crackiss

I write anything that come to my head

Titik akhir pertanyaan


Yuuta menghembuskan napasnya, mencoba menenangkan diri. Bisa, pasti ia bisa. Dengan dua gelas jus, ia melangkah mendekati Yuuji. Lelaki itu masih menunggunya dengan sabar. Kepalanya tertunduk, membuat Yuuta khawatir. Tangannya yang terulur menempelkan gelas tersebut ke pipi Yuuji, membuat mata mereka bertemu.

“Eh?” Sepasang mata yang lebih indah dari berlian itu bergerak, menatap bingung.

Sudut bibir Yuuta terangkat, “Hehe, biar Yuuji sadar ada Yuuta di sini.”

Yuuta masih berdiri, di hadapan Yuuji yang menatapnya dalam. Keduanya terdiam, membiarkan suara tawa orang lain mengisi. Keduanya diam, membiarkan angin menjahili, seolah menertawakan. “Iya ya, Kak Yuuta ada di sini.” Suara Yuuji terdengar pelan.

Ada luka yang bisa Yuuta dengar dan ia sadar dirinya lah penyebab itu semua. Tangannya terulur, ingin mengusap rambut merah muda di hadapannya namun terhenti. Tangannya hanya diam selama beberapa detik sebelum kembali ditarik.

“Ji, ngobrol di sana yuk?” Yuuta menunjuk ke arah bangku lain di sudut taman. “Di sana lebih sepi.”

Mereka memang sudah lumayan menjadi pusat perhatian. Yuuji menurut, mengikuti Yuuta sambil memegang jus di tangan. Keduanya berjalan dalam diam hingga bersembunyi di antara pohon rindang. Belum ada yang membuka pembicaraan, meski jus di gelas masing-masing tinggal setengah.

Kepala Yuuta penuh. Ingin memilah banyak informasi dalam kepala, namun sulit dilakukan. Tangannya memindahkan gelas jus, menjadi pembatas di antara mereka. “Ji, ingat gak pas pertama kali kita ketemu?” Yuuta memberanikan diri untuk menoleh, menatap mata Yuuji. “Hari itu aku sama kamu ketemu di lokasi audisi. Sampai saat ini aku masih ingat kamu yang terlihat bersinar saat audisi. Aku juga masih ingat saat pertama kali kamu mendapatkan piala penghargaan. Aku ingat semua sampai ucapan kamu ketika menyatakan perasaan. Juga tentang aku yang meninggalkan.”

Jemarinya saling bertaut, gugup. “Ji, aku salah dan gak ada alasan yang bisa bikin aku percaya diri buat ngomong maaf.”

Hening kembali mengisi dan Yuuta tak bisa mengabaikan rasa gugupnya. Ia bahkan tak berani melirik. Hingga suara Yuuji terdengar. “Jadi, kenapa Kakak ninggalin aku? Tanpa kabar? Tanpa alasan? Dan tiba-tiba ngilang?”

Gemelutuk gigi Yuuta bisa didengar. Tautan tangannya dibawa mendekat pada mulut. “Aku ngerasa diriku gak pantas ada di samping kamu.” Suaranya bergetar, takut itu kembali muncul. “Kamu selalu bersinar meski suara cut udah terdengar. Kamu, di manapun selalu bersinar. Sementara aku gak biss kaya gitu. Makin lama aku makin takut. Sampai aku memilih pergi.”

Ketika ia menoleh, tatapan terluka itu menyadarkannya. Tangannya buru-buru menyentuh tangan Yuuji. “Aku tau, aku salah. Aku yang ngerasa kecil dan gak pantas akhirnya melarikan diri. Aku pergi untuk mendapatkan percaya diri, juga buat belajar banyak. Aku ingin saat kembali, aku bisa jadi seseorang yang pantas, seseorang yang bisa kamu banggain.”

Yuuta terus-terusan menunduk. Ia tak tahu bagaimana reaksi Yuuji saat ini dan terlalu takut mencari tahu. Hingga pukulan pelan diberikan pada puncak kepalanya. “Kak Yuuta bego ya!” Makian keluar, untuk pertama kalinya sejak ia mengenal Itadori Yuuji.

Jitakan sekali lagi diberikan. “Kakak gak perlu pergi ke manapun untuk jadi seseorang yang aku banggakan. Sejak awal, aku selalu bangga sama Kakak. Kakak yang bersinar ketika lampu menyala, Kakak yang bersikap baik dalam diam, Kakak yang mengerjakan sesuatu dengan sebaik mungkin, Kakak yang membuktikan ke orang lain kalau semua peran itu milik Kakak adalah seseorang yang selalu aku banggain.”

Pipi Yuuta ditangkup oleh dua tangan Yuuji. “Aku selalu bangga sama Kakak. Gak perlu pergi jauh untuk membuat aku bangga, untuk bikin aku ngeliat Kakak. Tapi, kalau Kakak pergi untuk diri sendiri, sejauh apapun, aku bakal tetap nunggu. Karena Okkotsu Yuuta selalu jadi kebanggaan Itadori Yuuji.”

Yuuta tidak terbiasa menunjuk emosinya, hanya di depan Yuuji, seluruhnya runtuh. Air matanya turun, merasa begitu bodoh karena ketakutan yang dirasa. Yuuji tak mengatakan apapun, hanya menarik dirinya dalam pelukan. Tangannya menepuk pelan, masih sama hangatnya seperti dulu. “Ji, maaf. Maaf. Maaf karena ninggalin kamu.”

Gelengan diberikan. “Aku gak bisa nyalahin alasan Kakak, aku cuma mau sekarang Kakak gak pergi lagi.”

Sejujurnya, Yuuji begitu lega saat mengetahui Yuuta pergi bukan karena orang lain. Okkotsu Yuuta tak pernah benar-benar meninggalkannya. Rasa kecil dalam dirinya yang membuat ia pergi untuk meraih panggung yang besar, untuk jadi kebanggaannya. Sudut bibirnya tak bisa ia tahan untuk tersenyum.

“Kak Yuuta, aku ada beberapa pertanyaan. Kakak jawab pernah gak pernah oke?” Keduanya masih saling memeluk.

Di bahunya ia bisa merasakan anggukan Yuuta. “Kakak pernah lupa sama aku?”

“Gak pernah sekalipun. Otakku isinya kamu.”

“Kak Yuuta punya pacar lain.”

“Aku pergi untuk kamu dan gak ada alasan untuk menyukai orang lain.”

Yuuji bisa merasakan perutnya yang tergelitik. “Kak Yuuta pernah nyesel ninggalin aku?” Kali ini pelukan pada tubuh Yuuta mengerat. Ia bisa merasakan ketakutan Yuuji.

Gelengan kepala diberikan. “Selalu. Aku selalu menyesali keputusan aku yang pergi tanpa kabar. Tapi aku gak pernah menyesali hasil yang aku dapat bersama usaha yang aku pupuk. Aku gak pernah nyesel udah pergi untuk menjadi Okkotsu Yuuta. Penyesalanku adalah gak jujur sama kamu. Penyesalanku adalah nyakitin kamu.”

“Hm,” Yuuji masih memeluk. Ia takut ketika melepas, Yuuta akan menghilang dan pergi. “Setelah ini Kakak akan pergi?”

“Enggak. Kecuali ada kerjaan dan itu akan ngomong ke kamu.”

“Okei.” Perlahan, Yuuji melepaskan pelukan mereka. Tangannya kembali mengusap pipi Yuuta. “Oke, asal Kak Yuuta gak akan pergi, itu udah cukup.”

Yuuta mengulurkan tangannya, menyentuh punggung tangan Yuuji di pipinya. “Aku gak akan pergi. Gak akan pernah ninggalin kamu lagi.”

Keduanya saling tersenyum, membagi hangat sentuhan masing-masing. Kening keduanya bersentuhan dengan tangan yang saling bertautan. Soal status, bisa nanti, saat ini yang paling penting adalah tanda tanya masa lalu sudah dapat diganti dengan titik.


Tanya dan titik


Jujur, Yuuta kaget. Banget malah. Itadori Yuuji ada di tempat janjian dia sama Maki. Sudah jelas sekali ini rencana temannya. Bukannya gak mau bersyukur, tapi Yuuta belum siap. Jantungnya dag-dig-dug gak karuan dan hanya berdiri termenung. Niatnya ingin berlari, kabur seperti pengecut. Dan pasti Maki akan ngamuk.

