menghindari untuk mendengar lagu—yang membuatnya teringat pada masa lalu—ia tak bisa melakukannya.

Lalu, hari ini, ketika ia memilih devisi lain untuk menghindari pertemuan langsung, semesta mempermainkannya kembali. Sengaja membuat mereka harus bertemu hanya untuk menampar Hinata dengan realita. Membangunkannya pada kenyataan bahwa Oikawa sudah berbeda. Sudah begitu jauh untuk bisa ia raih. Suaranya dieluhkan terlalu banyak orang. Teriakan lagunya mendorongnya jauh pada kenangan. Sementara yang bisa Hinata lakukan hanya berdiri di antara ribuan orang dan menatap Oikawa yang bersinar. Begitu bersinar sekaligus kesepian.

Tatap mata mereka tak terputus, bahkan sampai lagu berakhir. Sampai ia mengucapkan selamat tinggal dan turun dari panggung, Hinata masih menatap Oikawa. Untuk kemudian kembali disadarkan realita bahwa Oikawa tak lagi melihatnya sama seperti lalu. Mungkin, tatapannya di panggung hanya karena luapan emosi yang tak terbendung, bukan sebab rasa mereka masih sama.

Langkah Hinata terhenti, fokus matanya tertuju pada converse hitam. Terlalu ia kenal. Bahkan aromanya masih semanis teh. Perlahan ia mendongak dan sekali lagi ia dipermainkan oleh semesta yang saat ini menertawakan. “Kak Tooru? Kok belum pulang?”

Keduanya hanya berjarak satu langkah. Deru napas Oikawa bisa Hinata rasakan. Wajah keduanya berjarak satu jengkal, saling menatap. Oikawa dengan kerutan di keningnya, juga bibir yang terkatup rapat—seolah tak ada kata yang dapat ia ucapkan.

Berakhir dengan kedua tangan Oikawa berada di bahu Hinata. “I will take you home.”

Hinata tahu, Oikawa akan lebih keras kepala saat ia menolak. Pada akhirnya ia akan menerimanya, jadi lebih baik sejak awal ia menurut. Anggukan diberikan, jemari Oikawa terhenti di udara ketika ia ingin menarik tangan Hinata. Berakhir dengan Oikawa yang berbalik dan melangkah lebih dulu. Hinata menyentuh lengannya, menekannya juga perasaan yang perlahan naik ke dadanya. Mengelitik dari perut hingga menyebar panas ke pipi.

Selama perjalan ke mobil, tak ada yang membuka suara, yang ada malah Oikawa membukakan pintu. Kebiasaan lama belum berubah ternyata. Aroma mobil Oikawa masih sama. Aroma teh seperti tubuhnya. Manis dan mengikat juga tak terlalu menusuk. Di dashboard juga masih sama, ada boneka kaktus yang bergoyang. Ketika ia mendongak, foto mereka ternyata masih di tempat yang sama—bergantung pada kaca. Tak ada yang berubah dan rasanya aneh.

“Aku pulang ke kosan.” Ucap Hinata saat mereka keluar dari lingkungan kampus.

“Jalannya udah ditutup 'kan? Kenapa gak ke rumah?” Oikawa membelokkan mobilnya menuju jalan raya.

Hinata berdeham, “kejauhan. Terus Senin udah masuk.”

“Emang gak ada jam malam kosannya?”

“Ada. Tapi udah bilang ke Ibu kosnya.” Jelas Hinata.

Oikawa hanya mengangguk. Hinata kira mereka akan kembali ke kosnya atau rumah. Nyatanya berbelok ke jalan yang Hinata tidak tahu. “Ke tempat gue aja kalau gitu.”

“Hah?”

“Studio gue ada di dekat sini. Ke situ aja. Baru besok gue anter pulang ke kosan.” Jelas sekali Oikawa tak menerima penolakan. Sekali lagi, keras kepalanya muncul dan Hinata hanya bisa mengikuti. Studio Oikawa adalah sebuah rumah berbentuk minimalis dengan warna dominan hijau mint juga putih. Lantainya dari kayu dan di ruang tengah terdapat televisi LCD yang menggantung dengan meja berisi PlayStation di bawahnya. Hinata tak pernah ke sini. Dulu, saat mereka masih pacaran, iNgar belum sebesar sekarang. Belum membuat Oikawa mampu membeli tempat ini. Ah, sekali lagi ia merasa Oikawa semakin jauh.

Oikawa kembali dengan cangkir berisi teh hangat. Earl grey kesukaannya, masih diingat ternyata. Keduanya duduk bersandar di kaki sofa, dalam diam menatap televisi yang tak menyala. Kalau ditatap lebih lama lagi mungkin televisi itu buang muka, malu sebab menjadi saksi dari dua yang pernah menjadi satu.

