ABI.

this blog is belong to cuupidly on twitter for writing au đź’—

38

“Ken, gue makasih banget sama lo tadi.”

Setelah mereka menjadi hening semenjak pergi dari area kampus sampai duduk berhadapan disebuah restoran makanan Jepang, akhirnya Abigail mau berbicara dengan Kenneth.

Kenneth menatap perempuan itu, matanya masih memberikan aura sedih dan tangannya masih gemetar.

“Nggak perlu makasih,” Kenneth tersenyum. “Gue seneng bisa bantu lo, Kak.”

Abigail mencoba tersenyum, sedang Kenneth hanya menyodorkan lagi gelas yang berisikan air putih. “Minum lagi, Kak. Lo masih keliatan kaget.”

Abigail mengangguk. “Thanks.”

Makanan pesanan mereka datang, dan Kenneth memberikan sumpit beserta semangkuk ramen milik Abigail. Sambil terus menatap Abigail, Kenneth juga menata makanannya sama persis dengan apa yang dia lakukan pada Abigail.

“Makan Ken,” Abigail menatap Kenneth sebentar. “Jangan liatin gue mulu, malu.”

“Lo cantik, Kak.”

“Stop saying non-sense!”

“That's not a non-sense,” Kenneth tersenyum.

“Indeed, you really that pretty.”

Tidak ada yang seterang-terangan Kenneth mengatakan bahwa Abigail cantik sampai membuat Abigail tersipu seperti ini.

Abigail dan Kenneth mulai makan, sambil membicarakan beberapa poin penting yang memang akan mereka bicarakan. Sesekali, melenceng dari pembicaraan dan Kenneth melemparkan candaan pada Abigail agar suasananya mencair.

Berhasil, Abigail mulai terkekeh pelan dan menanggapi candaan Kenneth.

“Jujur, gue nggak minta apa-apa kok Kak dari kalian, seperti yang udah gue jelaskan diawal, no feedback,” tangan Kenneth meraih tisu. “Kecuali, kalo feedback-nya jadi pacar lo, baru gue nggak nolak.”

Abigail terkekeh. “Pelan-pelan dong, Ken. Masa iya langsung?”

Kenneth ikutan terkekeh. “Tapi sekarang, satu kampus tau lo pacar gue Kak.”

“Iya juga, ya?”

“Lo nggak masalah, kan?”

“Pertanyaan gue buat lo itu Ken,” Abigail memainkan sumpitnya. “Lo nggak masalah?”

“Sama sekali nggak masalah, Kak.”

Abigail mengangguk paham.

“Jadi, yang gue mau hanya kalian gunain dana tujuh juta dari gue seberguna mungkin, ya. Semoga bisa ngebantu acara kalian.”

“Pasti, Ken.” Abigail tersenyum.

“Jangan senyum gitu deh Kak saran gue.”

“Hah?” Abigail heran. “Kenapa? Aneh ya?”

“Nanti sedunia naksir lo, repot banget guenya. Saingan gue manusia satu bumi!”

Abigail tertawa, “Gombal banget!”

Dan, sejenak, Abigail bisa melupakan masalah Harris.

Karena Kenneth.

34

Abigail berjalan dengan sedikit tergesa menuju kantin FIB. Terlihat dari jauh, kantin itu sudah dipenuhi oleh manusia-manusia yang bahkan bukan penduduk asli Fakultas Ilmu dan Bahasa. Kantin FIB ini memang terkenal dan selalu ramai dengan mahasiswa bukan FIB, karena harganya yang murah dan makanannya yang enak.

Pandangan Abigail terarah pada meja yang sedang dihuni oleh satu manusia saja, yang sedang sibuk dengan ponselnya sambil menyesap gelas minumannya. Tanpa Abigail perlu ragu, dia sudah tahu itu jelas Kenneth. Langkahnya langsung menuju meja Kenneth, namun seketika terhenti ketika segerombolan laki-laki sengaja mencegat Abigail.

“Eh Abigail,” sapanya dengan suara lumayan keras, yang bisa didengar oleh seantero manusia yang ada di kantin. “Mau kemana, cantik?”

Kenneth mendongak, tatapannya langsung terarah pada Abigail yang sedang dicegat oleh Harris dan kawan-kawannya.

“Minggir, gue mau ketemu sama orang.”

“Pelanggan baru?”

Abigail melotot, apa maksudnya?

“Fakta bukan?” suara Harris pelan, kemudian dia mendekatkan bibirnya pada telinga Abigail. “Lo simpenan om-om, kan?”

Abigail menjauh, “Jaga mulut lo ya.”