Ia mengeluarkan ponsel, menyisir rambut pirangnya. Tangannya sampai dingin karena begitu gugup. Berkali membuang napasnya, rasanya lebih gugup dibandingkan audisi pertamanya.

Oke, Okkotsu Yuuta, lo ini aktor, ayo pura-pura, Yuuta berbicara dalam hati sebelum membuka pintu kafe. Di dalam tak terlalu ramai membuatnya bisa dengan santai melangkah. Ketika hampir melewati meja Yuuji, ia berhenti, dan mengambil satu langkah mundur. Pura-pura baru sadar. “Eh? Yuuji?”

Si rambut merah muda itu mendongak. Matanya melebar, mungkin kaget melihat kehadirannya. Dari tatap matanya Yuuta tahu bahwa Yuuji bete. Kepalanya dimiringkan, “sendirian?”

Angukkan diberikan. “Duduk Kak.” Yuuji mempersilakan, tak enak melihat Yuuta berdiri terlalu lama.

Seolah tak tahu duduk masalahnya, Yuuta mengisi tempat di hadapan Yuuji. Tas kanvas putih miliknya ditaruh di atas sofa kosong. “Emang hari ini mau ketemu siapa?”

Aduh, Okkotsu Yuuta jago banget akting. Pantes jadi pemeran utama pria terbaik.

Yuuji memutar sedotan di atas milkshake stroberi miliknya. “Sama Nobara sebenarnya, tapi anaknya ada acara mendadak.” Senyum kecil diberikan. “Tadinya mau pulang, eh ketemu Kak Yuuta.”

Mendengar itu membuat Yuuta langsung mengangkat tangannya, memesan makanan untuk mereka berdua. “Yuuji kari sama donkatsu ya?” Tawarannya dijawab dengan anggukan tak yakin. Yuuta menoleh, menatap pelayan. “Kari donkatsunya satu sama bento spesial. Terus saya mau lemon tea ya.”

Si pelayan meninggalkan untuk menyiapkan pesanan mereka. Kali ini Yuuta kembali fokus pada Yuuji. “Kamu nunggu udah lama emang?”

“Iya,” jawab Yuuji lemas. “Tadinya mau main sama Nobara terus gagal deh. Kakak sendiri ada rencana apa?”

Yuuta menggeleng kemudian mengucapkan terima kasih pada pelayan sebelum menyicip lemon tea. “Gak ada. Aku lagi iseng aja mau main eh ketemu kamu.”

“Hm,” melihat balasan tak bersemangat dari Yuuji membuat Yuuta sedikit gugup.

Ia berdeham, “hari ini kalau main sama aku, mau gak?” Ia mencoba menawarkan diri dan Itadori Yuuji melongo.

Keduanya hanya saling diam sampai pesanan mereka tiba. Masih diam sampai Yuuta kembali berdeham. “Kalau gak mau. Gak apa-apa.”

Yuuji kembali diam untuk beberapa saat sampai kepalanya mengangguk. “Oke.”

“Eh?”

“Oke, kita main bareng hari ini.” Yuuta pasti sudah memenangkan lotre hari ini. Nama lotrenya menghabiskan waktu bersama Itadori Yuuji.


Kalau dibilang, sebenarnya Yuuji bingung. Hari ini harusnya dia janjian sama Nobara, tapi malah ketemu sama Yuuta. Si mantan yang hari ini datang dengan rambut pirang. Kepala Yuuji pening. Rasanya Yuuta dua kali lebih tampan dari biasanya.

Sekarang mereka sedang berada di depan permainan basket. Yuuta dengan kemeja putihnya digulung sesiku. Yuuta in daily basis is handsome but now he's hot. Yuuji pusing sendiri tiap kali melirik ke samping.

“Kamu gak mau main?” Tawaran itu membuatnya tersadar dari lamunan.

Gelengan diberikan, membuat Yuuta menggaruk tengkuknya. “Um. Kamu gak seneng ya?”

Buru-buru Yuuji mengibaskan tangannya, tak enak. “Enggak. Cuma aku lagi bingung aja mau main apa. Kak Yuuta mau main apa?”

Keduanya saling melirik, kemudian Yuuta menunjuk sebuah kotak tinggi secara asal. “Ugh, itu. Main itu yuk?”

Yuuji mengikuti arah yang ditunjuk Yuuta. Matanya membulat, “oh? Kak Yuuta mau foto?”

Si rambut pirang itu menoleh, melotot kaget. “Oh? Eh? Iya. Yuk?” Saking kagetnya ia buru-buru menarik tangan Yuuji ke dalam mesin photobox tersebut. “Sini, Ji, deketan.”

Sumpah, Yuuta gak tahu lagi ngapain. Gak tau juga kenapa tangannya kok mudah banget menangkap pipi Yuuji dengan tangannya. “Hehe, biar lucu.” Alasan yang tak masuk akal, Yuuta tahu.

Ia bersyukur Yuuji hanya tertawa dan mengikuti keinginannya. Mereka mengambil beberapa foto. Dua di antaranya dengan tangan Yuuta di pipi Yuuji, sisanya mereka dengan wajah bodoh. “Yuuji mau fotonya?” Yuuta memberikan potret yang baru keluar dari mesin. “Dapet enam foto nih.”

“Mau digunting aja gak? Biar Kakak juga nyimpen.” Balas Yuuji. Tak enak rasanya jika hanya dia yang menyimpan foto mereka. “Eh, kalau gak mau gak apa.” Buru-buru Yuuji menambahkan.

Kekehan Yuuta harusnya masuk ke dalam suara yang tak boleh didengarkan secara bebas. Ilegal. Untuk hatinya terutama. Hah, gila. Sekian lama mereka putus dan Yuuji masih terpengaruh oleh entitas di sampingnya. Luar biasa.

Yuuji sejujurnya tahu, ia tak benar-benar melupakan atau bahkan berpindah tempat. Rasanya is berdiri di lingkaran yang sama dengan kaki yang berada di lumpur mati. Ia hanya diam di tempat dan bergerak sedikit hanya akan menariknya lebih dalam. Yuuji tak tahu, entah ia harus diam atau membiarkan dirinya tenggelam. Rasanya abu-abu.

Perlakuan Yuuta yang manis seakan meneriakkan kembali. Oh, Yuuji bukan tidak peka. Ia sadar bahwa Yuuta memberikan tanda untuk kembali. Ia hanya ... belum siap. Belum tahu harus merespon apa. Itadori Yuuji masih takut.

“Ji? Makan es krim yuk? Atau beli jus di tempat favoritmu?” Okkotsu Yuuta masih ingat. “Pisang-stroberi 'kan? Tunggu sini, aku beliin dulu.”

Okkotsu Yuuta masih membingungkan. Penuh perhatian juga banyak kebaikan. Penuh pertanyaan.

Itadori Yuuji, masih berdiri di atas lumpur mati. Tak tahu harus diam di tempat atau membiarkan diri tenggelam. Sebab ia tak tahu, apakah Okkotsu Yuuta hanya akan diam dan menatap di pinggir atau membiarkan keduanya tenggelam bersama.

Okkotsu Yuuta adalah tanda tanda.

Dan Itadori Yuuji tak bisa memberi titik.


Bagian IV
Tamu familiar

Words count: 860


Sakusa Kiyoomi baru keluar dari kamar mandi ketika bel pintunya berbunyi. Dengan handuk di leher, ia membuka pintu. Pikirnya itu adalah paket yang dikirimkan oleh Ibunya. Namun, ternyata bukan.

Tubuh pemuda itu membeku, mata bergetar menatap sosok di hadapannya. Suaranya tercekat di tenggorokan membuat si rambut pirang di hadapannya mengangkat tangan. “Hai, apa kabar?”

“Ah,” seakan sadar dari lamunannya, Sakusa memberikan jalan untuk Atsumu masuk. “Masuk Tsum. Dan ya, aku baik.”

Jawaban Sakusa seperti orang kebingungan. Ya memangnya apa yang diharapkan? Ia tak tahu kenapa seseorang yang baru saja ingin ia kirimin email sekarang ada di ruang tengahnya? Bermain bersama Cat, kucingnya. Lucu bagaimana keduanya bisa sangat akrab meski baru bertemu. “Akan kusiapkan minuman.” Pamitnya.

