ABI.

this blog is belong to cuupidly on twitter for writing au 💗

“Anjir ini mah mogok, Kal!” kata Grishelda dengan nada yang sedikit naik.

Kini, mobil Haikal berhenti didepan sebuah minimarket, untungnya. Semisalkan mereka sedang di tengah jalan, apa nggak makin panik?

Haikal nyengir. “Sorry Sayang, aku lupa buat cek rutin. Harusnya minggu lalu, tapi aku lupa.”

Agatha hanya diam saja dibelakang tanpa mau berkomentar apapun. Perasaannya kini bingung, dia seperti sedang melihat orang tuanya bertengkar sambil menyeruput es teh yang dia bungkus dari makan bubur tadi.

“Yaudah sih, bentar. Jangan marah-marah mulu, nanti geulis-nya ilang.”

“Kamu mah kebiasaan,” Grishelda meraih tasnya. “Lo mau nitip sesuatu, Tha? Gue mau beli minum.”

Agatha menggeleng. “Nggak usah Mami.”

Haikal terkekeh, namun akhirannya dia dipelototi juga oleh Grishelda.

“Gue temenin lo aja ke dalem,” Agatha bersiap. “Yuk!”

Grishelda mengangguk, meninggalkan Haikal yang masih cengengesan sambil menatap ponselnya.

Agatha berjalan dengan Grishelda.

“Udah Cel, namanya juga lupa. Kan, manusia tempatnya lupa.”

“Sebel gue,” Grishelda mengangkat lengan kirinya, melihat sebentar jam tangannya. “Gue ada kelas tiga puluh menit lagi.”

“Mau pesen taksi online aja nggak?”

Grishelda menggeleng. “Biar kapok dia mikirin gimana caranya nganter kita.”

Mereka berdua berjalan masuk ke dalam untuk membeli yang Grishelda butuhkan. Agatha hanya mengikuti Grishelda, seperti anak bebek yang mengikuti induknya.

33

The cold war is finally over.

Grishelda benar-benar merasa sangat marah sekarang. Windy dan Nina telah mengemasi barang mereka dan mungkin akan tinggal bersama Abigail sementara —karena rumah Abigail yang memiliki kamar tamu banyak dan sepi, sampai mereka menemukan apart yang cukup untuk mereka berdua.

Grishelda benar-benar merasa bersalah pada ketiga temannya.

Semuanya berawal pada waktu masa ospek, Hakiel dan Rhesa memang dikabarkan dekat sampai, tanpa sengaja, Hakiel dan Grishelda bertemu di perpustakaan. Sejak saat itu, Hakiel memutuskan hubungannya dengan Rhesa, dan mengajak Grishelda untuk melakukan pendekatan —sampai akhirnya mereka mengatakan bahwa mereka telah berpacaran.

Rhesa sebal, hal itu membuat Yessi juga ikut sebal lagi karena Rhesa dekat sekali dengan Yessi. Yessi tahu cara membalas Grishelda —dengan mengeluarkan Grishelda dan Abigail dari team dance kampus.

Kedatangan Windy dan Nina dalam team dance benar-benar membantu Yessi dan yang lain, namun Yessi menemukan fakta bahwa mereka berteman baik dengan Abigail maupun Grishelda. Karena dendam yang masih ada tersebut, Windy dan Nina langsung diberi ultimatum: berhenti berhubungan dengan Grishelda dan Abigail.

Mereka menurut, dari luar. Tanpa Yessi dan yang lainnya sadari, Windy dan Nina masih menjalin pertemanan dengan Grishelda dan Abigail secara diam-diam.

Saat Yessi tau bahwa mereka berempat masih berteman, Yessi marah besar; ia mulai menyusun rencana untuk menghancurkan salah satu dari mereka dan itu adalah Abigail. Malangnya, Abigail sama sekali tidak pernah berhadapan langsung dengan Yessi, namun ntah mengapa, menyakiti Abigail membuat Yessi merasakan bahwa dia diatas Abigail.

“Maafin gue ya, lo jadi kena batunya.” Windy membuka suara, anggukan dari Grishelda dan Nina pun menyusul.

Abigail menggeleng, matanya menatap Grishelda, Windy, dan Nina secara bergantian. “Guys, udah ya? Jangan merasa bersalah terus sama gue. Gue udah baik-baik aja kok sekarang. Oke? Nggak papa. Jangan merasa bersalah lagi.”

