One day, surely you finally mine
— KageHina.
Commisioned from annonymous who love KageHina
Tag: canon divergence , nsfw , manga spoiler
All the characters belong to Furudate Haruichi
“Setter Jepang, Kageyama Tobio akan memulai servis. Sebelumnya ia telah mencetak lima poin melawan Prancis.” Si rambut oranye yang duduk di atas sepeda melengos, tak melihat hasil servis yang dilakukan oleh teman semasa sekolahnya dulu. Tak lagi melanjutkan menonton dari televisi yang ia lewati dan memilih melanjutkan pekerjaannya.
Belum waktunya. Belum saatnya. Nanti.
Tiga kalimat yang ia ucapkan berkali bagai mantra sambil menggoes sepeda. Hari ini, ia akan bekerja lebih keras. Hinata Shoyo akan mengalah Kageyama Tobio. Kali ini pun ia akan berjuang lagi. Sekali lagi. Sampai akhirnya mereka berdiri dengan net sebagai batasnya.
Akan tetapi, hari ini tak mendukungnya. Tak sebaik harapannya. Hari yang buruk. Pelanggannya marah karena ia mengantar pesanan terlalu lama dan dompetnya hilang. Ah, benar-benar buruk. Untuk beberapa waktu ia hanya berdiri di pantai, menatap dua tim yang sedang bertanding. “Heh? Chibi-chan?”
Ia menoleh, air matanya tertahan. Entah terharu atau menahan lelah seharian. “Grand King?” Serunya tak percaya dan tawa Oikawa Tooru terdengar.
“Sialan, jauh-jauh aku pergi dari Jepang, ternyata malah bertemu Chibi-chan.” Mulut Oikawa tak dapat menahan senyum.
Sementara Hinata tak dapat menahan lega yang ia rasakan. “Wah, tak kusangka bisa bertemu dengan Grand King di sini. Apa yang kau lakukan di sini?”
Oikawa menunjuk dua temannya yang melangkah menuju bar. “Aku bermain di liga Argentina. Kau sendiri? Bermain di liga Brazil?”
Hinata menggeleng, “bukan. Aku bermain voli pantai.”
“Hah?” Kemudian tawa terdengar dengan Oikawa yang menggelengkan kepala. “Masih sama gilanya dengan masa lalu.”
“Bagaimana kalau bermain denganku, Oikawa-san?” Tawaran yang tentunya tak ditolak oleh Oikawa. Keduanya bermain. Dua musuh semasa SMA kini malah bermain di satu lapangan. Saling mendukung dan memberikan pelajaran untuk masing-masing. Meski kalah, tetapi tak menyedihkan.
“Sejujurnya hari ini adalah hari yang buruk untukku.” Ujar Hinata sambil melangkah bersisian menuju restoran. “Kageyama muncul di televisi, kemudian aku dimarahi pelanggan, dan aku kehilangan dompet juga! Benar-benar sial.”
Oikawa malah tertawa. “Ya, kadang memang begitu. Tak apa, hari ini biar aku yang traktir.”
“Oikawa-senpai!” Seruan Hinata dibalas dengan acakan rambut. “Kalau begitu belikan aku daging.”
“Tolong tahu diri.”
Dan tawa terdengar dari keduanya. Restoran yang Hinata tunjukkan adalah sebuah tempat makan rumahan yang dimiliki suami-istri. Makanannya enak, sehat, dan yang paling penting adalah murah. “Wah, enak!”
“Benar ‘kan. Lain kali, ajak teman setimmu ke sini, Oikawa-san.”
“Akan kulakukan.”
Televisi di sudut restoran menampilkan cuplikan pertandingan voli hari ini. Tanpa bisa mereka cegah, Kageyama Tobio muncul. “Cih.” Decak Oikawa tanpa bisa menahan sebal.
“Dia masih sama menyebalkan.” Sindiran yang Hinata setujui. “Omong-omong kau tidak bertemu dengannya?”
“Hah? Tidak. Belum waktunya.” Balas Hinata sambil menunduk. Raut wajahnya berubah. Ia tak boleh bertemu dengan Kageyama sekarang.
“Nanti, saat berhadapan di pertandingan. Baru aku akan menemuinya.”
“Oho, idealis sekali.”
“Oikawa-san sendiri apa menonton pertandingan Kageyama?”
“Tidak. Sama sekali tidak.” Jawaban cepat Oikawa membuat Hinata tertawa.
“Mirip sekali dengan Kageyama.” Balasan Hinata membawanya pada ingatan ketika mereka SMA.
“Kageyama kau menonton pertandingan Grand King lagi?” Pertanyaan itu keluar setelah melihat lingkaran hitam di mata Kageyama.
Setter Karasuno itu langsung menggeleng dengan sinis. “Enggak. Aku menonton pertandingan dengan Shiratorizawa. Bukan Oikawa-san.”
“Ya, ya. Terserah.” Jawaban yang dibalas dengan acakan rambut oranye miliknya dan tawanya yang keluar dari bibirnya. “Aaa! Monsteryama ingin membunuhku. Noya-senpai tolonggg!”
“Kageyama jangan menggoda Hinata terus!” Suara Sugawara yang meneriaki mereka dari ruang penyimpanan terdengar.
“Nah, dengar itu Kageyama.” Balas Hinata sambil menjulurkan lidahnya.
“Tsk, menyebalkan.”
Kalau dipikir-pikir ternyata kekanakan sekali. Akan tetapi, ternyata itu kenangan yang ia rindukan. “Memikirkan Kageyama ya?”
“Geh, tidak.” Elaknya cepat. “Omong-omong Oikawa-san menginap di hotel mana?”
“Dekat sini. Kalau mau kau boleh mampir lho.”
Secara refleks Hinata menyilangkan tangan di depan dada. “Oikawa-san, menyeramkan.”