Ia menyandarkan tubuhnya pada meja dapur. Kepalanya terasa kosong, namun penuh. Bahkan meski itu terdengar tak masuk akal, Sakusa tak peduli. Toh itu yang kepalanya rasakan saat ini. Sakusa menghela, kemudian membuka keran. Takutnya ia saat ini masih bermimpi. Wajahnya yang basah langsung diseka dengan handuk. Ah, ternyata ini kenyataan.

Lelaki berambut ikal itu melangkah, membuka pintu kulkas kemudian mengeluarkan jus jeruk dari sana. Tangan kiri membawa dua gelas dan tangan kanan jus jeruk. Ia melangkah, dengan jantung yang berdegup kencang sambil duduk di samping Atsumu. “Kenapa tiba-tiba di Jepang?”

Atsumu dengan tenang mengusap puncak kepala Cat yang bersantai di atas pangkuannya. “Kontrakku dengan Cheegle Ekaterinburg sudah habis, tentu aku harus kembali.”

“Ah, begitu.” Sakusa melirik, agak gugup sebenarnya melihat Atsumu yang terlalu tenang. “Omong-omong dari mana kamu tahu alamatku?”

“Dari email yang kamu kirim setiap hari?” Pernyataan Atsumu terdengar seperti pertanyaan. Keluar dengan suara bingung dan tak percaya. “Lupa?”

“Ah,” Sakusa menggeleng. “Tidak. Maksudku, aku kira kamu gak baca email yang aku kirim?”

“Aku baca kok.” Jawab Atsumu tanpa menoleh. Jemarinya sibuk mengusap puncak kepala Cat. Tatapannya menunduk, lembut dan agak sayu. Perlahan kepalanya menoleh, menatap Sakusa dengan senyuman kecil. “Aku baca semuanya. Dari awal, sampai pesan terakhir kamu.”

Atsumu terkekeh pelan melihat ekspresi tak percaya di wajah Sakusa. Tangannya bersandar pada sofa, tubuh menghadap pada Sakusa. “Aku gak nyangka kamu bisa nyusun kata-kata semanis itu. Aneh banget bacanya.”

Mendengar itu membuat Sakusa membuang wajah, tak cukup cepat untuk menyembunyikan rona di wajahnya. Kekehan Atsumu kembali terdengar, “Tapi gak buruk juga sih.”

“Omong-omong,” kata Atsumu setelah jeda yang cukup lama. “Sekarang aku udah di sini gak ada yang mau kamu omongin?”

Perlahan Sakusa menoleh, meski masih menunduk. Tangannya menyatu, dimainkan jarinya di sana. “Pertama ma—”

“Tsk,” Atsumu mendecak, tangan bersedekap depan dada. “Gak nerima permintaan maaf. Aku udah cukup bosan baca email dengan isi yang sama.”

Ada lega di mata Sakusa melihat reaksi Atsumu. Rasanya seperti mereka kembali ke masa lalu. Sakusa menarik napas, kemudian membuangnya, dan menatap Atsumu. Cat sudah nyaman di atas sofa favoritnya. “Oke, kalau begitu kita lewati bagian itu. Aku menye—”

“Itu juga dilewati.”

Sakusa berdeham, makin gugup. “Aku rin—”

“Lewati itu juga karena sekarang aku di sini.”

Sakusa menatap Atsumu yang masih belum puas. Ragu, ia berucap, “Aku masih sayang kamu?”

“Nah! Itu yang mau aku dengar. Sekarang, kalimat selanjutnya.”

Ada gembira yang takut Sakusa rasakan. Ada kebahagiaan yang perlahan merangkak, menarik ragu. “Atsumu, boleh kita memperbaiki, gak. Um, mengulang?”

“Pilih satu.”

“Mengulang dan memperbaiki, tapi gak melupakan.” Balas Sakusa yakin. “Kali ini, aku akan lebih jujur ke kamu juga perasaanku sendiri.”

Tangan Atsumu terulur, jemarinya tersangkat untuk memberikan sentilan kencang tepat di dua tahi lalat Sakusa. Dua kali. “Kenapa?” Ujar Sakusa tak terima.

Atsumu malah tertawa. “Percobaan untuk melihat kamu benar-benar jujur sama perasaan apa enggak. Ternyata beneran jujur.”

Tangannya yang tadi memberikan sentilan kini mengusap pelan. “Kalau gak jujur dan kaya kemarin lagi, alis kamu aku wax.”

“Tiba-tiba banget?”

“Yakumori ngasih aku produk wax super menyakitkan. Katanya jaga-jaga.” Ah, Sakusa tak membalas hanya mengangguk. Ia pun tak berencana menjadi bodoh untuk kedua kalinya.

Usapan di kening Sakusa berhenti. Atsumu menatap wajah yang ia rindukan selama ini, kemudian melebarkan tangannya. “Sini, datang ke pelukanku yang kamu rindukan.”

Meskipun penuh ledekan, Sakusa tetap melakukannya. Menjatuhkan tubuhnya dalam pelukan Atsumu. Ah, rasanya menyenangkan. Pulang dalam pelukan Atsumu terasa hangat.

Tangan Sakusa melingkar, memeluk Atsumu erat. “Atsumu, is it okey for us to be like this? Untuk kembali ke square one?”

Atsumu membalas dengan usapan di punggung Sakusa. “It's fine, you still love and I can't forget you, us. And even more,” pelukannya mengerat. “I just, loving you so much.”

Sakusa menyandarkan kepalanya pada lekuk leher Atsumu. Menghirup aroma yang selama ini hanya sebatas mampir dalam kenangan. “Atsumu, setelah ini, ayo kita ambil foto yang banyak.”

Tawa Atsumu terdengar manis di telinga. Membuat Sakusa tersenyum. Pelukan dilepaskan, kini jemari kedua saling menggenggam. “Kita buat memori yang banyak.”

Dibalas tawa geli oleh Atsumu. “Pft, oke. Kita buat memori yang banyak sampai dinding apartemenmu penuh.”

Kening keduanya menyatu dengan hidung yang bersentuhan dan tangan yang menggenggam. Keduanya sudah cukup lama saling melukai, saling menahan diri. Dan saat ini, ketika jujur diucapkan, semuanya kembali titik yang sempurna dalam hidup masing-masing.

“Omong-omong, aku punya kejutan.” Kata Atsumu sambil tersenyum jail. “Tunggu ya.”

Sakusa tak paham, tapi ia rasa itu bukan kejutan yang buruk. Sehingga anggukan ia berikan. Sakusa tak bisa menebak, namun tak masalah selama Atsumu dalam pelukannya. Tak akan ada masalah.


Bagian III
Belasan jam berlalu

Words count: 830


Masih ada sehari penuh kebersamaan mereka dan Sakusa tidak dapat menahan luapan emosinya. Tanpa perlu ditanya, jelas Atsumu membenci keadaan mereka saat ini. Berada di atas ketinggian sekian ribu kaki selama 28 jam bersama mantan kekasih bukanlah skenario terbaik. Meski sejujurnya, Sakusa menyukai situasi ini.

Penyesalan terbesar Sakusa Kiyoomi adalah melepaskan Miya Atsumu juga memutuskan hubungan mereka. Ia menyesal pada tiap amarah yang tak dapat ditahan, juga curiga yang ditunjukkan tanpa memberi kesempatan pada penjelasan.

Sarapan mereka tiba dan keduanya makan dalam diam. Sampai Sakusa menepuk pundak Atsumu pelan. “Kamu gak suka kuning telur 'kan? Sini, tuker sama punyaku.”

Jeda yang diberikan oleh Atsumu malah membuat tangan Sakusa bergerak cepat. Tanpa mendengar jawaban dari Atsumu, Sakusa langsung menukar telur di piring keduanya. “Makan, Tsum.”

“Makasih, kamu juga Omi.”

Ah, rasanya kembali ke masa lalu. Sudah lama Sakusa tidak mendengar panggilan tersebut sedangkan Atsumu merasa asing dengan namanya yang keluar dari bibir pemuda di sampingnya. Kelereng gelap itu menoleh, melirik pada rambut pirang yang kini kecokelatan. “Rambut kamu sekarang lebih cokelat.”

Atsumu menoleh, satu alisnya naik. “Ya?”

“Cocok. Keliatan lebih dewasa.”

Dengusan kecil terdengar, “Maaf saja, tapi sebelumnya pun aku terlihat ok.”