“Kok teriak,” Harris mengeluarkan smirknya. “Ketahuan, ya?”

“Lo jangan sebarin hal yang enggak-enggak, Ris.”

Lengan Harris ditarik, membuat Harris sedikit tertarik kebelakang. Matanya menatap geram awalnya, namun keheranan karena melihat siapa yang menariknya.

Iya, dia Kenneth.

“Ngapain?”

Kantin seketika hening, semua menatap Harris dan Kenneth yang kini sedang berhadapan satu sama lain.

“Lo ngatain cewek gue apa tadi?” Kenneth menatap Harris sengit. “Bilang di depan gue sekarang.” nadanya merendah.

“Cewek lo?”

“Tuli lo?”

Yang lain mendelik mendengar perkataan Kenneth.

Ia maju sedikit, menggandeng lembut tangan Abigail.

“Kalo gue denger lagi lo godain cewek gue, abis lo di tangan gue sendiri.”

Harris menggertakan giginya.

Kenneth menatap lembut Abigail, “Ayo sayang, kita lunch di luar aja ya?”

Abigail hanya menggangguk, menggenggam tangan Kenneth makin erat. Mencari ketenangan.

Harris dan kawan-kawannya terpaku sambil menatap Kenneth dan Abigail yang berjalan menjauh sambil terus bergandengan tangan.

“Dia sama Kenneth? Sejak kapan?” desis Harris pada dirinya sendiri. “Sialan. Kenapa gue nggak tau?”

32

Abigail berjalan menuju kantin agak tergesa karena dia terlambat untuk menemui Kenneth. Tadi, Kenneth sempat mengabarinya bahwa dia sudah di kantin FIB tepat sepuluh menit sebelum jam dua, jadi dia sungguh merasa tidak enak dengan Kenneth yang sudah menunggu.

Kantin FIB terlihat sangat ramai. Dari kantin-kantin fakultas lain, kantin FIB ini memang banyak sekali peminatnya karena makanan di sini terkenal murah dan nikmat. Jadi, tidak heran jika setiap harinya ramai dari anak fakultas lain, termasuk Kenneth yang kini sedang duduk di kursi pojok sambil menikmati es tehnya.

Abigail langsung bisa menemukan posisi Kenneth yang duduk sendirian, tanpa ada yang berani izin duduk disebelahnya. Kenneth cukup terkenal dikalangan mahasiwa karena selain dia cucu yang punya yayasan, Kenneth juga merupakan PUBG Player sebuah komunitas game terkenal se-Indonesia.

“Kenneth!” sapa Abigail, sedikit terengah dan berdiri.

Kenneth mendangak, dan senyumnya merekah. “Kak Abi,” jawabnya. “Mau pesen minum, Kak?”

Abigail memutar badannya. Ia cukup tersipu saat mata mereka bertemu, karena nyatanya Kenneth memang sangat menarik, terlebih, baju hitam dan rambut pirangnya itu sungguh manis melengkapi kulitnya yang sangat putih itu.

“Bentar gue —”

“Gue aja yang pesenin, Kak. Lo pasti capek. Mau minum apa?”

Abigail terperangah, sedang Kenneth sudah berdiri sambil mengapit rokok dimulutnya.

“Aah,” Abigail kehabisan kata. “Gue mau jus jambu merah aja Ken, jangan dikasih gula ya.”

Kenneth mengangguk, mempersilahkan Abigail duduk dan pergi membeli minuman untuk Abigail.

Dari sekian banyak laki-laki yang berusaha mendekati Abigail, tidak Abigail sangka bahwa Kenneth akan berbuat layaknya seorang dewasa, karena sudah jelas Kenneth lebih muda daripada Abigail.

Usai dengan urusan minuman Abigail, kini mereka duduk berhadapan. Abigail kikuk, karena sifat Kenneth yang ternyata lumayan pendiam. Ia hanya diam sambil membaca beberapa poin-poin yang sudah ditunjukan oleh Abigail, dan Abigail sibuk mengamati Kenneth sambil menggigit sedotan.

Grogi.

Kenneth mematikan ponselnya. “Gue nggak perlu minta feedback apapun seperti yang sudah gue sebutin diawal,” matanya menatap manik Abigail, yang membuat sang empunya manik kelabakan sendiri. “Gue mau kasih uangnya sekarang, dan done. Tinggal laporin aja nanti apa yang bisa kalian dapetin dari uang tujuh juta yang gue kasih.”

Abigail mengangguk paham. “Oke, Ken. Gue paham. Jadi langsung tanda tangan aja kali ya?”

Kenneth mengangguk, tangannya meraih ballpoint yang sudah dia siapkan di saku kaus hitamnya itu.

