32
Abigail berjalan menuju kantin agak tergesa karena dia terlambat untuk menemui Kenneth. Tadi, Kenneth sempat mengabarinya bahwa dia sudah di kantin FIB tepat sepuluh menit sebelum jam dua, jadi dia sungguh merasa tidak enak dengan Kenneth yang sudah menunggu.
Kantin FIB terlihat sangat ramai. Dari kantin-kantin fakultas lain, kantin FIB ini memang banyak sekali peminatnya karena makanan di sini terkenal murah dan nikmat. Jadi, tidak heran jika setiap harinya ramai dari anak fakultas lain, termasuk Kenneth yang kini sedang duduk di kursi pojok sambil menikmati es tehnya.
Abigail langsung bisa menemukan posisi Kenneth yang duduk sendirian, tanpa ada yang berani izin duduk disebelahnya. Kenneth cukup terkenal dikalangan mahasiwa karena selain dia cucu yang punya yayasan, Kenneth juga merupakan PUBG Player sebuah komunitas game terkenal se-Indonesia.
“Kenneth!” sapa Abigail, sedikit terengah dan berdiri.
Kenneth mendangak, dan senyumnya merekah. “Kak Abi,” jawabnya. “Mau pesen minum, Kak?”
Abigail memutar badannya. Ia cukup tersipu saat mata mereka bertemu, karena nyatanya Kenneth memang sangat menarik, terlebih, baju hitam dan rambut pirangnya itu sungguh manis melengkapi kulitnya yang sangat putih itu.
“Bentar gue —”
“Gue aja yang pesenin, Kak. Lo pasti capek. Mau minum apa?”
Abigail terperangah, sedang Kenneth sudah berdiri sambil mengapit rokok dimulutnya.
“Aah,” Abigail kehabisan kata. “Gue mau jus jambu merah aja Ken, jangan dikasih gula ya.”
Kenneth mengangguk, mempersilahkan Abigail duduk dan pergi membeli minuman untuk Abigail.
Dari sekian banyak laki-laki yang berusaha mendekati Abigail, tidak Abigail sangka bahwa Kenneth akan berbuat layaknya seorang dewasa, karena sudah jelas Kenneth lebih muda daripada Abigail.
Usai dengan urusan minuman Abigail, kini mereka duduk berhadapan. Abigail kikuk, karena sifat Kenneth yang ternyata lumayan pendiam. Ia hanya diam sambil membaca beberapa poin-poin yang sudah ditunjukan oleh Abigail, dan Abigail sibuk mengamati Kenneth sambil menggigit sedotan.
Grogi.
Kenneth mematikan ponselnya. “Gue nggak perlu minta feedback apapun seperti yang sudah gue sebutin diawal,” matanya menatap manik Abigail, yang membuat sang empunya manik kelabakan sendiri. “Gue mau kasih uangnya sekarang, dan done. Tinggal laporin aja nanti apa yang bisa kalian dapetin dari uang tujuh juta yang gue kasih.”
Abigail mengangguk paham. “Oke, Ken. Gue paham. Jadi langsung tanda tangan aja kali ya?”
Kenneth mengangguk, tangannya meraih ballpoint yang sudah dia siapkan di saku kaus hitamnya itu.
Abigail meletakan gelas jusnya, dan segera mengambil kertas persetujuan sponsorship. Kemudian, dia menyerahkan kertas tersebut untuk Kenneth.
Tanpa pikir panjang, Kenneth langsung menandatangani kertas tersebut dan langsung memberikannya pada Abigail.
“Ada nomer rekening?”
“Ada.” Abigail menyahuti Kenneth, membuka ponselnya dan memberikan nomor rekeningnya untuk ditampung sementara.
“Atas nama Abigail? Kakak?”
“Sementara,” Abigail meringis. “Nanti, gue ambil seperlunya juga biar bisa laporan uang tujuh juta itu buat apa aja.”
Kenneth tersenyum. “Nice.”
Ia mengetikan sesuatu diponselnya, kemudian menunjukan buktinya pada Abigail.
Abigail membaca bukti tersebut. “Loh?”
“Kenapa Kak?”
“Tujuh juta kan Ken?” Abigail memastikan sekali lagi.
Kenneth mengangguk. “Iya. Satu jutanya buat Kak Abi.”
“Hah? Buat gue?” Abigail mengerjapkan mata. “Buat apaan, Ken? Nggak usah.”
“For you because you looks so pretty today,” Kenneth menatap Abigail. “Thank you, Kak. You looks good today.”
Abigail terkesiap. Ia memang sengaja berdandan hari ini karena ia akan bertemu Kenneth. Entah mengapa, Abigail berdandan. Bahkan Rayhan sendiri bingung melihat Abigail yang notabene tidak seperti biasanya, meski biasanya juga Abigail tetap terlihat cantik.
“Ken —”
“Diterima, Kak. Gue maksa. Atau tujuh jutanya gue ambil lagi?”
Abigail menghembuskan nafasnya. “Thank you, Ken.”
“Sama-sama,” Kenneth melirik jam tangannya. “Udah makan siang? Wanna have good lunch today, Kak?”
“Hah? Di mana?”
“You choose,” Kenneth bersiap untuk berdiri. “I heard ada restoran Jepang enak deket sini, Kak Abi mau? Kalau nggak mau, nggak papa. Kenneth nggak maksa.”
“Boleh.” jawab Abigail, ntah itu adalah sebuah jawaban benar atau salah nantinya, namun untuk sekarang, benar.
Kenneth tersenyum, tangannya terjulur. “Sini tasnya gue bawain, Kak.”
Abigail memberikan tasnya, “Thanks.”
Kenneth mengangguk, kemudian mereka berjalan keluar kantin yang ramai.
“Agak jauh parkirnya, is it okay?”
“Nggak masalah.”
Banyak pasang mata yang sedari tadi mengawasi mereka berdua. Abigail yang terkenal karena dia memang social butterfly dan Kenneth cucu dari pemilik yayasan. Hingga sosok punggung mereka menghilang dibalik tembok, mata-mata itu tidak lagi mengikuti mereka —namun obrolan panas mereka tidak usai di sana.