“Sialan, maksudku tidak begitu.” Sanggahnya sebal. Gelas yang ia pegang ditaruh dan menatap Hinata lurus, “Kau tahu, Chibi-chan, tak masalah jika kau bertemu dengan Kageyama saat ini. Bukan sebagai rival, tetapi teman lama yang saling merindukan.”
Hinata tak menjawab, hanya diam memikirkan hal tersebut. Oikawa melirik sekilah, “ya terserah saja itu hubungan kalian. Aku duluan. Sampai jumpa, lain kali aku pasti akan menang.” Ia berbalik, “Shoyo.”
Senyum Hinata tercipta, lebar. “Akan kupastikan itu sesuatu yang sulit kau lakukan, Oikawa-san.”
Tawa Oikawa menjadi tanda perpisahan mereka. Ah, Hinata tak sadar untuk pulang dan berbaring di ranjang. Ia lelah setelah seharian beraktivitas. Ponselnya berdering, membuat langkahnya terhenti. “Halo, di sini Shoyo.”
“Shoyo, ada pesanan mendadak. Harus dikirim sekarang.” Singkat, padat, tanpa penolakan.
Mau tak mau Hinata mengiyakan. Lumayan untuk menambah uangnya yang hilang. Jarang juga mereka mendapatkan pesanan tengah malambegini. Hinata membawa sepedanya menuju lokasi yang dimaksud. Sebuah hotel dan saat tiba, ia menghubungi nomor yang tertera. Nomor yang tak asing, membuatnya tersentak saat nama Kageyama muncul.
“Heh? Setelah seminggu aku di sini kau baru menghubungi?” Itu sapaan yang diberikan oleh Kageyama. Membuat Hinata berdecak sebal, “Halo, kami dari restoran Bon Apetit ingin telah tiba di lokasi pesanan Anda.”
“Ah, begitu rupanya. Tunggu di sana. Aku akan keluar sebentar lagi.” Hinata menarik topinya turun, menutupi wajah. Menolak bertemu tatap dengan Kageyama. “Oi, Hinata.”
Geh, dasar lelaki menyebalkan. Kageyama tak langsung mengambil makanan yang Hinata berikan malah mengintip ke bawah topinya. Kemudian tertawa, “wajahmu makin jelek makanya tak mau kau perlihatkan?”
“Geh! Ambil saja pesananmu dan pergi sana.” Hinata mendorong Kageyama, namun malah ditarik mendekat bersamaan dengan topinya yang diangkat dan pindah ke kepala si rambut hitam. “Temani aku makan.”
“Aku ingin pulang dan tidur.”
“Kau bisa tidur di sini.”
“Aku menolak.”
“Kita tidak sedang melakukan tawar-menawar.”
Kageyama Tobio brengsek menyebalkan!
Berakhir dengan Hinata yang duduk berhadapan dengan Kageyama. Rambutnya kini lebih pendek, tubuhnya lebih berisi, dan agak lebih tinggi. Namun, tentu bukan hanya Kageyama yang berubah. Sebab Kageyama agak terkejut ketika melihat Hinata muncul di hadapan. Tubuhnya jauh lebih berisi dan kulitnya terbakar matahari. Kalau boleh jujur, Kageyama bahkan tak tahu bahwa ia akan merasa gugup di samping temannya ini. Hinata terlihat menakjubkan.
“Kau tahu, sangat tidak sopan untuk tak mengabari teman lama saat berada di tempat yang sama.” Komentar Kageyama sambil membuka bungkus makanan. Ia kemudian meletakkan makanan di atas meja, “kau sudah makan?”
“Sudah. Bersama Oikawa-san.”
“Hah?” Hinata tersentak mundur, kaget melihat wajah kesal Kageyama. Keningnya berkerut dalam terlihat sekali sangat marah. “Kenapa Oikawa-san ada di sini?”
“Uh, ya, dia di Argentina dan sedang ada pertandingan jadi begitu.” Entah kenapa Hinata jadi terbata begini.
“Tsk.” Hinata bahkan tak tahu alasan Kageyama sekesal ini. Ia bersandar di bangku, menatap Kageyama yang makan dengan kerutan di kening.
Tangannya terulur, menekan titik kening Kageyama. Membuat pemiliknya berhenti bergerak dan mata keduanya bertemu. “Kalau makan jangan sambil merengut marah. Makanan enak harus dimakan dengan senyum dong.”
“Aku dari dulu memang begini kok.” Balas Kageyama. Tangannya meraih telunjuk Hinata dan menggenggamnya. “Kalau kamu menemani makan juga mungkin akan beda cerita.”
“Banyak mau.” Balasnya, namun tetap menarik satu sumpit sekali pakai. Si rambut hitam di hadapannya tanpa sadar menahan senyum. Kembali menunduk dan makan tanpa banyak ucap. Juga tanpa melepaskan telunjuk Hinata dalam genggamannya. Entah tak ada yang sadar atau memang sengaja tak ingin melepaskan, tak ada yang tahu.
“Besok kau sibuk?”
“Ya. Cari uang di sini susah.”
“Heh. Aku bisa meminjamkan beberapa. Aku punya banyak.”
Hinata mendengus mendengarnya, “ya, ya Kageyama-senshu. Keren sekali. Berikan aku kartu debitmu kalau begitu.”
“Asal besok kau menemaniku tentu saja boleh.” Tawarnya dengan senyum congkak. “Bagaimana?”
“Geh. Sombong.”
“Aku berusaha.”
“Berusaha pamer?” Cibir Hinata. Ia menghela, “baiklah, kebetulan besok aku akan bertanding dengan Heitor. Jadi, besok temui aku di pantai.”
“Pantai mana?”
“Copacabana.” Jawab Hinata sambi menyeka mulutnya. Tangan kirinya terangkat dan matanya menatap jarinya yang masih digenggam Kageyama. “Oi, lepaskan.”