Abigail meletakan gelas jusnya, dan segera mengambil kertas persetujuan sponsorship. Kemudian, dia menyerahkan kertas tersebut untuk Kenneth.

Tanpa pikir panjang, Kenneth langsung menandatangani kertas tersebut dan langsung memberikannya pada Abigail.

“Ada nomer rekening?”

“Ada.” Abigail menyahuti Kenneth, membuka ponselnya dan memberikan nomor rekeningnya untuk ditampung sementara.

“Atas nama Abigail? Kakak?”

“Sementara,” Abigail meringis. “Nanti, gue ambil seperlunya juga biar bisa laporan uang tujuh juta itu buat apa aja.”

Kenneth tersenyum. “Nice.”

Ia mengetikan sesuatu diponselnya, kemudian menunjukan buktinya pada Abigail.

Abigail membaca bukti tersebut. “Loh?”

“Kenapa Kak?”

“Tujuh juta kan Ken?” Abigail memastikan sekali lagi.

Kenneth mengangguk. “Iya. Satu jutanya buat Kak Abi.”

“Hah? Buat gue?” Abigail mengerjapkan mata. “Buat apaan, Ken? Nggak usah.”

“For you because you looks so pretty today,” Kenneth menatap Abigail. “Thank you, Kak. You looks good today.”

Abigail terkesiap. Ia memang sengaja berdandan hari ini karena ia akan bertemu Kenneth. Entah mengapa, Abigail berdandan. Bahkan Rayhan sendiri bingung melihat Abigail yang notabene tidak seperti biasanya, meski biasanya juga Abigail tetap terlihat cantik.

“Ken —”

“Diterima, Kak. Gue maksa. Atau tujuh jutanya gue ambil lagi?”

Abigail menghembuskan nafasnya. “Thank you, Ken.”

“Sama-sama,” Kenneth melirik jam tangannya. “Udah makan siang? Wanna have good lunch today, Kak?”

“Hah? Di mana?”

“You choose,” Kenneth bersiap untuk berdiri. “I heard ada restoran Jepang enak deket sini, Kak Abi mau? Kalau nggak mau, nggak papa. Kenneth nggak maksa.”

“Boleh.” jawab Abigail, ntah itu adalah sebuah jawaban benar atau salah nantinya, namun untuk sekarang, benar.

Kenneth tersenyum, tangannya terjulur. “Sini tasnya gue bawain, Kak.”

Abigail memberikan tasnya, “Thanks.”

Kenneth mengangguk, kemudian mereka berjalan keluar kantin yang ramai.

“Agak jauh parkirnya, is it okay?”

“Nggak masalah.”

Banyak pasang mata yang sedari tadi mengawasi mereka berdua. Abigail yang terkenal karena dia memang social butterfly dan Kenneth cucu dari pemilik yayasan. Hingga sosok punggung mereka menghilang dibalik tembok, mata-mata itu tidak lagi mengikuti mereka —namun obrolan panas mereka tidak usai di sana.

7

Aji mematikan rokoknya saat sebuah sedan berwarna putih berhenti dihadapannya. Ia sudah menunggu kedatangan sedan itu selama setengah jam. Tidak terasa, memang, karena Aji juga mengobrol dengan Abigail yang topiknya sangat seru.

“Jemputan lo ya Ji?” tanya Abigail saat dia menyadari.

Aji mengangguk, “Bentar deh Kak gue bilang temen gue dulu buat nunggu lo sebentar.”

“Eh? Nggak usah, lo langsung aja. Aman kok, kan di cafe juga.”

Dari dalam sedan putih itu, seorang sedang menatap mereka berdua mengobrol. Laki-laki itu memperhatikan sosok perempuan yang sedang melepas kacamatanya dan melambai pada Aji.

Pintu penumpang terbuka, dan Aji merangkak masuk ke dalam.

“Siapa Ji? Gebetan lo?”

“Kating gue anjir,” Aji memasang seatbelt karena tahu bahwa Kenneth suka mengendarai mobilnya seakan-akan nyawa mereka ada sembilan. “Kasian, gak dapet ojek daritadi, agak antah berantah lagi.”

“Oh,” Kenneth mulai mengambil kuda-kuda untuk menyetir. “Ajakin bareng aja Ji. Kasian. Kayanya bakal lama juga kalo nunggu.”

Aji yang sedang bermain ponselnya pun menoleh spontan pada Kenneth. Laki-laki yang sudah dia kenal sejak kecil ini sangat dingin pada siapapun. Tidak pernah sekalipun Kenneth pernah berbelas kasih pada banyak orang, mungkin hanya yang dekat-dekat saja dengannya.