Sakusa menjawabnya dengan tawa pelan, “Gak ada yang bilang kamu jelek kok.” Balasannya begitu santai sembari memotong daging di atas piringnya. Ia menoleh, menatap Atsumu—yang tanpa sengaja bertemu tatap dengannya. Sudut bibir Sakusa ditarik ringan, “Kamu selalu menawan, Atsumu.”

Detik berikutnya, Atsumu terbatuk pelan. Menciptakan panik di wajah Sakusa yang langsung memberikan segelas air. “Pelan-pelan.”

Hanya diberikan anggukan. Sakusa Kiyoomi terlalu santai dalam memberi pujian. Riak wajahnya yang tak berubah membua Atsumu panik sendiri. Pipinya terasa lebih panas dibandingkan beberapa waktu lalu. Ia menghela napas, mengendalikan diri kemudian melanjutkan makannya. Bohong kalau Atsumu tak merasakan tatapan dari Sakusa yang membuat punggungnya terasa panas.

Perlahan ia menoleh, mendapati Sakusa yang menatapnya khawatir. Ah, tatapan ini, pikirnya. Tatapan yang membuat dadanya terasa hangat. Tanpa perlu ditanya, Atsumu berujar, “Aku gak apa, Mi. Cuma keselek.”

Ada lega yang mengguyur khawatir, membuat Atsumu ikut tersenyum. “Omong-omong, pudingnya dimakan gak?”

“Kamu mau?”

Tawaran yang dijawab dengan anggukan. “Mau.”

“Ambil kalau gitu.” Sakusa mengulurkan puding di tangannya yang langsung diterima oleh Atsumu. Sakusa suka melihat Atsumu makan, sejak dulu ia menyukai bagaimana pipi keka— ah, mantan kekasihnya menggembung lucu saat makan. Oh, perubahan julukan ternyata cukup membuat dadanya terasa terhimpit.

How's life, Tsum?” Sakusa tak berharap akan mendapatkan jawaban secara langsung. Ia hanya ingin mendengarkan kejujuran. Tentang hari Atsumu setelah pindah ke Rusia. Tentang Atsumu yang memilih berganti kamar dengan Bokut. Juga tentang perasaannya saat ini. Itu yang paling penting.

“Hm,” Atsumu tentu tak langsung menjawab, seperti tembakan. Hingga pudingnya habis dan alat makan mereka diangkat, Atsumu belum memberi jawaban sementara Sakusa menunggu. Rambut pirang-kecokelatan itu bergerak pelan ketika menoleh. “What do you want to know? After I go to Russia? Or after we break up?

Sakusa mau tak mau menahan tawanya, pahit sekali mendengarkan kenyataan itu. Kakinya menyilang, tubuh bergeser mengarah pada Atsumu. “Terserah, mana yang ingin kamu ceritakan? Kita berdua memiliki banyak waktu hingga mencapai tujuan.”

Keduanya saling tatap, kali ini ada hal yang ditahan untuk kemudian dikeluarkan. “Awalnya tentu saja sulit. Dan kayanya bukan cuma buatku, tapi buat kamu juga. But we get through it right? Abis pindah ke Rusia, aku mulai segalanya dari awal. Belajar banyak hal yang bikin aku perlahan lupa sama sakitnya patah hati.” Atsumu terdiam untuk beberapa saat hingga Sakusa mengira akan ada ucapan lanjutan, ternyata tidak. “Kamu sendiri gimana?”

Ah, apa yang Sakusa harapkan? Jemarinya menyisir helai rambutnya ke belakang. Matanya menatap Atsumu lurus, “Seperti kata kamu. Gak mudah.” Ia berdeham sebelum melanjutkan, “karena aku rasanya dicekik oleh rasa bersalah. Aku yang nyakitin kamu dan memutuskan hubungan kita sepihak. Rasa bersalah itu yang bikin aku berlatih lebih keras. Karena kalau sedikit aja aku lengah, aku akan kalah dan menyesal lebih lama.”

Dengusan kecil terdengar dari bibir Atsumu, “Ya, akan bagus jika kamu kalah sebenarnya.” Ada sindiran di sana, tajam namun tak menusuk ataupun menyakiti. “Baguslah kalau sadar. Dan kamu gak perlu merasa bersalah karena mengakhiri. Jangan lupa aku juga berkontribusi dalam hubungan ini. Bukan salahmu. Kita berdua memiliki porsi kesalahan sendiri, jadi biarkan saja.”

Hah, rasanya keadaan mereka saat ini sangat cocok dengan motto Inarizaki. Siapa yang butuh memori ketika hal itu hanya datang untuk menyakiti secara berulang? Sakusa pun tak akan menginginkannya.

“Lalu, apalagi yang ingin kamu tanyakan? Karena ini sudah waktunya aku tidur siang.” Atsumu menguap pelan.

Sakusa menggeleng, “nanti aja. Kita masih punya banyak waktu. Kamu tidur dulu aja.”

“Oke, kamu juga istirahat dulu aja.” Balas Atsumu setelah menyesuaikan posisinya untuk tidur.

Sakusa bersyukur, Atsumu tidak memasang pembatas di antara mereka sehingga ia masih bisa melihat wajah tertidurnya. Sakusa masih dalam posisinya, menatap napas yang naik turun perlahan. Masih ada sekian belas jam lagi. Masih cukup untuk mereka berbicara tentang masa lalu yang belum diucapkan. Namun, Sakusa lupa bahwa yang paling cepat berlalu saat nyaman terjaga adalah waktu. Dan ia lupa bahwa sejak dulu, Atsumu pandai bersembunyi.


Bagian II:
26 hours

cw // movie spoiler (Me Before You) Word count: 850


“Hei,” panggil Atsumu setelah keduanya diam dalam beberapa waktu. Ia berdeham, melirik sekilas pada Sakusa. Atsumu tidak tahan dengan kecanggungan di antara mereka. Terlebih ketika berada dalam perjalanan panjang ini, Atsumu akan selalu berakhir menatap Sakusa. Ia tak bisa hanya diam dan membiarkan canggung menetap.

Atsumu berdeham, mengatur suaranya juga detak jantungnya. “Ugh, perjalanan kita masih panjang, jadi aku pengen seenggaknya kita gak canggung.”

Satu detik setelah mengatakan itu, Atsumu langsung menutup mulut. Kecanggungan bukannya menurun, malah mendaki naik makin tinggi. Agak menunduk ia untuk menutupi wajahnya. Dalam hati memaki diri sendiri. “Hah, listen, masa lalu kita gak selesai baik-baik dan aku gak merasa kita akan memperbaikinya. Jadi, hanya sampai perjalan berakhir, mari kita bersikap seperti teman.”

Ada nyeri yang datang menyapa. Tenggorokan Sakusa tersendak. Susah payah ia menelan liurnya. “Ah, tentu. Aku juga tak ingin membuat hubungan kita makin canggung.”

“Kalau begitu, lakukan yang ingin kamu lakukan dan aku akan melakukan hal yang sama.” Ujar Atsumu yang langsung fokus pada layar di hadapannya. Ia kembali memilih film yang akan menemaninya menghabiskan waktu. Setidaknya, ia sudah mengatakan yang ingin ia sampaikan. Meski sedikit, rasa canggung itu terangkat. Jemari Atsumu berhenti, ia menoleh pada Sakusa—yang melakukan hal sama. “Mau menonton film bersama?”

Sakusa tersenyum, “Aku tahu film yang bagus. Mau coba menontonnya?”

Dan Atsumu Miya tak pernah mengira akan berakhir menonton film romansa. Oh, pertama Atsumu tak mengira ia akan menonton film ini bersama mantan kekasihnya. Sebagai catatan, di masa lalu mereka tak pernah menonton film romansa, paling komedi atau ulangan pertandingan. Dari semua film, Atsumu tak tahu kenapa mereka berakhir dengan Me Before You.

Dua puluh menit pertama dan Atsumu benci bagaimana pertemuan Lou dan Will begitu familiar dalam ingatan. “Kalau saat bersama denganku bisa tolong jangan terlalu berisik?” Juga bagaimana ucapan yang keluar dari Will sama seperti ucapan Sakusa.

Miya Atsumu benci film ini.