Sejak berita semalam —sejak Kenneth buru-buru pulang dan Yessi 'mengusir' Nina serta Windy, Hakiel, Cherry, dan Gideon berkumpul bersama di rumah Abigail. Tidak lupa Nina dan Windy yang hanya berkemas seadanya dan langsung meninggalkan dorm untuk para dancer.

Mereka tidur bersama di ruang tengah rumah Abigail.

“Tuh cewek emang agak gila,” Cherry angkat suara. “Gue nggak habis pikir, otaknya tuh cewek gila di mana sih?”

“Makanya, Cher. Perasaan yang ada masalah kan gue sama dia, kenapa narik Kak Abi?”

Para lelaki hanya diam.

“Udah nggak usah dibahas,” Abigail tersenyum. “I'm glad that Yessi cuman nyakitin kaya gitu, bukan yang gimana-gimana.”

“Lo emang beneran terlalu baik, Bi. Sekali-kali teriaklah, kontol, gitu.” sahut Hakiel yang diimbuhi dengan Kenneth menggeplak bahunya.

“Kalian di sini dengan baik-baik aja tuh udah cukup,” Abigail tersenyum. “Sekarang, mau makan apa? Kita beli sarapan yuk!”

Dan dengan itu, perang dingin dinyatakan selesai.

Yessi, what will you wanna do after this?

29

Labrador tidak pernah sepi meski pada hari biasa, apalagi weekend seperti ini.

Terlebih lagi, ketua tim Basket Putra Nusantara, Marco, mengundang semua kenalannya untuk menyaksikan ia mengatakan cinta pada Julia. Akhirnya, setelah satu tahun tidak ada kata 'pacaran'.

Satu Nusantara berkumpul. Baik kenalan Marco atau kenalan Julia. Atau bahkan para manusia-manusia tidak diundang namun memang hobi pergi ke Labrador seperti Gideon dan yang lainnya.

“Ini kampus pindah sini apa gimana?” kata Rayhan sedikit berteriak.

Gideon terkekeh. “Iya kayanya.”

Jam sudah menunjukan pukul sebelas saat ini. Gideon hanya duduk di table tanpa mau repot-repot berdiri dan menari di dance floor seperti Yoel dan Samuel. Rayhan sudah sedikit teler, sementara Hakiel dan Grishelda entah kemana —mungkin mereka juga pergi ke dance floor.

Mata Gideon menyusuri satu Labrador. Tidak jarang dia melihat manusia-manusia saling berpagut bibir di sudut Labrador. Bahkan sang empunya acara, Marco, sudah asik bermain lidah dengan Julia di sofa mereka.

Namun, pandangan Gideon belum mendapati Yessi.

Maksud Gideon, dalam acara seperti ini, tidak mungkin Yessi tidak ada. Yessi jelas adalah pentolan anak dance, dan Julia bisa dibilang adalah sahabat dekat Yessi. Mana mungkin Yessi tidak datang dalam acara sakral seperti ini?

“Nyari Yessi?” tanya sebuah suara.

Gideon menatap arah suara, kemudian menyengir sambil menggelengkan kepala. “Enggak lah, Sel. Lagi liat-liat aja. Mana Kiel?”

Grishelda menunjuk Hakiel yang sedang berdiri dan mengobrol dengan anggota basket putra. Itu Kenneth, Gideon tahu siapa Kenneth.

“Kok lo ke sini?”

“Gue anti deketin markas anak dance.”

Gideon terkekeh. “Masih perang dingin ternyata.”

Grishelda tertawa pelan, kepalanya mengangguk-angguk sesuai dengan irama musik sambil sesekali dia meneguk minumannya sendiri.

Jam hampir menunjukan pukul dua belas kini. Grishelda dan Hakiel sedang sibuk dengan urusan mereka disebelah Rayhan yang sudah teler. Hanya Gideon yang setidaknya masih sadar di table itu. Yoel dan Samuel? Ntahlah. Mereka sama sekali tidak kembali sejak pergi ke dance floor.

Sejujurnya, Gideon sangat bosan dengan Labrador. Ia bosan dengan kehidupan malam. Namun, ia masih beberapa kali merasa bahwa bayang Yessi masih ada.

“Bang Deon!” sapa Kenneth. Minuman ditangannya masih ada sedikit, kemudian dia menyodorkannya pada Gideon.