“Hah? Serius lo?” Aji mengerutkan dahinya. “Dia orang asing loh, Ken.”

Kenneth melirik jam tangannya. “Udah jam sembilan, anjir. Lo tega misal kalo jadi gue? Sejam lagi cafenya tutup.”

“Tumben.” lirih Aji kemudian meminta Kenneth untuk maju dan membuka kaca jendelanya.

“Kak Abi!”

Abi ya, namanya?

Perempuan itu menoleh, senyumnya merekah dan melambai lucu pada Aji.

Lucu.

“Mau bareng aja nggak?”

“Hah? Nggak usah —”

“Nggak papa Kak,” Kenneth sedikit merunduk, menatap Abigail dengan tatapan lembut. “Daerah mana emang?”

“Barat,” jawabnya singkat. “Jauh banget, loh. Nggak papa, gue nunggu —”

“Masuk aja Kak, bahaya,” Kenneth langsung memotong omongan Abigail. “Mending sama gue aja, boleh nanti pesen taksi online-nya agak jauh dari sini, yang udah ramean.”

“Beneran nggak papa?”

Kenneth mengangguk.

“Gue naik ya?” Abigail beranjak berdiri. “Makasih banyak...”

“Kenneth.”

“Gue Abigail.” suara antusisnya masuk dengan sopan ke dalam telinga Kenneth. Sedikit lagi, dia bisa tersenyum dibuatnya.

Abigail merangkak masuk ke dalam mobil dan duduk tepat dibelakang Aji. Matanya melirik sebentar pada Abigail yang kini sedang memasang seatbelt.

“Udah?”

“Udah. Makasih ya sekali lagi, Kenneth. Maaf merepotkan.”

“No need to mention it, Kak Abi. Gue seneng bisa bantu.”

Sedan itu kini melaju meninggalkan jalanan yang memang sepi itu.

Kenneth sesekali masih melirik Abigail yang menoleh pada sisi kiri untuk menatap jalanan, ujung bibirnya terangkat sedikit.

Aji menatap Kenneth, senyumnya mengembang sempurna.

Kenneth jatuh cinta.

62

“Rame banget buset!” ucap Sam saat dia membuka matanya. Ia yang paling terakhir bangun. “Duh mana kepala gue masih pusing banget.”

Rendy memberikan segelas air hangat, “Minum dulu.”

“Thanks.” ucap Sam sambil menerima gelas tersebut.

Icel dan Gideon sibuk di dapur untuk membuat sup anti pengar bagi Sam, Rendy, Kiel, dan bahkan untuk Icel sendiri. Gideon sudah terlihat segar karena dia baru saja selesai work out.

“Ada berita apaan semalem?”

“Selingkuhan si Daniel pacar Caithlyn ternyata Yessi.”

Sam mendelik, menatap Yoel tidak percaya. “YESSI?” pekiknya.

“Iya. Yessi.”

“Sinting?” Sam mendudukan badannya. “Terus? Harris?”

“Nah, ini. Gue nggak paham soal Harris.”

Sam menggelengkan kepalanya. “Gila ya, manusia jaman sekarang udah pada gila. Yessi termasuk manusia gak sih sebenernya?”

“Evil daughter, kata Gideon.”

Gideon menoleh, memberikan senyumannya. “Gue korban soalnya.”

Gelak tawa dari Yoel, Sam, Jamian, Rendy, Kiel, dan bahkan Icel terdengar memenuhi sudut ruang apartemen Gideon.

“Tapi, apa hubungannya Yessi ngerebut Daniel?”

“Bisa aja tanpa alasan,” Jamian duduk menyenderkan badannya pada sofa. “Yessi would do anything without a single reason. Kalo dia mau, dia akan. Udah.”

“Pengangguran banget anjir,” Yoel menggelengkan kepalanya. “She could do more better than ngerebut lakinya orang. That's disgusting.”

Icel hanya diam. Sebenernya, dia tahu bahwa kekacauan ini adalah karena Windy dan Nina yang ketahuan masih sering hang out dengan Caithlyn maupun Icel, namun ia masih belum bisa membeberkan bahwa Windy dan Nina masih teman mereka. They wouldn't understand.

Setelah sup buatan Icel dan Gideon jadi, mereka ber-7 langsung menyantapnya bersamaan. Beruntung, nasi yang tadi dibeli Gideon sangat banyak. Kalau tidak, ada yang harus mengalah untuk turun ke bawah dan membeli nasi putih lagi.

59

“Ken.”