Ia benci pada rasa sesak yang datang tanpa bisa diusir. Ia benci bagaimana keduanya mengingatkan dirinya, pada waktu-waktu awal berbicara dengan Sakusa Kiyoomi. Oh, lihat, segala rencana yang Lou lakukan sama seperti yang Atsumu lakukan di masa lalu. Atsumu, benci ingatan, sebab itu hanya menyakitinya.

“Ah, Sakusa Kiyoomi, Itachiyama. Aku harap kau tidak kehilangan sentuhanmu setelah lama tidak bermain.” Itu kalimat pertama yang Atsumu ucapkan sebagai sambutan dari diterimanya Sakusa. “Terlebih saat ini kita berada di liga pro. Aku tak akan menyesuaikan kemampuanku denganmu.”

Sakusa Kiyoomi menoleh, melirik sekilas dengan sudut bibir terangkat. “Hah? Memangnya kau baru bermain voli kemarin, Miya? Tentu saja kita berdua tahu kalau ini liga pro, kecuali kepala kuningmu itu menabrak tiang kemarin sore.” Ia berhenti, menatap Atsumu yang berbeda beberapa senti—lebih pendek—darinya. “Dan aku tak yakin kau perlu penyesuaian.”

Geram itu muncul di bibir Atsumu. Ia benci kehadiran Sakusa, namun ia tak bisa membenci permainannya. Sakusa Kiyoomi di atas lapangan benar-benar luar biasa. Receive miliknya sempurna, pukulannya sulit ditahan oleh lawan, dan terakhir—hal yang benci untuk Atsumu akui— serve-nya memiliki poros yang tajam. Sakusa Kiyoomi sempurna di atas lapangan.

Miya Atsumu tak ingat kapan awalnya ia mulai mendekat, nyatanya ia ingin menghancurkan dinding Sakusa. Ia ingin masuk dan berbicara banyak. Ia ingin setidaknya, ucapan selamat paginya dibalas. “Yo, Omi-omi, selamat pagi. Hari ini aku membawa onigiri Miya. Kau mau?”

“Hm, pagi. Tapi aku tak memakan onigiri dari tangan orang lain.” Atsumu menahan diri untuk tak melemparkan plastik di tangannya ke wajah Sakusa. Ah, si gila kebersihan ini. “Oh, omong-omong Miya, kau ini sangat cerewet ya?”

Satu alis Atsumu naik sementara ia membuka pintu loker. “Hah? Tiba-tiba sekali?”

“Tidak juga. Aku sudah tau kalau anggota tim yang lain memang berisik. Tapi, Miya, saat bersama denganku bisa tolong jangan terlalu berisik? Telingaku sensitif.”

“Hah? Omi-omi aku ini memang berisik, tapi tidak sampai membuat telinga sakit, kalau itu 'kan tugasnya Bokkun!” Ucapan Atsumu dihentikan dengan capitan jemari Sakusa. Mata Atsumu membola, kaget dengan sentuhan yang tiba-tiba. Tangan Sakusa ditepis langsung, “Berhenti bertingkah menyebalkan Omi-omi. Daripada melarangku ini-itu, bagaimana kalau memberitahu hal yang kau sukai?”

Sakusa meliriknya kemudian mendengus, “Kalau kau punya waktu untuk bicara denganku, kenapa tidak kau gunakan untuk berganti pakaian dan melatih serve-mu itu.” Ada sindiran di sana dan Atsumu membencinya. Ia menggeram, menahan kesal. Sementara Sakusa menatap jemarinya yang masih terasa hangat setelah menyentuh bibir Atsumu.

“Aneh.”

Film selesai dan Miya Atsumu memasukkan judul ini dalam daftar hitam. Ia benci ceritanya yang terlalu dekat dengan masa lalu dan ia benci mengingat akhir kisahnya. Lou dan Will berpisah dengan perasaan saling memiliki. Pasangan dalam cerita ini berpisah dengan kecupan manis dan pelukan hangat.

Berbeda dengan akhir dari kisahnya dengan Sakusa. Keduanya diakhiri dengan amarah. Bukan bibir yang saling menyicip, tetapi ego yang tanpa tak kenal akan tenang. Kisah mereka berdua diakhiri kecewa yang membekas juga kosong, menyisakan dingin dalam dada.

I hate this movie.” Rutuk Atsumu sambil menghapus air matanya. Entah menangisi Will, atau karena teringat masa lalu.

Di tempatnya, Sakusa hanya melirik menahan tangannya yang ingin menghapus jejak air mata di sana. Tentu saja Atsumu membencinya sebab film ini seakan mengingatkan pada awal mereka dekat. Film ini terlalu familiar dengan akhir yang sama, namun dengan sisa perasaan yang berbeda.


Bagian I:
28 hours

cw // alcohol Word count: 650


Dari sekian banyak skenario yang ada di dunia ini, terjebak bersama mantan kekasih selama 28 jam tak pernah masuk dalam agenda Miya Atsumu. Kursinya yang biasa terasa nyaman kini terasa gerah. Padahal pendingin udara terpasang baik, hanya saja tetap membuat pemuda Miya itu menarik kerah bajunya—menyembunyikan wajah dalam turtleneck miliknya. Oh, jangan tanya tentang sumpah serapah. Atsumu sudah mengeluarkan dalam bahasa yang ia pahami.

Kalau tahu akan seperti ini, lebih baik memilih first class. Atsumu masih bergumam. Pesawat mereka sudah lepas landas sejak beberapa menit lalu. Tiga menit pertama menjadi waktu yang paling penting saat terbang. Juga jadi tiga menit paling menciptakan gugup dalam hidup Atsumu. Jantungnya berdegup kencang bukan hanya karena guncangan pesawat, namun juga sosok di sampingnya. Atsumu bahkan lupa kapan terakhir kali merasa demikian.

Atsumu menoleh, melirik sekilas pada si mantan kekasih—yang sialnya sedang menatap ke arahnya. Buru-buru si rambut pirang memalingkan wajahnya. Sudah tak ia dapatkan bangku di samping jendela, eh, malah harus duduk bersampingan dengan mantan kekasih.

Kisah mereka tak berakhir indah kalau Atsumu boleh jujur. Soal perasaan, ia kira mereka berdua sudah saling memahami, nyatanya tidak. Ia kira mereka sepakat dalam banyak hal, nyatanya tenggelam dalam tidak percaya. Atsumu menghela, menyandarkan punggungnya sambil menatap ke arah lain. Atsumu tak tahu harus bersikap seperti apa dalam situasi ini. Ia tak berada di tempat yang dapat menyembunyikan dirinya. Tak juga berada di tempat ia bisa lari sesukanya. Atsumu, terbatas dalam gerak.

“Aku dengar kamu main untuk tim Rusia? You seems great, as usual.” Suara itu terlalu tenang untuk masuk dalam telinga Atsumu. Pipinya masih bersandar pada telapak tangan, malas untuk menoleh. “Kamu terlihat lebih baik, aku senang.”

Hah? Dari sekian banyak kalimat, hanya itu yang bisa dikeluarkan? Atsumu menertawai dalam hati. Ia mendengus mengalahkan egonya untuk menoleh. “Harus lebih baik dong karena ada seseorang yang terus mengawasi.”

Ada api amarah di sana. Ada rasa yang belum terselesaikan juga masih disembunyikan. Keduanya saling menatap dan yang tak Atsumu sangka adalah anggukan kecil yang diberikan oleh Sakusa. “Bagus kalau begitu.”

Hening kembali datang, kembali menyapa. Kali ini diisi dengan dumalan oleh Atsumu. Sementara si rambut ikal hitam di sampingnya memilih membuka buku. Belum ada tiga putuh menit pesawat lepas landas, Atsumu sudah memesan wine. Ia butuh alkohol untuk menenangkan diri. “Ah, saya juga mau. Minuman yang sama.” Dan itu bukan tambahan yang Atsumu harapkan.

“Aku ke sana untuk menjenguk Kana, omong-omong.” Sakusa membuka suara, melirik sekilas pada Atsumu—yang untungnya tak memilih menaikkan sekat di antara mereka. “Kana sejak tahun lalu bersekolah di Rusia. Kadang dia juga mengirimi foto kamu yang sedang bermain di liga.”

“Ah,” hanya itu yang Atsumu bisa keluarkan. Ia tak bisa mengatakan selamat, sementara subjek pembicaraan mereka tak ada di sini. Mengucapkannya pun terasa aneh. Kemudian, rasa-rasanya ini bukam hal yang perlu ia tahu. Too much information. “Selamat, aku harap kamu menyampaikannya.” Dan ia tetap mengatakannya.