Gideon mengangkat alisnya, kemudian menyodorkan minumannya ke minuman Kenneth.

Cheers!” Kenneth berkata, kemudian meneguk habis minumannya.

Sama saja dengan Gideon.

“Sendirian, Ken?”

Kenneth mengangguk. “Kalo gak gara-gara Bang Marco sama cewek gue, ogah juga sih.”

“Sama.”

“Lo gimana? Masa cuman nontonin Bang Kiel sama Kak Icel ciuman sih?”

Gideon terkekeh. “Belum waktunya ciuman lagi, sih.”

Mereka masih mengobrol kecil sampai dua manusia yang baru saja datang ke Labrador itu menyita perhatian semua orang.

Baik Gideon maupun Kenneth.

Yessi? Tapi dia bukan Harris.

“Anjing!” pekik Kenneth.

Gideon menoleh, “Kenapa Ken?”

“Yessi bangsat! Yang jalan sama dia itu mantannya Kakak gue, Bang! Mantannya Kak Abi!”

Gideon terhenyak kaget. Kenneth tanpa basa-basi lagi langsung berjalan menuju Daniel, yang digandeng Yessi.

BRUAK!!!

“LO BANGSAT!” Kenneth melayangkan lagi pukulannya ke wajah Daniel. “LO BAHKAN LEBIH HINA DARIPADA BINATANG, LO LEBIH HINA DARIPADA BANGSAT!”

Gideon berlari, berusaha menarik Kenneth yang bisa saja membunuh Daniel di tempat. Laki-laki itu terkapar tidak berdaya.

“LO BENERAN SAMPAH!”

“UDAH KEN!” teriak Gideon, badannya cukup kuat untuk menarik Kenneth. “Lo harus tenang, Ken. Lo mending pulang sekarang, lo jagain Kakak lo di rumah. Cewek lo biar gue yang anter ya?”

Kenneth tidak menjawab, ia langsung pergi meninggalkan Labrador.

Gideon hanya menggelengkan kepalanya saat Yessi menatapnya. Ia memberikan senyuman yang bahkan Gideon tidak bisa mengartikannya.

Cewek gila.

23

“Lega banget gue.” kata Kiel sambil memeluk Grishelda. “Akhirnya putus juga.”

Kini, Grishelda, Kenneth, Kiel dan Abigail sedang berkumpul di kamar Abigail. Setelah mengatakan bahwa Abigail pergi kepada Daniel, mereka langsung berkumpul karena Kenneth memprediksi bahwa Daniel akan langsung mengirimkan pesan pada Abigail. Dan benar saja.

Kenneth langsung memeluk Abigail. “You did a good job, Kak!”

Kenneth dan Grishelda yang sedang berpelukan pun memperhatikan kakak beradik itu berpelukan. Meski Abigail masih menangis, namun hal tersebut adalah hal wajar. Tiga tahun memang bukan waktu yang sebentar.

“Udah, cup,” Kenneth menghapus air mata Abigail yang mengalir dengan ibu jarinya. “Lo itu berharga banget buat gue, Kak. Jadi jangan sampe lo nangis karena hal nggak penting kaya gini.”

Abigail mengangguk, senyumnya kini terlihat.

“Nah gitu dong cakep,” Kiel menyahuti, kemudian memberikan dua jempolnya. “Lo keren.”

Tangan Grishelda meraih tangan Abigail dan mengelusnya. “Nggak papa, lo udah berhasil lepas dari dia yang bakal terus kasih lo kebohongan adalah sebuah hal yang harusnya emang diapresiasi.”

Abigail hanya diam sambil tersenyum. Ia masih merasakan sakit, namun, bukankah ini lebih baik?

Ia percaya bahwa Tuhan melakukan ini agar Abigail lebih bisa bersyukur lagi. Dan, siapa tau akan dipertemukan dengan yang lebih baik lagi, kan?

Who knows.

15

A perfect love story is exist only because Disney made it.

A fact, though.

Namun, yang Abigail bayangkan saat dia mulai menjalin kasih dengan Daniel sangat berbeda. Daniel sangat lihai memanjakan gadisnya itu. Dan Abigail, sangat menyukai segala sesuatu yang Daniel berikan.

Daniel is men written by women, kata teman-teman Abigail.