Masih di Labrador, para manusia-manusia hobi party ini sejatinya memang pantang pulang sebelum matahari terbit. Jadi, setelah memastikan bahwa semua aman, Gideon beranjak meninggalkan Rendy dan mencari Kenneth.

Kenneth menoleh. “Eh, Bang Deon.”

“Pacar lo mana? Si Cherry?”

“Balik Bang dari tadi,” Kenneth meneguk satu sloki yang ada ditangannya. Ia nyengir sebentar, merasakan panas yang menjalar ditenggorokannya. “Kenapa Bang?”

Tanpa banyak kata, Gideon menunjukan posting-an satu jam yang lalu akun lambe turah kampus itu. Nampaknya, Kenneth belum mengetahui hal tersebut.

Kenneth mendelik. “Itu Daniel?”

Gideon mengangguk. “Lo mending sekarang pulang. Pastiin Cherry aman, terus lo pulang.”

Kenneth mengangguk, kemudian menepuk sekilas pundak Gideon. “Thanks Bang.”

Gideon mengangguk, matanya celingak-celinguk mencari di mana Yessi —namun nihil. Antek-anteknya juga tidak ada. Sudah jelas setelah berita itu di upload oleh Nusantara XOXO, Yessi meninggalkan tempat ini. Dia hanya mau disorot oleh akun gosip tersebut agar memanaskan suasana.

Satu tepukan dibahu Gideon membuatnya menoleh, mendapati Jamian berdiri disebelahnya.

“Jam? Ngapain?”

“Make sure everything alright,” Jamian mengajak Gideon melipir. “Lo nyari Yessi, kan? Gak mungkin ada. Dia pasti langsung pergi setelah berita itu diupload.”

“Gue juga mikir gitu.”

Gideon dan Jamian berjalan menuju table milik mereka.

“Gimana ya keadaannya si Caithlyn?”

Jamian menarik nafasnya, “Gue belum bisa mastiin. Gue juga nggak sedeket itu sama Caithlyn.”

Suara hiruk pikuk masih terus memenuhi telinga Gideon. Ia hanya ingin tahu kabar Caithlyn. Ntah mengapa, dia sangat khawatir dengan Caithlyn.

Kiel, Icel, dan Yoel kembali dengan tubuh Sam yang lemah tak berdaya. Jamian berdiri, membantu Yoel yang kesusahan menyeret Sam —karena Kiel dan Icel sendiri sudah mabuk berat. Gideon menggeser badannya juga badan Rendy.

“Untung ada lo,” kata Yoel sedikit berteriak kepada Jamian. “Gue bisa pendek nyeret Sam sendirian.”

Jamian tidak menjawab perkataan Yoel. Ia mendekati Kiel yang terlihat lebih waras daripada Icel, kemudian membisikan sesuatu. Kiel menatap Jamian, mengecek ponselnya sejenak dan menatap Jamian dan Gideon bergantian.

“She must be an evil daughter.”

“Indeed, she is an evil daughter.” ucap Gideon dengan berteriak.

Kiel langsung menepuk beberapa kali pipi Icel.

“Dia udah mabuk berat itu. Ada baiknya kita balik sekarang,” Jamian mulai mengangkat Rendy. “Lo bantuin Yoel angkat Sam aja De.”

Gideon mengangguk. Kemudian, dia memberikan isyarat untuk pulang dan Yoel mengangguk.

“Balikin semuanya ke apart gue aja,” Gideon berkata saat mereka sudah ada di luar, saat musik sudah terdengar samar. “Lo juga, Ki. Lo bisa nyetir kan?”

“Aman.”

Dan dengan itu, mereka menunggu mobil mereka satu persatu diambilkan oleh valet.

49

Seperti biasa, Labrador selalu penuh setiap weekend.

Gideon melangkahkan kakinya menuju kelab malam tersebut setelah meninggalkan kunci mobil untuk divalet. Karena Gideon datangnya ternyata agak terlambat —jalanan macet dan mobilnya yang perlu diisi bensin, Gideon jadi malas untuk memarkir sendiri mobilnya. Jelas Labrador ramai, sebagian anak-anak Nusantara juga ada di sini untuk berpesta, kan?

Gideon menyapa beberapa manusia yang dia kenal sebelum sampai pada table yang sudah Yoel reserved.

Ini mah Nusantara pindah, batinnya, sambil menelusuri tiap-tiap yang ada.

Masih aman, Gideon belum melihat sosok Yessi dan Harris bersama karena dia memang masih belum bisa melihat dua insan itu bersama.

“Lama amat, dari Arab?” tanya Rendy saat Gideon duduk disebelahnya.

Gideon terkekeh. “Naik onta.”