Minuman mereka tiba dengan beberapa makanan ringan sebagai pelengkap. Matahari belum terbit di rumahnya saat ini, namun Atsumu sudah memutar gelas wine. Bersama mantan kekasih yang mengangkat gelasnya—yang mau tak mau ia sambut.

Clang.

Dua gelas tersebut saling bersenggolan, menciptakan suara, juga goyangan di dalamnya. Bagai emosi yang bergolak kemudian perlahan tenang di dalam gelas. Bagai perasaan yang ditelan dalam-dalam, tanpa niat untuk dikeluarkan. Minuman tandas dalam satu teguk untuk Atsumu. Di sampingnya, Sakusa masih menyisakan miliknya. Ia melirik, sekilas. “Lebih baik kita tidur.”

Hah, jangankan memikirkan tidur, Atsumu bahkan sudah melupakan rencana indahnya untuk menikmati film sampai perjalanan berakhir. Ia kembali mendengus, “Silakan. Aku akan tetap bangun, ini belum waktunya untuk aku tidur.

“Kamu benci aku?” Pertanyaan yang membuat kepala Atsumu bergerak cepat. Matanya merah, menatap tajam. Jika mata bisa membunuh, Sakusa sudah nyaman dalam timbunan tanah sejak dua tahun lalu.

“Itu sudah pasti 'kan?” Sindir Atsumu, “Kamu pikir akan ada seseorang yang tetap mencintai tanpa kebencian? Setelah semua yang kamu katakan?”

Tak ada balasan dan Sakusa hanya mendengar dengusan. Satu jam bertama dan Atsumu sudah merasa gila.


Cemburu

Tag: jealousy, harsh words, cheating, death thread but not really, mentioned cigarettes, slightly nsfw


Brengsek.

Suna Rintarou menggeram dalam hati kala Atsumu Miya tanpa permisi mencium bibir Sakusa Kiyoomi. “Wei, gue tau lo berdua pacaran, tapi gak usah cipak-cipok bisa kali.”

Itu bukan dari Suna, namun keluar dari Shibaru Kenjiro yang mencibir tak suka. Di sampingnya Osamu Miya tertawa. Bahagia sekali bajingan itu—kata seseorang yang mencuri kekasih sahabatnya. “Biasa, namanya juga bucin-bucin tolol.”

“Mulut lo bau rokok.” Sakusa mendorong bibir Atsumu menjauh, mengusap bibirnya sendiri menciptakan tawa.

Suna mengangkat gelas berisi minuman beralkoholnya, menyembunyikan senyum. Kediaman Terushima ramai, biasa ada acara bakar-bakar. Belum sempat menyalakan api untuk membakar jagung, sudah ada Suna yang terbakar api cemburu. Terlebih ketika ia melihat Atsumu mencuri-curi untuk memberi kecupan.

Sialan.

Brengsek.

Rasa-rasanya ia ingin membunuh Atsumu di sana. Suna cemburu, pada mudahnya Atsumu menyentuh Sakusa tanpa perlu sembunyi-sembunyi. Suna cemburu, pada Atsumu yang tanpa malu menarik dagu kekasih gelapnya untuk memberikan ciuman. Kekasih gelap yang penuh api cemburu.

Hah, lihat tatap mata keduanya bertemu dan Sakusa dengan kurang ajarnya malah sengaja mematik api amarah. Tangannya melingkar di leher Atsumu, sengaja memperdalam ciuman. Sengaja sekali agar ia marah.

Kalau itu mau Sakusa ia berhasil. Suna meremas gelas kertas di tangannya kemudian melemparnya sembarang. Ia berdiri, memberikan kode lewat tatap mata. Langkahnya santai menuju kamar di lantai dua

Rokok yang sengaja ia sisakan dinyalakan, membuat malam yang dingin setelah hujan jadi lebih hangat. Asapnya ia hembuskan, “Gak di sini, gak di sana. Sama-sama bau rokok. Lo pada emang bakal mati ya kalau gak ngerokok?”

Suna malah nyengir, punggungnya bersandar pada pagar pembatas. “But you love it.”

“Gak. Gue benci.” Balasnya sambil merebut rokok di jemari Suna.

Ah, sayang sekali, belum juga sampai setengah sudah direbut. Mati apinya sebab ditekankan pada dinding, menciptakan hitam di sana. Pandangan mata Suna masih terfokus pada Sakusa. Lihat, malam ini cantik sekali kekasihnya.

“Omong-omong,” katanya membuka pembicaraan. Sudut matanya melirik pada Sakusa. “Gue emang mungkin akan mati karena rokok, tapi pacar lo.” Ia berhenti menarik pinggang Sakusa mendekat. Agak mendongak ia saat berbisik, “matinya gara-gara gue cemburu, gimana?”

Sudut bibir Sakusa terangkat. Suna yang cemburu itu lucu. Ia menunduk, “jangan lah. Nanti lo jadi tersangka.”

“Kalau gitu cegah gue.” Balasnya.

Pasang mata segelap lautan itu bertemu. Saling menatap. Bibir hanya berjarak beberapa senti kemudian tak lama bertemu.

Ada marah, lapar, dan ingin yang tertahan di sana. Ada Suna dan rasa cemburu. Ada Sakusa yang menang atas perasaan cemburu tersebut.

Jangan tanya perihal hubungan, sebab sudah jelas berada dalam bayang. Jangan tanya soal hati, sebab itu perihal nanti. Tanyakan saja pada tubuh yang saling memeluk, berbagi hangat juga menukar putih.

Jangan tanya soal kekasih di bawah terangnya lampu, nanti Suna bisa cemburu.

You like it right?” Tanya Suna setelah bibir keduanya berpisah.

“Apa?” Balas Sakusa, suaranya serak.

Dua pipinya merah, membuatnya makin cantik di bawah temaram lampu. Sakusanya cantik sekali. “Bibirku, bilang kamu lebih suka milikku dibanding Atsumu.”

Sakusa melingkarkan tangannya di leher Suna, membalas dengan kecupan. “Suka.

Bibir kembali bertemu, menyesap manisnya cemburu dalam bayang.

inginkan aku — SakuAtsuHina

cw // harsh words , slightly (impliciy) nsfw (sex scene)


Hinata Shoyo berdiri di tengah lampu sorot dengan kaus tanpa lengan yang mencetak dada. Keringatnya turun, mencetak otot perut juga dadanya. Keringatnya turun, menciptakan sungai indah yang menagih untuk ditenggak.

Tubuhnya bergerak, tangan diangkat seolah menarik siapapun untuk mendekat. Gerakan tangannya membuat kaus yang ia gunakan terangkat. Rambutnya basah, bersinar di bawah lampu sorot, dalam tiap gerakannya yang makin lama makin terlihat sensual. Beberapa lelaki mulai mendekati, tanpa permisi menjamah. Menjelajahi jemari pada punggung juga lengan. Sengaja merasakan otot keras yang menggoda atau barang kali sekedar menyentuh bokong bulat yang berteriak memanggil.

Di tempatnya, Sakusa Kiyoomi menatap tajam pada Hinata yang kini melingkarkan tangannya di leher Atsumu Miya. Juga pada tatapan menggoda yang diberikan. Keduanya berada dalam kompetisi saling tatap dengan gairah sebagai pialanya.

Sialan. Sakusa bisa merasakan amarah dalam dirinya. Pun pada miliknya yang meronta sebab tempatnya merengkuh hangat digoda tanpa tahu pemiliknya siapa.

Keduanya saling menatap, saling menilai satu sama lain. Perihal hubungan? Katakanlah sangat kompatibel di atas ranjang. Perihal cemburu? Jangan bercanda. Cukup katakan tak menyukai jika miliknya disentuh.

Tubuh Hinata dan Atsumu terlalu dekat hingga titik saling bergesekan. Keduanya terlalu dekat hingga pada titik bibir mereka hampir bersentuhan. Ada geram yang tertinggal pada tatap mata yang membakar. Ah, brengsek. Pemandangan di hadapannya lebih membakar dibandingkan minuman beralkohol yang ia tenggak.

Sakusa menenggak minuman keras di cangkirnya dalam satu tegukan. Gelas terakhir itu dibanting keras ke atas meja, ia menderap menuju lantai dansa. Tangannya terulur, menarik Hinata dalam pelukan Atsumu yang malah dibalas tarikan bibir di sudut. “Heh, Sakusa-san kalau ingin berdansa harus mengantri.”