Meski Daniel sibuk mengurus tugas akhirnya sebagai mahasiswa semester akhir, Abigail belum pernah merasa bahwa Daniel tidak mencintainya. Abigail selalu terus menerus diberi cinta oleh Daniel, sehingga Abigail tidak pernah merasa lapar. Pernah Abigail merasa bahwa dunia dan seisinya sangat mencintainya —Abigail adalah manusia paling beruntung.

Namun, akhir-akhir ini, meski tidak terlalu terlihat, Daniel membuat Abigail merasa tidak yakin akan hubungan mereka. Belum Abigail temukan apa penyebab hal tersebut, namun jelas Abigail sangat tahu bahwa Daniel telah berubah. Setitik, tidak terlihat, namun sangat terasa.

Ia gubris, namun semakin hari, hatinya selalu gelisah. Abigail merasakan sesuatu buruk akan datang.

“Pacar lo dateng.”

Abigail menoleh kebelakang, menatap seorang yang hanya mengintip Abigail dengan setengah badannya. Ia adalah Kenneth, adiknya.

“Oh?” Abigail menatap jam yang ada di dindingnya. “Udah dateng ya?”

Kenneth mengangguk sambil membuka lebar kamar Abigail. “Gue lagi males bersosialisasi. Kabarin orang rumah kalo ada Daniel.”

Okay.” katanya seraya mengambil ponsel dan mengabari kedua orang tuanya yang sedang di London untuk berbisnis, juga kakaknya yang ntah mengapa Sabtu begini masih harus menghadiri meeting.

Abigail berjalan menuju luar kamar. Perasaan tidak enak makin menjalar saat ia menatap wajah Daniel dengan senyum manisnya.

“Kakak.”

Senyum Daniel makin mengembang, “My princess!”

“Hai! Maaf ya agak lama keluarnya.”

No problem Sweety,” Daniel masih tersenyum, tangannya kini meraih poni Abigail dan merapihkannya sedikit. “I miss you, Pumpkins. Udah lama nggak jalan, mau dinner sekalian jalan-jalan abis ini?”

Abigail tersenyum mengangguk, netranya menangkap ada yang tidak beres dari tatapan Daniel.

Bisa saja perasaan khawatir itu hilang sekejap setelah mereka menghabiskan waktu berdua nanti. Atau bisa saja, perasaan yang Abigail

Who knows?

4

“Jadi kali ini, siapa yang ngeudahin? Lo, apa Yessi?”

Setelah menghabiskan semangkuk bubur ayam, Gideon dan kawan-kawan kini memilih untuk melipir disebuah warung favorit mereka hanya untuk sekedar membeli kopi dan merokok. Warung Bi Inem, warung dekat dengan kampus dan area kos mereka masing-masing.

Gideon berpikir sejenak sambil menyesap rokoknya. “Yessi.”

“Alasannya apaan?” Rayhan menyahuti. “Fell out love lagi?”

“Buset, semenjak ada kata fell out love manusia jadi gampang banget mainin perasaan yang lain,” Yoel menyahuti sambil bermain games diponselnya. “Seakan-akan, hal yang mereka udah mulai itu wajar aja selesai meski tanpa ada kepastian yang jelas.”

Gideon hanya diam, matanya menatap kesembarang arah. Ia merasa sangat kehilangan. Rasa kehilangannya kali ini cukup besar dan berdampak lebih parah daripada sebelum-sebelumnya.

Sejak awal, Gideon tahu bahwa Yessi memang hanya ingin bermain-main dengan Gideon. Namun, ia tidak dapat membohongi dirinya bahwa dia sangat menginginkan Yessi. She's just his type, dan yang lain pun percuma jika menasehati manusia yang sedang jatuh cinta.

“Gue belum tau apa alasan pastinya kali ini,” Gideon membuang putung rokoknya yang sudah sangat pendek itu, kemudian menginjaknya agar apinya mati. “Kali ini, yang jelas, gue capek.”

After three months been played?” Janendra menaikan satu alisnya. “You just realized how tiring it is?”

Gideon mengangguk.

“Lo bahkan nggak pacaran tapi kalian udah through the ups and downs yang sangat tidak wajar,” Samuel kini ikut berbicara. “Such a waste of time.”

Gideon tersenyum, ironi. Ia mengasihani dirinya sendiri saat melihat kilas balik dirinya tiga bulan yang lalu. How pathetic.

“Wajar,” Hakiel menyahuti Samuel. “Sometimes we need to be in pain to know the worth, by the way.”