Yoel memberikan satu gelas sloki pada Gideon dan laki-laki itu menerima serta langsung meneguknya dengan sekali teguk.

“Welcoming our last man standing!” Yoel berteriak, karena lagu yang kini terngiang sedang sangat berisik.

Gideon meletakan gelas sloki yang dia pegang, kemudian menyenderkan badannya.

Kemudian, tak lama dari Gideon datang, Kiel dan Icel bergabung. Sekilas tadi, Gideon melihat Kenneth dengan Cherry yang sedang menari di dance floor, namun sepertinya tidak ada tanda-tanda Caithlyn.

“Deon!” sapa Icel, kemudian dia duduk disebelah Gideon.

Gideon menggeserkan badannya. “Caithlyn nggak ikut, Cel?”

“Nggak,” Icel menyenderkan badannya. “Caithlyn nggak begitu suka acara begini.”

Gideon manggut-manggut. Pantas saja jika Sam mengatakan bahwa dia lebih sering bertemu Caithlyn di gereja.

Labrador semakin malam semakin ramai. Yoel sudah ntah di mana, Rendy sudah memejamkan matanya disebelah Gideon, Kiel dan Icel — tidak perlu dijelaskan, dan Sam juga sudah tidak nampak batang hidungnya —bahkan sejak Gideon datang. Jadi, Gideon hanya menikmati minuman yang tersisa sambil menjaga Rendy dan barang-barang milik Yoel dan yang lainnya.

Gideon mengangguk-anggukan kepalanya sambil menikmati lagu. Pandangan matanya menyusuri Labrador, ia mengawasi Sam dan Yoel yang sedang ada di dance floor bersama Kenneth dan yang lainnya. Julia dan Marco, the lovebirds, sedang ciuman di sofa table Marco. Ia belum nampak Yessi, mana mungkin Yessi skip acara seperti ini?

Nggak mungkin dia lewatin, Harris aja udah dateng kok, batin Gideon sambil sesekali melirik pintu masuk. Iya, ia sempat melihat Harris sekilas saat matanya mengawasi Sam yang sedang berbincang dengan Saka, anak basket.

Jam menunjukan pukul satu saat Gideon mulai merasa bahwa dia sudah minum terlalu banyak. Pandangannya mulai buram. Dia mulai tipsy.

Ia mengerjapkan matanya bolak-balik. Sesekali, ia perhatikan Rendy siapa tahu ia ingin muntah —namun tidak, Rendy teler dengan aman.

Tepat jam menunjukan pukul satu lebih lima, pandangan Gideon terkunci pada pintu masuk. Rambut yang dia kenal —bahkan mata yang pernah selalu dia sukai itu menjadi pusat perhatian Gideon sekarang. Dengan berbalut crop top, dia berjalan masuk ke dalam Labrador.

Dengan seorang laki-laki lain.

Gideon mendelik. Tatapannya menjadi tajam kembali. Pengaruh alkohol yang tadi sudah mulai memasuki tubuhnya, seakan-akan menguap ntah kemana saat dia melihat Yessi bukan dengan Harris.

“No fucking way.”

46

“AAAAAH GILA KANGEN BANGEEEET!” pekik Nina saat kini dirinya, Windy, Caithlyn, dan Icel sudah berada di rumah Icel.

“Gila, kapan ya terakhir ngumpul?” Icel menyahuti. “Kenneth udah pergi, Cait?”

Caithlyn mengangguk, “Udah. Langsung. Dia juga sekalian mau latian basket katanya.”

“By the way, ntar malem ada acara loh di Labrador.” kata Windy.

Mereka berempat kini berjalan menuju kamar Icel. Berbeda dari kamar Caithlyn, kamar Icel nampak lebih gelap namun cool karena bernuansa monokrom. Kamarnya juga lebih luas dari kamar Caithlyn, dilengkapi kamar mandi dalam juga.

“Acara apa?”

“Katanya, Marco sih mau nembak Julia.”

“Marco?” mata Caithlyn terbelalak. “Bukannya dia sama Kak Yeri itu ya?”

“Ya ditikung sama Julia, lah!”

Nina dan Windy memang sering terlihat nampak dengan Yessi dan kawan-kawan, bahkan satu kos dengan Yessi dkk. karena mereka terlanjur menjadi anggota dancer kampus. Sementara, Icel dan Rhesa pernah berselisih paham karena Kiel —yang ujungnya Kiel lebih memilih Icel, dan akhirnya Caithlyn serta Icel dijauhi.