Atsumu tak membantu dengan tangan yang melingkar di pinggang Hinata. Sakusa tak suka. Juga pada si rambut kuning yang bersandar di kepala Hinata-nya.

Oh, Hinata menyukai bagaimana kelereng gelap itu berapi. Panas kecemburuan yang menyebar pada perlakuan. Tangannya yang ditarik ia hempas perlahan, sudut bibir masih bertahan menampilkan senyuman sinis. Oh, Hinata suka melihat topeng ketenangan pada diri Sakusa copot, luruh seluruhnya pada lantai dansa.

Sentuhan tangan Atsumu di pinggangnya pun ia lepas. Langkahnya mengalun, pelan dan penuh perhitungan menuju lampu sorot. Hinata menyukai ketika tatapan mata itu terfokus padanya. Pada gerak tubuhnya, pada tiap bulir keringat yang turun, juga pada tiap kali ia menoleh.

Hinata menyukai berada di lampu sorot, juga ada tatap menginginkan dari orang lain. Oh, favoritnya adalah tatapan panas membakar dari Sakusa Kiyoomi. Ia melirik, kembali melihat Sakusa yang menatap dari sisi lantai dansa.

Tubuhnya bergerak, sengaja bergesekan dengan orang asing yang tak ia tahu namanya. Membakar api pada mata yang menatapnya tajam. Jika tatapan bisa melucuti, pakaian Hinata telah tanggal sejak tadi.

Di sisi Sakusa, Atsumu berbisik. Lama keduanya tak berfokus padanya dan ia tak menyukainya. Namun, kala dua tangan itu menariknya, ia tak menolak. Sebab Sakusa menggodanya dengan suara rendahnya, “Can you take us, tonight?”

Dan tentu Hinata tak bisa menolaknya. Ia menyukai lampu sorot, namun mengambil tantangan dari keduanya bukan sesuatu yang buruk juga. Oh, lihat, Hinata menyukai bagaimana keduanya menatap penuh ingin untuk kemudian memenuhinya dalam-dalam.


Tiga persembunyian
dalam terang malam

Hinata melambaikan tangan pada Sakusa yang baru saja pergi dengan mobilnya. Katanya ia harus menjemput Bunda dulu, baru akan kembali lagi nanti. Hinata tersenyum, ia tahu meskipun Sakusa mendumal, kekasihnya itu tak akan pernah mengabaikan permintaan orang tuanya.

Kata Sakusa tadi, Atsumu akan datang sehingga si rambut oranye memilih duduk di atas sofa sambil memeluk kakinya, menyandarkan kepalanya di atas lutut. Kadang saat kepala sedang terisi penuh dengan banyak sekali pikiran ini itu, bengong adalah jalan terbaik membuat pikiran jernih. Hinaa hanya diam, menatap bunga anggrek dan mawar milik Bunda. Untuk beberapa waktu pikirannya kosong dan kembali saat di mana ia baru dekat dengan Sakusa Kiyoomi.

Seingatnya waktu itu mereka berada di divisi yang sama dengan Sakusa sebagai ketua. Hinata sebagai mahasiswa baru yang sering kali menyapa Sakusa, meski sering juga diabaikan. Oh, ia juga ingat saat itu kenal Atsumu melalui Sakusa—mereka satu tongkrongan omong-omong.

Awalnya, Hinata kira Sakusa tak menyukainya karena sering kali ia diberi perlakuan dingin. Makanya, sejujurnya ia kaget saat Sakura menyatakan cinta. Kepalanya bergerak, mengubah posisinya dengan pipi yang bersandar di lutut.

“I like you,” kata Sakusa di suatu sore selepas rapat kepanitiaan. Hinata hanya berdiri di sana menatapnya heran. Kenapa tiba-tiba Sakusa datang dan menyatakan cinta?

Si rambut oranye di hadapannya menutup wajahnya dengan tangan, malu sendiri. Ia mendongak, menatap Sakusa sambil menggaruk pipi. “Eh, maaf Kak saya udah punya pacar.”

“You deserve three boyfriends.” Itu bukan dari Sakusa, tetapi Atsumu yang datang tiba-tiba untuk membuat kernyitan di kening Hinata makin dalam. “Because I like you too.”

“Hah?” Ujar Sakusa dan Hinata bersamaan sedangkan Atsumu hanya tersenyum.

Hari itu adalah hari yang paling ribut, paling sibuk, paling melelahkan secara emosi. Sebab hari itu, pertama kali mereka berempat bertemu dan membicarakan semuanya. Hari di mana Hinata tak bisa memilih, sebab awalnya takut melukai sebab ia mulai menyayangi dua pemuda yang baru masuk dalam hidupnya.

Saat ini, ia penasaran apakah ada yang akan berubah jika hari itu Hinata hanya memilih satu. Apakah ia akan terluka masih sedikit ataukah ia merasakan kesepian makin banyak? Ia tak tahu.

Keningnya disentuh, membuat matanya mengedip cepat saat menyadari pemiliknya adalah Atsumu Miya yang sedang tersenyum. “Hei, aku panggil dari tadi kamu gak nengok-nengok.”

“Eh, maaf Kak.” Punggungnya diluruskan sementara tangan Atsumu masih di keningnya. “Eh, Kakak buka gerbang sendiri? Ya ampun maaf ya.”

Atsumu menoleh, tangannya turun ke pipi. “Ey, gak masalah. Kamu kenapa kok bengong mulu? Mau cerita?”

Tangan Atsumu di pipinya digenggam, sementara ia bangkit dari bangkunya. “Makan yuk, aku tadi udah manasin lauk tapi belum sempet makan.”

Ah, Hinatanya belum mau bercerita. Tangan dalam genggaman Atsumu terasa berkeringat, terasa gugupnya juga dingin yang tersisa. Ia menggenggamnya, makin erat. Atsumu tidak suka melihat Hinata sedih seperti tadi. Inginnya Atsumu, Hinata bercerita padanya. Menyampaikan yang sedang menjadi resah dalam dirinya. Inginnya Atsumu, ia menjadi sandaran. Sebab Hinata tak sendirian untuk menghadapi apapun yang sedang membuat senyumnya terenggut.


Empat perspektif
sabar yang tumpah

Empat orang dalam ruangan itu saling menatap, juga saling mengabaikan. Atsumu Miya masih dengan napas naik-turun. “Tsum, duduk.” Kata Oikawa sambil menarik tangannya, namun ditepis.

“Nanti. Sho, plis, ngomong kamu tuh sebenernya kenapa sih? Apa susahnya sih ngomong ke kami? Kamu beberapa hari i ini tuh aneh tau gak? Ditanya kenapa gak mau ngomong mulu. Ini karena tweet gak jelas itu 'kan?”

“Atsumu, udah dibilang buat kasih waktu ke Shoyo 'kan.” Oikawa menatap sinis. Tak suka karena melihat Hinata makin menunduk. Sakusa benar-benar tak paham apa yang sebelumnya terjadi, namun melihat dari reaksi tiga orang dalam ruangan ini ia sedikit banyak mulai paham.

Rambutnya disisir ke atas sambil ia melangkah mendekati Hinata. Berjongkok di hadapannya dengan tangan terulur, “Sho, look at me.” Ujarnya lembut sambil menyentuh ujung jemari kekasihnya. “Jangan nunduk aja, nanti lehernya sakit.”

Sedikit sudut bibir Hinata terangkat dengan jemari keduanya bertaut. “Sebenarnya, kalau Atsumu gak ngomong, aku juga mau nanya. Sama Tooru juga ngerasa yang sama. Sho, kami mau kamu tau kalau susahnya kamu gak perlu dipendam sendiri. Gak masalah untuk bersandar sampai ngeluh pun gak masalah. Jangan merasa beban itu hanya kamu pikul sendiri. Sho, kami pacar kamu, jadi gak masalah kalau kamu ngeluh banyak hal ke kami.”

Hinata diam untuk waktu lama dan akhirnya hanya menghela panjang. Ia mengeluarkan ponselnya dan memberikannya pada Sakusa. “Aku rasa dibandingkan cerita, akan lebih baik Kakak baca sendiri. Semuanya. Keluhanku, capeknya aku, sampai semua frustasi yang gak bisa aku keluarin. Ada di sana semua.”