Kageyama melirik, tak tertarik. “Lepaskan, aku harus pulang.” Ulang Hinata membuat Kageyama kemudian berdecak saat melepaskan jarinya.
Hinata sendiri hanya menggeleng, merapikan sampah mereka dan mengikatnya di dalam plastik besar. “Aku pulang dulu.”
“Besok-“
“Jam 5 sore di Copacabana.” Lanjut Hinata sebelum membuka pintu.
“Artinya kau akan makan malam denganku?”
“Jika kau yang membayar.”
“Tentu.” Kageyama bersandar di sisi pintu. Matanya menatap si rambut oranye. Tanpa ditahan tangannya menekan rambut Hinata. “Hati-hati.”
Tak lama tangannya ditepis dengan decakan sebal. “Aku bukan anak kecil.”
Sudut bibir Kageyama terangkat, “iya, tapi masih lebih kecil dariku.”
Mata laut biru di hadapannya membuat Hinata tanpa sadar mengambil satu langkah mundur. “Terserah. Sudah ah, aku harus pulang dan tidur.” Tangannya mendorong wajah Kageyama menjauh yang malah ditahan oleh si rambut hitam. Telapak tangannya dapat merasakan napas Kageyama juga bibirnya yang menekan di sana. “Kageyama.” Ujarnya sebal, baru kemudian dilepaskan.
Menyebalkan. “Aku pulang.”
“Hn, sampai jumpa besok.”
Hinata tak menoleh dan Kageyama masih bersandar di dinding, menatap si rambut oranye yang menderap menjauh. Kalau ia mengulurkan tangannya mungkin Hinata dapat ia raih, tetapi pasti lelaki itu malah menjauh pergi. Kageyama harus sabar. Sedikit lagi. Ia hanya perlu menunggu sedikit lagi.
Kalau ditanya perihal perasaan Hinata pada Kageyama dan sebaliknya, rasanya harus mundur ke belakang. Di saat keduanya berada duduk di bangku SMA juga saat keduanya berada di tim yang sama. Situasi jatuh cinta mereka mungkin cocok dengan ungkapan jatuh cinta karena terbiasa. Jatuh cinta karena setiap hari bertemu, saling bersaing untuk kemudian makin memahami. Ada kalanya mereka tak terpisah untuk kemudian saling membenci karena keputusan masa depan.
Hinata ingat ketika berbicara dengan mengenai kekecewaannya saat Kageyama tak berbicara akan melanjutkan ke tingkat profesional. Ingat juga tanggapan Yachi saat itu adalah pertanyaan yang membuat suaranya tertahan di tenggorokan. “Kenapa marah? Kamu sendiri gak menceritakan rencana ke Brazil? Kenapa Kageyama harus cerita? Hinata, kamu suka Kageyama?”
Pertanyaan yang tak bisa Hinata jawab dengan pasti. “Ah, sudahlah. Pokoknya aku tak akan bicara padanya! Lihat saja!”
Dibuktikan dengan si Duo Aneh yang tak saling menyapa. Sudah biasa jika Kageyama tak berbicara banyak, namun Hinata yang tak menyapa Kageyama adalah hal baru. Sampai adik kelas mereka kebingungan sendiri.
“Kageyama, kau dan Hinata bertengkar?” Yamaguchi akhirnya turun tangan bertanya pada setter-nya.
Kageyama mendongak, bingung. “Hah? Tidak. Kenapa memangnya?”
Ah, sudah di akhir pengurusan pun ia masih harus memusingkan dua anak ini. Ia menghela, menepuk pundak Kageyama kemudian melirik Hinata. “Ajak Hinata bicara. Aku tak mau di akhir kalian malah perang dingin.”
Meski sejujurnya Kageyama Tobio tak paham maksud Yamaguchi, ia tetap melangkah mendekati Hinata. “Oi,” sapaan itu membuat si rambut oranye tersentak. Gerakan passing atasnya terhenti paksa, membuat bola di tangannya terjatuh ke wajah.
Tawa Kageyama terdengar. Membuat Hinata merengut kesal. “Nyebelin.” Katanya sambil melemparkan bola yang langsung ditangkap Kageyama. Hinata tak menoleh untuk melihat keadaan Kageyama memilih melangkah keluar gim.
Di tempatnya, Yamaguchi hanya bisa menghela napas. “Hah, Tuhan, aku hanya ingin lengser dengan tenang.”
Yachi terkekeh mendengar harapan Yamaguchi. Tangannya menepuk punggung Yamaguchi. “Kapten, semangat! Setelah ini mereka pasti berbaikan.”
“Semoga begitu. Kepalaku sakit.”
Yachi masih tersenyum, menatap pintu yang memperlihatkan Kageyama keluar. Ya, mereka pasti berbaikan karena tak akan ada yang tahan untuk tak berbicara.
Langkah Kageyama pelan, menelusuri jalan setapak menuju taman sisi lapangan. Tempat di mana Kageyama dan Hinata berlatih bersama untuk pertama kali. Si rambut oranye ada di sana. Duduk bersandar di pohon sambil memeluk lututnya. “Oi, kau marah?”
“Tidak.” Balas Hinata sinis.
Kageyama tak menjawab, memilih duduk di samping Hinata. Kakinya melipat, mata lurus menatap ke depan. “Setelah pertandingan nasional selesai, Suzaku-san mendatangiku.”
“Suzaku-san?” Ulang Hinata.
Anggukan diberikan, “ya. Banjo Suzaku-san. Pelatih Adlers. Dia memberikan tawaran untuk try out di sana.” Kageyama diam sebentar, meluruskan kakinya dan menyanggah tubuhnya dengan kedua tangan. “Kau tahu aku tak memiliki motivasi untuk kuliah atau semacamnya. Dan Adlers adalah tim terbaik saat ini. Jadi, kau, harus cepat mengejarku.”