Dan, Yessi memang sangat berkuasa. Jadi, karena Caithlyn dan Icel tahu bahwa dancer adalah hal yang essential bagi Windy dan Nina, mereka lebih memilih mengalah untuk pura-pura tidak bertegur sapa jika bertemu di kampus.

Icel menggelengkan kepala. “Golongan mereka tuh kenapa sih? Kaya harus banget kaya gitu?”

“Lo tau? Cherry tuh pernah loh disuruh putus sama Kenneth.” sahut Windy.

Kini, mereka sudah duduk diatas karpet empuk berwarna putih milik Icel. Camilan dan minumannya juga sudah ada disamping karpet tersebut.

“Hah? Iya?” mata Icel membelalak.

Caithlyn mengangguk, “Kenneth cerita, sih. Kenneth gue suruh nemuin Yessi, terus nggak tau kenapa kok akhirnya boleh.”

“Adik lo emang didikan bener sih Cait,” Windy terkekeh. “Dia bilang, ada hak apa Yessi ngelarang hubungan mereka sedangkan orang tua Cherry bahkan nitipin anaknya ke Kenneth. Si Yessi awalnya kaya masih mau ngebantah, tapi kalah jawab terus sama si Kenneth.”

“Gue aja males debat sama Kenneth.”

“Lagian Yessi ngapain deh? Ya kan yang ada urusan gue sama Rhesa, ngapain Cait, Kenneth, sama Cherry diikut-ikutin?”

“Toxic behaviour, biasa.”

Icel hanya menggelengkan kepalanya.

“Terus by the way, ada apa lo sama Daniel?”

Caithlyn terkekeh, “Dia selingkuh.”

“HAH?!?!” sahut Nina dan Windy bersamaan. Mereka memekik, lebih tepatnya.

“Lo tau nggak siapa selingkuhannya?” tanya Nina.

Caithlyn mengangguk. “Tau.”

“Anak kampus dia?”

“Bukan.”

“Lo kok nggak pengen ngejambak sih?”

Caithlyn terkekeh. “Ngapain? Gue sebagai yang sering Daniel bawa kemana-mana malah mikirnya harus stay calm.”

“Iya sih, lebih elegan gitu. Malah ntar banyak yang ngedukung, iya kan?”

Caithlyn tersenyum, memberikan jempolnya untuk Windy.

Mereka pun mengobrol sana sini, melepas rindu dan membicarakan apa saja yang sudah Windy-Nina dan Caithlyn-Icel lalui saat mereka tidak bersama.

Yang Caithlyn sadari, persahabatan mereka adalah sebuah kejujuran. Dan, perasaan Caithlyn tidak pernah salah.

37

“Let's break up, Kak.”

Daniel mendelik saat mendengar omongan Caithlyn. Tangannya meraih tangan Caithlyn, namun, seketika pula Caithlyn menarik tangannya dan menyimpannya di atas pangkuannya sendiri.

“Kenapa?”

“We both know why.”

“I seriously don't,” Daniel mengedipkan matanya berkali-kali. “Aku ada salah, Caith? Nggak bisa dibenerin banget?”

Caithlyn mengangguk. “Iya. Nggak bisa dibenerin.”

“Apa, Caith?”

“I know you have someone else,” suara Caithlyn mulai bergetar mengingat betapa menjijikannya pesan yang pernah Caithlyn baca. “I know.” ia menelan ludahnya, menahan tangisnya.

“Caith?” Daniel mengedipkan matanya. “I'm sorry.”

“Nggak perlu. Emang waktu kita udah habis.”

“Don't say that.”

“Kenyataannya begitu,” Caithlyn menghembuskan nafasnya. “Aku udah nggak perlu penjelasan apapun lagi, udah cukup ya Kak? Kita selesai sampai disini. Maaf dan goodbye.”

Tanpa menunggu jawaban dari Daniel, Caithlyn beranjak dari tempat duduknya. Menyisakan latte yang tidak tersentuh sama sekali, bau vanila kesukaan Daniel, dan Daniel yang membeku.

“What a brave action that she took.”

Kiel tersenyum miring. Gideon dan Jamian sama-sama kagum dengan sikap yang Caithlyn berikan untuk Daniel. Begitu lembut dan menusuk.

“Classy banget, lagi. Udah jelas mantannya menyesal banget ini mah.”

“Iya, kan?”

Hanya Gideon yang tidak berkomentar. Matanya masih terus menatap punggung Daniel. Laki-laki itu masih tertegun sampai saat ini, sampai detik ini.

“Dé javu, ya?” Jamian berbisik pada Gideon.

Gideon menoleh, menarik ujung bibirnya membentuk senyuman meremehkan. “At least, gue nggak brengsek.”