Si rambut oranye menoleh—mengintip malu-malu dari sela jemari yang terangkat untuk minum—dan mendapati Oikawa membuka kaleng bir miliknya dengan satu tangan. “Kakak tinggal sendiri di sini?”

“Hm. Kadang yang lain nginep kalau mau rekaman.” Jawab Oikawa sambil menunjuk pintu hitam di depan mereka. “Itu studionya.”

Hinata mengangguk. Kembali hening dan cangkirnya ia taruh di atas meja. Hinata memeluk lututnya dengan bahu bersandar di sana. “Um, Kak, boleh minjem baju gak?”

“Mau mandi?” Tanya Oikawa.

“Iya.”

Oikawa berdiri, agak sempoyongan saat melangkah ke kamar dengan pintu putih. Hinata tebak itu kamar Oikawa. Tak lama ia keluar dengan handuk, pakaian juga sikat gigi baru. “Kamar mandinya di situ.”

Sekali lagi anggukan sebagai jawaban Hinata berikan. Ia pamit dan melangkah menuju kamar mandi. Tubuhnya panas. Rasanya malu sekali tiap kali bertatapan. Akam tetapi, ia tak memiliki hak 'kan? Oikawa Tooru hanya baik. Bukan berarti perasaan mereka masih sama.

Ia menggeleng, menjauhkan pikiran itu dengan rambut yang basah. Tamparan di pipinya membawanya tersadar untuk berhenti berharap. Masih dengan rambut yang setengah basah ia keluar. Celana milik Oikawa berada di tangannya sementara ia hanya menggunakan kaus putih yang berada sejengkal dari pinggang dan boxer (baru dari Oikawa) berwarna hitam yang tenggelam dalam kain putih. “Kak, celananya kegedean.”

Oikawa tersedak, kemudian menutupi wajahnya. Gitae di pangkuannya hampir terjatuh kalau ak buru-buru ia tahan. Sementara Hinata menatapnya heran. “Um, aku pakai kalau begi-”

“Gak usah. Gak apa-apa. Tidur sana.”

“Kakak?”

“Nanti.”

Hinata masih berdiri dan akhirnya memilih duduk di sisi Oikawa dengan celana panjang yang menutupi pahanya. “Aku temenin.”

Kekehan terdengar dan Hinata rasa itu ada persetujuan. Berbeda dari beberapa jam lalu, kali ini tak ada penolakan. Petikan gitar terdengar, mengalun lembut membuat Hinata ikut bersenandung. Rasanya seakan mereka kembali ke masa lalu. Dulu mereka akan duduk berdua seperti ini. Tak banyak bicara, namun terasa nyaman seakan hanya ada mereka di dalam gelembung berwarna merah muda.

“Kak, don't you have something you want to say?” Hinata menoleh, menyandarkan pipinya pada lutut. Tak ada jawaban, jadi ia melanjutkan. “Because I do.”

Matanya turun, jatuh pada gitar di genggaman tangan. “You change, into someone new to me. Into someone in the new different world. I feels like I need to tell you that I really happy for you. That your mu–”

Ucapan Hinata dihentikan oleh bibir Oikawa. Keduanya saling menatap, penuh dengan emosi yang tertinggal dari masa lalu. “No, Shoyo. I'm still the same man who falling for you, even harder thsn before.” Kepalanya terjatuh pada pundak Hinata. “I love you, I still did.

I'm not good for you.” Balas Hinata dan Oikawa menggeleng. Tangannya menggenggam kedua tangan Hinata. Mata mendongak menatap dua mata cokelat emas itu. “Can we start over again?”

I don't know, Kak Ru.” Hinata menunduk, pandangannya terarah pada tangannya. Keduanya begitu dekat saat ini hingga helaan napas masing-masing dapat terasa. “Sekarang rasanya semakin jauh. Rasa berbeda.”

But our feeling still the same. Can we just try?” Puncak kepala Oikawa jatuh pada kepalan tangan Hinata di genggamannya. “Please.”

Oikawa maju, kembali mengecup ujung mata Hinata, jatuh pada pipi, kening, hidung berakhir pada bibir. “Sho, you don't want it?”

Oikawa kira, ketika malam itu mereka habiskan bersama, Hinata akan berada di sampingnya saat membuka mata. Akan tetapi, Hinata nemilih pergi, bahkan tanpa kata juga pesan. Begitu saja seperti dua tahun lalu. Sekali lagi, ia kehilangan. Untuk kali ini mungkin tak akan kembali.