Atsumu dan Oikawa ikut mendekat, duduk di samping Sakusa. Ketiganya membaca tiap tulisan di dalam twittee pribadi milik Shoyo. Dari tweet terbawah hingga yang paling atas, perlahan dengan tekun. Memahami dan mulai mengisi keping puzzle yang hilang.

Mereka mulai paham, tentang rasa tidak percaya diri yang mulai ditanam sejak awal. Tentang ketakutan yang disembunyikan. Juga tentang bagaimana Hinata merasa kecil dalam hubungan ini. Meski sejak awal, perhatian mereka berikan dengan seluruh sayang yang tak tertinggal.

Atsumu yang pertama merengkuh tubuh Shoyo. Mereka duduk di atas karpet merah, “Maaf kamu harus menyimpan semuanya sendirian.”

Hinata menggeleng, “Bukan salah Kakak kok. Akunya aja yang emang gak bisa terbuka.” Ia memainkan jemarinya, “Aku yang gak percaya diri. Kaya, kenapa orang-orang kaya kalian kok mau sama aku? Karena aku gak ngerasa spesial. Gak merasa diriku emang pantas untuk di samping kalian. Kalian ganteng iya, pinter iya, aku rasanya kecil banget. Bukan cuma karena tubuhku sih, hehe.” Ia mencoba mencairkan suasana.

Di depannya Oikawa menatap dengan kerutan dalam. Mungkin ia yang merasa paling bersalah sebab paling lama menjalin hubungan, namun tetap belum memahami. “Sho, maaf.”

Hinata buru-buru menggeleng. “Bukan salah kalian, salahnya di aku yang gak bisa terbuka.”

Sakusa mengulurkan tangannya, mengusak puncak kepala Hinata. “Ada yang mau kamu sampaikan lagi?”

Hinata memainkan jemarinya lagi, menatap wajah kekasihnya satu per satu. “Kak, boleh gak ngeluh kalau aku capek?”

“Boleh lah.” Oikawa mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Hinata lembut. “Hari ini sampai ke depannya, kamu bebas untuk mengeluh. Ceritain semuanya, tentang yang kamu tahan juga yang kamu rahasiakan.”

Dan seluruh cerita Hinata akhirnya lolos dari bibir yang selama ini terkunci. Malam itu, mereka belajar bahwa hubungan yang terlihat baik nyatanya memiliki banyak lubang. Lubang yang malam ini coba ditutupi kini terbuka lebar, hingga retak, dan bercecer. Malam ini, lubang itu mulai diperbaiki, ditutup dengan tanah baru dengan bibit kepercayaan yang nantinya akan mereka tunggu untuk berbuah.

Mereka berakhir saling memeluk hingga si rambut oranye tertidur pulas di bahu Sakusa. “Gue pikir udah ngasih yang terbaik,” lirih Oikawa sambil memainkan jarinya di rambut Hinata. “Nyatanya enggak. Ternyata malah menambah beban.”

Atsumu menghela, “Gue masih marah sama sender brengsek itu. Tapi, marah gak akan nyelesaiin masalah. Jadi, akan ngehibur yang di depan mata aja.”

“Tumben lo bijak?” Sindir Sakusa.

“Bijaknya cuma urusan Shoyo.” Sahut Oikawa dan Atsumu tidak mengelak. Toh kenyataannya begitu.

“Terus rencana lo apa?” Tanya Oikawa dan Atsumu tersenyum.

“Lo berdua tinggal kerja sama pokoknya.”

Meski tak yakin, Oikawa dan Sakusa ikut mengangguk. Kalau rencana yang menyangkut Hinata, Atsumu pasti akan melakukan yang terbaik. Sekarang, tinggal pelaksanaan untuk besok saja.


Dua alasan
lelah ingin

Hinata menghela napas, menatap pada tumpukan post it dengan kata-kata tak pantas. Tangannya meraup, meremas sleuruhnya yang kemudian dibuang ke tempat sampah. Ia tak paham, kenapa ia harus mendapatkan hal ini? Hanya karena kekasihnya populer? Iri kah mereka? Inginkah mereka pada semua yang dimilikinya?

Ia menggeleng pelan, meraih buku yang dibutuhkan kemudian mengunci lokernya. Di sampingnya ada tawa dan bisikan tak mengenakan. Hingga telinganya hanya mendengar alunan lagu asing yang biasa didengar Sakusa Kiyoomi. Ia menoleh, mendapati kekasihnya tersenyum manis. “Yuk, aku antar ke kelas.” Jemari keduanya bertaut, melangkah perlahan memecah bisik pada masing-masing telinga.

Setelah keduanya tak lagi tertangkap pasang mata, bisikan terdengar makin nyaring. Tanpa malu saling menghampiri, bertukar informasi, juga menambahkan bumbu yang tak perlu.

Tangan Sakusa terasa hangat, sentuhannya terasa menenangkan. Keduanya melangkah hingga parkiran dan pintu mobil kekasihnya dibuka. “Aku anter pulang.”

“Kak Atsumu?” Tanya Hinata, sebab biasanya di hari Rabu ia akan pulang bersama Atsumu.

Sakusa menghela, jemarinya naik, menyisir rambut ikalnya. “Atsumu nanti sama Tooru. Gak usah khawatir. Mereka nanti bareng ke rumah kamu.”

Setelah mendengar penjelas itu baru Hinata mau masuk ke dalam mobil. Sakusa menghela, inginnya ia Hinata lebih mementingkan diri sendiri. Sekilas tadi ia melihat isi post it yang dibuang ke dalam tempat sampah. Ia ingin Hinata lebih mementingkan diri sendiri dibandingkan memikirkan Atsumu.

Hanya saja, Hinata tak bisa. Bahkan meski ia, juga Atsumu dan Oikawa mementingkan Hinata, berusaha untuknya di segala waktu, kekasih mereka tetap tak mau mementingkan diri sendiri. Bahkan ketika dulu ia menyatakan cinta, bukan tentang perasaannya yang bergerak untuk langsung menjawab, melainkan balasan pertanyaan. Sakusa tak paham, kenapa Hinata selalu merasa kecil ketika ia begitu bersinar dan sehangat mentari pagi?

Ia tak paham bagaimana cara agar Hinata mau mementingkan diri sendiri. Bagaimana membuat kekasihnya merasa cukup dan menyayangi diri sendiri. Ia ingin kekasihnya tahu soal itu. Perihal bagaimana ia pantas dicintai bukan hanya mencintai.

Bukan hanya perkara menjadi pantas untuk orang lain dan mementingkan yang lain. Lebih dari itu, Sakusa ingin Hinatanga melihat itu semua untuk diri sendiri sebelum pada dirinya juga Oikawa dan Atsumu. Tanpa sadar mobilnya berhenti di depan pagar rumah Hinata.

“Aku bukain dulu ya, tunggu.” Kata Hinata dan Sakusa mengangguk dengan senyum kecil.

Hinata mengangguk, membukakan gerbang dan menutupnya setelah mobil Sakusa masuk. “Sho, aku mau ngerokok dulu bentar.”

“Eh? Oke.” Balas Shoyo.

Sakusa Kiyoomi hanya beralasan sebab ia tak tahu bagaimana menyelesaikan ini sendirian. Bohong jika Hinata tak tahu perihal masalah di base twitter. Bohong juga jika ia tak khawatirkan, hanya ia bersama Oikawa dan Atsumu tak ada yang berani bertanya. Mereka terllau pengecut juga tak siap melihat reaksi Hinata. Mereka hanya tak siap melihat Hinata menangis. Ah, membayangkannya saja cukup membuat dadanya sesak.

Saku meraih ponselnya, mengirimkan pesan pada Atsumu dan Oikawa. Ia tak bisa menyelesaikannya sendiri. Ia butuh bantuan dua orang itu.

Kalau ini soal alasan ringan, ia tak bisa. Ada ego miliknya yang harus diturunkan serendah tanah di Ibu Kota. Ada hati yang harus belajar egois setelah ini. Ada hati yang harus belajar hingga kakinya lelah. Sakusa menghela. Melirik pada Hinata yang sedang menunggu di balkon rumah dengan kucing di pangkuan. Rokok milik Sakusa masih setengah. Hah, ia harus cepat-cepat menyuruh Oikawa dan Atsumu datang agar Hinata tak kesepian terlalu lama.