“Ya resiko juga sih?” Yoel meletakan ponselnya, tulisan victory terpampang nyata diponselnya. “Kalau siap jatuh cinta, we must be prepared kalau nanti bakal jatuh doang, nggak pake cinta-nya.”

Gideon hanya diam dan meresapi kata tiap kata yang dilemparkan teman-temannya. Saat ini, hatinya masih terlalu terluka untuk berbicara soal Yessi. Dan Gideon tahu, teman-temannya memang harus membahas ini semua karena mereka ingin Gideon cepat sembuh.

Jenandra menepuk bahu Gideon, membuat si empunya bahu itu menoleh, menatap agak kaget pada Jenandra. “It's okay, take your time.”

Gideon mengangguk.

Wishing you tons of luck, Gideon.

4

Sarapan bersama teman-temannya di hari Sabtu pagi memang agenda tetap Gideon, meskipun setiap sore mereka juga masih bertemu ditongkrongan.

Sesungguhnya, Gideon tidak pernah merasa sepi, pun saat sekitar dua minggu lalu Yessi memutuskan untuk ‘selesai’ dengan Gideon.

Apa yang selesai? Dimulai saja belum, begitu batin Gideon selalu jika dia ingat perkataan Yessi saat perempuan itu meminta mereka stop melakukan hal-hal yang bisa dikatakan pendekatan.

Tidak, Gideon tidak sedih, ia jauh lebih kesal. Benaknya masih penuh kecamuk amarah saat dia tahu setelah mereka usai, Yessi menemui laki-laki yang sudah mencampakannya setahun yang lalu. Setidaknya, begitu kata Yessi.

Gideon dan Yessi sebenarnya sangat cocok. Kelewat cocok, malah. Gideon adalah manusia paling tidak manusiawi secara visual, banyak yang mengatakan bahwa ia adalah manusia setengah dewa, hiperbola, namun Gideon memang setampan itu.

Dan posisi Yessi saat ini adalah kembang desa. Tidak ada perempuan se-sempurna Yessi di kampus, setidaknya, sampai saat ini. Putri Kampus diraihnya dengan mudah karena kecakapannya bicara, visualnya, maupun otaknya yang juga pintar.

Gideon dan Yessi adalah pasangan paling tidak ada celah. Too good to be true, kata beberapa mahasiswa.

“Tapi yang terlalu baik justru tidak bagus,” begitu kata Rayhan saat mendengar istilah mahasiswa yang mendewakan Gideon dan Yessi.

Sejak awal, circle Gideon memang tidak ada yang setuju dengan Yessi. Hanya Nendra dan Rayhan, sih, sisanya lebih seperti: urusan elo ajalah, Yon. Nendra dengar, Yessi dan Harris berpisah bukan karena mereka tidak saling cinta lagi, dan Rayhan berpikiran bahwa Yessi bukan seorang yang ‘cukup’ baik untuk Gideon.

“Tempat awal ketemu lo sama Yessi aja salah, Yon.” Yoel membuka suara saat Gideon sedang diceramahi oleh Rayhan perihal posting-an akun gosip kampus.

“Denial aja dia mah,” Nendra menyahuti, mendorong perlahan mangkuk bubur yang sudah kosong itu. “Kan, denial is Gideon middle name.”

Gideon hanya diam, tangannya sibuk mengambil sebatang rokok dari tempat rokoknya. Kemudian, laki-laki itu menyulutnya, mengisap pelan rokok tersebut sambil perlahan membuang asapnya.

“Gue bukan denial, Ndra. Kan udah gue bilang, Yessi gave something different.”

“Bahasa lo ketinggian,” Sam menyahuti, kemudian ia ikut menyulut rokoknya. “Dari awal gue nggak ikutan begitu bukan karena nggak peduli ya, nyet. Yessi is devil’s daughter, everyone say so.”

“Iye, iye!” Gideon menyahut. “Gue gak gamon, santai aja. Gue masih heran, kan dia ceritanya ke gue Harris-nya yang jahat, tapi kok balikan sih anying?”

“Pertanyaan bagus. Berarti, Yessi juga ada something, kan?”

Gideon mengendikan bahu, mulutnya sibuk menyesap rokoknya.

Saat asik bercerita bagaimana tiga bulan Gideon dengan Yessi, ponselnya berbunyi. Nama Yessi terpampang di caller ID-nya.

Gideon terheran sejenak. “Ngapa ini anak nelfon dah?”