Ia menoleh, keduanya saling menatap. Lurus, tajam, tanpa jeda. “Tsk, dengar ya, lain kali pasti aku akan menang.”
Tawa keluar dari bibir Kageyama. “Hm, caranya?”
Hinata berdiri, menatap Kageyama di bawahnya. Dengan tangan menyilang di depan dada, ia berujar, “Aku akan ke Brazil! Belajar melakukan semuanya untuk menjadi seseorang yang terakhir berdiri di lapangan. Artinya, kau akan kalah saat itu.”
Menjawab tantangan itu, Kageyama berdiri. “Hm, akan kutunggu. Kalau terlalu lama nanti kau keburu tua dan botak.”
“Geh! Kau duluan yang akan tua dan botak! Botakageyama!” Balas Hinata dan amarah yang dirasakan menguap.
Hinata Shoyo tak pernah berhenti membuat Kageyama tertarik. Tak pernah berhenti membuatnya menunggu. Tangannya terulur, menutup kedua bola mata Hinata dan mencium telapak tangannya. Detik berikan ia menyentil kening Hinata, membuat yang lebih kecil tersentak kaget. “Hei! Tadi itu untuk apa?”
“Kalau kau berhenti menjadi bodoh akan kuberi tahu.” Balas Kageyama tanpa menoleh.
Perasaannya tak boleh diketahui saat ini. Belum saatnya. Masih belum waktunya.
Pukul delapan waktu Rio, ponsel Kageyama bergetar. Pemiliknya baru keluar dari kamar mandi saat itu. Angka 10 ada di sana, pengganti nama kontak Hinata. “Sebegitu tak sabarnya bertemu denganku hingga menelfon di pagi hari ya?”
“Geh! Jangan berharap!” Jawaban di seberang membawa tawa untuk Kageyama. Ia duduk di kursi, mengisi gelas dengan jus jeruk. Warnanya membuat Kageyama teringat pemilik suara di seberang sana. “Aku hanya ingin bilang bawah hari ini aku libur. Jadi, kalau kau mau kita bisa bertemu lebih cepat.”
Gelas di tangannya ditaruh. “Manis,” bisiknya pelan saat menyicip isinya. “Hm, bukan karena kau ingin bertemu denganku lebih lama ‘kan? Sebenarnya itu alasanmu saja ‘kan? Jangan bilang kau sengaja meminta li-“
“Kalau tidak mau ya sudah.”
“Heh? Kata siapa aku menolak?” Kageyama menggoda. “Tentu saja kita harus bertemu. Kita ‘kan teman lama.”
“Hm, kalau begitu bertemu di Copacabana. ” Hinata berhenti sebentar. “ Pukul sembilan di Copacabana.”
“Oke, kalau begitu aku akan bersiap sekarang. Sampai jumpa, Shoyo.”
Ada jeda lama di sana sebelum Hinata akhirnya menjawab, “ya, sampai jumpa Tobio.”
Dua sudut bibirnya terangkat bahkan ketika panggilan terputus. Hanya butuh waktu singkat untuknya bersiap. Copacabana tidak terlalu jauh dari hotelnya, hanya sekitar lima belas menit dengan berjalan kaki. Hari ini Kageyama memakai kacamata hitam, hadiah dari Yachi beberapa bulan lalu. Brazil jauh lebih ramai dibandingkan Tokyo. Seruan terdengar di sana-sini meski masih pagi. Pantai sudah ramai dengan orang yang berjemur, bermain voli pantai atau hanya bersantai.
Hinata berdiri di tempat yang mudah ditemukan. Dengan kaus tanpa lengan garis biru dan celana selutut. Pundaknya memakai tas selempang. Rambut oranyenya bersembunyi di bawah topi putih. Dari sini, Hinata terlihat sangat mengo- menawan. Ya, menawan. Kewarasan Kageyama memperbaiki dengan cepat.
“Oi,” panggilnya pada Hinata yang langsung menoleh.
“Kage-“
“Tobio.”
“Tobio. Lama.” Ada rona yang tertutup bayangan, namun masih dapat ia lihat. Sudut bibir terangkat, lucu. Hinata sangat lucu.
Senyuman puasnya tercipta, “jadi, hari ini kita mau ke mana?”
“Melancong seperti turis biasa.” Jawabnya sambil melangkah. “Aku harus kembali ke sini pukul empat. Ayo cepat kita pindah tempat!” Ajaknya sambil menarik tangan Kageyama. Tentunya tidak dikomentari oleh si rambut hitam.
Keduanya menaiki bus, berdesakan di antara orang sambil tertawa sebab jadi berhadapan terlalu dekat. Menaiki trem menuju Corcovado untuk melihat Christ the Redeemer. Berfoto di depan patung besar Jesus Christ setelahnya. Perjalanan singkat itu ditutup dengan makan roti lapis yang dibuat Hinata. Kemudian keduanya menuju Arpoador, pantai dengan keindahan batuannya.
“Hari ini aku akan bertanding di Copacabana” Jelasnya, ah pantas saja hari ini lebih ramai. Keduanya melangkah menuju Copacabana.
“Ninja Syoyo!”
“Ola, Syoyo!”
“Syoyo, olaaaa!”
Teriakan terdengar dan Hinata tersenyum lebar. Sisi Hinata yang tak bisa ia temui di Jepang. Suara teriakan asing yang anehnya terlihat cocok dengan Hinata. “Kau terkenal.” Kageyama berujar dan Hinata tertawa.
“Mungkin.”
Mungkin apanya, dengus Kageyama. Selama mereka melangkah, panggilan untuknya tak pernah berhenti. “Oh, Nice! Pedro! Apa kalian bisa menemani Kageyama?”