Jamian terkekeh. “Iya, at least lo nggak brengsek.”

32

“Kiel lagi nemenin Icel?” ucap Rendy saat ia mengaduk makanan yang baru saja datang. Sedatangnya Rendy, mereka langsung memesan makanan untuk mereka ber-5. Gideon masih belum menampakan batang hidungnya, dan mereka ber-4 membiarkan hal tersebut.

Gideon memang butuh waktu sendiri.

“Iya,” Jamian mengaduk pula makanannya. “Katanya, Caithlyn diselingkuhin.”

“Caithlyn?” Yoel memekik, setengah kaget. “THAT CAITHLYN?” kini, ia berteriak.

Jamian mengangguk. “Belum pasti, masih kayanya.”

“Lo pernah denger omongan insting wanita nggak pernah salah?” Sam membuka mulutnya setelah mengunyah makanannya. “Itu yang selalu gue takutin pas punya cewek. Their instinct will never wrong.”

“Iya. Cewek itu serem.” jawab Jamian cepat.

“Sampe kapan Jam lo bakal ngerahasiain hubungan lo sama pacar lo itu?”

“Jangan-jangan lo halu ya?” sahut Sam.

“JOROK LO ANJING.” teriak Rendy saat Yoel menyemburkan makanannya karena mendengarkan omongan Sam.

Jamian terkekeh karena Rendy yang terkena semburan Yoel. Tangannya meraih tisu yang ada disebelahnya, dia lemparkan kepada Rendy.

Yoel terkekeh, “Sorry, Ren. This is so fucking ridiculous not to be laughed.”

“Gue nggak halu, Sam. Emang waktunya belum tepat untuk reveal. My girlfriend not ready yet, and I choose to respect her decision.”

“Bucin.” sahut Rendy sambil membersihkan nasi-nasi yang menempel pada bajunya dibantu oleh Yoel.

“Kata gue lo mandi deh, bau jigong Yoel.”

“JIGONG GUE WANGI.”

“Vallerie males ketemu sama lo karena lo bau Jigong, nyet.”

Yoel melemparkan tisu bekas mengelap baju Rendy ke arah Sam. “Mamam tuh bau jigong gue.”

“Tapi back to topic, deh. Ini beneran Caithlyn? Caithlyn Amarise?” Sam mengabaikan lemparan Yoel.

“Masih belum 100% bener. Jadi, tunggu lagi berita.”

“Diupload sama akun gosip Nusantara gak ya?”

“Upload, lah. Pendiem gitu, Caithlyn adalah aset. She literally perfect.”

“Iya, kan? Everyone's dream girl.”

“Ngomongin siapa?” suara berat itu menyahut.

“BUSET DE!” teriak Yoel, kaget. “Lo kalo galau ya galau aja anjing, gak usah bikin jantungan.”

Gideon terkekeh. “Sorry.”

“Gimana keadaan lo?”

“Baik.”

“Harus baik,” Jamian menyahuti. “Kalo lo galauin soal Yessi lagi, berhenti lo chat gue ya.”

Gideon terkekeh, langkahnya mendekati meja makan dan kemudian menduduki kursi kosong disebelah Yoel. “Aman. This is the last time I being this gloomy for her, bro.”

“Good.”

Tangan Gideon meraih satu-satunya kotak yang belum tersentuh, membukanya kemudian mulai berdoa. Membuka matanya, dia mulai mengaduk nasi campur yang Yoel pesan tadi. Matanya menatap meja dengan gamang, “Caithlyn siapa?”

“Caithlyn,” Sam menyahut. “Caithlyn Amarise.”

“Temen kelas Kiel, bukan?”

“Iya.”

“Kenapa?” tanya Gideon, matanya menatap tangannya yang sedari tadi mengaduk sambal dengan nasi sambil menunggu makanan yang ada di dalam mulutnya habis.

“Katanya diselingkuhin.”

Gideon mengangguk. Ia sepintas tahu Caithlyn. Anaknya murah senyum, pernah sekali mereka saling melempar senyum di depan perpustakaan usai ia memberikan jawaban tugas miliknya untuk Kiel.

“Peduli banget sama cewek lain,” Rendy menutup kotak kertas makanannya —tanda sudah habis. “Tumben?”

“Selama ini Deon pasti peduli tentang obrolan cewek,” Jamian menyahuti, ia meraih segelas air mineral yang ada dihadapannya. “Cuman kemarin kena pelet sama nenek lampir Melbourne itu.”

“Sialan.” sahut Gideon cepat.

Yang lain tertawa, dan tentu saja Gideon bisa ikut tertawa sekarang.