“Lah buset ditelfon dong?” Rayhan tertawa. “Coba angkat, terus speaker Yon!”

Gideon kemudian menggeser tombol yang merah, kemudian menggelengkan kepala.

“Lah?”

“Ntar ngelunjak, guenya repot.”

“Lo udah beneran move on, Yon?”

Gideon menghembuskan asap rokoknya. “I will not stay for someone who’s not want me in the first place.”

DENG!

Gendang melupakan mantan gebetan terdengar, tekad Gideon telah bulat setelah dua minggu dia masih terlihat berharap bisa kembali pada Yessi.

Selamat, Gideon.

4

It's really typical Saturday morning that Gideon spend. Ada atau tidak adanya Yessi, he always with his friends.

“Gimana lo dulu bisa jadian sama Yessi, Yon?” suara itu berasal dari Samuel. Samuel memang tidak terlalu peduli dengan hubungan Yessi dan Gideon. Sejujurnya, dua manusia dalam circle pertemanan ini, Janendra dan Samuel, tidak suka pada Yessi. Ntah mengapa, aura yang Yessi timbulkan tidak bagus.

Yessi memang masuk ke dalam tipe Gideon sekali —dalam masalah tingkah laku. Plus, Yessi juga merupakan salah satu artis kampus yang sering digadang-gadang menjadi Women Crush Wednesday.

Gideon berpikir sebentar. “We met at Labrador.”

“Kacaw,” Yoel menyahut. “Tempat ketemu lo sama dia aja udah salah besar.”

Gideon mengendikan bahu, menunjukan rasa tidak peduli. “Jatuh cinta bisa di mana aja, El.”

“Lanjutin. Terus?”

She was drunk, bener-bener nggak sadar. Besoknya, dia ngehubungin gue karena merasa bersalah, terus kita makan, gue sama dia obrolannya nyambung, yaudah, lanjut.”

“Lo ciuman kan?” Janendra tiba-tiba buka suara.

Yoel menatap Janendra, terkekeh. “Ya iyalah! Masa enggak.”

Gideon meneguk minumannya, kemudian menaikan alisnya. “We both drunk.”

Samuel dan Yoel terkekeh, sedang Rayhan hanya menggelengkan kepala.

“Yon,” panggil Rayhan. Gideon menoleh. “Inget ya, Labrador hanya tempat untuk patah hati. Jadi, jangan jatuh cinta di sana.”

Tidak ada sahutan lanjut dari Gideon, sedang yang lain fokus pada bubur masing-masing —seakan-akan, mereka menyetujui perkataan Rayhan, inderectly.

50

“Kak Abi! Thanks ya!” seru seorang saat Abigail baru saja melangkahkan kaki keluar kelasnya.

Abigail mendelik, “Abigail? Gue?”

“Iya, thanks buat makan siangnya. Harusnya jangan repot-repot.”

Abigail menatap adik tingkat perempuannya itu keheranan, tanpa mengucapkan apapun, ia langsung ngacir karena jam sudah menunjukan pukul dua lebih. Ia harus menemui Rayhan.

Hima nampak sangat ramai saat Abigail datang. Keheranan lagi Abigail, melihat sosok-sosok manusia berdesakan sambil makan di ruangan tersebut. Matanya menangkap Rayhan yang sedang menikmati makan siangnya sambil tertawa, berbincang dengan Aji.

Abigail masuk.

“KAK ABI THANKS YA!” ucap satu Hima sambil menunjukan makan siang yang sedang mereka makan.

Abigail menggelengkan kepalanya. “Bukan dari gue anjir! Gue aja barusan beres kelas.”

“Iya tapi dari Kenneth.” sahut Aji, mukanya meledek Abigail.

Abigail mendelik. “Sumpah?”

Rayhan mengacungkan satu kotak, “Buat lo. Yang ini spesial katanya buat lo.”

Abigail memutar matanya malas namun tangannya menerima pemberian Rayhan. “Jangan tai, deh.”

“Serius anjing,” Rayhan menunjuk ujung, namanya jelas terpampang di situ. “Bisa baca nggak?”

“Ini yang beliin Kenneth?”

Aji mengangguk. “Udah kepalang bucin temen gue sama lo Kak, jadi gini ini.”

Abigail menghembuskan nafas, kemudian mulai memakan makanan yang Kenneth pesankan untuknya. Ntah mengapa, Abigail merasa bahwa makan siang kali ini spesial, meski tidak bersama dengan Kenneth.