“Oho! Setter? Kageyama!” Hanya itu yang bisa Kageyama pahami dan ia mengangguk. “Osu.” Sapanya.
Nice menepuk pundaknya memberikan jempol sementara Pedro menepuk tempat kosong di sampingnya. “Tobio, tunggu di sini aku harus bersiap-siap untuk bertanding.”
Kageyama mengangguk dan duduk di samping Pedro. Rasanya begitu asing dan kikuk, namun anehnya nyaman. Mungkin karena dua orang ini adalah kenalan Hinata.
“Syoyo is the best here.” Perempuan tinggi di sampingnya berujar, kembali memberikan jempolnya. “So does my soon to be husband. Heitor.” Katanya sambil menunjuk pria tinggi di samping Hinata. “My husband.” Tambah Nice sambil menunjukkan cincin di jarinya.
Kageyama mengangguk paham. Ah, suami. Kemudian larut dalam pertandingan. Hinata yang berada di atas pantai adalah sosok yang berbeda. Sekali lagi ia belajar sisi lain Hinata. Teriakan Ninja Syoyo terdengar nyaring dan hangat. Keduanya kalah, namun malah membuat Nice berdiri. Melangkah dengan percaya diri dan menghampiri Heitor, “My husband.”
Kageyama sekali lagi mengangguk. “Syoyo, ajak pacarmu ke pesta pernikahan kami.”
“Ah? Oh. Akan aku undang nanti.”
“Yeah, Syoyo get him.” Pedro ikut mendukung.
Kageyama menoleh, tak paham. Sama seperti Heitor yang bingung. “Dia siapa?”
Hinata langsung menarik Kageyama. “Heitor, ini Kageyama. Kageyama, ini Heitor.”
Kageyama masih kagum dengan kecepatan Hinata berganti bahasa. Tak lama ia tersentak dengan tangan Heitor di bahunya. “Kageyama! Syoyo sering berbicara tentangmu!”
Heitor bicara dengan bahasa Inggris yang bisa Kageyama pahami. Yang kemudian memberikan panik di wajah Hinata. “Heitor! Berhenti!”
Tawa terdengar. Bersama dengan Pedro yang menepuk pundaknya. “Anak ini tiap malam selalu meneriakkan namamu.”
Kageyama sekali lagi terkejut dengan Pedro yang fasih bahasa Jepang. “Pedro!”
Tawanya tercipta, melihat Hinata diledek. Hangat. Di sisi Hinata selalu terasa hangat.
“Jadi, kau akan mengajakku ke pernikahan Heitor dan Nice atau tidak?” Tanya Kageyama ketika Hinata mengantarnya ke hotel. “Kalau tidak tak masalah sih, Nice sudah mengajakku jadi aku bisa tetap datang. Tapi apa yang akan Nice katakan nanti? Dia pasti sedih.”
Satu yang Hinata sadari adalah Kageyama jadi semakin menyebalkan. Semakin berisik juga. “Tsk, akan kuajak! Besok. Datang ke tempat yang sama. Pukul tujuh malam.” Ujarnya ketika mereka sampai di depan hotel tempat Kageyama menginap.
“Sampai jumpa, Shoyo.”
“Ya, Tobio.”
Hinata melangkah tanpa pamit, menjauh tanpa menoleh. Sedikit lagi. Hinata bisa ia raih. Kageyama Tobio hanya perlu bersabar untuk sebentar lagi.
Pesta pernikahan Nice dan Heitor berada di pinggir pantai. Dengan semilir angin, suara ombak disertai musik kencang. Orang-orang berdansa, tanpa peduli kenal atau tidak. Sama seperti Hinata yang entah sudah berapa kali berganti pasangan sementara Kageyama memilih berdiri sambil memegang gelas wine di tangan.
Hinata hari ini berbeda. Rambutnya naik ke atas, kemeja putih dipadu dengan dasi kupu-kupu dan celana panjang. Tampan. Sementara Kageyama memakai tuxedo yang dibawa untuk ke pesta penutupan Olimpiade. Gelasnya ia taruh di atas meja dan kakinya melangkah ringan mendekati Hinata. Si rambut oranye baru selesai berdansa dengan Nice, membuatnya kini berhadapan dengan Kageyama. “Dansa denganku?” Tawarnya.
Hinata diam untuk beberapa detik, kemudian uluran tangan Kageyama diterima. Menari mengikuti alunan lagu, tanpa memutus tatapan mata. Seakan keduanya saling bicara dengan mulut terkatup. Tatapan mata keduanya saling menyiratkan banyak hal dan dipaksa terputus dengan musik yang berhenti.
Musik berganti, kali ini lebih lembut dan pasangan pengantin mulai berdansa. Heitor menatap Nice dengan lembut, tatapan yang Hinata tahu artinya. “Heitor sangat beruntung.”
Kageyama tak bertanya, hanya menoleh sekilas untuk membiarkan Hinata melanjutkan ucapannya. “Sangat beruntung karena bisa memiliki dua hal yang ia sukai dalam satu genggaman. Saat ini, Heitor pasti adalah laki-laki paling bahagia yang pernah kukenal. Dia mencintai voli dan mencintai Nice juga. Tanpa perlu melepaskan salah satunya, ia berdiri di sini.”
“Kau iri?” Akhirnya Kageyama berani bertanya.
Hinata menoleh, “Mungkin. Tapi karena alasan yang berbeda.” Ada suara tawa yang pedih keluar dari mulutnya. Matanya kembali terarah pada Heitor dan Nice. “Karena seseorang yang aku suka tak menatapku dengan cara yang sama.”
“Bagaimana kau bisa seyakin itu?” Geraman Kageyama tak bisa ditahan.