49

Knock knock.

“Masuk.” seru suara dari dalam, yang membuat Kenneth mendorong pintu yang ia ketuk dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan tersebut.

Seorang laki-laki paruh baya yang sedang membaca koran itu pun mendongak, menatap Kenneth sedikit kaget. “Oh, Kenneth. Duduk sayang,” ia menegakkan badannya, juga melipat koran yang dia baca tadi. “Kenapa? Papamu lupa kasih uang?”

Kenneth terkekeh. “Enggaklah. Emang jaman SMP dulu? Mau mampir aja Yangkung, sambil nunggu temen.”

“Aji?”

“Bukan. Cewek.”

Yangkungnya mengangguk. “Oh, that girl? Yang lagi digosipin sama kamu?”

Kenneth menaikan alisnya, “Eyang denger?”

“Denger. Apapun yang kamu lakukan, Eyang tahu dan Eyang mengawasi kamu selalu. Asal masih bisa kamu atur sendiri, Eyang nggak masalah,” Yangkungnya berdiri, menuju Kenneth yang duduk di sofa. “So, how is it? Cewek yang kamu deketin.”

Never know that mepet cewek will be this hard. She even don't know who am I.”

Yangkungnya terkekeh pelan. “Really? Dia nggak tau kamu siapa?”

Kenneth mengangguk. “Dia bahkan kayanya nggak tertarik sama aku, Yang. Kenapa ya? Cucumu ini kurang ganteng, kah?”

“Kurang membuat dia nyaman, mungkin?”

Kenneth mengerutkan dahinya. Membuat dia nyaman?

“Gimana tuh maksudnya, Yang?”

“Kamu itu kaku, Kenneth. Sangat kaku. Kamu jarang berkomunikasi ke dunia luar, dia jelas sangat berbeda dengan kamu dari segi apapun.”

I think she is wealthy.”

Yangkungnya tertawa. “Bukan, sayang. Bukan soal kekayaan. Soal cara bergaul, cara berkomunikasi,” tangannya menepuk pundak Kenneth. “Eyang nggak pernah ngajarin Kenneth untuk selalu mikirin uang, ya. Kenneth harus bisa lihat manusia dari sisi yang lain, sisi kebaikan dan cara mereka menghargai manusia.”

Kenneth mengangguk paham.

“Dia gimana ke kamu?”

“Dia baik, she respond me well. Yang Kenneth nggak paham, kenapa dia nggak suka sama Kenneth?”

“Kenneth, cinta itu misterius,” Yangkung melepas kacamata miliknya, menatap Kenneth. “Kenneth harus tau, kalau jatuh cinta itu bukan perkara gampang. Love is complicated, dari zaman Eyang naksir dan berujung menikah, dan sudah tiga puluh sembilan tahun bersama Yangti-mu, cinta itu benar-benar bukan perkara yang simple. Kamu tahu kenapa?”

Kenneth menggelengkan kepalanya.

“Karena cinta itu bukan sesuatu yang remeh, mendapatkan cinta itu bukan sesuatu yang gampang karena cinta itu akan selalu sakral,” Yangkungnya tersenyum. “Semoga, sampai di sini, Kenneth paham ya, kenapa cewekmu itu masih belum memberi kamu kepastian soal dia suka atau nggak ke kamu. Bagi laki-laki, kalau suka itu gampang, tinggal nyatain.”

“Iya, sih.”

“Tapi perempuan? Susah, Kenneth. Mereka pemikir, mereka menggunakan hatinya lebih besar daripada logika. Mereka sungguh berpikiran panjang, dari sebab-akibat, sampai lain-lainnya. Perempuan itu complicated, tapi memang itu indahnya. Di situ istimewanya.”

Kenneth tersenyum kecil, kemudian mengangguk.

“Sebagai laki-laki, Kenneth terus harus sabar. Kalau sabarnya Kenneth besar, nanti dapatnya pasti setimpal.”

Kini, Kenneth lebih mengerti lagi. Dibanding omongan Aji yang kemarin, kini Kenneth lebih bisa mengerti mengapa tidak segampang itu Abigail luluh.

Kenneth tahu, Abigail masih berpikir dan mungkin, dia sedang memperbaiki dirinya. Yang Kenneth harus lakukan kini hanya bersabar, dan Tuhan pasti akan jawab.