Hinata menoleh, kedua keningnya terangkai menjadi garis sendu. “Karena kami begitu mirip? Begitu mencintai voli dan tak mau mengalah. Karena aku tak merasa pantas untuk-“
Ucapan Hinata diputus dengan ciuman yang diberikan Kageyama. Tangannya menekan tengkuk Hinata, memperdalam ciuman mereka. Bibir Kageyama bergerak, mengulum bibir Hinata, dan membuka mulut si rambut oranye. Lidahnya masuk, menyusup pelan untuk berkenalan dengan panas mulut Hinata.
Dadanya berkali dipukul pelan, namun Kageyama tidak berhenti. Dua bola hitam matanya menatap tajam Hinata. Dorongan diberikan, cukup untuk membuat ciuman mereka terpaksa berhenti. Napas tersengal dengan wajah memerah—kehabisan napas juga sebab jantung yang berpacu cepat. Kageyama maju, menangkup wajah Hinata lembut. “Shoyo, aku gak bisa lagi menunggu.”
Namun, Hinata memilih kabur. Seperti yang ia kira. Hinata memilih pamit pada Heitor dan Nice. Melangkah ke sisi pantai yang sepi. Kageyama mengikuti hingga langkah pemuda berambut oranye di depannya berhenti. “Shoyo, soal Heitor dan Nice, kamu benar. Heitor adalah orang yang beruntung karena memiliki dua hal yang ia suka dalam genggamannya. Shoyo, kau dan aku apa tidak bisa seperti Heitor?”
Tak ada jawaban. Kageyama kembali mengambil langkah mendekat. Maju tiga langkah. Kini keduanya hanya berjarak satu meter. “Shoyo, selain voli, satu-satunya yang aku suka adalah kamu. Jadi, apa tidak bisa aku seperti Heitor yang bisa menggenggam dua hal yang disukai?”
“Hei, Hinata Shoyo, lihat sini. Kau yang mengaku ingin mengalahkanku masa tak berani melihat ke arahku?” Dua langkah ia ambil. “Shoyo,” satu langkah maju. “Aku mohon, lihat ke sini.” Dua langkah hingga ia dapat menyentuh bahu Hinata.
Tubuhnya berbalik, “Tobio, itu namanya curang.” Kata Hinata, bahkan meski dengan cahaya remang wajahnya yang merah masih dapat Kageyama lihat. “Kalau seperti ini tak adil untukku.”
Pipinya merahnya diraih oleh Kageyama dan diusap lembut. Keningnya menyatu dengan milik Hinata. “Hinata Shoyo, aku menyukaimu. Tidak, aku mencintaimu. Tolong, jangan buat aku menunggu lagi. Lebih dari ini, aku tak bisa.”
Kali ini, Hinata mengalungkan tangannya di leher Kageyama. Bibirnya maju untuk memulai, dengan tatapan yang mengintip malu. Matanya kemudian terpejam dan tangan Kageyama tanpa sadar mengusup masuk ke dalam kemeja Hinata. Dua tangannya bergerak dengan arah berbeda. Satu mengusap naik, satu lagi kembali menyusup ke dalam celana. Jemarinya berakhir di dua bongkahan lembut milik Hinata. Meremas pelan bokong yang lebih pendek dengan jarinya yang menggoda berulang.
Lenguhan keluar dari bibir Hinata, membuat ciuman mereka terhenti. Tubuhnya menjadi tumpuan, membuat Kageyama menunduk untuk berbisik. “Sho, mau menginap di hotelku?”
Anggukan diberikan dan senyum kemenangan Kageyama tercipta. Penantiannya berakhir.
Keduanya tak ingat bagaimana jelasnya mereka sampai di hotel. Hanya yang mereka tahu, ketika pintu tertutup, bibir mereka kembali menyatu. Ciuman kembali diberikan masing-masing sambil saling melucuti pakaian tanpa kenal kata sabar.
Keduanya sama-sama lapar, juga menginginkan. Sama-sama lepas pada kendali penantian panjang juga pengakuan yang baru diucapkan. Tangan Kageyama menelusuri tubuh Hinata. Bergerak jarinya mengikuti batas kulit yang terbakar. “Kamu indah.” Pujinya sambil mengecup batas kulit yang terbakar di bahu Hinata bergantian dan naik menelusuri leher jenjang. “Jangan ada tanda.”
Kageyama tak mengenal penolakan, malah sengaja memberikan tanda merah di leher. Setelahnya ia menyeringai, penuh kemenangan. Lehernya diketuk dengan jari. “Kalau begitu, berikan juga untukku di sini.”
Tanpa penolakan, Hinata meraih leher Kageyama. Menggigit lehernya hingga bekas giginya tercetak di sana. Bekas yang kemudian ia jilat dan kecup. “Tanda dariku.” Ia tersenyum, puas.
Dan Kageyama tak bisa menahan diri lagi. Ia mengusak rambutnya di dada Hinata. Gemas dengan kelakuan pria di bawahnya. “Ah, sialan. Lucu sekali.” Gumamnya. Tubuh bagian bawahnya dengan sengaja menggesek milik Hinata. Sama-sama keras dan panas. “Sho,” tangannya membawa jemari Hinata untuk menyentuh milik keduanya. “Bisa kamu rasakan bukan? Ini bukti kita saling menginginkan.”
Merah padam wajah Hinata membawa kekehan lembut di bibir Kageyama. “Sho, boleh aku memelukmu malam ini?”
Hinata paham arti memeluk yang Kageyama maksud dan ia mengangguk tanpa perlu menjawab lebih lanjut. Kageyama memberikan kecupan kembali di dua dada Hinata yang besar dan lembut. Menyentuhnya pelan, memberikan pijatan lembut, dan kecupan bergantian. Makin lama ia makin turun hingga pada ereksi Hinata yang basah oleh cairan miliknya. Sudut bibirnya terangkat, tanpa dapat ditahan libidonya naik. Hinata, di hadapannya saat ini terlihat berantakan, indah, dan ingin ia berikan banyak kenikmatan.
Tangannya terulur, membuka nakas dan mengeluarkan sekotak kondom juga lubrikan—yang disediakan oleh pihak Olimpiade. Jika di hari pertama ia akan bertanya kegunaan benda itu, hari ini ia bersyukur tak membuangnya. Jarinya dibalut latex ketat transparan yang kemudian dilumuri cairan putih beraroma kayu manis.
Hinata menatapnya, “Tobio, kau pernah melakukan ini?”
“Ya. Ribuan kali di kepalaku bersama denganmu.” Aku Kageyama tanpa tahu apa itu malu membuat Hinata memerah.
Jemarinya mengikuti lingkaran merah di hadapannya. Menekan ditiap putaran untuk kemudian masuk dan mulai mengoda. Satu jari, bergerak melingkar, mencoba membuat Hinata familiar. “Tobio, rasanya aneh.”
“Hm, lama-lama enak.” Balas Kageyama dengan jari yamg masih bergerak melingkar. Ketika jari telunjuknya menemukan tonjolan kecil senyumnya tercipta. “Ah, akhirnya ketemu.”
Tonjolan yang kemudian ia tekan, membuat Hinata menekuk dengan pekikan tertahan. Jemarinya masih dimakan Hinata, makin erat, dan mengikat. “Shoyo, kamu harus relax. Kamu harus siap sebelum bisa menerima milikku seutuhnya.”
“Rasanya aneh, Tobio.” Tubuh Hinata gemetar membuat Kageyama mendekat dan memberikan kecupan. “Kalau kamu belum siap kita bisa berhenti-“
Namun, tangannya dicegah untuk keluar oleh Hinata. Gelengan kembali diberikan, izin kembali didapat, dan Kageyama kembali melanjutkan. Kali ini mulai dengan dua jari. Lubrikan ditambah, membuat gerakan keluar-masuk semakin mudah. Berkali, sengaja ia menyentuh titik yang kembali membuat Hinata bergetar dengan napas tertahan. Satu jari ditambah, membuat bukaan semakin lebar.
“Ah, hng, Tobio, it’s fine now. So we can do it now.” Suara Hinata terbata dengan wajah merah.
Kageyama meremang mendengar ucapan Hinata. Terlebih dengan tubuhnya yang bergetar tanpa bisa ditahan. Milik Hinata keras, basah, dan berteriak ingin melakukan pelepasan. Sama seperti dirinya. Ia menunduk, memberikan kecupan di dahi dan juga sentuhan di pipi. “Sho, I love you.”
Hinata mengangguk kecil, meraih wajah Kageyama untuk memberikan lumatan di bibir. Matanya menatap Kageyama yang saat ini segelap laut malam. “Ya, Tobio, aku juga. Jadi berhenti menahan diri dan biarkan aku merasakan dirimu, di dalam diriku.”
Sudut bibir Kageyama terangkat, bibirnya kembali menyentuh puncak kepala Hinata. Berkali memberi kecupan, membuat Hinata sibuk sementara tangannya turun, memompa miliknya untuk diarahkan ke dalam lingkar milik Hinata. Mengubur miliknya sedalam yang bisa ia capai pada Hinata. “Sho, Shoyo.”
“Hng, Tobio.” Rintihan keluar tanpa bisa ditahan. Tangannya menyentuh perutnya, merasakan Kageyama di dalam dirinya. “Sekarang aku bisa merasakan kamu sepenuhnya ada di sini. Tobio, aku mau kamu.”
Kekehan pelan terdengar. “Ya, Shoyo. Aku juga.” Bibir keduanya kembali bertemu dengan Kageyama yang bergerak pelan. Mengisi penuh diri Hinata. Membagi panas bersama dan desahan yang keluar tanpa ditahan. “Tobio, hng, lebih cepat.”
Napas Kageyama tersengal, tersentak ia ketika merasakan Hinata menjepit dirinya begitu ketat. “Ah, Sho.” Rintihan keluar dari bibir Kageyama. “Jangan menjepit terlalu kencang. Aku bisa ke-“
Sialan. Kageyama tak yakin ia bisa bertahan sementara pinggang Hinata ikut bergerak, berlawanan arah, membuat miliknya terasa diserang dalam berbagai arah. Hinata masih bergerak, mencari kenikmatannya, membuat Kageyama menggeram dan kehilangan batasnya. Keduanya bergerak makin cepat, diiringi lenguhan dan desahan. “Ahn, Tobio, Tobio. Lebih cepat, isi aku lebih dalam.”
Kageyama bergerak, sesuai keinginan Hinata. Menghujam dalam dengan cepat. Hingga ia menunduk, memeluk Hinata erat. Tangannya yang lain memompa ereksi Hinata yang basah. Diberikan banyak rangsangan seperti itu membuat teriakan Hinata keluar. “Ah, Tobio!”
Bersamaan dengan gerakan Kageyama yang makin cepat dan dalam. Milik keduanya berkedut, bersamaan, mengeluarkan putih di tempat berbeda. Milik Hinata jatuh di atas perutnya sedangkan milik Kageyama tertahan pada latex transparan. “Tobio,” panggil Hinata. “Satu saja belum cukup untuk kita bukan?”
“Tentu saja tidak. Lagipula, persediaan kondomnya masih banyak. Tentu harus kita gunakan sebaik-baiknya.” Balas Kageyama, kemudian memberikan kecupan ringan. Keduanya kembali saling menyentuh, kembali mencari pelepasan yang selama bertahun tertahan. Saling memeluk hingga matahari mengintip dari jendela.
“Kau pulang hari ini?” Tanya Hinata sambil membuat gerakan melingkar di dada Kageyama.
Gelengan diberikan. Tangan Kageyama yang menjadi sandaran Hinata bergerak, mendekatkan si rambut oranye ke arahnya. “Rencananya begitu. Tapi aku rasa menambah satu dua hari tak masalah.”
“Sungguh?” Balas Hinata yang kemudian langsung mengaduh. Punggungnya sakit. Tawa kecil tercipta di bibir Kageyama. “Pelan-pelan. Kita bermain sampai pagi kalau kau lupa.”
“Geh, aku ingat!” Hinata memukul pelan dada Kageyama sambil menunduk malu. “Hm, jadi hari ini sampai lusa kita bisa, um, kau tahu, kencan?”
Ugh, Hinata lucu sekali. Ia memeluk tubuh Hinata erat, membuat yang dipeluk memukul punggungnya. “Aku tidak bisa bernapas!”
“Pacarku lucu sekali.”
Pukulan di punggungnya berhenti. Malah berubah menjadi pelukan dan wajah Hinata yang ditekan ke dada Kageyama. “Guh, kita benar-benar pacaran?”
“Memang tidak mau?” Kageyama mencoba menarik Hinata dari pelukannya, namun tak berhasil.
Hinata menggeleng, kembali mengubur wajahnya di dada Kageyama. “Mau.”
Ah, Hinata malu. Benar ‘kan, pacarnya ini lucu sekali. “Ada satu masalah.”
“Apa?” Kali ini wajah Hinata menyembul—mengintip keluar dari pelukannya—menggemaskan sekali. “Hari ini aku harus check out dan uangku kurang untuk biaya penginapan.”
“Kau bilang uangmu banyak.” Kata Hinata sambil menyandarkan kepalanya di dada Kageyama. Dua kelereng amber itu menatapnya lurus. “Kemarin kau menyombongkan uang, sekarang sudah jatuh miskin?”
Dua jarinya bergerak, menyentil Hinata pelan. “Guh! Sakit!”
Setelahnya jari Kageyama juga yang mengusap titik yang ia sentil tadi. “Daripada untuk biaya penginapan lebih baik aku gunakan untuk biaya kencan ‘kan?”
Hinata kalah. Wajahnya kembali jatuh di dada Kageyama. “Menyebalkan. Berhenti membuatku berdebar!” Tangannya kembali memukul dada Kageyama pelan. Tak lama ia kembali mendongak. “Kau tahu, um, kalau begitu, mau menginap di tempatku?”
Tawaran itu yang Kageyama nantikan. Dua sudut bibirnya terangkat. Ia bergerak, bersandar di bantal. “Tawaran yang tak bisa kutolak.”
Hinata kali ini tersenyum makin lebar. Membuat Kageyama menariknya untuk duduk di pangkuannya. “Sebelum check out ayo kita manfaatkan ruangan ini lagi.”
Sekali lagi, karena cukup masih jauh dari jangkauan keduanya. Tubuh saling berpeluk, bergerak meraih kenikmatan dengan bibir yang tak rela melepaskan. Sekali lagi, tanpa mengenal cukup.
Kageyama Tobio berakhir dengan menambah tiga hari di Brazil. Kencan di berbagai tempat dan tentu mencoba mencari kesempatan untuk saling menyentuh. Di sini, mereka tak perlu bersembunyi untuk mengecup bibir. Kebebasan singkat juga rindu yang akhirnya bisa menemukan pemiliknya.
Tangannya masih merengkuh tubuh Hinata. Di bandara sudah ramai orang dengan tujuan berbeda. Tak ada yang menatap mereka ingin tahu, hanya mungkin heran karena sudah sepuluh menit tak saling melepaskan. “Tobio, kamu akan ketinggalan pesawat.”
“Makanya kau pulang denganku.” Rujuk Kageyama sebal. Masih tak mau melepaskan.
Tawa keluar dari bibir Hinata. Kageyama-nya merajuk. Lucu sekali. “Aku akan pulang hari Senin. Kau tahu aku masih harus mengurus beberapa dokumen. Jadi, tunggu aku. Kali ini hanya sebentar.” Melihat tak ada gerakan dari Kageyama membuatnya menepuk punggung setter manja di hadapannya. “Kageyama kali ini berbeda. Aku ‘kan pacarmu, jadi kali ini menunggu tak akan terlalu sulit dilakukan.”
Helaan napas terdengar dari Kageyama. Kepalanya jatuh di bahu Hinata. “Aku tahu.” Ia kemudian menangkup wajah Hinata, memberikan kecupan di bibir berulang. “Senin.” Katanya di akhir kecupan.
“Senin.” Balas Hinata, kali ini ia yang memberikan kecupan. “Sekarang kau pulang dulu. Aku akan menyusul.”
“Hah,” helaan napas terdengar. “Baiklah. Peluk aku kalau begitu.”
Hinata kembali tertawa. Pelukan ia berikan. Keduanya bergerak dalam pelukan, kiri-kanan bergantian, dan baru berhenti saat panggilan pesawat Kageyama terdengar. “Jangan terlalu lama. Aku akan menunggumu.”
“Ya.” Senyum lebar Hinata diberikan. “Sampai jumpa, Tobio.”
“Sampai jumpa, Shoyo.”
Kageyama terus menoleh sambil memberikan lambaian tangan berulang diiringi tawa Hinata sebab berkali kekasihnya hampir menabrak. Kali ini tak akan lama. Sebab kali ini penantian keduanya berbeda.
“Geh! Aku lupa mengatakan kalau berikutnya aku yang menang!” Seruan Hinata membawa beberapa tatapan aneh ke arahnya. Ya, status mungkin berubah, namun selebihnya tak ada yang berubah. Keinginan Hinata mengalahkan Kageyama masih sama besarnya. “Lihat saja! Aku akan mengalahkanmu nanti!”
Di tempatnya, Kageyama bersin.